Jurnal Psikologi Udayana 2019, Vol.6, No.1, 11-20


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali

Ratih Ryoningrat dan Yohanes Kartika Herdiyanto Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Remaja ingin mengetahui banyak hal serta ingin selalu mencoba berbagai hal baru dan ingin mengetahui berbagai informasi tentang seksualitas, karena berhubungan dengan perubahan dan perkembangan aspek fisiologis yang dialaminya. Oleh karena itu, pada masa ini, remaja mulai tertarik untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang seksualitas dari berbagai macam sumber, termasuk mengaksesnya dari pornografi salah satunya film porno karena dianggap lebih membangkitkan gairah seksual remaja. Selain itu film porno juga memengaruhi konsep “maskulinitas” ketika remaja ingin menunjukkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya dan ingin di akui oleh teman sebayanya. Maskulinitas adalah peran gender, kedudukan, perilaku, dan bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual kemudian dibentuk oleh kebudayaan (Barker, 2001). Maskulinitas yang tinggi juga ditemukan pada budaya yang menganut garis keturunan patrilineal yang mengganggap posisi laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan dalam segala hal. Darwin (2001) mengemukakan bahwa timbulnya “maskulinitas yang tinggi” pada budaya patriarki karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan. Berdasarkan pemaparan diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan subjek sejumlah 243 remaja laki-laki pada rentang usia 15-18 tahun dan tengah menempuh pendidikan di SMAN Bali yang dipilih dengan menggunakan teknik probability sampling yaitu cluster sampling. Instrumen penelitian ada dua, yaitu skala intensitas menonton film porno (r= 0,925) dan skala sifat maskulinitas (r= 0.882). Metode analisis data menggunakan korelasi product moment dengan hasil signifikansi sebesar 0,136 (p>0,05), sehingga kesimpulan penelitian ini yaitu tidak terdapat hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali.

Kata kunci: Intensitas menonton film porno, maskulinitas, remaja Bali.

Abstract

Adolescence is a transitional period of development between childhood and adulthood, which involves biological, cognitive, and socio-emotional changes. Teenagers want to know a lot of things and want to always try new things and want to know various information about sexuality, because it deals with the changes and the development of physiological aspects that’s experienced. Therefore, at this time, teenagers began to be interested in exploring knowledge about sexuality from a variety of sources, including accessing from pornography including porn film because the film is considered more arousing. In addition, pornographic film also affects the concept of "masculinity" when teenagers want to show the knowledge and skills they have and want to be recognized by peers. Masculinity is the role of gender, position, behavior, and form of man's construction of men associated with sexual quality and then shaped by culture (Barker, 2001). High masculinity is also found in cultures that adhere to patrilineal lineages that assume the position of men are more dominant than women in all things. Darwin (2001) argues that the emergence of "high masculinity" in patriarchal culture because of the assumption that men become true if it successfully shows its power over women. Based on the above exposure, this study aims to find out how the relationship intensity of watching porn films against the masculinity of boy teenagers in Bali.

This study uses quantitative methods with the subject of 243 of adolescent boys at the age of 15-18 years and is currently studying at SMAN in Bali selected by using probability sampling technique that is cluster sampling. There are two research instruments, namely intensity scale of watching porn film (r = 0,925) and scale of masculinity character (r = 0,882). The method of data analysis using the correlation of product moment with the result of significance equal to 0,136 (p> 0,05), therefore, the conclusion of this study is there is no relations on the intensity of watching porn against the masculinity of teen boys in Bali.

Keyword:    The intensity of watching porn film, masculinity, adolescent in Bali.

LATAR BELAKANG

Remaja atau adolescence dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh menuju kematangan” (Hurlock, 2002). Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

Remaja sebagai individu pada umumnya mempunyai kebutuhan dasar. Maslow (dalam Feist & Feist, 2010) mengungkapkan bahwa kebutuhan psikologis dari individu akan muncul setelah kebutuhan-kebutuhan fisologisnya telah terpenuhi. Maslow mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan dasar individu, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan tentram, kebutuhan untuk mendapatkan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan rasa harga diri (self actualization). Kebutuhan fisiologis berkaitan dengan kondisi fisik seperti makan, minum, tempat tinggal, pemuasan seksual atau eksplorasi seksual, udara segar, istirahat dan sebagainya.

Pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kebutuhan yang baru muncul seiring berkembangnya kematangan organ seksual saat masa remaja. Remaja ingin tahu mengenai berbagai informasi tentang seksualitas, karena berhubungan dengan perubahan dan perkembangan aspek fisiologis yang dialaminya (Santrock, 2007). Remaja berusaha memenuhi kebutuhan eksplorasi seksualnya dengan cara mencari tahu informasi melalui teman sebaya, bertanya dengan orangtua atau orang dewasa lainnya, dan mencari tahu sendiri melalui berbagai sumber yang dapat mereka akses seperti majalah dewasa, gambar atau cerita dewasa, video atau film dewasa, atau juga berbagai konten pornografi di internet (Taufik dalam Setyadharma, 2016).

Pada tahap perkembangannya, remaja ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru, teman sebaya masih memiliki peran penting, mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, dan penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu, hal ini terjadi pada remaja madya dengan kisaran usia 15-18 tahun (Monks, 2001). Perubahan hormonal yang terjadi pada remaja khususnya laki-laki dapat meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) pada remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku (Sarwono, 2015). Hasil penelitian dari PKBI pada tahun 2002 yang mengungkap bahwa sebagian besar remaja laki-laki (67,57%) dan (16,05%) remaja perempuan pernah menggunakan media pornografi (Ratnawati, 2014). Media yang digunakan adalah video atau film porno sebesar 78,8%, internet sebesar 9,4%, (Ratnawati, 2014).

Sebagai remaja yang hidup pada suatu lingkungan, tentu saja lingkungan tersebut memiliki suatu budaya tertentu yang harus dilestarikan (Sudantra, 2011). Seseorang akan lekat dengan budayanya ketika mulai memasuki masa remaja (Santrock, 2007). Budaya merupakan pola perilaku, keyakinan dan hal lainnya yang dihasilkan oleh suatu kelompok orang tertentu yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Budaya sebagai hasil dari interaksi kelompok-kelompok

manusia dan lingkungannya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun (Kottak & Triadis dalam Santrock, 2007).

Bali merupakan suku bangsa yang menganut patrilineal yang bersistem kekeluargaan purusa dan menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orangtua atau harta peninggalan suami, kemudian dipengaruhi oleh sistem keluarga luar patrilineal yang disebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang disebut wangsa atau kasta (Sudantra, 2011). Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak (Sastriyani, 2007).

Masyarakat Bali dalam budayanya menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu pola tradisional yang memiliki ciri-ciri diantaranya yang pertama hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, yang kedua harta keluarga atau kekayaan orangtua diwariskan melalui garis pria, yang ketiga pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat suami (adat patrilokal), dan yang terakhir pria mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa wanita yang telah menikah dianggap memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah kedalam keluarga suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda (Holleman & Koentjaraningrat dalam Sudarta, 2006).

Sistem kekerabatan patrilineal di Bali beranggapan bahwa anak laki-laki yang mampu mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) dikeluarga, sehingga laki-laki memiliki wewenang dalam pewarisan maupun meneruskan keturunan. Kemudian perempuan dianggap tidak mungkin meneruskan swadharma karena ketika menikah dirinya akan meninggalkan keluarga asalnya sekaligus tanggung jawab dikeluarga maka dianggap tidak berhak atas hak waris keluarga (Bali Sruti, 2011).

Patriarki merupakan dominasi atau kontrol laki–laki atas perempuan (Darwin, 2001). Timbulnya“maskulinitas yang tinggi” pada budaya patriarki karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan (Darwin, 2001).

Budaya pada umumnya memiliki stereotip tertentu yang ada dilingkungan itu sendiri, keyakinan tentang atribut khas dari laki-laki dan perempuan dinamakan dengan stereotip gender (Shelley, 2009). Termasuk juga dengan masyarakat Bali yang memiliki stereotip gender pada laki-laki, seperti laki-laki itu harus kuat, berani, agresif, berada di atas, dominan, berkuasa, maskulin, tidak lemah, tidak menangis, dan lain sebagainya (Sudantra, 2011). Maskulinitas adalah peran gender, kedudukan, perilaku, dan bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual kemudian dibentuk oleh kebudayaan (Barker, 2001). Maskulinitas itu sendiri adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual (Sastriani, 2007). Maskulinitas remaja laki-laki di Bali dibentuk melalui adanya tugas tambahan remaja salah satunya mengikuti organisasi dalam adat seperti Sekaa Teruna Teruni (STT), ngayah, dan menyama braya yang biasanya di adakan pada hari-hari tertentu (Karta, 2014).

Maskulinitas yang tinggi juga ditemukan pada budaya yang menganut garis keturunan patrilineal yang mengganggap posisi laki-laki lebih dominan dibandingkan perempuan dalam segala hal, yang membuat laki–laki ingin mendapat pengakuan sebagai pemimpin. Selain itu laki-laki juga lebih dominan dalam hal seksualitas (Sudantra, 2011).

Stereotip remaja laki-laki di Bali seperti lebih berkuasa, mendominasi dan agresif, ditemukan juga dalam pornografi, salah satunya adalah film porno. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap dua responden remaja laki-laki di Bali, yaitu GW dan TM yang berusia 17 tahun dan 18 tahun. GW dan TM mengatakan bahwa mereka merasa lebih maskulin atau menjadi laki-laki yang memiliki kuasa dan mendominasi setelah menonton film porno yang sering ditontonnya. GW mengatakan bahwa film porno yang ditontonnya menunjukkan bahwa laki-laki selalu memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan perempuan. GW dapat menonton film porno sebanyak 4 - 5 kali dalam seminggu, begitu juga dengan TM yang memiliki intensitas menonton film porno yaitu sekali dalam sehari terkadang seminggu tiga kali tetapi tergantung pada kesibukan yang dilakukan oleh TM saat itu. TM memiliki durasi menonton film porno kurang lebih 15 menit yang biasanya ditonton pada pukul 01.00 atau 02.00 dini hari dengan menggunakan media laptop (Ryonningrat, 2017).

Di zaman perkembangan teknologi saat ini, pornografi sangat mudah untuk di akses oleh siapa saja (Muslimin dalam Setyadharma, 2016). Saat ini, internet sudah sangat memungkinan untuk di akses dengan menggunakan perangkat digital, hal tersebut mengakibatkan remaja dapat dengan mudah mengakses informasi melalui jaringan internet dengan menggunakan perangkat digital yang dimiliki oleh remaja, termasuk mengakses pornografi (Aganthi dalam Setyadharma, 2016).

Survei yang dilakukan Kisara tahun 2004 mendapatkan fakta bahwa hampir 60% remaja SMP dan SMA di Bali telah melihat media-media yang memuat konten pornografi baik berasal dari situs-situs internet, VCD, DVD, buku (komik) porno, dan lain sebagainya. Adapula survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali terkait sikap dan perilaku tentang seksual terhadap 1.200 siswa dari 24 sekolah yang terdiri dari 8 SMP, 8 SMA, dan 8 SMK yang ada di Kota Denpasar selama bulan Juli hingga September 2016. Sebanyak 48,9% siswa berpendapat bahwa perilaku berciuman, berpelukan, dan bersentuhan dapat dilakukan sebelum menikah, 18,7% siswa berpendapat bahwa perilaku petting dan oral seks dapat dilakukan sebelum menikah, dan 16,8% melakukan hubungan intim sebelum menikah (Pramesemara, 2016).

Dari 1200 responden, terdapat 880 remaja (73,33%) yang sudah berpacaran. Dari remaja yang sudah berpacaran, 14,32% pernah melakukan petting, 86 remaja (9,77%) pernah melakukan oral seks, 57 remaja (6,48%) pernah melakukan vaginal seks, dan 23 remaja (2,61%) pernah melakukan anal seks. Pada remaja yang pernah melakukan vaginal seks,

43,86% tidak pernah menggunakan kondom dan pada remaja yang pernah melakukan anal seks, 43,48% tidak pernah menggunakan kondom. Rata-rata usia remaja pertama kali melakukan hubungan seksual (oral, vaginal, atau anal seks) yaitu 15 tahun dan umur paling muda melakukan hubungan seksual yaitu 11 tahun. Alasan remaja melakukan hubungan seksual tersebut sebagian besar yaitu atas dasar keinginan bersama (43,88%) dan rasa ingin tahu sebesar 24,49% (Pramesemara, 2016).

Hasil statistik dari BKKBN pada tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 2,4 juta situs film porno yang setiap harinya terdapat 68 juta permintaan mencari materi pornografi melalui internet (Ratnawati, 2014). Film porno adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia, dengan sifatnya yang seronok, jorok, vulgar, dan membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual (Burhan, 2009). Remaja yang terbiasa membuka dan mengakses situs porno di internet dapat menimbulkan kecanduan pornografi yang akan membawa dampak negatif bagi penggunanya (Fitrisary dalam Setyadharma 2016).

Adanya dampak negatif dari pornografi yaitu yang pertama adalah hubungan kelamin diluar hukum yaitu hubungan yang dilakukan atas dasar suka sama suka yang banyak terjadi diantara remaja. Dampak negatif yang kedua adalah hubungan seksual yang tidak lazim, contohnya homoseksual. Dampak negatif yang ketiga adalah hubungan kelamin khayalan yaitu hubungan yang dilakukan oleh diri sendiri seperti onani, masturbasi dengan membayangkan atau berimanjinasi, jika terjadi ejakulasi maka bayangan persetubuhan dengan wanita dapat tercipta. Dampak negatif yang terakhir adalah hubungan kelamin antar makhluk yaitu hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan binatang (Loekmono, 1988).

Pornografi dapat ditemukan pada berbagai media, media pornografi menurut Armando (2004) dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu, yang pertama media audio terdiri dari siaran radio, kaset, CD, telepon, dan media lain yang dapat di akses di internet. Kemudian yang kedua media audio-visual atau disebut media melihat-mendengar yang terdiri dari program televisi, film layar lebar, video, VCD, DVD, dan game komputer. Media yang terakhir adalah media visual yang terdiri dari koran, majalah, buku (karya sastra, novel populer, buku nonfiksi, cerita), komik, lukisan, foto atau bahkan media permainan seperti kartu.

Selain itu, pornografi juga memengaruhi konsep “maskulinitas” ketika remaja ingin menunjukkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya dan ingin di akui oleh kawan sebayanya. Remaja yang terbiasa mengakses konten pornografi akan meningkatkan bias maskulinitas seperti menganggap bahwa laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Perempuan “layak” untuk dijadikan objek dalam hal seksualitas dan objek fantasi agar laki-laki mendapatkan kepuasan sedangkan laki-laki berperan sebagai subjek (Darwin, 2001).

Apabila remaja laki-laki di Bali lebih sering terpapar pornografi apakah akan meningkatkan maskulinitas remaja yang terkait dengan budaya patriarki di Bali yaitu laki–laki memiliki kontrol atas segalanya dan ingin memperkuat “power” nya agar terlihat lebih maskulin. Berdasarkan pemaparan tersebut adapun hipotesis dari penelitian ini yaitu “Hubungan Intensitas Menonton Film Porno terhadap Maskulinitas Remaja”.

METODE PENELITIAN

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah intensitas menonton film porno, serta variabel tergantung dalam penelitian ini adalah maskulinitas remaja. Definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

Definisi Operasional Intensitas Menonton Film Porno

Dari definisi film porno oleh beberapa tokoh, peneliti mengacu pada teori yang disampaikan oleh Burhan (2009) dan Ogien (Ratnawati, 2014) bahwa film porno adalah gambargambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia, dengan sifatnya yang seronok, jorok, vulgar, yang dipertontonkan secara umum atau dipertontonkan ke publik. Intensitas menonton film porno adalah bentuk rutinitas yang dilakukan oleh individu dalam menonton sikap atau perbuatan yang berada di dunia perfilman dengan sajian berupa adegan seksual atau pencabulan dengan maksud dan tujuan untuk merangsang secara seksual orang yang melihatnya (Soekadji, 1983).

Penelitian ini menggunakan aspek-aspek minat dalam film porno dari Soekadji (1983) yaitu Frekuensi, Lamanya Berlangsung, dan Intensitas. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dengan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek minat dalam film porno menurut Soekadji (1983). Semakin tinggi total skor dari skala ini, maka semakin tinggi pula intensitas menonton film porno pada remaja. Sebaliknya semakin rendah total skor, maka semakin rendah pula intensitas menonton film porno pada remaja.

Definisi Operasional Maskulinitas

Maskulinitas adalah peran gender, kedudukan, perilaku, dan bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual kemudian dibentuk oleh kebudayaan. Definisi maskulinitas ini mengacu pada teori yang disampaikan oleh Barker (2001). Penelitian ini menggunakan sifat-sifat maskulinitas yang diungkapkan oleh David dan Brannon (dalam Demartoto, 2010) berdasarkan sifat-sifat maskulinitas, diantaranya: sifat PowerNo Sissy Stuff, Be a Big Wheel, Be a Sturdy Oak, dan Give em Hell.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan diukur dengan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan sifat-sifat maskulinitas oleh David dan Brannon (dalam Demartoto, 2010). Semakin tinggi total skor dari skala ini, maka semakin tinggi pula maskulinitas pada remaja. Sebaliknya semakin rendah total skor, maka semakin rendah pula maskulinitas pada remaja.

Responden

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah siswa SMA Negeri yang ada di wilayah Bali, sedangkan subjek dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

Karakteristik Inklusi

Karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja putra yang ada di Bali, subjek penelitian tersebut memiliki kritieria sebagai berikut:

  • a.    Berjenis kelamin laki-laki

Dikarenakan peneliti ingin melihat apakah kebiasaan menonton film porno pada remaja putra akan meningkatkan maskulinitasnya.

  • b.    Berusia 15-18 tahun

Karena pada usia ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu. c. Subjek duduk di kelas X, XI, ataupun XII SMA.

Karakteristik Eksklusi

Karakteristik subjek yang tidak digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • a.    Remaja putra yang berasal dari luar Bali tapi menetap atau tinggal dan bersekolah di Bali

  • b.    Belum menikah

Remaja yang belum menikah belum menjalankan tugas-tugas atau kewajiban di dalam adat seperti seorang ayah atau bapak. c. Bekerja tapi tetap sekolah

Remaja yang sudah bekerja akan beranggapan bahwa remaja tersebut sudah menjadi remaja yang matang karena menjalankan tugas atau kewajiban sebagai seorang ayah atau bapak untuk mencari nafkah.

Tempat Penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data pada hari Kamis, 04 Januari 2018 di SMAN 2 Denpasar dan pada hari Selasa, 10 Januari 2018 di SMAN 7 Denpasar.

Alat Ukur

Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan skala intensitas menonton film porno yang disusun berdasarkan teori Soekadji (1983), yang terdiri dari 31 aitem pernyataan dan skala sifat maskulinitas yang disusun berdasarkan teori David dan Brannon (dalam Demartoto, 2010), yang terdiri dari 33 aitem pernyataan. Pernyataan dalam penelitian ini terdiri dari aitem-aitem favorable dan unfavorable, dan skala dalam penelitian ini menggunakan empat pilihan jawaban, diantaranya: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).

Azwar (2015) menyatakan bahwa alat ukur yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mampu menghasilkan data dan memberikan informasi yang akurat. Pengukuran terhadap validitas isi dalam penelitian ini dilakukan melalui professional judgement untuk melakukan penyesuaian aitem-aitem dalam alat ukur dengan indikator perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2014). Pengukuran validitas konstruk dengan melihat koefisien korelasi aitem total sama dengan atau lebih besar daripada 0,30 (Azwar, 2014). Penelitian ini juga

melakukan uji reliabilitas alat ukur dengan menggunakan metode Alpha Croncbach, dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitas minimal 0,60 (Azwar, 2014).

Hasil uji validitas skala intensitas menonton film porno memiliki koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,299 sampai 0,701, dan pada skala sifat maskulinitas memiliki koefisien korelasi item-total berkisar antara 0,250 sampai 0,693. Hasil uji reliabilitas pada skala intensitas menonton film porno menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,925, kemudian hasil uji reliabilitas pada skala sifat maskulinitas menunjukkan koefisien alpha sebesar 0,882 memiliki arti bahwa skala intensitas menonton film porno dan skala sifat maskulinitas mampu mencerminkan 90,1% variasi skor murni subjek.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis Korelasi Product moment dengan bantuan program SPSS 24.0 for Windows. Sebelum melakukan analisis data penelitian dilakukan uji asumsi data, diantaranya uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 24.0 for Windows, sedangkan uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test of Linearity pada program SPSS 24.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang sedang menempuh pendidikan di SMAN 2 Denpasar dan SMAN 7 Denpasar dengan jumlah 243 orang, mayoritas subjek yang mengikuti penelitian ini berusia 17 tahun sebanyak 93 subjek dengan persentase sebesar 38,27% dan lebih di dominasi oleh kelas XII yaitu sejumlah 116 subjek dengan presentase sebesar 47,74%.

Deskripsi Data Penelitian

Kategorisasi data penelitan bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini meliputi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Penentuan kategorisasi dengan skor skala dilakukan dengan menggunakan nilai mean dan standar deviasi teoretis (Azwar, 2014).

Berdasarkan hasil deskripsi statistik data penelitian pada tabel 1 (terlampir) dapat dijelaskan nilai-nilai tersebut memberikan makna yaitu variabel intensitas menonton film porno memiliki mean teoretis sebesar 77,5 dan mean empiris sebesar 75,30 dengan perbedaan sebesar -2,75. Hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki tingkat intensitas menonton film porno yang sedang karena nilai mean empiris lebih rendah dibandingkan nilai mean teoretis (75,30> 77,5). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini memiliki rentang skor antara 42 sampai dengan 124. Sedangkan variabel maskulinitas memiliki mean teoretis sebesar 82,5 dan mean empiris sebesar 96,41 dengan perbedaan sebesar 13,91. Hal ini menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki

tingkat maskulinitas yang tinggi karena nilai mean empiris lebih besar dibandingkan nilai mean teoretis (96,41> 82,5). Berdasarkan penyebaran frekuensi, subjek dalam penelitian ini memiliki rentang skor antara 66 sampai dengan 121.

Uji Asumsi

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran skor variabel. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 24.0 for Windows. Sebaran data dapat dikatakan normal jika signifikansinya p>0.05 dan sebaliknya dikatakan tidak normal jika signifikansinya p<0.05 (Santosa, 2014). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 2 (terlampir).

Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dengan hasil signifikansi 0,200 (p>0,05).

Uji Linearitas

Uji Linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel yang dikenai prosedur analisis statistik korelasional menunjukkan adanya hubungan yang linear atau tidak. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan Test of Linearity pada program SPSS 24.0 for Windows. Hubungan dua variabel dikatakan signifikan linear jika p<0.05 dan sebaliknya dikatakan tidak linear jika p>0.05. Hasil uji linearitas data penelitian dapat dilihat pada tabel 3 (terlampir).

Berdasarkan hasil uji linearitas pada output tabel di atas, menunjukkan bahwa nilai Sig. Deviation From Linearity sebesar 0,345. Karena nilai Sig. 0,345 >0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linear secara signifikan antara variabel intensitas menonton film porno dengan maskulinitas remaja laki-laki.

Uji Hipotesis

Untuk mengetahui hipotesis pada penelitian ini ditolak atau diterima, perlu dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis Korelasi Product moment dengan bantuan program SPSS 24.0 for Windows.

Analisis Korelasi Product moment adalah teknik yang digunakan untuk menguji hipotesis tentang hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen (Sugiyono, 2016). Hasil uji hipotesis data penelitian dapat dilihat pada tabel 4 (terlampir).

Dari hasil uji hipotesis korelasi Product moment yang sudah dilakukan menunjukkan Sig. (2-tailed) atau probabilitas berada di angka 0,136 yang berarti diatas 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa (p)>0,05 yang berarti (Hipotesis Alternatif – Ha) dalam penelitian ini ditolak dan dijelaskan sebagai tidak ada hubungan yang signifikan antara intensitas menonton film porno dengan maskulinitas remaja laki-laki di Bali.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali.

Hubungan antara intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali dapat dilihat melalui nilai signifikasi sebesar 0,136 (p>0,05) sehingga Hipotesis Alternatif – Ha dalam penelitian ini ditolak. Merujuk pada hasil analisis penelitian di atas maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penelitian ini memperoleh hasil signifikansi sebesar 0,136 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki. Hal ini didukung oleh teori dari Heggie (2004) yang menyebutkan bahwa maskulinitas terbagi atas dua tipe, tipe yang pertama dibentuk melalui bentuk fisik yang meliputi bentuk tubuh dan penampilan, tipe yang kedua terbentuk melalui verbal (bahasa) yang dapat dilihat melalui bagaimana cara seseorang tersebut berbicara. Maskulinitas dalam bentuk tubuh, dikonstruksikan melalui ciri-ciri fisik pada tubuh seorang laki-laki seperti berbadan besar, berotot, berdada bidang, dan sebagainya. Pada maskulinitas dalam bentuk penampilan dikonstruksikan melalui tampilan luar seorang laki-laki, seperti cara berpakaian, gestur kerapian tubuh, aroma tubuh, dan sebagainya (Heggie, 2004).

Connel (dalam Baron & Kotthoff, 2001) menambahkan 7 poin penting dalam pembentukan maskulinitas. Pada poin pertama Multiple Masculinity, menjelaskan bahwa konsep maskulinitas dibentuk berdasarkan perbedaan konsep yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Pada poin kedua Hierarchy and Hegemony, menjelaskan bagaimana konsep maskulinitas dibentuk karena adanya suatu kebudayaan yang terjadi di beberapa tempat, lembaga maupun instansi yang ada disuatu daerah. Beberapa tempat inilah yang membentuk suatu dominasi maskulinitas. Pada poin ketiga Collective Masculinity, menjelaskan bagaimana suatu sifat maskulinitas itu terbentuk dalam suatu masyarakat. Ciri maupun sifat maskulinitas tidak begitu saja hadir dalam suatu interaksi sosial tetapi perlu adanya suatu interaksi sosial yang terjadi didalam kelompok sosial. Pada poin kedua dan ketiga sejalan dengan kebudayaan di Bali yaitu maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Bali sendiri merupakan suku bangsa yang menganut patrilineal yang bersistem kekeluargaan purusa dan menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, kemudian dipengaruhi oleh sistem keluarga luar patrilineal yang disebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang disebut wangsa atau kasta (Sudantra, 2011). Maskulinitas remaja laki-laki di Bali dibentuk melalui adanya tugas tambahan remaja salah satunya mengikuti organisasi dalam adat seperti Sekaa Teruna Teruni (STT), ngayah, dan menyama braya yang biasanya diadakan pada hari-hari tertentu (Karta, 2014). Tentu saja dalam hal ini remaja membutuhkan kemampuan untuk bersosialisasi yang baik karena adanya interaksi sosial didalam organisasi tersebut dan remaja dituntut untuk memiliki penyesuaian diri yang baik. Masyarakat memiliki peran yang penting untuk dapat ikut serta dalam pembentukan maskulinitas remaja laki-laki (Karta, 2014).

Pada poin keempat yaitu Bodies as Arenas, menjelaskan bagaimana suatu bentuk tubuh seseorang itu menjadi sangat penting dalam mencerminkan sifat maskulinitas. Tubuh

seorang laki-laki yang berotot, kekar serta kuat dianggap menjadi sesuatu yang penting untuk menunjukkan identitas diri seorang maskulinitas. Poin kelima, Active Construction, menjelaskan bagaimana suatu konsep gender ini ditunjukkan melalui apa yang dilakukan seseorang dari pada siapa yang melakukan. Poin keenam yaitu Division, menjelaskan bahwa maskulinitas itu terbagi menjadi ke beberapa bentuk. Hal ini di dasarkan karena maskulinitas dapat terjadi dan ditemukan dalam beberapa aspek kehidupan. Pada poin terakhir yaitu Dynamic, yang menjelaskan bagaimana maskulinitas dapat dikonstruksikan sesuai dengan perubahan zaman (Connel dalam Baron & Kotthoff, 2001). Kemudian Lesmana (2016) juga menambahkan faktor–faktor pembentuk maskulinitas individu secara umum yaitu (a) Pembentukan oleh individu. Hal ini terjadi melalui proses pengamatan dan imitasi yang dilakukan sejak kecil, dan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan individu. (b) Pengaruh dari lingkungan dan budaya. Adanya penilaian dari lingkungan sekitar individu mengenai peran gender yang tepat bagi jenis kelamin tertentu dapat membentuk peran gender individu.

Dapat disimpulkan bahwa untuk membentuk maskulinitas remaja laki-laki di Bali tidak terbentuk dari hal-hal seksualitas seperti intensitas menonton film porno. Ada beberapa faktor dalam pembentukan maskulinitas remaja laki-laki, hal ini sejalan dengan teori oleh Megawangi (2001) yang menyebutkan bahwa pembentukan peran gender (maskulinitas) karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat alami peran gender, tetapi adannya sifat peran gender yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Selain itu, ada juga faktor lain seperti adanya suatu interaksi yang terjadi dalam lingkungan sosial, tercipta karena suatu dominasi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Faktor lainnya yang dapat membentuk maskulinitas disebabkan oleh pembentukan yang terjadi melalui proses pengamatan dan imitasi yang dilakukan sejak kecil, dan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan remaja (Lesmana, 2016). Untuk itulah konsep maskulinitas selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman (Connel dalam Baron & Kotthoff, 2001).

Seksualitas merupakan konstruksi sosial. Hal tersebut dijelaskan oleh Kimmel (2005) menekankan bahwa seksualitas bukan semata-mata dorongan biologis, namun lebih ditentukan oleh proses sosialisasi yang spesifik pada waktu dan kultur tertentu. Hal itu menyebabkan seksualitas selalu berubah dari waktu ke waktu. Bali memiliki ciri khas yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, salah satu ciri tersebut adalah keterbukaan. Akibat dari keterbukaan tersebut, maka berbagai pengaruh dari luar berperan terhadap perkembangan masyarakat di Bali. Pola-pola hubungan interpersonal juga diperkirakan ikut terpengaruh, salah satunya adalah pola hubungan seksual (faturochman, 1989).

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0,136 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas. Sejalan dengan penelitian Fitriasari (2009), Daniati (2012) dan Wati (2013) yang mengungkapkan bahwa intensitas menonton film porno memiliki hubungan dengan

perilaku seksual siswa. Hal ini berarti bahwa semakin rendah intensitas menonton film porno maka akan semakin rendah perilaku seksual siswa. Sejalan juga dengan penelitian oleh Wibowo (2016) yang mengungkapkan bahwa intensitas menonton film porno yang rendah akan sangat berpengaruh sekali dengan perilaku seksual siswa yang diungkapkan seperti perilaku bekencan, perilaku bercumbu (seperti necking dan petting), masturbasi atau onani, berciuman (kissing), namun jarang pada SMK Swasta di Salatiga sampai berhubungan badan atau senggama. Bentuk perilaku seperti ini adalah salah satu contoh siswa mengaplikasikan yang didapat dari menonton film porno.

Kemudian Rachmah (2014) mengungkapkan bahwa semakin positif sikap terhadap pornografi maka semakin tinggi perilaku seks bebas remaja SMA Negeri 1 Glenmore, begitu pula sebaliknya semakin negatif sikap terhadap pornografi semakin rendah perilaku seks bebas remaja SMA Negeri 1 Glenmore. Suyatno (2011) mengungkapkan ada pengaruh pornografi terhadap perilaku belajar siswa. Perilaku belajar yang dimaksud mencakup motivasi, kedisiplinan, dan nilai akademik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pornografi berpengaruh signifikan terhadap kedisiplinan siswa, namun tidak terlalu memengaruhi motivasi dan nilai akademik siswa. Kemudian sejalan dengan penelitian oleh Asih (2014) yang mengungkapkan bahwa ada pengaruh intensitas akses pornografi terhadap sikap seksual pranikah (b1 = 0,710; p = 0,000).

Dari penelitian-penelitian yang sudah dipaparkan di atas, intensitas menonton film porno sesungguhnya tidak memberikan pengaruh pada maskulinitas remaja, tetapi intensitas menonton film porno lebih dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Greenfield (2004), intensitas menonton film porno dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti, diri sendiri, kecanggihan teknologi, pengaruh dari teman sebaya,berasal dari keluarga yaitu kurangnya pengawasan dari keluarga dan minimnya hubungan komunikasi terutama dalam hal pendidikan seksualitas dan pengalaman-pengalaman seksual yang diberikan oleh keluarga, kurangnya sarana dan prasarana untuk menampung bakat dari remaja itu sendiri dan adanya rasa penasaran yang ada pada diri remaja.

Keterbatasan penelitian

Selain keberhasilan dan akurasi temuan data dalam penelitian bergantung pada berbagai faktor dan aspek. Maka penelitian ini tentunya masih terdapat beberapa kelemahan dalam prosesnya, diantaranya (a) Item dalam angket yang digunakan dalam penelitian ini kurang bervariasi dan kurang menyampaikan maksud serta tujuan dari penelitian ini. (b) Kesulitan mencari subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian karena adanya faking response yang terjadi pada responden. (c) Waktu saat pengambilan data, karena saat pengambilan data dilakukan pada waktu yang kurang efektif yaitu waktu siang hari, sehingga dalam pengisian kuesioner subjek cenderung tidak kooperatif. (d) Keterbatasan lainnya yaitu variabel penelitian intensitas menonton film porno mudah menimbulkan faking response bagi responden saat mengisi kuesioner sehingga perlu berhati-hati dalam

mengadministrasikan atau membuat alat ukur yang sesuai.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas menonton film porno dengan maskulinitas remaja laki-laki di Bali. Dilihat dari hasil analisis menunjukkan signifikansi sebesar 0,136 (p>0,05), dalam penelitian ini, mayoritas subjek memiliki taraf maskulinitas yang tinggi dengan taraf maskulinitas tinggi sebanyak 171 orang dengan presentase sebesar 70,73% dan mayoritas subjek memiliki taraf intensitas menonton film porno yang sedang, yaitu berjumlah 121 orang dengan presentase sebesar 49,80%. Selain itu intensitas menonton film porno memiliki mean teoretis sebesar 77,5 dan mean empiris sebesar 75,30 yang artinya memiliki tingkat intensitas menonton film porno yang rendah. Untuk variabel maskulinitas memiliki mean teoretis sebesar 82,5 dan mean empiris sebesar 96,41 yang artinya bahwa subjek penelitian memiliki tingkat maskulinitas yang tinggi.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya yaitu diharapkan dapat melakukan penelitian mengenai topik yang berhubungan dengan intensitas menonton film porno dan maskulinitas remaja agar mengkaji faktor-faktor diluar faktor yang sudah diteliti dalam penelitian ini. Dapat membuat item yang lebih bervariasi dan lebih menyampaikan maksud serta tujuan dari penelitian yang akan dilakukan. Dapat memperluas sampel penelitian yang sesuai, dan data penelitian yang diperoleh lebih representatif dan bervariasi. Selain itu, variabel penelitian intensitas menonton film porno mudah menimbulkan faking response bagi responden saat mengisi kuesioner sehingga perlu     berhati-hati     dalam

mengadministrasikan atau membuat alat ukur yang sesuai. Pada saat mengambil data penelitian, sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat seperti dipagi hari agar meminimalisir terjadinya kesalahan yang dialami subjek dalam pengisian kuesioner karena merasa kelelahan, serta dapat memberikan reward kepada subjek agar subjek dapat mengisi kuesioner dengan kooperatif.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, H. (2009). Psikologi perkembangan pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT. Refika Aditama.

Andi, N., Laras, W., & Bobby. (2016). Analisis pengaruh frekuensi menonton blue film terhadap hasil belajar mahasiswa. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Volume 02, No. 1. Di akses                                                  dari

http://journal.uncp.ac.id/index.php/proceding/article/view/3 90. 23 Maret 2017.

Armando, A. (2004). Mengupas batas pornografi. Jakarta: Meneg. Permberdayaan Perempuan.

Asih, S. (2014). Pengaruh konformitas teman sebaya dan intensitas akses pornografi di internet terhadap sikap seksual pranikah. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Di akses pada https://eprints.uns.ac.id/19037/. 23 Maret 2017.

Azwar, S. (2001). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Liberty.

Azwar, S. (2015). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bali Sruti. (2011, Februari-April). Agar luh tak sekedar peluh. Denpasar. Di akses dari 1. 20 Maret 2017.

Barker, C. (2009). Cultural studies: Teori dan praktik. Bantul: Kreasi Wacana.

Baron, B. K. (2001). Gender in interaction-perspectius on feminity and masculinity in ethnograplry and discourse. Amsterdam and Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Bawa, N. A. (1989). Ngaben ngerit dan ngaben individual dengan biaya kecil: Suatu pengamatan dari kancah. Laporan Tim Pencari Data. Singaraja: FKIP UNUD Bali Di akses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=22583 &val=1362. 23 Maret 2017.

Beynon, J. (2007). Masculinities and culture. Buckingham dan Philadelphia: Open University Press.

Burhan, B. (2009). Sosiologi komunikasi teori paradigma dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Connell, R. W. (2000). The men and the boys. Berkeley dan Los Angeles, California: University of California Press.

Darwin, M. (2001). Maskulinitas: Posisi laki-laki dalam masyarakat patriakis. Jurnal Center For Population And Policy Studies, Volume 8 No. 1, Gadjah Mada University. Di akses dari http://www.lakilakibaru.or.id/wp-content/uploads/2015/02/S281_Muhadjir-Darwin_Maskulinitas-Posisi-Laki-laki-dalam-Masyarakat-Patriarkis.pdf. 27 Februari 2017.

Demartoto, A. (2010). Konsep maskulinitas dari jaman ke jaman dan citranya dalam media.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume I, No. 1. Di akses dari

http://argyo.staff.uns.ac.id/2010/08/10/konsep-maskulinitas-dari-jaman-kejaman-dan citranya-dalam-media/. 14 Maret 2017.

Dianawati. (2006). Ilmu kesehatan masyarakat: Prinsip-prinsip dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Feist & Feist. (2013). Teori kepribadian, edisi ketujuh jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Greenfield, P. M. (2004). Inadvertent exposuren to phornograpy on the internet development and families. Los Angeles California: Journal of Applied Developmental Psychology, Vol. 25, Issue 6. Di akses dari http://www.cdmc.ucla.edu/Published_Research_files/pg-2004.pdf. 10 April 2017.

Gunarsa, P. D. (1986). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Heggie, B. M. (2004). The performance of masculinity and feminist: Gender Transgression in The Sowdone of Babylone.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima. Jakarta: Erlangga.

Jackson, S. (2006). "Gender, sexsuality and heterosexsuality: The complexity (and limits) of heteronormativity".Journal Feminist Theory, 7(1). Di akses dari http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/14647001060 61462. 02 April 2017.

Karta, I. W. (2014). Tekonologi reef bali melalui sekehe teruna teruni (stt) dalam upaya konservasi terumbu karang di kawasan konservasi perairan KKP Nusa Penida. Jurnal Seminar Nasional FMIPA Undhiksa IV. Di akses dari https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/articl e/view/10503. 15 April 2017.

Kimmel, M. S. (2005). Gender of desire: Essays on male sexsuality. Albany: State University of New York Press.

Kirana, U., Yusad, Y., & Erna, M. (2014). Pengaruh akses situs porno dan teman sebaya terhadap perilaku seksual remaja di SMA Yayasan Perguruan Kesatria Medan. Skripsi.

Universitas Sumatera Utara. Di akses dari https://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/view/8473/43 45. 23 Maret 2017.

Lesmana, S. (2016). Maskulinitas masyarakat bali. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, No. 1. Di akses dari http://blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgi?isiblog&1136664284 &&&1108957786&&1470038636&suza001&. 15 Januari 2018.

Loekmono, L. (1988). Seksualitas, pornografi, pernikahan. Semarang: Satya Wacana.

Megawangi, R. (2001). Membicarakan berbeda sudut pandang baru tentang relasi gender. Mizan: Bandung.

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Papalia D. E, O. S. (2009). Human development (perkembangan manusia edisi 10, buku 2). (Brian Marwensdy, Penerjemah). Jakarta: Salemba.

Pramesemara, I.G.N. (2016). Remaja dan HIV-AIDS, di balik realita dan kepedulian untuk saling berbagi. Denpasar: KISARA PKBI Daerah Bali. Di akses dari

http://www.kisara.or.id/artikel/penelitian-kisara-gambaran-pengetahuan-sikap-dan        perilaku-tentang-kesehatan-

reproduksi-dan-seksual-pada-remaja-di-kota denpasar.html. 14 Mei 2017.

Rachmah, E. N. (2014). Hubungan antara sikap terhadap pornografi dengan perilaku seks pada remaja di SMA Negeri 1 Glenmore. Skripsi. Universitas 45 Surabaya. Di akses dari http://univ45sby.ac.id/jurnal/index.php/psikologi/article/vie w/8/6. 23 Maret 2017.

Ratnawati, M. T. (2014). Hubungan antara kebiasaan menonton film porno dengan perilaku seksual remaja di SMK Saraswati Salatiga kelas X Otomotif. Skripsi. Universitas Kristen Satya Wacana. Di akses dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4867/3/T1 _132010066_BAB%20II.pdf. 03 November 2016.

Ryonningrat, R. (2017). Studi pendahuluan: Hubungan Intensitas menonton film porno terhadap maskulinitas remaja laki-laki di Bali. Naskah tidak di publikasikan, Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar.

Santrock, J. W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup (5th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2005). Life span development. Boston: Mc Graw Hill College.

Sarwono, S. W. (2000). Psikologi remaja. Cetakan kelima. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Sastriyani, S. D. (2007). Glosarium seks and gender. Yogyakarta: Carasvati Books.

Setyadharma, A. (2016). Hubungan durasi mengakses situs porno dengan perilaku seksual pada remaja. Skripsi. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Di akses darihttp://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9384/2 /T1_802010014_Full%20text.pdf. 26 April 2017.

Shelley, E. Taylor, L. A. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Soekadji, S. (1983). Modifikasi perilaku penerapan sehari-hari dan penerapan profesional. Yogyakarta: Liberty.

Sudantra, K. I. (2011, September 06). Hukum perkawinan bagi umat hindu di Bali. Denpasar. Di akses dari http://sudantra.blogspot.co.id/2011/09/hukum-perkawinan.html. 19 Maret 2017.

Sudarta, W. (2006). Pola Pengambilan keputusan suami-istri rumah tangga petani pada berbagai bidang kehidupan. Jurnal Kembang Rampai Perempuan Bali, 65-83. Di akses dari https://makassar.lan.go.id/files/gender2015.pdf. 01 Mei 2017.

Sugiyono, P. D. (2016). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Trikuncoro, T. (2014). Maskulinitas dalam iklan majalah pria. Jurnal Kommas, Volume 1 No. 1. Di akses dari http://www.jurnalkommas.com/docs/Jurnal%20Herdyan.pd f. 03 April 2017.

Widyastuti, A. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku belajar dalam mengakses situs porno. Thesis. Universitas Diponegoro. Di akses dari http://eprints.undip.ac.id/38421/. 26 Februari 2017.

LAMPIRAN

Tabel 1

Deskripsi statistik data penelitian

Deskiipsi Data

Intensitas Menonton

Masknlinitas

N

243

243

Rata-rata Teoretis

Tlj

8X5

Rata-rata Emptris

7530

9641

SD Teoretis

15,5

16,5

SD Empiris

14331

8,490

Xmm

42

66

Xmax

124

121

Sebaran Tecretis

31-124

33-132

Sebaran Empiris

42-124

66-121

hdeiaiigaii.

Jf      = Total Subjek

SD    ≈ Siatidar Deviasi

Xnun =XilaikTmimal Xmax ≈ Xilai Haksimal

Tabel 2

Hasil uji normalitas variabel penelitian

Variabel

Kolmogorov-Sini rn ov

Asymp. Sig f2Aailed)

Maskulinitas remaj a

oχoo

Keterangan Lisvmp. Sig 12-tailed) = nilai probabilitas

VAΛAZVAZVAAA*√VAAAAΛZ4^vΛA4√⅛∙ *∙,                '              i

Tabel 3

Hasil uji linearitas variabel penelitian

Model

Siun OfSquares

Mean

Square

F

Sig.

Dexiation from Linearitx'

4480,155

59

75,935

1,080

0345

Keterangan Llsvmp. Sig f2-tailedi = nilai probabilitas

■■■■.■■■.■■■.■■.■■■.■■■■■.■^^                                                     U .                            ■                             r

Tabel 4

Hasil uji korelasi product moment

Variabel

Correlations Product Moment

Asyinp. Sig (2-tailed)

Maskuhnitas remaj a

0,136

Keterangan Lisvmp Sig (2-tailed) = nilai probabilitas.

∖aaaaaaaaaa∙*aaaaaaaλ*aazA^ w'.          '         A

x2x0x