Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental, 35-45

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Gambaran komitmen dalam pernikahan pasangan remaja yang mengalami KTD

Wayan Mirah Adi dan Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]


Abstrak

Kehamilan tidak diinginkan (KTD) terutama pada remaja di Bali merupakan salah satu masalah yang menjadi sorotan dikarenakan jumlah kasus KTD di Bali mengalami peningkatan. Pada kasus tersebut, menikah menjadi solusi yang terpaksa dipilih. Salah satu kunci yang diperlukan untuk mempertahankan pernikahan adalah komitmen. Pernikahan dan pembentukan komitmen seringkali dilekatkan pada tugas masa dewasa. Remaja yang terpaksa menikah akan dibebani tugas-tugas yang harusnya ditanggung pada masa dewasa sehingga pernikahan mereka sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Ketidaksiapan remaja untuk membangun komitmen menjadi landasan dilaksanakannya penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja dan hal yang dapat mempertahankan komitmen dalam pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan fenomenologi dengan responden sejumlah 3 pasangan remaja yang menikah pada usia 15-19 tahun akibat KTD dengan teknik pusposive sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara individu, joint interview dan observasi. Ditemukan hasil bahwa komitmen selama pacaran terdiri dari komitmen berdasarkan perasaan sementara terdapat dua bentuk komitmen tambahan dalam pernikahan, yaitu komitmen berdasarkan pemikiran dan perilaku. Penelitian juga menemukan bahwa pasangan menunjukkan ambivalen untuk mempertahankan komitmen. Komitmen dapat dipertahankan jika suami dapat menunjukkan tanggung jawab kepada keluarga sebagai pembuktian kepada masyarakat dan istri mendapat dukungan keluarga serta mampu mengatasi konflik dengan mertua dan tuntutan terhadap peran.

Kata kunci: Kehamilan tidak diinginkan, komitmen, pernikahan di usia remaja.

Abstract

Unwanted pregnancy in Bali especialy for the adolescent is one of the issues in the spotlight because the cases of unwanted pregnancy in Bali keep increasing. In that case, married is the only solution they could choose. Commitment is one of the keys to keeping up with the marriage. Marriage and establishing commitment often being connected with adulthood developmental tasks. Adolescent who being forced to married will be burdened by the tasks which should be borne in adulthood thus their marriages are vulnerable to various problems. Adolescent's unpreparedness to build commitment is the foundation of this research. The aim of this research is to understand an image of commitment among couples who have been married, in their adolescent and things that can sustain commitment in marriage. This research used qualitative method and phenomenology approach. Using purposive sampling the respondents was 3 teenage couple which have been married in the age around 15 until 19 years old as the result of unwanted pregnancy. As the method of collecting data, this research used individual interview, joint interview, and observation. The result found that the commitment during dating was consist of a feeling based commitment while there were two additional form of commitment in their marriage, which are commitmen based on thought and based on behavior. It also found that couples shown ambivalent in order to maintain commitment. Commitment can be sustained if the husband can show the responsibility to the family as a proof to the community and the wife gets family support and is able to resolve the conflict toward in-laws and the role demands.

Keywords: Commitment, early marriage, unwanted pregnancy.


LATAR BELAKANG

Kehamilan tidak diinginkan (KTD) adalah kehamilan yang terjadi pada saat salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak menginginkan kehamilan sama sekali atau kehamilan yang diinginkan namun terjadi pada waktu yang tidak tepat (Kisara, 2016). Dalam beberapa literatur terkait dengan psikologi seksual istilah KTD diartikan sebagai kehamilan yang tidak diinginkan, tidak direncanakan atau kehamilan yang tidak dinantikan dan respon menghadapi kehamilan tersebut akan sangat berbeda tergantung dari usia, status pernikahan, kecukupan finansial, dan jumlah anak yang telah dimiliki sebelumnya (Rosenthal, 2013). Dalam kasus KTD yang terjadi pada remaja, respon yang ditunjukkan berkaitan dengan usia dan status pernikahan dikarenakan usia mereka belum dikategorikan sebagai usia dewasa dan belum menikah. Menurut Dryfoos (dalam Bancroft, 2009), KTD pada usia remaja seringkali mengarah pada terjadinya perilaku aborsi, namun dalam nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia, remaja mau tidak mau akan diarahkan untuk melakukan pernikahan. Pernikahan di usia remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pernikahan yang disebabkan karena KTD. Berdasarkan data yang diperoleh dari Klinik Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, diketahui bahwa jumlah remaja yang menggunakan pelayanan kesehatan reproduksi dengan kasus KTD di Bali mengalami fluktuasi dari tahun 2014 hingga 2017, namun ditemukan bahwa jumlah tersebut meningkat pada tahun 2017. Pada tahun 2014, jumlah remaja yang mengakses pelayanan kesehatan reproduksi dengan kasus KTD mencapai 139 orang (usia 10-19 tahun). Jumlah tersebut kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 146 orang. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2016 jumlah tersebut mengalami penurunan menjadi 110 orang, namun di tahun berikutnya yaitu tahun 2017, jumlah remaja yang mengakses pelayanan kesehatan dengan kasus KTD kembali meningkat menjadi 134 orang. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa usia 15-19 tahun merupakan rentang usia terbanyak terjadinya kasus KTD.

KTD terutama pada remaja merupakan dampak dari perilaku seksual pranikah (Amalia & Azinar, 2017). Hubungan seksual pranikah merupakan hasil dari kegagalan sistem kontrol diri terhadap impuls-impuls kuat dan dorongan-dorongan destruktif (Kurniawan, 2009). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kegagalan sistem kontrol diri dalam mengendalikan dorongan seksual menjadi salah satu faktor yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya KTD. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Karniyanti (2017) yang menjelaskan bahwa remaja yang tidak memiliki kontrol diri yang tinggi akan mudah terjerumus pada perilaku seksual pranikah.

Santrock (2007) menyatakan masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Menurut Santrock (2007) bahwa masa ini merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Remaja juga mulai memunculkan minat pada karir, pacaran, dan melakukan eksplorasi identitas. Hal tersebut berkaitan dengan tugas pokok pada masa remaja yaitu

mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa (Santrock, 2007). Pada masa ini, remaja dinilai belum matang secara psikologis sehingga cenderung labil dan emosional ditambah lagi dengan ego yang masih tinggi (Sari, 2016). Ego yang tinggi membuat remaja memandang bahwa dirinya unik dan tidak terkalahkan. Pandangan inilah yang cenderung membuat remaja terlibat dalam perilaku berisiko seperti balapan, penggunaan obat terlarang, bunuh diri, dan melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Santrock, 2007).

Masa remaja juga menjadi masa yang banyak mengandung perubahan besar pada fisik, kognitif, dan psikososial serta masa yang dimulai dengan proses yang mengarah kepada kematangan seksual (Papalia, Old, & Feldman, 2011). Kematangan seksual pada remaja menyebabkan timbulnya minat dan ketertarikan kepada lawan jenis (Hurlock, 1980). Pada masa ini, remaja juga mengalami peningkatan dalam minat dan keingintahuan terhadap seks sehingga remaja akan berusaha mencari berbagai informasi mengenai seks guna memuaskan keiingintahuan mereka (Hurlock, 1980).

Menurut Sarwono (2015) secara psikologis bentuk perilaku seksual remaja pada dasarnya adalah normal. Sebab prosesnya memang dimulai dengan ketertarikan pada orang lain, timbulnya gairah yang diikuti dengan tercapainya puncak kepuasan seksual (orgasme) dan diakhiri dengan penenangan (resolusi) (Sarwono, 2015). Keterlibatan norma masyarakat dan agama yang menyebabkan ukuran normal ini menjadi berbeda. Perilaku seksual pada remaja dipandang sebagai hal yang tidak normal karena kerap kali berlanjut pada hubungan seksual pranikah. Perilaku seksual pranikah hingga menyebabkan kehamilan dinilai oleh masyarakat sebagai pelanggaran terhadap norma-norma yang ada. Kehamilan dari perilaku seksual pranikah juga menimbulkan aib dan rasa malu pada keluarga, sehingga untuk menutupi aib dan menghindari rasa malu dilakukan pernikahan di usia remaja.

Fenomena di masyarakat saat ini, dalam kasus KTD pada remaja, menikah menjadi solusi yang terpaksa dipilih untuk mengatasi masalah akibat KTD (Purnomo, 2013). Menurut Hoffman (dalam Adhim, 2002), usia terbaik untuk menikah adalah 20 hingga 24 tahun. Batasan usia pernikahan, berbeda antar satu negara dengan negara lain. Di Indonesia sendiri, UU yang berlaku adalah No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Pernikahan tetap harus memenuhi syarat lain yang terdapat pada pasal 6 ayat 2 yaitu “Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua”. Meskipun secara UU, pernikahan pada usia remaja adalah sah namun usia remaja dinilai belum siap untuk melakukan suatu pernikahan.

Remaja yang memilih untuk menikah akan menghadapi berbagai penyesuaian di dalam pernikahan. Proses penyesuaian diri pada pasangan yang baru menikah terjadi pada usia pernikahan 0-5 tahun (Sadarjoen dalam Nadhiroh,

2016). Hassan (dalam Winata, 2013) juga menyatakan bahwa lima tahun pertama pernikahan, pasangan belum memiliki pengalaman bersama yang banyak sehingga perlu dilakukannya proses penyesuaian diri yang tidak hanya dengan pasangan, namun juga dengan keluarga pasangan. Pernikahan ditandai dengan terjalinnya sebuah ikatan yang menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak untuk membangun sebuah keluarga dan menanggung bersama konsekuensi dari hak dan kewajiban dalam sebuah pernikahan (Nurpratiwi, 2010). Untuk menciptakan kesuksesan pada sebuah pernikahan, kedua pasangan harus memenuhi kondisi seperti telah mandiri dan matang, tidak hanya saling mencintai satu sama lain namun juga mencintai diri sendiri, menikmati kesendirian namun tetap menghargai kebersamaan, memiliki pekerjaan yang tetap, mengetahui tentang diri sehingga mampu melakukan evaluasi diri, mampu mengekspresikan diri secara asertif, dan pasangan dapat menjadi teman dan kekasih (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014).

Dari pemaparan diatas diasumsikan bahwa remaja belum mampu untuk melakukan dan menjalani pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adham (dalam Purnawati, 2015) bahwa pasangan yang melangsungkan pernikahan pada usia remaja tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Hal tersebut disebabkan karena remaja belum matang baik secara fisik ataupun mental serta masih memiliki keegoisan yang tinggi. Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa remaja yang masih berada dalam periode pencarian jati diri, emosi yang cenderung labil dan ego yang tinggi, belum siap untuk menjalankan sebuah hubungan pernikahan yang menuntut kedewasaan, siap berkomitmen untuk mempertahankan pernikahan, dapat mengendalikan emosi, dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Mawardi (2012), bahwa remaja yang telah menikah belum bisa mandiri dan masih tergantung dengan orang tua terutama dalam hal pengasuhan anak dan kebutuhan ekonomi. Secara psikologis, remaja masih memiliki keinginan yang kuat untuk bebas tanpa adanya beban tanggung jawab terhadap keluarganya. Remaja yang masih berada dalam kondisi labil juga menyebabkan mereka merasa resah dan marah tanpa alasan yang jelas. Ditambah lagi, masing-masing masih memiliki keinginan untuk diperhatikan dan dimanja. Keinginan untuk tetap bebas, kondisi yang labil serta keinginan untuk tetap diperhatikan dan dimanja dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang kemudian berlanjut dan tidak terselesaikan menyebabkan timbulnya percekcokkan hingga dapat berujung pada perceraian (Mawardi, 2012). Pada saat sebuah pernikahan berujung pada perceraian, menunjukkan bahwa seseorang tidak lagi memiliki komitmen dalam pernikahannya. Seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Prianto, Wulandari, dan Rahmawati (2013) bahwa perceraian disebabkan kurang dipahaminya tujuan pernikahan dan tidak adanya komitmen dalam perkawinan.

Untuk mempertahankan suatu pernikahan, salah satu kunci yang diperlukan adalah komitmen. Penelitian yang dilakukan oleh Mace (dalam Zakiah, 2012) menemukan bahwa komitmen menjadi hal yang paling penting dalam proses untuk mengembangkan pernikahan agar dapat bertahan. Cooper dan Makin (dalam Wulandari, 2009) menyatakan bahwa komitmen perkawinan merupakan suatu keadaan batin untuk tetap mempertahankan hubungan yang meliputi ketergantungan dan rasa percaya bahwa individu tidak akan meninggalkan hubungan tersebut. Menurut Thompson dan Webb (dalam Latifatunnikmah, 2015), komitmen pernikahan adalah pengalaman dari pasangan suami istri yang bersama-sama untuk tetap mempertahankan pernikahannya sebagai fungsi, bagian, dan interaksinya. Komitmen pada pasangan suami istri sejak dahulu diakui sebagai prediktor terkuat dalam menjaga stabilitas pernikahan (Clements & Swenson dalam Latifatunnikmah, 2015).

Ketidaksiapan remaja untuk membangun komitmen pernikahan menjadi landasan dilaksanakannya penelitian ini. Terlebih lagi komitmen merupakan kunci dasar untuk mempertahankan suatu hubungan pernikahan. Adanya komitmen dalam sebuah pernikahan membuat kedua pasangan menjadi saling tergantung dan memiliki rasa kepercayaan satu sama lain (Cooper & Makin dalam Wulandari, 2009). Tidak hanya rasa saling tergantung dan percaya tetapi komitmen juga berpengaruh pada keberhasilan suatu pernikahan (DeGenova dalam Zakiah, 2012). Sebaliknya, ketika tidak adanya komitmen dalam sebuah pernikahan, kedua pasangan akan mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah-masalah dalam pernikahan (Sternberg, 1998).

Meskipun komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja dinilai rentan, namun sebenarnya komitmen tersebut tetap dapat dipertahankan. Hal tersebut sesuai dengan studi pendahuluan yang telah dilakukan bahwa meskipun terdapat hal yang dapat menurunkan komitmen pernikahan, remaja memiliki cara untuk meningkatkan dan mempertahankan komitmen serta memiliki hal-hal yang menjadi alasan remaja tetap mempertahankan komitmennya (Adi, 2017). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ingin mengetahui gambaran permasalahan yang berkaitan dengan gambaran komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja dan hal yang dapat mempertahankan komitmen dalam pernikahan. Rentang usia yang akan diteliti adalah remaja Bali yang menikah di usia 15-19 tahun akibat KTD, mengacu pada data mengenai rentang usia terbanyak terjadinya kasus KTD dengan rentang usia pernikahan yang tidak lebih dari 5 tahun. Rentang usia pernikahan tersebut dipilih karena pasangan melakukan penyesuaian diri terbanyak pada rentang usia pernikahan tersebut. Penelitian akan di lakukan di Bali karena jumlah remaja yang mengakses layanan kesehatan dengan kasus KTD di Bali mengalami peningkatan pada tahun 2017.

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Metode penelitian kualitatif dimanfaatkan untuk beberapa keperluan seperti memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang, memahami isu-isu sensitif, meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang subjek penelitian dan meneliti sesuatu secara mendalam (Moleong, 2016). Menurut Moleong (2016), fokus dalam pendekatan fenomenologi adalah pada pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan interpretasinya terhadap dunia. Pandangan dalam pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya pada orang-orang yang berada dalam situasi tertentu (Moleong, 2016). Pemilihan pendekatan fenomenologi yang fokus pada pengalaman subyektif manusia sesuai dengan tujuan penelitian yaitu bagaimana pengalaman subyektif pasangan remaja terkait dnegan komitmen pernikahan dan hal yang dapat meningkatkan komitmen. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk memahami arti dari suatu peristiwa seperti pernikahan pada usia remaja dan bagaimana kaitan orang-orang yang berada dalam peristiwa tersebut.

Responden Penelitian

Teknik pemilihan responden yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Kriteria responden yang digunakan dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • 1.       Pasangan suami istri remaja usia 10-22 tahun.

  • 2.      Menikah pada usia 15-19 tahun.

  • 3.      Menikah karena terjadi kehamilan tidak diinginkan.

  • 4.       Usia pernikahan tidak lebih dari 5 tahun.

  • 5.       Berdomisili di Bali.

Teknik Penggalian Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.

Wawancara

Menurut Esterberg (dalam Sugiyono, 2016), wawancara adalah pertemuan antara dua orang yang dilakukan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Secara garis besar wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara individual dan joint interview. Hasil wawancara dicatat dalam bentuk narasi dan narasi itulah yang disebut dengan catatan lapangan (fieldnote) (Satori & Komariah, 2017) dan digambarkan secara lebih rinci pada dialog dalam verbatim.

Observasi

Menurut Bungin (dalam Satori & Komariah, 2017) observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Pada penelitian ini, observasi yang digunakan adalah observasi terfokus, yaitu ditujukan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan komitmen pernikahan yang juga merupakan fokus dari penelitian ini, sehingga observasi tidak melihat aktivitas secara keseluruhan dari responden. Hasil observasi dicatat pada bagian interpretasi dalam fieldnote.

Teknik Analisis Data

Data hasil wawancara dan observasi yang kemudian dituliskan ke dalam fieldnote dan verbatim kemudian ditampilkan menggunakan teknik theoretical coding. Coding menurut Strauss dan Corbin (1990) terdiri open coding, axial coding, dan selective coding. Open coding adalah proses merinci, menguji, mengkonseptualisasikan dan melakukan kategorisasi data. Axial coding adalah proses yang dilakukan dengan membuat kaitan antara kategori-kategori yang telah dibuat. Selective coding adalah proses untuk menentukan kategori inti, dengan menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan antar data, dan memasukkannya ke dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk melakukan perbaikan dan pengembangan (Strauss & Corbin, 1990).

HASIL PENELITIAN

Komitmen saat berpacaran dan menikah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil mengenai gambaran komitmen saat berpacaran beserta tindakan dan faktor yang memengaruhi komitmen dan gambaran komitmen saat menikah beserta tindakan dan faktor yang memengaruhi komitmen, yang dapat dijelaskan dalam Bagan 1 (terlampir).

Perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi komitmen pada suami dan istri

Terdapat perbedaan antara faktor-faktor yang memengaruhi komitmen pada istri dan suami yaitu tanggung jawab baik kepada orangtua ataupun anak menjadi suatu yang penting dalam meningkatkan dan mempertahankan komitmen suami, sedangkan istri lebih fokus untuk menjaga hubungan dalam meningkatkan dan mempertahankan komitmen. Menjaga hubungan yang dimaksud adalah saling terbuka dan percaya dengan pasangan, melakukan afirmasi positif seperti masalah masih bisa diatasi dan merasa hubungan harus dipertahankan, serta menunjukkan usaha untuk mempertahankan hubungan. Istri menjadi pihak yang rentan dalam menurunkan komitmen, penurunan komitmen tersebut disebabkan karena adanya konflik dengan mertua dan kesalahpahaman role sehingga hubungan baik dengan mertua dan kejelasan dalam pembagian peran menjadi hal yang dapat mempertahankan komitmen.

Komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja Peneliti menemukan bahwa komitmen pada pasangan usia remaja telah dibangun sejak pacaran. Pada pasangan usia remaja komitmen yang telah terbentuk hanya terdiri dari komitmen berdasarkan perasaan. Setelah menikah, komitmen tersebut kemudian berkembang dan tidak lagi hanya terdiri dari komitmen berdasarkan perasaan namun juga komitmen berdasarkan pemikiran dan perilaku yang secara rinci adalah komitmen berdasarkan perasaan mencakup kesetiaan kepada pasangan, komitmen berdasarkan pikiran mencakup keinginan menjaga hubungan, saling percaya, dan saling mengerti terhadap pasangan,  dan komitmen berdasarkan perilaku

mencakup menyelesaikan masalah yang ada berdua dan menjalankan hubungan dengan santai sehingga tidak membosankan dan nyaman.

Dalam mempertahankan komitmen pada pasangan usia remaja, diperlukan serangkaian tindakan aktif yang kemudian dipengaruhi oleh faktor yang mampu meningkatkan dan mempertahankan komitmen serta faktor yang mampu menurunkan komitmen. Pada komitmen pasangan usia remaja, terkadang muncul ambivalen antara tindakan yang digunakan untuk mempertahankan komitmen dengan tataran internal mereka seperti ego yang tinggi, ambiguitas yang mencangkup cemburu, komunikasi tidak lancar, mendengar berita burung mengenai suami, serta kurangnya waktu dan perhatian dari pasangan, serta penilaian pasangan terhadap cara suami/istri menyelesaikan masalah yang terdiri dari pasangan tidak merespon, pasangan tidak berbicara baik-baik saat menyelesaikan masalah, dan pasangan ngambek.

Pada suami ditemukan bahwa pembuktian kepada masyarakat merupakan suatu hal yang penting untuk mempertahankan komitmen sedangkan pada istri, dukungan keluarga menjadi hal penting dalam mempertahankan komitmen. Pembuktian kepada masyarakat yang ditunjukkan suami mencangkup tanggung jawab kepada orangtua dan anak, namun apa yang dialami istri seperti konflik dengan mertua dan tuntutan akan kejelasan pembagian peran dari sisi istri terhadap suami menyebabkan istri sangat rentan untuk menurunkan komitmen yang dimiliki. Hal tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 2 (terlampir).

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja telah terbentuk sejak berpacaran dan kemudian mengalami perkembangan hingga menikah. Latifatunnikmah (2015) mengatakan bahwa komitmen pernikahan dapat terbentuk mulai dari sebelum menikah dan dipertahankan hingga setelah pernikahan. Pada pasangan remaja, komitmen yang dimiliki ketika berpacaran adalah komitmen berdasarkan perasaan, namun ketika menikah komitmen pasangan berkembang menjadi komitmen berdasarkan pemikiran dan perilaku.

Komitmen berdasarkan perasaan yang muncul pada pasangan remaja ketika berpacaran merupakan bentuk perkembangan psikososial yang dialami remaja. Pada masa ini, remaja mulai mengembangkan kepercayaan yang tidak hanya pada dirinya sendiri namun juga kepada orang yang dicintai. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Papalia, Old, dan Feldman (2011) bahwa remaja tidak hanya mengembangkan kepercayaan pada dirinya sendiri tetapi juga memperluas kepercayaannya pada mentor dan orang yang dicintainya. Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh tiga hal berikut yaitu:

Gambaran komitmen pasangan remaja ketika menikah Perkembangan komitmen yang terjadi pada remaja yang telah menikah merupakan suatu bentuk pengembangan keterampilan yang memang terjadi selama masa remaja hingga dewasa sebagai persiapan untuk menjalankan tuntutan dalam menjadi anggota masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Santrock (2007) bahwa masa remaja hingga dewasa dapat berlangsung lama sampai remaja mengembangkan berbagai

keterampilan yang lebih efektif untuk menjadi anggota penuh dari masyarakat.

Perkembangan komitmen tersebut juga terjadi akibat mulai adanya tuntutan dari masyarakat bahwa mereka sudah berubah peran menjadi pasangan suami istri dan memiliki tanggung jawab baru. Perubahan peran dan tanggung jawab ini menyebabkan pasangan remaja kemudian mengembangkan komitmen yang dimiliki. Perkembangan komitmen yang terjadi juga merupakan bentuk penyesuaian diri kedua pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga sebagai suami istri, dimana komitmen mereka tidak hanya dipengaruhi oleh keluarga ataupun pasangan seperti ketika berpacaran, namun juga dipengaruhi oleh kehadiran anak dan penilaian dari masyarakat. Penyesuaian diri yang dilakukan pasangan remaja sejalan dengan pendapat Havighurst (dalam Hurlock, 1993) bahwa pasangan yang telah menikah, pada tahap tertentu kehidupan pernikahannya dituntut untuk lebih menyesuaikan diri satu sama lain dengan pasangan hidupnya.

Dalam hasil penelitian yang telah dipaparkan, komitmen berdasarkan perasaan yaitu rasa saling percaya saat berpacaran mengalami perubahan menjadi setia setelah menikah. Kesetiaan yang dijadikan sebagai komitmen dalam hubungan pernikahan menunjukkan bahwa individu memiliki harapan untuk dapat menghabiskan kehidupan bersama dan berharap hubungan akan berlanjut hingga ke masa depan. Kesetiaan kepada pasangan juga menunjukkan bahwa individu tidak memperhitungkan adanya alternatif lain seperti orang ketiga dalam hubungannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sternberg (1998) bahwa individu yang memiliki komitmen kepada pasangannya akan bersikap setia dan tidak memberikan kesempatan pada orang lain untuk merusak hubungan tersebut.

Dalam komitmen pernikahan pasangan usia remaja muncul dua komitmen baru yaitu komitmen berdasarkan pemikiran dan komitmen berdasarkan perilaku. Komitmen berdasarkan pemikiran yang ditunjukkan pasangan remaja adalah keinginan menjaga hubungan, saling percaya, dan saling mengerti. Keinginan menjaga hubungan merupakan bentuk orientasi jangka panjang untuk mempertahankan hubungan yang dimiliki. Keputusan untuk setia dengan pasangan menumbuhkan keinginan dalam diri individu untuk terus bersama dan menjalin hubungan bersama pasangan. Keinginan ini menghasilkan keputusan untuk tetap menjaga hubungan dan keharmonisan dalam rumah tangga karena individu memiliki perasaan bahwa mereka telah membangun hubungan ini bersama sehingga mereka harus menjaga dan mempertahankan hubungan tersebut bersama-sama. Sejalan dengan pendapat Sternberg (1998) bahwa individu yang telah berkomitmen untuk setia akan mempertahankan pasangan dan menjaga hubungan dengan pasanganya agar tetap stabil.

Saling percaya merupakan komitmen berdasarkan pemikiran yang ditunjukkan pasangan remaja dalam hubungannya. Individu yang telah memutuskan untuk berkomitmen dengan pasangan akan menumbuhkan kepercayaan kepada pasangan. Dalam komitmen saling percaya ini, pasangan juga tidak hanya memberikan kepercayaan kepada pasangan, namun juga

berusaha untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan pasangan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2016) bahwa dengan adanya komitmen, pasangan dapat menjaga hubungan dan saling membangun kepercayaan.

Komitmen berdasarkan pemikiran terakhir yang ditunjukkan pasangan remaja adalah saling mengerti. Pengertian yang diberikan kepada pasangan terhadap kesibukan masing-masing dapat meminimalisir timbulnya konflik dengan pasangan. Minimnya konflik yang terjadi karena sikap saling mengerti dapat menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmadani (2013) bahwa peningkatan keharmonisan menyebabkan suami istri menjadi lebih mengerti terhadap pekerjaan pasangan masing-masing.

Setia, saling percaya, dan saling mengerti antar pasangan menunjukkan bahwa pasangan memiliki kepuasan akan hubungan yang dijalaninya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Meinatun (2013) bahwa kepuasan dalam suatu pernikahan dapat terlihat dari adanya komunikasi, kepercayaan dan kesetiaan, saling pengertian, kerjasama dalam pengasuhan anak, pemenuhan materi, dan adanya rasa empati. Kepuasan yang dirasakan individu karena adanya kesetiaan, rasa saling percaya dan mengerti kepada pasangan menunjukkan bahwa individu memiliki komitmen dalam hubungan yang dijalani. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2014) bahwa kepuasan dalam pernikahan berhubungan dengan komitmen dalam pernikahan. Pada komitmen berdasarkan perilaku, responden berusaha untuk menyelesaikan masalah berdua dan menjalankan hubungan dengan santai sehingga hubungan menjadi tidak membosankan dan nyaman. Dalam sebuah hubungan, konflik merupakan suatu hal yang wajar terjadi sehingga tidak menjadi masalah jika muncul konflik dalam hubungan pernikahan namun yang harus ditekankan adalah bagaimana kedua pasangan berusaha untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi bersama. Sejalan dengan pendapat Sternberg (1998) bahwa individu yang tetap memegang komitmen dalam hubungannya akan bertahan untuk menjalani hubungan dengan pasangannya meskipun ada kalanya terdapat konflik dan permasalahan dalam hubungan yang sulit dihadapi.

Adanya keputusan untuk setia dan tetap mempertahankan hubungan dengan pasangan menandakan bahwa individu menyadari bahwa ia akan hidup lama dengan pasangan yang telah dipilihnya. Dalam menjaga hubungan tersebut agar bertahan lama, individu berusaha untuk menjalankan hubungan dengan santai sehingga hubungan menjadi nyaman dan terhindar dari perasaan bosan yang sangat mungkin muncul. Hubungan yang santai diartikan bahwa hubungan antar pasangan tidak hanya sebatas sebagai suami istri namun bisa menjadi pacar, teman ataupun saudara serta tidak kaku dalam menjalankan hubungan pernikahan.

Ambivalen antara tindakan mempertahankan komitmen dan kualitas internal dalam diri pasangan

Dalam mempertahankan komitmen pernikahan yang telah terbentuk, pasangan remaja menunjukkan beberapa tindakan aktif guna mempertahankan komitmen yang dimiliki, namun dalam perjalanannya terkadang ditemukan kondisi dimana

tindakan yang ditunjukkan ambivalen dengan kualitas-kualitas yang ada pada pasangan itu sendiri seperti ego yang tinggi, ambiguitas, dan penilaian pasangan terhadap cara suami atau istri menyelesaikan masalah.

Santrock (2007) mengatakan bahwa ego yang tinggi membuat remaja memandang bahwa dirinya unik dan tidak terkalahkan. Ego yang tinggi pada diri pasangan remaja menyebabkan munculnya pandangan tidak terkalahkan sehingga pasangan tetap berusaha untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Keegoisan yang tinggi pada remaja menyebabkan remaja hanya fokus pada dirinya sendiri dan kurang mampu memahami pendapat yang dikemukakan pasangan. Ego yang tinggi dan ketidakmampuan memahami pasangan inilah yang dapat memicu timbulnya konflik atau pertengkaran dalam rumah tangga. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnawati (2015) bahwa pasangan yang menikah di usia remaja umumnya belum memahami satu sama lain dengan sifat keegoisan yang tinggi dan belum matangnya fisik maupun mental dalam membina rumah tangga menyebabkan timbulnya pertengkaran.

Selain kurangnya pemahaman mengenai pasangan, ego yang tinggi juga memicu timbulnya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai suami istri. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhasanah dan Susetyo (2014) bahwa pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia remaja tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental dan cenderung memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Ketidakpahaman mengenai pasangan dan hak serta kewajiban sebagai suami istri inilah yang menyebabkan pasangan remaja terhambat dalam menyelesaikan konflik rumah tangga yang muncul akibat masih tingginya ego masing-masing.

Konflik-konflik yang muncul dalam rumah tangga juga dipicu oleh ketidakstabilan emosi yang dimiliki remaja. Seperti yang dikatakan Santrock (2007) bahwa pada masa remaja, seseorang akan mengalami fluktuasi emosi. Emosi yang tidak stabil sehingga menimbulkan konflik sejalan dengan penelitian yang dilakukan Purnawati (2015) bahwa emosi yang tidak stabil memungkinkan terjadinya pertengkaran jika menikah di usia remaja dan penelitian oleh Nurhasanah dan Susetyo (2014) bahwa perkawinan usia remaja akan menimbulkan berbagai masalah dalam rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokkan, bentrokan antar suami istri akibat emosi yang tidak stabil.

Kualitas dalam diri pasangan yang juga ambivalen dengan tindakan untuk mempertahankan komitmen adalah ambiguitas. Ambiguitas yang muncul seperti rasa cemburu, komunikasi yang tidak lancar, mendenger kabar burung mengenai pasangan, serta kurangnya waktu dan perhatian dari pasangan menyebabkan komitmen yang dimiliki pasangan remaja menurun. Komunikasi yang tidak lancar dengan pasangan menyebabkan timbulnya perasaan cemburu atau lebih mendengarkan kabar burung mengenai pasangan, hal tersebut disebabkan karena satu sama lain tidak memahami keadaan pasangan ketika tidak berada bersama mereka atau belum

memahami secara mendalam bagaimana pasangan sehingga muncul perasaan curiga dan lebih mendengarkan perkataan orang lain.

Komunikasi menjadi suatu hal yang penting dalam mempertahankan komitmen, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Adelina dan Andromeda (2014) bahwa semakin tinggi kualitas komunikasi semakin tinggi komitmen perkawinan dan semakin rendah kualitas komunikasi maka semakin rendah komitmen perkawinan. Komunikasi yang dilakukan akan membuat pasangan suami istri saling bertoleransi dan memahami sehingga dapat membuat pasangan semakin menyayangi dan merasakan kepuasan baik dengan pasangan maupun dengan hubungan itu sendiri. Kepuasan pada pasangan merupakan salah satu indikator komitmen perkawinan.

Tidak hanya komunikasi yang lancar dengan pasangan, intensitas pertemuan dengan pasangan juga dapat memengaruhi komitmen yang dimiliki. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Latifatunnikmah (2015) bahwa dalam pernikahan, terdapat faktor yang memengaruhi komitmen pernikahan yang tinggi dilihat dari komunikasi pasangan yang terbuka dan setara, dan semakin banyaknya waktu bersama pasangan. Berdasarkan hal tersebut maka ketika komunikasi antar pasangan tidak lancar dan waktu yang dirasa kurang bersama pasangan dapat menyebabkan komitmen yang dimiliki menurun.

Ambiguitas lainnya adalah penilaian pasangan terhadap cara suami atau istri menyelesaikan masalah. Ada perbedaan pada suami dan istri dalam menilai pasangannya. Pada istri cenderung menilai bahwa suami adalah orang yang cuek dan tidak berbicara secara baik-baik saat menyelesaikan suatu masalah. Penilaian yang berbeda juga dirasakan oleh suami bahwa istrinya akan menunjukkan sikap ngambek ketika ada masalah dalam hubungan mereka. Perbedaan ini muncul karena adanya sifat-sifat khas yang ada dalam diri laki-laki dan perempuan. Pada diri laki-laki erat dikaitkan dengan aspek maskulinitas sedangkan perempuan dikaitkan dengan aspek feminimitas. Menurut Brannon (2011), aspek maskulinitas yang ada pada laki-laki seperti agresif dan cuek serta aspek feminim dalam diri perempuan adalah sensitif dan lebih emosioanal. Aspek pada masing-masing jenis kelamin inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan pada cara masing-masing jenis kelamin dalam menyelesaikan masalah.

Perbedaan penilaian mengenai cara pasangan menyelesaikan masalah juga disebabkan oleh adanya perbedaan gaya komunikasi antara maskulin dan feminim. Istri dengan gaya komunikasi feminim menilai suaminya, tidak merespon dan tidak berbicara baik-baik kepada istri ketika menyelesaikan masalah. Penilaian ini dikarenakan gaya komunikasi feminim menggunakan cara yang lebih afiliatif dan berharap dapat menjalin persahabatan (Jane Tear dalam Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014). Cara inilah yang menyebabkan menurunnya komitmen pada istri karena cara suami yang tidak merespon dan tidak berbicara baik-baik kepada istri ketika menyelesaikan masalah tidak sesuai dengan gaya komunikasi istri yang cenderung berbicara untuk dapat terhubung dengan

orang lain. Sedangkan dari sisi suami, respon tersebut ditunjukkan karena gaya komunikasi maskulin yang menggunakan cara percakapan yang kompetitif dan tetap mempertahankan dominasi dalam hubungan (Jane Tear dalam Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014). Cara percakapan inilah yang menyebabkan suami, tidak berbicara baik-baik kepada istri ketika menyelesaikan masalah karena terbiasa dengan cara komunikasi yang kompetitif dan tetap berusaha mempertahankan dominansinya. Perbedaan gaya komunikasi inilah yang seringkali menyebabkan kesalahpahaman dalam penyelesaian masalah antara suami dan istri.

Hal yang dapat mempertahankan komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja

Meskipun terdapat ambivalen antara tindakan untuk mempertahankan komitmen dengan kualitas-kualitas dalam diri pasangan yang kemudian menyebabkan komitmen menurun, komitmen dalam pernikahan pasangan usia remaja tetap dapat dipertahankan. Dalam hal ini, suami menjadi kunci dalam mempertahankan komitmen pernikahan. Ketika suami mampu untuk memberikan pembuktian kepada masyarakat dengan memperlihatkan tanggung jawab baik kepada orangtua ataupun keluarga maka komitmen dalam pernikahan dapat dipertahankan. Disisi lain, istri menjadi kelompok yang rentan untuk menurunkan komitmen yang disebabkan oleh konflik dengan mertua dan tuntutan akan pembagian peran yang jelas dalam keluarga.

Pembuktian kepada masayarakat yang ditunjukkan suami dengan menunjukkan tanggung jawab kepada orantua dan anak menjadi cara suami untuk mempertahankan komitmen. Selain sebagai cara mempertahankan komitmen, pembuktian ini merupakan salah satu kebutuhan yang memang dimiliki oleh manusia. Dalam hierarki kebutuhan Maslow (dalam Feist & Feist, 2010), manusia memiliki kebutuhan akan penghargaan yang dapat dibagi menjadi dua yaitu reputasi dan harga diri. Reputasi merupakan persepi akan pengakuan atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain, sedangkan harga diri adalah keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan, dan kepercayaan diri dihadapan dunia yang didasari oleh kemampuan nyata. Remaja mengatakan bahwa pernikahan di usia remaja menyebabkan masyarakat memandang rendah terhadap keluarga dan dirinya. Adanya dorongan dari dalam diri untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan menyebabkan individu ingin mengembalikan reputasi keluarga dan individu sendiri yang menurutnya menurun akibat pernikahan di usia remaja yang dilakukan. Peningkatan reputasi tersebut dilakukan remaja dengan membuktikan kepada masyarakat bahwa pernikahan di usia remaja tidak selamanya buruk. Pembuktian tersebut juga sekaligus meningkatkan harga diri remaja bahwa meskipun menikah di usia remaja, mereka tetap mampu membanggakan orangtua dengan menjadi sarjana, membentuk keluarga yang baik, dan mampu mengurus keluarga baik pasangan ataupun anak.

Tanggung jawab terhadap keluarga sebagai pembuktian kepada masyarkat yang ditunjukkan oleh suami merupakan bentuk perwujudan sifat maskulinitas yang melekat pada laki-laki. Menurut deskripsi sifat stereotip oleh Rosenkrants (dalam Brannon, 2011) bahwa laki-laki memiliki sifat stereotip salah

satunya adalah menjadi pemimpin. Sifat sebagai pemimpin tersebut yang menyebabkan suami sebagai laki-laki berusaha menunjukkan tanggung jawabnya terhadap keluarga kepada masyarakat sebagai kepala rumah tangga.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa istri menjadi kelompok yang rentan untuk menurunkan komitmen disebabkan oleh konflik dengan mertua dan tuntutan akan pembagian peran yang jelas dalam keluarga. Setelah menikah, pasangan suami istri remaja tinggal bersama di rumah orangtua suami karena belum mampu memiliki rumah sendiri. Istri yang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah untuk mengurus rumah dan anak menyebabkan istri lebih sering bertemu dengan mertua. Menurut Wetter (dalam Brannon, 2011) dalam elemen stereotip laki-laki dan perempuan bahwa domain perempuan adalah di rumah. Istri melakukan penyesuaian diri yang lebih besar setelah menikah karena setelah menikah mereka tinggal bersama mertua dibandingkan laki-laki yang tetap tinggal bersama orangtua. Intensitas pertemuan yang lebih banyak dan penyesuaian diri yang harus dijalani istri inilah yang menyebabkan istri lebih rentan berkonflik dengan mertua.

Bantuan dan dukungan dari mertua menjadi hal positif dalam pernikahan di usia remaja, baik bantuan secara finansial, nasehat ataupun pengasuhan anak. Dukungan keluarga yang didapatkan individu yang kemudian memengaruhi komitmen pernikahan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayuningtyas (2015). Penelitian tersebut menemukan bahwa dukungan sosial keluarga berkontribusi terhadap kepuasan pernikahan, yang berarti semakin tingginya dukungan sosial yang diberikan maka semakin tinggi pula kepuasan pernikahan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2014) bahwa kepuasan dalam pernikahan berhubungan dengan komitmen dalam pernikahan. Berdasarkan kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial yang diberikan keluarga dapat memengaruhi komitmen dalam pernikahan sehingga ketika adanya hubungan yang tidak baik atau konflik dengan mertua, akan memengaruhi bagaimana komitmen yang dimiliki istri dalam hubungan pernikahannya.

Tidak hanya konflik dengan mertua, istri juga memiliki tuntutan akan pembagian peran yang jelas dalam keluarga. Adanya tuntutan ini disebabkan karena kesalah pahaman mengenai role dalam pekerjaan rumah tangga. Menurut temuan Meier, McNaughton-Cassill, dan Lynch (dalam Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014) mengenai distribusi pekerjaan keluarga menurut jenis kelamin, persepsi keadilan mengenai pembagian tanggung jawab rumah tangga adalah prediktor yang lebih mungkin terjadi dalam perselisihan pernikahan dibandingkan perilaku sebenarnya. Dalam hal ini istri merasa bahwa suami yang bekerja di luar rumah lebih santai dibandingkan dengannya yang harus mengurus rumah dan anak.

Istri menilai bahwa pekerjaannya mengurus segala sesuatu mengenai anak lebih berat dibandingkan pekerjaan yang dilakukan suami. Menurut Meier, McNaughton-Cassill, dan Lynch (dalam Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014), istri

melakukan pekerjaan mental yaitu pekerjaan yang menyangkut masalah anak, dan pengelolaan pembagian kerja lebih banyak dibandingkan laki-laki. Ditambah lagi, istri yang merasa bahwa pekerjaan suami lebih santai menuntut agar suami menolongnya mengurus anak setelah pulang bekerja. Kesalahpahaman istri inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya tuntutan istri akan keadilan dalam pembagian tugas rumah tangga. Persepsi istri mengenai ketidakadilan dalam pembagian tugas ini menyebabkan timbulnya kesalahpahaman yang kemudian menurunkan komitmen dalam pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat oleh Meier, McNaughton-Cassill, dan Lynch (dalam Olson, DeFrain, & Skogrand, 2014) bahwa pembagian kerja mental yang tidak seimbang memengaruhi kepuasan pernikahan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja rentan untuk mengalami penurunan tetapi komitmen tersebut tetap dapat dipertahankan. Komitmen dapat dipertahankan ketika suami mampu menunjukkan pembuktian dan tanggung jawab. Ditambah istri yang juga bisa mengatasi konflik dengan mertua dan tuntutan terhadap peran, dimana istri tidak terlalu menuntut dan mampu fleksibel.

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini terletak pada proses pengambilan data yang dilakukan yaitu catatan lapangan. Peneliti mengalami kesulitan untuk fokus pada beberapa hal sekaligus seperti melakukan wawancara, memperhatikan respon non-verbal responden, dan sekaligus mencatat respon non-verbal. Hal tersebut menyebabkan catatan lapangan yang dibuat kurang detail dan peneliti melewatkan informasi nonverbal yang mungkin saja penting dalam penelitian ini. Keterbatasan penelitian dalam kurang detailnya hasil dari catatan lapangan terutama terjadi pada proses joint interview.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja telah terbentuk sejak berpacaran dan kemudian mengalami perkembangan hingga menikah. Pada saat berpacaran, pasangan remaja telah membentuk komitmen berdasarkan perasaan yaitu rasa saling percaya. Gambaran komitmen pasangan remaja ketika menikah mengalami perkembangan jika dibandingkan dengan komitmen ketika berpacaran. Pada saat menikah komitmen pasangan remaja tidak hanya terdiri dari komitmen berdasarkan perasaan, melainkan mengalami perkembangan yaitu terdiri dari komitmen berdasarkan pemikiran dan komitmen berdasarkan perilaku. Komitmen berdasarkan perasaan yaitu setia. Komitmen berdasarkan pemikiran yaitu keinginan menjaga hubungan, saling percaya, dan saling mengerti sedangkan komitmen berdasarkan perilaku yaitu menyelesaikan masalah yang ada berdua dan menjalankan hubungan dengan santai sehingga hubungan tidak membosankan dan nyaman.

Adanya kondisi ambivalen antara tindakan untuk mempertahankan komitmen dengan kualitas-kualitas yang ada pada pasangan itu sendiri seperti ego yang tinggi, ambiguitas, dan penilaian pasangan terhadap cara suami atau istri

menyelesaikan masalah. Komitmen pada pasangan yang menikah di usia remaja dapat dipertahankan ketika suami mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa pernikahan di usia remaja tidak selamanya negatif dengan menunjukkan tanggung jawab kepada keluarga dan istri yang mendapat dukungan keluarga serta mampu mengatasi konflik yang terjadi dengan mertua dan tuntutan terhadap peran.

Saran

Adapun hal-hal yang dapat direkomendasikan oleh peneliti antara lain sebagai berikut:

Saran kepada pasangan yang menikah di usia remaja

Pasangan Remaja

Kepada pasangan yang menikah di usia remaja, disarankan untuk belajar mengendalikan ego dan menjaga kestabilan emosi dengan mengikuti pelatihan manajemen emosi. Pasangan remaja juga dapat mengikuti pelatihan empati untuk dapat meningkatkan komunikasi yang efektif dan lebih memahami pasangan sehingga remaja mampu melakukan tindakan-tindakan untuk mempertahankan komitmen dalam pernikahan.

Suami

Pembuktian kepada masyarakat merupakan suatu hal yang penting bagi suami sehingga diharapkan suami mampu mencari pekerjaan guna memenuhi tanggung jawab untuk menghidupi istri dan anak. Suami juga diharapkan menjadi sosok kepala rumah tangga yang mampu mengatur keluarga sehingga suami bisa mendapatkan pengakuan baik dari istri, keluarga, dan orang-orang sekitar.

Istri

Dukungan keluarga menjadi suatu hal yang penting bagi istri maka disarankan agar istri menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan mertua dan lebih meningkatkan pengertian terhadap pekerjaan pasangan serta fleksibel dalam menanggapi pembagian peran dalam rumah tangga.

Saran kepada pihak keluarga

Kepada pihak keluarga disarankan tetap memberikan dukungan kepada pasangan remaja yang telah menikah, mengingat bahwa dukungan keluarga menjadi salah satu faktor yang dapat membuat pasangan remaja mampu mempertahankan komitmennya. Dukungan yang diberikan berkaitan dengan :

Kemauan suami untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat

Dukungan keluarga memang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan komitmen, namun keluarga perlu memberikan kesempatan kepada suami untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu secara mandiri untuk bertanggung jawab kepada keluarganya.

Konflik yang terjadi antara istri dan mertua

Dukungan yang dapat diberikan keluarga terutama oleh mertua adalah berusaha mengkomunikasikan setiap masalah kepada menantu dan berdiskusi untuk menemukan pemecahan masalah sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hubungan antara mertua dan menantu.

Saran kepada masyarakat

Disarankan kepada masyarakat untuk menurunkan stigma negatif terhadap pasangan yang menikah di usia remaja. Hal tersebut dikarenakan belum tentu semua remaja mampu menjadikan stigma negatif dari masyarakat sebagai dorongan

untuk membuktikan bahwa menikah di usia remaja tidak selalu menjadi hal yang negatif.

Saran kepada pemerintah

Pemerintah bisa memberikan konseling atau melakukan pelatihan-pelatihan yang mampu membantu pasangan remaja untuk menghadapi pernikahan, seperti pelatihan mengenai pengembangan karir dan kesempatan kerja atau seminar mengenai kewirausahaan bagi pasangan remaja terutama suami yang memiliki keinginan untuk menunjukkan tanggung jawabnya kepada keluarga sebagai bentuk pembuktian kepada masyarakat, pelatihan manajemen emosi dan konflik bagi pasangan remaja terutama istri yang harus mampu mengelola emosi dan menghadapi konflik dengan mertua, dan seminar mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam pernikahan dan pembagian peran yang fleksibel bagi pasangan remaja sehingga mereka mampu memahami hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri dalam pernikahan.

Saran kepada peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti aspek lain dalam pernikahan di usia remaja yang nantinya dapat menjadi saran bagi pasangan remaja untuk memperhatikan aspek lain selain komitmen yang dapat membantu pasangan remaja dalam mempertahankan pernikahan, dan meneliti fenomena komitmen pernikahan di usia remaja dari sudut pandang keluarga sehingga dapat membantu memberikan informasi kepada keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang telah menikah di usia remaja mengenai dukungan apa saja yang diperlukan remaja agar dapat mempertahankan komitmen pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Adelina, R. A. A., & Andromeda. (2014). Pasangan dual karir: hubungan kualitas komunikasi dan komitmen perkawinan di Semarang. Developmental and Clinical Psychology, 3(1), 51-58.

Adhim, M. F. (2002). Indahnya pernikahan dini. Jakarta: Gema Insani           Press.           Tersedia           dari

http://eookdownloadfull.blogspot.co.id/2016/10/indahnya-pernikahan-dini.html

Adi, W. M. (2017). Gambaran komitmen pernikahan pada remaja yang menikah akibat KTD. (artikel tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi, Fakultas Kdokteran, Universitas Udayana, Bali.

Agustian, H. (2013). Gambaran kehidupan pasangan yang menikah di usia muda di Kabupaten Dharmasraya. SPEKTRUM PLS, 1(1), 205-217.

Amalia, E. H., & Azinar, M. (2017). Kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Higeia: Journal of Public Health Research and Development, 1(1), 1-7.

Ayuningtyas, S. R. (2015). Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah di usia muda. Skripsi, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.                 Diakses                 dari

http://repository.uksw.edu/handle/123456789/9148

Bancroft, J. (2009). Human sexuality and its problems (3rd ed.). New York: Churchill Livingstone Elsevier.

Brannon, L. (2011). Gender : psychological perspectives (6th ed). USA: Pearson.

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and development (6th ed). USA: Hurper & Row Publisher, Inc.

Feist, J., & Feist, G. J. (2014). Teori kepribadian (7th ed.). Jakarta: Salemba Humanika

Handayani, Y. (2016). Komitmen, conflict resolution, dan kepuasan perkawinan pada istri yang menjalani hubungan pernikahan jarak jauh (karyawan Schlumberger Balikpapan). PSIKOBORNEO, 4(3), 518-529.

Haryani, A. (2014). Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dan sikap kehamilan pranikah dengan upaya pencegahan kehamilan pranikah pada remaja. Skripsi,  Surakarta:

Universitas     Sebelas     Maret.     Diakses     dari

http://eprints.uns.ac.id/21212/1/cover..pdf

Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (5th ed). Jakarta: Erlangga.

Ibrahim. (2015). Metodologi penelitian kualitatif : panduan penelitian beserta contoh proposal kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Karniyanti, N. K. (2017). Peran kontrol diri dan asertivitas pada sikap terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja akhir perempuan di Bangli. Skripsi (tidak dipulikasikan), Denpasar: Universitas Udayana

Kisara PKBI Bali. (2016). Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada Remaja. Diakses pada 5 Maret 2017, dari http://www.kisara.or.id/artikel/kehamilan-tidak-diinginkan-ktd-pada-remaja.html

Kurniawan, T. (2009). Hubungan antara interaksi teman sebaya dan konsep diri dengan intensi perilaku seks pranikah pada remaja. Skripsi, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses dari http://eprints.ums.ac.id/3616/

Latifatunnikmah. (2015). Komitmen pernikahan pada pasangan

suami istri bekerja. Skripsi, Surakarta:  Universitas

Muhammadiyah      Surakarta.      Diakses      dari

http://eprints.ums.ac.id/34151/1/NASKAH%20PUBLIKAS I.pdf

Lehmiller, J. J. (2014). The psychology of human sexuality . United Kingdom: Willey Blackwell.

Mawardi, M. (2012). Problematika perkawinan di bawah umur. Jurnal "Analisa", 19(2), 201-212.

Meinatum, M. (2013). Kepuasan pernikahan pada istri yang menjalani pernikahan jarak jauh (long distance marriage). Skripsi, Semarang: Universitas Diponegoro. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/38260/

Miller, R. S., Perlman, D., & Brehm, S. S. (2007). Intimate

Relationship (4th ed). New York: Mc Graw Hill, Inc.

Moleong, L. J. (2016). Metode penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nadhiroh, S. (2016). Hubungan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen      Satya      Wacana.      Diakses      dari

http://repository.uksw.edu/handle/123456789/10191

Nurhasanah, U., & Susetyo. (2014). Perkawinan usia muda dan perceraian di Kampung Kotabaru Kecamatan Padangratu Kabupaten Lampung Tengah. Jurnal Sosiologi, 15(1), 3441.

Nurpratiwi, A. (2010). Pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal. Skripsi,   Jakarta:   Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.                Diakses                dari

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/255 7

Olson, D. H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2014). Marriage and families : intimacy, diversity, and strengths (8th ed). New York: McGraw-Hill Higher Education.

Papalia, D.E., Old, S. W., & Feldman, R.D. (2011). Human development : psikologi perkembangan (9th ed). Jakarta: Kencana.

Papalia, D.E., Old, S. W., & Feldman, R.D. (2013). Human

development : perkembangan manusia (10th ed). Jakarta: Salemba Humanika.

Prianto, B., Wulandari, N. W., & Rahmawati, A. (2013). Rendahnya komitmen dalam perkawinan sebagai sebab perceraian. Jurnal     Komunitas,      5(2),     208-218.     doi:

10.15294/komunitas.v5i2.2739

Purnawati, L. (2015). Dampak perkawinan usia muda terhadap pola asuh keluaerga (studi di Desa Talang Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung). Jurnal PUBLICIANA, 8(1), 118.

Purnomo, S. H. (2013). Dampak perkawinan usia dini terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga di Kota Salatiga Jawa Tengah.  Skripsi,  Salatiga: Universitas Kristen Satya

Wacana.                 Diakses                 dari

http://repository.uksw.edu/handle/123456789/7029

Rachmadani, C. (2013). Strategi komunikasi dalam mengatasi konflik rumah tangga mengenai perbedaan tingkat penghasilan di RT.29 Samarinda Seberang. eJournal Ilmu komunikasi, 1(1), 212-228.

Rosenthal, M. S. (2013). Human sexuality : from cells to society. Canada: Wadsworth Cengange Learning.

Santrock, J. W. (2007). Remaja (11th ed.). Jakarta: Erlangga.

Sari, Y. W. A. (2016). Faktor penyebab pernikahan dini di Kelurahan Sampara Kabupaten Konawe. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(4), 6-10.

Sarwono, S. W. (2015). Psikologi remaja (edisi revisi). Jakarta: Rajawali Pers.

Satori, D., & Komariah, A. (2017). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sternberg, R. J. (1998). Cupids’s arrow. United Kingdom: Cambridge University Press.

Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research : grounded theory procedures and techniques. USA: Sage Publication.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Trimingga, D. A. (2008). Penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia remaja yang hamil sebelum menikah. Humanitas, 14(2), 3-15.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Diakses pada 7             Maret             2017,             dari

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm

Wilson, A. D., Onwuegbuzie, A. J., & Manning, L. P. (2016). Using paired depth interviews to collect qualitative data. The Qualitative Report, 21(9), 1549-1573.

Winata, S. Y. (2013). Strategi manajemen konflik interpersonal pasangan suami istri (pasutri) yang hamil di luar nikah. Jurnal e-komunikasi. 1(2). 117-127

Wulandari, D. A. (2009). Kajian dalam faktor-faktor komitmen dalam perkawinan. PSYCHO IDEA, 7(1), 1-10.

Wulandari, D. A. (2014). Komitmen pada perkawinan ditinjau dari kepuasan dalam perkawinan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP, 161-165.

Zakiah, A. (2012). Hubungan antara komponen komitmen dari cinta dengan kesiapan menikah pada dewasa muda. Skripsi, Depok:    Universitas Indonesia.    Diakses dari

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20355070-S-

Azaria%20Zakiah.pdf

LAMPIRAN


Bagan 1


Komitmen Saat Berpacaran dan Menikah



Faktor w MemeiizarJii Komitmen Sazt Menikali

Meningkatkan dan Mempertahankan

Menururkai:

a Internal

  • 1.    Cinta

b Eksternal

  • I.    Azsk

  • 2    Dukunsn keluarga

  • 3.    Pembuktian kepada Iiiisyarakst

  • 4.    Pasangsn menunjukkan LedetVZSiZin dan bertanggungjawab

a Internal

  • 1    Ego tinggi Sehinggakukuh pada pendapat masing-masing

  • 2    Ambiguitas

  • a Cemburu

  • b Komunikasi Iidaklancar

  • c Mendensr berita burung mengenai suami

  • d KurangwakTu dan perhatian dari pasangan

  • 3 Penilaian pasangan terhadap cara suami istri menyelesaikan masalah

a Pasangantidakmerespon

b Pasangan tidak berbicara baik-baik saat menyelesaikan masalah

c Pasangsnngsmbek


Gambar» Komitmen saat Menikah


βλε.Wl l.' Ko Diitmen Saat Berpa ca ran da n Menika h


Bagan 2



Komitmen berdasarkan

perasaan

  • 1.    Setia

Komitmen berdasarkan pikiran

1 Inanmenjaea Iriibunsan

  • 2.    Zalinsperoaya

  • 3    Zalinsmenseni

Konntmen berdasarkan perilaku

  • 1.    Menyeles aikan mas al± Vanzadaberdua

  • 2.    Menjalankan hub ungan dengan santai sehingga tidak membosankan dan nvaman


Tindakan untuk Mempertahankan Komitmen Saat Menikah

a Aktif

  • 1    Berusaha men Sembalikan Suisanasetelah pertengkaran

  • 2    Memberikan kebebasan kepada pasangan

  • 3    Memintaa maaf j ika salah

  • 4    Berdiskusi untuk menyelesaikan misalah


Komitmen dapat dipertahankan ketika ada dukungan

AMHnaHeiw-,

  • 1.    Dukunan keluarga

  • 2-    Pembuktian kepada masyarakat


Komitmen pada Pasangan yang Menikah di Usia Remaja


Fitcr⅛WU

Pembuktian kepada

Iiiasvsr iat


Kouiitmen


FaktorJaU

  • a.    Konflik dengan mertua

  • b.    Tuntutan akan kejelasan pembagian peran


45