Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Kesehatan Mental, 1-11

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana e-ISSN: 2654 4024; p-ISSN: 2354 5607

Pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar

Kadek Fitriyanti dan Ni Made Ari Wilani

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Salah satu keterampilan yang ditetapkan oleh perusahaan dalam merekrut karyawan adalah memiliki kemampuan berkomunikasi efektif dalam tim kerja. Sejalan dengan hal tersebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) telah menyusun kurikulum yang sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan siswa di dunia kerja. Data di lapangan dan hasil penelitian awal yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masih banyak siswa SMK mengalami kecemasan berkomunikasi. Dampak yang ditimbulkan adalah siswa menjadi pasif dan menghindari situasi berkomunikasi. Semakin banyak kasus kecemasan berkomunikasi yang terjadi, maka semakin dibutuhkan program intervensi yang dapat mengurangi tingkat kecemasan berkomunikasi yang dirasakan. Tujuan dari penelitian eksperimen ini adalah menguji pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa SMK di Denpasar. Desain penelitian yakni kuasi-eksperimen non-equivalent control group design. Teknik pengambilan sampel yakni menggunakan two-stages cluster sampling. Sebanyak 12 orang subjek yang dipilih memiliki skor kecemasan berkomunikasi sedang hingga tinggi. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok eksperimen sebanyak enam orang dan kelompok kontrol sebanyak enam orang. Instrumen dalam penelitian ini adalah skala kecemasan berkomunikasi untuk mengetahui kategori kecemasan berkomunikasi yang dirasakan oleh siswa. Perlakuan yang diberikan adalah pelatihan efikasi diri yang disusun berdasarkan sumber-sumber efikasi diri dari Bandura (1997). Hipotesis penelitian diuji dengan statistik non-parametrik Mann Whitney test. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa SMK di Denpasar.

Kata kunci: pelatihan efikasi diri, kecemasan berkomunikasi, siswa SMK

Abstract

Nowadays many companies choose to recruit employees with good communication skill in teamwork. Therefore, vocational school's curriculum is preparing their students with skills and knowledges needed in work-place. In fact based on field study, there are a lot of cases about communication apprehension among vocational high school students. Students who are experiencing communication apprehension tend to be passive and avoid communication in many ways. As the number of communication apprehension cases increases, training programs related to those cases are needed. This experimental research was conducted to verify the effect of self-efficacy training program on communication apprehension to vocational high school students in Denpasar. This study is an quasi-experimental study with non-equivalent control group design. The subjects were selected by using two-stages cluster sampling technique. The subjects were 12 students who had scores of communication apprehension middle until high. The subjects were divided to two different groups, six students were in experiment group and the others six students were in control group. The instrument used in this study was the communication apprehension scale. The self-efficacy training program was arranged bassed on self-efficacy theory by Bandura (1997). The hypothesis was tested by the analysis of statistic non-parametric Mann-Whitney test techniques. The results showed that self-efficacy training program had no effect on communication apprehension against vocational high school student’s in Denpasar.

Keywords: training of self-efficacy, communication apprehension, students


LATAR BELAKANG

Negara Indonesia menjamin pendidikan untuk setiap warganya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 31 di dalam UUD 1945 mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan merupakan aktivitas yang penting karena melalui pendidikan yang layak diharapkan mampu membentuk putra-putri terbaik bangsa. Pernyataan terkait fungsi pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa lembaga pendidikan diharapkan mampu membentuk sumber daya manusia yang unggul dan siap bersaing diberbagai bidang kehidupan.

Pendidikan menengah atas terbagi menjadi bidang umum dan bidang kejuruan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 menyebutkan struktur kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) atau pendidikan umum meliputi pengetahuan umum, empat program penjurusan yang dapat dipilih oleh siswa diantaranya yakni program kelas ilmu pengetahuan alam, program kelas ilmu pengetahuan sosial, program kelas bahasa, dan program keagamaan khusus untuk Madrasah Aliyah (MA). Apabila dibandingkan dengan program Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), maka kurikulum SMA masih terbilang umum dan belum spesifik pada aplikasi di dunia kerja nyata.

Siswa yang memilih SMK sebagai jalur pendidikan menengah atas yang dipilih akan difasilitasi dengan berbagai pilihan program keahlian. Siswa dapat memilih jurusan sesuai dengan minat yang dimiliki. Tujuan dari pendidikan menengah kejuruan adalah mempersiapkan siswa untuk siap memasuki dunia kerja, sehingga siswa dibekali dengan berbagai keterampilan dan keahlian melalui kurikulum yang diajarkan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 70 Tahun 2013 tentang kurikulum SMK menyebutkan bahwa sekolah dalam menyusun kurikulum harus bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa dalam berkomunikasi dan kreativitas siswa.

Tuntutan yang akan dihadapi siswa SMK adalah dunia kerja. Sesuai dengan Permendiknas No. 22 Tahun 2006 bahwa siswa SMK diharapkan mampu untuk bekerja secara efektif dan efisien, maka diperlukan kemampuan untuk berkomunikasi sesuai tuntutan bidang pekerjaan, dan mampu mengembangkan diri. Berdasarkan Permendiknas (2006), diketahui bahwa kemampuan melakukan komunikasi yang baik dalam bekerja merupakan modal utama untuk mampu bersaing di dunia kerja. Maka dari itu, terampil dalam berkomunikasi merupakan modal utama bagi para siswa SMK yang akan melanjutkan bekerja.

Praktik perekrutan karyawan di perusahaan besar menetapkan beberapa keterampilan yang harus dimiliki individu yakni berhitung, membaca, berkomunikasi efektif (lisan dan tulisan), serta mampu bekerja dalam tim kerja (Santrock, 2007). Memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif merupakan modal utama individu yang ingin melamar kerja. Siswa SMK yang terampil dalam keahlian yang ditekuni, serta memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik akan jauh lebih diperhitungkan di perusahaan yang dituju. Hal tersebut sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar SMK dalam

Permendiknas (2006) tentang SI dan SKL, ditekankan bahwa salah satu standar kompetensinya yaitu dapat berkomunikasi efektif dengan kolega ditempat kerja.

Pada beberapa kasus di lapangan, tidak semua siswa SMK mampu untuk memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Tidak jarang siswa mengalami hambatan dan gagal dalam menguasai keterampilan yang diberikan. Salah satunya adalah keterampilan berkomunikasi yang efektif. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Richmond dan McCroskey (2009) yang menyatakan bahwa terdapat 20% siswa yang menjalani pendidikan menengah atas di Amerika Serikat yang mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.

Kecemasan berkomunikasi merupakan suatu ketakutan yang bersifat individual. Kecemasan berkomunikasi adalah ketakutan atau kecemasan individu yang diasosiasikan dengan komunikasi langsung ataupun komunikasi yang diantisipasi dengan orang lain atau orang banyak (McCroskey, 2016). Siswa yang mengalami kecemasan berkomunikasi akan terhambat dalam melakukan aktivitas lain di sekolah. Hal tersebut dikarenakan berbagai aktivitas yang dilakukan individu tidak akan lepas dari komunikasi.

Kecemasan berkomunikasi pada siswa selain menghambat berbagai aktivitas di sekolah, dapat juga menimbulkan dampak lain. Salah satu dampak kecemasan berkomunikasi dalam aktivitas komunikasi kelompok adalah siswa pasif dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas, kurang cakap dalam berkomunikasi antar teman sebaya, serta menjadi inferior. Fungsi komunikasi yang terhambat pada diri individu mengakibatkan terhambat pula keterampilan membangun relasi, membantu orang lain, memengaruhi orang lain, dan kemampuan untuk belajar hal-hal lain di luar diri individu (DeVito, 2015).

Beberapa hasil penelitian yang melibatkan remaja maupun siswa di Indonesia sebagai subjek menunjukkan bahwa kasus kecemasan berkomunikasi masih banyak terjadi. Salah satunya adalah penelitian oleh Amalia dan Hidayati (2013) terhadap 231 siswa sekolah menengah atas (SMA) dari tiga sekolah yang berbeda di Semarang menunjukkan bahwa terdapat 57,57% siswa yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Sejalan dengan hal tersebut sejumlah temuan lain yang mendukung juga mendapat hasil yang sama yakni remaja rentan mengalami kecemasan berkomunikasi terutama dalam situasi komunikasi di depan umum (Hapsari, 2010; Rodli & Desiana, 2013; Rizkina, 2013). Kecemasan berkomunikasi yang dialami ketika masa sekolah dapat berlanjut bahkan hingga perguruan tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Wulanyani, Sudarmaja, dan Surijah (2008) menunjukkan bahwa mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran yang dilibatkan dalam penelitian mengalami kecemasan berkomunikasi kategori sedang.

Penelitian yang dilakukan oleh Dharmayanti (2013) terhadap 75 orang siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Seririt, Bali menunjukkan bahwa sebesar 56% dari siswa yang dilibatkan mengalami kecemasan berkomunikasi yang ditandai dengan kemampuan komunikasi interpersonal yang rendah. Temuan penelitian ini, juga didukung oleh hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara pada 5 Januari 2017 kepada tujuh

orang siswa di Denpasar. Berdasarkan data hasil studi pendahuluan didapatkan hasil bahwa tujuh orang siswa SMK di Denpasar tersebut pernah mengalami kecemasan berkomunikasi (Fitriyanti, 2017).

Gambaran kecemasan berkomunikasi yang didapat adalah siswa memiliki pemikiran takut salah ketika berkomunikasi di depan umum, takut salah ketika berpendapat di dalam kelompok, menjadi bersikap pasif di kelas maupun organisasi siswa, memiliki pemikiran takut ditertawakan, dan pemikiran takut terhadap penolakan yang mungkin saja dialami apabila salah dalam berkomunikasi. Dampak yang ditimbulkan beragam dan berbeda pada ketujuh orang siswa yang diwawancarai. Satu diantara tujuh orang tersebut bahkan menunjukkan perilaku menghindari komunikasi dengan orang yang berumur lebih tua, salah satunya menghindari komunikasi dengan paman ataupun tante yang masih merupakan kerabat (Fitriyanti, 2017).

Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa kasus kecemasan berkomunikasi masih terjadi dan dialami oleh hampir semua kalangan, salah satunya para siswa SMK di usia remaja. Kecemasan berkomunikasi memiliki bentuk yang beragam pada setiap individu. Faktor penyebab terjadinya kecemasan berkomunikasi pun beragam karena kecemasan berkomunikasi merupakan tingkatan rasa takut yang bersifat individual dan tidak sama dengan perasaan malu (McCroskey, 2016). Tingginya tingkat kasus kecemasan berkomunikasi yang dialami oleh individu, maka dibutuhkan suatu metode intervensi yang dapat mengatasi hal tersebut.

Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berkomunikasi (Wahyuni, 2015; Saputri, 2016; Anwar, 2009). Hubungan negatif menjelaskan bahwa semakin tinggi efikasi diri individu, maka kecemasan berkomunikasi individu semakin rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan, maka efikasi diri dapat menjadi salah satu faktor yang dapat membantu mengatasi kecemasan berkomunikasi dalam diri individu. Efikasi diri merupakan bagian dari proses kognitif individu yang tersusun atas pengalaman terdahulu dan refleksi pikiran (Bandura, 1997).

Efikasi diri adalah keyakinan yang dimiliki individu bahwa dirinya mampu menguasai situasi dan memberikan hasil terbaik yang diharapkan (Bandura, 1997). Efikasi diri dapat digunakan untuk mengontrol lingkungan penyebab stresor yang membangkitkan kecemasan pada individu. Penilaian individu terhadap efikasi diri yang dimiliki memengaruhi cara yang digunakan seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan dan tugas. Efikasi diri berkaitan erat dengan proses kognitif yang terjadi dalam diri individu.

Efikasi diri dapat menurunkan tingkat kecemasan berkomunikasi pada individu karena efikasi diri tersusun atas pengalaman dan refleksi pikiran dalam diri individu (Bandura, 1997). Untuk mendapatkankan hasil yang maksimal, efikasi diri dapat diberikan kepada individu dalam bentuk pelatihan. Alasan yang melatarbelakanginya adalah karena menurut Kirkpatrick (dalam Salas & Bowers, 2001) pelatihan dapat

membantu individu untuk mengubah aspek kognitif, afektif, dan melatih keterampilan baru. Berdasarkan pernyataan tersebut metode pelatihan dapat membantu individu mengurangi kecemasan berkomunikasi yang bersumber dari pemikiran-pemikiran yang keliru akan masa depan yang tidak pasti.

Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif mengenai pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Denpasar. Pelatihan ini diharapkan dapat membantu siswa mengurangi gejala-gejala kecemasan berkomunikasi yang dirasakan. Melalui praktik komunikasi yang diberikan diharapkan dapat melatih keterampilan siswa dalam berkomunikasi agar mampu mendukung pengetahuan dan keahlian dalam jurusan yang telah dipilih, sehingga lulusan SMK mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam dunia kerja.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Syarat untuk melakukan penelitian randomized experiment adalah adanya kelompok kontrol, sampel yang dipilih secara randomisasi untuk menjadi subjek, ada perlakuan yang diberikan ke kelompok eksperimen (Sugiyono, 2014; Shadish, Cook, & Thomas, 2002). Penelitian ini tidak memenuhi syarat untuk menggunakan desain randomized experiment, sehingga menggunakan desain kuasi-eksperimen. Desain kuasi-eksperimen merujuk pada riset yang tidak melibatkan pemberian manipulasi perlakuan dan hanya mengukur perbedaan gejala antar kondisi (Yusainy, 2016). Syarat penelitian kuasi-eksperimen tidak memiliki perbedaan dengan randomized experiment, hanya saja tidak ada proses randomized assigment dalam penempatan subjek ke dalam kelompok-kelompok penelitian, serta pengendalian terhadap extraneous variabel tidak dapat dilakukan dengan sempurna (Shadish, dkk., 2002).

Variabel dan definisi operasional

Variabel bebas dari penelitian ini adalah pelatihan efikasi diri dan variabel tergantung dari penelitian ini adalah kecemasan berkomunikasi. Definisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pelatihan Efikasi Diri

Pelatihan efikasi diri adalah suatu kegiatan singkat yang dirancang untuk membantu individu memiliki keyakinan dalam diri bahwa individu dapat menguasai situasi dan memeroleh hasil yang postif. Pelatihan efikasi diri yang diberikan kepada subjek disusun dalam bentuk modul pelatihan. Modul tersebut meliputi pemberian materi dan praktek yang disusun mengacu pada sumber efikasi diri. Sumber efikasi diri yakni pengalaman menguasai (mastery experience), pengalaman keberhasilan yang mewakili (vicarious experience), persuasi verbal (verbal persuasion), dan keadaan fisiologis dan afektif (physiological and afective state). Kegiatan ini dilakukan sebanyak empat hari berturut-turut dalam satu minggu. Kegiatan pelatihan efikasi diri akan dipandu oleh seorang trainer.

Kecemasan Berkomunikasi

Kecemasan berkomunikasi adalah tingkatan rasa takut yang bersumber dari pikiran individu dan berkaitan dengan komunikasi verbal antar individu baik secara langsung, maupun yang diantisipasi. Kecemasan berkomunikasi subjek diukur dengan skala kecemasan berkomunikasi yang disusun berdasarkan teori dari Greenberger dan Padesky (2004). Penyusunan skala berdasarkan pada empat aspek kecemasan berkomunikasi yakni aspek fisik, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek perilaku. Semakin tinggi skor total, maka semakin tinggi taraf kecemasan berkomunikasi.

Responden

Populasi pada penelitian ini adalah Siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar yang berusia 15 tahun sampai 18 tahun. Adapun kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.

Kriteria inklusi yakni :

(1) Subjek merupakan anggota populasi yang mengikuti rangkaian pre-test, (2) Skor pre-test subjek masuk dalam kategori kecemasan berkomunikasi dari kategori sedang hingga kategori tinggi, (3) Subjek bersedia berpartisipasi aktif dalam seluruh tahap penelitian melalui penandatanganan informed consent.

Kriteria ekslusi yakni :

(1) Subjek tidak mengikuti seluruh rangkaian proses pemberian perlakuan, (2) Subjek mengundurkan diri dari penelitian karena keinginan dari diri subjek.

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik probability sampling yakni setiap anggota populasi diberikan peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Peneliti memilih teknik two stages cluster sampling yakni dilakukan pengacakan sebanyak dua tahap sampai mendapat sampel penelitian (Sugiyono, 2014). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen sederhana dengan jumlah subjek yang dilibatkan sebanyak enam orang untuk kelompok eksperimen dan enam orang untuk kelompok kontrol. Total keseluruhan subjek adalah berjumlah 12 orang. Subjek yang dilibatkan merupakan siswa kelas 1 SMK jurusan Akomodasi Perhotelan (AP). Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah yang telah memenuhi kriteria inklusi dan tanda tangan informed consent.

Tempat penelitian

Lokasi penelitian adalah di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Denpasar. Penelitian dilaksanakan selama empat hari yakni dari tanggal 7 Juni 2017 sampai 10 Juni 2017.

Alat ukur

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala Kecemasan Berkomunikasi yang disusun berdasarkan aspek-aspek kecemasan berkomunikasi menurut Greenberger dan Padesky (2004). Skala kecemasan berkomunikasi terdiri dari 56 aitem pernyataan yang tersusun atas aspek kognitif, aspek afektif, aspek fisik, dan aspek perilaku. Skala ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable) dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

Penyebaran skala uji coba alat ukur kecemasan berkomunikasi dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2017 sampai 25 Februari 2017. Subjek yang dilibatkan untuk uji coba alat ukur adalah siswa kelas 2B dan 2F Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Denpasar. Jumlah skala kecemasan berkomunikasi yang dapat dianalisis adalah sebanyak 35 lembar skala. Sugiyono (2014) menyebutkan bahwa jumlah anggota sampel yang dapat digunakan untuk pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur adalah sebanyak 30 orang. Melalui uji coba alat ukur didapatkan hasil bahwa dari 56 aitem yang telah disusun, jumlah aitem valid hanya sebanyak 31 aitem sedangkan aitem yang gugur sebanyak 25 aitem. Hasil uji validitas skala kecemasan berkomunikasi menunjukkan nilai koefisien korelasi aitem total yang bergerak dari 0,291 sampai dengan 0,703. Hasil uji realibilitas menunjukkan angka reliabilitas pada Alpha Cronbach sebesar 0,891. Angka 0,891 menunjukkan bahwa skala kecemasan berkomunikasi mampu mencerminkan 89,1% variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan sehingga alat ukur layak digunakan untuk mengukur atribut kecemasan berkomunikasi.

Prosedur Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen yang mengambil bentuk non-randomized experimental. Desain penelitian eksperimen yang digunakan adalah nonequivalent control group design. Desain non-equivalent control group hampir sama dengan pre-test-post-test control group design, hanya saja pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random (non random assigment) (Sugiyono, 2014).

Tahap pertama adalah sampel penelitian diberikan pre-test berupa skala kecemasan berkomunikasi untuk mengatahui skor kecemasan berkomunikasi yang dialami. Sampel yang tergolong ke dalam kategori kecemasan berkomunikasi sedang hingga kategori kecemasan berkomunikasi tinggi akan menjadi subjek dalam penelitian eksperimen ini. Tahap kedua adalah proses pemberian perlakuan yakni berupa pelatihan efikasi diri yang diberikan oleh seorang trainer yang dipilih berdasarkan kriteria penentuan trainer dalam pelatihan. Proses pemberian perlakuan berlangsung selama empat hari berturut-turut.

Setiap pertemuan dalam pelatihan efikasi diri dirancang selama 120 menit yang terbagi kedalam beberapa konten pelatihan. Materi pelatihan hari pertama berfokus pada pembentukan kelompok dan mengakrabkan anggota pelatihan, pelatihan hari kedua dimanfaatkan untuk pemberian materi kecemasan berkomunikasi dan membahas strategi efektif untuk mengatasi kecemasan berkomunikasi, hari ketiga adalah fokus untuk mengatasi kecemasan, dan hari keempat untuk diskusi dan post-test.

Teknik Analisis Data

Data penelitian dianalisis menggunakan uji statistik nonparametrik. Uji statistik non-parametrik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney. Uji statistik non-parametrik ditempuh karena tidak memenuhi syarat uji statistik parametrik, salah satunya adalah jumlah sampel kecil yakni kurang dari 30 subjek sehingga data tidak berdistribusi

normal. Jumlah sampel minimal uji Mann-Whitney untuk kategori sampel terkecil adalah tidak lebih dari delapan (8) sampel (Siegel, 1992; Wijaya, 2010). Pengujian hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney digunakan apabila peneliti ingin mengetahui perbedaan skor antara kedua kelompok data yang independen (Field, 2009). Analisis data dilakukan dengan bantuan program SPSS 20.0 for windows.

Isu Etik Penelitian

Penelitian eksperimen yang tepat diharapkan memerhatikan isu etika dalam setiap proses pengambilan data. Kehormatan, kenyamanan, dan keamanan data subjek penelitian harus menjadi prioritas utama saat peneliti merancang desain perlakuan. Keterangan lebih lengkap mengenai penelitian eksperimen yang akan dilakukan, dituangkan secara tertulis pada lembar persetujuan untuk berpartisipasi yakni informed consent (Yusainy, 2016).

Pasal 20 dan 49 yang tercantum dalam kode etik HIMPSI (2010) menyebutkan bahwa setiap proses dibidang psikologi yang meliputi penelitian atau pendidikan atau pelatihan atau asesmen atau intervensi yang melibatkan manusia harus disertai informed consent. Persetujuan tersebut akan ditanda tangani oleh orang yang menjadi pemeriksa atau yang menjadi subjek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan, perkiraan waktu yang dibutuhkan, gambaran tentang apa yang dilakukan, keuntungan dan atau risiko yang dialami selama proses berlangsung, jaminan kerahasiaan selama proses berlangsung, orang yang bertanggung jawab jika efek samping merugikan selama proses berlangsung.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Subjek

Berdasarkan data karakteristik subjek, diperoleh bahwa total subjek berjumlah 12 orang dengan jenis kelamin perempuan sebanyak sembilan orang dan jenis kelamin laki-laki sebanyak tiga orang. Mayoritas subjek penelitian berusia 16 tahun yakni sembilan orang, sedangkan tiga orang lain berusia 15 tahun.

Deskripsi Data Penelitian

Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai data deskriptif dari data pre-test maupun post-test, peneliti melakukan analisis deskriptif dan didapatkan hasil deskripsi data penelitian yang dapat dilihat pada tabel 1 (terlampir).

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat mean teoritis kelompok eksperimen pada penelitian ini adalah 77,5 dan mean teoritis kelompok kontrol yakni 77,5, sedangkan untuk memperoleh mean empiris dengan cara menjumlahkan rata-rata skor pretest dan rata-rata skor post-test di masing-masing kelompok, kemudian dibagi dua. Mean empiris pada kelompok eksperimen adalah 79,915 dan kelompok kontrol adalah sebesar 76,75. Pada penelitian ini diperoleh standar deviasi empiris sebesar 18,181 untuk kelompok eksperimen dan 5,636 untuk kelompok kontrol. Standar deviasi teoritis kelompok eksperimen sebesar 15,5 dan untuk kelompok kontrol sebesar 15,5.

Peneliti melakukan pengkategorisasian skor kecemasan berkomunikasi subjek. Tujuan dari pengkategorisasian ini adalah untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2014). Skor kecemasan berkomunikasi subjek akan dibagi menjadi lima kontinum yakni kategori sangat rendah, kategori rendah, kategori sedang, kategori tinggi, dan kategori sangat tinggi. Tabel 2 (terlampir) akan menjelaskan mengenai ketentuan pengkategorisasian skor kecemasan berkomunikasi subjek.

Berdasarkan data pada tabel 2 yakni ketentuan pengkategorisasian skor kecemasan berkomunikasi subjek, maka peneliti mengelompokkan hasil pre-test dan post-test subjek berdasarkan ketentuan di tabel 2. Hasil perhitungan skor kecemasan berkomunikasi subjek saat pre-test dan posttest dijabarkan pada tabel 3, tabel 4, tabel 5, dan tabel 6 (terlampir).

Berdasarkan kategorisasi pre-test skor skala kecemasan berkomunikasi subjek kelompok eksperimen pada tabel 3, dari enam orang subjek yang tergolong ke dalam kelompok eksperimen lima diantaranya mengalami kecemasan berkomunikasi sedang.

Berdasarkan kategorisasi skor pre-test skala kecemasan berkomunikasi subjek kelompok kontrol pada tabel 4, dapat diketahui bahwa sebelum proses pemberian perlakuan dimulai terdapat enam orang subjek di kelompok kontrol yang memiliki skor kecemasan berkomunikasi kategori sedang dengan persentase sebesar 100%.

Berdasarkan kategorisasi skor post-test skala kecemasan berkomunikasi subjek kelompok eksperimen pada tabel 5, setelah diberikan perlakuan terjadi perubahan skor kecemasan berkomunikasi menjadi dua orang mengalami penurunan skor kecemasan berkomunikasi menjadi kategori rendah, satu orang yang mengalami kecemasan berkomunikasi sedang, dan tiga orang mengalami kecemasan berkomunikasi tinggi.

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa skor post-test skala kecemasan berkomunikasi kelompok kontrol tidak mengalami perubahan yang signifikan. Terdapat lima orang subjek yang termasuk ke dalam kategori kecemasan berkomunikasi sedang, dan satu orang subjek yang mengalami peningkatan skor kecemasan berkomunikasi menjadi kategori tinggi.

Uji Hipotesis

Uji beda skor yang diperoleh dua kelompok menggunakan uji Mann-Whitney test. Uji Mann Whitney test dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar dengan melihat selisih nilai pre-test dan post-test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (tabel 7. Terlampir).

Pada tabel 7, dapat dilihat bahwa hasil uji Mann Whitney test menunjukan angka signifikasi sebesar 0,423 dan nilai Z score sebesar -0,801. Berdasarkan asumsi hipotesis yakni apabila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) maka Ha

ditolak. Tabel 7 menunjukkan nilai signifikansi yang dihasilkan pada uji Mann Whitney test adalah sebesar 0,423 yang berarti nilai p > 0,05, sehingga Ha ditolak. Maka tidak ada pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pembahasan

Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian melalui uji Mann Whitney test, maka didapatkan hasil bahwa tidak ada pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar. Berdasarkan hasil analisis data wawancara, observasi, dan lembar evaluasi pelatihan, serta didukung oleh beberapa hasil penelitian, maka didapatkan faktor-faktor yang diduga memengaruhi hasil penelitian eksperimen ini.

Faktor pertama yang diduga memengaruhi hasil penelitian adalah kelelahan. Individu yang menjadi kelompok eksperimen diduga mengalami kelelahan selama mengikuti kegiatan pelatihan efikasi diri. Berdasarkan data hasil observasi menunjukkan bahwa subjek menunjukkan perilaku tampak termenung dan menguap pada beberapa sesi dalam pelatihan, subjek menunjukkan perilaku menyentuh dan menggambar di lantai, menyilangkan kedua tangan di depan dada, mengusap-ngusap mata, menopang dagu dengan kedua tangan, tampak menekan-nekan layar handphone. Subjek dalam pelatihan dapat mengalami kelelahan karena durasi pelatihan yang lama yakni 120 menit dikali 4 kali pertemuan, sedangkan waktu istirahat yang dialokasikan hanya tiga sampai 5 menit. Dikutip dari laman suara.com menurut Direktur Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) yakni dr. Rizki Edmi Edison, Ph.D menyebutkan bahwa siswa memiliki kemampuan menyerap informasi pelajaran rata-rata hanya 20 menit pertama. Apabila waktu belajar cenderung panjang dan lama, maka dibutuhkan waktu jeda untuk peregangan setiap 20 menit untuk menghindari siswa mengalami kelelahan saat belajar. Dampak yang ditimbulkan dari kelelahan adalah tidak terserapnya informasi secara maksimal, sehingga siswa tidak mendapat manfaat dari mengikuti pelatihan (Utami, 2016). Berdasarkan hal tersebut perlu diadakan perombakan pada materi pelatihan efikasi diri, agar lebih mempertimbangkan kemampuan otak siswa untuk fokus dalam menerima informasi.

Salah satu faktor yang memengaruhi validitas internal dalam penelitian eksperimen adalah sejarah (history) (Shadish, dkk., 2002). Penelitian ini menggunakan dua kali pengukuran yakni pre-test dan post-test, sehingga jarak waktu pengukuran akan menimbulkan berbagai perubahan pada diri subjek. Pengukuran awal dilakukan pada 5 Juni 2017, sedangkan pengukuran akhir dilakukan pada 10 Juni 2017 sehingga jarak waktu pengukuran hanya berselang selama enam hari. Subjek dapat mengalami bias yang bersumber dari masa lalu yakni yang berasal dari alat ukur yang digunakan pada pre-test sama dengan yang digunakan saat post-test (Budiarto, 2002). Akibat yang ditimbulkan adalah subjek masih mengingat pernyataan-pernyataan dalam skala kecemasan berkomunikasi

yang diberikan.

Kegiatan pelatihan efikasi diri hanya dilaksanakan selama empat hari dan hasil yang diharapkan adalah ada perubahan-perubahan yang nyata yang dialami subjek ketika mengalami gejala kecemasan berkomunikasi. Menurut Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2009) terdapat empat level evaluasi pelatihan yang dapat dilakukan yakni level reaksi, level belajar, level perilaku, dan level hasil. Salah satu level evaluasi yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah level reaksi yang merupakan tahap awal evaluasi. Tujuan dari evaluasi level reaksi adalah untuk mengukur reaksi peserta pelatihan terhadap program, asumsinya adalah apabila pelatihan direspon baik, maka terjadi proses pembelajaran yang masih ditataran kognitif (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2009). Respon subjek terhadap pelatihan berdasarkan lembar evaluasi yakni materi yang disampaikan bermanfaat dan menyenangkan, sejalan dengan pernyataan Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2009) yakni apabila komentar peserta pelatihan positif, maka telah terjadi proses pembelajaran.

Waktu yang terbatas untuk mempraktekkan materi yang didapat diluar lingkungan pelatihan efikasi diri. Situasi dan kondisi yang terjadi ketika diadakan program pelatihan efikasi diri adalah para siswa SMKN 3 Denpasar sedang mengadakan kegiatan-kegiatan non-akademis sebelum pembagian rapor. Subjek kelompok eksperimen hanya memiliki kesempatan untuk belajar dan mempraktikkan materi yang didapat di dalam lingkungan pelatihan bersama teman-teman kelompok eksperimen. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bersin dan Asosiasinya (2008) menunjukkan bahwa individu hanya belajar 10% dalam suatu program pelatihan, sedangkan 70% lain didapatkan dari belajar melalui praktek langsung dalam kondisi yang nyata (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2009). Lingkungan yang tidak menyediakan wadah untuk mempraktikkan kembali materi pelatihan dapat menjadi penyebab dari gagalnya program pelatihan yang telah disusun, karena individu hanya belajar 10% selama proses pelatihan berlangsung.

Faktor pola pikir yang dimiliki masing-masing individu diduga dapat memengaruhi skor kecemasan berkomunikasi pada penelitian ini. Berdasarkan data wawancara akhir sesaat setelah diberikan post-test diketahui bahwa subjek masih tidak ingin memulai percakapan dengan orang baru atau teman lain terlebih dahulu, subjek masih memiliki pemikiran takut dianggap ‘sok kenal’ apabila menyapa teman lain terlebih dahulu, dan subjek merasa lebih aman ketika menjadi pasif saat kegiatan berkomunikasi. Kondisi yang disebutkan subjek kelompok eksperimen masih sama dengan kondisi awal sebelum mendapat perlakuan pelatihan efikasi diri. Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa pelatihan efikasi diri yang diberikan belum dapat mengubah pola pemikiran subjek terkait kegiatan berkomunikasi. Hal tersebut juga diperkuat dengan penelitian Prakoso (2014) bahwa semakin rendah kemampuan berpikir positif siswa maka semakin tinggi tingkat kecemasan berkomunikasi, begitu juga sebaliknya.

Faktor pola pikir individu masih berkaitan dengan faktor

pengkategorisasian tingkat kecemasan berkomunikasi subjek penelitian. Pada penelitian ini individu yang dilibatkan untuk menjadi subjek penelitian memiliki tingkat kecemasan berkomunikasi di kategori sedang hingga tinggi. Individu dengan tingkat kecemasan berkomunikasi yang tinggi memiliki karakteristik perilaku tertentu seperti menunjukkan respon menghindar, hanya berbicara dengan teman terdekat saja, dan mengurangi kontak langsung dengan orang lain (McCroskey & Beatty, 1986). Hal tersebut juga dialami pada subjek di kelompok eksperimen sebelum diberikan perlakuan maupun setelah diberikan perlakuan. Kondisi yang dimaksud adalah takut dianggap “sok kenal”, takut untuk memulai percakapan atau interaksi, dan pasif. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari Opt dan Loffredo (2000) terkait individu yang memiliki tingkat kecemasan berkomunikasi yang tinggi memiliki kemampuan berpikir positif yang rendah. Apabila tingkat kecemasan tinggi maka individu memiliki pola pikir negatif, sehingga lebih mudah cemas dan stres. Hal tersebut berlaku sebaliknya, yakni apabila individu memiliki tingkat kecemasan yang rendah maka pola pikir individu akan condong ke arah yang positif.

Faktor lain yang diduga memengaruhi adalah motivasi. King (2014) menyebutkan bahwa motivasi adalah kekuatan yang menggerakan seseorang untuk berperilaku, berpikir, dan merasa seperti yang mereka lakukan. Motivasi adalah sebuah dorongan yang dapat berasal dari dalam diri maupun dari luar diri individu. Motivasi yang berasal dari dalam diri berperan dalam motivasi berprestasi meliputi rasa ingin tahu, tantangan, dan usaha yang semua berasal dari dalam diri individu (King, 2014). Diduga subjek kelompok eksperimen yang tidak mengalami penurunan skor kecemasan berkomunikasi mengalami kondisi yang tidak termotivasi. Keempat subjek yang menunjukkan perilaku tidak termotivasi dapat dilihat dari inisiatif untuk mengulang materi yang didapatkan dipelatihan. Berdasarkan hasil wawancara setelah post-test kepada subjek eksperimen, maka didapatkan bahwa terdapat dua orang subjek yang mengalami penurunan skor kecemasan berkomunikasi. Hal tersebut terjadi karena kedua subjek tersebut menerapkan kembali teknik relaksasi yang telah diberikan ketika mengalami gejala-gejala kecemasan berkomunikasi. Keberhasilan yang dicapai dua orang subjek yang menerapkan kembali teknik relaksasi di luar sesi materi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua subjek memiliki pengalaman berhasil menguasai sesuatu (enactive mastery experience) yang meningkatkan efikasi diri, sehingga menurunkan tingkat kecemasan berkomunikasi yang dirasakan. Bandura (1997) menyebutkan bahwa pengalaman berhasil individu merupakan sumber efikasi diri yang paling berpengaruh karena memberikan bukti nyata.

Perilaku dua orang subjek yang termotivasi tersebut memicu individu mengalami proses kognitif yang disebut dengan berpikir inferensial. Bandura (1997) menyebutkan bahwa berpikir inferensial merupakan kemampuan untuk meramalkan dan memikirkan cara untuk mengendalikan hal yang memengaruhi tujuan individu. Pada penelitian ini subjek kelompok eksperimen yang telah diwawancara mengetahui hal-hal yang memengaruhi tujuan individu untuk berhasil salah satunya adalah pikiran negatif dan belum pasti. Pada

kenyataannya keempat individu tidak mampu memikirkan cara untuk mengendalikan hal yang dapat memengaruhi tujuan tersebut. Hal tersebut menyebabkan individu mengalami kegagalan untuk menstruktur ulang kognitif dengan strategi yang konstruktif ketika sebelum diberikan pelatihan, maupun setelah diberikan pelatihan.

Sejalan dengan hasil penelitian Fatma dan Ernawati (2012) bahwa terdapat karakteristik subjek tertentu yang dapat mendukung penurunan skor kecemasan berkomunikasi melalui pelatihan. Karakteristik subjek yang dimaksud adalah memiliki semangat untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki, ketepatan subjek dalam melakukan evaluasi diri saat berbicara, serta mampu menentukan target yang realistis. Remaja yang dilibatkan pada penelitian ini kurang memenuhi karakteristik subjek yang dapat mendukung penurunan skor kecemasan berkomunikasi. Hal tersebut terlihat dari hasil observasi yang didapatkan empat subjek tidak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan dari hari pertama hingga hari keempat. Keempat subjek masih menunjukkan sikap seperti kondisi awal yakni pasif (tidak ada inisiatif dalam diri), tidak berani berpendapat, melakukan banyak kesalahan ucap sehingga komunikasi yang dilakukan tidak efektif. Satu orang subjek menunjukkan perubahan sikap seperti memiliki insiatif, berani berpendapat tentang diri sendiri ataupun tentang subjek lain, serta aktif menjawab pertanyaan dari trainer.

Berdasarkan hasil rekapan lembar evaluasi diketahui bahwa faktor lain yang memengaruhi hasil penelitian ini adalah permainan. Pada rekapan lembar evaluasi terdapat tiga orang subjek mengeluhkan jumlah permainan yang disediakan kurang banyak. Keterbatasan waktu yang disediakan di setiap pertemuan dan jumlah materi yang disampaikan sangat banyak, sehingga permainan untuk hiburan lebih sedikit. Hal tersebut diduga memengaruhi sikap peserta dalam mengikuti pelatihan. Silberman dan Auerbach (1998) menyebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menyusun permainan dalam pelatihan yakni relevansi dengan materi pelatihan, penyampaian instruksi permainan harus mudah dipahami, diskusi setelah permaianan membantu peserta menginternalisasi nilai yang ingin ditransfer melalui permainan. Sejalan dengan hal tersebut hasil penelitian Sarmini (2008) yang menyatakan bahwa permainan dalam pelatihan yang disusun dapat meningkatkan intensitas berkomunikasi pada siswa yang menjadi peserta. Berdasarkan hal tersebut yang menjadi kekurangan sekaligus memberi dampak pada hasil penelitian ini adalah kurangnya jumlah dan ragam permainan yang diberikan.

Berdasarkan hasil rekapan lembar evaluasi faktor lain memengaruhi hasil penelitian adalah kudapan yang disediakan untuk subjek. King (2014) menyebutkan bahwa makanan dan minuman dapat menjadi contoh dari penguatan primer. Penguatan primer adalah penguatan yang secara alamiah memuaskan individu. Pada penelitian ini tujuan disediakan kudapan adalah agar ada makanan yang disantap subjek setelah pemberian perlakuan berlangsung. Di lain sisi, makanan tersebut memiliki pengaruh tertentu pada sikap yang ditunjukkan subjek. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban subjek dalam lembar evaluasi yang menyebutkan bahwa

jumlah makanan yang disediakan sedikit dengan ragam jenis yang terbatas. Berdasar lembar evaluasi, maka diduga makanan dapat menjadi variabel pengganggu dalam penelitian ini yang luput dari kontrol peneliti. Akibat yang muncul adalah subjek merasa tidak mendapat kepuasan tertentu dari makanan yang disediakan.

Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan berupa pelatihan efikasi diri diketahui tidak terjadi penurunan skor kecemasan. Pada pengukuran awal terdapat enam orang subjek kelompok kontrol berada dikategori sedang. Pada pengukuran akhir terdapat lima orang subjek berada pada kategori sedang, sedangkan satu orang subjek berada pada kategori tinggi. Hal tersebut diduga diakibatkan oleh perbedaan aktivitas yang dilakukan oleh subjek kelompok kontrol. Kelompok eksperimen belajar berkelompok dan bersama, sedangkan kelompok kontrol melakukan aktivitas yang berbeda dan terpisah. Hal tersebut menunjukkan tidak ada dukungan emosional dan intelektual satu sama lain di kelompok kontrol yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (Silberman & Auerbach, 1998).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemberian pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Denpasar. Pada kelompok eksperimen diketahui terdapat dua orang yang mengalami penurunan skor kecemasan berkomunikasi menjadi kategori rendah, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan kategori skor kecemasan berkomunikasi yakni lima orang subjek tetap berada pada kategori kecemasan berkomunikasi sedang. Kesimpulan utama yang didapatkan setelah melalui beberapa tahapan proses penelitian adalah tujuan dari penelitian ini telah tercapai yakni untuk melihat pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap tingkat kecemasan berkomunikasi siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Denpasar.

Saran

Saran yang dapat diberikan adalah Bagi siswa yang berada di tingkat kecemasan berkomunikasi sedang diharapkan mengikuti program pelatihan terkait praktek berkomunikasi. Hal tersebut dikarenakan kecemasan berkomunikasi masih dapat mengalami penurunan, apabila sering dilatih keterampilan berkomunikasinya. Bagi guru dan sekolah yakni agar mendesain program di sekolah untuk melatih kemampuan berkomunikasi para siswa, serta dapat pula dibentuk program layanan non-akademis dari guru bimbingan konseling, maupun program pelatihan komunikasi melalui permainan berkelompok.

Saran bagi peneliti selanjutnya adalah agar melakukan random assigment untuk meratakan sebaran extraneous variable yang berasal dari perbedaan individual. Peneliti selanjutnya juga dapat membuat modifikasi mengenai pelatihan ini dengan memperluas jangkauan menggambil subjek yang digunakan dalam penelitian. Tujuan modifikasi adalah untuk melakukan pembaharuan terkait materi yang diberikan pada pelatihan ini.

Hal tersebut untuk menguji kembali dan melihat efeknya pada kategori sampel yang luas agar dapat digeneraliasai.

Peneliti selanjutnya juga diharapkan mempertimbangakan keterbatasan penelitian yang telah dirangkum oleh peneliti, agar mampu menghasilkan temuan hasil penelitian yang lebih baik dan mampu di generalisasikan. Keterbatasan penelitian itu meliputi jumlah subjek yang sedikit dan tidak beragam, mempertimbangkan karakteristik subjek, mempertimbangkan menggunakan pencatatan agenda kecemasan berkomunikasi harian yang diisi oleh subjek penelitian, mempertimbangkan pemilihan level evaluasi pelatihan yang tepat yakni di ranah kognitif subjek untuk menguji pengetahuan subjek dari pelatihan yang telah diberikan. Apabila evaluasi perilaku yang diberikan, maka perlu dipertimbangkan terkait jangka waktu dan tugas-tugas yang akan diberikan di pelatihan yang di desain.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia , N. R., & Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan speak up terhadap kecemasan berbicara di depan umum. Naskah publikasi. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.

Anwar, A. I. (2009). Hubungan antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa fakultas psikologi universitas sumatera  utara. Skripsi tidak

dipublikasi. Fakultas  Psikologi,  Universitas Sumatera

Utara.

Asweda, W., Marjohan, & Syukur, Yarmis. (2012). Efektifitas layanan bimbingan kelompok dalam mengurangi kecemasan berkomunikasi pada siswa. Jurnal ilmiah konseling, 1 (1), 1-11.

Azwar, S. (2013). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2014). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy the exercise of control. New York: W.H Freeman and Company.

Baron,R.A., & Byrne, P. (2000). Social psychology (9th ed.). Boston : Allyn and Bacon Inc.

Budiarto, E. (2002). Metodologi penelitian kedokteran. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

Campbell, S., & Larson, J. (2012). Public speaking anxiety:

comparing face-to-face and web-based speeches. Journal of instructional pedagogies, 31 (2), 20-35.

Davison, G.C., Neale, J.M., & Kring,A.M. (2014). Psikologi

abnormal, edisi 9. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Dewi, F. W. (2015). Studi kasus tentang kecemasan berkomunikasi peserta didik kelas XI SMK Swadaya Klaten tahun ajaran 2014/2015. Skripsi tidak dipublikasi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.

DeVito,Joseph A. (2015). Human communication. London: Sage Publication

Dharmayanti, P. A. (2013). Teknik role playing dalam meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal siswa SMK. Jurnal Universitas Pendidikan Ganesha, 3 (4), 256-265.

Fatma, A., & Ernawati, S. (2012). Pendekatan perilaku kognitif dalam pelatihan keterampilan mengelola kecemasan berbicara di depan umum. Talenta Psikologi, 1 (1), 39-65.

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Theories of personality (7th ed.). (Handriatno, Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika.

Field, A. (2009). Discovering statistics using spss (3rd ed.). Washington DC: Sage.

Fitriyanti, Kadek. (2017). Gambaran kecemasan berkomunikasi pada remaja: sebuah studi pendahuluan tahun 2017. Tidak dipublikasikan.

Wulanyani, N. S., Sudarmaja, I., Laksemi, D. A., & Surijah, E. A. (2008). Role playing method decreases communication anxiety of medical students. Anima Indonesian Psychological       Journal,       23(4),       317-324.


Gladding, S. T. (2015). Konseling profesi yang menyeluruh. Jakarta: PT. Indeks.

Greenberger, D., & Padesky, C. A. (2004). Mind over mood: change how you feel by changing the way you think. New York: The Guilford press.

Hapsari, D. A. (2010). Pengaruh tari kontemporer terhadap kecemasan berbicara di depan umum pada remaja. Naskah publikasi. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro.

Himpsi. (2010). Kode etik psikologi indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.

King, L. A. (2014). Psikologi umum: sebuah pandangan apresiasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Kirkpatrick, J., & Kirkpatrick, W. K. (2009). The Kirkpatrick four levels: a fresh look after 50 years. Dipetik September 3, 2017, dari Kirkpatrick partners the one and only Kirkpatrick: www.kirkpatrickpartners.com

Mariani, K. (1991). Hubungan antara sifat pemantauan diri dengan kecemasan dalam komunikasi interpersonal pada mahasiswa psikologi dan fakultas hukum universitas muhammadiyah surakarta. Skripsi tidak dipublikasi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

McCroskey, J. (2016). An introduction to rhetorical communication: a western cultural perspective 9th ed. New York: Routledge.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik indonesia nomor 70 tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan. Jakarta: Depdiknas.

Menteri Pendidikan Nasional. (2006). Peraturan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas.

Prakoso, B. (2014). Hubungan antara berpikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Naskah publikasi fakultas psikologi universitas muhammadiyah surakarta.

Republik Indonesia (2003). Undang-Undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Republik Indonesia (2014). Undang-Undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 Amandemen I-IV. Jakarta: Visi Media

Richmond, V.P. & McCroskey, J.C. (2009). Implementation of a Systematic Desensitization Program and Classroom Instruction to Reduce Communication Apprehension in Pharmacy Student. American Journal of Pharmaceutical Education. Vol. 46. 227-234

Rogers, C. R. (2004). On becaming a person. Boston: Robinson.

Sarmini, N. (2008). The implementation of group strorytelling and fun game technique to improve speaking ability of grade eight students of SMP Negeri 2 Singaraja. Skripsi tidak dipublikasi.

Silberman, M. L., & Auerbach, C. (1998). Active Training: a handbook of techniques, design, case examples, and tips. USA : Jossey-Bass Pfeiffer.

Sugiyono, P. D. (2014). Metode penelitian kualitatif, kuanitatif dan kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi

eksperimen. Jakarta: PT Indeks.

Shadish, W. R., Cook, T. D., & Thomas , D. (2002). Experimental and quasi-experimental designs for generalized causal inference. USA: Houghhton mifflin company.

Siegel, S. (1992). Statistik nonparametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: PT. Gramedia.

Wijaya. (2010). Statistik nonparametrik. Bandung: Alfabeta.

LAMPIRAN

Tabel 1

Deskripsi data penelitian

N

Selisih skor min.

Selisili skor maks.

Mean empiris

Mean teoretis

Std. D. empiris

Std. D. teoretis

Kelompok eksperimen

6

-35

17

79.915

77.5

18.ISl

15.5

Kelompok kontrol

6

-5

9

76.75

77.5

5.636

15.5

Tabel 2

Ketentuan Pengkategorisasian Subjek

Rentang Nilai

Kategori

X ≤ 54.25 54.25<X≤69.75 69.75<X<85.25 85.25 <X< 100.75 X > 100.75

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi

Tabel 3

Hasil Kategorisasi Pre-test Skor Skala Kecemasan Berkomunikasi Kelompok Eksperimen

Reutang Nilai

Kategori

Jumlah

Perseutase

X < 54.25

Sangat Rendah

0

0%

54,25< X ≤ 69.75

Rendah

0

0%

69.75< X < 85.25

Sedang

5

83.3%

85.25 <X≤ 100.75

Tinggi

1

16.7%

X > 100.75

Sangat Tinggi

0

0%

Total

6

100%

Tabel 4

Hasil Kategorisasi Pre-test Skor Skala Kecemasan Berkomunikasi Kelompok Kontrol

Reutaug Nilai

Kategori

Jumlah

Perseutase

X <54.25

Sangat Rendah

0

0%

54.25<X<69.75

Rendah

0

0%

69.75<X≤85,25

Sedang

6

100%

85.25 < X ≤ 100.75

Tinggi

0

0%

X> 100.75

Sangat Tinggi

0

0%

Total

6

100%

Tabel 5

Hasil Kategorisasi Skor Post-test Skala Kecemasan Berkomunikasi Kelompok Eksperimen

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X ≤ 5425

Sangat Rendah

0

0%

5425<X<69.75

Rendah

2

33.3%

69.75< X ≤ 85.25

Sedang

1

16.7%

85.25 <X≤ 100.75

Tinggi

3

50%

X > 100.75

Sangat Thiggi

0

0%

Total

6

100%

Tabel 6

Hasil Kategorisasi Skor Post-test Skala Kecemasan Berkomunikasi Kelompok Kontrol

Rentang Nilai

Kategori

Jumlah

Persentase

X ≤ 54.25

Sangat Rendah

0

0%

54,25< X ≤ 69.75

Rendah

0

0%

69.75<X<85.25

Sedang

5

83.3%

85.25 <X≤ 100.75

Tinggi

1

16.7%

X > 100.75

Sangat Tmggi

0

0%

Total

6

100%

Tabel 7

Hasil Uji Mann Whitney Test

_______________________________________Gain Score

Z                                             -.801

Asymp. Sig. (2-tailed).423

11