MOTIVASI PADA PEREMPUAN BALI YANG MEMILIH HAMIL SEBELUM MENIKAH
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Cultural Health Psychology, 43-55
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
MOTIVASI PADA PEREMPUAN BALI YANG MEMILIH HAMIL SEBELUM MENIKAH Ratih Saraswaty dan David Hizkia Tobing
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana saraswatyratih@gmail.com
Abstrak
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, membutuhkan orang lain, saling berinteraksi, bersosialisasi, menjalin hubungan dengan lawan jenis serta meneruskan keturunan melalui proses perkawinan (Sumpami, 2008). Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh. Keturunan seperti menjadi sebuah tuntutan atau keharusan dalam sebuah perkawinan di Bali. Hasil pre eliminary study yang dilakukan oleh peneliti pada tahun 2013 kepada 20 perempuan Bali, justru terungkap bahwa 8 dari 20 perempuan Bali memilih untuk hamil sebelum menikah karena adanya tuntutan dari pasangan dan disarankan oleh keluarga (Saraswaty, 2013). Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mencari tahu mengenai motivasi pada perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain fenomenologi. Responden yang digunakan sebanyak empat orang dan dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah. Motivasi intrinsik, seperti: sudah menemukan pasangan yang cocok, diterima oleh mertua, ingin semakin dicintai, dihargai dan setia, mencoba membuktikan bisa memiliki anak. Motivasi ekstrinsik, seperti: adanya rasa takut akan cibiran dari orang lain, takut pasangan menikah kembali, hidup yang lebih layak, pasangan dan mertua menjadi lebih perhatian, dan pasangan semakin dewasa dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Hamil sebelum menikah, Motivasi, Perempuan Bali
Abstract
As a social human being, a human cannot live by him/her self; he/she needs somebody else to interact, socialize, and have a relationship, which eventually create new generations through sexual intercourse (Sumpami, 2008). Marriage is a physical and mental bonding between a man and a woman as a wife and a husband to build a happy and eternal family based on one almighty God. Bali is one of Indonesian provinces that still strongly hold its tradition. To have a child is a kind of requisite in Balinese marriage. A preliminary study conducted by a researcher on 2013 shows that 8 out of 20 Balinese women chose to get pregnant before marriage because of the requisition from their partner and partner’s parent (Saraswaty, 2013). Based on this fact, many study are having interest to find out Balinese women’s motivation to get pregnant before marriage.
This research used qualitative method with phenomenology design. Respondents are four Balinese women, which were chosen through purposive sampling method. The research results show that the interviewees have intrinsic and extrinsic motivation on deciding to get premarital pregnancy. The intrinsic motivation, consist of a feeling of have found perfect match, being accepted by partner’s parents, a desire to be loved deeper, felt appreciated and fidelity of partner, tried to prove that be able to have a baby. While the extrinsic motivation are a feeling of being scared of people’s contempt, afraid that her partner will get married again, motivated to get a better life, getting attention from partner and partner’s parents, and having grown up and responsible partner.
Key Words: Premarital Pregnancy, Motivation, Balinese Women.
LATAR BELAKANG
Manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia membutuhkan orang lain, saling berinteraksi, saling bersosialisasi untuk bertukar pengalaman, menjalin hubungan dengan lawan jenis serta meneruskan keturunan. Melanjutkan kuturunan dapat ditempuh melalui proses perkawinan, yang kemudian akan terbentuk sebuah keluarga. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sumpami, 2008).
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh. Keturunan seperti menjadi sebuah tuntutan atau keharusan dalam sebuah perkawinan di Bali. Melihat pentingnya kehadiran keturunan atau anak dalam sebuah perkawinan di Bali, juga diperjelas dalam perkawinan hukum adat Bali yang menyatakan bahwa perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya (persembahan) guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Karma dapat diperbaiki menuju subha karma (perbuatan baik) secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya merupakan suatu yadnya (persembahan) kepada leluhur, terlebih lagi jika anak tersebut dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra (baik), merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya (persembahan) (Utomo, 2012).
Tujuan dari sebuah perkawinan menurut hukum adat Bali adalah :
-
a. Dharmasampati, yang berarti melalui perkawinan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma sebagai seorang suami atau istri, dharma sebagai orangtua, dharma sebagai seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dan dharma sebagai umat (Utomo, 2012).
-
b. Praja, yang berarti bahwa perkawinan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa adanya keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar sehingga perkawinan atau pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar dapat menjelma kembali sebagai manusia (Utomo, 2012).
-
c. Rati, yang berarti perkawinan adalah jalan yang sah bagi pasangan untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan
berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai) (Utomo, 2012).
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keturunan menjadi suatu hal yang penting dalam perkawinan di Bali karena dengan memiliki keturunan dapat memberikan peluang kepada anak/keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya sehingga dapat menjelma kembali sebagai manusia dan menyelamatkan orangtua dari neraka. Jika keturunan tidak didapat didalam sebuah perkawinan, maka tidak akan ada yang meneruskan roda kehidupan atau eksistensi keluarga, selain itu tidak akan ada yang melebur dosa-dosa leluhur dan menyelamatkan orangtua dari neraka.
Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mengenai tingginya usia kehamilan pada remaja Indonesia saat ini menurut survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kehamilan remaja pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 35 per 1.000 wanita remaja pada tahun 2007. Angka ini terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2012, sebesar 48 per 1000 wanita remaja (Ramadhan, 2013). Melihat tingginya angka kehamilan remaja di Indonesia juga sejalan dengan tingginya angka kehamilan remaja di Bali. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah remaja yang mengakses layanan kesehatan reproduksi di Klinik Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali meningkat. Pada 2011, jumlah remaja yang mengakses sebanyak 679, lalu meningkat pada 2012 menjadi 684. Terakhir, tahun ini sampai Juni sebanyak 375 orang. Dari jumlah itu, tiap tahun, rata-rata 50 persen pasien adalah remaja yang datang dengan kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) (Suriyani, 2013).
Hasil pre eliminary study yang dilakukan oleh peneliti pada tahun 2013 kepada 20 perempuan Bali, justru terungkap bahwa 8 dari 20 perempuan Bali memilih untuk hamil sebelum menikah karena adanya tuntutan dari pasangan dan disarankan oleh keluarga (Saraswaty, 2013). Berdasarkan hal-hal tersebut diketahui bahwa terdapat motif-motif yang mendasari perempuan Bali yang memilih untuk hamil sebelum menikah. Hal inilah yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk melihat motivasi yang mendasari perempuan Bali yang memilih untuk hamil sebelum menikah.
METODE
Tipe penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh responden penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Desain penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Husserl (dalam Moleong, 2004) secara khusus istilah ini mengacu pada penelitian yang terkait dengan kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Peneliti dalam pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Pemahaman itu akan bergerak dari dinamika pengalaman sampai pada makna pengalaman sehingga akan menggambarkan makna pengalaman responden akan fenomena yang sedang diteliti.
Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini merupakan unit analisis kelompok yaitu berfokus pada motivasi yang mendasari perempuan Bali usia dewasa muda yang memilih hamil sebelum menikah. Analisis ini digunakan untuk memudahkan peneliti memahami motivasi kelompok responden sehingga dapat memahami fenomena kehamilan sebelum menikah pada perempuan Bali. Pemahaman mengenai motivasi responden pada penelitian ini akan berfokus pada motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi tersebut akan dilihat berdasarkan ketujuh aspek dari individu yang memilih untuk hamil sebelum menikah dipaparkan oleh Woolfolk (2009), namun tidak menutup kemungkinan jika akan ada aspek lain yang terungkap dan hal tersebut akan disesuaikan dengan hasil yang diperoleh peneliti di lapangan. Unit analisis ini akan diperoleh melalui in-depth interview dengan menggunakan panduan pertanyaan terkait dengan aspek dari motivasi tersebut.
Responden Penelitian
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah para perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah. Dalam penelitian ini, perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah menjadi responden dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai motivasi berdasarkan sudut pandang individu yang memilih hamil sebelum menikah. Responden dalam penelitian ini berjumlah empat orang yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
-
1. Individu yang berada dalam tahapan perkembangan usia dewasa awal (18-40 tahun) dan berjenis kelamin perempuan. 2. Individu yang pernah hamil sebelum menikah.
-
3. Individu tersebut beragama Hindu dan bersuku Bali
-
4. Individu tersebut berdomisili di Denpasar sebanyak 4 orang.
Teknik Penggalian Data
Pada penelitian ini, data akan diambil pada setting alamiah yang bertujuan untuk mengurangi bias yang akan mungkin terjadi. Metode yang digunakan pada penelitian ini, yaitu kuesioner, wawancara dan observasi, oleh karena itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan (field note) sebagai alat perantara dengan catatan yang sebenarnya. Teknik pertama adalah dengan kuesioner. Kuesioner adalah instrumen pengumpulan data atau informasi yang dioperasionalisasikan ke dalam bentuk item atau pertanyaan. Kuesioner dapat berfungsi sebagai alat sekaligus teknik pengumpulan data yang berisi sederet pertanyaan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner terbuka, karena peneliti masih berusaha untuk mendapatkan informasi awal tentang isu yang terjadi sehingga dapat menentukan dengan pasti permasalahan apa yang harus diteliti.
Teknik kedua adalah dengan wawancara, penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur yang termasuk ke dalam kategori in-depth interview. Metode wawancara ini dipilih oleh peneliti untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendalam dari sumber data sehingga semakin memperkaya data, serta untuk menggali lebih lanjut data-data yang disampaikan oleh sumber yang dianggap menarik dan merupakan suatu jawaban baru yang bahkan mungkin kontradiktif terhadap permasalahan yang dikemukakan. Teknik selanjutnya adalah observasi. Pada penelitian ini, peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan observasi karena fenomena hamil sebelum menikah tersebut sudah dialami responden sebelum peneliti melakukan penelitian ini, sehingga peneliti akan melakukan observasi untuk melihat keharmonisan responden dengan pasangan setelah menikah. Metode pengamatan yang digunakan adalah event sampling, yaitu pengamatan yang berfokus pada pencatatan kejadian perilaku-perilaku penting yang diamati pada situasi tertentu (menentukan kejadian). Metode event sampling ini digunakan karena dapat memberikan informasi tentang perubahan perilaku sepanjang waktu dan jumlah perilaku yang ditunjukkan.
Metode pencatatan yang digunakan adalah check list, yaitu salah satu metode informal observasi dimana observer sudah menentukan indikator perilaku yang akan di observasi dari responden dalam satu tabel. Metode check list ini digunakan karena metode ini sederhana untuk dilakukan dan memungkinkan observer mengetahui konteks perilaku secara lengkap. Setelah data terkumpul, peneliti menggunakan metode narrative descriptive untuk pelaporan hasil observasi yang sudah dilakukan. Metode narrative descriptive ini disebut juga metode pencatatan diary, dimana data disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif seperti apa yang dilihat peneliti (Arikunto, 2013).
Teknik Pengorganisasian Data dan Analisis Data
Setelah seluruh data temuan terkumpul, peneliti akan mengorganisasikan data temuan ke dalam suatu folder, agar tersusun rapi. Data temuan berupa rekaman suara akan ditransfer ke dalam bentuk teks dalam format dokumen dengan mengetik setiap suara yang terdengar. Data pengamatan yang berupa tulisan dan simbol juga ditransfer ke dalam bentuk teks dalam format dokumen dengan mengetik setiap data yang tertulis, kemudian memilih data yang memiliki makna. Seluruh data temuan yang telah berbentuk teks akan disusun untuk masing-masing responden penelitian. Data temuan yang telah tersusun, akan dikategorisasikan sesuai dengan tema dalam penelitian ini, yaitu tujuh aspek individu yang memilih hamil sebelum menikah (Woolfolk, 2009).
Metode analisis data penelitian kualitatif yang akan digunakan oleh peneliti adalah model Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013). Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013) proses analisis data meliputi tiga tahapan yaitu:
-
1. Data reduction atau reduksi data
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan dicari tema serta polanya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari data kembali jika diperlukan.
-
2. Data display atau penyajian data
Merupakan tahap penyajian data penelitian baik dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sebagainya. Bentuk yang paling sering digunakan adalah teks yang bersifat naratif yang akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya.
-
3. Conclusion drawing atau verifikasi
Pada proses ini peneliti mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab-akibat, dan proposisi. Kesimpulan awal yang dikemukakan dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung dengan bukti-bukti yang valid dan konsisten, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Teknik Pemantapan Kredibilitas
Dalam penelitian ini, teknik pemantapan kredibilitas penelitian menggunakan teknik triangulasi data dan menggunakan bahan referensi yang diungkapkan oleh Sugiyono (2013):
-
1. Triangulasi
Metode pengecekan data yang dilakukan peneliti dari berbagai sumber, dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Peneliti akan melakukan triangulasi sumber yang merupakan pengumpulan data dari beberapa sumber, yaitu 4 orang perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah serta 4 orang informan dari masing-masing responden. Triangulasi teknik juga dilakukan peneliti dengan melakukan beberapa metode pengumpulan data yang berbeda, yaitu, in-depth interview, dan teknik observasi. Triangulasi waktu dilakukan peneliti dengan melakukan proses wawancara serta observasi dalam waktu serta situasi yang berbeda.
-
2. Bahan Referensi
Penelitian ini menggunakan rekaman wawancara sebagai pendukung yang menyatakan bahwa data hasil wawancara dalam bentuk verbatim adalah benar adanya dan berdasarkan dari responden.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan temuan yang di dapatkan pada saat observasi dan in-depth interview, peneliti mendapatkan tujuh aspek motivasi pada perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah, yaitu: minat/interest, kebutuhan/needs, kenikmatan/enjoyment, rasa ingin tahu/curiousity, tekanan sosial/social pressure, penghindaran diri dari hukuman/punishment, dan imbalan/reward. Sebelum mendapatkan ketujuh aspek motivasi, peneliti telah melakukan proses analisis tematik sehingga temuan-temuan dalam penelitian ini terbagi ke dalam beberapa tema yang selanjutnya peneliti sebut dengan aspek dari motivasi. Peneliti juga melakukan pengecekan melalui rekan-rekan sesama peneliti yang menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat netral (peer review). Berikut adalah penjelasan mengenai temuan yang diperoleh dari masing-masing responden selama penelitian berlangsung:
1. Minat/Interest
Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan minat atau ketertarikan yang berasal dari dalam diri individu yang menyebabkan responden memilih untuk hamil sebelum menikah. Sudah menemukan pasangan yang cocok salah satunya, dengan adanya rasa kecocokan dengan pasangan tersebut membuat responden mempunyai pandangan bahwa tidak akan menjadi masalah jika responden bersedia untuk hamil sebelum menikah. Selain itu, responden juga tidak
memiliki keinginan untuk mencari orang lain atau mencoba menjalin hubungan dengan orang lain kembali.
Selain itu, responden juga sudah cukup usia untuk menikah, sehingga tidak ingin menunda untuk menikah dan memiliki anak. Faktor usia ini juga menyebabkan responden memiliki pdanangan bahwa kehamilan sebelum menikah merupakan hal yang wajar, yang terpenting adalah responden dan pasangan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Adanya target menikah pada usia 25 tahun ini juga menjadi salah satu hal yang mendorong responden untuk bersedia hamil sebelum menikah. Responden tidak ingin menikah melebihi usia 25 tahun, karena responden memiliki pandangan bahwa menikah pada usia diatas 25 tahun itu terlalu tua untuk perempuan, akan sulit memiliki anak, serta jarak antara anak dan responden menjadi jauh, sehingga responden memberikan batasan usia maksimal untuk menikah.
2. Kebutuhan/Needs
Pada aspek kebutuhan ini berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan atau diharapkan dapat terpenuhi oleh responden sehingga mendorong responden untuk melakukan sesuatu hal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu kebutuhan tersebut adalah adanya keinginan untuk semakin dicintai, dihargai, dan pasangan setia terhadap responden. Hal ini menyebabkan responden memiliki pandangan bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut, responden harus membuktikan kepada pasangan atau mertua bahwa responden bisa memberikan keturunan. Selain itu, dengan hadirnya keturunan atau anak akan membuat pasangan tidak akan mencari perempuan lain dan tetap setia terhadap responden.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari informan responden yang menyatakan bahwa kehadiran keturunan sangat penting dalam sebuah perkawinan karena dengan hadirnya anak atau keturunan dapat membuat hubungan antara suami dan istri menjadi lebih harmonis dan perkawinan menjadi lebih bahagia. Keturunan juga merupakan tujuan dari sebuah perkawinan. Selain itu, hadirnya keturunan juga bertujuan untuk mewarisi sanggah dan harta, serta merawat informan dan responden ketika sudah tua dan meneruskan garis keturunan.
Adanya kebutuhan untuk dapat diterima oleh mertua juga menjadi salah satu hal yang mendorong kesediaan responden untuk hamil sebelum menikah, karena salah satu responden sejak awal tidak diterima oleh keluarga pasangannya. Hal ini disebabkan oleh adanya gosip yang mengatakan bahwa responden tidak bisa memiliki anak, sehingga responden terdorong untuk membuktikan bahwa
gosip tersebut tidak benar dan responden dapat diterima oleh mertua. Selain itu, terdapat responden yang memiliki ketakutan akan dikembalikan kepihak keluarga jika tidak bisa memiliki anak. Terkait dengan keinginan untuk semakin dicintai, dihargai, setia dan dapat diterima oleh mertua terlihat dari respon responden yang menghela nafas, meletakkan tangan didada, menegakkan posisi duduk, meluruskan kaki, mengerutkan alis dan dengan ekspresi serius ketika menceritakan mengenai situasi pada saat itu.
3. Kenikmatan/Enjoyment
Pada aspek ini berkaitan dengan rasa nyaman atau kenikamatan yang responden rasakan terhadap suatu hal atau kejadian. Kenikmatan ini terlihat dari responden yang merasa sangat iklas ketika pertama kali melakukan hubungan seksual dengan pasangan. Selain itu, responden juga merasa sangat bahagia karena berhasil membuktikan kepada pasangan dan orangtua pasangan bahwa responden bisa memberikan keturunan, sehingga responden menjadi semakin disayang dan diperhatikan oleh pasangannya. Responden juga sangat menikmati segala hal yang terjadi selama masa kehamilannya, seperti mual dan ngidam.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari informan responden yang menyatakan bahwa terjadi perubahan sikap pada informan dan orangtua informan setelah responden berhasil membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan. Perubahan sikap tersebut terlihat dari sikap informan yang menjadi lebih perhatian dan cerewet untuk menjaga kesehatan responden, lebih protektif, dan bertanggung jawab terhadap responden dan calon anaknya pada saat itu. Kenikmatan dan kebahagian ini terlihat dari respon responden yang tersenyum, menatap peneliti, tangan bergerak kedepan, dan posisi duduk condong kedepan, dan sangat antusias ketika mengingat kembali pengalamannya selama hamil dan menceritakan kebahagiaannya karena berhasil membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan. Selain itu, hubungan responden dan pasangan semakin harmonis. Pasangan responden tanpa rasa malu menunjukan perhatiannya dan rasa sayangnya terhadap responden, seperti mengelus kepala, mencium kening, mengambilkan makan, memeluk dan bercanda dengan responden. Hal tersebut terus berlangsung hingga responden dan pasangannya menikah.
-
4. Keingintahuan/Curiousity
Pada aspek rasa ingin tahu ini berkaitan dengan keingintahuan responden terhadap suatu hal, salah satunya adalah keingintahuan responden untuk memiliki anak. Hal tersebut menimbulkan munculnya rasa ingin tahu responden apakah responden bisa memiliki keturunan atau tidak, sehingga responden bersedia untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah untuk membuktikan hal tersebut. Rasa ingin tahu responden untuk memiliki anak tersebut juga didukung oleh adanya situasi rumah yang mendukung responden dan pasangan untuk melakukan hubungan seksual.
Pada dasarnya pasangan responden akan tetap menikahi responden jika responden tidak bisa memberikan keturunan, namun pasangan responden tidak menjamin apa yang akan terjadi setelah menikah jika responden tidak bisa memberikan keturunan, termasuk juga dengan sikap orangtua pasangan atau tekanan yang mungkin ditimbulkan dari sikap orangtua pasangan responden, sehingga responden lebih memilih untuk mencoba membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari informan responden yang menyatakan bahwa informan ingin mengetahui apakah responden bisa memberikan keturunan atau tidak sehingga tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan keturunan dan orangtua yang tidak ingin memiliki menantu yang mandul. Selain itu, secara pribadi informan akan berusaha memegang komitmen dan janji untuk tetap menikahi responden jika responden tidak bisa memberikan keturunan, berusaha untuk tidak mencari perempuan lain untuk mendapatkan keturunan dan mencoba dengan cara lain seperti mengangkat anak, namun informan tidak menjamin apa yang akan terjadi setelah menikah terkait dengan sikap orangtua terhadap responden, sehingga memilih untuk mencoba terlebih dahulu.

ImbalanReuwrf
-
5. Imbalan/Rewards
Pasangan tidak akan mencari perempuan lain
Pasanganlebihljertanggunjanab j
Merttkt menjadi Iebiliperlutian
-
► Hubungan antar keluarga akan semakin baik
______»f Hidup yang lebih layak
------>[ Pasangan lebih perhatian ]
-----^ Pasangan lebih dewasa '
-
Gambar 5. Bagan Motivasi Ekstrinsik: Imbalan -ReMWtf
Pada aspek imbalan/reward ini, berkaitan dengan hal-hal yang dijanjikan dan diperoleh oleh responden setelah berhasil mencapai tujuannya, yaitu membuktikan kepada
pasangan dan mertua bahwa responden bisa memberikan keturunan. Setelah responden berhasil membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan, pasangan responden dan mertua menjadi lebih perhatian dan menerima kehadiran responden, seperti sering menghubungi responden, membawakan makanan yang diinginkan responden, dan tidak mengijinkan responden untuk mengambil pekerjaan yang dapat menyebabkan responden menjadi kelelahan. Selain itu, mertua responden menerima kehadiran responden dengan baik dan mertua lebih menyayangi responden, pasangan responden menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab terhadap responden dan calon anaknya. Pasangan responden juga menepati janjinya ketika meminta responden untuk hamil sebelum menikah, seperti hidup yang layak secara ekonomi, tidak mencari perempuan lain, dan lebih perhatian. Keberhasilan responden dalam membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan juga berpengaruh terhadap hubungan antar keluarga yang menjadi semakin baik.
6. Tekanan Sosial/Social Pressure
Tekanan sosial ini berkaitan dengan tekanan dari luar atau lingkungan yang responden alami. Terdapat beberapa tekanan yang menyebabkan responden memilih untuk hamil sebelum menikah, salah satunya adalah adanya perasaan takut tidak dihargai jika responden tidak memiliki anak. Hal ini disebabkan oleh adanya pengalaman responden yang melihat dan mendengar pengalaman orang terdekat responden yang tidak bisa memiliki anak diperlakukan kurang baik oleh pihak keluarga pasangan atau lingkungan sekitar, seperti dikucilkan dari keluarga, dicemooh oleh orang lain, dan tidak diikut sertakan dalam kegiatan adat keluarga.
Hal yang berbeda terjadi pada responden pertama yang tetap akan diterima baik oleh pihak keluarga pasangan meskipun tidak bisa memiliki anak. Hal ini telah terbukti dari adanya anggota keluarga pasangan responden yang tidak bisa memberikan keturunan tetap diterima baik. namun responden memilih mencegah untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Adanya tuntutan dari pasangan dan mertua juga menyebabkan munculnya keinginan responden untuk hamil sebelum menikah. Tuntutan ini menimbulkan munculnya tekanan pada diri responden untuk membuktikan kepada pasangan atau mertua bahwa responden bisa memberikan keturunan, sehingga responden dapat diterima baik pasangan dan mertua. Tekanan tersebut juga terlihat dari responden yang menghela nafas dan meletakkan tangan didada ketika mengingat dan menceritakan kembali alasan responden memilih hamil sebelum menikah.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari informan responden yang membenarkan bahwa adanya tuntutan yang diberikan kepada responden, baik dari pihak informan atau dari pihak orangtua informan dengan berbagai alasan seperti, informan yang ingin mengetahui apakah responden bisa memberikan keturunan atau tidak, orangtua yang tidak ingin memiliki menantu yang mdanul atau tidak bisa memberikan keturunan, adanya ketakutan bahwa responden tidak bisa memberikan keturunan, dan tidak ingin menunggu lama untuk mendapatkan keturunan.
7. Penghindaran diri dari hukuman/Punsihment
Penghindaran diri terhadap hukuman ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat negatif yang responden hindari, salah satunya adalah pasangan akan menikah kembali jika tidak bisa memiliki anak. Jika responden berhasil membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan, maka pasangan tidak akan menikah kembali atau mencari perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Selain itu, responden juga tidak ingin dikucilkan oleh keluarga pasangan, karena responden telah melihat dan mendengar pengalaman orang terdekat responden yang diperlakukan kurang baik oleh lingkungan dan keluarga pasangan karena tidak bisa memberikan keturunan, sehingga responden memilih untuk hamil sebelum menikah agar terhindar dari pengucilan yang dilakukan oleh keluarga pasangan.
Menghindari cibiran orang dan tekanan psikis akibat sikap mertua juga menjadi salah satu hal yang mendorong kesediaan responden untuk hamil sebelum menikah. Responden tidak ingin dicibir oleh lingkungan sekitar karena tidak memiliki anak. Adanya cibiran tersebut membuat responden terdorong untuk membuktikan bahwa gosip tersebut tidak benar, sehingga lingkungan akan berhenti untuk mencibir responden dan responden terhindar dari cibiran yang berkelanjutan. Selain itu, tekanan psikis dari sikap mertua juga sangat besar kemungkinan terjadi jika responden tidak bisa memiliki anak, terutama pada responden kedua, sehingga untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk tersebut, maka responden bersedia dan memilih untuk hamil sebelum menikah. Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari informan responden yang menyatakan bahwa tekanan dari sikap orangtua sangat mungkin terjadi, karena pada dasarnya orangtua informan tidak ingin memiliki menantu mandul karena takut mendapatkan cibiran dari lingkungan sekitar.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, peneliti menemukan beberapa kriteria yang memengaruhi motivasi pada keseluruhan responden, yaitu faktor usia, faktor memutuskan hamil sebelum menikah, dan faktor ekonomi. Temuan berdasarkan karakteristik responden akan peneliti jelaskan sejalan dengan pembahasan mengenai motivasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat motivasi pada perempuan Bali yang memutuskan untuk hamil sebelum menikah berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal dari individu. Ketujuh aspek ini dapat dijelaskan secara umum melalui teori yang dikemukakan oleh Woolfolk (2009) mengenai individu yang memilih hamil sebelum menikah. Berikut ini merupakan penjelasan motivasi dari perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah yang peneliti laporkan secara rinci dari masing-masing aspek:
-
1. Minat/Interest
Motivasi intrinsik individu yang memutuskan untuk hamil sebelum menikah dapat tergambar pada aspek minat/interest. Secara keseluruhan, keempat responden tidak memiliki keinginan atau minat untuk hamil sebelum menikah dengan pasangan sebelumnya, minat tersebut muncul ketika keempat responden ini menjalin hubungan dengan pasangan responden yang saat ini menjadi suami responden karena responden sudah menemukan pasangan yang cocok dengan dirinya dan keluarganya, responden juga melihat bahwa pasangannya merupakan orang yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya.
Terkait dengan minat, remaja pada umumnya mempertahankan minat-minat individu sewaktu beralih ke masa dewasa tetapi minat pada masa dewasa kemudian akan berubah juga. Hal ini disebabkan karena beberapa minat yang dipertahankan dalam kehidupan dewasa tidak sesuai dengan peran sebagai orang dewasa, sedangkan yang lain tidak lagi memberikan kepuasan seperti semula. Selain itu, nilai-nilai baru yang diperoleh seseorang juga memengaruhi minat yang sudah ada atau menumbuhkan minat baru. Pada tiap tahapan umur, minat seseorang juga dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari kelompok sosialnya. Jika nilai-nilai kelompok sosialnya berubah, maka minat seseorang juga akan berubah (Hurlock, 1980).
Responden juga merasa usianya sudah cukup dewasa untuk menikah dan memiliki anak, sehingga tidak akan menimbulkan masalah jika responden memilih untuk hamil sebelum menikah. Responden juga memiliki target menikah pada usia maksimal 25 tahun karena responden memiliki pandangan bahwa perempuan yang menikah diatas usia 25 tahun itu terlalu tua dan akan sulit memiliki anak. Selain itu, jarak antara ibu dan anak menjadi jauh. Hal-hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), pada usia dewasa awal ini, tugas-tugas perkembangan
dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat dan mencakup hal-hal, seperti mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seseorang sebagai teman hidup, belajar hidup bersama dengan suami atau istri untuk membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok.
Terkait dengan adanya target usia untuk menikah pada keempat responden dengan alasan adanya rasa takut tidak bisa memiliki anak karena reproduksi wanita yang kurang baik pada usia diatas 25 tahun, tidak sepenuhnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raharja (2013) mengenai risiko kematian ibu menurut usia pada kasus kematian ibu dengan preeklampsia di provinsi Jawa Timur. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa nilai OR < menunjukkan bahwa ada hubungan yang antagonistis atau faktor tersebut mempunyai pengaruh pencegahan terhadap kejadian penyakit. Usia ibu 20-35 tahun ternyata mampu mengurangi risiko kematian ibu karena preekalmpsia. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kelompok usia terlalu muda dan kelompok usia terlalu tua.
Usia terlalu muda atau kurang dari 20 tahun dan usia terlalu tua atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor predisposisi terjadinya preeklampsia. Resiko terjadinya kematian karena preeklampsia pada kelompok usia dibawah 20 tahun sebesar 1,16 kali dibandingkan kelompok usia 20 tahun keatas, sedangkan kelompok usia 35 tahun keatas mempunyai risiko meninggal karena preeklampsia 1,12 kali dari kelompok 35 tahun kebawah. Usia ibu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun berkaitan erat dengan berbagai komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan, nifas dan juga kesehatan bayi ketika masih dalam kandungan maupun setelah lahir. Komplikasi adalah kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan atau bayi.
-
2. Rasa ingin tahu/Curiosity
Gambaran mengenai motivasi intrinsik pada keempat responden ini juga tergambar pada aspek rasa ingin tahu/curiosity. Secara keseluruhan, keempat responden ini memiliki keinginan yang cukup besar untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain karena adanya tuntutan untuk hamil sebelum menikah, ada bebarapa alasan yang mendasari keempat responden ini melakukan hubungan seksual, seperti adanya situasi rumah yang mendukung, sudah cukup umur, ingin coba-coba, dan ingin memiliki anak.
Adanya situasi rumah yang mendukung responnden dan pasangannya untuk melakukan hubungan seksual pranikah juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Banun & Setyorogo pada tahun 2013 mengenai Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa Semester V STIKes X Jakarta Timur 2012. Pada
penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa dari hasil chi-square variabel tempat tinggal didapatkan p-value < 0,05 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tempat tinggal dengan perilaku seksual pranikah adalah individu yang tinggal dengan orangtua. Proporsi responden yang berisiko terjadinya perilaku seksual pranikah bertempat tinggal kost atau asrama sebesar 38,7% dan yang tidak berisiko terjadinya perilaku seksual pranikah sebesar 61,3%. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Mocthar (dalam Banun & Setyorogo, 2013) dari LSM Shara Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan 2002, diketahui bahwa tempat yang paling sering untuk melakukan hubungan seks yaitu rumah kos sebesar 51,5%, rumah pribadi 30%, hotel atau wisma 11,2%, taman luas 2,5%, tempat rekreasi 2,4%, di ruang kelas di kampus Bandung 1,3%, dalam mobil goyang 0,4%, dan lain-lain tidak diketahui 0,7%.
Terkait dengan aspek rasa ingin tahu tersebut, bagi sebagian orang ada tiga motif utama yang mendasari hubungan seksual, yaitu mendapatkan kepuasan orgasmik, mengekspresikan perasaan cinta dan keintiman, dan/atau mendapatkan keturunan. Motif-motif yang mendasari seseorang untuk melakukan hubungan seksual memengaruhi berbagai aspek perilaku seksual individu, termasuk apakah individu akan melakukan hubungan seksual diawal, apakah individu akan menikmati hubungan seksual, apakah individu akan melakukan hubungan seksual yang aman atau berisiko, atau apakah individu akan memiliki beberapa partner hubungan seksual (Wade & Tavris, 2007).
Ketika pertama kali melakukan hubungan seksual dengan pasangannya, keempat responden ini merasa iklas dan didasari oleh rasa suka sama suka tanpa keterpaksaan, karena keempat responden ini sudah sangat percaya, memiliki rasa sayang dan cinta yang begitu besar kepada pasangan, sudah merasa yakin dengan pasangan, dan berkomitmen untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Hal ini sejalan dengan teori kelekatan rasa cinta yang dikemukakan oleh Shaver and Milkuliner (dalam Wade & Tavris, 2007), pasangan hidup yang memiliki kelekatan yang aman, akan memiliki perasaan yang aman, individu akan lebih iklas menolong pasangannya dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki rasa aman. Individu yang merasa aman juga lebih cepat memahami dan memaafkan pasangan individu apabila pasangan individu melakukan sesuatu yang tidak individu sukai.
Perbedaan gender dalam mengekspresikan perasaan cinta dan keintiman tidak terjadi begitu saja, melainkan terbentuk akibat pengaruh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu alasannya adalah karena wanita tidak sekedar menikahi seorang pria, wanita sesungguhnya menikahi suatu standar kehidupan, sehingga wanita tersebut tidak ingin menikah dengan seseorang yang tidak cocok dengan standar kehidupannya atau yang membuang-buang waktunya dalam
sebuah hubungan yang tidak berkembang Kephart (dalam Wade & Tavris, 2007).
-
3. Kebutuhan/Needs
Kebutuhan merupakan salah satu aspek yang terdapat dalam motivasi intrinsik. Secara keseluruhan keempat responden ini memiliki kebutuhan yang hampir sama, ketika keempat responden ini bersedia untuk hamil sebelum menikah, responden memiliki harapan agar pasangan individu lebih setia, perhatian, bertanggung jawab, semakin mencintai, dan responden lebih dihargai. Terkait dengan kebutuhan, Maslow (dalam Hergenhahn, 2009) mengungkapkan bahwa pada saat kebutuhan fisiologis seseorang, seperti lapar, haus, dan seks sudah terpenuhi atau terpuaskan, seseorang dapat menangani kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan akan rasa aman, seperti perlindungan dari unsur, sakit, dan bahaya yang tak terduga. Keempat responden merasa lebih aman dan lebih yakin bahwa pasangannya akan tetap setia dan tidak akan mencari perempuan lain ketika responden bersedia untuk melakukan hubungan seksual dan hamil sebelum menikah, sehingga ada rasa keterikatan antara responden dan pasangan. Pada saat kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpenuhi, maka kebutuhan individu meningkat pada kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat pada keluarga, dan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai Maslow (dalam Hergenhahn, 2009). Berdasarkan teori tersebut, setelah keempat responden memenuhi kebutuhan fisiologis dan sudah merasa aman, kebutuhan responden meningkat pada kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, pasangannya akan semakin mencintainya, lebih diperhatikan, lebih dihargai, dan dapat diterima mertua atau dekat pada keluarga pasangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari pada tahun 2009, terkait dengan perasaan diterima (felling of belonging), yaitu perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Meskipun responden telah melakukan hubungan seksual pranikah, responden merasa dirinya tetap diterima oleh lingkungan dan keluarganya karena responden merasa lingkungan dan keluarganya tidak mengetahui kalau responden pernah melakukan hubungan seks pranikah, namun berbeda halnya terhadap lawan jenis. Setelah responden melakukan hubungan seks pranikah, responden tidak dapat diterima apa adanya dengan pasangan barunya. Berbeda dengan hasil penelitian yang peneliti lakukan saat ini, keempat responden justru diterima baik oleh pasangan, keluarga pasangan, keluarga responden, dan juga lingkungan karena tujuan dari keempat responden tersebut adalah untuk
mendapatkan keturunan, sehingga keempat responden lebih dihargai oleh pasangan dan keluarga pasangan.
-
4. Kenikmatan/Enjoyment
Aspek kenikmatan/enjoyment ini juga tergambar pada perempuan Bali yang memutuskan untuk hamil sebelum menikah. Ketika pertama kali melakukan hubungan seksual dengan pasangannya, keempat responden ini merasa iklas dan didasari oleh rasa suka sama suka tanpa keterpaksaan, karena keempat responden ini sudah sangat percaya, memiliki rasa sayang dan cinta yang begitu besar kepada pasangan, sudah merasa yakin dengan pasangan, dan berkomitmen untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Hal ini sejalan dengan teori kelekatan rasa cinta yang dikemukakan oleh Shaver and Milkuliner (dalam Wade & Tavris, 2007), pasangan hidup yang memiliki kelekatan yang aman, akan memiliki perasaan yang aman, individu akan lebih iklas menolong pasangannya dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki rasa aman. Individu yang merasa aman juga lebih cepat memahami dan memaafkan pasangan individu apabila pasangan individu melakukan sesuatu yang tidak individu sukai.
Setelah keempat responden ini berhasil membuktikan bahwa individu bisa hamil atau memberikan keturunan, keempat responden ini merasa sangat bahagia dan sangat menikmati selama masa kehamilan, meskipun keempat responden mengetahui adanya risiko yang mungkin terjadi selama masa kehamilan, keempat responden mencegah hal tersebut dengan mengkonsumsi makanan sehat, istirahat yang cukup, menjaga pola hidup, menjaga kondisi tubuh dan pikiran, namun terdapat perbedaan pada responden kedua, responden merasa sangat senang karena telah menjadi wanita yang sesungguhnya, berhasil menepis gosip, dan lebih disayang oleh pasangan dan mertua.
Hal ini juga diperkuat oleh informan dari responden yang menyatakan bahwa informan ini merasa sangat bahagia ketika responden berhasil membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan. Selain itu, kebahagiaan tersebut juga dirasakan oleh keluarga informan yang memengaruhi adanya perubahan sikap dari orangtua keempat informan, terutama pada responden kedua. Masih terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari pada tahun 2009, komponen harga diri yang kedua adalah perasaan mampu (felling of competence), yaitu perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. Hal ini dapat dilihat setelah responden terbuka dengan pasangannya, responden merasa pasangannya tidak ada yang dapat menerima responden apa adanya.
Hal itu membuat responden merasa tidak mampu atau tidak berani lagi terbuka dengan pasangannya dan setelah responden melakukan hubungan seks pranikah, dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis responden kurang
mampu dan cenderung belum sesuai dengan harapan responden dikarenakan responden merasa dirinya selalu gagal dan tidak mampu untuk mempertahankan hubungan dengan pasangannya, sedangkan pada penelitian ini responden memiliki keyakinan dapat membuktikan bahwa keempat responden bisa memberikan keturunan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian ini bahwa keempat responden telah mampu dan berhasil mencapai tujuan, yaitu memberikan keturunan.
Perasaan berharga (felling of worth) yaitu perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Hal ini dapat dilihat setelah responden melakukan hubungan seks pranikah responden merasa dirinya tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dan tidak berharga, sedangkan pada penelitian ini responden merasa lebih berharga. Hal ini dapat dilihat dari sikap pasangan dan mertua yang semakin sayang dan memperhatikan.
Terkait dengan kebahagiaan, ada banyak faktor yang memengaruhi kebahagiaan pada individu. Meltzer and Ludwig (dalam Hurlock, 1980) mengungkapkan bahwa kebahagiaan pada berbagai periode dalam usia dewasa diingat sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, perkawinan, kesehatan yang baik, dan prestasi-prestasi. Faktor-faktor yang memengaruhi kebahagiaan yaitu, kesehatan, kondisi kehidupan, dan keseimbangan antara harapan dan pencapaian. Menurut Shaver and Freedman (dalam Hurlock, 1980), kebahagiaan atau keadaan sejahtera, kenikmatan atau kepuasan juga memiliki beberapa esensi, diantaranya adalah sikap menerima (acceptance), kasih sayang (affection), dan prestasi (achievement). Kebahagiaan lebih merupakan masalah bagaimana individu memandang keadaan dan bukan apa keadaan itu. Kebagiaan berasal dari merawat kebun sendiri dan bukan dari menginginkan kebun orang lain.
-
1. Tekanan sosial/Social pressure
Aspek tekanan sosial ini menggambarkan tekanan-tekanan yang dialami individu sehingga menyebabkan individu memutuskan untuk hamil sebelum menikah. Aspek ini adalah aspek yang paling terlihat dan mendorong perempuan Bali yang memutuskan untuk hamil sebelum menikah. Pada responden pertama, responden merasa takut tidak dihargai jika tidak bisa memiliki anak, meskipun keluarga pasangan akan tetap menerima jika responden tidak bisa memberikan keturunan, namun responden memilih untuk mencegah risiko yang mungkin dialami. Pada responden kedua, tekanan itu muncul tidak hanya dari mertua saja tetapi juga dari lingkungan sekitar rumah yang membuat gosip dan mencibir responden karena dianggap tidak bisa memiliki keturunan.
Pada responden ketiga, responden merasa kehamilan sebelum menikah ini merupakan hal yang wajar, karena kebanyakan orang Bali memilih untuk hamil sebelum menikah dan mertua mengikuti hal tersebut, sehingga meminta responden untuk hamil sebelum menikah. Pada responden keempat, faktor lingkungan yang mengharuskan memiliki anak memberikan tekanan tersendiri bagi responden, responden takut dicemooh orang jika tidak memiliki anak. Selain itu, responden ingin mengetahui apakah responden bisa memiliki anak atau tidak, sehingga memilih untuk hamil sebelum menikah. Selain itu, responden juga dituntut oleh pasangan dan mertua responden agar responden membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan dengan berbagai alasan, seperti: mertua tidak ingin memiliki menantu yang mandul, tidak ingin menunggu lama untuk mendapatkan keturunan, dan responden tidak ingin dicemooh oleh orangorang dilingkungan. Hal ini juga diperkuat oleh informan dari responden yang membenarkan bahwa adanya tuntutan kepada responden untuk membuktikan bahwa responden bisa memberikan keturunan.
Hal tersebut sejalan dengan hukum adat kekeluargaan di Bali mengenai pentingnya keturunan bagi umat Hindu Bali. Pada dasarnya setiap orang Bali menginginkan hadirnya keturunan terutama hadirnya anak berjenis kelamin laki-laki, karena meskipun sudah menikah nantinya anak laki-laki akan menetap tinggal dirumah orangtuanya untuk menggantikan orangtuanya dalam menjalankan kewajiban-kewajiban terhadap lingkungan, melanjutkan kewajiban-kewajiban terkait tempat persembahyangan keluarga atau yang biasa disebut dengan sanggah, serta menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah dari orangtuanya atau yang biasa disebut dengan ngaben. Selain itu, hadirnya keturunan memberikan peluang kepada anak untuk melebur dosa-dosa leluhurnya dan menyelamatkan dari neraka agar dapat menjelma kembali sebagai manusia (Pangkat, 1978).
Pada beberapa desa, jika seseorang tidak bisa memiliki keturunan, orang tersebut tidak berhak menjadi anggota kelompok lingkungan atau krama desa, tidak boleh menjadi kepala desa atau kepala subak, tidak boleh bertindak sebagai penolong atau pembantu dalam persumpahan atau yang biasa disebut dengan petabeh, selain itu ada daerah yang memiliki aturan bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka orang tersebut berhenti/diberhentikan menjadi anggota krama desa dan harus meninggalkan desa tersebut (Pangkat, 1978).
Terkait dengan tekanan yang dihadapi oleh perempuan jika tidak bisa memiliki keturunan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dermatoto (2008) mengenai dampak infertilitas terhadap perkawinan, didapatkan hasil bahwa stigmatisisasi kesalahan pada pihak perempuan dapat menimbulkan tekanan sosio-psikologis. Tekanan sosio-psikologis tersebut semakin bertambah bobotnya jika
dikaitkan dengan sistem dan struktur sosial yang melingkupi ruang kehidupan responden. Tekanan itu muncul dalam berbagai bentuk seperti kecemasan, kesedihan, kekecewaan, kesal, menjadi rendah diri (berkecil hati), kesepian, kurang bergairah, bahkan rasa bersalah.
-
2. Penghindaran diri dari hukuman/Punishment
Pada aspek penghindaran diri dari hukuman atau tekanan ini menggambarkan hal-hal yang bersifat negatif yang individu hindari. Responden pertama memilih untuk hamil sebelum menikah karena takut sikap pasangan akan berubah jika responden tidak bisa memiliki anak, sehingga responden memilih untuk mencegahnya. Pada responden kedua, responden menghindari cibiran orang dan tekanan psikis akibat sikap mertua jika responden tidak bisa memiliki keturunan. Pada responden ketiga, responden tidak ingin mengalami hal yang sama dengan apa yang dialami oleh kakak sepupunya yang diperlakukan tidak baik oleh keluarga pasangan karena tidak bisa memiliki anak, sedangkan pada responden keempat, responden tidak ingin mengambil risiko karena takut pasangan akan menikah kembali dan selamanya menjadi orang asing dikeluarga pasangan.
Pada dasarnya informan dari responden ini akan tetap menerima dan menikahi responden jika responden tidak berhasil membuktikan, namun tidak menjamin apa yang akan terjadi setelah menikah jika responden tidak bisa memberikan keturunan, terutama mengenai sikap orangtua. Pada responden kedua, informan menyatakan bahwa jika responden tidak bisa memberikan keturunan dan tetap menikah, konsekuensinya adalah adanya tekanan dari orangtua informan yang sejak awal tidak menyukai responden.
Hal tersebut sejalan dengan teori konflik motivasi, apapun nilai-nilai dan tujuan yang individu pilih, jika terdapat konflik pada nilai-nilai dan tujuan tersebut, maka kesenjangan yang terjadi dapat menghasilkan tekanan emosional dan ketidakbahagiaan. Ada tiga jenis konflik motivasi, yaitu: konflik mendekati-mendekati (approach-approach conflict), konflik menghindari-menghindari (avoidance-avoidance), konflik mendekati-menghindari (approach-avoidance conflict). Berdasarkan hasil pada penelitian ini, keempat responden mengalami konflik mendekati-menghindari (approach-avoidance conflict). Konflik ini akan terjadi saat suatu aktivitas atau tujuan tunggal memiliki aspek positif dan negatif sekaligus. Konflik-konfliik semacam itu merupakan sesuatu yang tidak dapat individu hindari, konflik-konflik tersebut merupakan harga sekaligus suka cita kehidupan (Wade & Tavris, 2007).
Terkait dengan hal-hal negatif yang dihindari oleh responden, seperti pasangan akan mencari wanita lain atau menikah kembali merupakan hal yang wajar. Hal tersebut sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Argyo (2008) mengenai dampak infertilitas terhadap
perkawinan. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa dari ke-8 responden di Banjarsari ditemukan adanya korelasi antara infertilitas dengan keutuhan perkawinan. Indikator dampak infertilitas meliputi: ada tidaknya PIL (pria idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain), pergi ke tempat prostitusi, ada tidaknya kekerasan, poligami, ada tidaknya perceraian.
-
3. Imbalan/Reward
Pada aspek imbalan (reward) ini menggambarkan hal-hal yang akan diterima individu ketika tujuan dari suatu kegiatan tersebut tercapai. Pada saat adanya tuntutan kepada responden untuk hamil sebelum menikah, pasangan menjanjikan responden hal-hal tertentu untuk meyakinkan responden agar bersedia untuk hamil sebelum menikah. Pada responden pertama, pasangan menjanjikan responden akan dinikahi, lebih memperhatikan, hidup yang lebih baik dari segi ekonomi, dan setelah menikah janji tersebut terpenuhi. Selain itu, responden menjadi sangat dimanja oleh mertua. Pada responden kedua, responden tidak dijanjikan dalam hal materi tetapi pasangan berjanji tidak akan mencari orang lain untuk mendapatkan keturunan, jika seandainya responden tidak berhasil membuktikan, namun setelah berhasil membuktikan bahwa responden bisa hamil, mertua responden merasa senang dan menerima kehadiran responden.
Pada responden ketiga, responden tidak dijanjikan apa-apa selain dinikahi, namun setelah responden hamil mertua responden menjadi lebih perhatian. Pada responden keempat, pasangan berjanji akan lebih bertanggung jawab dan lebih dewasa. Setelah responden hamil, mertua menjadi lebih perhatian dan hubungan antar keluarga semakin baik. Hal ini juga diperkuat oleh informan dari keempat responden. informan responden pertama, selain berjanji untuk menikahi, juga menjanjikan hal-hal terkait materi dan non materi. informan responden kedua tidak menjanjikan apa-apa. informan responden ketiga dan responden keempat hanya berjanji akan lebih memperhatikan, menghargai, dan bertanggung jawab terhadap responden.
Terkait dengan imbalan atau pujian yang didapatkan oleh keempat responden karena berhasil membuktikan bahwa keempat responden bisa memiliki anak, hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kalat (2005), motivasi mencakup lebih dari kekuatan internal yang mendorong individu ke arah perilaku tertentu, itu juga mencakup rangsangan insentif-eksternal yang menarik individu ke arah tindakan tertentu. Perilaku yang paling termotivasi, dikendalikan oleh kombinasi dari dorongan dan insentif/reward. Teori tersebut juga dipertegas oleh teori yang dikemukakan oleh Wolfolk (2009). Insentif adalah obyek atau kejadian yang mendorong atau menekankan perilaku. Pada penelitian ini, janji yang diucapkan oleh pasangan terhadap responden merupakan insentif bagi responden yang
mendorong responden memilih untuk hamil sebelum menikah, sedangkan reward adalah obyek atau kejadian atraktif yang diberikan sebagai konsekuensi perilaku.
Gambar 9. Kerangka Hasil Psaelmaa
. vans diteliti
-
—I vang tidak diteliti
-
-I vans memengaruhi motivasi perempuan Bali ketika memutuskan untuk hamil Sebelummeaikali
.> . vang udak memensaruhi motivasi pereπψuan Bali ketika memutuskanuntuk hamil Sebehtmmenikah
Secara keseluruhan, masing-masing aspek dalam motivasi intrinsik dan ekstrinsik memengaruhi individu dalam memilih untuk hamil sebelum menikah. Motivasi intrinsik pada perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah, yaitu: sudah cukup usia untuk menikah dan memiliki anak, sudah menemukan orang yang cocok, sudah sangat percaya dengan pasangan, adanya target menikah pada usia 25 tahun. Selain itu, adanya kebutuhan untuk dihargai dan diterima dalam lingkungan dan keluarga pasangan, dan mencoba membuktikan bisa memberikan keturunan. Motivasi ekstrinsik pada perempuan Bali yang memilih hamil sebelum menikah, yaitu: adanya tuntutan dari pasangan atau mertua, adanya rasa takut akan cibiran dari orang lain, dan menghindari hal-hal yang bersifat hukuman (punishment), seperti: perubahan sikap dari pasangan, pasangan akan menikah kembali, tidak diterima oleh mertua, tekanan psikis akibat sikap dari mertua, selamanya menjadi orang asing dikeluarga pasangan, dan tidak ingin mengalami hal yang sama dengan orang terdekat yang diperlakukan tidak baik oleh keluarga pasangan karena tidak bisa memiliki anak.
Aspek motivasi yang paling menonjol adalah pada motivasi ekstrinsik, yaitu: adanya tuntutan dari mertua dan pasangan, takut tidak dihargai jika tidak memiliki anak, menghindari cibiran orang dan tekanan psikis akibat sikap mertua, pasangan akan menikah kembali, dikucilkan oleh keluarga pasangan. Hal tersebut juga didukung oleh adanya
imbalan/reward yang semakin memperkuat individu dalam memilih untuk hamil sebelum menikah, seperti: penerimaan dari lingkungan dan keluarga pasangan, sikap pasangan dan mertua yang semakin baik, dan kehidupan yang lebih layak dari segi materi, pasangan menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab.
Ada pun saran-saran yang dapat peneliti berikan kepada individu maupun pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
-
1. Saran bagi individu yang memutuskan untuk hamil sebelum menikah
Menjaga dan meningkatkan keharmonisan dengan pasangan dan keluarga pasangan untuk menghilangkan stigma negatif dimasyarakat terkait dengan keputusan untuk hamil sebelum menikah.
-
2. Saran bagi perempuan Bali
-
- Pentingnya untuk mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin terjadi sebelum mengambil keputusan untuk hamil sebelum menikah.
-
- Bali merupakan daerah yang masih sangat memegang teguh adat istiadat, sehingga penting untuk memperhatikan adat, agama, dan budaya terkait dengan kehamilan sebelum menikah.
-
- Pentingnya untuk mencari dan mengetahui informasi yang benar kepada ahli terkait dengan kesuburan dan keturunan, sehingga individu dapat lebih mempertimbangkan keputusan yang akan diambil ketika dihadapkan pada situasi adanya tuntutan terkait dengan keturunan tanpa merugikan diri sendiri, keluarga dan lingkungan.
-
3. Saran bagi Orangtua
-
- Pentingnya memperhatikan dan mempertimbangkan usia anak, terkait dengan kematangan organ reproduksi, kematangan psikologis, dan kematangan emosional.
-
- Mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin anak hadapi, seperti dari sisi pendidikan dan kemapanan finansial.
-
- Penting untuk memperhatikan dan mempertimbangkan agama, budaya dan adat terkait dengan keturunan dan kehamilan sebelum menikah sehingga tidak melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
-
4. Saran bagi Pemerintah
Pentingnya untuk mensosialisasikan mengenai pemeriksaan kesehatan pranikah kepada masyarakat, sehingga masyarakat akan lebih terbuka dan mendapatkan informasi yang benar terkait dengan kesuburan dan keturunan.
-
5. Saran bagi peneliti selanjutnya
-
- Setiap daerah di Bali memiliki pandangan yang berbeda mengenai kehamilan sebelum menikah yang akan memberikan
keunikkan terhadap kondisi dan latar belakang individu dalam memutuskan untuk hamil sebelum menikah.
-
- Perhatikan kondisi yang dialami individu dan sebisa mungkin untuk mendapatkan informasi dari orangtua atau keluarga yang terlibat dalam proses yang menyebabkan individu mengambil keputusan untuk hamil sebelum menikah, tentunya dengan izin dari pihak yang terkait dan tanpa mengurangi kenyamanan individu, sehingga data yang diperoleh semakin berwarna dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2013). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Banun, F. O. & Setroyogo, S. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKes X Jakarta Timur 2012. Jurnal Ilmu Kesehatan,12-19.
Demartoto, A. (2008). Dampak infertilitas terhadap perkawinan (suatu kajian perspektif gender). Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 1-66.
Feriyani, B. & Fitri, A. R. (2010). Perilaku seksual pranikah ditinjau dari intensitas cinta dan sikap terhadap pornografi pada dewasa awal. Jurnal Psikologi , 119-152.
Hergenhahn, B. R. (2009). An introduction to the history of psychology sixth edition. USA: Wardsword Cengage Learning.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Kalat, J. W. (2005). Introduction to psychology seventh edition. USA: Thomson Learning. Inc.
Kurniawati, D. (2009). Relasi gender dalam masyarakat Bali. Skripsi-Universitas Indonesia.
Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Pangkat, I. G. (1978). Hukum adat kekeluargaan di Bali. Denpasar: Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana.
Raharja, S. M. (2013). Risiko kematian ibu menurut usia pada kasus kematian ibu dengan preeklampsia di Provinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur , 24-30.
Ramadhan, H. (2013). Meningkatnya usia kehamilan remaja. Dipetik 22 Maret 2013 dari
https://www.jurnalperempuan.org/meningkatnya-usia-kehamilan-remaja.html
Sari, C. P. (2009). Jurnal harga diri pada remaja putri yang telah melakukan hubungan seksual pranikah. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma , 1-14.
Saraswaty, R. (2013). Pre eliminary study terkait pilihan perempuan Bali untuk hamil sebelum menikah atau sesudah menikah. Bali: Fakultas Psikologi, Universitas Udayana.
Sendidevi, I. A. (2012). Kedudukan anak perempuan dalam sistem waris adat Bali. Jurnal Ilmiah Universitas Mataram , 1-19.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta Bandung.
Sumpami, D. (2008). Kepuasan pernikahan ditinjau dari kematangan pribadi dan kualitas komunikasi. Skripsi-Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Suriyani, L. D. (2013). Tingginya kehamilan tak diinginkan remaja Bali. Dipetik 12 September 2014 dari http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2013/08/30/tingginya-kehamilan-tak-diinginkan-remaja-bali.html
Utomo, Y. (2012 , Februari). Perkawinan menurut hukum adat Bali. Dipetik 20 Maret 2013 dari http://yuliutomo.blogspot.com/2012/02/perkawinan-menurut-hukum-adat-bali.html.
Woolfolk, A. (2009). Educational psychology active learning edition. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
55
Discussion and feedback