Dunia Sukarelawan Remaja: Frekuensi Aktivitas Kerelawanan dan Psychological Well-Being Sukarelawan Remaja di Bali
on
Jurnal Psikologi Udayana
2016, Vol. 3 No. 1, 142-155
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
Dunia Sukarelawan Remaja: Frekuensi Aktivitas Kerelawanan dan Psychological Well-Being Sukarelawan Remaja di Bali
Ni Putu Natalya dan Yohanes Kartika Herdiyanto Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Aktivitas kerelawanan adalah satu aktivitas positif untuk memfasilitasi energi remaja tersalurb dengan menjadi individu lebih sehat secara psikologis, memberikan dampak positif pembentukan identitas dan persepsi diri serta prediktor psychological well-being (Bruns, 2012). Manfaat ini membuat aktivitas kerelawanan memiliki daya tarik bagi remaja. Meskipun demikian, banyak remaja yang telah mengikuti pelatihan, tidak terlibat dalam aktivitas kerelawanan. Walaupun begitu, ada beberapa sukarelawan remaja yang telah bertahun-tahun menjadi sukarelawan tetap meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas kerelawanan (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). Banyaknya waktu yang dikontribusikan untuk aktivitas kerelawanan dapat berhubungan dengan penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, jalinan hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi dan tujuan hidup. Semua itu merupakan aspek psychological wellbeing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi aktvitas kerelawanan dengan psychological well-being dan faktor ada atau tidaknya hubungan tersebut serta mengetahui makna aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali.
Penelitian ini menggunakan metode kombinasi kuantitatif dalam komplementer (n=398; usia 13-22 tahun) dan kualitatif (n=19 dari 398). Uji Spearman dari data kuantitatif menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali (Laki-laki rxy= 0,022;P=0,844, Perempuan rxy= 0,033;P=0,556). Hasil tersebut dilandasi faktor usia remaja awal dan waktu aktivitas kerelawanan yang tidak menggambarkan kualitas kerelawanan. Aktivitas kerelawanan dimaknai sebagai identitas sosial, peran dan nilai diri oleh sukarelawan remaja di Bali. Hasil penelitian faktor psychological well-being sukarelawan remaja yaitu usia, kualitas kerelawanan dan non-kerelawanan serta makna aktivitas kerelawanan lebih lanjut didiskusikan dalam pembahasan.
Kata Kunci : sukarelawan, remaja, psychological well-being .
Abstract
Voluntary activities are positive activities to facilitating the youth energy for psychologically health and have positive identity formation and predictors of psychological well-being (Bruns, 2012). These are appeal activities for youth. In fact, so much youth activity made a lot of volunteers who have been trained doesn’t participate in voluntary activities. However, there are some youth volunteers who have many years of volunteering spend some time to doing voluntary activities (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). The amount of contributed time to voluntary activities may be related with self-acceptance, personal growth, positive relationship with others, environmental mastery, autonomy and purpose of life, there are part of psychological well-being. Purpose of this research are to know the correlation between the frequency of voluntary activities and psychological well-being and factors of that results in youth volunteers in Bali, also want to know the meaning of voluntary activities for youth volunteers in Bali.
Methods of this research is quantitative combination in compelementary method (n = 398; age 13-22 years) and qualitative (n = 19 of 398). Spearman's test of quantitative data showed no significant correlation between the frequency of voluntary activities and psychological well-being of youth volunteers in Bali (Men rxy= 0,022;P=0,844, Women rxy= 0,033;P=0,556) because of early adolescence and frequency of voluntary activities can’t describe quality of voluntary activities. The meaning of voluntary activities by youth volunteer in Bali are a social identity, role and self esteem. Results of this research about factors of psychological well-being youth volunteer such as ages, quality voluntary activities, non-voluntary activities and meaning of voluntary activities will be discussed later.
Keywords: volunteer, youth, psychological well-being
LATAR BELAKANG
Kepribadian manusia terbentuk dari kontribusi penyelesaian krisis psikososial dalam siklus kehidupan (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a). Erikson (dalam Feist & Feist, 2010a) mengungkapkan siklus kehidupan manusia terdiri dari delapan tahapan yaitu masa bayi, kanak-kanak awal, usia bermain, usia sekolah, remaja, dewasa muda, dewasa dan usia lanjut. Masa remaja merupakan masa yang paling krusial (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a) sehingga dapat dikatakan masa remaja adalah masa yang terpenting. Masa remaja menjadi penting karena pada masa ini terjadi periode krisis dan konflik-konflik seputar pencarian identitas diri (Erikson dalam Feist & Feist, 2010a).
Pemikiran mengenai remaja bermula dari pemikiran bahwa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2007a). Istilah yang sering digunakan Hall (dalam Santrock 2007a) adalah badai dan stres. Selain perbedaan dalam definisi remaja, ahli psikologi juga memiliki perbedaan pendapat dalam batas usia remaja. Hall (dalam Santrock, 2007a) menyatakan usia remaja berkisar antara 12 hingga 23 tahun. Meskipun rentang usia dari remaja bervariasi terkait dengan lingkungan dan budaya, Santrock (2007a) mengungkapkan masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Pendapat Santrock mengenai rentang usia masa remaja merupakan yang paling panjang diantara lainnya yaitu 13 tahun, dimulai sejak usia 10 hingga 22 tahun, sedangkan pendapat Hurlock adalah rentang yang paling pendek yaitu 6 tahun, dimulai sejak 13 hingga 18 tahun. Pendapat Hall memiliki perbedaan 1 tahun yang lebih pendek dari Santrock yaitu 12 tahun, yang dimulai dari usia 10 hingga 22 tahun. Pendapat Hall ini berbeda 2 tahun dari Papalia dan Olds yang menyatakan masa remaja dimulai dari usia 11 dan berakhir pada usia 20-an. Papalia, Olds dan Feldman (2008) tidak menjelaskan lebih spesifik mengenai batas usia 20-an.
Pada periode remaja ini terjadi pencarian identitas, yaitu masa menentukan siapakah dirinya, apa keunikannya, dan apa tujuan hidupnya (Santrock, 2007a). Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008) mendefinisikan pencarian identitas sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai dan keyakinan yang diperteguh oleh orang lain. Ini merupakan fokus atau tugas pada masa remaja (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Masa remaja menjadi sangat penting karena pencapaian akhir pencarian identitas adalah identitas remaja.
Pentingnya masa remaja membuat kehidupan remaja menjadi sorotan masyarakat. Fakta memprihatinkan adalah masyarakat lebih banyak menyoroti kehidupan negatif remaja. Fakta tersebut dapat terlihat dari perbandingan pemberitaan kasus remaja dan prestasi remaja Indonesia. Ketika mencari berita menggunakan mesin google dengan kata kunci ‘remaja Indonesia’ dapat ditemukan 7 dari 10 berita yang ada di
halaman pertama merupakan kasus atau kenakalan remaja (berita negatif tentang remaja). Dari 10 berita tersebut, 3 yang tersisa merupakan gabungan dari 1 berita prestasi remaja dan 2 sosial media komunitas remaja.
Berita mengenai remaja juga mengisi harian nasional maupun daerah. Fenomena yang sering mendapat sorotan adalah geng motor. Geng motor adalah sebuah kelompok atau gerombolan remaja yang dilatarbelakangi oleh persamaan latar sosial, sekolah, daerah dan lainnya. Umumnya geng motor dikenal meresahkan masyarakat (Hadi, 5 November 2014). Fenomena geng motor banyak terjadi di berbagai daerah Indonesia, salah satunya Tasikmalaya. Di Tasikmalaya geng motor diduga mengajarkan tindak kejahatan kepada anggota baru yang merupakan remaja. Fenomena yang terjadi sejak awal 2014 yaitu bulan Januari (Nugraha, 11 Januari 2014) juga terjadi di beberapa daerah seperti Makasar, Batam, dan Bandung (Abdullah, 17 September 2014; Wulan, 20 Pebruari 2014; Ramadhan, 25 April 2014; Wiyono, 8 April 2014).
Perilaku geng motor tersebut mengingatkan pada kasus geng motor yang menghebohkan masyarakat Bali (Latif & Andalan, 8 Pebruari 2012). Geng motor yang dipimpin dan beranggotakan perempuan melakukan kekerasan pada bulan Pebruari 2012. Kekerasan yang dilakukan berupa pukulan di kepala, menjambak rambut dan menggunting pakaian korban. Kekerasan yang dilakukan oleh remaja geng motor tersebut kemudian direkam dan diunggah oleh pelaku dengan tujuan mempermalukan korban. Akan tetapi, video yang terunggah tersebut membuat kasus kekerasan terungkap dan pelaku di proses secara hukum (Hasan, 8 Pebruari 2012).
Geng motor hanya salah satu fenomena remaja di Bali. Selain geng motor, remaja diberitakan melakukan tindakan pemalakan pada dini hari (Hidayat, 04 Februari 2015). Tindakan pemalakan ini dilakukan oleh 10 remaja di Jalan Gatsu Timur, Denpasar-Bali. Enam bulan setelah kejadian pemalakan tersebut, remaja kembali diberitakan melakukan perampokan di Batubulan, Gianyar-Bali (Darmendra, 22 Agustus 2015). Perampokan kepada pedagang lalapan ini dilakukan oleh 11 remaja berusia 15-19 tahun yang berasal dari Denpasar, Bali. Selain berita pemalakan dan perampokan, berita mengenai remaja datang dari dua remaja berusia 12 tahun (Suwiknyo, 12 Oktober 2015). Dua remaja yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) ini ditangkap Polsek Denpasar Barat, Bali karena melakukan balap liar atau trek-trekan.
Berita terbaru mengenai remaja Bali, menginformasikan penangkapan seorang remaja 15 tahun yang melakukan penusukan kepada temannya (San, 13 Oktober 2015). Penusukan karena rasa sakit hati pelaku mengakibatkan kematian remaja berusia 16 tahun. Sakit hati pelaku berawal dari ejekan korban terhadap pelaku mengenai kemampuan bela diri. Rasa sakit hati mendorong pelaku mendatangi korban di Waturenggong Denpasar dan
melakukan penusukan terhadap korban. Kasus-kasus yang telah dipaparkan secara menyeluruh dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja. Selain kasus remaja, remaja Bali juga melakukan aktivitas positif dan berprestasi. Setiap perilaku remaja, baik positif maupun kenakalan didasari oleh alasan tertentu.
Dasar perilaku individu yang sehat adalah pandangan (persepsi) subjektif diri sendiri mengenai kenyataan (Schultz, 1991). Persepsi dimasa kini membantu individu dalam mengorganisasikan pengetahuan, konsisten persepsi dengan perilaku individu (Kelly dalam Feist & Feist, 2010b). Persepsi masa kini yang positif mengorganisasikan pengetahuan yang baik sehingga menghasilkan perilaku yang baik seperti perilaku remaja berprestasi. Selain persepsi, untuk dapat menjadi sehat secara psikologis penting melibatkan diri dalam suatu bentuk aktivitas (Schultz, 1991). Salah satu aktivitas positif remaja Bali adalah menjadi sukarelawan.
Sukarelawan adalah orang atau sekelompok orang yang menolong, melibatkan komitmen untuk membantu secara spontan individu, keluarga, masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial tanpa mengharapkan keuntungan (Jedlicka, 1990; Wilson, 2000; Henderson dalam Sergent & Sedlacek, 1990). Kegiatan berkonsekuensi positif bagi orang lain yang dilakukan sukarelawan dengan kemampuan bertindak autentik, baik, benar sesuai dengan nilai-nilai, situasi dan riwayat secara sukarela disebut aktivitas kerelawanan (Meier & Stutzer, 2004; Henderson dalam Sergent & Sedlacek, 1990). Sukarelawan dapat berkontribusi melalui tenaga, pemikiran, bakat termasuk kemampuan intelektual serta harta untuk menolong orang lain (aktivitas kerelawanan). Sukarelawan meluangkan lebih banyak waktu dan terorganisir dalam melakukan perilaku menolong, dibandingkan dengan tindakan menolong orang asing pada umumnya, sehingga jumlah waktu sukarelawan melakukan aktivitas kerelawanan dapat menjadi prediktor aktivitas kerelawanan (Nugroho, 2007; Snyder & Onoto dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Jumlah waktu sukarelawan melakukan kegiatan berdasarkan sifat untuk ikut membantu individu, keluarga, masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial dengan perasaan ikhlas dan semangat pengabdian disebut frekuensi aktivitas kerelawanan.
Sukarelawan di Bali menjalankan beberapa kegiatan berbeda bergantung dengan organisasi yang diikuti. Beberapa jenis aktivitas kerelawanan yang dapat diikuti remaja diantaranya sukarelawan kemanusiaan, dan sosial kemanusiaan, serta kesehatan. Remaja yang tertarik untuk melakukan aktivitas kemanusiaan dapat bergabung menjadi sukarelawan PMI (Sudiantara, 20 Pebruari 2014), sedangkan Bali Caring Community adalah wadah bagi remaja untuk menjalankan aktivitas kerelawanan dengan isu sosial kemanusiaan (Bali Caring Community). Remaja dapat membantu donatur untuk memberikan bantuan secara
langsung kepada yang membutuhkan dengan menjadi sukarelawan Bali Caring Community. Aktivitas seperti donor darah maupun memberikan informasi mengenai HIV (Human Immunodeficiency Virus) – AIDS (Aquired
Immunodeficiency Syndrom) dapat dilakukan remaja dengan menjadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Selain menjadi sukarelawan PMI, pemberian infomasi mengenai HIV-AIDS juga dapat dilakukan remaja dengan bergabung menjadi sukarelawan KISARA (Kita Sayang Remaja). Sukarelawan KISARA dapat memberikan informasi seputaran HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi melalui siaran radio maupun ceramah serta memberikan konseling pada remaja (KISARA).
Dampak menjadi sukarelawan dapat terlihat pada remaja yang bergabung dalam kelompok sukarelawan AIDS (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Sukarelawan AIDS dapat mewujudkan keinginan belajar mengenai kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang. Selain itu, menjadi sukarelawan AIDS sebagai kegiatan kemanusiaan diakui sukarelawan memperkuat harga diri bahkan mengembangkan kepribadian dengan pengalaman menghadapi hal-hal sulit (Snyder & Omoto dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Selain itu, menjadi sukarelawan merupakan proses pematangan jiwa (Venayaksa, 2011).
Proses pematangan jiwa kerelawanan dapat menjadi kebebasan individu untuk menyatakan diri sebagai bentuk eksistensi (keberadaan) manusia (Surajiyo, 2005). Eksistensi remaja melalui aktivitas kerelawanan bukan hanya tahap estetis yang mengarah pada mendapatkan kesenangan, namun juga eksistensi etis yang lebih tinggi (Abidin, 2006). Eksistensi etis sukarelawan remaja dapat dicapai melalui perilaku maupun aktivitas berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (Abidin, 2006) seperti aktivitas kerelawanan. Aktivitas kerelawanan sebagai gerakan sosial yang berkembang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga memiliki nilai kemanusiaan. Sumbangan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya dari remaja dapat berdampak optimal pada masyarakat (Burns, 2012). Untuk mencapai manfaat tersebut, individu yang melakukan aktivitas kerelawanan ini akan melakukan persiapan, pelaksanaan sampai dengan follow-up sebuah kegiatan, sehingga dibutuhkan individu yang memiliki waktu luang dan tenaga. Individu yang banyak memiliki waktu luang dapat terlibat dalam aktivitas kerelawanan dengan frekuensi lebih tinggi. Semakin tinggi frekuensi keterlibatan individu dapat mengindikasi semakin banyak kesempatan yang diperoleh untuk menunjukkan eksistensi. Oleh karenanya, kebanyakan gerakan sosial terlihat bagus untuk memfasilitasi energi positif remaja.
Aktivitas kerelawanan juga membutuhkan kerjasama dengan membangun relasi, meningkatkan kepercayaan diri,
berinteraksi, dan belajar bekerja (Natalya, 2014). Semakin tinggi frekuensi aktivitas kerelawanan memungkinkan semakin banyak kerjasama yang terjalin dalam membangun relasi dengan teman, guru, maupun orangtua yang dapat menjadi wujud penerimaan diri (Price, 1978). Menurut Price (1978) penerimaan diri dapat mempengaruhi pembentukan identitas remaja menuju kedewasaan yang baik untuk remaja. Identitas diri terbentuk dari penggunaan kekuatan, keterampilan, pengetahuan dan sumber daya remaja dalam aktivitas kerelawanan. Ini dapat menjadi prediktor signifikan psychological well-being.
Psychological well-being didefinisikan sebagai kombinasi perasaan baik dan keberfungsian individu melalui pengembangan potensi, kepemilikan kontrol terhadap kehidupan, kepemilikan tujuan dan hubungan positif untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi tantangan eksistensial seperti emosi dan pengalaman negatif sehingga kehidupan dapat berjalan dengan baik (Huppert, 2009). Psychological well-being memiliki enam dimensi diantaranya penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995) yang mengacu pada pengembangan potensi diri remaja sehingga berdampak baik bagi kehidupan remaja. Melihat manfaat tersebut, aktivitas kerelawanan memiliki daya tarik bagi remaja yang sedang dalam pencarian identitas diri, namun banyak sukarelawan remaja yang telah mengikuti pelatihan tidak ikut terlibat dalam aktivitas kerelawanan. Kurangnya keterlibatan sukarelawan dalam aktivitas kerelawanan menjadi tantangan menjalankan organisasi kerelawanan karena program organisasi kerelawanan umumnya dijalankan atau dikerjakan oleh sukarelawan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Tantangan organisasi kerelawanan tersebut diungkapkan Ari, Koordinator salah satu organisasi kerelawanan remaja di Bali (Dewiyanti, 26 Oktober 2014).
Lebih lanjut, dalam studi pendahuluan (Dewiyanti, 26 Oktober 2014), Ari menjelaskan bahwa kesibukan yang dimiliki remaja memungkinkan kurangnya keterlibatan remaja (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). Walaupun begitu, Ari mengungkapkan ada beberapa sukarelawan remaja yang telah bertahun-tahun menjadi sukarelawan tetap meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas kerelawanan (Dewiyanti, 26 Oktober 2014). Banyaknya waktu yang dikontribusikan untuk aktivitas kerelawanan mungkin saja berhubungan dengan jalinan hubungan positif dengan orang lain, penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, penguasaan lingkungan, otonomi dan tujuan (kebutuhan) hidup (Dewiyanti, 26 Oktober 2014) sebagai aspek psychological well-being. Ini dapat membuat sukarelawan tetap aktif melakukan aktivitas kerelawanan.
Berdasarkan paparan, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan aspek-aspek psychological well-being sukarelawan remaja di
Bali. Peneliti tertarik untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being serta bagaimana sukarelawan memaknai aktivitas kerelawanan.
METODOLOGI
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kombinasi komplementer seperti yang diungkapkan Hammarsley (dalam Alsa, 2003). Kombinasi komplementer adalah gabungan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang hasil penelitiannya diperoleh melalui masing-masing pendekatan dengan fokus yang berbeda. Kombinasi dilakukan untuk memperkaya gambaran menyeluruh. Dalam kombinasinya, penelitian ini menggunakan salah satu cara yang diungkapkan Suryabrata & Brannen (dalam Alsa, 2003) yaitu metode kuantitatif sebagai metode utama.
Berdasarkan landasan metode kombinasi
komplementer, penelitian ini dilakukan dalam dua fase yaitu fase pertama menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan korelasional dan fase kedua menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Fase kuantitatif dilakukan untuk meneliti hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Fase kualitatif digunakan untuk mendukung hasil dari fase pertama dengan menjawab pertanyaan penelitian yaitu mengapa ada atau tidak ada hubungan antara variabel dan apa makna aktivitas kerelawanan bagi
sukarelawan remaja di Bali .
Fase Pertama
Variabel dan instrumen penelitian
Variabel penelitian ini dibagi menjadi 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah frekuensi aktivitas kerelawanan. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah psychological well-being sukarelawan remaja.
Frekuensi aktivitas kerelawanan adalah jumlah waktu melakukan kegiatan berdampak positif dalam kurun waktu tertentu oleh orang atau sekelompok orang berusia 10 hingga 22 yang berkomitmen untuk membantu secara spontan individu, keluarga, masyarakat dalam memecahkan permasalahan sosial berdasarkan sifat tanpa mengharapkan imbalan serta semangat pengabdian. Frekuensi aktivitas sukarelawan remaja diukur menggunakan angket dengan pertanyaan tertutup (cek list) yang dibuat oleh peneliti. Semakin banyak jumlah frekuensi aktivitas kerelawanan yang dilakukan menunjukkan semakin aktif individu sebagai sukarelawan. Pertanyaan tertutup disajikan dalam angket
bersama dengan pertanyaan terbuka untuk menggali data aspek aktivitas kerelawanan lainnya yaitu kontribusi tenaga, bakat termasuk kemampuan intelektual, dan harta. Angket tertutup dan terbuka ditujukan untuk mendapatkan data faktual mengenai aktivitas kerelawanan yang dilakukan sukarelawan remaja di Bali melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup. Validitas dan realibilitas angket tidak diukur secara psikometris. Reliabilitas dan validitas hasil angket terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan jujur seperti apa adanya.
Psychological well-being dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kombinasi perasaan baik dan keberfungsian individu melalui pengembangan potensi, kepemilikan kontrol terhadap kehidupan, kepemilikan tujuan dan hubungan positif untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi tantangan eksistensial seperti emosi dan pengalaman negatif sehingga kehidupan dapat berjalan dengan baik. Psychological well-being dipengaruhi beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, relasi sosial, kesejahteraan dan hubungan positif, serta kepribadian. Ada 6 aspek sebagai prediktor psychological well-being yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Psychological well-being sukarelawan remaja di Bali diukur menggunakan kuisoner dengan pertanyaan tertutup yang dibuat oleh peneliti dengan validitas dan reliabilitas yang telah diuji. Semakin tinggi total skor psychological well-being sukarelawan menunjukkan semakin tinggi kemampuan individu untuk pengembangan potensi, mengontrol kehidupan, memiliki tujuan hidup dan hubungan positif untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi tantangan eksistensial seperti emosi dan pengalaman negatif. Kuisoner mengukur psyhoclogical well-being responden melalui pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam kuisoner. Pertanyaan yang disajikan disesuaikan dengan aspek psychological well-being yang dikembangkan Ryff (1995).
Skala psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini telah diuji validitas dan realibilitasnya. Uji validitas meliputi validitas muka, isi dan konstruk yang diuji melalui penilaian oleh 5 expert judgement, terdiri dari dosen psikologi dan sukarelawan remaja. Uji coba skala psychological well-being pertama kali menghasilkan nilai alpha sebesar 0,739. Berkaitan dengan alasan reliabilitas item yang tidak mencapai 0,80 dan sebanyak 64 aitem tidak memenuhi nilai 0,3 sehingga dilakukan uji coba skala psychological well-being untuk kedua kalinya. Nilai reliabilitas aitem meningkat pada uji skala psychological wellbeing yang kedua sehingga memiliki nilai alpha sebesar 0, 872. Pada uji skala psychological well-being yang kedua jumlah aitem yang gugur juga berkurang. Sebanyak 47 aitem yang terdiri dari 19 aitem favorable dan 28 aitem unfavorable
digugurkan karena tidak memenuhi nilai 0,3. Pengguguran aitem yang tidak memenuhi nilai 0,3 membuat nilai alpha meningkat menjadi 0,896, sehingga total aitem dalam skala psychological well-being yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 41 aitem dari 88 aitem skala yang diujicobakan.
Selain dua variabel tersebut, peneliti juga menggunakan satu variabel lain yaitu variabel kontrol. Variabel kontrol merupakan variabel bebas yang dibuat konstan oleh peneliti dengan mengontrolnya ketika dimasukkan dalam penelitian (Purwanto, 2010). Variabel kontrol pada penelitian ini adalah usia dan budaya yang dapat merepresentasikan relasi sosial. Variabel kontrol ini dikontrol melalui penetapan subjek dalam kriteria inklusi sampel.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah sukarelawan remaja di Bali. Secara spesifik, sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) sukarelawan berusia 10-22 tahun di Bali; (b) aktif dalam aktivitas kerelawanan minimal selama 3 bulan terakhir; (c) berdomisili dan tumbuh dalam budaya di Bali; (d) paham dan mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia; (e) berpartisipasi secara sukarela.
Sampel diambil secara acak dengan probabilitas cluster sampling dari krop sukarela PMI. Kertas yang bertuliskan kabupaten yang memiliki krop sukarela di sekolah maupun universitas dilipat, kemudian diambil secara acak. Pada tahap ini Denpasar dan Badung menjadi pilihan sehingga dapat dilakukan pengiriman surat kepada sekolah dan universitas yang memiliki kelompok palang merah. Akan tetapi tidak semua palang merah sekolah maupun universitas bersedia untuk menjadi sampel karena alasan ujian, ulangan umum dan liburan sekolah sehingga sampel minimal penelitian ini tidak terpenuhi. Untuk memenuhi minimal sampel 385 sukarelawan, dilakukan pengambilan sampel tahap kedua dengan mengacak kembali kabupaten. Dari nama kabupaten yang keluar, kuisoner diberikan kepada sukarelawan dari Kabupaten Tabanan, Karangasem, Klungkung dan Buleleng yang bersedia menjadi sampel. Total sampel pada pengambilan data kuantitatif sebanyak 398 sukarelawan.
Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 15.0 for windows. Data frekuensi aktivitas kerelawanan yang tidak normal menyebabkan analisis Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 15.0 for windows menjadi analisis non-parametrik spearman.
Fase Kedua
Desain, Unit analisis dan Pelaksanaan Penelitian Kualitatif
Penelitian ini merupakan fase lanjutan dari penelitian kuantitatif yang telah dilakukan. Fokus dalam fase kedua penelitian ini adalah menggali data penyebab ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychlogical well-being dan paradigma psikologi mengenai pemaknaan aktivitas kerelawanan sukarelawan remaja di Bali. Untuk menjawab fokus penelitian dilakukan pengambilan data dengan dua cara yaitu mengambil jawaban dari angket terbuka dan melakukan wawancara individu, wawancara kelompok maupun diskusi kelompok terarah. Jawaban dari angket diambil bersamaan dengan pengisian angket kerelawanan dan skala psychological well being, sedangkan wawancara dilakukan pada tanggal 26 Juli 2015 sampai dengan 29 Juli 2015. Penelitian fase kualitatif dengan wawancara dan focus group discussion dimulai dengan pembuatan guideline, kemudian menentukan subjek dan waktu serta menghubungi subjek untuk mengikuti wawancara dan focus group discussion.
Diskusi kelompok terarah maupun wawancara dilakukan dengan panduan pertanyaan terbuka yang berkembang sesuai dengan jawaban responden. Daftar pertanyaan dalam panduan wawancara dan diskusi kelompok terarah disusun berdasarkan hasil data kuantitatif pada fase pertama. Daftar pertanyaan kemudian didiskusikan kepada dosen pembimbing. Semua pertanyaan didiskusikan kepada kelompok di tempat yang ditentukan peneliti dengan mengumpulkan semua responden. Untuk menangkap semua hasil diskusi yang dilakukan, proses diskusi direkam dengan bantuan recorder. Untuk mendukung rekaman, peneliti juga melakukan pencatatan lapangan atau fieldnote.
Keseluruhan data temuan yang terkumpul ditransfer menjadi teks dalam format dokumen dan disatukan dalam satu folder untuk memastikan kerapian data. Data temuan disusun untuk selanjutnya dikategorikan sehingga didapatkan tema-tema berdasarkan kategori yang ditemukan (Moleong, 2004). Hasil sementara dan hasil akhir penelitian kualitatif ini didiskusikan dengan pembimbing sebagai proses untuk memeriksa keabsahan data. Selain itu, keabsahan data kualitatif ini dilakukan dengan triangulasi berupa variasi kelompok responden dan variasi cara pengambilan data. Variasi kelompok responden terdiri dari laki-laki dengan frekuensi aktivitas kerelawanan rendah dan tinggi serta perempuan dengan frekuensi aktivitas kerelawanan rendah dan tinggi.
Responden Penelitian Kualitatif
Responden fase kedua dalam penelitian ini adalah responden fase pertama yang bersedia mengikuti diskusi kelompok terarah dan wawancara. Secara keseluruhan kriteria inklusi untuk responden pada fase ini sama dengan kriteria pada fase sebelumnya, telah mengisi angket dan
menandatangani lembar persetujuan untuk mengikuti diskusi kelompok terarah maupun wawancara sebagai bukti kesediaan menjadi responden fase kedua. Responden dibagi menjadi empat kelompok yaitu laki-laki yang melakukan aktivitas kerelawanan dengan frekuensi rendah, perempuan yang melakukan aktivitas kerelawanan dengan frekuensi rendah, laki-laki yang melakukan aktivitas kerelawanan dengan frekuensi tinggi, dan perempuan yang melakukan aktivitas kerelawanan dengan frekuensi tinggi. Sebanyak 19 sukarelawan yang terdiri dari 9 orang sukarelawan perempuan dan 10 orang sukarelawan laki-laki, berpartisipasi dalam penelitian ini.
Hipotesis dan Pertanyaan Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah mengenai hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Hipotesis yang ingin diajukan dalam penelitian ini yaitu :
H1 : terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological wellbeing sukarelawan remaja di Bali.
H0 : tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological wellbeing sukarelawan remaja di Bali.
Selain itu, peneliti juga mengajukan dua pertanyaan penelitian yaitu mengapa salah satu hipotesis tersebut dapat diterima? Apa makna aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali?
HASIL
Uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan linearitas harus dilakukan untuk memenuhi syarat studi korelasi. Uji asumsi dilakukan untuk memastikan bahwa data memiliki sebaran normal dan linear untuk menentukan jenis uji statistik yang akan dilakukan (Sireger, 2013). Uji normalitas dan uji linearitas variabel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 15.0 for windows.
Berdasarkan hasil analisis melalui metode kolmogorov-smirnov dapat diketahui sebaran data psychological well-being berdistribusi normal dengan probabilitas (p) 0,807. Akan tetapi, sebaran data frekuensi aktivitas kerelawanan memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas dibawah 0,05 (p<0,05) yaitu 0,000 walaupun sudah dipisahkan menurut jenis kelamin sehingga dapat dikatakan tidak normal. Selain uji normalitas, uji linearitas dilakukan dengan teknik compare means melalui program SPSS 15.0 for windows. Hasil uji linearitas penelitian ini memiliki nilai probabilitas (p) sebesar 0,315 sehingga memiliki makna taraf signifikan lebih besar dari 0,05 (p >
0,05) yang menunjukkan frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being berhubungan linear.
Setalah melalui uji normalitas dan linearitas, dilakukan uji hipotesis untuk melihat ada atau tidaknya korelasi (hubungan) antara variabel frekuensi aktivitas kerelawanan dan psychological well-being. Hasil dari pengolahan data dengan metode korelasi non-parametrik Spearman dinyatakan memiliki hubungan signifikan jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Artinya, taraf kepercayaan terhadap kebenaran hipotesis pada penelitian ini haruslah sebesar 95%. Berdasarkan komputasi statistik, didapatkan nilai probabilitas (p) pada taraf signifikansi 5% kelompok laki-laki sebesar 0,844 dan kelompok perempuan sebesar 0,556 (p>0,05) yang dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2. Probabilitas yang jauh lebih besar dari 0,05 ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara variabel frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being pada kelompok laki-laki maupun perempuan.
Tabel 1
I ji Signifikansi Frekuensi aktivitas Rereknvanan dengan Psychological well-being Laki-laki______
Frekuensi Aktivitas Relawan |
PWB | ||
Spearman 's Fiekueusi Aklivitas |
Correlation |
1.000 | |
rho Relawan |
Coefficient |
022 | |
Sig. f 2-tailed) |
844 | ||
N |
85 |
5 | |
PWB |
Correlation Coefficient |
.022 |
,000 |
Sig. i2-tailed} |
.844 | ||
N |
85 |
f 5 | |
Tabel 2 Uji Signifikansi Frekuensi aktivitas |
kerelawaπan | ||
dengan Psychological well-being Perempuan | |||
F Iekuensi-Aktivitas | |||
Reiawan |
PWB | ||
Spearman's Fiekuensi Aktivitas |
Correlation | ||
1.000 |
.033 | ||
rho Relawan |
Coefficient | ||
Sig. (2-tai led) |
,556 | ||
N |
313 |
313 | |
PWB |
Correlation |
.033 |
1.000 |
Coefficient | |||
Sig. (2-tai led) |
,556 | ||
N |
313 |
313 |
Berdasarkan pengambilan data kualitatif melalui angket, wawancara dan diskusi kelompok terarah, penelitian ini menemukan faktor yang menyebabkan tidak ada hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being yaitu frekuensi aktivitas kerelawanan tidak menggambarkan kualitas kerelawanan yang mempengaruhi psychological well-being. Tidak tergambarnya kualitas kerelawanan melalu frekuensi aktivitas kerelawanan karena frekuensi atau jumlah waktu sukarelawan melakukan aktivitas kerelawanan diatur oleh jadwal. Sukarelawan juga menghabiskan waktu lebih banyak untuk melakukan aktivitas kerelawanan dalam waktu-waktu khusus seperti ketika acara tertentu dan waktu yang diluangkan oleh sukarelawan tidak
hanya untuk melakukan aktivitas kerelawanan namun juga melakukan aktivitas lainnya yang bukan aktivitas kerelawanan walaupun masih dilakukan dalam organisasi kerelawanan. Selain itu, ada faktor lain selain frekuensi aktivitas
kerelawanan yang berhubungan dengan psychological well-
being sukarelawan remaja yaitu kualitas kerelawanan dan faktor non kerelawanan. Faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being sukarelawan remaja di Bali tergambar melalui diagram berikut :
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi juga ditemukan tiga tema besar mengenai makna aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali. Tiga tema makna aktivitas kerelawanan bagi sukarelawan remaja di Bali yaitu aktivitas kerelawanan sebagai identitas sosial, peran dan nilai diri oleh sukarelawan remaja di Bali.
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Faktor Penyebab Tidak Ada Hubungan Signifikan antara Frekuensi Aktivitas Kerelawanan dengan Psychological Well-Being Sukarelawan Remaja di Bali
Nilai probabilitas (p) pada taraf signifikansi 5% kelompok laki-laki sebesar 0,844 dan kelompok perempuan sebesar 0,556 (p>0,05) melalui uji Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara variabel frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Tidak adanya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis nol (H0) penelitian ini diterima. Hasil ini tidak mendukung asumsi penelitian ini bahwa psychological well-being sukarelawan remaja di Bali
berhubungan dengan frekuensi aktivitas kerelawanan yang dilakukan oleh sukarelawan remaja di Bali. Melalui penggalian data lebih lanjut dengan metode penelitian kualitatif melalui analisis angket, focus group discussion dan wawancara, didapatkan 3 faktor tidak ada hubungan signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali, yaitu :
-
a. Usia
Fungsi fisik, mental dan sosial seperti umur merupakan faktor pediktor mempengaruhi psychological wellbeing yang diperhitungkan dalam penelitian ini (Wells, 2010; Ryff dalam Singh, 2012). Wells (2010) dan Ryff dalam Singh (2012) mengungkapkan bahwa pertumbuhan pribadi sebagai salah satu aspek psychological well-being individu, semakin berkurang seiring dengan usia yang bertambah. Semakin tua usia individu, maka pertumbuhan pribadi individu semakin berkurang. Pertumbuhan pribadi paling tinggi ditunjukkan oleh orang muda (pemuda) karena individu pada usia ini menganggap diri telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja dan memiliki harapan besar untuk masa depan. Selain pertumbuhan pribadi, alasan kemajuan signifikan sejak masa remaja juga meningkatkan tujuan hidup individu.
Nilai tinggi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi ditunjukkan oleh orang muda (pemuda) yang telah melalui masa remaja, sedangkan sampel mayoritas penelitian ini adalah individu yang baru memasuki usia remaja. Remaja berusia 13-16 tahun merupakan sampel mayoritas yang berjumlah 115 orang. Pemuda seperti yang diuangkapkan Wells (2010) dan Ryff dalam Singh (2012) menganggap diri telah membuat kemajuan yang signifikan sejak masa remaja, sedangkan individu yang baru memasuki usia remaja belum memiliki kemajuan yang signifikan. Remaja berusia 13-16 tahun merupakan masa pencarian identitas, yaitu masa menentukan siapakah dirinya, apa keunikannya, dan apa tujuan hidupnya (Santrock, 2007a). Untuk mendapatkan identitas, remaja berproses melalui bereksperimen dengan berbagai peran. Dengan kata lain, remaja sedang berproses untuk membuat kemajuan yang signifikan, namun belum sepenuhnya membuat kemajuan yang signifikan.
Selain itu, rentang usia 13-16 tahun merupakan remaja yang sedang menempuh pendidikan SD – SMP. Mayoritas responden melakukan aktivitas kerelawanan dalam frekuensi 1-2 jam per minggu. Dalam hasil focus group discussion ditemukan bahwa jenjang pendidikan menentukan pengalaman dan peran dalam aktvitas kerelawanan. Pengalaman dan peran dapat menjadi investasi remaja untuk melakukan hal yang hendak dilakukan, yang disebut Marcia (dalam Santrock, 2007a) sebagai komitmen. Komitmen dalam usia remaja dapat membentuk kehidupan remaja beberapa tahun kemudian (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) mengenai identitas dirinya. Identitas diri mengenai perubahan signifikan
yang telah dilakukan dapat terbentuk melalui manfaat dari peran dan pengalaman individu dalam melakukan aktivitas kerelawanan. Akan tetapi, dari hasil focus group discussion ditemukan bahwa tidak semua aktivitas kerelawanan yang dilakukan memberikan manfaat bagi sukarelawan. Waktu 1-2 jam per minggu dapat menyebabkan sukarelawan tidak terlibat secara langsung dan hanya mengikuti jadwal yang diberikan sehingga tidak dapat merasakan manfaat aktivitas kerelawanan secara sesungguhnya. Tidak dapat dirasakannya manfaat sesungguhnya aktivitas kerelawanan menyebabkan frekuensi aktivitas kerelawanan yang dilakukan tidak dapat berhubungan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali.
-
b. Kualitas kerelawanan
Hasil wawancara menunjukkan ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Berdasarkan analisis data kualitatif salah satu dari dua faktor utama yang mempengaruhi psychological well-being sukarelawan remaja di Bali berasal dari kerelawanan yaitu kualitas kerelawanan. Kualitas kerelawanan dapat terlihat dari pendidikan yang didapatkan selama melakukan aktivitas kerelawanan.
Pendidikan tata krama dan bersikap yang diberikan dalam pendidikan kilat (diklat) menjadi landasar bagi sukarelawan untuk membina hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain yang ditunjukkan dengan sikap hangat dan percaya, memiliki empati, afeksi kepada sesama manusia dan mampu memberikan kasih yang besar serta keintiman merupakan prediktor hubungan positif dengan orang lain (Ryff dalam Sigh, 2010). Sikap-sikap tersebut dilandasi oleh pendidikan sebagai variabel perilaku dari tiga variabel (lingkungan, perilaku dan manusia) yang berinteraksi untuk membentuk tindakan manusia (Bandura dalam Feist&Feist, 2010b). Prediktor hubungan positif seperti sikap hangat dan percaya, memiliki empati, afeksi kepada sesama manusia dan mampu memberikan kasih yang besar serta keintiman termanifestasi dalam solidaritas yang tinggi antar sukarelawan sehingga menurunkan kemandirian antar teman sebaya. Solidaritas ini muncul karena adanya ketergantungan individu dalam interaksi. Ketika interaksi terjadi, sukarelawan saling memengaruhi pemikiran, perasaan, atau perilaku (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Peran dan lingkungan sukarelawan menjadi faktor yang berkontribusi dalam kualitas kerelawanan. Bandura (dalam Santrock, 2007a) mengungkapkan bahwa lingkungan dapat mempengaruhi perilaku individu. Ini terjadi pada sukarelawan remaja, dimana sukarelawan melakukan pengamatan terhadap kejadian yang terjadi pada lingkungannya sehingga mampu belajar mengenai tanggung jawab. Pembelajaran tanggung jawab tersebut merupakan metode observasional yakni individu membentuk gagasan
mengenai perilaku orang lain dan mengadopsi ke dalam diri perilaku yang diamati (Bandura dalam Santrock, 2007a).
Pembelajaran tanggung jawab terjadi misalnya ketika sukarelawan terpilih menjadi koordinator. Perilaku sebagai koordinator dapat diobservasi dan adopsi dari koordinator sebelumnya. Selain itu, peran sukarelawan remaja dalam organisasi kerelawanan membentuk komitmen sebagai investasi personal dalam sistem kepercayaan (Papalia & Old, 2008) yang berperan penting untuk remaja memutuskan mengenai hal yang diyakini dan tidak percayai. Sistem kepercayaan mendorong individu untuk berpegang teguh pada diri sendiri untuk mendapatkan keyakinan pribadi sehingga mengambil keputusan sendiri (Papalia & Old, 2008).
Berdasarkan peran yang diambil dalam lingkungan sukarelawan memungkinkan sukarelawan untuk melakukan diskusi. Diskusi dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada kualitas sukarelawan. Remaja mengungkapkan amarah atau emosi negatif dengan suara keras mengritik orang yang menyebabkan amarah atau emosi negatif (Hurlock, 1980). Emosi negatif yang muncul ketika melakukan aktivitas kerelawanan umumnya diungkapkan dalam evaluasi berupa diskusi. Kritik-kritik yang diterima melatih sukarelawan untuk mengelola emosi agar perasaan tetap baik dan mampu tetap mempertahankan hubungan positif antar sukarelawan. Kritik yang diterima sukarelawan juga berupa ejekan dari teman yang bukan sukarelawan. Kritik berupa ejekan melatih sukarelawan untuk menerima berbagai aspek negatif dalam diri sehingga mampu tetap memiliki sikap, perasaan positif terhadap diri sendiri dan melakukan pengambilan keputusan berupa peningkatan kompetensi diri yang menguntungkan (Singh, Mohan, Anasser, 2012). Dengan begitu, sukarelawan dapat berpartisipasi aktif dalam lingkungan untuk melakukan aktivitas sukarelawan.
Selain itu, dalam diskusi yang terjadi melatih kesadaran sukarelawan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi sehingga mampu mengembangkan potensi diri. Kemampuan menjaga perasaan baik, menjaga hubungan positif dan pengembangan emosi tersebut merupakan bagian dari psychological well-being (Huppert, 2009).
Kualitas kerelawanan juga mencangkup pengetahuan, keterampilan dan pengalaman baru. Menjadi sukarelawan merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengalaman baru (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Kemampuan tersebut dapat meningkat seiring dengan keaktifan sukarelawan dalam aktivitas kerelawanan. Keaktifan dalam aktivitas kerelawanan membuat sukarelawan melakukan pekerjaan dan memiliki kesibukan. Pekerjaan yang dilakukan sukarelawan menyediakan peluang bagi sukarelawan untuk mengalami pertumbuhan personal sehingga memperkuat harga diri sukarelawan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009) yang terwujud dalam percaya diri. Peningkatan percaya diri mendorong individu untuk berperilaku sesuai dengan
standar dirinya sendiri dan berpegang teguh pada dirinya sendiri untuk mendapatkan keyakinan pribadi sehingga mengambil keputusan sendiri dan mandiri dalam melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara yang benar (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Sigh, Mohan, & Anasser, 2012).
Faktor lain yang berkontribusi dalam kualitas sukarelawan adalah organisasi. Organisasi adalah kelompok individu dengan jumlah bervariasi yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). Setiap individu memiliki pola sifat, kepribadian, dan kualitas karakter yang berbeda-beda (Feist & Feist, 2010) sehingga dalam organisasi terdiri dari individu dengan berbagai macam kepribadian, karakteristik, dan kualitas karakter. Walaupun memiliki perbedaan dalam organisasi individu diharapkan untuk mencapai tujuan (organisasi) tertentu sehingga individu yang tergabung berinteraksi secara kooperatif dengan membantu, berbagi informasi dan bekerja sama (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Dalam organisasi kerelawanan interaksi kooperatif tersebut terwujud melalui aktivitas kerelwanan. Dengan karakteristik individu yang berbeda dalam organisasi namun harus mencapai tujuan tertentu melatih kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondiri psikologis. Individu terlatih untuk mengendalikan lingkungan yang kompleks karena interaksi dengan berbagai sifat, karakter dan kepribadian individu lainnya sehingga tetap mampu berpartisipasi aktif dalam lingkungan (Compton, 2005; Ryff & Keyes, 1995; Singh, Mohan & Anasser, 2012; Wells, 2010).
Faktor seperti diklat, lingkungan, diskusi, keaktifan, organisasi merupakan kualitas kerelawanan yang mempengaruhi psychological well-being. Selain itu, kualitas kerelawanan dapat terlihat dari manfaat sumbangan, tidak hanya dari waktu atau jumlah waktu yang dihabiskan. Jumlah waktu atau frekuensi aktivitas sukarelawan tidak menggambarkan secara utuh kualitas sukarelawan karena jumlah waktu aktivitas kerelawanan dihabiskan tidak hanya untuk aktivitas kerelawanan namun juga aktivitas intern organisasi kerelawanan yang ditunjukkan dalam hasil angket. Aktivitas intern organisasi kerelawanan seperti kemah tidak dapat dikategorikan aktivitas kerelawanan walaupun masih menjadi aktivitas organisasi kerelawanan.
Sumapradja (dalam Munajar, 2000) mengungkapkan kerelawanan adalah sifat keterlibatan sukarelawan untuk ikut serta membantu sesama anggota masyarakat tanpa mengharapkan keuntungan dengan perasaan ikhlas dan semangat pengabdian. Sedangkan, dalam kemah, latihan maupun aktivitas intern organisasi kerelawanan belum mencermintakan sifat kerelawanan tersebut. Penggunaan waktu untuk melakukan aktivitas yang bukan aktivitas kerelawanan dalam organisasi dan frekuensi aktivitas sukarelawan yang tidak menggambarkan secara utuh kualitas
sukarelawan ini menjadi faktor tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini.
-
c. Faktor non-kerelawanan
Jika dianalisis waktu dapat mempengaruhi namun secara tidak langsung karena waktu untuk melakukan aktivitas dalam organisasi kerelawanan mempengaruhi hubungan dengan orang lain dan keluarga khususnya orang tua. Hubungan dengan orang tua dan keluarga merupakan faktor psychological well-being bagi sukarelawan remaja di Bali. Remaja sebagai periode penuh masalah dapat memunculkan sisi positif individu berdasarkan pengalaman (Santrock, 2007a). Melalui aktivitas kerelawanan, sukarelawan mendapatkan pengalaman-pengalaman. Tidak jarang sukarelawan menemui permasalahan. Akan tetapi, pengalaman yang lebih buruk membuat responden tetap berpikir positif ketika mengalami permasalahan yang kurang diharapkan. Ini sejalan dengan pemikiran Santrock (2007a) yang mengemukakan bahwa permasalahan remaja berdasarkan pengalaman memunculkan harapan, optimisme, kreativitas dan sifat positif individu.
Sifat positif individu muncul terkait dengan orang tua. Berbeda dengan Santrock (2007a) yang mengungkapkan kesenjangan nilai dan sikap remaja memicu konflik orang tua-anak, orangtua sukarelawan remaja di Bali memiliki peran memberikan nasihat untuk mengelola emosi sehingga mencapai integrasi emosi yang dapat mendorong sukarelawan mengatasi permasalahan yang dialami. Permasalahan yang berhasil diatasi tersebut mengarahkan individu untuk memiliki makna dalam hidup (Singh, Mohan & Anasser, 2012). Selain pengalaman diri, pengalaman orang tua memiliki peran untuk membangun tujuan hidup sukarelawan. Pengalaman orang tua memiliki makna sehingga mengarahkan sukarelawan merencanakan tujuan dalam hidup. Kemampuan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup (Compton, 2005; Ryff, 1995; Singh, Mohan &Anasser, 2012), dalam penelitian ini pengalaman orang tua sukarelawan mengarahkan sukarelawan membahagiakan orangtua sebagai tujuan hidup.
Selain itu, pergaulan dengan teman agar tidak tertinggal dan mampu mengikuti media juga berperan dalam pencapaian tujuan hidup sebagai salah satu aspek psychological well-being. Kontak sosial dan hubungan interpersonal yang terjadi ini berpengaruh terhadap dimensi psychological well-being seperti yang diungkapkan Bianco dan Diaz (dalam Singh, 2012) walaupun dimensi yang diungkapkan berbeda. Bianco dan Diaz (dalam Singh, 2012) mengungkapkan dimensi yang berkaitan adalah hubungan positif dengan orang lain sedangkan penelitian ini menemukan tujuan hidup.
Hubungan positif dengan orang lain yang terwujud dalam sikap hangat dan kepercayaan dalam hubungan, empati dan afeksi kepada orang lain (Singh, Mohan, & Anasse, 2012)
terjadi melalui kesan pertama. Menurut Taylor, Peplau, & Sears (2009) individu akan membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan infomasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum dari orang lain. Individu memberi perhatian khusus yang paling menonjol dari orang lain, bukan memerhatikan seluruh ciri, kemudian memerhatikan kualitas yang membuat orang berbeda dan aneh. Dalam memproses informasi, individu akan memberi makna yang koheren pada perilaku orang lain. Pada tingkat tertentu individu menggunakan konteks perilaku orang lain untuk menyimpulkan makna perilaku, bukan menginterpretasikan perilaku secara terpisah. Ini dilakukan juga oleh sukarelawan dalam menolong orang lain dan membentuk memunculkan reaksi suka atau tidak suka.
Kesan pertama juga dapat terjadi ketika mencari sponsor. Kebutuhan sukarelawan untuk mendapatkan sponsor mendorong individu untuk memanipulasi lingkungan yang kompleks bersama orang yang baru dikenal dengan mengatur janji dan berdiskusi. Dorongan individu untuk memanipulasi lingkungan yang kompleks merupakan dimensi penguasaan lingkungan dari psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu, berdiskusi dengan orang yang baru dikenal untuk mencapai tujuan yaitu mendapatkan sponsor mendorong individu bersikap hangat dan percaya dalam berhubungan dengan orang lain. Sikap hangat dan percaya dalam berhubungan orang lain merupakan perdiktor psychological well-being menurut Ryff dan Keyes (1995).
Membangun hubungan positif dengan orang lain juga dapat terjadi melalui rajin bersekolah. Sekolah memiliki pengaruh terhadap harga diri remaja (Santrock, 2007a). Untuk meningkatkan harga diri remaja dapat dilakukan melalui meningkatkan prestasi (Santrock, 2007a) seperti mengikuti ekstra yang membuka kesempatan untuk mengadakan event dan lomba. Prestasi dalam event ataupun lomba meningkatkan keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memberikan hasil yang positif (Bandura dalam Santrock, 2007a). Penguasaan situasi dapat tercermin dari kemampuan mengambil sebuah keputusan yang menguntungkan berdasarkan peluang yang ada di lingkungan. Kemampuan tersebut merupakan prediktor penguasaan lingkungan dalam aspek psychogical well-being (Ryff & Keyes, 1995). Mengikuti event dan lomba juga membuka kesempatan untuk bertemu dengan lebih banyak orang sehingga memungkinkan individu untuk menjalin hubungan yang hangat dan saling mempercayai dengan orang yang baru dikenal. Hubungan baru dengan orang lain diakui sukarelawan memunculkan rasa percaya diri.
Kegiatan diluar aktivitas kerelawanan yang berkaitan dengan psychological well-being adalah karang taruna, aksi sosial, dan kegiatan mencari sponsor. Kegiatan karang taruna sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diener dan Diener (dalam Singh, 2012). Diener dan Diener (dalam Singh,
2012) mengemukakan bahwa psychological well-being terkait dengan konteks sosial dan budaya. Karang taruna merupakan kelompok muda di masyarakat. Diener dan Diener (dalam Singh, 2012) mengungkapkan psychological well-being meningkat melalui koheresi kelompok dalam budaya kolektivitas dan dukungan sosial. Dukungan sosial dapat ditunjukkan melalui aksi sosial yang dilakukan sukarelawan.
Faktor internal seperti adanya keinginan untuk mampu berkembang serta keyakinan untuk menambah ilmu pengetahuan membuat sukarelawan mengevaluasi diri
berdasarkan standar personal (Ryff & Keyes, 1995) yang diakui sukarelawan sebagai kemandirian. Faktor internal lainnya adalah kepribadian yang diakui sukarelawan. Faktor kepribadian yang diungkapkan sukarelawan sejalan dengan teori yang diungkapkan Costa dan McCare (dalam Singh, 2012). Menurut Costa dan McCare (dalam Singh, 2012) konsep psychological well-being terkait dengan perspektif subjektif individu atas prestasi diri dan kepuasan dengan masa lalu, masa sekarang dan tindakan masa depan. Penelitian ini menemukan bahwa sukarelawan yang berpikir terbuka dan positif sehingga lebih siap menerima kritik orang lain berkaitan dengan penyelesaian masalah kerelawanan sebagai wujud pengendalian lingkungan yang kompleks (Ryff & Keyes, 1995). Untuk menjaga pemikiran positif, sukarelawan mengungkapkan dapat dilakukan dengan memberi jeda sejenak pemikiran apabila sedang menghadapi permasalahan. Psychological well-being juga berkaitan dengan rasa malu dan rasa percaya. Rasa malu diakui sukarelawan muncul karena adanya kecenderungan merepotkan orang tua walaupun telah memasuki usia remaja. Sejalan dengan otonomi yang diungkapkan Santrock (2007b), remaja secara bertahap mengurangi ketergantungan yang kekanak-kanakan kepada orangtua. Pada penelitian ini diakui oleh remaja sebagai kemandirian yang merupakan salah satu indikator psychological well-being. Sedangkan, rasa saling percaya antar sukarelawan berperan penting dalam penyelesaian masalah.
Penyelesaian atau pemecahan masalah melewati beberapa proses, salah satunya pengorganisasian informasi. Pengorganisasian informasi merupakan usaha mengerjakan tugas secara efektif dalam hal ini pemecahan masalah dengan mengumpulkan ide-ide diri sendiri maupun acuan tertentu (Sternberg, 2006) seperti teman sesama sukarelawan. Interaksi antar sukarelawan akan saling mempengaruhi individu. Ketika dua orang saling mempengaruhi pikiran, perasaan, atau perilaku masing masing mereka dapat dikatakan saling terhubung (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Individu akan lebih mudah terpengaruh ketika ada rasa saling percaya. Ini yang diungkapkan sukarelawan sebagai peran penting rasa saling percaya berperan penting dalam penyelesaian masalah. Adanya faktor-faktor non-kerelawanan ekternal maupun internal yang diungkapkan oleh reponden memperjelas bahwa
psychological well-being sukarelawan remaja di Bali berhubungan dengan faktor lain selain frekuensi aktivitas kerelawanan. Tidak adanya hubungan frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali karena tidak semua waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas kerelawanan dapat bermanfaat bagi sukarelawan. Manfaat dari aktivitas kerelawanan yang dilakukan oleh sukarelawan didapatkan hanya dengan terlibat secara langsung dalam aktivitas kerelawanan. Apabila sukarelawan tidak terlibat secara langsung seperti hanya membayar uang kas sebagai kewajiban organisasi, waktu yang dihabiskan dalam aktivitas kerelawanan tidak memberikan dampak pada diri sukarelawan.
Selain itu, waktu yang dihabisakan sukarelawan untuk melakukan aktivitas kerelawanan memunculkan tantangan tersendiri seperti berkurangnya waktu bersama keluarga sehingga memunculkan emosi negatif seperti kalut dan perasaan tidak enak (malu) kepada keluarga, yang mana keluarga menjadi faktor non-kerelawanan psychological wellbeing bagi sukarelawan remaja di Bali.
Makna Aktivitas Kerelawanan
Mengetahui makna merupakan dorongan yang fundamental menurut Frankl (dalam Schultz, 1991). Memberikan makna bagi kehidupan merupakan tujuan yang diperjuangkan oleh orang-orang sehat secara psikologis (Frankl dalam Schultz, 1991). Oleh karena itu, individu yang memberi makna bagi kehidupan berhadapan dengan tantangan yang membuat individu berjuang sehingga menghasilkan kehidupan yang penuh semangat dan gembira. Ada tiga cara individu memberikan makna bagi kehidupan yaitu mengenai apa yang diberikan individu kepada dunia berkenaan dengan suatu ciptaan, apa yang individu ambil dari dunia dalam pengalaman, dan sikap yang individu ambil terhadap penderitaan (Frankl dalam Schultz, 1991).
Dianalisis dari teori makna hidup menurut Frankl (dalam Schultz, 1991), aktivitas kerelawanan terkait dengan hal yang diberikan individu kepada dunia. Pemberian individu dapat terlihat dari manfaat sumbangan barang atau uang yang dikontrbusikan. Manfaat tersebut dinikmati oleh orang lain. Melalui aktivitas kerelawanan individu juga dapat melayani orang lain melalui aktivitas membantu teman yang pingsan maupun membutuhkan bantuan dalam aktivitas fisik. Melayani orang lain dapat digolongkan sebagai nilai daya cipta dalam makna hidup (Frankl dalam Schultz, 1991). Nilai daya cipta menyangkut pemberian kepada dunia sehingga nilai-nilai pengalaman yang didapatkan merupakan penerimaan dari dunia (Frankl dalam Schultz, 1991).
Berkaitan dengan apa yang individu ambil dari dunia dalam pengalaman, sukarelawan memaknai aktivitas kerelawanan dapat dikategorikan menjadi 3 tema yaitu
identitas sosial, peran dan nilai. Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri yang berasal dari keanggotaan dalam satu atau lebih kelompok sosial dan dari evaluasi yang diasosiasikan dengannya (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Pada penelitian ini, sukarelawan khususnya anggota Palang Merah Remaja (PMR) adalah identitas sosial. Konsep diri bergantung bagaimana individu mengevaluasi in-group dibandingkan kelompok lain. Sukarelawan merasa bangga merupakan cerminan harga diri yang tinggi. Taylor, Peplau, & Sears (2009) mengungkapkan harga diri yang tinggi karena individu berada pada kelompok dominan. Anggapan kelompok dominan dapat muncul dari kemampuan sukarelawan membantu orang lain melalui aktivitas kerelawanan. Identitas sosial memunculkan peran sosial sebagai sukarelawan.
Peran sosial merupakan seperangkat norma yang berlaku untuk orang-orang dengan posisi tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Dalam penelitian ini, peran sebagai sukarelawan membentuk rasa tanggung jawab sukarelawan sehingga terdorong untuk meningkatkan keterampilan seperti mengatur waktu serta meningkatkan kepedulian terhadap orang lain yang dapat ditunjukkan dengan memberi motivasi atau menjadi motivator. Dorongan tersebut merujuk pada motif sukarelawan sebagai fungsi sosial. Sukarelawan sebagai salah satu cara beraktivitas yang dihargai orang lain untuk mendapatkan persetujuan sosial dan memperkuat hubungan sosial. Selain itu, juga berfungsi sebagai pemahaman yaitu sukarelawan mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman baru (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman baru yang diakui sukarelawan bernilai tinggi ini, dapat menjadi pengembangan potensi sebagai salah satu kategori psychological well-being.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Tiga faktor penyebab tidak ada hubungan signifikan antara frekuensi aktivitas kerelawanan dengan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali yaitu usia, kualitas kerelawanan dan faktor non-kerelawanan. Selain itu, berdasarkan penggalian data dengan metode kualitatif didapatkan bahwa sukarelawan remaja di Bali memaknai aktivitas kerelawanan sebagai identitas sosial, peran sebagai batu pijakan yang bernilai tinggi dan nilai diri sebagai motivator.
Saran praktis yang dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil penelitian ini kepada remaja di Bali, sukarelawan remaja di Bali, organisasi kerelawanan dan peneliti selanjutnya. Bagi remaja Bali, aktivitas kerelawanan menjadi rekomendasi alternatif kegiatan untuk menambah
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan baru bagi remaja Bali. Bagi sukarelawan remaja di Bali, waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas kerelawanan membuat sukarelawan memiliki waktu yang lebih sedikit bersama orangtua maupun keluarga. Kondisi ini membuat sukarelawan merasakan emosi negatif seperti kalut maupun “tidak enak” karena tidak dapat membantu orangtua atau karena kelelahan setelah melakukan aktivitas kerelawanan. Frekuensi (jumlah waktu) aktivitas kerelawanan yang dilakukan sukarelawan tidak menggambarkan kualitas kerelawanan yang mempengaruhi psychological well-being sukarelawan remaja di Bali. Selain itu, sukarelawan mengungkapkan bahwa orangtua dan hubungan bersama keluarga khususnya orangtua memiliki peran dalam pencapaian tujuan hidup serta penerimaan diri sebagai aspek psychological well-being. Oleh karena itu, penting bagi sukarelawan untuk membagi waktu antara orangtua dan aktivitas kerelawanan. Sukarelawan remaja juga perlu melakukan pengaturan waktu untuk melakukan aktivitas dalam organisasi kerelawanan agar jumlah waktu yang digunakan efektif mencapai kualitas kerelawanan dan bermanfaat bagi diri sendiri sehingga aktivitas kerelawanan yang dilakukan dapat mencapai makna identitas sosial dan peran bernilai.
Bagi organisasi kerelawanan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman baru yang didapatkan dari peran sosial sebagai sukarelawan dapat menjadi pengembangan potensi sebagai salah satu kategori psychological well-being. Oleh karena itu, organisasi kerelawanan perlu memaksimalkan keikutsertaan (peran) sukarelawan dalam aktivitas kerelawanan agar waktu yang diluangkan untuk melakukan aktivitas dalam organisasi kerelawanan mencapai makna aktivitas kerelawanan dan meningkatkan kualitas kerelawanan dengan cara meningkatkan faktor-faktor kerelawanan seperti didikan, peran dalam lingkungan, diskusi, keaktifan dan organisasi serta aktivitas lainnya yang melibatkan sukarelawan secara langsung.
Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengkaji lebih banyak mengenai faktor budaya dalam penelitian kualitas aktivitas sukarelawan dan psychological well-being sukarelawan remaja di Bali karena topik penelitian psychological well-being dengan menggali faktor budaya dapat menjadi menarik. Selain itu, penelitian mengenai kerelawanan belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga peneliti selanjutnya dapat mengembangkan tema dari hasil penelitian kualitatif khususnya mengenai makna dan faktor diluar kerelawanan yang berkaitan dengan psychological wellbeing. Apabila melakukan penelitian yang sejalan dengan penelitian ini, peneliti selanjutnya dapat melakukan kontrol yang lebih ketat terkait rentang usia populasi responden pada fase kuantitatif sehingga jarak usia menjadi lebih pendek seperti mengambil sampel dengan kelompok sukarelawan remaja awal, tengah, dan akhir. Peneliti selanjutnya juga
disarankan untuk melakukan penelitian kualitatif dengan kelompok yang lebih banyak (varian kelompok lebih banyak) dari organisasi yang berbeda karena banyaknya varian kelompok sampel (FGD maupun wawancara) memungkinkan muncul lebih banyak kasus yang kemudian dapat diseleksi serta dikaji sebagai hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, E. (2014, September 17). Upaya darurat pemberantasan geng motor yang semakin meresahkan di Makassar. Dipetik Desember 5, 2014, dari Kompasiana:
Abidin, Z. (2006). Filsafat manusia. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Alsa,A. (2003). Pendekatan kuantitatif dan kualitatif serta
kombinasinya dalam penelitian psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Burns, G. (2012). Happiness and psychological well-being: building human capital to benefit individuals and society. Solution, 3.
Compton,W.C. (2005). Introduction to positive psychology. United States of America: Thomson Wadworth.
DeVito,J.A. (1997). Human communication (komunikasi antarmanusia). Jakarta: Professional books.
Dewiyanti, L. P. (2014, Oktober 26). Data awal kerelawanan. (N. Natalya, Pewawancara) Denpasar.
Feist, J., & Feist, G.J. (2010a). Teori kepribadian (7 ed.). (M. Astriani, Penyunt., & Handrianto, Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika.
Feist, J., & Feist, G.J. (2010b). Teori kepribadian (7 ed.). (R.
Oktafiani, Penyunt., & S. P. Sjahputri, Penerj.) Jakarta: Salemba Humanika.
Hadi, I.I. (2014, November 5). Remaja dan geng motor. Dipetik Mei 2015, 5, dari Radarcirebon:
http://www.radarcirebon.com/remaja-dan-geng-motor.html
Hasan,R. (2012, Pebruari 8). Kronologi video kekerasan cewek Bali .
Dipetik Desember 5, 2014, dari Tempo:
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/02/08/058382482/ kronologi-video-kekerasan-cewek-bali
Hidayat, I. (2015, Pebruari 04). Awalnya minta rokok, gerombolan motor remaja mulai meresahkan. Dipetik Pebruari 13, 2015, dari Tribun Bali:
http://bali.tribunnews.com/2015/02/04/awalnya-minta-rokok-gerombolan-motor-remaja-mulai-meresahkan
Huppert,F.A. (2009). Psychological well-being: evidence regarding its causes and consequences. Applied psychology: health and well-being, 137–164.
Hurlock,E.B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (5 ed.). (M. Dra. Istiwidayanti dan Drs. Soedjarwo, Penerj.) Jakarta: Erlangga.
Jedlicka,A. (1990). Volunteerism and world development. New York: Praeger Publishers.
Kesumaningsari,N.P.A., & Natalya,N.P. (2012). Contribution of feeling jengah towards Balinese adolescents’ selfachievement. International Conference on "Promoting Happiness, Health and Quality of Life; The Role of Psychology, Technology and Enviromental Sciences. Malaysia.
KISARA. (t.thn.). KISARA. Dipetik Oktober 13, 2015, dari
Kisara.or.id: http://www.kisara.or.id/about/kisara
Latif, S., & Andalan, B. (2012, Pebruari 8). Pelaku dan korban anggota geng motor. Dipetik September 22, 2015, dari Viva.co.id:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/286724/pelaku-dan-korban-anggota-geng-motor
Meier,S., & Stutzer,A. (2004). Is volunteering rewarding in itself? Germany: unpublish.
Moleong,L.J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Natalya, N.P. (2014). Pencapaian tujuan hidup relawan remaja di Bali. Denpasar: tidak dipublikasikan.
Nugraha, C. (2014, Januari 11). Polisi ciduk 17 anggota geng motor Tasikmalaya. Dipetik Desember 2014, 5, dari Tempo:
http://metro.tempo.co/read/news/2014/01/11/214543976/po lisi-ciduk-17-anggota-geng-motor-tasikmalaya
Nugroho,J.D. (2007, Desember). Volunteer sebuah panggilan jiwa. Voluntary World, 1.
Papalia, Olds, & Feldman. (2008). Human development (psikologi perkembangan). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Purwanto. (2010). Metodologi penelitian kuantitatif untuk psikologi dan pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Price, E. (1978). Cari tau sendiri. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ramadhan,J.A. (2014, April 25). Geng motor pembuat onar di Bandara Hang Nadim diburu polisi. Dipetik Desember 5, 2014, dari Merdeka:
http://www.merdeka.com/peristiwa/geng-motor-pembuat-onar-di-bandara-hang-nadim-diburu-polisi.html
Ryff,C.D., & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.
Wells, I.E. (2010). Psychological well-being. New York: Nova Science Publishers, Inc.
San. (2015, Oktober 13). Motif pembunuhan pelajar karena ejekan. Dipetik Oktober 15, 2015, dari Suksesi news.com:
http://suksesinews.com/berita-motif-pembunuhan-pelajar-karena-ejekan.html
Santrock,J.W. (2002). Life-span development : perkembangan masa hidup (5 ed.). (A. &. Chuisairi, Penerj.) Jakarta: Erlangga.
Santrock,J.W. (2007a). Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock,J.W. (2007b). Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Schultz,D. (1991). Psikologi pertumbuhan, Model-model kepribadian sehat. (d. Y. OFM., Penerj.) Yogyakarta: Kanisius.
Sergent, M.T., & Sedlacek, W.E. (1990). Volunteer motivations across student organizations: a test of person-environment fit theory. Journal of college student development, 31, 255261.
Singh,K.,Mohan,J., & Anasseri,M. (2012). Psychological well-being: Dimensions, measurements and applications. Saarbrucken: LAP LAMBERT Academic Publishing.
Siregar,S. (2013). Statistik parametrik untuk penelitian kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Sternberg,R.J. (2008). Psikologi kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudarsana. (t.thn.). Tentang kami. Dipetik Oktober 13, 2015, dari Bali Caring Community:
http://balicaringcommunity.org/tentang-bcc-3/tentang-kami
Sudiantara. (2014, Pebruari 20). Relawan sebagai ujung tombak PMI. Dipetik Oktober 13, 2015, dari Palang Merah Indonesia Provinsi Bali: http://www.pmibali.or.id/2014/02/relawan-sebagai-ujung-tombak-pmi/
Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat suatu pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suwiknyo, E. (2015, Oktober 12). Dua anak SD jadi 'joki' trek-trekan di Buluh Indah, polisi amankan 10 motor. Dipetik Oktober 13, 2015, dari Tribun bali:
Taylor,E.S., Peplau,L.A., & Sears, D.O. (2009). Psikologi sosial (12 ed.). Jakarta: Kencana.
Venayaksa, F., Randhawa, L., Sidqi, A.M., dkk. (2011). Relawan Dunia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Wilson, J. (2000). Volunteering. Annu. Rev. Sociol.
Wiyono, A.S. (2014, April 8). 2 dari 9 pemerkosa ABG di Bandung anggota geng motor. Dipetik Desember 5, 2014, dari
Merdeka: http://www.merdeka.com/peristiwa/2-dari-9-
pemerkosa-abg-di-bandung-anggota-geng-motor.html
Wulan, R.T. (2014, Februari 20). Geng motor jadi momok di Jawa Barat. Dipetik Desember 5, 2014, dari Voaindonesia:
http://www.voaindonesia.com/content/geng-motor-jadi-momok-di-jawa-barat/1855274.html
155
Discussion and feedback