FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT COMING OUT PADA LESBI FEMME DI BALI
on
Jurnal Psikologi Udayana 2016, Vol. 3 No. 1, 20-34
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT COMING OUT PADA LESBI FEMME DI BALI I Gst Ayu Puspasari Dewi, dan David Hizkia Tobing
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
Abstrak
Secara keilmuan psikologi, lesbi sudah tidak dianggap sebagai sebuah gangguan jiwa sejak tahun 1973 hingga sekarang berdasarkan buku panduan dari DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), namun keberadaan lesbi ditengah-tengah masyarakat masih dihadapkan pada suatu penolakan dan pelanggaran agama, norma, serta nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia khususnya di Bali, lesbi menjadi individu yang paling “bawah” dikarenakan dua hal utama, yaitu kuatnya budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai kaum minoritas dan karena lesbi masih dianggap sebagai penyakit dan menyimpang. Hal tersebut membuat kaum lesbi semakin kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat yang membuat lesbi mengalami hambatan dalam melakukan pengungkapan diri (coming out). Melakukan coming out pada lesbi bukanlah hal yang mudah khususnya pada lesbi femme yang diakui sangat pandai sekali menyembunyikan identitasnya sebagai lesbi, karena tidak bisa begitu saja menafsirkan seorang perempuan yang feminim tersebut adalah seorang lesbi. Hal tersebut membuat peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi femme di Bali.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi. Responden penelitian ini sebanyak 4 orang yang memiliki identitas sebagai lesbi femme di Bali dan belum melakukan coming out sebagai lesbi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua responden belum mampu mencapai tahapan akhir dari coming out yaitu tahapan integration dan baru mencapai tahapan awareness, exploration dan acceptance. Terdapat dua faktor penghambat dalam melakukan coming out yaitu faktor penghambat yang berasal dari dalam diri individu (faktor penghambat internal) dan faktor penghambat yang berasal dari luar diri individu (faktor penghambat eksternal).
Faktor penghambat internal yang didapatkan dalam hasil penelitian yaitu adanya harapan untuk kembali heteroseksual, rasa bersalah, dan rasa cinta, sedangkan pada faktor penghambat eksternal dipengaruhi oleh keluarga, tekanan sosial, norma dan kebudayaan.
Kata kunci: Hambatan, Pengungkapan Diri, Coming Out, Lesbi, Bali
Abstract
In psychology, lesbian has not regarded as a psychiatric disorder since 1973 until now based on guidebook of the DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). But until now presence of lesbians on the society are still faced with a denial and violation of religion, norms, and values prevailing in society. In Indonesia, especially in Bali, lesbian being as individual mostly "down" due to two main things, there are strong patriarchy culture that makes women as a minority and then because lesbians are still considered a disease and deviant. This makes the lesbian increasingly difficulty in adjusting to society that makes lesbian experience barriers to self-disclosure (coming out). Doing coming out in lesbian is not easy, especially in the lesbian femme which recognized very good at hiding his identity as a lesbian, because other people cannot just interpret a feminine woman is a lesbian. This makes the researchers want to determine the factors that hinder the coming out on lesbian femme in Bali.
This study uses qualitative research methods with phenomenology approach. Respondents this study were four people who have an identity as a lesbian femme in Bali and have not done of coming out phase as a lesbian. The results of this study indicate that all respondents have not been able to reach the final stage of coming out as known as integration stage. The respondents only can reach the stage of awareness, exploration and acceptance. There are two limiting factor which inhibit of coming out phase, factors that originate from within the individual (internal limiting factor) and the factors that come from outside the individual (external limiting factor). Internal limiting factor obtained in the research that is the hope of re-heterosexual, guilt, and love, while the external limiting factor is influenced by family, social pressures, norms and culture.
Keywords: Inhibit, Self-disclosure, Coming Out, Lesbian, Bali
LATAR BELAKANG
Keberadaan homoseksual merupakan salah suatu fenomena sosial yang mendapatkan suatu penolakan dari sebagian besar masyarakat, karena masyarakat masih menganggap homoseksual sebagai penyimpangan seksual yang belum berlaku secara umum (Pujileksono & Puspitosari, 2005). Menurut Oetomo (2008), homoseksual merupakan suatu pilihan atau orientasi seksual yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin sama. Pada masyarakat dikenal dua macam bentuk homoseksual, yaitu gay yang berarti laki-laki yang secara seksual tertarik terhadap sesama laki-laki dan lesbi berarti perempuan yang secara seksual tertarik terhadap sesama perempuan (Pujileksono & Puspitosari, 2005).
Secara kajian psikologis homoseksual sudah tidak dianggap sebagai sebuah gangguan jiwa sejak tahun 1973 hingga sekarang. Hal tersebut berdasarkan buku acuan terbaru dari DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) yang dirilis oleh APA (2013) maupun dalam panduan milik Indonesia yang dikenal dengan istilah PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia) bahwa homoseksual sudah tidak masuk ke dalam kategori gangguan kejiwaan.
Secara nilai masyarakat keberadaan homoseksual ditengah-tengah masyarakat masih dianggap perilaku yang menyimpang karena melanggar ajaran agama, norma, serta nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam kepada homoseksual yang berada di lingkungan sekitarnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada pula yang memandang sebelah mata dan mendapatkan penghinaan maupun perlakuan yang tidak menyenangkan (Pujileksono & Puspitosari, 2005).
Dalam kehidupan lesbi dikenal tiga istilah untuk membedakan apakah lesbi tersebut memiliki peran selaku laki-laki yang biasa disebut butch atau butcy, dan selaku perempuan yang disebut femme, dan ada juga yang bisa berperan sebagai laki-laki maupun perempuan disebut andro. Biasanya yang berperan sebagai butcy dapat dilihat dan dibedakan dari cara berpakaian yang cenderung seperti laki-laki, bahkan lesbi butcy sudah merasa seperti laki-laki baik dalam berpakaian maupun bertingkah laku, sedangkan pada lesbi femme biasanya seperti perempuan yang pada umumnya berpenampilan feminin, suka berdandan dan tampak seperti perempuan heteroseksual lainnya. Lesbi andro dalam berpakaian lebih fleksibel, tergantung dari peran yang dilakoni pada saat itu, apakah dia sebagai perempuan atau laki-laki pada hubungan lesbi tersebut (Agustine, 2008).
Banyak hal yang membuat kaum lesbi lebih memilih untuk menutup identitas seksualnya sebagai lesbi, seperti pada sebuah penelitian kaum lesbi yang mengungkapkan orientasi
seksualnya kepada orangtua dan teman-teman cenderung menerima perlakuan yang buruk (Cramer & Roach, 1998). Sekitar 46% dari kaum lesbi kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari kaum lesbi mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua kaum lesbi menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anaknya yang lesbi.
Hasil survey dari LSI (Lingkaran Survey Indonesia) tahun 2012 menemukan fakta sebesar 80,6 persen dari populasi sampel yang keberatan memiliki tetangga dari kaum gay dan lesbi (Galih & Tofler, 2012). Di Indonesia, lesbi menjadi individu yang paling “bawah” dikarenakan dua hal utama, yaitu kuatnya budaya patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai yang pertama dan karena homoseksual masih dianggap penyakit dan menyimpang. Berikut kutipan dari Damon mengenai lesbi (Jackson & Jones, 1998):
“Lesbi lebih dirugikan daripada laki-laki homoseksual. Sebagai lesbi, kami bahkan berada lebih rendah dalam lubang pasir; kami adalah perempuan (yang merupakan status minoritas) dan kami adalah lesbi”.
Pada sebuah artikel berjudul: “Gay, Lesbi dan Waria di Usir Dari Denpasar” yang berisi keluhan kepada ibu-ibu dan para aktivis LSM di Wantilan DPRD Bali atas perlakuan tidak adil yang dialami kepada para gay, waria, dan lesbi di Bali sebagai pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Pada artikel berita tersebut, waria berinisal S meminta agar diskriminasi terhadap para waria, gay, lesbi di Bali agar segera dihentikan dan selebihnya diberi kesempatan sama dengan kelompok masyarakat lainnya. S bersama rekan-rekannya yang aktif di Yayasan Gaya Dewata, berharap pemerintah di Bali bisa lebih menerima kehadiran waria, gay, dan lesbi (Okezone, 2010).
Lesbi di Bali tidak dapat dipungkiri keberadaannya, namun keberadaan lesbi seringkali tidak diketahui dibandingkan kaum gay. Kaum lesbi lebih banyak memilih untuk tidak membuka diri, padahal di Bali sendiri menyediakan tempat-tempat hiburan malam khusus kaum homoseksual yang berada di daerah seminyak seperti Bali Joe, Mixwell, Face Bar, dan lain-lain (Gaya Dewata, 2015). Hal tersebut tidak mempengaruhi kaum lesbi dalam mengungkapkan identitas diri sebagai lesbi pada lingkungan sosial. Masih adanya ancaman dan pertentangan negatif dari masyarakat yang membuat kaum lesbi takut dan semakin kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sehingga membuat kaum lesbi tidak ingin membuka diri atau yang dikenal dengan istilah non coming out (Constanti, 2012).
Di Bali yang menganut paham patriarki menganggap anak laki-laki sebagai yang pertama dan menjadikan perempuan merasa minoritas dan dianggap lebih rendah
keberadaannya dibandingkan laki-laki di Bali meng. Selain itu, di Bali tidak ada sebuah yayasan khusus untuk kaum lesbi saja, berbeda halnya dengan kaum gay di Bali yang sudah memiliki yayasan resmi bernama Yayasan Gaya Dewata. Pernyataan tersebut didukung dari hasil wawancara peneliti, tanggal 27 September 2013 kepada Pimpinan Yayasan Gaya Dewata berinisial C. C mengungkapkan bahwa, kaum lesbi lebih banyak menutup diri pada lingkungan sosial dan perkiraan keberadaan kaum lesbi di Bali pun tidak dapat dipastikan jumlahnya dibandingkan kaum gay.
Berdasarkan preliminary study yang dilakukan peneliti pada tanggal 9 Oktober 2013 pada salah satu lesbi di Bali berinisial OG, ikut memperkuat pernyataan keberadaan kaum lesbi di Bali lebih banyak menutup diri dibandingkan kaum gay:
“orang-orang seperti ini ga mau terbuka, malunya lebih besar daripada kemaluannya. Apalagi adat orang Bali malu nya itu loh, baru tau anaknya lesbi langsung dipaksa nikah, toh setelah menikah ada yang akhirnya bercerai, kembali lagi sama cewek. Ya mungkin itu dah malu, mereka tertutup karena keluarga ga mungkin nerima, takut, jadinya ga berani terbuka. Banyak mbak masih banyak yang tertutup, yang saya kenal ada 100an”.
Melakukan pengungkapan diri atau dalam istilah homoseksual disebut coming out merupakan suatu proses bagaimana seorang homoseksual mampu mengungkapkan identitas seksualnya kepada siapapun, yang nantinya akan berimbas pada suatu penerimaan diri identitasnya sebagai seorang homoseksual yang lebih positif. Coming out merupakan proses yang paling memberatkan karena individu tersebut melakukan penegasan identitas seksual sebagai lesbi atau gay terhadap diri sendiri dan orang lain (Oetomo, 2008).
Melakukan coming out berarti menerima identitas seksual sebagai homoseksual yang dapat meningkatkan suatu penghargaan diri, dan menunjang terjadinya penyesuaian psikologis pada seorang lesbi (Kelly, 2001). Disisi lain, banyak kaum lesbi yang tidak melakukan coming out, karena seorang lesbi harus memutuskan kepada siapa saja untuk mengungkapkan identitas seksual sebagai lesbi. Pada umumnya seorang lesbi takut untuk melakukan coming out terhadap keluarga, teman-teman heteroseksual, dan rekan kerja karena berbagai faktor-faktor penghambat dari dalam diri (internal) maupun dari luar diri (eksternal). Faktor-faktor penghambat tersebut datang, karena adanya risiko yang harus dihadapi oleh kaum lesbi setelah melakukan coming out seperti diusir, dihina maupun dikucilkan oleh lingkungan sosialnya.
Melakukan coming out bukanlah hal yang mudah khususnya pada lesbi femme yang diakui sangat pandai sekali menyembunyikan identitasnya sebagai lesbi, karena tidak bisa begitu saja menafsirkan seorang perempuan yang feminim tersebut adalah seorang lesbi. Dalam kehidupan percintaan,
lesbi femme akan bersikap dan berperan sebagai perempuan walau secara kodrat memang seperti perempuan. Menurut Rain (2007), dalam situs jejaring sosial “sepocikopi” diungkapkan juga bahwa lesbi femme yang bersembunyi dibalik rok dan sepatu hak tinggi, sangat sulit dilihat ditempat umum sebagai seorang lesbi, dan biasanya lesbi femme lebih menutup jati dirinya. Berbeda halnya dengan lesbi butcy yang lebih membuka diri dengan berpenampilan tomboy bahkan menyerupai laki-laki dan lebih mudah distreotipkan sebagai seorang lesbi.
Berdasarkan preliminary study yang didapatkan bahwa sangat sedikit diketahui lesbi femme yang telah coming out dan bukan berarti dalam penelitian ini peneliti memberikan kesimpulan bahwa lesbi femme tidak bisa melakukan coming out, namun ingin melihat hambatan-hambatan yang dialami lesbi femme dalam melakukan coming out, sehingga .pertanyaan dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang menghambat coming out pada lesbi femme di Bali?
METODE
Tipe penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata - kata tertulis atau lisan dari orang - orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian kualitatif, objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan kehadiran peneliti tidak memengaruhi dinamika pada objek tersebut (Moleong, 2004 ; Satori & Komariah, 2013 ; Sugiyono, 2012).
Adapun desain penelitian kualitatif yang digunakan peneliti dalam memahami fenomena bunuh diri adalah dengan menggunakan pendekatan fenomenologis, didasarkan kepada prinsip - prinsip pendekatan fenomenologis yang diungkapkan oleh Ghony dan Almanshur (2012) dan Moleong (2004), yaitu : a) Peneliti berusaha memahami makna dari suatu fenomena yaitu untuk melihat hambatan coming out pada lesbi femme, b) Pengumpulan data melalui in-depth interview sehingga peneliti mendapatkan persepsi dari beberapa lesbian mengenai faktor-faktor yang menghambat coming out dalam budaya khusus yaitu lesbi femme di Bali, c) Peneliti tidak memasukkan asumsi dan nilai-nilai pribadi mengenai pengalaman seseorang sebagai lesbi serta hambatan dalam melakukan coming out.
Karakteristik responden
Penelitian ini menggunakan empat orang responden dengan karakteristik merupakan perempuan yang tinggal dan berasal dari Bali yang sedang menjalin hubungan lesbi dengan
peran sebagai lesbi femme Usia keempat responden dalam penelitian ini tidak dibatasi dan berkisar antara 22-26 tahun. peneliti menemukan gambaran secara keseluruhan dari empat responden terkait dengan kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
-
a. Faktor Label dalam status lesbi
Dalam penelitian ini, keempat responden merupakan lesbi dengan label femme yaitu lesbi yang berpenampilan dan berpakaian feminim, rambut panjang, lembut layaknya seperti perempuan pada umumya. Lesbi femme secara umum dari segi fisik dan penampilan tidak distreotipkan sebagai seorang lesbi, berbeda halnya dengan lesbi butcy yang memiliki karakteristik tomboy bahkan berpenampilan seperti laki-laki dengan rambut pendek yang paling sering distreotipkan sebagai seorang lesbi.
-
b. Faktor Norma
Dari keempat responden diketahui belum melakukan coming out ke lingkungannya, karena keempat responden tinggal dalam budaya timur yang menganut paham “heteronormatif” sebagai orientasi seksual yang normal, sehingga masyarakat khususnya di Bali masih menganggap perempuan lesbi adalah suatu hal yang abnormal, perlu disingkirkan dan mengalami diskriminasi. Terdapat 5 jenis norma yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma hukum, noma adat dan norma kesopanan.
-
c. Faktor Budaya
Budaya patriarki menjadi salah satu sumber yang memengaruhi perempuan dalam hal berinteraksi dengan lingkungannya. Bali merupakan salah provinsi di Indonesia yang menganut budaya patriarki yang membuat anak perempuan dianggap nomor dua sedangkan anak laki-laki nomor satu yang membuat perempuan khususnya pada perempuan lesbi menjadi pasif dan sulit untuk mengungkapkan pemikiran maupun perasaannya terkait dengan status lesbi kepada lingkungannya.
-
d. Faktor Cinta
Sebagian besar responden tidak ingin dipisahkan dari pasangannya apabila keluarga responden mengetahui responden adalah seorang lesbi. Adanya perasaan cinta membuat responden terhambat dalam melakukan coming out dengan alasan tidak ingin mengambil risiko kalau nantinya akan dijauhkan dari pasangan dan lingkungan lesbi.
Tabel 1
Karakteristik Responden
Kode Responden |
Karakteristik Responden |
Kode Responden |
Karakteristik Responden |
Responden GK (NCO 1) |
Usia: 22 tahun Alamat: Dahuig Agama: Hindu Pendidikan: Sl Pekeijaan: Pegawai Swasta Tahun Menjadi Lesbi: 2009 Label: Lcsbi Femme |
Responden RR (NC0 3) |
Usia: 23 tahun Alamat: Tukad Melangit Agama: Hindu Pendidikan: SMA Pekeijaan: Pegawai swasta Tahun Menjadi Lesbi: 2011 Label: Lesbi Femme |
Responden EW (NCO 2) |
Usia: 25 tahun Alamat: Tukad Pakerisan Agama: Hindu Pendidikan: SMA Pekeijaan: Pegawai Swasta Talnui Menjadi Lesbi: 2010 Label: Lesbi Femme |
Responden MT (NCO 4) |
Usia: 26 tahun Alamat: TeukuUmar Barat Agama: Hindu Pendidikan: Dl Pekeijaan: Pegawai Swasta Tahun Menjadi Lesbi: 2009 Label: Lesbi Femme |
Lokasi pengumpulan data
Penelitian ini berlangsung di masing-masing tempat tinggal responden. Responden NCO 1 dan NCO 4 memiliki rumah sendiri di daerah Denpasar, namun Responden NCO 4 memilih untuk tinggal sendiri. Sama halnya dengan NCO 2 dan NCO 3 yang memilih tinggal sendiri, karena keluarganya tinggal di luar Denpasar. Dari ketiga responden hanya responden NCO 1 yang melakukan wawancara di tempat kerjanya, karena NCO 1 tinggal dengan keluarganya, berbeda halnya dengan ketiga responden lainnya yang memilih melakukan wawancara di tempat tinggalnya langsung, karena ketiga responden tersebut tidak tinggal bersama keluarganya atau indekos.
Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dengan wawancara
Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara semi terstruktur. Sebelum proses wawancara dilakukan, peneliti mengawali dengan meminta persetujuan untuk terlibat sebagai responden dan informan penelitian melalui pemberian inform consent penelitian. Pengambilan data dibantu dengan penggunaan recorder handphone. Proses wawancara pada masing-masing responden rata-rata dilakukan sebanyak 2 kali wawancara. Secara keseluruhan wawancara pada keempat responden dilakukan sejak September 2013-September 2014. Proses wawancara pada masing-masing informan dan masing-masing responden rata-rata dilakukan sebanyak 1 kali sejak September 2013-September 2014 dikarenakan kesibukan dari masing-masing informan maupun responden. Hasil wawancara kemudian diubah dalam bentuk verbatim.
Pengumpulan data dengan observasi
Proses observasi pada penelitian ini dilakukan saat proses wawancara berlangsung dan juga dilakukan secara khusus disaat waktu-waktu tertentu. Hal-hal yang akan diobservasi meliputi penampilan fisik responden, sikap responden
terhadap peneliti, sikap responden selama wawancara, hal-hal menarik, serta interaksi responden dengan individu lain. Hasil observasi disajikan dalam bentuk narasi-deskripsi dan fieldnote.
Analisa data
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013) dimulai dari reduksi data, menyajikan data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Peneliti melakukan reduksi data dengan cara merangkum, memilih hal - hal yang pokok, memfokuskan pada hal - hal yang penting, dicari tema dan polanya. Pada penelitian ini tahap pertama dalam proses reduksi data disebut dengan labeling yaitu dengan cara mengumpulkan seluruh data verbatim yang merupakan hasil dari wawancara masing-masing responden, yang terkait dengan tahapan coming out dan faktor penghambat coming out. Tahap kedua pada reduksi data yaitu menyatukan kembali kalimat hasil dari pencarian makna pada proses labeling agar terlihat sebuah hubungan awal, dimana pada penelitian ini ditunjukkan dengan kategori awal. Tahap akhir dari reduksi data dalam penelitian ini yaitu peneliti merangkai suatu kalimat hasil temuan yang merupakan inti dari kalimat pada kategori awal yang disebut sebagai kategori inti.
Langkah selanjutnya adalah menyajikan data (data display) yang berguna agar data menjadi terorganisirkan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk bagan agar memudahkan dalam membaca dan memahami hasil reduksi data yang telah dilakukan yaitu berupa kategori inti dari temuan yang berdasarkan kelima komponen konsep diri menurut Fitts (1965).
Langkah terakhir dalam proses analisa data menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing / verification). Pada tahapan ini kategori inti diperkuat dengan data observasi yang mampu merepresentasikan komponen-komponen dari konsep diri, yang didapatkan peneliti di lapangan, sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan yang kredibel dan dapat menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal penelitian.
Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian
Sugiyono (2013) menyatakan bahwa uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan enam cara, namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi (sumber, waktu, dan teknik), diskusi rekan sejawat, dan kecukupan referensi (alat perekam suara, dan kamera).
Isu etika penelitian
Adapun beberapa isu etika yang peneliti harus perhatikan dalam penelitian ini dan disampaikan kepada responden maupun informan penelitian adalah tidak merugikan atau membahayakan responden dan informan atas informasi dan data yang telah atau akan diberikan; menjaga kerahasiaan identitas dan respon responden serta informan; menyimpan hasil rekaman, baik dalam bentuk suara maupun gambar, dan tidak menyebarluaskan informasi yang terkandung di dalam rekaman tersebut kepada pihak yang berada di luar kepentingan penelitian; persetujuan tertulis dari responden dan informan untuk ikut serta dalam penelitian dan memberikan informasi dalam proses pengambilan data; responden berhak mundur dari penelitian dengan sebelumnya melakukan persetujuan dan disertai dengan alasan yang dapat diterima antara pihak responden dan juga pihak peneliti; serta pemberian imbalan berupa materi maupun non-materi selama proses pengambilan data kepada responden dan/atau informan penelitian.
HASIL PENELITIAN
Terkait dengan desain penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu desain penelitian fenomenologi, maka hasil penelitian akan dipaparkan secara keseluruhan berdasarkan pada rangkuman atas pengalaman subjektif masing-masing responden. Setiap kalimat yang dipaparkan pada bagian hasil penelitian ini merupakan fakta yang terbentuk dari rangkaian kode - kode hasil pengumpulan data yang telah melalui tahap analisis data.
Awareness
-
Gambar 1. Bagau Tahapau Awareness
Keempat responden mengawali tahapan awareness dengan menyadari adanya ketertarikan lebih dengan sesama perempuan. Sebelum mengalami ketertarikan tersebut, keempat responden menyadari perasaan itu ada semenjak berkenalan dan bergaul dengan perempuan yang sudah berstatus lesbi. Awalnya ketertarikan belum muncul, sebagian responden menyatakan bahwa adanya rasa penasaran dengan dunia lesbi dan perhatian yang diberikan teman responden yang lesbi menyebabkan keempat responden ikut memiliki
ketertarikan lebih kepada perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari salah responden penelitian, yaitu:
“aku makin penasaran ehh ada perasaan aneh ya percaya ga percaya sih..ada perasaan, aku juga ga tau kenapa yak ak bisa interest sama mereka padahal itu cuma kontekan biasa..mungkin mereka care ya..ada salah satu anak belok yang sering banget nelponin..ngelebihin carenya cowok ke aku..aku mungkin dari situ mulai nyaman.” (W1A1NCO4.32-35)
Semua responden mengungkapkan bahwa mengalami kebingungan dengan perasaan yang dirasakan yaitu apa dan mengapa responden bisa merasa tertarik dengan sesama perempuan. Kebingungan ini muncul akibat konflik dalam diri antara perasaan ketertarikan yang mulai muncul ke sesama perempuan dengan nilai-nilai yang ada dalam diri individu. Hal ini terjadi karena lingkungan sosial menganggap ketertarikan dengan sesama perempuan merupakan sebuah hubungan yang tidak sesuai dengan budaya dan adat yang mengharuskan perempuan berpasangan dengan laki-laki. Selain mengalami kebingungan, konfik dalam diri yang dirasakan oleh responden yaitu merasakan malu, salah dan takut berbeda dengan orang lain mengenai ketertarikan responden dengan sesama perempuan.
Konflik batin yang dialami keempat responden ini mengarahkan responden kepada dua pilihan yang harus dipenuhi, apakah individu akan tetap mengikuti sistem nilai yang dianut bahwa hubungan lesbi merupakan sebuah hubungan yang tidak boleh terjadi ataukah responden memilih melanjutkan ketertarikan dengan hubungan lesbi yang dirasakan. Keempat responden dalam penelitian ini memilih untuk tetap melanjutkan perasaan ketertarikan dengan sesama perempuan, meskipun dalam sisi lain masih dibayangi oleh perasaan salah dan malu dengan kondisi yang dirasakan.
Disisi lain ada dua responden yang menyatakan bahwa memiliki rasa penasaran dan tertarik dengan dunia lesbi hingga akhirnya ada kedekatan dan muncul ketertarikan dengan sesama perempuan. Ada rasa penasaran yang dimiliki kedua responden tersebut tetap memunculkan perasaan bingung dan tidak percaya yang dialami yaitu bisa menyukai sesama perempuan.
Exploration
Tiga responden mengungkapkan bahwa penting memiliki pertemanan dengan lesbi lainnya, namun hanya dua responden yang mengungkapan banyak memiliki teman lesbi untuk memenuhi rasa penasaran dan ingin menunjukkan eksistensi dirinya di dunia lesbi. Hal tersebut berdasarkan wawancara pada salah satu responden, yaitu:
“kalau dulu pertama kali jadi belok, punya temen belok banyak itu penting ya.. kan masih baru ya rasa penasaran itu lebih tinggi,.terus kita pengen lebih banyak kenal orng-orang belok juga.” (W1B1NCO4.59-61)
Selain itu, mendapatkan pengetahun mengenai bagaimana kehidupan lesbi dari pembagian label, permasalahan yang sering dialami oleh lesbi dan pada akhirnya kedua responden mengungkapkan tidak semua kenalan lesbi yang bisa dijadikan teman dekat karena banyak sesama teman lesbi saling memfitnah dan merebut pasangan dari temannya sendiri, sehingga sekarang kedua responden lebih berhati-hati dalam memilih teman untuk menghindari masalah.
Berbeda halnya dengan dua responden lain yang masih merasa bimbang dengan adanya ketertarikan dengan sesama perempuan. Satu orang responden memiliki keinginan untuk mencari teman lesbi, namun tidak ingin banyak orang yang mengetahui responden tersebut lesbi sehingga hanya berani berteman dengan beberapa orang lesbi saja. Satu responden lainnya sama sekali tidak berkeinginan untuk mencari pertemanan dengan lesbi lain selain dengan pasangannya saja, dengan alasan apabila mencari teman lesbi lain berarti responden tersebut makin merasa bersalah.
Acceptance
Keempat responden merespon teman lesbi yang dikenalnya hingga terjalinlah rasa saling suka, perhatian, kenyamanan dan sebuah kedekatan yang pada akhirnya membuat keempat responden memutuskan untuk berpacaran dengan teman lesbi yang telah disukainya. Hal tersebut berdasarkan wawancara dengan salah responden, yaitu:
“karena sudah nemuin seseorang yang buat aku nyaman, terus aku suka sama dia terus ingin menjalani yang lebih dari teman sama lah kayak orang normal ingin punya pasangan atau pacar apalagi sekarang kan interestnya ke cewek, terus kalau ga pacaran sama cewek kan kita ga tau rasanya belok.” (WC1NCO4.82-84)
Hanya dua orang responden yang memantapkan status lesbinya dengan memiliki kontak sosial yang luas dengan lesbi lain. Berbeda halnya dengan dua responden lainnya yang membatasi pertemanan bahkan tidak mencari pertemanan dengan lesbi lain. Dua responden tersebut merasa salah dan takut ketahuan lesbi oleh orang lain, namun tetap menjalani hubungan pacaran dengan sesama perempuan karena hasil dari keputusan sendiri dan merasa nyaman. Tiga responden menolak untuk menjalani hubungan heterosesksual seperti dulu lagi, dan hanya berpacaran dengan sesama perempuan saja.
Commitment
Keempat responden tidak mencapai tahapan commitment karena keempat responden merasa terisolasi dengan stereotip negatif dari masyarakat khusus masyarakat di
Bali yang menganggap lesbi sebagai perbuatan dosa, melanggar norma, tabu, menjijikkan dan dari keluarga yang berantakan (broken home). Hal tersebut didapatkan dari wawancara pada salah satu responden, yaitu:
“Apa ya..gimana ya ngomongnya ya..gila dah negatif..negatifnya itu mungkin karena pergaulan ya..terus mungkin karena keturunan mungkin ada kan keturunan keluarga yang kayak gitu..terus mungkin broken kan…pokoknya negatifkan.” (WD1NCO3.98-100)
Semua responden merasa tidak bangga, dan seringkali merasa salah, kecewa dan menyesal dengan pilihan telah menjalani hubungan lesbi. Hal tersebut didukung dari fieldnote saat wawancara tiap responden yang terlihat menundukkan kepalanya ketika mengungkapkan rasa salah dan kecewa, yang berarti responden tersebut merasa menjadi lesbi bukan hal yang benar. Selain itu, didukung dari kutipan wawancara pada salah satu responden, yaitu:
“kalau perasaan bangga aku jadi lesbi ga ada sih bangga, apanya yang bisa dibanggain punya pacar cewek apalagi dengan budaya yang menentang hubungan sesama jenis.” (WD1NCO4.148-149)
Integration
Keempat responden diketahui belum mampu terbuka kepada lingkungan terkait status lesbinya, terutama kepada keluarga dan rekan kerjanya. Keempat responden mengungkapkan tidak ingin terbuka mengenai status lesbinya dengan alasan adanya perasaan negatif yang dimiliki seperti takut dijauhi, kemudian merasa malu karena berbeda dengan kebanyakan masyarakat. Hal tersebut berdasarkan wawancara pada salah satu responden, yaitu:
“Kalau perasaan orang tau pasti di otakku nie ya, aku mikirnya meraka bakal ngjauh pelan-pelan, pasti merasa risih dengan aku karena aku beda, mereka pasti mungkin dari yang kadarnya temenan deket dengan aku perlahan-lahan ngajauh, aku sih ngerasainnya kayak gitu, mungkin mereka takut diajak bergaul yang kayak gitu, tapi kalau aku mikir buat cerita sama orang lain.” (WE1NCO1.135-138)
Dari hasil observasi salah satu responden menutupi jati diri kepada rekan kerjanya sebagai lesbi dengan bercerita memiliki pacar laki-laki yang sedang bekerja diluar kota (OB1.NCO1).
“Ketika itu responden terlihat hanya tertawa dan menjawab bahwa saat ini responden sebenarnya telah memiliki pacar namun sedang dinas jauh diluar Bali sehingga tidak pernah terlihat menjemput ataupun pergi bersama, Ketika teman responden menanyakan mengenai foto pacar responden, responden tidak mau memperlihatkan foto pacanya dan berujar bahwa pacarnya tidak ganteng.”(OB1.NCO1 41-45).
Faktor penghambat dalam pengungkapan diri (coming out)
Lesbi yang sudah melakukan coming out merupakan lesbi yang mampu mencapai tahapan akhir dari coming out yaitu integration. Keempat responden diketahui hanya mencapai tahapan di acceptance saja dan belum mencapai tahapan commitment maupun integration sehingga keempat responden belum memenuhi kriteria sebagai lesbi yang telah melakukan coming out.
Keempat responden menganggap masyarakat masih tabu mengenai keberadaan kaum lesbi yaitu lesbi sebagai perilaku setan, abnormal, dan menjijikkan. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan bahwa pemikiran masyarakat masih negatif terhadap perempuan lesbi (I.NCO2). Adanya anggapan negatif masyarakat mengenai keberadaan lesbi membuat keempat responden memunculkan rasa takut dan rendah diri (malu) akan identitasnya sebagai lesbi. Selain itu, dua orang responden masih berharap untuk bisa kembali menyukai laki-laki (heteroseksual), namun disisi lain tidak ingin meninggalkan pasangannya karena merasa nyaman dan cinta. Berdasarkan wawancara dari salah satu responden, yaitu:
“risiko yang aku takutin tuh di jauhin dalam pergaulan, pasangan, takut dibilang aneh iya pasti sama temen-teman.” (WF1NCO1.190-191)
Keempat responden tidak ingin mengambil risiko setelah melakukan coming out yaitu mengubah hubungan
dengan seseorang, sehingga tidak ingin dijauhi, diasingkan, diperbincangkan negatif dan bahkan mengalami diskriminasi oleh lingkungan terutama keluarga dan rekan kerja. Selain itu keempat responden mengungkapkan ketakutan apabila memberitahu status lesbinya terutama kepada keluarga akan dijauhkan dari pasangan lesbinya, dipaksa menikah, tidak didukung secara ekonomi dan lebih parahnya dibawa ke dukun karena menganggap lesbi adalah hal yang gila dan tabu. Keempat responden tidak ingin membuat keluarganya kecewa, sedih, dan malu memiliki anak lesbi yang membuat responden belum siap memberitahu keluarganya, selain adanya stigma negatif dari keluarga mengenai perilaku lesbi. Hal tersebut berdasarkan wawancara pada salah satu responden, yaitu:
“seperti yang kakak udah jelasin sebelumnya, risikonya tuh banyak, pertama dari keluarga risiko bisa tambah ga di akui, dinikahi secara paksa, secara ekonomi kakak masih minta uang sama ibu jadi bisa ga dikasi duit, buat ibu atau sodara-sodara sedih, dan malu punya anak beler gini, sama halnya juga ditempat kerja malu dan takut di omongin jelek dan ke sebar ke banyak orang, jadi risiko banyak, takut temen kerja yang tadinya biasa aja jadinya mereka ga nerima dan risih jadi hubungan dengan temen kerja bisa jauh kalau missal ga terima, kalau nerima ya syukur tapi tetap aja takut risih jadi ga bisa percaya atau ga sih kaau mereka bisa nerima kakak.” (WF1NCO2.157-163)
Keempat responden mengetahui melanggar norma yaitu seharusnya perempuan berpasangan dengan laki-laki bukan dengan sesama perempuan, kemudian mengetahui adanya larangan agama yang membuat keempat responden merasa bersalah dengan hubungan lesbi yang sedang dijalaninya. Sebagian responden mengalami hambatan coming out karena adanya pengaruh budaya yang mengajarkan hubungan heteroseksual sebagai hubungan yang normal dan budaya patriarki yang menganggap anak laki-laki sebagai anak nomor satu (prioritas utama) yang membuat perempuan pasif khususnya perempuan lesbi terhambat dalam berkomunikasi dengan lingkungannya karena merasa bukan prioritas utama dalam keluarga dibandingkan laki-laki. Berdasarkan wawancara dari salah satu responden, yaitu:
“Budaya bali terkait adat dan norma menganggap belok tuh pasti hal yang salah dan tingkah laku yang mesti dihindari karena dosa, apalagi cewek di bali kan selalu di nomor dua kan sama keluarga dibandingkan cowok, jadi mau ga mau harus selalu patuh terhadap aturan keluarga, di semua agama pun kan memang melarang hubungan sejenis,dan bukan hanya di Bali tapi di Indonesia di Negara lain pun
menganut paham kalau manusia harusnya berpasangan dengan cewek dan cowok, bukan cewek dengan cewek yah dianggap aneh, sakit dan kelainan. Makanya kakak ga mau ketahuan belok.” (WF1NCO2.174-181)
Keempat responden mengungkapkan perasaan rendah diri karena lingkungan terutama keluarga dan rekan kerja belum tentu akan menerima responden yang menjalani hubungan lesbi. Keempat responden khawatir dan merasa harus berhati-hati dalam berperilaku agar tidak dicurigai lesbi. Selain itu, berdasarkan hasil fieldnote pada wawancara salah satu responden didapatkan bahwa responden tersebut mengatakan kepada rekan kerjanya kalau wawancara yang sedang dilakukan responden terkait perceraian orangtua dan ketika salah satu rekan kerjanya masuk ke dalam ruangan responden berpura-pura melihat handphone dan membicarakan hal yang tidak berkaitan dengan statusnya yang lesbi (FN1.NCO1).
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Tabel 2. Tahapau Cotnhig Ottfyang Mampu dilewati Responden
Tahapan Comhig Oui | |||||
Awarenoss |
Exploration |
Acoepiattce |
Commitment |
Integration | |
XCO 1 |
√ |
- |
- | ||
NCO 2 |
√ |
√ |
- |
- | |
NCO 3 |
√ |
√ |
- |
- | |
NCO 4 |
√ |
√ |
√ |
Keterangan:
V : Mencapai
- : Tidak mencapai
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa tahapan coming out melalui lima tahapan berdasarkan kajian dari Vaughan (2007) yaitu awareness, exsploration, acceptance, commitment, dan integration. Keempat responden melewati tahapan awareness yaitu proses awal individu menyadari adanya ketertarikan dengan sesama perempuan dan mengalami perasaan bingung maupun adanya tekanan sosial, karena harus menyesuaikan dengan norma dan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat (Vaughan 2007). Keempat responden memiliki kesadaran adanya ketertarikan seksual dengan sesama perempuan, namun disisi lain adanya konflik dalam diri seperti perasaan bingung, salah dan merasa malu karena berbeda dengan perempuan yang pada umumnya menyukai dan berpasangan dengan laki-laki. Hal tersebut didukung dari Crooks dan Baur (1990) bahwa individu yang mulai menyadari adanya ketertarikan sesama jenis akan menimbulkan suatu kebingungan mengenai perasaan tersebut. Tiga orang responden melalui tahapan exploration, dan hanya satu orang responden saja yang tidak melakukan exploration. Exploration adalah pencarian identitas diri sebagai lesbi dengan mulai menyelidiki, mencari dan mulai mengadopsi lingkungan yang sesuai yaitu lingkungan lesbi, agar dapat
memliki pengetahuan lebih dalam mengenai dunia lesbi yang nantinya akan diinternalisasi ke dalam diri dan membangun komitmen menjadi lesbi (Vaughan, 2007). Ketiga orang responden diketahui memiliki keinginan untuk mencari teman lesbi untuk memenuhi rasa penasaran agar dapat memahami perasaan yang dimiliki dan sebagai upaya eksistensi diri. Menurut Crooks dan Baur (1990), kebutuhan untuk dimiliki adalah kebutuhan mendasar bagi setiap individu, termasuk individu yang lesbi. Bagi seorang lesbi, suatu pertemanan dengan sesama lesbi akan membantu dalam mendapatkan rasa dimiliki serta memberikan penguatan dan penerimaan yang tidak didapatkan dari masyarakat.
Tiga orang responden mampu melewati tahapan acceptance yaitu menolak identitas sebagai heteroseksual dan menginternalisasi identitas sebagai lesbian yang ditandai dengan mencari kontak lesbi yang lebih luas dan mengejar kesempatan untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan sesama perempuan (Vaughan, 2007). Keempat responden memutuskan untuk terlibat dalam hubungan romantis dengan sesama perempuan dan menolak untuk menjalani hubungan heteroseksual lagi, karena merasa lebih nyaman, mendapatkan perhatian, dan rasa saling membutuhkan dibandingkan saat bersama laki-laki. Hanya dua orang responden saja yang memiliki keinginan untuk mencari kontak sosial lebih luas dengan sesama lesbi.
Keempat responden yang merupakan lesbi femme belum mampu mencapai tahapan commitment dan integration, karena berbagai alasan yang menghambat lesbi femme untuk sampai ditahapan terakhir dari coming out yaitu integration. Ketidakmampuan lesbi femme dalam melakukan seluruh proses coming out dengan kondisi yang dialami dapat dibagi menjadi dua macam faktor, yaitu (1) faktor penghambat yang bersumber dari dalam diri individu atau yang selanjutnya akan disebut dengan faktor penghambat internal dan (2) faktor yang bersumber dari luar diri individu atau yang selanjutnya disebut dengan faktor penghambat eksternal.
Faktor-faktor penghambat coming out yang bersumber dari dalam diri individu (Faktor Internal), yaitu:
-
1. Harapan untuk kembali heteroseksual
Harapan untuk bisa kembali lagi menjadi heteroseksual diungkapakan oleh individu dengan status sebagai lesbi femme yang menjadi salah satu penghambat dari dalam untuk tidak mempublikasikan diri sebagai seorang lesbi secara penuh, karena dalam diri individu masih memiliki keinginan agar bisa keluar dari hubungan lesbi yang saat ini sedang dijalani. Pada penelitian Sumadi (2013), didapatkan hasil bahwa adanya keinginan untuk kembali normal pada lesbi femme, sedangkan pada lesbi butcy mengungkapkan tidak ada keinginan untuk menjalani orientasi heteroseksual. Lesbi femme menganggap apa yang dijalaninya saat ini merupakan suatu hal yang salah karena melanggar norma dan
nilai-nilai masyarakat sehingga adanya harapan untuk kembali ke orientasi heteroseksual. Hal ini menunjukkan adanya kebimbangan yang dialami individu dengan orientasi seksual yang sedang dijalani meskipun telah mencapai fase acceptance, sehingga hal ini menimbulkan pertentangan dalam batin individu dengan orientasi homoseksual yang sedang dijalani. Ada dua bagian yang menyebabkan seseorang individu masih bimbang dengan orientasi seksual yang saat ini sedang dijalani sebagai lesbi.
Bagian yang pertama adalah mengenai kenyamanan yang individu dapatkan selama menjadi seorang lesbi. Kenyamanan yang didapatkan dari perilaku pasangan menyebabkan perasaan cinta dan kenyamanan bagi individu sendiri. Bagian kedua adalah perasaan yang muncul dari nurani individu bahwa homoseksual adalah suatu hal yang salah. Bagian kedua ini akan menimbulkan pertentangan batin dalam diri individu sehingga individu membuat suatu keputusan untuk mengurangi gejolak yang terjadi dalam diri. Adanya harapan untuk bisa kembali lagi menjadi heteroseksual dan menutupi identitas diri sebagai lesbi dengan berpacaran dengan sesama perempuan feminim merupakan salah satu sarana yang dipilih individu untuk mengurangi konflik batin.
Pada teori psikologi sosial, kondisi yang dialami individu ini disebut dengan disonansi kognitif (Festinger, 1957). Ketika individu mengalami kondisi dimana ada pertentangan dalam kognitif (pikiran) mengenai perilaku yang bertolak belakang yang sedang terjadi dan individu berusaha untuk mengurangi perasaan yang tidak nyaman dengan mengambil sebuah keputusan (Festinger, 1957).
Menurut Wibowo (dalam Sarwono, 2009), disonansi kogntif merupakan keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku. Lesbi femme yang merupakan responden dalam penelitian ini, memilih mengembangkan harapan untuk bisa kembali menjadi heteroseksual dan menyembunyikan orientasi seksual sebagai lesbi dengan berpacaran dengan sesama perempuan feminim sebagai sarana mengurangi disonansi kognitif yang individu alami. Lesbi femme mengambil keputusan untuk tidak membuka diri dan harapan untuk bisa kembali hetroseksual agar rasa bersalah di dalam diri dapat dikurangi, sehingga tidak berkembang suatu pemaknaan internal bahwa lesbi sebagai bagian penuh dari keyakinan diri individu.
Harapan bisa kembali menjadi heteroseksual ini menujukkan bahwa identitas lesbi yang dipilih individu belum diterima secara penuh dalam konsep diri individu. Konflik batin atau psikis yang dialami individu tersebut secara teori disebut sebagai egodistonik (Soetjiningsih, 2004). Pada teori egodistonik ini, individu dengan status lesbi egodistonik akan merasa ego yang saat ini sedang dijalani sebagai lesbi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bagian lain dari dirinya,
sehingga menimbulkan konflik batin dalam diri individu. Individu yang mengalami konflik psikis egodistonik akan menyatakan dorongan homoseksual tersebut menyebabkan individu merasa tidak disukai, cemas dan sedih. Konflik psikis tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian, malu, cemas, dan depresi yang membuat tertutup dan menutupi identitas sebagai lesbi dengan dunia luar. Keempat responden mengungkapkan konflik psikis yang sama yaitu merasa salah, malu, dan takut yang membuat responden terhambat dalam melakukan coming out yang pada akhirnya berpengaruh terhadap cara berpikir responden mengenai lingkungan sosial terhadap diri responden sendiri.
-
2. Rasa bersalah
Rasa bersalah muncul akibat adanya ketidaksesuaian dari dalam diri individu dengan orientasi sebagai homoseksual yang sedang dijalani. Semua lesbi femme dalam penelitian ini megalami rasa bersalah dengan orientasi homoseksual yang sedang dijalani. Individu merasa bahwa perbuatan homoseksual yang saat ini sedang dijalani adalah sesuatu hal yang salah sehingga ketika individu telah menjalin hubungan sesama jenis sekalipun, lesbi femme merasa enggan untuk mengungkapkan diri secara penuh. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan Gunawan (2012) bahwa ketika individu memiliki rasa bersalah dalam diri karena melanggar suatu nilai dalam dirinya, maka menimbulkan perasaan-perasaan negatif lainnya yang berujung pada rasa malu dan rasa sakit.
Rasa bersalah dalam diri individu akan membawa individu dalam suatu kondisi yang sangat tidak nyaman dalam perasaan individu. Menurut Gunawan (2012), Individu akan berusaha mengembangkan tiga pilihan strategi pemecahan masalah apabila memiliki konflik batin untuk mengurangi ketidaknyamanan psikologis yang muncul yaitu menghindar dari masalah (fligh), menghadapi masalah (fight) dan berdiam diri (freeze). Pada penelitian ini, lesbi femme beranggapan bahwa homoseksual adalah sebuah kesalahan sehingga menimbulkan perasaan bersalah dalam diri yang pada akhirnya akan mempengaruhi lesbi femme dalam melakukan coming out. Lesbi femme yang tidak melakukan coming out berarti memilih untuk berdiam diri saja, tanpa memilih pilihan lain dalam menghadapi konflik batin yang sedang dialami. Lesbi femme tidak memilih untuk melawan masalah yang dihadapi ataupun keluar dari masalah homoseksual karena menganggap pilihan sebagai lesbi sebuah kesalahan.
Menurut Gunawan (2012), kondisi berdiam diri yang dialami individu dapat terjadi karena ada konflik batin dalam pikiran bawah sadar individu yang begitu besar, sehingga pikiran sadar yang bertugas untuk berpikir logis tidak dapat menghilangkan konflik yang terjadi. Semua responden merasa bahwa lesbi merupakan suatu hal yang salah secara nilai dari dalam diri individu, namun disisi lain ada konflik perasaan yang begitu besar baik terhadap pasangan maupun kepada
lingkungan sosial sehingga menghambat individu dalam mengungkapkan diri secara penuh (coming out).
-
3. Rasa cinta
Rasa cinta merupakan sebuah faktor dari dalam diri individu yang menyebabkan individu terhambat dalam melakukan coming out. Rasa cinta ini merupakan sebuah perasaan universal yang muncul dari dalam diri individu terutama berhubungan dengan orang-orang terdekat individu. Dalam penelitian ini rasa cinta terhadap pasangan menjadi faktor penghambat individu melakukan coming out.
Semua responden dalam penelitian ini beranggapan bahwa dengan mengambil keputusan untuk tidak melakukan coming out, maka individu bisa selalu bersama dengan pasangannya. Adanya ketakutan yang muncul dari diri individu ketika coming out dilakukan yaitu individu harus menerima risiko yang berkaitan dengan hubungan individu dengan pasangannya dan ketakutan berpisah dengan pasangannya adalah hal yang wajar terjadi.
Kebutuhan akan perasaan mencintai dan dicintai merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Yudiantara (2012) menerangkan bahwa cinta merupakan sebuah kumpulan perasaan yang buta, karena saat individu sedang jatuh cinta akan berusaha keras untuk menggunakan segenap cara untuk mempertahankan cinta. Selain itu, muncul perasaan-perasaan takut kehilangan pasangan akan menimbulkan kecemasan yang berujung pada perasaan untuk mempertahankan pasangan yang semakin meningkat. Hal tersebut didukung oleh Dillard (dalam Hendrick & Hendrick, 2000), kctika seseorang merasakan cinta, individu akan mempertahankan hubungan dekatnya dengan orang yang dicintainya.
Cinta memegang peranan yang penting dalam kehidupan seseorang yang sedang berhubungan dekat dengan orang lain. Hal ini juga terjadi pada lesbi femme dalam penelitian ini, terlepas dari alasan individu menjadi seorang homoseksual, setiap individu dalam penelitian ini merasakan rasa cinta dalam bentuk kenyamanan, namun disisi lain muncul ketakutan-ketakutan apabila ditinggalkan maupun dijauhkan dari pasangan yang dicintai apabila diketahui lesbi terutama dari pihak keluarga.
Faktor-faktor penghambat coming out yang bersumber dari luar individu (Faktor Penghambat Eksternal)
-
1. Keluarga
Faktor keluarga merupakan salah satu faktor penghambat lesbi femme dalam melakukan coming out. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh setiap individu yang memberikan pengaruh besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian individu melalui pembiasaan-pembiasaan yang sesuai dengan nilai-nilai serta norma yang berlaku dalam keluarga maupun masyarakat yang ditanamkan sejak dini (Tjondrorini & Mardiya, 2012). Disisi lain, keluarga yang seharusnya sebagai tempat individu untuk
berinteraksi dan saling berbagi pengalaman malah justru menjadi salah satu faktor penghambat yang menyebabkan semua responden penelitian belum siap untuk melakukan coming out kepada keluarga.
Faktor penyebab ini muncul karena adanya nilai-nilai dalam keluarga yang berhubungan dengan ajaran-ajaran yang dibentuk dalam keluarga mengenai orientasi seksual baik langsung maupun tidak langsung. Satu responden dalam penelitian ini sempat mengungkapkan bahwa keluarga sangat merasa risih ketika melihat ada pasangan wanita sedang bermesraan di tempat umum dan keluarga mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan pasangan wanita itu adalah tindakan abnormal dan tidak tahu diri. Hal ini menyebabkan individu tersebut tidak mau menceritakan kepada keluarga mengenai identitas sebagai lesbi. Hal ini menimbulkan ketakutan dan permasalahan sendiri dalam diri individu mengenai identitas sebagai lesbi yang saat ini sedang dijalani tersebut tidak akan diterima oleh keluarga. Rasa bersalah dan takut merupakan hasil yang muncul dalam setiap individu dalam pengungkapan diri kepada keluarga.
Rasa bersalah ini muncul karena individu merasa nilai homoseksual yang dijalani saat ini bertentang jauh dari nilai keluarga. Individu merasa bersalah apabila melakukan coming out maka akan membuat keluarga kecewa. Tiga responden mengakui bahwa merasa bersalah terutama kepada orangtua, ketika individu menceritakan orientasi homoseksual ini, responden berasumsi keluarga akan kecewa, sedih dan juga malu dengan pilihan yang dilakukan responden. Hal ini didukung pada penelitian Coleman (dalam Yang, 2008), bahwa lesbi yang melakukan coming out pada keluarga akan mengalami dampak negatif bahkan bisa saja dibuang dari keluarga, tidak dianggap anak dan menghancurkan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Gottschalk (2007), bahwa lesbi yang melakukan proses coming out maka akan ada faktor risiko yang bisa muncul dari keputusan tersebut seperti adanya penolakan dan perubahan hubungan individu dengan orang-orang terdekatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Cramer dan Roach (1988) menemukan bahwa pengungkapan orientasi seksual mengakibatkan ketegangan pada hubungan orangtua yang membuat individu takut pada penilaian orangtua dan teman-temannya ketika individu mengungkap orientasi seksualnya.
Rasa takut muncul dari ketakutan responden terutama yang berhubungan dengan individu (responden) dan pasangan. Individu berasumsi dengan nilai yang dibangun dalam keluarga, apabila individu melakukan coming out maka hubungan dengan pasangan akan terputus begitu juga dengan akan terputusnya hubungan ekonomi dikarenakan individu masih belum mandiri dalam mencari penghasilan sehingga masih menjadi tanggungan keluarga. Individu yang diketahui menjadi seorang lesbi, tidak ingin nantinya bantuan ekonomi
yang biasa diberikan oleh orangtua akan berhenti. Hal tersebut didukung dari hasil penelitian Gottschalk (2007) mengenai risiko yang dialami ketika melakukan coming out yaitu adanya kemungkinan untuk tidak didukung lagi secara finansial, diusir, dan dipaksa untuk kembali ke heteroseksual. Lesbi femme dalam penelitian ini takut apabila hubungan dengan pasangan dijauhkan, kemudian dipaksa menikah dan dibawa ke pengobatan alternatif karena menganggap homoseksual merupakan sebuah penyakit akibat ilmu hitam atau guna-guna. Dari hasil penelitian terdapat tiga orang lesbi femme yang berlatar belakang dari broken home yaitu adanya perceraian yang terjadi antara kedua orangtua. Hurlock (2007) mengungkapkan dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak, salah satunya yaitu anak kurang kasih sayang. Hal ini menyebabkan anak mencari kasih sayang lain di luar rumah, sehingga pertengkaran orangtua di depan anak dan atau perceraian orangtua bisa menyebabkan anak mengalami kurangnys kasih sayang baik dari ibu maupun dari ayahnya. Kurangnya kasih sayang anak dari ibu ataupun kurangnya peran dari ayah akibat perceraian tadi bisa mengarahkan anak tumbuh menjadi lesbi.
Menurut Freud (dalam Soetjiningsih, 2009) individu dapat terfiksasi menjadi homoseksual sejak mengalami hal-hal tertentu dalam kehidupannya, misalnya adanya hubungan yang tidak baik antara anak dengan kedua orangtua, anak dengan salah satu orangtua, orangtua tiri atau lingkungan yang lain. Hubungan yang seperti ini menjadi pemicu menjadi seorang homoseksual atau lesbi karena adanya kecemasan dan rasa bersalah.
Bentuk komunikasi keluarga dari ketiga responden yang mengalami kondisi perceraian orangtua membuat komunikasi yang tidak efektif antara individu dan peran kedua orangtua yang tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut menjadikan individu terbiasa untuk menutup diri, tidak mau bercerita atau berdiskusi dengan keluarga jika ada masalah yang membuat individu terhambat melakukan coming out.
-
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial merupakan paksaan yang digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan tingkah laku setiap individu agar seirama (sejalan) dengan norma-norma yang berlaku. Individu yang memiliki identitas sebagai lesbi sering mengalami ketakutan dan keraguan untuk melakukan coming out karena adanya penilaian-penilaian negatif yang dipikirkan oleh lesbi femme mengenai diri sendiri di mata masyarakat yaitu lesbi sebagai perbuatan gila, dosa dan membuat masyarakat pantas untuk menjauhi dan menghina kaum lesbi. Kondisi tersebut menjadi permasalahan utama bagi lesbi yaitu merasakan bahwa posisi lesbi sebagai kaum minoritas yang akan menimbulkan suatu kecemasan sosial (social anxiety) yaitu adanya perasaan ketakutan akan ditolak dan didiskriminasi (Jose, dkk., 2012) yang membuat lesbi femme terhambat dalam melakukan coming out.
Pernyataan Ellison dan Daniels (dalam D’Augelli & Hershberger, 2008) mengemukakan penolakan masyarakat, stigma, kecurigaan berdasarkan dengan anggapan bahwa kaum lesbi melakukan perbuatan cabul dan kotor, dan adanya pandangan masyarakat bahwa hubungan percintaan yang wajar adalah dengan lawan jenis, situasi ini terkadang membuat kaum lesbi berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran dengan laki-laki. Ada tiga responden yang berusaha menutupi identitas diri sebagai lesbi dengan berpacaran dengan sesama lesbi femme atau disebut dengan femme to femme. Menurut tiga orang responden tersebut berpacaran dengan sesama perempuan feminim membuat tiga orang responden tersebut tidak dicurigai lesbi, berbeda halnya ketika berpacaran dengan lesbi butcy yang lebih mudah dicurigai oleh masyarakat sebagai pasangan lesbi. Balsam, Rothblum, dan Beauchaine (2005) meyakini bahwa kaum lesbi menyadari pilihannya sebagai lesbi adalah hal yang menyakitkan. Hal ini terjadi sebagai respon psikologis kaum lesbi terhadap tekanan sosial dan stigma yang dapatkan dari lingkungan sosial. Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa masyarakat melakukan penolakan yang kuat terhadap lesbi karena lesbi dianggap melawan agama, moral, etika dan tidak normal dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Evan dan Broido (1999) adanya keraguan yang muncul pada individu akibat adanya persepsi dari diri sendiri bahwa tindakan yang dilakukan salah, akibat adanya penilaian negatif dari masyarakat mengenai lesbi. Selain itu, muncul rasa permusuhan yang diekspresikan oleh orang lain mencegah individu mencari dukungan orang lain dan terbuka dengan identitasnya sebagai lesbi.
Semua responden dalam penelitian ini berpikir bahwa masyarakat tidak bisa menerima pilihan responden yang menyukai sesama perempuan, begitu juga dengan pemikiran masyarakat yang menganggap kaum lesbi sebagai hal yang abnormal, dosa dan menjijikkan, sehingga membuat responden takut untuk bercerita mengenai identitasnya sebagai lesbi ke lingkungan sekitar terutama pada lingkungan kerjanya. Semua responden belum siap untuk menghadapi penghinaan dan perubahan hubungan dengan orang sekitarnya.
-
3. Norma
Norma merupakan salah satu faktor penghambat individu dalam melakukan coming out yang berasal dari luar. Norma adalah sebuah aturan ataupun kaidah mengenai larangan dan tuntunan seseorang bertindak dan berperilaku di masyarakat (Waluya, 2007). Waluya (2007), membagi norma menjadi lima macam norma yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, hukum dan norma adat atau kebiasaan. Dalam penelitian ini, norma yang muncul adalah norma adat dan norma agama. Norma adat merupakan sebuah norma yang berhubungan dengan budaya dan adat istiadat dalam suatu wilayah.
Budaya Bali merupakan adat istiadat yang dianut setiap individu dalam penelitian ini karena semua responden tinggal di Bali. Semua responden beranggapan bahwa hubungan lesbi yang dijalani saat ini merupakan sesuatu yang salah dan tidak seharusnya dilakukan dalam adat yang berlaku di masyarakat. Responden dengan identitas sebagai lesbi femme beranggapan bahwa apabila melanggar norma yang ada dalam adat akan menimbulkan stigma negatif dari lingkungan adat ke individu. Responden berasumsi apabila melanggar norma adat akan menimbulkan pengucilan dan penghinaan dari masyarakat.
Dalam budaya Bali sendiri hubungan yang seharusnya dilakukan setiap individu adalah hubungan berlawanan jenis antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut didukung dari penelitian Budiarty (2011) mengenai adanya paham heteronormatif yaitu menekankan pada hubungan yang heteroseksual dan menindas hubungan yang tidak heteroseksual sebagai hubungan yang tidak baik, tidak wajar, dan abnormal. Selain itu dalam pernikahan Bali, hanya ada pihak laki-laki yang bertugas sebagai pencari kerja (Purusa) dan pihak wanita yang mengatur urusan rumah tangga sehingga perempuan seharusnya berpasangan dengan laki-laki dan begitu juga sebaliknya laki-laki berpasangan dengan perempuan (Darma, 2003). Dua responden menyadari bahwa hubungan yang dianggap baik adalah hubungan yang heteroseksual, namun kenyataannya responden tetap memilih untuk menjalani hubungan lesbi walaupun menjadi lesbi yang tertutup dengan lingkungan sosialnya.
Keberadaan lesbi ditengah masyarakat dalam pandangan agama mendapatkan penilaan negatif. Ada tokoh agama yang konservatif yang menyatakan bahwa kaum homoseksual termasuk lesbi adalah kaum yang menyalahi ajaran agama dalam penciptaan manusia, homoseksual merupakan perbuatan yang keji dan terlaknat yang merusak kehidupan beragama, kehormatan dan moral masyarakat (Az-Zulfi, 2005).
Keempat responden mengetahui hubungan lesbi yang dijalani secara agama adalah sesuatu yang salah dan dosa. Hal tersebut memunculkan suatu keraguan dan konflik secara psikologis yang membuat lesbi femme harus memilih antara pilihan tetap menjadi lesbi dengan memahami ajaran-ajaran agama yang diperolehnya sejak kecil hingga saat ini, yang akan berdampak pada penerimaan diri lesbi femme sebagai homoseksual ditengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang kuat.
-
4. Kebudayaan
Suatu komunikasi termasuk dalam pengungkapan diri maupun bertingkah laku dipengaruhi oleh kebudayaan. Menurut Triandis (1994), lingkungan mempengaruhi terbentuknya kebudayaan salah satunya tingkah laku sosial, sehingga terdapat hubungan antara kebudayaan dengan tingkah laku sosial. Secara sederhana kebudayaan berarti semua cara hidup
(ways of life) yang telah dkembangkan oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Adanya kebudayaan tertentu yang terdiri dari cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang dimanifestasikan dalam agama, hukum, bahasa, seni, dan kebiasaan-kebiasaan.
Kebudayaan subjektif berkaitan dengan bagaimana individu mempersepsi, mengkategorikan, mempercayai, dan menilai hal-hal yang ada dilingkungannya. Demikian pula keterampilan pengungkapan diri sebagai tingkah laku sosial yang dipengaruhi oleh budaya, yakni budaya subjektif seperti sikap, norma, dan nilai-nilai dalam kelompok tertentu (Triandis,1994). Egan (2010) berpendapat bahwa ada dua rintangan atau halangan yang ada dalam masyarakat yang berpengaruh negatif pada pengungkapan diri yaitu:
-
1. Pada budaya yang selalu melarang cenderung mempengaruhi individu dalam melakukan pengungkapan diri seperti budaya tertutup yang membuat seseorang sulit terbuka kepada orang lain.
-
2. Adanya kehidupan sosial seperti budaya “bohong” sebagai pedoman hidup. Keterbukaan diri tidak lagi dilandasi dengan kejujuran dan rasa menghargai orang lain, sehingga hubungan sosial dengan orang lain menjadi terganggu.
Keempat responden yang merupakan lesbi femme yang tinggal di Bali memiliki hambatan dalam mengungkapkan diri karena adanya kebudayaan yang melarang hubungan sesama yang membuat responden tidak berani melakukan coming out kepada lingkungan dan memilih untuk berbohong agar tidak membuat lingkungan kecewa kepada para responden.
Di Bali adanya budaya patriarki yaitu paham yang menjadikan perempuan merasa minoritas dan dianggap lebih rendah keberadaannya dibandingkan laki-laki (Darma, 2003). Pada budaya Bali, laki-laki disimbolkan sebagai purusa (pewaris dan pelanjut garis keturunan). Berbeda halnya pada perempuan Bali yang sering disimbolkan sebagai pradana atau feminitas (lembut dan memelihara), sehingga perempuan Bali dituntut menjadi figur pradana yang sempurna. Adanya budaya patriarki tersebut membuat perempuan menjadi pasif, kemudian mengembangkan kebudayaan larangan pada perempuan yang tidak boleh berbicara, tidak boleh muncul dan kalau perlu tidak muncul kecuali dalam kegelapan dan kerahasiaan (Tong, 1998).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa lesbi femme yang belum melakukan coming out berarti belum mampu mencapai tahapan terakhir dari coming out yaitu integration. Ketidakmampuan lesbi femme dalam melakukan seluruh proses coming out dengan kondisi yang dialami dapat dibagi menjadi dua macam yaitu faktor penghambat internal dan faktor penghambat eksternal. Berdasarkan temuan penelitian, diketahui faktor penghambat internal meliputi: adanya harapan untuk kembali heteroseksual, adanya rasa bersalah dan rasa cinta terhadap pasangan lesbi yang menyebabkan responden belum mampu menanggung risiko dari coming out. Faktor penghambat eksternal meliputi: adanya pengaruh keluarga, tekanan sosial, norma dan kebudayaan.
Adapun saran praktis yang dapat diberikan bagi responden yaitu: setelah responden mengetahui hambatan maupun risiko apa saja yang dialami setelah melakukan coming out, diharapkan responden mulai membuat langkah-langkah selanjutnya untuk menentukan apakah responden tetap menutup diri atau menginginkan untuk coming out. Responden mulai mencari sebuah komunitas atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berkecimpung dalam LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) untuk mendapatkan support group terkait informasi mengenai LGBT.
Saran praktis bagi masyarakat yaitu diharapkan kepada masyarakat untuk tidak lagi memandang dengan sebelah mata atau mendiskriminasi terhadap keberadaan lesbi, karena sesungguhnya perilaku lesbi terjadi bukan dari faktor
individu sendiri saja namun banyak faktor yang membuat perilaku lesbi itu bisa muncul.
Saran praktis bagi peneliti selanjutnya yaitu mengkaji lebih dalam lagi terkait hambatan coming out pada lesbi di Bali dan tidak sebatas hanya pada lesbi yang memiliki peran sebagai lesbi femme saja. Selain itu, mengkaji perilaku lesbi di Bali dengan konsep psikologis lainnya sehingga dapat lebih memahami fenomena lesbi di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Agustine. (2008). All About Lesbian. Jakarta Selatan: Ardhanary Institute.
American Psychiatric Assocation. (2013). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders Fifth Edition. USA: Brtish Library.
Az-Zulfi, M. (2005). Homoseks Ih.. Takut…! Belajar Dari Kisah Kaum Nabi Luth. Jakarta: Hikmah.
Balsam, K., Rothblum, E., & Beauchaine, T. Victimization over the live span: A comparison of lesbian, gay, bisexual, and heterosexusl sibilings. Journal of Consulting and Clinical Psychology (Online), 73 (3), 477-487.
(http://www.researchgate.net/profile/Kimberly_Balsam/pub lication/7762032_Victimization_over_the_life_span_A_co mparison_of_lesbian_gay_bisexual_and_heterosexual_sibli ngs/links/00b49536a7fedb435d000000.pdf, diakses 17 Mei 2015)
Budiarty, A. (2011). Gaya hidup lesbian (studi kasus di kota makassar). Makassar: Skripsi-Jurasan Sosiologi,
Universitas Hasanuddin
Coleman, E. (1982). Developmental stages of the coming out process. Journal of Homosexuality (Online), 7, 31-43.( http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J082v07n02_ 06?journalCode=wjhm20, diakses 1 Mei 2015)
Constanti, Septiana. (2012). Hubungan penerimaan diri dan proses coming out pada gay di jakarta. Jakarta: Skripsi-Universitas Bina Nusantara. (Online),
(http://library.binus.ac.id/Collections/ethesis_detail.aspx?et hesisid=2012-1-00565-PS , diakses 18 Mei 2015).
Cramer, D. W., & Roach, A. J. (1998). Coming out to mom and dad: A study of gay males and their relationships with their parents. USA: Journal of Homosexuality (Online), 79-91. (http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J082v15n03_ 04?journalCode=wjhm20, diakses 17 Mei 2015)
Crooks, R & Baur, K. (1990). Our Sexuality. United States: Benjamin/Cummings Publishing Company
Darma, I.N. (2003) Wanita Bali Tempo Doeloe. Bali: Yayasan Bali Jani.
D’Augelli, A. R., & Hershberger, S. L. (2008). Lesbian, gay, and bisexual youth in community settings: Personal challenges and mental health problems. USA: American Journal of Community Psychology,(Online) 421-448.
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8192119 diakses 19 April 2015)
Egan, Gerard. (2010). The Skilled Helper: A Problem Management And Opportunity Development Apporoach To Helping. Belmont, CA: Brooks/Cole Cengage learning.
Evans, N. J., & Broido, E. M. (1999). Coming out in college residence halls: Negotiation, meaning making, challenges, and supports. Journal of College Student Development (Online), 40, 658-668.
(http://multipleidentitieslgbtq.wiki.westga.edu/file/view/Ev ansBroido1999.pdf, diakses 1 mei 2015)
Festinger, L. (1957). A Theory Of Cognitive Dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.
Galih, B., & Tofler, A. (2012, october 21). Masyarakat indonesia makin tidak toleran?. Dipetik 26 Mei 2013, dari VivaNews: http://fokus.news.viva.co.id/news/read/361146-masyarakat-indonesia-makin-tidak-toleran-
Gaya Dewata. (2015, Mei). Tempat Nongkrong di Bali. Dipetik 18 Mei 2015, dari GayaDewata:
http://www.gayadewata.com/lgvt-hidup-di-bali/tempat-nongkrong/
Gottschalk, L. H. (2007). Coping with stigma: coming out and living as lesbians and gay men in regional and rural areas in the context of rural confidentiality and social exclusion. Rural Social Work and Community Practice, vol 12 Issue 2, pp. 31 – 46.
Gunawan, A. W. (2012). The Miracle Of Mindbody Medicine. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Ghony, M.D & Almashur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Jose, PE, Alexandra, M., Mireia, O., & Raphael, B. (2012). Selfconcept, social anxiety and depressive symptoms in Spanish adolescents according to their sexual orientation. Journal of Anxiety and Stress (Online), 18, (1), 31-41, (http://www.researchgate.net/publication/269931488_Auto concepto_ansiedad_social_y_sintomatologa_depresiva_en_ adolescentes_espaoles_segn_su_orientacin_sexual_Self-concept_social_anxiety_and_depressive_symptomatology_i n_Spanish_adolescents_according_to_sexual_orientation, diakses 20 April 2015)
Miles & Huberman. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Mengenai Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, L. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Oetomo, D. (2008). Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta: Pocket Books.
Okezone. (2010). Gay, lesbi, dan waria diusir dari Denpasar. Dipetik 25 Maret 2013, dari okezone.com:
http://news.okezone.com/read/2010/12/15/340/403673/gay-lesbi-waria-diusir-dari-denpasar.
Pujileksono & Puspitosari (2005). Waria dan Tekanan Sosial. Malang: Press Universitas Muhammadiyah Malang.
Rain, A. (2007, April 5). Dunia maya, femme, butch, andro, and no label. Dipetik 18 Mei 2013, dari Sepocikopi: http://sepocikopi.com/2007/04/05/dunia-maya-femme-butch-andro-and-no-label/
Russer, K. & Joyner, M. (2001). Mental health, culture, anda challenges in minority sexual. Journal of psychology
Satori & Komariah. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.
Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Cagung seto
Sopa, Ardian. (2012). Orang RI tidak nyaman bertetangga dengan orang beda identitas. Dipetik 15 juli 2014, dari http://news.detik.com/read/2012/10/21/151704/2068342/10
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit alfabeta.
Sumadi, Niko. (2013). Pengalaman traumatik dan komunikasi keluarga tidak efektif dalam pembentukan pribadi penyimpangan seksual lesbian (Online). Pontianak: Skripsi-Universitas Tanjungpura, (http://digilib.uinsby.ac.id/351/ , diakses 20 Mei 2015)
Tjondarini & Mardiya. (2012). Komunikasi mengokohkan fungsi keluarga. Dipetik 1 januari 2015, dari kulonprogokab:
http://kulonprogokab.go.id/v21/getfile.php?file=KOMUNIKASI-MENGOKOHKAN-FUNGSI-KELUARGA.pdf
Tong, R. (1998). Feminist thought: a more comprehensive introduction. Yogyakarta: Jalasutra.
Triandis, H. C. (1994). Culture And Social Behavior. New York: McGraw-Hill.
Vaughan M. (2007). Coming out growth: Conceptualizing and assessing experiences of stress-related growth associated with coming out as lesbian or gay. Akron: Doctoral Dissertation (Online)-University of Akron,
(http://www.researchgate.net/publication/226655808_Comi ng_Out_Growth_Conceptualizing_and_Measuring_Stress-Related_Growth_Associated_with_Coming_Out_to_Others _as_a_Sexual_Minority, diakses 8 Mei 2015).
Wibowo. (2009). Disonansi Kognitif. In Sarwono, S., Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Himanika.
Waluya, Bagja. (2007). Menyelami Fenomena Sosial Di Masyarakat. Bandung: TP Setiapurna Inves.
Yang, P. (2008). A phenomenological study of the coming out experiences of gay and lesbian hmong. USA: Disertasi (Online)-University of Minnesoto,
(http://conservancy.umn.edu/bitstream/handle/11299/47847 /Yang_umn_0130E_10111.pdf?sequence=1, diakses 19 Mei 2015).
Yudiantara, Putu (2013) Neuro-Hypnotic Seduction Manual. Bali : Raven School.
34
Discussion and feedback