Jurnal Psikologi Udayana

2015, Vol. 2, No. 2, 138-150


Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PROSES PENERIMAAN DIRI REMAJA TUNARUNGU BERPRESTASI Ida Ayu Gede Sri Evitasari, Putu Nugraheni Widiasavitri, dan Yohanes K. Herdiyanto

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Tunarungu merupakan suatu istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang yang kehilangan atau ketidakmampuan seseorang untuk menangkap rangsangan secara audiotori melalui indera pendengarannya (Musyarrafah & Djalal, 2011). Kondisi tunarungu memberi pengaruh pada beberapa aspek perkembangan manusia, salah satunya adalah aspek sosial dan emosional. Sebagian tunarungu berhasil berdamai dengan dirinya dan menerima kondisi yang dimiliki dengan menunjukkan prestasi yang membanggakan. Salah satu faktor yang mendorong kondisi tunarungu yang mampu menunjukkan prestasi adalah dampingan keluarga, namun uniknya terdapat kasus tunarungu yang tidak mendapat dampingan secara fisik keluarga dan bisa meraih prestasi membanggakan. Aritama (2010) mengungkapkan bahwa penerimaan terhadap segala kondisi di dalam diri merupakan hal yang paling mendasar ketika individu ingin sukses dan berdamai dengan keadaan. Havighurst (dalam Sarwono, 2013) juga menambahkan bahwa menerima kondisi fisik merupakan salah satu tugas dalam perkembangan masa remaja. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin mengetahui penerimaan diri pada remaja tunarungu berprestasi tanpa dampingan secara fisik dari pihak keluarga.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan tes proyektif pada dua orang remaja tunarungu berprestasi tanpa dampingan secara fisik dari keluarga dengan riwayat tunarungu yang berbeda, yaitu tunarungu bawaan dan perolehan. Guna memperkuat data penelitian, peneliti melakukan wawancara dan observasi pada significant other remaja tunarungu.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa remaja tunarungu melalui tiga fase dalam proses penerimaan diri. Fase tersebut adalah fase awal, fase konflik, dan fase menerima. Dinamika yang terjadi dalam setiap fase secara lengkap akan dibahas sesuai dengan kronologi perjalanan hidup remaja tunarungu hingga mampu menerima kondisi diri.

Kata kunci: proses penerimaan diri, tunarungu, prestasi

Abstract

Deaf is a term that used to explained condition of individual who losing or disability to catch audio sensory through their hearing sense (Musyarrafah & Djalal, 2011). This condition contributes to some development aspect of human being, which is, social aspect and emotional aspect. Some of them successfully reconciled with themselves and accept their condition with a lot of great achievement. One of the others factor that drive deaf situation who shows an achievement is family assistance, however, uniquely there is a case in deaf who were not get physical assistance by their family and also can get great achievement. Aritama (2010) told that acceptance in any condition in self is the most basic thing if individual want to success and reconciled with state. Havighurst (in Sarwono, 2013) also adding that accept physical condition is one of the task in adolescence development. According that fact, this study would like to know self-acceptance in deaf adolescent who had achievement without physical assistance by their family.

This study using qualitative method and case study design. Collecting data in this study using interview, observation, and projective test to two deaf adolescence who had achievement without family assistance with different deaf history, that is, congenitally deaf and adventitiously deaf. To strengthened data study, this study used interview and observation to significant other of deaf adolescence.

Result in this study shows that deaf adolescent passing three phases in the process of self-acceptance, which proximal phase, conflict phase and accepting phase. The dynamics in every phase completely will be discussed based to the chronology of the life journey adolescence until they can accept their condition.

Keyword: self-acceptance process, deaf, achievement.

LATAR BELAKANG

Different ability people (difable) atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “difabel”, merupakan sebuah eufemisme yaitu penggunaan kata untuk memperhalus sebuah istilah yang telah ada sebelumnya (Nurcahyo, 2006). Difabel digunakan untuk menyebutkan individu yang memiliki kemampuan berbeda semenjak proses kelahiran atau setelah proses kelahiran dan untuk menggantikan penyebutan “penyandang cacat” yang dirasa sarat dengan stigma negatif dan terkesan memuat makna diskriminatif (Mahadarma, 2011; Valentina, 2010).

World Health Organization (WHO) mencatat jumlah kaum difabel mencapai angka 15% dari jumlah penduduk di seluruh dunia (Wongso, 2012). Kementerian Kesehatan Indonesia mencatatkan hingga tahun 2011, jumlah kaum difabel mencapai 3,11% dari angka populasi penduduk Indonesia. Tunarungu merupakan salah satu jenis kelompok difabel yang keberadaannya mencatatkan angka cukup besar di Indonesia. Gerkatin (2008) mencatatkan jumlah tunarungu di Indonesia sebanyak 2,9 juta orang atau sekitar 1,25% dari total populasi penduduk adalah kaum tunarungu. Pada provinsi Bali sendiri, jumlah tunarungu tercatat menduduki posisi terbesar kedua setelah difabel anggota tubuh (handicapped body) yaitu sebanyak 3.696 orang (Badan Pusat Statistik, 2013).

Tunarungu merupakan suatu istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang yang kehilangan atau ketidakmampuan seseorang untuk menangkap rangsangan secara audiotori melalui indera pendengarannya (Musyarrafah & Djalal, 2011). Hallahan, Kauffman, dan Pullen (2009) menjelaskan tunarungu apabila ditinjau dari segi usia dibagi menjadi dua yaitu congentially deaf (ketidakmampuan dengar yang terjadi saat kelahiran, yang bisa disebabkan oleh faktor genetik, gangguan saat perkembangan janin, dan gangguan saat proses kelahiran) dan adventitiously deaf (ketidakmampuan dengar yang terjadi karena penyakit atau peristiwa traumatis yang terjadi pada individu dengan kelahiran tanpa riwayat gangguan pendengaran).

Secara umum, tunarungu memiliki hambatan fisik diakibatkan karena indera pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional yang baik. Pada domain perkembangan fisik lainnya, tunarungu hampir tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan anak normal (Hasmara, 2012). Secara fungsi kognitif, tunarungu juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan orang normal lainnya terkait tingkat intelegensi. Kemampuan kognitifnya mungkin terhambat karena ketidakmampuannya untuk mendengar, namun penglihatan dan kemampuan motorik yang dimilikinya menjadi sumber keberhasilan penalaran bagi sebagian besar tunarungu (Fathia, 2012). Ketidakmampuan untuk mendengar

tentunya memberikan hambatan pada perkembangan bahasa dan bicara, yang mana hal tersebut turut berakibat pada perkembangan sosial dan emosional individu. Tunarungu menunjukkan kekhasan perilaku dalam kekakuan, egosentrik, tanpa kontrol dalam diri, impulsif, dan keras kepala (Dirhamno, 2011). Tunarungu juga memiliki rasa inferioritas yang tinggi dan sikap mempertanyakan kehidupan atas ketidakmampuannya dalam pendengaran.

Dampingan dan dukungan dari pihak keluarga baik secara fisik dan psikologis, dapat membantu kaum difabel seperti tunarungu untuk mengatasi hambatan-hambatan akibat kondisi tunarungu yang dimiliki dan bahkan mengukir prestasi. Keluarga dan orangtua merupakan faktor yang penting untuk membantu anak menentukan sikap-sikap dalam kehidupan. Keluarga merupakan tempat anak belajar tentang kehidupan pertama mereka (Semiun, 2006). Keluarga yang mampu menerima kekurangan yang dimiliki oleh anggota keluarga lainnya, akan memudahkan anggota keluarga yang memiliki permasalahan atau kekurangan untuk menerima segala sesuatu yang ada di dalam dirinya. Safira (2012) mengatakan bahwa keluarga merupakan sebuah sistem, yang mana ketika salah satu bagian dari sistem tersebut mengalami sebuah permasalahan maka pemecahan dan sikap yang harus diambil dalam menyelesaikan masalah tersebut harus melibatkan seluruh bagian sistem. Oleh karena itu, dampingan secara fisik maupun psikologis seluruh anggota keluarga tidak dapat dikesampingkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi di dalam keluarga itu sendiri, khususnya terkait keberadaan anggota keluarga yang memiliki kemampuan fisik yang berbeda.

Fakta di lapangan ditemukan dua kasus remaja tunarungu yang mampu berprestasi meski tanpa dampingan secara fisik dari pihak keluarga. Adapun dua kasus remaja tunarungu berprestasi tersebut adalah kasus dari seorang remaja tunarungu di asrama sekolah luar biasa di Jimbaran-Bali, responden berjenis kelamin perempuan, riwayat ketidakmampuan dengar diperoleh responden secara bawaan. Responden pernah menempuh pendidikan di sekolah umum dan kemudian memutuskan untuk berhenti dan melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa. Prestasi terakhir yang mampu diraih responden adalah juara tiga lomba desain grafis tingkat nasional. Pada kasus kedua, responden merupakan anggota panti asuhan di Kabupaten Gianyar-Bali, responden berjenis kelamin laki-laki, riwayat ketidakmampuan dengar diperoleh responden setelah proses kelahiran atau tunarungu perolehan. Prestasi yang diperoleh responden kedua juga berbeda pada bidang keahlian dengan responden pertama. Responden kedua meraih juara satu dalam perlombaan tingkat internasional.

Pendampingan keluarga baik secara fisik maupun psikologis memang penting bagi kaum tunarungu untuk bisa berdamai dengan hambatan-hambatan akibat kondisi

tunarungu yang dimiliki, namun Aritama (2010) mengungkapkan bahwa penerimaan terhadap segala kondisi di dalam diri merupakan hal yang paling mendasar ketika individu ingin sukses dan berdamai dengan keadaan. Penerimaan diri merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada di dalam diri sendiri baik kekurangan atau kelebihan yang dimiliki. Apabila terjadi peristiwa yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis terhadap baik-buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan permusuhan, perasaan rendah diri, malu dan rasa tidak aman. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab (Hurlock, 2006; Johada dalam Rizkiana, 2010; Sheerer dalam Cronbach, 1963). Menerima kondisi diri, khususnya kondisi fisik dan mampu menggunakannya secara efektif merupakan salah satu bentuk penyesuaian masa remaja dalam tahap perkembangan manusia (Havighurst dalam Sarwono, 2013).

Livneh dan Antonak (2005) mengkaji reaksi individu dalam menerima sesuatu hal yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya, khususnya yang disebabkan karena penyakit kronis dan disabilitas terdiri dari tiga fase reaksi, yaitu proximal (reaksi awal), intermediate (reaksi menengah), dan distal (reaksi akhir). Pada reaksi awal yang terjadi adalah respon shock (kaget), anxiety (kecemasan), dan denial (penyangkalan). Pada reaksi menengah yang terjadi adalah depression (depresi)  dan anger (marah)  atau hostile

(permusuhan). Reaksi akhir, individu mulai memunculkan acknowledgement (pengakuan) dan adjustment (penyesuaian). Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses remaja tunarungu tersebut dapat menerima segala kondisi di dalam diri sehingga mampu meraih prestasi, meskipun dalam kehidupan sehari-hari remaja tunarungu tersebut tinggal tanpa dampingan secara fisik dari pihak keluarga?

METODE

Tipe penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Iskandar (2009) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar dengan konteks yang khusus. Sejalan dengan hal tersebut, Sugiyono (2012) menyatakan bahwa penelitian kualitatif dilakukan dalam setting dan objek yang ilmiah, yang mana objek penelitian dapat berkembang apa adanya, tidak ada manipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika objek tersebut.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus. desain studi kasus digunakan dalam penelitian ini, sesuai berdasarkan pendapat Yin (2009), bahwa studi kasus digunakan ketika: Pertama, konteks penelitian ini bersifat khusus yaitu remaja tunarungu berprestasi yang tinggal di asrama SLB B PTN Jimbaran-Bali dan panti asuhan Kesayan Ikang Papa Gianyar-Bali. Kedua, fokus dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Ketiga, manipulasi tidak dapat dilakukan terhadap variabel atau perilaku yang dilibatkan dalam penelitian ini. Keempat, digunakan untuk mencari dan melihat perbandingan dari beberapa kategori kasus responden tunarungu bawaan dan perolehan.

Karakteristik responden

Penelitian ini menggunakan dua orang remaja tunarungu sebagai responden penelitian. Adapun beberapa faktor yang memberikan perbedaan pada kedua responden penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • a.    Faktor penyebab tunarungu

Responden kategori pertama adalah responden tunarungu sejak lahir atau tunarungu bawaan. Responden menjadi tunarungu disebabkan karena kandungan ibu terserang virus rubella ketika usia kandungan menginjak usia enam bulan. Responden kategori kedua adalah responden dengan riwayat tunarungu setelah proses kelahiran atau tunarungu perolehan. Faktor penyebab responden menjadi tunarungu karena adanya peristiwa kecelakaan di usia tiga tahun enam bulan.

  • b.    Faktor waktu dan alasan tinggal tanpa dampingan secara fisik dari keluarga

Kedua responden penelitian ini adalah anggota asrama sekolah dan panti asuhan, atau dalam kata lain kedua responden tersebut tanpa dampingan fisik dari pihak keluarga. Waktu responden tinggal tanpa dampingan secara fisik dari keluarga adalah delapan hingga 10 tahun.

  • c.    Faktor bidang prestasi yang dimiliki

Kedua responden ini memiliki prestasi dengan tingkat nasional dan internasional. Responden kategori pertama memiliki prestasi di bidang yang lebih banyak menuntut fungsi kognitif dan kreativitas, yaitu desain grafis. Responden kategori kedua memiliki prestasi di bidang yang lebih menuntut pada fungsi tubuh yaitu bidang olahraga atau atletik.

  • d.    Faktor usia responden

Usia responden merupakan kriteria inklusi dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan oleh kemampuan untuk menerima segala kondisi diri, khususnya kondisi fisik merupakan salah satu tugas perkembangan masa remaja. Usia responden dalam penelitian ini dimulai dari rentang usia 18

tahun hingga 21 tahun, yang mana rentang usia tersebut masih masuk ke dalam rentang usia perkembangan remaja.

  • e.    Faktor jenis kelamin

Jenis kelamin responden juga dijadikan kriteria inklusi dalam penelitian ini. Hal tersebut didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Yuan (2010) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memandang citra tubuhnya. Perilaku dan persepsi terhadap tubuh lebih berpengaruh signifikan pada perubahan kesejahteraan psikologis pada remaja perempuan dibandingkan pada remaja laki-laki. Responden dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan untuk responden ketegori pertama dan berjenis kelamin laki-laki untuk responden kategori kedua.

Tabel 1

Karakteristik Responden

Iuclikatoi' pembeda

Respoudeu Kategori I (TRI)

Responden Kategori II (TRII)

Hiisal

WD

DA

Usia

21 tahun

18 tahun

Jeuis kelamin

Perempuan

Laki-laki

Riwayat Umanuigu

Bawaan

Perolehan

Alamat rumah

Denpasar

Gianyar

Alamat panti/asrama

Jimbaran. Badnna

Gianyar

Lama tinggal di panti/asrama

Dua tahun saat SMA dan delapan tahun saat SD (total 10 tahun)

Delapan tahun

Prestasi

Desain grafis

Olataaga

Lokasi pengumpulan data

Penelitian ini mengambil lokasi pada dua lembaga yang berbeda. Lembaga pertama yang menjadi tempat pelaksanaan penelitian ini adalah Sekolah Luar Biasa B Pembina Tingkat Nasional Jimbaran-Bali atau yang disingkat menjadi SLB B PTN Jimbaran-Bali. Sekolah ini peneliti pilih sebagai tempat pelaksanaan penelitian dikarenakan sekolah ini merupakan sekolah luar biasa yang memiliki jumlah siswa tunarungu terbanyak di Bali. Sekolah ini juga menyediakan fasilitas asrama bagi para siswa dan siswi tunarungu yang bersekolah di sekolah tersebut. Terdapat 32 orang tunarungu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menjadi anggota asrama SLB.

Lembaga kedua yang menjadi tempat pelaksanaan penelitian ini adalah sebuah panti asuhan yang terletak di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Panti asuhan ini bernama Panti Asuhan Kasayan Ikang Papa. Panti asuhan ini peneliti pilih sebagai tempat pelaksanaan penelitian dikarenakan panti asuhan ini memiliki sebuah keunikan, yang mana panti ini hanya merawat dan mengasuh anak-anak difabel, dengan mayoritas adalah anak tunarungu. Sebanyak 32 orang tunarungu dan 13 orang tunagrahita tercatat sebagai anggota panti asuhan ini. Penelitian ini dilakukan sejak Oktober 2013 hingga Juli 2014.

Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dengan wawancara

Teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara semi terstruktur. Sebelum proses wawancara

dilakukan, peneliti mengawali dengan meminta persetujuan untuk terlibat sebagai responden dan informan penelitian melalui pemberian inform consent penelitian. Pengambilan data dibantu dengan penggunaan digital video camera recorder dan recorder handphone.

Proses wawancara pada responden kategori pertama berlangsung dari bulan November 2013 hingga Maret 2014. Selama periode waktu lima bulan tersebut, peneliti telah melakukan proses wawancara sebanyak 12 kali. Proses wawancara dengan responden kedua dilakukan dari bulan Februari 2014 hingga April 2014. Peneliti mendapat bantuan dari pihak panti dalam menerjemahkan bahasa isyarat responden pada proses pengambilan data dengan responden kedua ini. Selama tiga bulan proses pengambilan data, peneliti telah melakukan delapan kali proses wawancara. Hasil wawancara pada kedua responden kemudian ditulis dalam bentuk verbatim dan fieldnote wawancara penelitian.

Pengumpulan data dengan observasi

Pelaksanaan observasi dilakukan pada kegiatan-kegiatan tertentu yang diikuti oleh responden dan juga pada saat pelaksanaan wawancara. Observasi pada responden kategori pertama mengambil empat setting lokasi yang berbeda, yaitu asrama, sekolah, rumah responden dan kawasan umum. Berbeda dengan proses observasi pada responden kategori kedua yang hanya dilakukan dengan mengambil tiga setting lokasi yang berbeda, yaitu panti, rumah responden dan kawasan umum. Hasil observasi kemudian dicatat ke dalam fieldnote observasi penelitian dan disajikan dalam bentuk narasi.

Pengumpulan data dengan tes proyektif

Tes proyektif digunakan untuk memperkaya hasil penelitian. Tes proyektif yang peneliti lakukan pada kedua responden penelitian adalah tes DAP (Draw a Person) dan tes HTP (House-Tree-Person). Cohen dan Swerdlik (2010) menjelaskan bahwa tes DAP bertujuan untuk melihat impuls dan konflik dalam diri individu. Tes HTP bertujuan untuk melihat peran dan interaksi individu dalam keluarga. Administrasi dari pelaksanaan tes proyektif ini dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan supervisi dari dosen pembimbing. Pada tahap analisa dan intepretasi hasil dari tes proyektif responden, peneliti memperoleh bantuan dari psikolog yang merupakan dosen pembimbing peneliti. Hasil observasi selama pengerjaan dan intepretasi hasil tes proyektif dicatat ke dalam bentuk fieldnote observasi dan analisa tes proyektif.

Analisa data

Analisa dilakukan dengan menggunakan model analisis data yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin (2009). Model analisis data ini dikenal dengan model

theoretical coding, yang mana terdiri dari tiga tahapan yaitu open coding, axial coding, dan selective coding.

Proses open coding, proses ini merupakan proses awal untuk memberikan kode-kode pada seluruh teks, baik yang berasal dari verbatim wawancara maupun fieldnote. Setiap respon jawaban dan tingkah laku yang diberikan oleh responden maupun informan akan diberikan kode-kode sesuai dengan perkataan atau jawaban responden. Teknik ini dinamakan dengan in-vivo coding. Proses ini menghasilkan sistem koding yang dibuat terpisah antara responden pertama dan responden kedua.

Proses axial coding, sistem koding yang telah terbentuk pada proses sebelumnya kemudian dikelompokan dalam bentuk kategori-kategori besar. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan urutan waktu kejadian, kesamaan, dan keterkaitan antar kode data. Proses ini menghasilkan kategori-kategori yang mencakup seluruh kode data yang ada dalam sistem koding dan membentuk dua tema besar yaitu kehidupan masa anak dan kehidupan masa remaja.

Proses selective coding, proses selanjutnya adalah pemilihan tema-tema hasil pengkategorian dalam proses axial coding yang disesuaikan dengan pertanyaan penelitian. Pada proses ini akan menghasilkan visualisasi hasil akhir penelitian yang akan dipaparkan dalam sub-bab hasil penelitian dan pembahasan.

Teknik pemantapan kredibilitas data penelitian

Sugiyono (2012) menyatakan bahwa uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan enam cara, namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa cara, diantaranya adalah peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi (sumber, waktu, dan teknik), diskusi rekan sejawat, dan kecukupan referensi (handycam, alat perekam suara, kamera dan penerjemah bahasa isyarat).

Isu etika penelitian

Adapun beberapa isu etika yang peneliti harus perhatikan dalam penelitian ini dan disampaikan kepada responden maupun informan penelitian adalah tidak merugikan atau membahayakan responden dan informan atas informasi dan data yang telah atau akan diberikan; menjaga kerahasiaan identitas dan respon responden serta informan; persetujuan dari pihak institusi, baik pihak asrama sekolah dan juga pihak panti asuhan; menyimpan hasil rekaman, baik dalam bentuk suara maupun gambar, dan tidak menyebarluaskan informasi yang terkandung di dalam rekaman tersebut kepada pihak yang berada di luar kepentingan penelitian; persetujuan tertulis dari responden dan informan untuk ikut serta dalam penelitian dan memberikan informasi dalam proses pengambilan data; responden berhak

mundur dari penelitian dengan sebelumnya melakukan persetujuan dan disertai dengan alasan yang dapat diterima antara pihak responden dan juga pihak peneliti; serta pemberian imbalan berupa materi maupun non-materi selama proses pengambilan data kepada responden dan/atau informan penelitian.

HASIL PENELITIAN

Terkait dengan desain penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu desain penelitian studi kasus, maka hasil penelitian akan dipaparkan secara terpisah tiap kasus responden. Setiap kalimat yang dipaparkan pada bagian hasil penelitian ini merupakan fakta yang terbentuk dari rangkaian kode-kode hasil pengumpulan data yang telah melalui tahap analisis data.

Proses penerimaan diri responden kategori I (TRI)

Proses penerimaan diri responden dimulai pada usia nol bulan atau masa awal kehidupan dan berlanjut terus hingga responden menginjak usia remaja (dapat dilihat pada Gambar 4). Proses-proses yang terjadi adalah sebagai berikut:

Fase awal (usia nol sampai 16 tahun)

Fase awal (usia nol sampai 16 tahun)

Gambar 1

Fase awal proses penerimaan diri responden TRI

Kondisi penyebab

Responden lahir pada tahun 1992 di Kupang, dengan kondisi fisik yang lengkap. Riwayat tunarungu responden dimulai ketika ibu responden sedang mengandung responden pada usia kandungan enam bulan. Ibu responden yang saat itu sedang berada di Kupang untuk menjalani wajib kerja sarjana, mengalami gangguan kehamilan berupa panas dan timbul gejala campak. Kandungan ibu responden terserang virus rubella, yang mana virus ini dapat menyebabkan kecacatan pada tiga organ vital manusia (mata, telinga, dan jantung). Terkait dengan kondisi tersebut, dokter memberikan peringatan pada kondisi kehamilan ibu responden. Pihak dokter mengindikasikan kecacatan pada anak yang akan dilahirkan namun pihak dokter sendiri tidak dapat memastikan jenis kecacatan yang akan dimiliki oleh responden.

Kondisi statis

Pada saat usia responden menginjak usia tiga bulan, responden mulai tidak menunjukkan respon terhadap stimulus suara. Orangtua kemudian memeriksakan kondisi responden pada dokter di Kupang dan orangtua responden kemudian disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter di Jakarta. Hasil dari tes Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

menunjukkan bahwa responden memiliki ketidakberfungsian pada organ pendengaran. Responden dinyatakan tunarungu total dan hanya mampu merespon suara dengan frekuensi bunyi 95dB. Responden juga dinyatakan tidak memiliki koklea atau rumah siput, karena koklea responden tidak terbentuk akibat diserang oleh virus rubella.

Saat responden menginjak usia dua tahun, orangtua responden berusaha menyediakan alat bantu dengar untuk responden. Ternyata alat bantu dengar tidak banyak memberikan perubahan pada fungsi pendengaran responden. Responden juga sempat diajak berobat alternatif di dekat rumah bersama kedua orangtuanya. Orangtua responden merasa dibohongi oleh pihak yang melakukan pengobatan alternatif dan selama responden menjalani pengobatan, teknik yang digunakan adalah memasukkan jarum ke dalam kepala responden. Orangtua responden akhirnya kembali membawa responden ke pengobatan medis dengan berkonsultasi kepada dokter di Jakarta dan responden disarankan untuk speech therapy. Pada usia tiga tahun, orangtua responden mendapat tawaran operasi implant koklea di Australia. Pada saat itu biaya operasi cukup besar dan mahal, sehingga orangtua merasa keberatan untuk melakukan operasi.

Penyesuaian kebutuhan

Pada usia lima tahun, responden bersekolah di sebuah taman kanak-kanak (TK) di wilayah Sidakarya, Bali. Responden kemudian melanjutkan ke bangku sekolah dasar (SD) di sekolah yang sama, hingga sampai kelas tiga SD responden tidak mengalami kemajuan secara akademik. Responden tidak dapat menulis dan berbicara. Orangtua responden kemudian menyekolahkan responden ke sekolah luar biasa di Wonosobo. Pada usia delapan tahun, responden resmi bersekolah di Wonosobo, Jawa Tengah. Responden juga mulai tinggal di asrama sekolah sesuai dengan aturan dan kebijakan dari pihak sekolah.

Fase konflik (usia 16 tahun hingga 17 tahun)

Gambar 2

Fase konflik proses penerimaan diri responden TRI

berbicara, serta tidak diajak mengobrol bersama teman-temannya di sekolah. Responden juga tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik metode belajar yang kurang efektif untuk anak tunarungu.

Cemas dan perilaku pertahanan diri

Responden kabur seorang diri sepulang dari sekolah dengan naik sepeda dan membawa baju-baju miliknya. Responden merasa takut karena teman-teman di sekolah umum mengejek, sehingga membuat responden menjadi minder dalam pergaulan. Tindakan melarikan diri atau kabur tersebut merupakan bentuk penolakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh responden.

Penarikan diri

Setelah ditemukan dan berhasil diajak pulang, responden tidak bersedia pergi ke sekolah selama satu bulan. Responden hanya berdiam diri di rumah dan selama satu minggu pertama responden terus menangisi kondisinya di rumah.

Coping

Responden kemudian meminta untuk berhenti sekolah dan pindah ke sekolah lain. Orangtua awalnya tidak setuju dengan keinginan responden, namun akhirnya orangtua berpikir untuk melakukan sesuatu yang membuat responden merasa nyaman. Responden kemudian melanjutkan bangku kelas satu sekolah menengah pertama (SMP) di SLB di daerah Jimbaran.

Menolak pengobatan

Saat usia responden menginjak 17 tahun, orangtua responden menawarkan responden untuk operasi implant koklea. Responden menolak tawaran tersebut dengan alasan telah menerima kondisi tunarungu yang merupakan kehendak Tuhan, namun sesungguhnya responden takut pada risiko kematian yang bisa ditimbulkan akibat operasi tersebut akibat informasi dari teman-teman responden yang menyampaikan bahaya implantasi koklea.

Muncul konflik eksternal

Usia 16 tahun responden tamat SD dari sekolah Wonosobo dan responden memutuskan untuk kembali ke Bali. Responden kemudian sekolah di sekolah umum di Denpasar. Saat bersekolah, timbul keluhan dari diri responden yang merasa tidak nyaman berada di sekolah tersebut. Responden mengalami kendala dalam proses adaptasi dengan lingkungan sekolah umum, responden diejek karena menggunakan bahasa isyarat, dikatakan bodoh karena tunarungu, diejek dan dijadikan bahan pembicaraan karena responden tidak dapat


Mencari penjelasan kondisi

Pada saat responden berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMP, responden pernah bertanya kepada ibunya mengenai ketidakmampuan dengar yang dimilikinya. Responden mengajukan pertanyaan “Kenapa saya tuli? (WSO2TRI 05/195)” dan “Kenapa saya tuli, kenapa saya berbeda? (WSO2TRI 05/236)”. Pada saat ibu responden telah memberi penjelasan atas pertanyaan yang diajukan, responden tampak bersedia menerima penjelasan ibu tentang riwayat tunarungu yang dimiliki oleh responden.

Mencari potensi diri

Pada usia 19 tahun saat responden sudah duduk di bangku SMA dan masih melanjutkan sekolahnya di SLB Jimbaran, responden mulai mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk kaum difabel di Manado. Pad kesempatan itu, respondne belum berhasil meraih gelar juara. Pada saat responden berusia 20 tahun responden kembali mengikuti lomba yang sama di Jakarta dan kembali gagal meraih gelar juara. Responden mengatakan pada dirinya sendiri bahwa tidak apa-apa tidak mendapat juara dalam lomba biologi, yang penting bagi responden adalah mendapat pengalaman dari lomba tersebut.

Mencari lingkungan yang efektif

Pada usia 20 tahun, responden memutuskan untuk mulai tinggal di asrama SLB Jimbaran. Alasan yang mendasari keputusan responden untuk tinggal tidak bersama keluarga adalah merasa tidak kesal jika tinggal di asrama karena jika di rumah responden akan merasa sendiri, keinginan dan kemudahan belajar bersama teman dan guru, kemudahan berkomunikasi dengan sesama teman tunarungu, kehadiran teman dalam aktivitas bersama, dan jarak rumah dan sekolah yang jauh. Responden juga memutuskan untuk

aktif bersama teman-teman sesama tunarungu dengan sebuah komunitas tunarungu di Denpasar.

Pemahaman terhadap diri

Saat responden berusia 21 tahun, responden mampu mengenal dan memberikan penilaian terhadap dirinya baik menilai kelebihan, kekurangan, kesulitan sebagai tunarungu dan juga paham batasan kemampuan diri. Responden menganggap bahwa dirinya berprestasi, humoris, ramah, tidak sombong, tidak pernah marah, suka membantu teman, bisa berbicara, dan menulis. Responden juga menyadari kekurangan yang dimiliki, yaitu nakal karena pernah bermasalah dengan orang lain yang bukan tunarungu, boros dan suka berbelanja, serta sering terlambat datang ke sekolah karena terlambat bangun tidur. Responden memahami bahwa kondisi tunarungu yang dimiliki membuat diri responden kesulitan dalam proses komunikasi.

Pemahaman tersebut membuat responden memiliki solusi untuk mengatasi kesulitan pendengaran yang dimiliki diantaranya adalah mengganti fungsi telinga dengan alat indera lainnya. Responden dapat membaca pembicaraan lewat melihat gerakan mulut atau dengan memperhatikan gerakan bibir lawan bicara saat bicara, mengandalkan debaran jantung untuk mendeteksi keberadaan suara, dan memfokuskan mata pada wajah lawan bicara saat berkomunikasi.

Menerima diri secara utuh

Responden menganggap tidak masalah jika tidak dapat mendengar. Responden menyampaikan bahwa tidak apa-apa tidak dapat mendengar karena responden masih dapat bicara. Responden juga menulis sebuah status “I Like Deaf” di media sosial dan juga memasang tulisan serupa di lemari responden. Responden terbuka menyatakan kondisi dirinya sebagai tunarungu di media sosial. Responden pernah menulis sebuah status “I Love Deaf” di akun LINE Messagger pribadinya dan juga menulis “Deaf from Bali” pada kolom biodata akun Instagram miliknya.

Perubahan ke arah positif

Seiring dengan bertambahnya usia, responden mulai menunjukan perubahan pada karakternya. Responden dinilai lebih dewasa, mandiri, dan juga sifat keras kepala serta ngambek sudah berkurang. Responden kini juga sudah berani untuk berbicara dengan orang lain. Jika dulu, responden sering merasa berbeda dengan orang lain sehingga kerap merasa malu dengan kondisi tunarungu yang dimilikinya.

Mengembangkan potensi

Responden mampu meraih prestasi di bidang desain grafis. Responden meraih juara satu lomba desain grafis di Denpasar atau tingkat provinsi. Responden mengikuti lomba desain grafis tingkat nasional di Medan pada bulan Juni tahun

2013 dan meraih juara tiga dalam ajang tersebut dengan karya papertoys miliknya.

Merencanakan masa depan

Pada usia responden yang ke 21 tahun ini, responden telah membuat beberapa perencanaan dalam hidupnya, diantaranya adalah rencana dalam bidang pendidikan, rencana dalam karir dan rencana dalam pemilihan pasangan. Rencana responden dalam bidang pendidikan adalah responden akan melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Brawijaya, dengan jurusan komputer. Responden juga berencana akan bekerja di bidang komputer setelah menamatkan kuliahnya, dan responden telah menentukan akan mencari pasangan yang sama-sama tunarungu karena responden menyadari kesulitan yang dimiliki dalam hal komunikasi.

Meraih salah satu impian

Salah satu impian yang telah direncanakan untuk masa depan responden kini berhasil responden wujudkan. Kini responden telah resmi menjadi mahasiswa baru di Universitas Brawijaya dengan mengambil program vokasi diploma tiga (D3) Program Studi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer dengan bidang keahlian Desain Komunikasi Visual.

Gambar 4

Giaflk p∏HK prneιiιnaan diri TRl

Proses penerimaan diri responden kategori II (TRII)

Proses penerimaan diri responden dimulai pada usia tiga tahun enam bulan dan berlanjut terus hingga responden menginjak usia remaja (dapat dilihat pada Gambar 8). Proses-proses yang terjadi adalah sebagai berikut:

Fase awal (usia tiga tahun enam bulan hingga delapan tahun)

Gambar 5

Fase awal proses penerimaan diri responden TRII

Kondisi penyebab tunarungu

Pada usia responden tiga tahun enam bulan, responden pernah jatuh ke sebuah jurang kecil dan dalam yang terletak di selatan rumah responden. Responden lalu dibawa ke Rumah Sakit “G”. Akibat peristiwa jatuh tersebut,

responden mengalami cedera di kepala dan mendapat enam jahitan di kepala. Usia empat tahun, responden kembali mengalami cedera pada kepala karena terkena pisau. Peristiwa tersebut terjadi karena responden sedang bercanda dengan adik responden. Responden lalu kembali dibawa ke Rumah Sakit “G” setelah kejadian tersebut. Akibat terkena pisau, terdapat dua bekas luka di bagian samping kepala responden.

Kaget dan cemas atas kondisi diri

Responden menangis ketika peristiwa jatuh saat usia tiga tahun enam bulan karena merasa sakit dan melihat darah keluar dari kepalanya. Kepala responden mengeluh merasa sakit, pusing, dan nyeri di kepala. Responden tidak dapat bicara ketika melihat darah di kepalanya dan responden hanya diam setelah peristiwa jatuh. Begitu juga ketika kepala responden terkena pisau, responden kaget karena melihat darah di wajahnya. Jantung responden berdetak cepat ketika melihat kepalanya berdarah saat terkena pisau. Responden hanya merasa sakit karena kepala dan wajah penuh dengan darah. Responden tidak marah kepada adiknya karena telah melukai kepala responden dengan pisau.

Menjalani pengobatan

Pada usia lima tahun, kemampuan mendengar responden masih belum mengalami perubahan karena responden belum dapat mendengar. Kakak dari ibu responden menganjurkan agar responden dibawa ke Badung untuk diperiksa ke dokter telinga hidung dan tenggorokan (THT). Saat di Rumah Sakit “I”, responden dites dan dinyatakan tidak dapat memakai alat bantu karena alat bantu tidak memberikan respon pada fungsi pendengaran responden.

Takut selama pengobatan

Setelah responden mengalami peristiwa cedera di kepala akibat jatuh dan terkena pisau, responden sering diajak ke dokter THT di Badung, di Rumah Sakit “S”, dan Rumah Sakit “I” oleh orangtuanya. Responden bersedia ketika diajak orangtuanya memeriksakan diri ke dokter. Hanya saja pada saat tiba di dokter THT, responden merasa takut dan menangis ketika duduk di kursi goyang yang berputar.

Penyesuaian kebutuhan

Responden terlambat untuk memulai masa sekolah karena pada usia tujuh tahun responden baru bersekolah di bangku taman kanak-kanak. Responden bersekolah di sekolah umum di Desa Lebih, Gianyar. Pada saat sekolah di sekolah umum tersebut, responden tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Usia delapan tahun, responden melanjutkan sekolah di bangku sekolah dasar. Responden ditolak di sekolah tersebut dan lebih disarankan untuk melanjutkan ke sekolah luar biasar (SLB) Gianyar. Pada saat responden duduk di bangku kelas dua SD, orangtua responden memutuskan

untuk menitipkan responden di panti asuhan Kesayan Ikang Papa. Alasan responden tinggal di panti adalah karena orangtua tidak dapat mengantar dan menjemput responden ketika sekolah akibat orangtua responden tidak memiliki sepeda motor.

Mencari kejelasan kondisi

Responden kembali melakukan pemeriksaan terkait kondisinya. Responden mendapat penanganan dokter THT dari Australia yang sedang melakukan kunjungan sosial dan pemeriksaan telinga di Pejeng, Gianyar. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa ada masalah dengan telinga responden. Dokter menyebutkan bahwa saraf pendengaran responden mengalami permasalahan berupa putusnya saraf yang menghubungkan antara telinga dan otak. Saraf pendengaran responden sudah tidak tersambung sehingga tidak dapat mendengar. Jaringan saraf di telinga yang terhubung ke otak terputus karena peristiwa jatuh saat responden berusia tiga tahun enam bulan.

Merasa bersalah atas kondisi

Pada saat responden duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), responden pernah mengungkapkan penyesalan terhadap kondisi tunarungu yang dimiliki dengan menyampaikan, “Jatuh (nama responden) telinga (nama responden) jelek karena jatuh (WSO2&3TRII 03/757)” dan “Kalau tidak jatuh bagus telinga saya dapat (nama responden) momong (WSO2&3TRII 03/756-757)” kepada ibu responden.

Menemukan potensi

Setelah merasa bersalah atas kondisi dirinya sendiri, responden mulai mencari hal yang dapat menutupi kekurangannya. Pada saat duduk di bangku SMP, responden sudah mulai mencoba mengikuti perlombaan dengan sesama tunarungu. Adapun bidang lomba yang responden ikuti ialah lomba lari, lomba lompat jauh, dan lomba renang. Responden selalu berhasil meraih gelar juara dalam lomba yang diikuti. Pada tahun 2011, responden juga mulai berprestasi di tingkat nasional dengan mengikuti perlombaan di Provinsi Riau. Pada

kesempatan lomba di Riau tersebut, responden sukses mendapatkan juara tiga tingkat nasional pada ajang trilomba (lomba lari jarak 100 meter, lomba lari jarak 400 meter, dan lomba lompat jauh).

Mengembangkan potensi

Pada usia 17 tahun, responden mencoba mengikuti lomba taraf internasional. Responden ikut dalam ajang Bali international Stickfihgting yang diselenggarakan pada tahun 2013. Responden tidak lagi berlomba dengan sesama tunarungu, namun responden sudah berlomba dengan bukan tunarungu dalam Bali International Stickfighting di Denpasar. Responden meraih medali emas dalam kategori lomba double stick sparing pada ajang tersebut.

Pemahaman diri

Responden telah paham terhadap kondisi tunarungu yang dimiliki. Responden mengetahui bahwa penyebab responden tidak dapat mendengar adalah karena responden pernah jatuh. Responden juga mampu memandang kelebihan, kekurangan, dan kesulitannya sebagai tunarungu. Responden memandang dirinya sebagai pribadi yang senang berteman, senang bergaul, rajin sembahyang dan mengerjakan pekerjaan rumah, ceria, dan juga berprestasi.

Responden juga mampu memandang kekurang dalam dirinya, yaitu nakal karena sudah tiga kali responden mengalami peristiwa terjatuh atau kecelakaan di kepala hingga dijahit, suka mengejek teman, dan melihat kondisi tunarungu yang dimiliki responden merupakan sebuah kekurangan yang dimiliki. Responden juga menilai diri responden kurang percaya diri dan pemalu. Kesulitan yang responden rasakan sebagai seorang tunarungu adalah kesulitan dalam proses komunikasi. Solusi yang responden lakukan untuk mengatasi kesulitannya dalam berkomunikasi adalah dengan mencondongkan telinga bagian kanan ketika berkomunikasi, memperhatikan wajah lawan bicara ketika berkomunikasi karena responden akan melihat mimik wajah dan gerak bibir lawan bicara saat berkomunikasi sehingga harus saling berhadapan dan tidak membelakangi saat berbicara dengan responden.

Menerima diri secara utuh

Responden telah menerima kondisi tunarungu yang dimiliki responden. Setelah awalnya timbul penyesalan akan kondisi yang dimiliki responden, selanjutnya responden tidak mengalami penyesalan dan kesedihan. Responden tidak pernah lagi terlihat menyesal dengan kondisi yang responden alami. Responden mulai ikhlas dengan kondisi tunarungu yang dimiliki. Responden tidak lagi memiliki pemikiran untuk kembali dapat mendengar seperti dulu. Bagi responden, dengan kondisi responden yang tunarungu, responden dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat.

Responden merasa senang karena dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Melakukan penyesuaian lingkungan

Pada saat responden duduk di bangku sekolah menengah atas, responden mulai membawa sepeda motor sendiri ke sekolah. Responden tidak lagi tidur di panti dan pulang ke rumah sama halnya dengan beberapa anak panti lainnya yang juga sudah duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Saat tinggal di panti, responden mampu menjalin interaksi yang baik, bergaul dan bermain dengan seluruh teman panti. Begitu juga ketika responden kembali tinggal di rumah, responden memiliki interaksi yang baik dengan lingkungan di sekitar rumah. Responden bahkan aktif di kegiatan desa dengan ikut serta dalam sekeha truna truni di desa. Responden juga ikut bermain dalam kejuaraan voli bersama pemuda desa pada Bupati Cup di Gianyar. Responden menjadi tunarungu seorang diri diantara teman lainnya saat mengikuti kejuaraan voli antar klub se-Kabupaten Gianyar.

Merencanakan masa depan

Responden telah memiliki rencana masa depan yang akan dijalani oleh responden ke depannya. Responden memiliki keinginan untuk bekerja setelah tamat dari sekolah menengah atas yang kini sedang dijalani responden. Responden bercita-cita ingin menjadi guru olahraga. Kedepannya untuk mempertahankan prestasi yang dimiliki, responden ingin lebih aktif mengikuti perlombaan. Responden berencana akan mengikuti lomba lari di Jakarta dan selanjutnya responden dijadwalkan akan mengikuti lomba hangar di Badung. Saat ini, responden akan mewakili Desa Lebih untuk mengikuti lomba lari. Pada bulan Mei, responden juga akan ikut lomba lompat jauh di Denpasar. Pada bulan Agustus, responden akan berangkat ke Filipina untuk mengikuti pertandingan pada cabang olahraga beladiri.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa individu dengan kondisi tunarungu baik bawaan maupun perolehan mengalami fase-fase yang relatif sama dalam proses menerima segala kondisi di dalam diri. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat tiga fase yang dilalui oleh individu

dengan kondisi tunarungu baik bawaan maupun perolehan dalam menerima kondisi diri dan kehidupan, yaitu fase awal, fase konflik, dan fase menerima.

Dinamika fase awal dalam proses penerimaan diri remaja tunarungu

Fase awal merupakan fase dimana individu memperoleh kondisi tunarungu, yang dimulai dengan munculnya kondisi penyebab tunarungu. Maternal rubella (ibu yang terserang virus rubella pada masa kehamilan) dan cedera pada bagian kepala pada usia anak, merupakan salah satu penyebab kondisi tunarungu (Moores, 2001; Papalia, Olds, dan Feldman, 2009; Nguyen, 2008). Individu dengan kondisi tunarungu selanjutnya menimbulkan reaksi awal terhadap kondisinya. Pada individu dengan kondisi tunarungu bawaan sejak lahir, individu berada pada kondisi statis. Hal tersebut dikarenakan oleh keberadaan orangtua yang mengambil banyak peranan pada usia awal kehidupan individu, serta disebabkan oleh faktor ketidaktahuan individu terhadap situasi yang terjadi pada dirinya. Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa individu dalam periode usia nol hingga tiga tahun akan sangat bergantung pada keberadaan orangtua dan kesadaran terhadap dirinya baru akan mulai terbentuk di usia ini.

Berbeda dengan individu yang memiliki kondisi tunarungu perolehan, Livneh dan Antonak (2005) menyebutkan bahwa kaget atau shock merupakan reaksi awal yang berlangsung dalam jangka waktu yang pendek ketika individu mengalami peristiwa traumatis dan kecelakaan yang terjadi secara tiba-tiba. Gargiulo (2012) juga menyebutkan bahwa reaksi kaget memang merupakan reaksi awal individu ketika menghadapi kondisi yang tidak sesuai harapannya.

Individu dengan kondisi tunarungu perolehan selanjutnya mulai mencari pengobatan guna memperoleh kesembuhan seperti kondisi awal. Individu dengan kondisi tunarungu bawaan juga menjalani pengobatan, namun keinginan untuk melakukan pengobatan tidak bersumber dari dalam diri individu sendiri, melainkan lebih bersumber dari keinginan keluarga individu itu sendiri atau individu berada dalam kondisi statis. Berbeda dengan individu dengan tunarungu perolehan yang memang memiliki kesediaan untuk menjalani pengobatan yang ditawarkan kepada dirinya. Individu dengan kondisi tunarungu perolehan menjalani lebih dari satu lokasi pengobatan, guna mendapatkan kejelasan informasi terkait kondisi yang individu alami. Kondisi yang selanjutnya terjadi adalah kemunculan rasa takut selama masa pengobatan. Perasaan ini timbul karena individu terlalu sering datang dan melakukan perawatan medis di lokasi pengobatan.

Individu dengan kondisi tunarungu baik bawaan ataupun perolehan kemudian mulai melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan di bidang pendidikan sesuai dengan kebutuhan tahap perkembangan yang dimiliki. Individu harus mulai mempersiapkan diri masuk ke dalam dunia sekolah pada

usia tiga sampai enam tahun (Slavin, 2009). Moores (2001) mengungkapkan bahwa terdapat banyak pilihan penempatan sekolah untuk siswa tunarungu, mulai dari sekolah berasrama (resident school), sekolah harian (day school), sampai pada program integrasi dengan siswa yang mendengar. Penelitian yang dilakukan oleh Moores (2001) melihat tipe program pendidikan anak tunarungu berdasarkan tingkat kemampuan dengar pada 41.379 anak tunarungu menyebutkan bahwa sebesar 63% tunarungu dengan kategori kerusakan pendengaran berat memang berada dalam program sekolah berasrama. Hal tersebut dilakukan karena ada perbedaan fasilitas dan layanan yang tersedia disesuaikan dengan kebutuhan anak tunarungu.

Tabel 2

Perbaudingan dinamika fase awal antara tunarungu bawaan dan perolehan

Dinainika

Tuiiarunsu bawaan

Tunat ungu Perolehan

Kondisi penyebab

Maternal rubella

Jatuh di jurang dekat rumah

Reaksi awal

Statis

Kaget dan cemas

Penanganan

Melakukan pengobatan atas kendali Oiangtua

Memiliki kesediaan yang timbul dari dalam diri sendiri untuk menjalani pengobatan

Reaksi selama pengobatan

Takut

Kebutuhau

Mempersiapkan masuk bangku sekolah

Mempei siapkan masuk bangku sekolah

Jenis program pendidikan

Ztay school kemudian resident school di Wonosobo

Resident school

Dinamika fase konflik dalam proses penerimaan diri remaja tunarungu

Fase kedua atau fase konflik adalah fase timbulnya permasalahan pada individu karena kondisi tunarungu. Konflik eksternal rentan terjadi pada individu yang bersekolah atau bekerja di lingkungan yang mana individu dengan kondisi tunarungu menjadi kaum minoritas. Arista (2009) menyebutkan bahwa individu yang tunarungu memiliki kebutuhan yang sama dengan individu lain dalam kebutuhan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Perlakuan yang kurang menyenangkan dari masyarakat dapat menimbulkan hal yang negatif pada diri individu tunarungu seperti rendah diri, merasa diasingkan, cemburu, curiga, kurang dapat bergaul, minder, mudah marah, dan agresif. Individu dengan kondisi tunarungu dalam penelitian ini, memunculkan perasaan cemas, kabur, dan menarik diri dari lingkungan sosial akibat konflik yang ada sebelumnya.

Strategi pemecahan masalah yang individu lakukan tergolong dalam reaksi flight. Reaksi ini berkaitan dengan penarikan diri dari kondisi yang dianggap sebagai sumber tekanan atau ancaman yang dihadapi (Taylor, 2009). Individu keluar dari sekolah atau tempatnya beraktivitas dengan alasan individu merasa tidak memiliki teman di lingkungan yang mana individu tersebut menjadi kaum minoritas.

Konflik internal yang timbul adalah individu meragukan hasil pemeriksaan kondisi pendengaran yang telah dilakukan sebelumnya, individu kembali mencari penjelasan untuk benar-benar menyakinkan dirinya atas kondisi yang dimiliki. Saat telah mengetahui secara pasti dan merasa yakin

atas kondisinya, individu memunculkan rasa bersalah pada diri terkait kondisi yang dialami. Gargiulo (2012) menyebutkan perasaan bersalah adalah reaksi yang paling banyak timbul dan sulit untuk diatasi oleh individu dengan kondisi diri yang berbeda dari sebelumnya. Individu yang merasa bersalah memiliki pola pikir “Jika saja…” dan membutuhkan usaha yang besar untuk bisa menenangkan reaksi tersebut. Serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2010) diperoleh bahwa kondisi bersalah dialami oleh individu ketika menganggap bahwa dirinyalah penyebab segala kondisi yang terjadi pada diri saat ini. Pada kondisi ini individu memiliki pemikiran “kalau saja…”. Saat perasaan bersalah tersebut muncul, individu menjadi obsesif dan emosional dalam menyikapi kondisi.

Pada fase konflik ini, selanjutnya individu tunarungu juga memunculkan perilaku menolak menjalani pengobatan karena individu meragukan keefektifan dari pengobatan yang coba ditawarkan kepada dirinya. Kekhawatiran individu berasal dari informasi yang individu peroleh dari teman-teman tentang bahaya pengobatan yang dilakukan. Berdasarkan teori perkembangan, masa remaja merupakan masa dimana hubungan dan peran teman sangatlah besar berpengaruh pada individu (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Berdasarkan teori tersebut, perilaku individu dengan kondisi tunarungu yang menolak pengobatan karena informasi efek pengobatan dari teman yang berbahaya sangatlah wajar terjadi, mengingat usia individu pada saat kondisi tersebut terjadi adalah pada masa remaja.

Tabel 3

Perbaudingan dinamika fase konflik antara tunarungu bawaan dan perolehan

Dinamika

Tunarungu bawaan

Tunarunen Perolehan

Muucul konflik

Konflik eksternal, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Iiiiakiiiisan

Konflik internal, mencari kejelasan terhadap kondisi TunariMigu yang dialami

Respon terhadap konflik

  • 1.    Cemas dan perilaku pertahanan diri

  • 2.    Penarikan diri

  • 3.    Stratesi coping (fight)

Merasa bersalah (feeling guilty)

Respoii terhadap pengobatan

Menolak miplantasi organ koklea

Dinamika fase menerima dalam proses penerimaan diri remaja tunarungu

Fase akhir atau fase menerima adalah fase individu yang mulai berdamai dengan kondisi difabel yang dimiliki dan mulai mengalami pertumbuhan pribadi. fase menerima ditandai dengan menemukan potensi yang ada di dalam diri. Rizkiana (2009) menyebutkan bahwa karakteristik individu yang menerima diri adalah dapat memandang kekuatan dalam diri dan individu tidak berdiam diri dengan tidak memanfaatkan kemampuan yang dimiliki. Individu dengan kondisi tunarungu memanfaatkan kemampuan dengan mengembangkan potensi yang dimiliki tersebut dan mulai meraih prestasi-prestasi membanggakan. Kondisi tersebut juga didukung oleh teori yang diungkapkan oleh Jersild dalam Khotimah (2010) yang menyebutkan bahwa individu yang menerima diri ditandai dengan menyadari aset dalam dirinya.

Kondisi yang berbeda dialami oleh individu dengan kondisi tunarungu bawaan dalam fase ini, individu mencari lingkungan yang efektif untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tunarungu yang dimiliki. Individu dengan kondisi tunarungu bawaan yang sempat mengalami perilaku tidak menyenangkan di lingkungan, memilih untuk lebih aktif berinteraksi dengan teman sesama tunarungu. Livneh dan Antonak (2005), menyebutkan bahwa kondisi yang individu lakukan tersebut disebut sebagai engagement coping strategis. Individu sedang melakukan strategi psikologis untuk menurunkan efek dari peristiwa stres dalam hidupnya, salah satu cara yang individu lakukan adalah dengan mencari dukungan  sosial.   Strategi  tersebut berkaitan dengan

peningkatan kesejahteraan, penerimaan terhadap kondisi, dan kesuksesan adaptasi terhadap kondisi diri. Pada fase ini

individu dengan kondisi tunarungu akan sama-sama mengembangkan pemahaman diri, penerimaan diri, mulai merencanakan masa depan, hingga keberhasilan meraih impian yang telah direncanakan.

TBbel 4

Perbandingan dinamika fase menerima antara tunarungu bawaan dan perolehan

Diiiauhka

Tunarungu bawaan

Tunarungu Perolehan

Pencarian informasi

Mencari penjelasan terhadap kondisi tunarungu

Potensi berprestasi

Mencari dan mengembangkan potensi

Mencai i dan mengemb andean potensi

Filihan lingkungan

Tinggal di asrama sekolah

Kembali tinggal ke rumah namun masih tercatat aktif sebagai anggota panti asuhan

Femahaman diri

Mengenali kelebihan, kekurangan, kesulitan sebagai tunarungu, dan paham batasan kemampuan diri.

Mengenali kelebihan, kekurangan, kesulitan sebagai tunarungu.

Feneiimaan diri

Meneiinia kondisi tunarungu

Menerima kondisi tunarungu

Pembahan sikap

Peiubahan karakter buruk menjadi lebih baik

Orientasi masa depan

Merencanakan masa depan dan berhasil meraih salah satu impian

Merencanakan masa depan

Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa remaja tunarungu berprestasi tanpa dampingan fisik dari keluarga, yang tinggal di asrama sekolah atau panti asuhan, masih tetap mendapat pendampingan secara psikologis dari pihak keluarga. Hal tersebut ditunjukkan dengan keterlibatan keluarga dalam pengobatan, pendidikan, pencapaian prestasi, hingga pemenuhan kebutuhan individu dengan kondisi tunarungu selama berada di asrama dan panti asuhan. Berdasarkan hal tersebut, maka pendampingan secara psikologis dari pihak keluarga merupakan hal yang paling penting yang harus dimiliki agar individu dengan kondisi tunarungu mampu menerima segala kondisi di dalam dirinya dan bahkan mampu berprestasi.

Saran praktis yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini kepada individu dengan kondisi tunarungu adalah mempertahankan dan mengembangkan sikap-sikap positif dan menerima kondisi diri. Hal tersebut dapat individu lakukan dengan semakin aktif dan banyak bersosialisasi dengan orang lain yang memiliki penyesuaian diri yang baik, sehingga akan menumbuhkan rasa percaya diri, penerimaan diri, dan juga mengembangkan prestasi. Keluarga dengan anak tunarungu juga diharapkan untuk memperhatikan pendampingan secara psikologis agar anak tunarungu bisa

mengembangkan sikap menerima segala kondisi diri dan bahkan berprestasi.

Saran praktis untuk lembaga yang merawat anak tunarungu adalah diharapkan selain memberikan pendampingan secara fisik namun juga mengembangkan pendampingan secara psikologis kepada anak-anak tunarungu, karena hal tersebut akan menjadi sumber dukungan bagi anak tunarungu. Hal tersebut dalam dilakukan dengan pemahaman terhadap penggunaan bahasa isyarat dalam mendampingi kebutuhan anak-anak tunarungu.

Saran yang bisa diberikan untuk pemerintah adalah agar lebih mengedukasi masyarakat untuk lebih bersikap terbuka dengan keberadaan kaum-kaum tunarungu di lingkungan sekitar, dan aktif menyosialisasikan penggunaan bahasa isyarat kepada masyarakat umum sehingga kaum tunarungu dan masyarakat lainnya tidak lagi memiliki kesulitan yang besar untuk berkomunikasi.

Saran praktis bagi peneliti selanjutnya adalah diharapkan dapat mengkaji lebih dalam mengenai penyesuaian keluarga terhadap kondisi tunarungu yang dimiliki oleh anggota keluarganya. Kemampuan komunikasi dalam bahasa isyarat juga sangat diperlukan oleh peneliti sebelum dapat terjun melakukan penelitian dengan responden tunarungu. Penggunaan handycam dan penerjemah selama proses pengambilan data sangat disarankan untuk membantu selama pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Arista, S. D. (2009). Kebutuhan-kebutuhan psikologis remaja tunarungu. Semarang:    Skripsi-Universitas

Katolik Soegijapranata.

Aritama. (2010). Penerimaan diri adalah modal awal dari kesuksesan. Dipetik 27 Maret 2013, dari http://aritama.student.fkip.uns.ac.id/penerimaan-diri-adalah-modal-awal-dari-kesuksesan/

Badan Pusat Statistik. (2013). Banyaknya penderita cacat menurut kabupaten/kota dan jenis cacatnya di Bali tahun 2012. Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Cohen, R. J., & Swerdlik, M. E. (2010). Psychological testing and assessment: An introduction to test and measurement. New York: McGraw-Hill.

Cronbach, L. J. (1963). Educational psychology (2nd ed.). New York: Harcourt, Bruce, and World.

Dirhamno. (2011, April). Hambatan emosi dan sosial anak tuna rungu. Dipetik 26 Maret 2013, dari http://dirham-andipurnama.blogspot.com/2011/04/hambatan-emosi-dan-sosial-anak-tunaungu.html

Fathia, A. (2012, April 2). Perkembangan anak tuna rungu.

Dipetik     26     Maret     2013,     dari

http://azizahfathia.blogspot.com/2012/04/perkem bangan-anak-tunarungu.html

Gargiulo, R. M. (2012). Special education in contemporary society. USA: SAGE Publication Inc.

Gerkatin. (2008, July 24). Gerakan untuk kesejahteraan tunarungu indonesia. Dipetik Maret 25, 2013, dari http://tunarungu.net76.net/node/6

Hallahan, D. P., Kauffman, J.,  & Pullen, P. (2009).

Exceptional learners an introduction to special education. USA: Pearson.

Hurlock, E. B. (2006). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Iskandar, D. (2009). Metode penelitian kualitatif. Jakarta: Gaung Persada (GP Press).

Jawa Pos National Network. (2012). Penderita difabel capai 10 juta jiwa. Dipetik 22 Maret 2013, dari http://www.jpnn.com/read/2012/04/11/123841/P enderita-Difabel-Capai-10-Juta-Jiwa-

Khotimah, N. (2010). Penerimaan ibu yang memiliki anak tunarungu. Universitas Gunadarma.

Livneh, H., & Antonak, R. (2005). Psychosocial adaptation to chronic illness and disability: a primer for counselors. Journal of Counseling & Development, 83, 12-20.

Mahadarma. (2011, November 25). Cacat, difabel, dan disabilitas di mata masyarakat. Dipetik 21 Maret 2013,                                       dari

http://mahadarmaworld.wordpress.com/2011/11/ 25/cacat-difabel-dan-disabilitas-di-mata-masyarakat/

Moores, D. F. (2001). Educating the deaf: Psychology, principles, and practices. Boston: Houghton Mifflin Company.

Musyarrafah, D., & Djalal, N. (2011). Kesulitan belajar

disebabkan oleh gangguan pendengaran. Dipetik 25         Maret         2013,         dari

http://makkita.wordpress.com/tag/gangguan-pendengaran-pada-siswa/

Nguyen, L. T. (2008). Born into a hearing family: A guide for hearing parents with deaf children. California: California State University, Sacramento.

Nurcahyo, P. I. (2006). Penggunaan istilah ‘difable’ atau ‘difabel’. Dipetik 21 Maret 2013, dari http://priyadi.net/archives/2006/10/04/penggunaa n-istilah-difable-atau-difabel/

Papalia, D. E., Olds, S., & Feldman, R. (2009). Human development. New York: Mc Graw Hill.

Rizkiana, U. (2009). Penerimaan diri pada remaja penderita leukimia. Universitas Gunadharma.

Ryff, C. D. (1996). Psychological well being: Encylopedia of gerontology vol.2. Madinson: Academia Press Inc.

Safira, J. (2012). Pendekatan dan bentuk konseling keluarga. Dipetik     26     Maret     2013,     dari

http://newjoesafirablog.blogspot.com/2012/04/pe ndekatan-dan-bentuk-konseling.html

Sarwono, S. W. (2013). Psikologi remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Slavin, R. E. (2009). Educational psychology theory and practice. USA: Pearson Education.

Strauss, A., & Corbin, J. (2009). Dasar-dasar penelitian

kualitatif. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Sugiyono,  P.  D.  (2012).  Metode penelitian kuantitatif,

kualitatif dan r&d. Bandung: ALFABETA.

Sugiyono,  P.  D.  (2012).  Pengertian metode penelitian

kuantitatif dan kualitatif. Dalam P. D. Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d (pp. 8-9). Bandung: ALFABETA.

Taylor, S. E. (2009). Health psychology-seventh edition. New York: McGraw-Hill.

Valentina, N. (2010). Aksesibilitas difabel Jogjakarta. Dipetik 21         Maret         2013,         dari

http://noviavalentina.blogspot.com/2010/10/akse sibilitas-difabel-jogjakarta.html

Willig, C. (2008  ). Introducing qualitative research in

psychology. London: McGraw-Hill

Wongso, A. (2012, Desember 3). Hari difabel internasional.

Dipetik     25     Maret     2013,     dari

http://www.andriewongso.com/articles/details/59 05/Hari-Difabel-Internasional

Yin, R. (2009). Case study research: Design and methods. Beverly Hills, CA: Sage Publication.

Yuan, A. S. (2010). Body perceptions, weight control behavior, and changes in adolescents’ psychological well-being over time:   A

longitudinal examination of gender. Youth Adolescence, 39, 927–939.

150