HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASI PADA KARYAWAN DI PERUSAHAAN RITEL
on
Jurnal Psikologi Udayana
2015, Vol. 2, No. 1, 25-37
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
HUBUNGAN ANTARA IKLIM ORGANISASI DENGAN PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASI PADA KARYAWAN DI PERUSAHAAN RITEL Putu Aninditha Veera Lakshmi dan Nicholas Simarmata Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana anindithaveera@yahoo.com
Abstrak
Peningkatan kebutuhan rumah tangga yang ditambah dengan gaya hidup modern, menciptakan pola belanja yang modern pada masyarakat saat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perusahaan ritel berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui penjualan barang dan jasa yang dilakukan karyawannya. Oleh sebab itu, karyawan memegang peranan penting dan diharapkan untuk memunculkan perilaku lebih demi keefektifan perusahaan. Perusahaanmembutuhkan karyawan yang melakukan hal lebih dari sekedar tugas formal mereka danbekerja mendukung harapan perusahaan (Robbins, 2001). Dengan kata lain, karyawan melakukan perilaku kewargaan organisasi (PKO). Dalam bekerja, karyawan tidak lepas dari lingkungan kerjanya. PKO pada karyawan akan tinggi jika karyawan berada dalam iklim organisasi yang positif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim organisasi dengan perilaku kewargaan organisasi pada karyawan di perusahaan ritel.
Responden dalam penelitian ini merupakan 95 karyawan yang bekerja di 4 perusahaan ritel. Metode pengambilan sampelnya yaitu cluster random sampling. Metode pengumpulan datanya menggunakan skala Iklim Organisasi dan skala PKO. Penelitian ini menggunakan validitas isi dan reliabilitas Alpha Cronbach. Reliabilitas skala Iklim Organisasi sebesar 0,937 dan skala PKO sebesar 0,965. Distribusi data Iklim Organisasi dan PKO adalah normal (z=0,327; z=0,058; p>0,05). Hubungan antara variabel Iklim Organisasi dengan PKO juga menunjukan hubungan yang linier (F=0,000; p<0,01). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis regresi sederhana. Hasil dari penelitian ini menunjukan koefisien regresi sebesar 0,720 dan koefisien korelasi sebesar 0,568 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01). Hal ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara iklim organisasi dengan perilaku kewargaan organisasi pada karyawan di perusahaan ritel. Sumbangan dari variabel iklim organisasi kepada perilaku kewargaan organisasi adalah sebesar 32,2%.
Kata Kunci: iklim organisasi, perilaku kewargaan organisasi, karyawan, perusahaan ritel
Abstract
The improvement of house needs which is added by modern life style, it creates the modern shop pattern in society when fulfilling their needs. Retail Company tries to fulfill society needs by selling products and service that is done by its employees. Therefore, the employees have an important role and they are hoped to emerge extra behavior for the company effectiveness. The company needs employees who do an extra behavior more than their formal job description and they perform to support with company’s hope (Robbins, 2001). In another words, employee does Organizational Citizenship Behavior (OCB). When employees work, they will always connect with their work environment. OCB on employees will be high if they present in a positive organization climate. This research aims to know the relationship between organization climate and organization citizenship behavior in Retail Company employee.
Respondents of this research are 95 employees working in 4 Retail Companies. The sampling method is cluster random sampling. The data collecting method is organization climate scale and organization citizenship behavior scale. This research uses content validity and Alpha Cronbach reliability. The reliability of organization climate scale is 0,937 and organization citizenship behavior scale is 0,965. The data distribution of organization climate and organization citizenship behavior is normal (z=0,327; z=0,058; p>0,05). The relationship between organization climate and organization citizenship behavior variable is linear (F=0,000; p<0,01). This research is a quantitative research which its data analysis is simple regression. The result of this research shows that the coefficient regression is 0.720 and the coefficient correlation is 0.568 with its significance 0,000 (p<0.01). This result proves that there is a positive relationship between organization climate and organization citizenship behavior in retail company employee. The contribution of organization climate variable toward organization citizenship behavior variable is 32.2%.
Keywords: organization climate, organizational citizenship behavior, employee, retail company
LATAR BELAKANG
Manusia memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi setiap harinya. Kebutuhan manusia terbagi menjadi dua yaitu kebutuhan fisik, seperti makanan, minuman, nutrisi, pakaian dan kebutuhan non fisik termasuk didalamnya kebutuhan psikologis dan sosial seperti pendidikan, pelayanan, dan hiburan. Pemenuhan kebutuhan ini merupakan alasan dasar manusia untuk bertahan hidup dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Kebutuhan manusia akan selalu mengikuti perkembangan peradaban, dimana peradaban yang semakin modern membuat kebutuhan sehari-hari semakin bertambah dan beragam jenisnya.
Indonesia merupakan negara peringkat kelima di dunia yang memiliki penduduk mayoritas berumah tangga dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah (Ma’ruf, 2006), maka dari itu kebutuhan yang menjadi prioritas utama masyarakat Indonesia adalah kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran rumah tangga masyarakat kota di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mencapai Rp 3,7 juta per rumah tangga per bulannya atau meningkat 33 persen dari tahun 2009 (Meryana, 2011). Peningkatan kebutuhan rumah tangga ini disebabkan oleh keadaan perekonomian yang membaik dan meningkatnya pertumbuhan kelas menengah, sehingga hal ini berdampak pada perubahan pola belanja masyarakat (Kur, 2012). Ditambah lagi dengan adanya pergeseran gaya hidup yang terjadi dari tradisional menjadi modern, sehingga menciptakan masyarakat yang memiliki pola belanja yang modern saat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Gaya hidup masyarakat yang modern diikuti oleh maraknya usaha modern yang berkembang di era ini. Perusahaan yang memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari adalah perusahaan ritel atau eceran. Ritel merupakan upaya untuk memecah barang atau produk dari kuantitas besar seperti dozen atau pack menjadi kuantitas satuan atau eceran yang dihasilkan dan didistribusikan oleh manufaktur atau perusahaan dalam jumlah besar dan massal untuk dapat dikonsumsi oleh konsumen sesuai dengan kebutuhannya (Utami, 2010). Bisnis ritel dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas bisnis yang terlibat dalam penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk kepentingan individual, keluarga, atau rumah tangga (Berman & Evans, 2001). Pelayanan jasa yang dilibatkan dalam bisnis ritel yaitu seperti layanan jasa antar dan layanan jasa lainnya yang mampu memberikan nilai tambah pada barang yang dijual. Dewasa ini bisnis ritel semakin berkembang pesat yang ditandai dengan bisnis ritel tradisional yang mulai membenahi diri menjadi ritel modern maupun bisnis ritel modern sendiri yang baru muncul (Utami, 2010). Perubahan kondisi pasar yang ditandai dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin modern membuat ritel mengubah pengelolaannya
dari tradisional menjadi modern. Pengelolaan ritel modern membutuhkan infrastuktur yang memadai terutama dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Tersedianya sistem informasi dan komunikasi yang canggih memudahkan bisnis ritel menyediakan produk yang segar, mengatur persediaan atau pasokan, pemrosesan dan pelayanan yang cepat dan teliti, serta dapat memuaskan pelanggan (Utami, 2010).
Kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan dalam ritel modern telah memikat banyak konsumen dan membuat usaha ini semakin banyak berkembang. Berdasarkan laporan perekonomian Indonesia pada tahun 2011 memaparkan bahwa ritel modern mengalami pertumbuhan dari tahun 2000 sebanyak 41% menjadi 59% pada tahun 2010, sedangkan pasar tradisional mengalami pemerosotan dari tahun 200 sebanyak 65% menjadi 35% pada tahun 2010. Pertumbuhan yang sangat pesat tersebut juga diikuti dengan naiknya omzet pada ritel modern. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat omzet yang dimiliki oleh ritel modern pada tahun 2006 sebesar 50,8 triliun dan tahun 2008 sebesar 58,5 triliun. Angka ini terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2010 ritel modern mengalami kenaikan omzet sebesar 10%, serta tahun 2012 meningkat sebesar 13 sampai 15% (Jati, 2012). Pusat studi ekonomi kerakyatan Universitas Gajah Mada (dalam Jati, 2012) memaparkan bahwa omzet pasar tradisional mengalami penurunan sebesar 50% semenjak adanya regulasi ritel yang diberlakukan mulai dari tahun 2000.
Penurunan-penurunan yang dirasakan oleh pasar tradisional tidak lain karena beralihnya konsumen ke ritel modern. Kondisi pasar tradisional yang minim fasilitas, kotor, becek, dan berbau tidak sedap sangat bertolak belakang dengan keadaan ritel modern yang bersih, ber-AC, produk terbungkus dan tertata rapi. Selain itu, penjual pada pasar tradisional yang kurang ramah juga kerap kali membuat konsumen tidak nyaman (Aryani, 2011). Selama ini pasar tradisional berkembang karena loyalitas dari konsumennya yang mayoritas ibu rumah tangga sebanyak 43% dan warung atau toko kecil sebanyak 40%, namun dengan kondisi yang semakin buruk, dewasa ini hampir sebanyak 67,2% konsumen pasar tradisional kini beralih ke ritel modern yang dianggap lebih representatif dalam berbelanja (Jati, 2012).
Pertumbuhan ritel modern semakin pesat berkembang terutama di lingkungan perkotaan. Lingkungan perkotaan memiliki tingkat aksesibilitas tinggi sehingga konsumen dapat dengan mudah membeli produk yang diinginkannya (Setyawarman, 2009). Penentuan lokasi ini juga mempertimbangkan jumlah penduduk yang secara langsung dapat mendukung fungsi penjualan produk, dengan kata lain perusahaan ritel mempermudah konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa kapan dan dimana pun mereka berada.
Perusahaan ritel perlu mengatur strategi agar segala kebutuhan konsumen tersalurkan dengan baik, maka dari itu demi kelancaran penjualan produkperusahaan-perusahaan
bergerak dalam sebuah jalur distribusi atau Supply Chain yaitu jaringan perusahaan-perusahaan secara bersama-sama menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke konsumen (Stern, dkk, 2001). Perusahaan-perusahaan yang termasuk didalam jalur distribusi ini ialah produsen atau pabrik, distributor, perusahaan pendukung seperti jasa logistik, ritel atau toko. Dalam jalur distribusi tersebut perusahaan ritel adalah kegiatan terakhir yang menghubungkan produsen dengan konsumen dengan menjual barang dan jasa secara langsung kepada konsumen. Perusahaan ritel perlu mengatur aliran dan penyimpanan produk dengan menggunakan sebuah sistem logistik yang bertujuan untuk memastikan produk yang tepat berada di tempat yang tepat, dalam kondisi yang tepat, dan harga yang tepat untuk kepuasan pelanggan. Selain dari pada itu, pelayanan jasa juga ditawarkan untuk memenuhi kepuasan konsumen saat berbelanja. Pelayanan jasa harus diwujudkan karena sangat penting dalam memberikan kepuasan pada konsumen, oleh karenanya pelayanan yang berkualitas akan memberikan kenyamanan pada konsumen saat berbelanja barang kebutuhannya.
Kesuksesan dan kelancaran dari penjualan barang dan jasa yang ditawarkan pada perusahaan ritel membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang sangat baik dari para karyawannya. Karyawan dalam perusahaan ritel memegang peranan penting dan bertanggung jawab dalam kelancaran logistik sehingga produk dapat tersalurkan dengan baik ke tangan konsumen. Karyawan juga merupakan aset penting perusahaan sebab karyawan merupakan cerminan perusahaan yang berkualitas yang tampak dalam pelayanan yang diberikan kepada konsumen, namun dengan peranan dan tanggung jawab yang dimilikinya, masih kerap terjadi permasalahan pada karyawan yang menyebabkan mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik.Hal ini dapat dilihat pada sekitar 300 orang karyawan salah satu perusahaan ritel terbesar di Indonesia berdemo sambil melakukan mogok kerja didepan perusahaan tempat mereka bekerja (Winarno, 2011). Dalam orasinya, karyawan beranggapan bahwa mogok kerja adalah hak karyawan dan perusahaan tidak berhak memberi sanksi pada karyawan yang melakukan aksi mogok kerja (Winarno, 2011). Hal ini tentu menjadi permasalahan, sebab perusahaan ritel membutuhkan karyawannya untuk menyediakan jasa pelayanan kepada konsumen (Utami, 2010). Kasus lainnya yaitu sekitar 200 orang karyawan ritel yang tergabung dalam forum buruh DKI Jakarta melakukan aksi demo di Balaikota DKI Jakarta. Akibat dari aksi demo ini adalah terjadinya kemacetan yang sangat panjang, sebab sebagian ruas jalan dipenuhi oleh karyawan ritel (Merdeka.com, 2012).
Karyawan yang kerap kali melakukan aksi mogok kerja secara langsung akan menggangu kelancaran proses pelayanan dan berdampak buruk bagi efektifitas perusahaan. Selain itu, kenyamanan konsumen yang berbelanja dalam perusahaan juga akan terganggu. Karyawan yang tidak
melakukan pekerjaannya dengan baik dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Perusahaan ritel tidak hanya menyediakan barang untuk dibeli oleh konsumen, namun juga jasa yang dapat menambah nilai barang tersebut. Karyawan yang tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, akan mempengaruhi kelancaran penyediaan barang dan proses pelayanan yang disediakan. Perusahaan ritel sangat tertinggal dalam hal layanan dibandingkan industri lainnya seperti bank, restoran, pub, dan hotel. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Market Force, sebuah perusahaan customer intelligent (Whiteaker, 2012), sebanyak 41% konsumen menyatakan kekecewaanya terhadap layanan karyawan pada perusahaan ritel karena kurangnya minat untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Tim Ogle, CEO Market Force Eropa (dalam Whiteaker, 2012) memaparkan contoh pelayanan yang diinginkan oleh konsumen hanya dengan diantar langsung ke tempat produk yang diinginkan saat mereka bertanya keberadaan produk tersebut.
Perusahaan harus memaksimalkan keterampilan terbaik yang dimiliki oleh setiap karyawannya agar bisa bersaing menjadi yang terbaik, sebab menurut Robbins (2001) perusahaan membutuhkan karyawan yang melakukan hal lebih dari sekedar tugas formal yang ia miliki dan memberikan kinerja yang memenuhi harapan perusahaan. Katz dan Kahn (1966) menyebutkan terdapat tiga perilaku dasar yang menghasilkan perusahaan yang efektif. Pertama, karyawan harus terlibat dan mendukung sistem perusahaan, yang kedua karyawan harus menunjukkan peran kinerja yang dapat diandalkan, mencapai standar kerja yang telah ditetapkan, ketiga karyawan harus menunjukkan inovasi dan perilaku spontan yaitu performa kerja melebihi standar untuk meningkatkan fungsi perusahaan. Hal yang terahir tersebut mengindikasikan karyawan harus menunjukkan perilaku yang kooperatif dengan karyawan lain, perilaku yang menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam tempat kerja, serta meningkatkan sistem perusahaan. Dengan kata lain karyawan tersebut menampilkan organizational citizenship behavior atau perilaku kewargaan organisasi (PKO).
PKO adalah perilaku dalam bekerja yang tidak terdapat pada deskripsi kerja formal karyawan tetapi sangat dihargai jika ditampilkan karena meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup perusahaan (Katz, 1964). Kata kewargaan dalam PKO memiliki arti bertanggung jawab dan rasa peduli terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan sukarela dan tanpa diawasi. PKO merupakan perilaku pilihan yang bukan merupakan persyaratan kerja formal karyawan tetapi mendukung efektifitas perusahaan (Robbins, 2001). Beberapa perilaku yang mencirikan PKO antara lain yaitu menggantikan rekan kerja yang tidak hadir atau yang sedang beristirahat, membantu rekan kerja berpikir tentang masalah yang sedang mereka dihadapi dan mencoba menengahi rekan kerja dalam situasi konflik (Nimran, 2011). Robbins dan Judge (2008) juga
mengemukakan fakta dimana perusahaan yang memiliki karyawan dengan PKO yang baik akan memiliki kinerja yang lebih baik dari perusahaan lain.
Karyawan membutuhkan suatu keadaan nyaman dalam lingkungan perusahaan ia bekerja untuk dapat menunjukan PKO.Karyawan membutuhkan dukungan dari lingkungan tempatnya bekerja, sehingga karyawan mendapatkan kenyamanan dalam bekerja. Iklim dalam perusahaan akan menentukan bagaimana cara karyawan melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prosedur atau tidak (Brahmana & Sofyandi, 2007). Litwin dan Stringer (dalam Stringer, 2002) mengemukakan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat digambarkan sebagai karakteristik organisasi. Iklim Organisasi yang positif dapat memunculkan kenyamanan kerja, sehingga akan mempengaruhi peforma kerja yang akan dimunculkan karyawan dalam perusahaan ritel (Nimran, 2011).
Karyawan yang nyaman bekerja dalam perusahaannya akan lebih rela untuk melakukan pekerjaan melebihi dari deksripsi pekerjaan formalnya, serta akan selalu mendukung tujuan perusahaan. Dengan kata lain, iklim organisasi yang dipersepsikan secara positif akan membuat karyawan akan sukarela melaksanakan pekerjaannya dalam organisasi melebihi apa yang diharapkan dan dilaksanakan (Agyemang, 2013). Maka dari itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini dalam rangka ingin mengetahui hubungan antara iklim organisasi dengan PKO pada karyawan di perusahaan ritel.
METODE
Variabel dan definisi operasional
Variabel diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam suatu penelitian atau gejala yang diteliti (Suryabrata, 2000). Penelitian ini menggunakan dua buah variabel, yaitu Iklim Organisasi sebagai variabel bebas dan PKO sebagai variabel tergantung.
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan, dimana hal yang dapat didefinisikan tersebut harus dapat diamati (Suryabrata, 2000). Definisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini, yaitu:
-
1. Iklim Organisasi
Iklim organisasi adalah persepsi karyawan terhadap kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung yang mempengaruhi sikap, perilaku dan motivasi anggota organisasi.
Dimensi-dimensi iklim organisasi terdiri dari struktur, standar, tanggung jawab, penghargaan, dukungan, dan
komitmen, serta akan diukur dengan menggunakan skala iklim organisasi yang dibuat sendiri oleh peneliti.
-
2. Perilaku Kewargaan Organisasi (PKO)
PKO adalah perilaku karyawan yang inovatif dan spontan untuk memberikan kontribusi pada organisasi melebihi persyaratan kerja formal yang bersifat sukarela dan melibatkan usaha ekstra yang tidak mendapat imbalan dari organisasi yang mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.
Dimensi-dimensi PKO terdiri dari altruism, courtesy, civic virtue, contentiousness, dan sportsmanship, serta akan diukur dengan mengunakan skala PKO.
Karakteristik responden
Populasi merupakan sekumpulan subjek yang akan dikenakan generalisasi dari penelitian yang terdiri dari individu yang setidaknya memiliki suatu ciri atau karakteristik yang sama (Azwar, 2007). Populasi yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah semua karyawan yang bekerja di perusahaan ritel. Sementara populasi terakses dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan ritel di Bali. Karakteristik populasi dalam penelitian ini, yaitu karyawan memiliki pendidikan minimal SMA atau SMK sederajat, memiliki masa kerja minimal 1 tahun, berjenis kelamin perempuan atau laki-laki, dan memiliki rentang usia 17–55 tahun.
Sampel penelitian diambil dengan metode pengambilan sampel secara acak dengan menggunakan cluster random sampling. Cluster random sampling digunakan apabila populasi berkluster atau berarea (Purwanto, 2010). Populasi penelitian ini terletak di Provinsi Bali yang terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kotamadya yaitu Denpasar. Kemudian peneliti melakukan pengundian secara acak terhadap semua kabupaten dan kotamadya tersebut sampai terpilih 1 kabupaten/kotamadya.
Jumlah populasi dalam penelitian ini tidak diketahui. Peneliti mengacu pada pendapat Azwar(2012) yang menjelaskan bahwa jumlah minimal sampel penelitian kuantitatif adalah 60. Field (2009) menyebutkan bahwa dalam penelitian yang menggunakan metode analisis regresi jumlah sampel yang harus dimiliki adalah 10 atau 15 sampel per variabel. Jadi, jika dalam penelitian ini terdapat 2 variabel maka sampel yang diperlukan adalah 20 sampel (10 x 2 variabel) atau 30 sampel (15 x 2 variabel). Roscoe (dalam Sugiyono, 2012) juga memaparkan mengenai ukuran sampel yang dikatakan layak untuk sebuah penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500. Maka peneliti menetapkan jumlah minimal sampel dalam penelitian ini adalah 60 sampel.
Tempat Penelitian
Proses pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara melakukan pengundian secara acak terhadap 8 kabupaten dan 1 kotamadya yang ada di provinsi Bali. Dari pengundian tersebut kota Denpasar terpilih sebagai daerah sampel penelitian ini. Jumlah perusahaan ritel yang terdapat di Denpasar adalah sebanyak 16 perusahaan, namun perusahaan yang bersedia dan memberikan ijin penelitian adalah sebanyak 4 perusahaan ritel. Maka, penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 di 4 perusahaan ritel yang ada di Denpasar.
Alat Ukur
Alat ukur dalam penelitian ini adalah skala penelitian, yaitu dengan model skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai fenomena sosial (Sugiyono, 2012). Skala yang digunakan adalah (1) skala Iklim Organisasi dan (2) skala PKO. Masing-masing skala terdiri dari pernyataan-pernyataan yang nantinya akan direspon oleh responden.Item-item dalam skala merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat tidak sesuai, tidak sesuai, sesuai, sangat sesuai. Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable. Skor yang diberikan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk favorable yaitu: Sangat Tidak Setuju (STS) = 1, Tidak Setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, Sangat Setuju (SS) = 4, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: Sangat Tidak Setuju (STS) = 4, Tidak Setuju (TS) = 3, Setuju (S) = 2, Sangat Sangat (SS) = 1.
Validitas skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi yang terdiri dari validitas muka dan validitas logis. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgment. Validitas muka merupakan validitas yang didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan skala, sedangkan validitas logis melihat sejauh mana isi skala merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur (Azwar, 2010). Validitas isi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis dan seleksi item berdasarkan evaluasi kualitatif. Evaluasi ini bertujuan untuk menguji item yang ditulis sesuai dengan apa yang hendak diungkapkannya dan menguji item agar sesuai dengan kaidah penulisan (Azwar, 2012). Validitas isi dalam penelitian ini dianalisis melalui professional judgment.
Uji kesahihan butir item dalam penelitian ini dinyatakan oleh koefisien korelasi item total dan korelasi item antar aspek dengan batasan minimum > 0,30. Validitas pada penelitian ini akan di ukur dengan bantuan SPSS versi 20.0 for windows.
Sementara itu, reliabilitas dalam penelitian ini diuji secara internal yaitu menggunakan konsistensi internal dengan pendekatan Single Trial Administration. Pengujian dengan
konsistensi internal dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencobakan skala hanya sekali saja kepada kelompok responden, kemudian hasilnya akan dianalisis dengan menggunakan Alpha Cronbach dengan bantuan program komputer Statistical for Social Science (SPSS) versi 20.0 for windows. Metode Alpha Cronbach ini digunakan untuk menghitung reliabilitas skala yang mengukur sikap atau perilaku (Siregar, 2013). Kriteria suatu skala dikatakan reliabel dengan menggunakan teknik ini, apabila koefisien reliabilitas menunjukan angka lebih dari 0,6 (Siregar, 2013).
Uji coba skala hanya dilakukan pada skala Iklim Organisasi, sebab pada skala PKO, peneliti menggunakan sepenuhnya skala PKO dari Simarmata (2008) yang telah diketahui reliabilitasnya yaitu sebesar 0,965, sehingga dalam penelitian ini tidak lagi dilakukan uji coba skala. Uji coba skala Iklim Organisasi dilaksanakan dengan menyebar 30 skala kepada 30 subjek yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan ritel di Denpasar pada bulan Februari 2014. Jumlah item yang valid adalah sebanyak 44 item dari 58 item yang di uji cobakan. Rentang koefisien korelasi item totalnya bergerak dari 0,300-0,743 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,937.
Metode pengumpulan data
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran terhadap dua variabel penelitian, yaitu Iklim Organisasi dan PKO. Kedua variabel tersebut diukur dengan menggunakan skala penelitian (skala Iklim Organisasi dan skala PKO). Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar skala penelitian kepada karyawan yang bekerja di perusahaan ritel yang terpilih sebagai sampel penelitian ini melalui cluster random sampling.
Analisa data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik dan untuk menganalisis data penelitian yang telah diperoleh menggunakan analisis regresi sederhana dengan program analisis statistik komputer yaitu Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 20.0 for windows. Regresi sederhana didasarkan pada hubungan kausal satu variabel bebas dan satu variabel tergantung (Sugiyono, 2012). Dengan kata lain regresi sederhana digunakan untuk meramalkan atau memprediksi besaran nilai variabel tergantung yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Siregar, 2013).
Peneliti juga melakukan intepretasi skor data penelitian. Data penelitian akan dikategorisasikan berdasarkan skor total skala masing-masing subjek. Penentuan kategori skor skala dilakukan dengan menggunakan nilai mean teoritis dan standar deviasi. Kategori skala Iklim Organisasi dan PKO akan dibagi menjadi 5 kategori jenjang yang berbeda, dengan
batasan skor pada masing-masing kategori dapat ditentukan dengan rumus penghitungan sebagai berikut:
Tflbd 1
Rumus Kategorisasi Skor
Skor |
Kategorisasi |
X<(μ-l,5σ) |
Sangat Rendah |
(μ l,5α)<X<(μ 0,5σ) |
Rendah |
( ιι-0,5 σ}<X<(μ + 0,5 o) |
Sedang |
(μ + 0,5σ)<X<(μ + 1,5 σ ) |
Tinggi |
( ιι+ 1.5σ)<X |
Sangat Tinggi |
Selain itu, penelitian ini juga melakukan analisis tambahan pada data pendukung yang didapat untuk memperkaya hasil penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, posisi, lama bekerja, dan status kepegawaian. Analisis tambahan dilakukan dengan menggunakan uji komparasi untuk data yang parametrik (jika data telah lulus uji normalitas dan homogenitas) dan non parametrik (jika data tidak lulus uji normalitas dan homogenitas). Uji beda yang digunakan untuk data parametrik yaitu, uji beda t-Tes adalah uji beda yang digunakan untuk menentukan apakah ada perbedaan nilai rata-rata antara dua sampel yang independent (Ghozali, 2013), dan uji One Way Anova dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara rata-rata tiga kelompok atau lebih (Santoso, 2005). Sedangkan, uji beda yang dilakukan untuk data non parametrik yaitu, uji Mann Whitney yang digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan nilai rata-rata antara dua sampel yang independent, uji Kruskal Wallis digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara rata-rata tiga kelompok atau lebih (Siregar, 2013).
HASIL PENELITIAN
Sebelum melakukan uji hipotesis, adapun syarat yang harus dipenuhi sebelum menggunakan metode regresi sederhana yaitu dengan melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Uji asumsi memiliki tujuan untuk memeriksa apakah data yang terkumpul memenuhi syarat untuk melakukan pengkorelasian atau tidak. Uji normalitas sebaran data pada penelitian ini menggunakan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S) yang secara komputasi diolah melalui fasilitas yang ada pada program SPSS versi 20 for windows. Berdasar hasil pengujian diperoleh bahwa sebaran data pada variabel Iklim Organisasi dan PKO bersifat normal (z=0,0327; z=0,058; p<0,01). Sedangkan pada uji linieritas didapat hasil bahwa hubungan antara skor variabel Iklim Organisasi dan variabel PKO telah menunjukkan adanya garis yang linier (F= 0,000; p<0,01).
Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan pada 95 responden, didapat hasil bahwa sebagian besar responden berusia 21–30 (47,4%), berjenis kelamin perempuan (71,6%), memiliki pendidikan SMA/SMK (92,6%), memiliki posisi/jabatan sebagai SPG (51,6%), memiliki masa kerja 1 –5
tahun (52,6%), memiliki status kepegawaian sebagai pegawai tetap (78,9%).
Selanjutnya, untuk melihat hubungan Iklim Organisasi dan PKO, peneliti melakukan analisis regresi sederhana dengan bantuan SPSS 20.00.Berikut ini adalah hasil dari analisis regresi sederhana yang terdiri dari uji signifikansi garis regresi, uji signifikansi parameter individual, dan besarnya sumbangan efektif variabel Iklim Organisasi terhadap variabel PKO:
Pada penelitian ini peneliti melakukan tiga kategorisasi skor skala penelitian, yaitu kategorisasi dari skala efikasi diri, skala dukungan sosial dosen pembimbing skripsi dan kategorisasi prokrastinasi akademik yang dikategorisasikan dalam lima golongan. Tujuan dari penggolongan ini adalah untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2012). Kategorisasi skala efikasi diri, dukungan sosial dosen pembimbing skripsi dan kategorisasi skala prokrastinasi akademik dapat dilihat pada tabel 4, tabel 5 dan tabel 6.
TabeI 2
Hasil Uji Siguifikansi Garis Regresi
Model |
Sum of Squares |
Df |
Mean Square |
F |
Sig- | |
Regression |
5846.278 |
1 |
5846.278 |
44.224 |
.000° | |
1 |
Residual |
12294.3 53 |
93 |
132.197 | ||
Total |
18140.632 |
94 |
a Dependent Variabel: PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASI b Predictors: (Constant), IKLIM ORGANISASI
Uji Signifikansi Garis Regresi dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel tergantung (Santoso, 2005) dan untuk menunjukan apakah variabel bebas yang dimasukan ke dalam model regresi memiliki hubungan dengan variabel tergantung (Ghozali, 2013). Pada tabel 2 Hasil Uji Signifikansi Garis Regresi diatas dapat dilihat bahwa F Hitung sebesar 44,224 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Oleh karena signifikansi lebih kecil dari 0,01 (p<0,01), maka dapat
diartikan bahwa model regresi dapat dipercaya untuk meramalkan kontribusi variabel bebas yaitu Iklim Organisasi dalam memprediksi variabel tergantung yaitu PKO.
Tabel 3
Uji Signifikausi Parameter Kemandiriau
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficiets |
t Sig. |
95.0% Confodence Interval for B | |||
B |
Std. |
Beta |
Bound |
Bound | |||
(Constant) |
43.755 |
15.247 |
2.870 |
.005 |
13.478 |
74.032 | |
IKLIM ORGANISASI |
.720 |
.108 |
.568 |
6.650 |
.000 |
.505 |
.935 |
a. Dependent Variable: PERILAKU KEWAJtGAAN ORGANISASI
Uji signifikansi Parameter Kemandirian menunjukan seberapa jauh pengaruh variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel tergantung (Ghozali, 2013). Pada kolom B (Unstandardardized Coefficients) menunjukan angka koefisien regresi sebesar positif (+) 0,720. Tanda positif memiliki arti bahwa hubungan antar variabel searah. Semakin
tinggi Iklim Organisasi maka akan semakin tinggi pula PKO, begitu pun sebaliknya semakin rendah Iklim Organisasi makan akan semakin rendah PKO.
Nilai signifikansi yang terdapat pada tabel 3 Uji Signifikansi Parameter Kemandirian yaitu p<0,01 (t=6,650; p=0,000), hal ini memiliki arti bahwa variabel Iklim Organisasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap variabel PKO, dimana gejala Iklim Organisasi yang berhubungan dengan gejala PKO dapat diduga merupakan gejala sebab akibat. Hubungan ini diyakini sebagai hubungan sebab akibat dan bukan merupakan gejala yang random dan dapat diramalkan bahwa setiap adanya peningkatan 1 nilai dari variabel Iklim Organisasi, maka akan terjadi peningkatan pada variabel PKO sebesar 0,720. Hal ini dapat diketahui dari fungsi persamaan garis regresi Y = a + bX untuk variabel Iklim Organisasi dan PKO yaitu Y = 43,755 + (0,720)X. Keterangan:
Y : nilai subjek dalam variabel tergantung yang diprediksikan a : harga konstanta atau nilai Y (variabel tergantung) bila X (variabel bebas) adalah 0.
b : angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukan angka peningkatan ataupun penurunan variabel tergantung yang didasarkan pada variabel bebas
X : nilai subjek pada variabel bebas
Besarnya sumbangan variabel bebas (Iklim Organisasi) terhadap variabel tergantung (PKO) dapat dilihat pada tabel sumbangan efektif berikut:
Tabel 4
Hasil Sumbangau Efektif Vaiiabel Iklim Orgauisasi Terhadap Variabel PKO
Model |
R |
Sumbangan efektif |
Adjusted Sumbangan efektif |
Std. Error of the Estimate |
Change Statistics | |||
Sumbangan efektif Change |
F Change |
dfl dG |
Sig.F Change | |||||
1 |
568a |
.322 |
.315 |
11.498 |
.322 |
44.244 |
1 93 |
.000 |
a. Predictors: (Constant), IKLIM ORGANISASI
b. Dependent Vanabel: PERILAKU KEWARGAAN ORGANISASI
Pada kolom sumbangan efektif menunjukkan angka sebesar 0,322. Angka pada kolom Sumbangan efektifmerupakan angka yang diperoleh dari pengkuadratan nilai R (0,568). Sumbangan efektifdapat diartikan sebagai seberapa besar varian variabel bebas dapat menjelaskan varian variabel tergantung (Santoso, 2005). Dalam penelitian ini, maka sumbangan variabel Iklim Organisasi terhadap variabel PKO adalah sebesar 32,2%. Sedangkan sumbangan selain dari variabel Iklim Organisasi terhadap PKO adalah sebesar 67,8%, yang diperoleh dari faktor-faktor lainnya yang tidak dikaji dalam penelitian ini.
Pengkategorisasian responden pada skala Iklim Organisasi dan PKO diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 5
Tabel Kategorisasi Responcleu pada Skala Iklim Organisasi
Variabel |
Rentana Nilai |
Kategori |
Subyek |
Persentase |
11:1ml |
X≤77 |
Saneat Rendah |
O orang |
0% |
Organisasi |
77< X < 99 |
Rendah |
O orang |
0% |
99<X< 121 |
Sedang |
3 orang |
3.2 % | |
121<X< 143 |
Tinggi |
54 orang |
56.8 % | |
143<X |
Sangat Tingsi |
38 orang |
40.0 % | |
Jumlah |
95 orans |
100% |
Berdasarkan analisis kategorisasi pada skala Iklim Organisasi pada tabel 5 menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori tinggi 56,8% (54 orang). Hal ini berarti sebagian besar responden memiliki tingkat Iklim Organisasi yang tinggi, artinya bahwa Iklim Organisasi yang terjadi di perusahaan ritel tempat responden bekerja adalah positif.
Tabel 6
Tabel Kategorisasi Subyek pada Skala PKO
Variabel |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subyek |
Persentase |
PKO |
X ≤ 80.5 |
Sansat Rendah |
0 orang |
0% |
80.5<X< 103.5 |
Rendah |
1 orang |
1.1 % | |
103,5<X< 126.5 |
Sedans |
2 orang |
2,1 % | |
126.5<X≤ 149.5 |
Tinssi |
57 orang |
60.0 % | |
149,5< X |
Sangat Tinssi |
35 orang |
36.8 % | |
Jumlah |
95 orang |
100% |
Berdasarkan analisis kategorisasi pada skala PKO pada tabel 6 menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori tinggi 60,0% (57 orang). Hal ini berarti sebagian besar responden memiliki tingkat PKO yang tinggi.
Selanjutnya penelitian ini juga melakukan uji beda terhadap data demografi yang didapat dari proses pengumpulan data. Dari hasil analisis One Way Anova didapat hasil bahwa terdapat perbedaan Iklim Organisasi berdasar status kepegawaian (F=3,106; p=0,049), sedangkan uji beda dengan teknik Kruskal-Wallis mendapat hasil bahwa tidak ada perbedaan PKO berdasarkan status kepegawaian (df=2; p=0,422). Berikutnya, tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar usia, hal ini ditunjukan dari uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik One Way Anova (F=0,755; p=0,522), serta tidak ada perbedaan PKO berdasar usia yang dibuktikan dengan uji komparasi One Way Anova (F=1,042; p=0,378). Setelah itu, berdasarkan uji komparasi One Way Anova menunjukan tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasarkan lama bekerja (F=0,166; p=0,919). Begitu juga PKO dengan lama bekerja, tidak ada perbedaan (F=0,638; p=0,592).
Berikutnya, melalui uji komparasi dengan teknik Independent Sample t-Tes, didapat hasil bahwa tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar jenis kelamin (t=0,243; p=0,808), serta tidak ada perbedaan PKO berdasar jenis kelamin (t=-0,714; p=0,477). Selanjutnya, tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar pendidikan berdasar hasil uji komparasi dengan teknik Independent Sample t-Tes (t=0,559; p=0,577). Lalu, hasil uji komparasi dengan menggunakan teknik Mann Whitney menunjukan tidak ada perbedaan antara pendidikan dengan PKO (Z=-1,797; p=0,072). Yang terakhir adalah tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar jabatan/posisi berdasr uji komparasi teknik Kruskal Wallis (df=7; p=0,050), serta tidak ada perbedaan antara jabatan/posisi dengan PKO berdasr teknik One Way Anova (F=1,272; p=0,274).
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan metode regresi sederhana, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Iklim Organisasi dan PKO pada karyawan di perusahaan ritel. Hal ini dapat dibuktikan dari uji signifikansi garis regresi menunjukan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01), artinya model regresi dapat dipercaya untuk meramalkan kontribusi variabel bebas yaitu Iklim Organisasi dalam memprediksi variabel tergantung yaitu PKO. Selanjutnya, koefisien regresi (B) pada hasil uji signifikansi parameter kemandirian menunjukan nilai yang positif [B = (+) 0,720], artinya kedua variabel berkorelasi positif atau searah. Semakin tinggi Iklim Organisasi maka akan semakin tinggi pula PKO, begitu pun sebaliknya semakin rendah Iklim Organisasi makan akan semakin rendah PKO.
Nilai signifikansi pada uji signifikansi parameter individual yang menunjukan angka sebesar 0,000 (p<0,01), memiliki arti bahwa variabel Iklim Organisasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap variabel PKO. Hubungan yang terjadi antara Iklim Organisasi dengan PKO merupakan hubungan sebab akibat dan bukan gejala random, sebab dapat diramalkan bahwa setiap adanya peningkatan 1 nilai dari variabel Iklim Organisasi, maka akan terjadi peningkatan pada variabel PKO sebesar 0,720.
Penerimaan hipotesis pada penelitian ini menunjukan bahwa Iklim Organisasi yang terjadi di perusahaan ritel memiliki hubungan dengan PKO yang ditampilkan karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut. Karyawan di perusahaan ritel memiliki kontribusi yang besar dan memegang peranan penting dalam terwujudnya visi dan misi perusahaan. Kesuksesan dan kelancaran dari penjualan barang dan jasa yang ditawarkan pada perusahaan ritel membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang sangat baik dari para karyawannya.Levy dan Weitz (dalam Sulastri, 2006) memaparkan bahwa kriteria karyawan di perusahaan ritel dapat dikatakan baik apabila mengerti prosedur pengadaan barang, memiliki kemampuan melayani konsumen, memiliki kemampuan dalam melakukan penjualan, serta memiliki kemampuan tentang barang dan kebijakan perusahaan ritel.
Karyawan di perusahaan ritel tidak dapat lepas dari lingkungan kerja ketika melakukan segala aktivitasnya. Lingkungan kerja yang dimaksud adalah lingkungan kerja psikologis yang merupakan pandangan atau penilaian karyawan terhadap kondisi psikologis yang ada dalam suatu lingkungan perusahaan (Sihotang, 2004), maka dari itu lingkungan kerja yang terjadi di perusahaan ritel adalah dinamika interaksi antar karyawan. Susilo (2007) mengatakan bahwa pemahaman atas suatu perilaku tidak dapat dilepaskan dari konteks perilaku tersebut terjadi. Perilaku yang dimunculkan oleh karyawan di perusahaan ritel akan selalu berkaitan dengan iklim yang terjadi di dalam perusahaan.
Iklim organisasi yang dipersepsikan secara positif oleh karyawan memiliki arti bahwa harapan karyawan sesuai dengan tujuan perusahaan ritel, sehingga karyawan merasa mendapatkan dukungan dari perusahaan dan akan meningkatkan tendensi karyawan untuk berperilaku positif. Karyawan yang mendapat dukungan dan puas terhadap perusahaannya tidak akan menunjukan perilaku negatif, seperti keterlambatan, absen kerja, menyabotase peralatan kerja, memperpanjang jam istirahat, dan menunjukan sedikit usaha ketika bekerja (Kanten & Ulker, 2013). Lakshmi (2013) menjelaskan bahwa hubungan yang positif antar karyawan dapat membentuk perilaku yang positif sesama rekan kerja. Karyawan akan cenderung memberi pertolongan yang didasari dengan keikhlasan kepada rekan kerjanya ketika hubungan baik terjalin antara mereka. Karyawan yang bekerja atas dasar keikhlasan akan berdampak lebih besar dalam keefektifan perusahaan ritel ketimbang kinerja yang dilakukan dengan terpaksa dan tanpa rasa ikhlas.
Perusahaan ritel yang memiliki suasana iklim yang positif juga membuat karyawan menjadi lebih betah mengerjakan pekerjaannya, tidak peduli seberapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan pada saat itu. Walaupun sebuah pekerjaan cukup melelahkan, apabila lingkungan kerja disekitarnya mendukung dan kondusif, maka karyawan akan mengerjakannya dengan senang hati. Iklim organisasi yang positif juga dapat menambah motivasi karyawan dalam menyelesaikan semua pekerjaan, sehingga karyawan memiliki keinginan untuk memberikan kontribusi lebih kepada perusahaan. Keadaan iklim organisasi yang dipersepsikan secara positif membuat karyawan memiliki keinginan untuk melaksanakan tugas-tugasnya melebihi kewajiban formal yang telah ditentukan perusahaan (Ingarianti, 2007), sehingga karyawan melakukan PKO dalam bekerja. Semakin positif iklim organisasi yang terbentuk di perusahaan ritel, semakin tinggi pula PKO yang terjadi pada karyawan.
Sumbangan efektif dalam penelitian ini adalah sebesar 0,322.Hal ini berarti sumbangan variabel Iklim Organisasi terhadap variabel PKO adalah sebesar 32,2%, sedangkan sumbangan selain dari variabel Iklim Organisasi terhadap PKO adalah sebesar 67,8%, yang diperoleh dari faktor-faktor lainnya yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi, keadilan organisasi, karakteristik tugas, dan kepemimpinan transformasional. Kepuasan kerja karyawan merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan yang dapat meningkatkan tingkat perasaan positif dan mengurangi perasaan negatif karyawan dengan memberikan mereka hal-hal berwujud dan tidak berwujud yang dianggap penting oleh mereka. Akibatnya, karyawan yang puas akan lebih bersedia untuk membalas dengan perilaku positif yang menguntungkan organisasi (Mohammad dkk, 2011).
Faktor lain yang mempengaruhi PKO selanjutnya adalah komitmen organisasi, sebab karyawan yang ingin terus
menerus terikat dengan perusahaan tempat ia bekerja akan cenderung menghindari konflik interpersonal dengan rekan kerja, membantu sesama rekan kerja, peduli pada kelangsungan hidup perusahaan, dan suka membela kepentingan organisasi, serta sering memberi sumbangan lebih untuk memperbaiki kinerja perusahaan (Purba & Seniati, 2004). Komitmen organisasi juga ditandai dengan adanya rasa kepercayaan terhadap perusahaan, keinginan untuk tetap menjadi anggota, dan kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan perusahaan, sehingga karyawan melakukan pekerjaannya tanpa paksaan serta berkomitmen terhadap tugas diluar tanggung jawabnya secara formal (Nida, 2013).
Selain itu faktor yang juga mempengaruhi PKO adalah keadilan organisasi, dimana karyawan yang merasa diperlakukan secara adil akan memiliki peforma yang baik disbanding karyawan yang merasa diperlakukan dengan kurang adil. Karyawan yang mendapat keadilan organisasi akan merasa puas dengan tempat ia bekerja dan meningkatkan kecenderunganya unntuk menampilkan perilaku yang melebihi tugas formalnya atau PKO (Iqbal, dkk, 2012).
Karakteristik tugas yang dimiliki oleh karyawan juga merupakan faktor lain yang mempengaruhi PKO pada karyawan. Karakteristik tugas yang dimaksud meliputi feedback yang didapatkan dari melakukan pekerjaan tersebut, rutinitas pekerjaan yang tidak monoton, serta kepuasan karyawan terhadap tugas yang diberikan. Karyawan yang menyukai tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi akan menunjukan perilaku kerja yang positif dan meningkatkan kecenderungan untuk melakukan PKO dalam pekerjaannya (Podsakoff, dkk, 2000).
Selain itu, kepemimpinan transformasional juga dapat mempengaruhi PKO pada karyawan. Kepemimpinan yang transformasional mendorong karyawannya untuk mengikuti tujuan perusahaan dan memotivasi mereka untuk mencoba mencapai tujuan tersebut dengan menunjukan kepada karyawannya bagaimana perilaku yang diharapkan oleh perusahaan (Chen, dkk dalam Dickinson, 2009). Karyawan yang termotivasi dan memiliki tujuan yang sama dengan perusahaan akan memberikan kontribusi melebihi tugas formalnya (PKO) tanpa meminta imbalan kepada perusahaan (Dickinson, 2009).
Hasil uji hipotesis pada penelitian ini menunjukan korelasi yang positif dan signifikan yang berada pada tataran menengah (r = 0,568). Koefisien korelasi yang dihasilkan oleh penelitian ini dapat dijelaskan dalam analisa konsistensi skor pada subjek. Kuatnya angka korelasi bisa didapatkan jika posisi skor pada tiap subjek konsisten. Asumsinya adalah jika posisi subjek konsisten (semakin tinggi skor subjek pada variabel bebas dan tinggi pada variabel tergantung), maka nilai korelasi akan tinggi dan positif. Namun jika konsisten terbalik (cenderung tinggi pada variabel bebas dan rendah pada
variabel tergantung), maka nilai korelasi akan tinggi dan negatif (Santoso, 2010). Berdasarkan analisis dilakukan pada konsistensi skor subjek, dimana hasilnya adalah sebanyak 77 orang (81,05%) memiliki skor-skor yang cenderung tinggi pada variabel bebas dan tinggi pada variabel tergantung, namun sebanyak 18 orang (18,94%) memiliki skor-skor yang cenderung tinggi pada variabel bebas dan rendah pada variabel tergantung. Hal ini membuktikan bahwa tidak semua subjek memiliki konsistesi skor yang sama. Hubungan yang sedang ini memiliki arti bahwa variabel Iklim Organisasi cukup berpengaruh dalam menentukan PKO.
Tingkat Iklim Organisasi dan PKO yang mayoritas tinggi pada subjek diduga dapat disebabkan oleh perencanaan dan pengelolaan SDM yang sangat baik pada perusahaan ritel. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perusahaan ritel. Sejak awal perusahaan ritel telah melakukan perencanaan dalam merekrut karyawannya dengan memperketat sistem seleksi agar karyawan yang diterima adalah benar-benar sesuai dan dapat mendukung tujuan perusahaan. Ketatnya sistem seleksi ini dilakukan dengan memilih SDM yang berkualitas tinggi, seperti cekatan dalam menyeleksi barang dagangan, keterampilan dalam memajang stok barang dagangan, dapat menyediakan informasi dan bantuan yang diharapkan kepada rekan kerja maupun konsumen (Utami, 2010), serta dapat memberikan layanan yang ramah, sopan, cepat dan tepat (Nawawi, 2005). Karyawan yang direkrut adalah karyawan yang dapat melakukan aktivitasnya melebihi apa yang ditawarkan oleh perusahaan ritel pesaing (Utami, 2010), dengan kata lain karyawan yang diterima haruslah bisa menunjukan kinerja melebihi deskripsi pekerjaan umumnya.
Selain itu, perusahaan ritel juga membangun suatu lingkungan kerja yang jelas dengan melakukan pertimbangan dalam mengidentifikasi tugas-tugas karyawannya. Perusahaan ritel sangat terstruktur dalam menugaskan karyawannya pada bidang-bidang tertentu, disisi lain struktur adalah salah satu dimensi Iklim Organisasi. Tugas diidentifikasi terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan karyawan, selanjutnya karyawan difokuskan pada suatu aktivitas yang terbatas sehingga memungkinkan karyawannya untuk mengembangkan keahlian dan meningkatkan produktivitas (Utami, 2010). Hal ini membuat karyawan merasa diuntungkan oleh perusahaan dengan dukungan yang diberikan untuk pengembangan diri tersebut. Karyawan yang teridentifikasi tugasnya dengan baik serta mendapat dukungan oleh perusahaannya akan meningkatkan rasa nyaman dalam bekerja. Maka dari itu karyawan di perusahaan ritel cenderung menunjukan Iklim Organisasi mayoritas tinggi, dalam artian Iklim Organisasi yang terjadi di perusahaan ritel tersebut adalah positif.
Berikutnya, Iklim Organisasi yang mayoritas tinggi pada subjek dapat dianalisis berdasarkan deskripsi data demografi status kepegawaian subjek. Sebanyak 78% dari
subjek penelitian merupakan karyawan yang berstatus pegawai tetap. Dari 54 orang yang memiliki Iklim Organisasi tinggi, terdapat 46 orang pegawai tetap, 5 orang pegawai kontrak, dan 2 orang pegawai outsourcing. Karyawan yang memiliki status tetap, menghabiskan lebih banyak waktunya di perusahaan dan menerima lebih banyak dari perusahaan seperti gaji, bonus, penghargaan, informasi, kesempatan promosi, dan pelatihan kerja. Hal tersebut memunculkan rasa aman dan dukungan yang dirasakan karyawan ketika berada dalam perusahaan (Sarwono & Soeroso, 2001). Status pegawai tetap juga mengikat karyawannya untuk berada di perusahaan ritel lebih lama dibandingkan dengan karyawan kontrak atau outsourcing, oleh karenanya karyawan cenderung meninggalkan kesan yang positif selama bekerja dengan cara menjaga hubungan baik terhadap karyawan lain dan perusahaan. Hal ini nantinya akan menciptakan lingkungan kerja tetap positif dan kondusif selama mereka bekerja, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa karyawan yang memiliki status kepegawaian tetap cenderung memunculkan Iklim Organisasi yang positif. Adanya perbedaan Iklim Organisasi berdasar status kepegawaian diperkuat dengan uji komparasi yang dilakukan. Hal ini dibuktikan dari hasil uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data One Way Anova, yang menunjukan bahwa terdapat perbedaan Iklim Organisasi berdasar status kepegawaian dengan skor probabilitas sebesar 0,049 (p<0,050).
Berdasarkan dari deskripsi data demografi subjek yang lainnya, didapat data tambahan setelah dilakukannya analisis sebagai berikut. Tidak ada perbedaan PKO berdasarkan status kepegawaian. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik Kruskal-Wallis, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,422 (p>0,05). Krausz dkk (dalam Conway & Briner, 2002) memaparkan bahwa karyawan tetap dan karyawan tidak tetap (kontrak dan outsourcing) sama-sama memiliki perasaan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Disamping itu, dengan adanya pengelolaan sumber daya manusia yang baik, perusahaan ritel dapat memotivasi seluruh karyawannya untuk menunjukan kinerja yang sesuai dengan tujuan perusahaan. Apalagi karyawan yang diseleksi merupakan karyawan pilihan, yang artinya karyawan yang memiliki kualitas tinggi melebihi standar umum (Utami, 2010). Hal ini membuat karyawan di perusahaan ritel, tidak peduli karyawan tetap maupun tidak tetap, dapat memunculkan PKO yang sama.
Berikutnya adalah tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar usia. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik One Way Anova, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,522 (p>0,05). Juga tidak ada perbedaan PKO berdasar usia. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik One Way Anova, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,378 (p>0,05).
Tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasarkan lama bekerja. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik One Way Anova, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,919 (p>0,05). Begitu juga dengan PKO, tidak ada perbedaan PKO berdasar lama bekerja karyawan. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik One Way Anova, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,592 (p>0,05). Penjelasan tidak adanya perbedaan Iklim Organisasi & PKO berdasar usia dan lamanya bekerja yaitu bahwa kematangan, ketenangan, ketekunan dan hasil kerja karyawan muda dan tua atau senior dan junior tidak berbeda. Hal ini menjadi logis sebab karyawan muda atau junior banyak mendapat pelajaran secara teoritis dari pelatihan atau ilmu-ilmu baru, sedangkan karyawan tua atau senior mendapat pelajaran empiris dari pengalaman (Sarwono & Soeroso, 2001), sehingga implikasinya adalah mempercepat penurunan kesenjangan antara yang muda atau junior dengan yang tua atau senior. Karyawan dengan rentang usia dan dengan masa kerja berapapun dapat memunculkan perilaku kerja yang positif di dalam lingkungan perusahaan, serta perilaku kerja yang melebihi deskripsi pekerjaan formal.
Yang berikutnya adalah tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar jenis kelamin. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik Independent Sample t-Tes, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,808 (p>0,05). Begitu juga tidak ada perbedaan PKO berdasar jenis kelamin. Uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik Independent Sample t-Tes menunjukan skor probabilitas sebesar 0,477 (p>0,05). Karyawan laki-laki memang awalnya disinyalir memiliki sifat yang kompetitif dan berkomitmen sehingga lebih sukses dibanding wanita. Akan tetapi, peningkatan partisipasi angkatan kerja wanita sebagai tenaga profesional dewasa ini telah memunculkan pengakuan terhadap kinerja karyawan wanita (Sarwono &n Soeroso, 2001). Perusahaan telah mengakui bahwa kinerja wanita telah bisa mengimbangi laki-laki, sehingga diberikanlah suatu kesetaraan hal-hal yang diterima wanita dan laki-laki dalam perusahaan. Adanya dukungan yang setara ini membuat setiap karyawan dapat memunculkan perilaku kerja positif dan sesuai dengan tujuan perusahaan.
Selanjutnya, tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji komparasi yang dilakukan dengan menggunakan teknik Independent Sample t-Tes, yang menunjukan skor probabilitas sebesar 0,577 (p>0,05). Hasil uji komparasi dengan
menggunakan teknik Mann Whitney menunjukan skor probabilitas sebesar 0,072 (p>0,05), hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara pendidikan dengan PKO.
Selain itu, tidak ada perbedaan Iklim Organisasi berdasar jabatan/posisi. Hal ini dibuktikan dengan uji komparasi teknik Kruskal Wallis, yang menunjukan skor
probabilitas sebesar 0,050 (p>0,05). Hasil uji komparasi dengan menggunakan teknik One Way Anova menunjukan skor probabilitas sebesar 0,274 (p>0,05), hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara jabatan/posisi dengan PKO.
Tidak adanya perbedaan Iklim Organisasi dan PKO berdasarkan pendidikan dan posisi dapat dianalisis sebagai berikut. Perusahaan ritel mengidentifikasikan tugas-tugas karyawannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini menciptakan struktur yang jelas dalam menugaskan karyawan di bidang-bidang tertentu (Utami, 2010). Pendidikan dan kemampuan karyawan disesuaikan dengan jabatan dan posisinya dalam perusahaan, sehingga karyawan dapat dengan baik melakukan kinerjanya sesuai dengan harapan perusahaan. Disamping itu, pertimbangan yang dilakukan perusahaan ritel ini memberikan kemungkinkan bagi karyawannya untuk mengembangkan keahlian dan meningkatkan produktivitas di bidangnya masing-masing (Utami, 2010). Dukungan dari perusahaan ini memungkinkan karyawannya yang berpendidikan dan dalam posisi apapun untuk meningkatkan perilaku yang positif dan lebih bagi perusahaan.
Berdasarkan keseluruhan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Iklim Organisasi dengan PKO pada karyawan di perusahaan ritel. Hubungan yang terjadi antara Iklim Organisasi dengan PKO dapat dipercaya sebagai hubungan positif yang kausal atau bukan gejala acak/random. Sumbangan efektif yang dapat diberikan oleh variabel Iklim Organisasi terhadap PKO adalah sebesar 32,2%. Selanjutnya, berdasarkan deskripsi data penelitian, maka dapat disimpulkan 2 hal yaitu, data penelitian pada variabel Iklim Organisasi berada pada kategori tinggi, yang artinya Iklim Organisasi yang terjadi di perusahaan ritel tempat subjek bekerja positif. Demikian juga deskripsi data penelitian variabel PKO berada pada kategori tinggi, yang artinya sebagian besar subjek memiliki PKO yang baik.
Terkait dengan pemaparan diatas, maka perusahaan ritel yang telah memiliki Iklim Organisasi yang positif hendaknya tiap atasan tetap menjaga Iklim Organisasi yang terjadi didalam perusahaan dengan cara tetap membuat kejelasan mengenai segala peraturan yang ada, menjaga rasa saling memahami dan toleransi antar karyawan, memberikan penghargaan yang tertulis maupun tidak tertulis bagi karyawan yang telah bekerja dengan baik, serta mengadakan acara-acara diluar pekerjaan yang bertemakann santai seperti outbound, piknik atau tamasya. Sementara itu, bawahan juga dapat menjaga Iklim Organisasi tetap positif dengan cara menjaga hubungan baik dan saling mengutungkan sesama karyawan dan atasan, selalu memberikan umpan balik kepada perusahaan agar perusahaan mengerti apa yang diinginkan karyawannya, serta menjaga kesadaran diri bahwa semua
karyawan bekerja dalam tim dan segala aktifitas yang dilakukann dapat berdampak besar bagi perusahaan.
Selain itu, perusahaan ritel juga dapat meningkatkan PKO yang dimiliki karyawannya dengan mennciptakan Iklim Organisasi yang positif, yaitu dengan cara atasan dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawannya, seperti memberikan penghargaan kepada karyawan yang telah melakukan tugasnya dengan baik dan benar, menanyakan kepada karyawan mengenai prasarana apa saja yang dibutuhkan dalam bekerja untuk menunjang produktifitas, saling menghargai satu sama lain dan bersikap peduli, seperti menyapa, menanyakan kabar, menanyakan kesulitan atau hambatan kerja. Disamping itu, perusahaan ritel sebaiknya melakukan evaluasi terhadap peraturan-peraturan yang ada untuk lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi perusahaan.
Selanjutnya, perusahaan ritel dapat meningkatkan keadilan organisasinya dengan cara atasan dapat memberikan penghargaan seperti bonus atau insentif kepada karyawan yang memiliki peforma baik, serta memberikan peringatan atau evaluasi kepada karyawan yang memiliki peforma buruk, serta mengadakan pelatihan-pelatihan kerja untuk karyawan yang memiliki peforma buruk, sehingga karyawan akan merasa bahwa perusahaan tidak semata-mata menyalahkan namun ikut menyelesaikan masalah berama-sama untuk kepentingan perusahaan.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan Iklim Organisasi yang positif adalah dengan menyesuaikan karakteristik tugas dengan kemampuan karyawan. Atasan dapat mengukur peforma karyawan selama masa training agar mengatahui cara kerja karyawan dan dapat menentukan tugas yang sesuai dengan kemampuan karyawan, serta tidak lupa untuk selalu melakukan evaluasi kerja secara berkala. Disamping itu, perusahaan ritel juga dapat menciptakan kepemimpinan yang transformasional dengan
menginternalisasi tujuan perusahaan dan menyatukannya dengan konsep diri karyawan ketika bekerja. Hal ini dapat dilakukan dengan menempelakan pamphlet berisi visi misi perusahaan di sudut-sudut yang kerap dilewati karyawan, menyisipkan visi misi perusahaan di setiap rapat divisi, menyisipkan makna visi misi pada kegiatan diluar jam kerja yang bertemakan ceria. Seorang atasan adalah panutan karyawannya, maka atasan dapat mencontohkan perilaku yang diharapkan oleh perusahaan, seperti datang tepat waktu atau lebih pagi, bekerja lembur, menggunakan jam istirahat tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Agyemang, C. B. (2013). Perceived Organizational Climate and Organizational Tenure on Organizational Citizenship Behaviour: Empirical Study among Ghanaian Banks.
European Journal of Business and Management, Vol. 5, No. 26, 132-142.
Aryani, D. (2011). Efek Pendapatan Pedagang Tradisional dari Ramainya Kemunculan Minimarket di Kota Malang. Jurnal Dinamika Manajemen, Vol, 2, No. 2, 169-180.
Azwar, S.(2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi (Edisi ke 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berman, B., & Evans, J. R. (2001). Retail Management, A Strategic Approach, 8th edition.New Jersey: Prentice Hall.
Brahmana, S. S., &Sofyandi, H. (2007). Transformasional Leadership Dan Organizational CitizenshipBehavior Di Utama.
Laporan Penelitian Kelompok. Fakultas Bisnis dan
Manajemen Universitas Widyatama, Bandung.
Conway, N., & Briner, R. B. (2002). Full-Time versus Part-Time Employees: Understanding the Links between Work Status, the Psychological Contract, and Attitudes. Journal of Vocational Behavior, Vol. 61, 279–301
Dickinson, L. (2009). An Examination of the Factors Affecting Organizational Citizenship Behavior. Departmental Honors Thesis. The University of Tennessee at Chattanooga. Diakses: November, 2013 dari website:
https://www.utc.edu/departmental-honors/pdfs/dickinsonl.pdf
Field, A. (2009). Discovering Statistic Using SPSS (Third Edition). London: Sage Publication.
Ghozali, I. (2013). Aplikasi Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Ingarianti, T. M. (2007). Hubungan Iklim Orgaisasi dan Penyesuaian Diri Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Malang.
Iqbal, H. K., Azi, U., & Tasawar, A. (2012). Impact of
Organizational Justice on OrganizationalCitizenship Behavior: An Empirical Evidence from Pakistan. World Applied Sciences Journal. ISSN 1818-4952.
Jati, W. R. (2012). Dilema Ekonomi: Pasar Tradisional versus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol. 4, No. 2, 223-142.
Kanten, P., & Ulker, F. E. (2013). The Effect of Organizational Climate on Counterproductive Behaviors: An Empirical Study on the Employees of Manufacturing Enterprises. Journal of Global Macro Trend, The Macrotheme Review, Vol. 2 (4), 144 – 160.
Katz, D. (1964). The motivational basis of organizational behavior. Journal Behavior Science, Vol. 9, 131-146.
Katz, D., & Kahn, R.L. (1966). The Social Psychology of
Organization. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Kur. (2012). Gaya Belanja yang Naik Kelas. Diakses: November, 2013 dari website:
http://nasional.sindonews.com/read/2012/08/01/64/662056/ gaya-belanja-yang-naik-kelas
Lakshmi, P. A. V. (2013). Gambaran Perilaku Kewargaan Organisasi pada Pramuniaga di Perusahaan Ritel X. Studi Kasus (Tidak dipublikasikan). Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
Ma’ruf, H. (2006). Pemasaran Ritel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Merdeka.com. (2012). Demo Buruh Ritel di balaikota DKI Memanas. Diakses: Juli, 2014, dari website:
http://www.merdeka.com/jakarta/demo-buruh-ritel-di-balaikota-dki-memanas.html
Meryana. (2011). Jarang Belanja, Tapi Konsumsi Naik. Diakses: November, 2013 dari
website:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/01 /21254985/Jarang.Belanja..tetapi.Konsumsi.Naik
Mohammad, J., Habib, F. Q., &Alias, M. A. (2011). Job Satisfaction and Organizational Citizenship Behavior: An Empirical Study at Higher Learning Institution. Asian Academy of Management Journal, Vol. 16, No. 2, 149–165.
Nawawi, H. H. (2005). Perencanaan SDM Untuk Organisasi Profit yang Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers.
Nida, D. A. D. T. P. P. (2013). Hubugan Antara Komitmen Organisasi dan Perilaku Kewargaan Organisasi pada Fungsionaris Partai Golkar di Bali. Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
Nimran, U. (2011). Relationships between Individual Characteristics of Employees and Organizational Climate with Organizational Citizenship Behavior (OCB).Journal of Basic and Applied Scientific Research. ISSN 2090-4304.
Podsakoff, P. M., dkk. (2000). Organizational Citizenship Behavior: A Critical Review of the Theoretical and Empirical Literature and Suggestion for Future Research. Journal of Management. Vol. 26, No. 3, 513–563.
Purba, D.E., &Seniati, A.N.L. (2004). Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior. Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol. 8, No.3, 105-111.
Purwanto. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Robbins, S. P. (2001). Perilaku Organisasi, Jilid 1. Edisi 12 Bahasa Indonesia, Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2008). Perilaku Organisasi, Buku 1, Cet. 12. Jakarta: Salemba Empat.
Santoso, A. (2010). Statistik Untuk Psikologi: Dari Blog Menjadi Buku. Univ Sanata Dharma.
Santoso, S. (2005). Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS versi 11.5. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sarwono, S. S., & Soeroso, A. (2001). Determinasi Demografi
Terhadap Perilaku Karitatif Keorganisasian. Jurnal Sosial dan Bisnis. Vol. 6, No.1, 21-37.
Setyawarman, A. (2009). Pola Sebaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Retail Modern (Studi Kasus Kota Surakarta). Tesis. Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Sihotang, I. N. (2004). Burnout Pada Karyawan Ditinjau Dari Persepsi TerhadapLingkungan Kerja Psikologis Dan Jenis Kelamin. Jurnal PSYCHE. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang. Vol. 1 No. 1, 9 – 17.
Simarmata, N. (2008). Hubungan Antara Kepemimpinan Transformasional dan Pertukaran Atasan-Bawahan Dengan
Laku Warga Organisasi Karyawan. Tesis. Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif: Dilengkapi Perbandingan Perhitungan Manual dan SPSS. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Stern, L. W., El-Ansary, A.I., Coughlan, A.T. & Anderson, E. (2001). MarketingChannels. 6th ed. Prentice Hall. New Jersey: Upper Saddle River.
Stinger, R.(2002). Leadership and OrganizationalClimate: The Cloud Chamber Effect. NJ: Prentice Hall: Upper Saddle River.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Sulastri, S. (2006). Pengaruh Bauran Eceran (Retailing Mix) Terhadap Loyalitas Pelanggan Pada Toserba X Cabang Cicalengka. Tesis. Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi, UNIKOM.
Suryabrata, S. (2000). Metodologi Penelitian. Jakart: PT Raja Grafindo Persada.
Susilo, A. (2007). Hubungan Antara Ikllim Organisasi Dengan Perilaku Di Luar Peran Kerja Pada Dosen Politeknik Ngeri Semarang. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.
Utami, C. W. (2010). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Operasional Bisnis Ritel Modern di Indonesia), Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Winarno, H. (2011). Karyawan Carrefour Mogok di Lebak Bulus, Manajemen Minta Duduk Bareng. Diakses: November, 2013 dari website:
http://news.detik.com/read/2011/08/27/113233/1712371/10 /karyawan-carrefour-mogok-di-lebak-bulus-manajemen-minta-duduk-bareng
Whiteaker, J. (2012). Shops Lose 88% of Customers Due to Poor Service. Diakses: November, 2013 dari website:
http://www.retailgazette.co.uk/articles/13122-shops-lose-88-of-cutomers-due-to-poor-service
37
Discussion and feedback