HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN SELF ESTEEM PADA REMAJA AKHIR DI KOTA DENPASAR
on
Jurnal Psikologi Udayana
Edisi Khusus Psikologi Umum, 52-62
Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
ISSN: 2354 5607
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN SELF ESTEEM PADA REMAJA AKHIR DI KOTA DENPASAR
Anak Agung Gede Ariputra Sancahya dan Luh Kadek Pande Ary Susilawati Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]
Abstrak
Perkembangan remaja menuju tahap dewasa selalu berhubungan dengan keluarga di setiap aspeknya. Salah satu aspek perkembangan remaja adalah self esteem. Self esteem merupakan salah satu aspek yang mendukung perkembangan remaja agar mampu berkembang optimal dan menentukan keberhasilan pada masa dewasa. Remaja membutuhkan dukungan dari keluarga agar mampu mengembangkan self esteem karena keluarga adalah lingkungan sosial pertama tempat remaja berkembang. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan self esteem pada remaja di Kota Denpasar.
Metode penelitian ini yaitu korelasi kuantitatif dimana jumlah subjeknya 408 remaja di Kota Denpasar yang usianya 17-19 tahun. Metode pengumpulan datanya yaitu skala dukungan sosial keluarga dan skala self esteem. Reliabilitas dukungan sosial keluarga sebesar 0,943 dan reliabilitas self esteem sebesar 0,940. Normalitas variabel dukungan sosial keluarga sebesar 0,219 dan normalitas variabel self esteem sebesar 0,572. Linearitas antara variabel dukungan sosial keluarga dan self esteem yaitu 0,000. Koefisien determinasinya (r2) 0,268. Metode analisis datanya yaitu teknik analisis regresi. Koefisien korelasinya 0,518 dengan probabilitas 0,000. Hal tersebut membuktikan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan self esteem pada remaja di Kota Denpasar.
Kata Kunci: Dukungan Sosial Keluarga, self esteem, remaja
Abstract
Adolescent development toward the adult stage is always in touch with the family in every aspect. One aspect is the development of adolescent self-esteem. Self esteem is one of the aspects that support the development of adolescents to be able to develop optimally and determine success in adulthood. Adolescents need the support of the family to be able to develop self-esteem because the family is the first social environment where adolescents develop. Therefore, researchers assume that there is a relationship between family social support with self-esteem in adolescents in the city of Denpasar.
This research method is quantitative correlation where the number of the subject in Denpasar 408 teenagers whose age 17-19 years . Methods of data collection is family social support scale and the scale of self esteem . Reliability of family social support scale is 0.943 and self esteem scale reliability is 0.940 . Normality of families social support variable is 0,219 and self-esteem variables normality is 0.572 . Linearity between family social support variables and self esteem is 0,000 . The coefficient of determination ( r2 ) 0.268 . Methods of data analysis is a technique of regression. The correlation coefficient is 0.518 with a probability of 0.000 . It is proved that there is a correlation between social support families with self-esteem in adolescents in the city of Denpasar.
Keywords: family social support, self esteem, adolescents
LATAR BELAKANG
Cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang tertulis pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Implikasi dari tujuan tersebut adalah Indonesia mampu mencapai suatu kemajuan. Namun faktanya, Indonesia belum berhasil menjadi salah satu negara maju di dunia, dimana berdasarkan indeks pembangunan manusianya, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara berkembang (UNDP, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih harus berjuang agar mampu menjadi negara maju di dunia.
Kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu faktor penentunya terletak pada generasi mudanya (Widanarti, 2002). Generasi muda adalah leader of tomorrow, karena di tangan kaum muda nasib sebuah bangsa dipertaruhkan. Generasi muda yang memiliki semangat dan kemampuan untuk membangun bangsa akan mampu menghasilkan pembangunan dan kemajuan yang memenuhi kepentingan bangsanya (Syam, 2012).
Generasi muda merupakan generasi penerus kepemimpinan sekaligus agen perubahan dari suatu negara. Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa setiap momentum yang menentukan perjalanan bangsa Indonesia selalu melibatkan peran besar pemuda didalamnya. Momentum pertama yaitu kebangkitan nasional tahun 1908 yang diprakarsai oleh organisasi pemuda Boedi Utomo. Momentum berikutnya adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang menjadi momen pemersatuan bangsa, dan selanjutnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Semua peristiwa tersebut melibatkan peran pemuda bangsa. Saat terjadi krisis akibat gerakan makar oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, para pemuda juga bangkit melakukan perlawanan dengan mengeluarkan Tritura yang menjadi power pressure bagi pemerintahan orde lama untuk melakukan berbagai perubahan. Momentum besar terakhir yang dilakukan generasi muda bangsa adalah saat reformasi tahun 1998, dimana para pemuda bersatu dalam menggulingkan rezim pemerintahan orde baru yang otoriter (Syam, 2012). Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa para pemuda memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan secara psikologis, maka rentang usia pemuda berada dalam tiga tahap perkembangan yaitu masa remaja awal, remaja akhir, dan masa dewasa awal. Tahap perkembangan remaja awal berada di rentang usia 14 sampai dengan 17 tahun, tahap perkembangan remaja akhir berada pada rentang usia 17 sampai dengan 21 tahun, dan tahap
perkembangan dewasa awal berada pada rentang usia 21 sampai dengan 40 tahun (Hurlock, dalam Sarwono 2012). Ketiga tahap yang menjabarkan usia pemuda, tahap remaja awal dan remaja akhir merupakan masa yang paling penting karena remaja pada masa ini mengalami gejolak perkembangan yang berpengaruh besar terhadap kematangan psikologis di masa berikutnya (Hall, dalam Sarwono 2012). Jika pada masa ini remaja gagal menjalankan tugas perkembangannya dengan baik, maka proses perkembangan berikutnya akan terganggu sehingga berakibat kepada kualitas diri individu tersebut (Sarwono, 2012). Begitu pentingnya peran pemuda bagi sebuah bangsa, dan demi mempersiapkan generasi muda yang berkualitas, maka penting untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek perkembangan yang terjadi pada masa remaja
Periode usia remaja merupakan periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana individu harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan. Periode pada masa ini dianggap penting daripada beberapa periode lainnya karena berpengaruh langsung terhadap sikap dan perilaku. Masa remaja adalah masa yang amat kritis yang mungkin dapat merupakan the best time and the worst time (Makmun, 2007).
Perkembangan fisik dan perkembangan mental akan berlangsung cepat pada masa remaja (Hurlock, 2002). Perkembangan fisik pada remaja ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan yang cepat pada masa remaja antara lain pertumbuhan tubuh, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2012). Perubahan fisik yang terjadi merupakan gejala primer dari pertumbuhan remaja yang kemudian mempengaruhi perkembangan psikologis, sedangkan perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan fisik itu (Sarwono, 2012).
Perubahan psikologis yang terjadi pada masa remaja bisa ditinjau dari lima segi yaitu perkembangan inteligensi, perkembangan peran sosial, perkembangan gender, perkembangan moral dan religi, serta pembentukan konsep diri (Sarwono, 2012).
Pada masa remaja terjadi pembentukan konsep diri. Pembentukan konsep diri pada remaja berkaitan dengan proses yang dialami oleh remaja dalam melewati masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Terdapat tiga ciri yang menunjukkan kedewasaan psikologi yang harus dicapai remaja dalam peralihan peran ini yaitu pemekaran diri sendiri (extension of the self), kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication), dan memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life) (Allport, dalam Sarwono, 2012). Ciri pertama dari kedewasaan yaitu pemekaran konsep diri ditandai dengan kemampuan untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari diri sendiri. Berkurangnya egoisme (perasaan untuk
mementingkan diri sendiri), dan tumbuh perasaan untuk ikut memiliki. Ciri kedua dari kedewasaan adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) yang termasuk menjadikan diri sendiri sebagai sasaran. Ciri berikutnya dari kedewasaan adalah memiliki falsafah hidup tertentu. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tepat tempatnya dalam kerangka susunan objek-objek lain dan manusia-manusia lain di dunia. Paham kedudukan di masyarakat, juga paham bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan berusaha mencari sendiri jalan menuju sasaran yang telah ditetapkannya tersebut.
Berbagai perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja menuntut agar individu mampu menyesuaikan diri dalam mengatasi berbagai tuntutan yang dihadapinya. Erikson (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa pada usia remaja akan terjadi krisis psikososial antara sense of identity vs. sense of role diffusion. Jika remaja dapat memenuhi tuntutan dari lingkungan sosialnya dan memperoleh peran dalam kehidupan sosialnya maka mereka akan menemukan identitas dirinya. Tapi sebaliknya jika tidak dapat memenuhi tuntutannya maka ia akan berada pada krisis identitas yang berkepanjangan. Krisis identitas yang berkepanjangan ini juga disebut sebagai adolescentisme, yaitu individu merasa hidup dalam suasana masa remaja meskipun usia kronologis sudah dewasa (Makmun, 2007). Individu yang mengalami adolescentisme bisa dikatakan terjebak pada masa remaja dan kesulitan untuk menjadi pribadi yang dewasa. Hal ini tentunya tidak baik karena akan menghambat potensi-potensi yang dimiliki individu untuk berkembang meraih sukses dalam hidupnya.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, salah satu aspek yang berkembang ketika individu mengalami periode remaja adalah konsep diri. Konsep diri adalah gambaran mental yang terdiri dari bagaimana individu melihat diri sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagaimana yang individu harapkan. Penglihatan individu atas diri sendiri disebut gambaran diri (self image), perasaan dan penilaian individu atas diri sendiri merupakan harga diri (self esteem) dan harapan individu atas diri sendiri disebut cita-cita diri (self ideal) (Calhoun, 1990). Individu yang mampu memenuhi tuntutan yang dihadapi pada masa remaja secara integratif tidak terlepas dari perasaan dan penilaian individu atas dirinya sendiri dalam menghadapi tuntutan tersebut. Perasaan dan penilaian diri yang tinggi akan memudahkan individu dalam menyesuaikan diri dalam kondisi yang sangat sulit sekalipun sehingga individu mampu memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi pada masa remajanya dengan baik dan integratif yang implikasinya
adalah membawa individu menuju optimalisasi pengembangan potensi yang dimiliki yang tentunya berujung pada kesuksesan dan prestasi dalam hidup. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa remaja yang memiliki perasaan dan penilaian diri (self esteem) yang tinggi akan mengarahkannya pada kesuksesan dalam hidup.
Self esteem sendiri adalah evaluasi yang dilakukan individu dan kebiasaan individu memandang diri sendiri, terutama mengenai sikap penerimaan dan indikasi atas seberapa besar kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Self esteem adalah salah satu kebutuhan psikologis yang penting bagi remaja agar mampu berkembang menjadi individu yang baik dan unggul serta mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Dapat dikatakan jika keberhasilan individu dalam hidup salah satu faktornya adalah self esteem (Utari, 2007).
Self esteem memiliki dampak positif terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan remaja. Remaja akan mampu menyikapi tantangan, dan berinteraksi dengan orangorang di sekitarnya. Selain itu self esteem berpengaruh pada prestasi belajar karena self esteem yang rendah dapat menurunkan motivasi belajar, dan sulit untuk memfokuskan pikiran. Sebaliknya, self esteem yang positif akan membangun pondasi kokoh untuk kesuksesan belajar (Shore, 2007).
Remaja yang memiliki self esteem yang tinggi akan mampu bertindak mandiri, bertanggungjawab, menghargai hasil kerja, memiliki tingkat frustasi yang rendah, senang dengan tantangan baru, mampu mengendalikan emosi positif maupun negatif, dan tidak segan-segan menawarkan bantuan kepada orang lain. Sebaliknya, remaja yang memiliki tingkat self esteem yang rendah akan menolak kehadiran hal baru, merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan, lebih sering menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri, secara emosional merasa berbeda dengan orang lain, tidak mampu mengendalikan tingkat frustasinya, enggan menunjukkan bakat dan kemampuannya, dan mudah terpengaruh (http://www.childdevelopmentinfo.com/parenting/self_esteem. shtml).
Self esteem merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana individu tersebut melakukan penyesuaian sosial akan dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut menilai keberhargaan dirinya. Individu yang menilai tinggi keberhargaan dirinya akan merasa puas atas kemampuan diri dan merasa menerima penghargaan positif dari lingkungan. Hal ini akan menumbuhkan perasaan aman dalam diri individu sehingga memudahkannya ketika menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Self esteem juga akan mempengaruhi bagaimana remaja menampilkan potensi yang dimilikinya sehingga self esteem memiliki peran besar dalam pencapaian prestasi.
Self esteem individu pada masa remaja memiliki hubungan yang besar tehadap kelangsungan individu pada saat individu tersebut dewasa. Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa memiliki kecenderungan masalah kesehatan fisik yang lebih banyak daripada remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006).
Remaja dengan self esteem yang rendah akan tumbuh dewasa dengan kecenderungan lebih banyak mengalami masalah kesehatan mental daripada remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006). Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa akan berpeluang 1,26 kali lebih rentan mengalami Major Depresive Disorder. Selain itu juga 1,6 kali lebih rentan mengalami Anxiety Disorder. Remaja dengan self esteem yang rendah juga berpeluang 1,32 kali lebih besar mengalami kecanduan terhadap tembakau (rokok) pada saat dewasa dibandingkan dengan remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006).
Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa juga memiliki kecenderungan lebih banyak terlibat masalah dengan hukum daripada remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006). Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa memiliki peluang 1,48 kali lebih besar melakukan kejahatan dengan kekerasan, juga memiliki peluang 1,32 kali lebih besar melakukan bentuk kejahatan lainnya dibandingkan dengan remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006).
Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa juga memiliki peluang untuk sejahtera secara ekonomi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006). Remaja dengan self esteem yang rendah memiliki peluang 2,13 kali lebih besar untuk tidak melanjutkan pendidikan atau terkena drop out dibandingkan dengan remaja yang memiliki self esteem yang tinggi. Remaja dengan self esteem yang rendah, pada saat dewasa juga memiliki kemungkinan 1,45 kali lebih tinggi untuk menjadi pengangguran jika dibandingkan dengan remaja yang memiliki self esteem yang tinggi (Trzesniewski, 2006).
Remaja akan kesulitan mengembangkan self esteem dengan baik tanpa ditunjang oleh dukungan dari keluarga. Ketika berada pada periode usia remaja yang labil, individu membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang-orang disekitarnya, khususnya keluarga, agar individu mampu melewati periode remaja dengan berkembang secara baik.
Contoh individu yang sukses berkat dukungan dari keluarga bisa disimak pada cerita perjalanan hidup pesebakbola paling terkenal saat ini yaitu Cristiano Ronaldo. Cristiano Ronaldo baru memasuki usia remaja pada saat itu (11 tahun) dan harus meninggalkan rumahnya di Funchal, Pulau Madeira menuju kota Lisbon, Portugal untuk bergabung dengan akademi sepakbola Sporting Lisbon. Selain dibelah laut, jarak kedua kota tersebut juga 700 km. Tentu bukan hal
yang mudah bagi anak 11 tahun untuk berjuang sendirian di kota asing. Baru beberapa pekan, Ronaldo sudah tidak kuat dan ingin pulang. Gara-gara tiap hari dia diejek sebagai orang udik akibat aksen Madeira-nya. Dolores, ibu Ronaldo, segera terbang ke Lisbon untuk menenangkan anaknya. Dolores menenangkan anaknya dan menunjukkan dukungan penuh seorang ibu demi cita-cita anaknya, Dolores meninggalkan keluarga kemudian menyewa rumah kecil disamping asrama agar Ronaldo tetap semangat berlatih sepakbola. Dolores berhasil menjaga Ronaldo tetap pada passion-nya dengan memberikan dukungan yang penuh kepada Ronaldo (Majalah Intisari edisi 598).
Masih dari bidang olahraga sebuah contoh tentang pentingnya dukungan keluarga dapat disimak dari cerita David Jacobs, seorang atlit tenis meja asal Indonesia. David Jacobs adalah seorang atlit tenis meja yang sukses di dunia internasional. Prestasi terbaiknya adalah meraih medali perunggu pada ajang Paralimpics (Olimpiade khusus atlit difabel) di London pada tahun 2012. David Jacobs lahir dengan tangan kanan yang tidak normal. Kondisi tangan kanannya tersebut dinyatakan oleh dokter sebagai invalid/disabled congenital. Meskipun memiliki kekurangan sejak lahir tersebut, tidak begitu saja menghambat David Jacobs berprestasi, hal tersebut dituturkannya karena dukungan dari keluarganya, khususnya orang tuanya. Pada masa pertumbuhannya, David Jacobs sering menerima sikap tidak mengenakkan seperti diejek, jadi bahan pembicaraan, dan dibanding-bandingkan. Bahkan guru sekolahnya kerap memberikan sikap diskriminasi terhadapnya. Namun dengan dukungan dari orang tuanya, David Jacobs menyatakan tetap bisa tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan mampu meraih prestasi yang tidak hanya membanggakan dirinya dan keluarganya, namun juga mengharumkan nama negara di dunia. David Jacobs memiliki banyak prestasi di bidang tenis meja. Tidak hanya untuk kategori atlit difabel, namun David Jacobs yang pernah turun di kategori atlit normal pun tetap berprestasi. Ia pernah meraih medali perunggu beberapa kali di ajang SEA Games pada kategori normal, dan juga beberapa gelar pada ajang prestisius lainnya. Prestasi David Jacobs bahkan bisa mengalahkan atlit-atlit yang memiliki badan sempurna. Namun prestasi David Jacobs tidak terpaku hanya pada ranah olahraga, secara akademis pun David Jacobs memiliki prestasi yang membanggakan. Ia adalah seorang sarjana ekonomi dari STIE PERBANAS Jakarta. Menurut David Jacobs, keberhasilan yang ia raih bersumber dari kekuatan yang ia peroleh dari dukungan dan inspirasi dari keluarganya. Sehingga ia selalu bisa bersemangat dalam mengejar prestasi ditengah kuatnya rasa minder yang membayanginya dahulu.
Contoh lain yang menunjukkan pentingnya dukungan keluarga bagi kesuksesan individu dapat dilihat dari cerita hidup Jessica Cox, seorang pilot wanita dari Amerika Serikat.
Keistimewaan dari Jessica Cox adalah ia tidak memiliki tangan sejak lahir. Sebuah kelainan yang tidak diketahui penyebabnya oleh dokter manapun. Kondisi tidak normal yang dialami Jessica Cox tentu saja sangat berat untuk dijalani, namun berkat dukungan orangtua dan keluarganya yang tidak kenal menyerah Jessica Cox mampu tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan meraih berbagai prestasi selama hidupnya. Jessica berhasil menjadi penari ketika umur 14 tahun, ia juga berhasil menyandang sabuk hitam dari Federasi Taekwondo Internasional. Di bidang akademis Jessica Cox juga berhasil meraih gelar dari Fakultas Psikologi Universitas Arizona. Lalu pencapaian Jessica yang paling terkenal tentu menjadi seorang pilot wanita tanpa tangan pertama di dunia. Hal ini juga yang membuat Jessica menerima penghargaan Guinness World Record sebagai orang pertama bersertifikat untuk menerbangkan pesawat dengan kedua kaki (www.intisari-online.com).
Tiga cerita tadi menunjukkan bahwa pentingnya dukungan dari keluarga bagi perkembangan remaja. Keluarga yang mendukung ibarat penjaga bagi perkembangan remaja agar berhasil mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Kenyataan yang sering terjadi adalah dukungan keluarga terutama orangtua dan saudara tidak bisa didapatkan secara penuh. Kondisi sekarang dimana orangtua sama-sama disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan di luar rumah sehingga menyebabkan interaksi antara orangtua dan remaja menjadi terbatas. Selain itu hubungan dengan saudara yang tidak harmonis akan menyebabkan remaja merasa tidak diterima di dalam keluarga. Kegagalan remaja dalam menyelesaikan tugas-tugas akan mempengaruhi keyakinan remaja terhadap keberhargaan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika remaja memandang bahwa dirinya memiliki keberhargaan diri yang tinggi maka remaja tersebut mempunyai dorongan yang kuat untuk mencapai sukses, sebaliknya jika remaja merasa keberhargaan dirinya rendah maka remaja tersebut mempunyai dorongan yang rendah atau bahkan tidak memiliki dorongan untuk mencapai sukses.
Ketidaktahuan orangtua mengenai perubahan pada anak remajanya dapat menimbulkan bentrokan dan kesalahpahaman antara remaja dengan orang tua. Hal tersebut tentunya akan mempersulit remaja dalam melewati tahap perkembangannya dengan baik. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai macam gangguan tingkah laku seperti merokok, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, kenakalan remaja, atau gangguan mental lainnya.
Berdasarkan uraian diatas peneliti melihat adanya ketidaksesuaian antara keadaan ideal dari masa remaja dengan kondisi yang sebenarnya dialami remaja, khususnya remaja di Indonesia, berkaitan dengan dukungan sosial keluarga dan self esteem dalam diri remaja. Pada usia remaja, seorang individu seharusnya sudah dapat mengembangkan self esteem yang
baik serta telah mampu mandiri secara emosi dan kognitif sehingga peranan dukungan dan bantuan dari orang lain kurang begitu besar. Namun kenyataannya pengaruh dukungan dari orang-orang terdekat yaitu keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk self esteem dalam diri remaja. Adanya dukungan dari keluarga akan mempengaruhi evaluasi remaja terhadap keberhargaan dirinya sehingga mempengaruhi dirinya dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Perhatian dari keluarga yang tidak penuh akan mengecewakan remaja dan mempengaruhi keberhasilan remaja dalam mengembangkan potensinya untuk berprestasi. Kegagalan berprestasi menyebabkan munculnya perasaan tidak mampu, rendah diri, dan menyerah (Hurlock, 2002). Rendahnya dukungan dari keluarga juga menyebabkan rendahnya dorongan untuk berhasil dan berprestasi akibat perasaan keberhargaan diri yang rendah. Dengan kata lain, remaja tersebut memiliki self esteem yang rendah. Remaja yang mendapat dukungan positif dari keluarga akan memiliki rasa keberhargaan diri yang tinggi sehingga mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik itu akademik maupun potensi yang lainnya. Hal ini tentu berujung pada prestasi dan keberhasilan yang mampu diraih oleh remaja tersebut. Dengan kata lain remaja tersebut memiliki self esteem yang tinggi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan self esteem pada remaja akhir di kota Denpasar.
METODE
Variabel dan definisi operasional
Variabel penelitian merupakan segala bentuk hal yang dipelajari oleh peneliti sehingga diperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan tentang variabel yang ingin diketahui tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini, peneliti menetapkan dua jenis variabel yaitu, variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas merupakan variabel yang sifatnya mempengaruhi maupun yang menjadi penyebab timbulnya perubahan dari variabel dependen atau terikat (Sugiyono, 2009). Variabel bebas pada penelitian ini adalah dukungan sosial keluarga. Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah self esteem.
Definisi operasional dukungan sosial keluarga adalah kenyamanan fisik dan psikologis, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk yang lainnya yang diterima individu dari ayah, ibu, ataupun saudara kandung individu tersebut. Bentuk dukungan sosial keluarga dapat terbagi menjadi empat macam bentuk yaitu dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasional.
Definisi operasional self esteem merupakan penilaian sebagai seorang yang berharga, menghargai diri sendiri, sebagai apa dia sekarang ini, tidak menganggap remeh apa yang dilakukan serta adanya perasaan positif terhadap diri. Dimensi dari self esteem terbagi menjadi tiga dimensi yaitu performance self esteem, social self esteem, dan physical self esteem.
Responden
Populasi merupakan seluruh objek atau variabel yang terkait masalah penelitian (Sugiyono, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja akhir yang ada di kota Denpasar.
Penelitian ini menggunakan teknik Stratified Random Sampling. Teknik Simple Stratified Random Sampling mensyaratkan jumlah unit dalam tiap strata adalah sama, dan juga jumlah unit dari tiap strata dalam sampel juga sama. Dalam strata harus homogen dan antara strata yang satu dengan strata yang lain harus jelas perbedaannya, sehingga tidak ada keraguan kedudukan sebuah unit populasi dalam strata (Zainuddin, 2000). Atau dengan kata lain banyaknya subjek dalam setiap subkelompok atau strata harus diketahui perbandingannya lebih dahulu. Kemudian ditentukan persentase besarnya sampel dari keseluruhan populasi. Persentase atau proporsi ini lalu diterapkan dalam pengambilan sampel bagi setiap subkelompok atau stratanya (Azwar, 2013).
Di Kotamadya Denpasar terdapat empat kecamatan yaitu Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Barat, dan Denpasar Selatan. Pada masing-masing kecamatan tersebut terdapat sekolah menengah atas (SMA). Peneliti mengambil sampel dari sebuah sekolah dari masing-masing kecamatan tersebut.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Stastistik Bali tahun 2010, jumlah remaja akhir (17-19 tahun) di kota Denpasar berjumlah 38769 orang. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa populasi remaja akhir di kota Denpasar berjumlah 38769 orang. Dari hasil perhitungan rumus pendugaan proporsi populasi (Sugiyono, 2009), didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu 395,92. Angka ini kemudian dibulatkan menjadi 396 orang sampel. Jadi, untuk penelitian ini dibutuhkan sampel minimal 396 orang agar hasil penelitian merepresentasikan populasi penelitian ini.
Tempat penelitian
Peneliti memilih sekolah di setiap kecamatan sebagai tempat pengambilan data penelitian yaitu SMA Negeri 1
Denpasar untuk wilayah kecamatan Denpasar Utara, SMA Negeri 3 Denpasar untuk wilayah kecamatan Denpasar Timur, SMA Negeri 6 Denpasar untuk wilayah kecamatan Denpasar Selatan, dan SMA Negeri 4 Denpasar untuk wilayah kecamatan Denpasar Barat.
Alat ukur
Pada pengukuran variabel bebas, peneliti menggunakan kuisioner dukungan sosial keluarga yang diadaptasi dari teori dukungan sosial keluarga Sarafino (2002). Kuisioner terdiri dari 48 aitem pernyataan yang terdiri dari 24 aitem favorable dan 24 aitem unfavorable. Kuisioner menggunakan Skala Likert, dimana terdapat empat pilihan jawaban. Untuk aitem favorable yaitu Sangat Setuju (SS) dengan nilai 4, Setuju (S) dengan nilai 3, Tidak Setuju (TS) dengan nilai 2, Sangat Tidak Setuju (STS) dengan nilai 1. Untuk aitem unfavorable yaitu Sangat Setuju (SS) dengan nilai 1, Setuju (S) dengan nilai 2, Tidak Setuju (TS) dengan nilai 3, Sangat Tidak Setuju (STS) dengan nilai 4.
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah self esteem sehingga untuk mengukur peneliti menggunakan kuisioner self esteem yang diadaptasi dari teori self esteem Heatherton (2003). Kuisioner terdiri dari 54 aitem pernyataan yang terdiri dari 27 aitem favorable dan 27 aitem unfavorable. Kuisioner ini menggunakan Skala Likert, dimana akan disediakan empat pilihan jawaban. Untuk aitem favorable yaitu Sangat Setuju (SS) dengan nilai 4, Setuju (S) dengan nilai 3, Tidak Setuju (TS) dengan nilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan nilai 1. Untuk aitem unfavorable yaitu Sangat Setuju (SS) dengan nilai 1, Setuju (S) dengan nilai 2, Tidak Setuju (TS) dengan nilai 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan nilai 4.
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan surat permohonan ijin penelitian pada tiap sekolah yang menjadi sasaran penelitian. Setelah surat permohonan ijin diterima, peneliti akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu pada tiap-tiap wali kelas untuk mempermudah pendekatan kepada calon subjek. Peneliti mengenalkan diri terlebih dahulu, menyampaikan maksud dan tujuan penelitian serta meminta kesediaan kepada siswa untuk menjadi subjek. Apabila bersedia, selanjutnya akan dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan. Metode pengambilan data adalah menggunakan kuisioner skala dukungan sosial keluarga, kemudian setelah itu responden akan mengisi kuisioner skala self esteem. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran data variabel bebas dan
tergantung hanya satu kali pada satu saat. Pada penelitian ini, peneliti hanya mengumpulkan data-data yang terkait masalah penelitian.
Teknik analisis data
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang akurat dan tepat sesuai dengan tujuan pengukuran tersebut (Azwar, 2010). Validitas mempunyai makna kecermatan pada sebuah pengukuran. Hal tersebut direpresentasikan dengan tidak hanya menampilkan data secara tepat, melainkan alat ukur harus dapat memperlihatkan gambaran yang cermat dari suatu data. Cermat memiliki makna yakni data yang ditampilkan dapat memberikan penjelasan sampai yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan antara satu subjek dengan subjek yang lainnya.
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis pengukuran validitas, yaitu validitas konstruk dan validitas isi. Validitas konstruk tersebut menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur mampu mengukur trait atau konstruk teoritik yang akan diukur peneliti (Azwar, 2010). Suatu aitem dapat dikatakan valid apabila skor corrected total item correlation lebih besar daripada 0,30 (Azwar, 2012). Validitas isi menunjukkan sejauhmana suatu aitem-aitem pada alat ukur dapat mencerminkan keseluruhan konten atau kawasan isi yang hendak diukur secara komprehensif, relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran. Pengukuran terhadap validitas isi dilakukan dengan teknik professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi dan penyesuaian aitem-aitem dalam alat ukur tersebut dengan cetak biru (blue print) atau indikator perilaku yang hendak diukur (Azwar, 2010).
Reliabilitas memiliki makna yang erat dengan keakuratan ataupun ketepatan suatu alat ukur untuk melakukan suatu proses pengukuran (Azwar, 2010). Reliabilitas memiliki beberapa nama lain seperti konsistensi, kestabilan dan sebagainya, akan tetapi reliabilitas mempunyai makna inti yang terkandung yaitu kemampuan suatu alat ukur dapat diandalkan dalam proses pengukuran. Konteks reliabilitas sebagai alat ukur sangat erat kaitannya dengan permasalahan (error) pengukuran. Hal tersebut merajuk pada suatu inkonsistensi hasil pengukuran apabila dilakukan pada kelompok subjek yang sama. Maka dari itu, walaupun alat ukur sebelumnya telah digunakan dalam sebuah penelitian, masih tetap perlu dilakukan komputasi koefisien reliabilitas (Azwar, 2010). Wells & Wollack (dalam Azwar, 2012) menetapkan suatu alat ukur dinyatakan cermat melakukan pengukuran bila memiliki koefisien reliabilitas setidaknya 0,80. Oleh karena itu maka dalam penelitian ini, standar koefisien yang ditetapkan 0,80. Pada penelitian ini, komputasi
dibantu dengan perangkat lunak SPSS 17 dengan menggunakan Formula Alpha dari Cronbach.
Uji asumsi dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas dan uji linearitas. Uji asumsi dilakukan sebagai syarat sebelum melanjutkan ke analisis parametrik.
Uji normalitas dilakukan untuk melihat penyimpangan frekuensi observasi distribusi gejala yang diteliti dari frekuensi teoritik kurva normal, atau untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran skor variabel dukungan sosial keluarga dan variabel self esteem. Uji normalitas sebaran data penelitian akan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov. Data dalam penelitian dapat dikatakan berdistribusi normal apabila memiliki nilai p > 0,05 (Sugiyono, 2010).
Uji linearitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah secara signifikan dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak (Sugiyono, 2010). Sebelum melanjutkan ke uji analisis korelasi ataupun regresi linier, uji linearitas merupakan syarat untuk memenuhi prosedur statistik tersebut. Dua variabel dapat dikatakan memiliki hubungan linear apabila taraf signifikansi (Linearity) kurang dari 0,05 (p<0,05) (Sunyoto, 2011).
Analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengolah data yang diperoleh sehingga didapatkan suatu kesimpulan (Azwar, 2010). Metode analisis data yang digunakan adalah analisis statistik dan untuk menganalisis data penelitian yang telah diperoleh menggunakan analisis regresi sederhana dengan program analisis statistik komputer yaitu Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 17. Metode analisis regresi sederhana digunakan untuk menentukan bentuk hubungan antara dukungan sosial keluarga terhadap self esteem. Selain itu metode ini digunakan untuk memprediksi variasi yang terjadi pada variabel tergantung, serta bertujuan untuk mengukur besarnya sumbangan efektif yang dapat diberikan oleh variabel dukungan sosial keluarga terhadap self esteem pada remaja akhir di kota Denpasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel dukungan sosial keluarga dengan self esteem. Analisis regresi sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel bebas dan satu variabel tergantung (Sugiyono, 2009).
HASIL PENELITIAN
Hasil dari pengujian analisis validitas aitem skala dukungan sosial keluarga didapatkan hasil korelasi antara skor-skor aitem dengan skor total yang mana nilai korelasi pada skala tersebut adalah berkisar antara 0,322 sampai dengan 0,663. Dari 48 aitem, tidak terdapat aitem yang gugur atau semua aitem valid pada skala dukungan sosial keluarga dengan koefisien validitas berkisar dari skor 0,322 sampai dengan 0,663. Dari hasil pengujian reliabilitas skala dukungan
sosial keluarga pada uji coba diperoleh koefisien alfa (α) pada skala dukungan sosial keluarga adalah 0,943, hal tersebut menunjukkan bahwa alat ukur dukungan sosial keluarga yang telah diuji tersebut layak digunakan sebagai alat ukur. Koefisien alfa (α) sebesar 0,943 ini juga menunjukkan bahwa skala ini mampu mencerminkan 94,3% variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur atribut dukungan sosial keluarga pada remaja.
Hasil dari pengujian validitas aitem skala self esteem didapatkan hasil korelasi antara skor-skor aitem dengan skor total yang mana nilai korelasi pada skala tersebut adalah berkisar antara 0,311 sampai dengan 0,575. Dari 54 aitem, tidak terdapat aitem yang gugur atau semua aitem valid pada skala dukungan sosial keluarga dengan koefisien validitas berkisar dari skor 0,311 sampai dengan 0,575. Dari hasil pengujian reliabilitas skala self esteem pada uji coba diperoleh koefisien alfa (α) pada skala self esteem adalah 0,940, hal tersebut menunjukkan bahwa alat ukur self esteem yang telah diuji tersebut layak digunakan sebagai alat ukur. Koefisien alfa (α) sebesar 0,940 ini juga menunjukkan bahwa skala ini mampu mencerminkan 94,0% variasi yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur atribut self esteem pada remaja.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode regresi linier sederhana dalam pengujian hipotesis yang telah diajukan sebelumnya. Maka sebelum dilakukan analisis data, penting untuk dilakukan uji normalitas dan uji linearitas sebagai syarat dalam penggunaan analisis regresi.
Hasil uji normalitas penelitian ini bahwa variabel dukungan sosial keluarga dalam penelitian ini mempunyai distribusi normal. Hal tersebut dapat dilihat dari uji normalitas pada variabel dukungan sosial keluarga yang menghasilkan koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 1,051 dengan P=0,219 (p>0,05). Pada variabel self esteem juga mempunyai distribusi data normal. Hal tersebut dapat dilihat dari uji normalitas pada variabel self esteem menghasilkan koefisien Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,783 dengan P=0,572 (p>0,05). Setelah melihat dari uji normalitas, dapat diketahui bahwa kedua sebaran kedua data, baik dari variabel dukungan sosial keluarga dan variabel self esteem memiliki signifikansi (P) lebih besar dari 0,05. Melihat hasil tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa data penelitian ini memiliki distribusi normal. Data yang memiliki distribusi normal telah memenuhi syarat analisis parametrik dan dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
Hasil uji linearitas antara variabel dukungan sosial keluarga dengan self esteem menunjukkan bahwa ada hubungan yang linear. Hal itu ditunjukkan dari p=0,000 atau memiliki taraf signifikansi untuk linearitas lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Data yang linear telah memenuhi syarat untuk
melakukan analisis parametrik yaitu uji korelasi dan regresi linier.
Tabel 1. Uji Regresi Liuier variabel Dukttugan Sosial Keluarga dengan SelfEsteem
Unstandardized Standardized
Coefficients_______Coefficients
Model |
B |
Std. Error |
Beta |
T |
⅜ |
1 |
(Constant) 76.193 |
6.701 |
11,371 |
0.000 | |
Dukungan 0.509 |
0.042 |
0.518 |
12.199 |
0.000 | |
Sosial | |||||
Keluarga |
a. DepeiideiitVaiiable: SelfEsteem
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (12,199 > 1,960) yang berarti hipotesis dalam penelitian ini diterima, yaitu ada hubungan signifikan dan positif antara dukungan sosial keluarga dengan self esteem pada remaja akhir di kota Denpasar.
Tabel diatas juga menunjukkan besarnya nilai konstanta dan variabel bebas yaitu dukungan sosial keluarga untuk memprediksi variasi yang terjadi pada variabel tergantung yaitu self esteem remaja melalui persamaan garis regresi. Berdasarkan tabel diatas, persamaan garis regresi untuk penelitian ini adalah Y = 76,193 + 0,509X, yang berarti kenaikan dari dukungan sosial keluarga akan diikuti oleh kenaikan self esteem sebesar 0,509.
Tabel 2. Kategorisasi Subjek pada Skala Dukungan Sosial Kelnarga
Variabel |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase |
Dukungan Sosial Keluarga |
X <96 96<X< 144 144 < X |
Rendah Sedang Tinggi |
2 orang 70 orang 336 orang |
0.5 % 17,2 % 82.4 % |
Jumlah |
408 orang |
100 % |
Analisis kategorisasi pada skala dukungan sosial keluarga menunjukkan bahwa subjek yang termasuk dalam kategori rendah ada 0,5 %, kategori sedang ada 17,2 %, dan ketegori tinggi 82,4 %.
Tabel 3. Kategorisasi Subjek pada Skala SelfEsteem
Variabel |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase |
X< 108 |
Rendah |
1 orang |
0.2 % | |
SelfEsteem |
108≤X<162 |
Sedang |
244 orang |
59,8 % |
162 ≤ X |
Tinggi |
163 orang |
40.0 % | |
Jiunlah |
408 orang |
100% |
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Dalam penelitian ini dilakukan pengujian hipotesis dari peneliti yang menyatakan terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga terhadap self esteem pada remaja akhir di kota Denpasar. Untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti melakukan analisis statistik dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana.
Melalui analisis tersebut diperoleh hasil berupa koefisien korelasi (r) antara variabel dukungan sosial keluarga dan variabel self esteem sebesar 0,518 dengan angka probabilitas sebesar 0,000 (p<0,01). Angka tersebut berarti bahwa kedua variabel tersebut saling berkorelasi positif secara signifikan, artinya jika terjadi peningkatan pada variabel dukungan sosial keluarga maka akan terjadi peningkatan juga terhadap variabel self esteem. Hasil penelitian diatas sejalan dengan hasil penelitian dari Felson & Zielinski (dalam Lestari,
2012) yang mengungkapkan bahwa dukungan keluarga berdampak positif terhadap self esteem pada remaja. Dukungan keluarga mencerminkan keluarga tanggap atas kebutuhan remaja dan ini merupakan hal yang penting bagi remaja. Dukungan keluarga membuat remaja merasa nyaman terhadap kehadiran keluarga dan menegaskan dalam benak remaja bahwa dirinya diterima dan diakui sebagai individu.
Dukungan sosial keluarga adalah keberadaan keluarga yang bisa diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan, dan penerimaan apabila individu mengalami kesulitan (Johnson & Johnson, 1991). Tersedianya dukungan sosial keluarga memberikan pengalaman kepada individu bahwa dirinya diperhatikan, dihargai, dipenuhi kebutuhannya dan diberi bimbingan. Kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu melalui dukungan sosial keluarga adalah salah satu sumber self esteem (Coopersmith, 1967).
Pada masa remaja, remaja secara sadar ataupun tidak sadar menginginkan hubungan yang kuat dengan orang tua dan saudara-saudaranya (Cohen and Willis, dalam Baldwin & Hoffmann, 2002). Sejalan dengan teori perkembangan self esteem, hubungan keluarga yang kuat berpengaruh secara positif terhadap self esteem individu sepanjang waktu. Remaja dengan dukungan sosial keluarga yang tidak memadai cenderung rentan terhadap masalah kesehatan mental, terbelakang perkembangan sosialnya, dan rendahnya kesejahteraan pribadinya. Remaja dengan hubungan keluarga yang lemah tidak mampu mengatasi stres secara efektif dan hal tersebut menyebabkan self esteem yang rendah. Meskipun hubungan keluarga (termasuk dukungan sosial keluarga) belum tentu dibutuhkan dalam menghadapi stres, namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa remaja dengan hubungan keluarga yang kuat memiliki self esteem yang lebih tinggi daripada remaja dengan hubungan keluarga yang lemah (Baldwin & Hoffmann, 2002). Korelasi positif yang didapatkan dalam penelitian ini antara dukungan sosial keluarga terhadap self esteem pada remaja menunjukkan bahwa teori-teori tersebut sejalan dengan kenyataannya.
Dalam penelitian ini dapat diketahui nilai koefisien determinasi (r2) sebesar 0,268, nilai ini memiliki arti bahwa sumbangan variabel dukungan sosial keluarga terhadap variabel self esteem pada remaja di kota Denpasar yaitu sebesar 26,8%. Sedangkan 73,2% dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel dukungan sosial keluarga.Menurut Coopersmith (1967) faktor-faktor lain yang mempengaruhi self esteem yaitu faktor-faktor lain seperti pengalaman, nilai dan aspirasi, kemampuan bertahan dari seorang individu, dan faktor significant others dalam kehidupan remaja. Faktor significant others yang dimaksud disini yaitu lingkungan teman sebaya (peers) dari remaja tersebut. Peran peers dalam bentuk penghargaan, penerimaan, dan perhatian berpengaruh pada self esteem remaja.
Pada deskripsi data penelitian tampak bahwa variabel dukungan sosial keluarga diperoleh mean teoritis sebesar 120 dan mean empiris sebesar 159,566. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi (mean teoritis < mean empiris). Demikian juga untuk variabel self esteem, memiliki mean teoritis 135 dan mean empiris 157,444 sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek dalam penelitian ini memiliki self esteem yang tinggi pula (mean teoritis < mean empiris). Melalui uraian hasil deskripsi data penelitian, tampak bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki dukungan sosial keluarga dan self esteem yang tinggi.
Dari hasil kategorisasi pada skala dukungan sosial keluarga menunjukkan bahwa subjek yang termasuk dalam kategori tinggi ada 336 orang (82,4%), kategori sedang ada 70 orang (17,2%), dan kategori rendah ada 2 orang (0,5%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa remaja di kota Denpasar yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi. Kategorisasi skor subjek pada skala self esteem menunjukkan bahwa subjek yang termasuk dalam kategori tinggi ada 163 orang (40%), kategori sedang ada 244 (59,8%), dan kategori skor rendah ada 1 orang (0,2%). Hal ini menunjukkan bahwa remaja di kota Denpasar yang menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki self esteem yang sedang. Dukungan sosial keluarga pada penelitian ini menunjukkan bahwa subjek memiliki dukungan sosial keluargayang tinggi, sementara self esteem subjek tergolong sedang. Hal ini tidak terlalu masalah karena pada dasarnya, tingkat self esteem yang tinggi dan tingkat self esteem yang sedang hampir identik. Perbedaan antara tingkat self esteem tinggi dan tingkat self esteem sedang terletak pada ketergantungan terhadap penerimaan sosial individu. Individu yang memiliki tingkat self esteem sedang membutuhkan penerimaan sosial yang lebih dibandingkan dengan individu yang memiliki self esteem yang tinggi. Oleh karena itu, individu dengan self esteem yang sedang lebih aktif mencari penerimaan sosial daripada individu dengan self esteem yang tinggi. Selebihnya, pada individu dengan tingkat self esteem yang tinggi maupun sedang, mengandung nilai-nilai positif yang hampir sama (Coopersmith, 1967).
Dengan demikian, setelah melalui prosedur penelitian dan analisis data yang sesuai, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial keluarga terhadap self esteem remaja akhir di kota Denpasar, yang ditunjukkan dengan nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel (12,199 > 1,960) yang berarti hipotesis dalam penelitian ini diterima, yaitu ada hubungan signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan self esteem pada remaja akhir di kota Denpasar.
Saran praktis yang dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu keluarga diharapkan memberikan dukungan sosial kepada remaja agar memiliki
self esteem yang tinggi dalam perkembangannya, dan dalam menghadapi perkembangan remaja, keluarga diharapkan memiliki sumber referensi yang mampu mengawal perkembangan dan mengedukasi remaja agar bertumbuh kembang secara optimal.
Saran bagi peneliti selanjutnya yang dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu, pertama mengacu pada nilai koefisien determinasi sebesar 0,268 yang berarti bahwa sumbangan yang diberikan oleh variabel dukungan sosial keluarga terhadap variabel self esteem yaitu sebesar 26,8% dan selebihnya 73,2% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Maka disarankan kepada peneliti selanjutnya yang meneliti topik yang berhubungan dengan self esteem agar mengkaji faktor-faktor lain seperti pengaruh significant others (terutama kelompok teman sebaya), pengalaman kesuksesan, nilai dan aspirasi, dan kemampuan bertahan dari seorang individu. Kedua, berdasarkan hasil kategorisasi subjek pada skala dukungan sosial keluarga, subjek dominan berada pada kategori tinggi (82,4%), sedangkan pada self esteem subjek dominan berada pada kategori sedang (59,8%). Hasil tersebut jika disesuaikan dengan hasil korelasi yakni jika subjek dalam penelitian memiliki tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi maka diikuti dengan tingkat self esteem yang tinggi tidak terpenuhi oleh subjek penelitian. Perbedaan tersebut tidak begitu signifikan namun tetap menjadi keterbatasan dalam penelitian ini karena hal tersebut belum dapat diketahui penyebabnya. Oleh sebab itu bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan pengkajian lebih mendalam mengapa pada dukungan sosial remaja yang cenderung tinggi diikuti dengan self esteem remaja yang cenderung sedang
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2010. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2013. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baldwin, Scott A., & John P. Hoffmann. 2002. The Dynamic of Self Esteem. Journal of Youth and Adolescence, Vol. 21, No. 2, April 2002 by Kluwer Academic Publishers.
Baron, R. A & Bryne, D. 2000. Psikologi Sosial. Alih Bahasa: Michael Adriyanto. Jakarta: Raja Grafindo.
Calhoun, J.F. Acocella, J.R. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Alih bahasa: Satmoko: IKIP Semarang Press.
Centi, P.J. 1995. Mengapa Rendah Diri. Yogyakarta: Kanisius.
Coopersmith, S. 1967. The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco : W.H. Freeman.Company.
Duffy, K. G. & F. Y. Wong. 2003. Community Psychology (3rd edition). United states of America: Pearson Education, Inc.
Harlyan, L. I. 2012. Uji Hipotesis. Departemen Sumber Daya Perikanan Universitas Brawijaya. Akses:23 April 2013, http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/files/2012/11/PE NGUJIAN-HIPOTESIS.pdf
Hasan, Iqbal. 2005. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta: Bumi Aksara.
Heatherton, Todd F., dan Carrie L. Wyland. 2003. Positive Psychological Assesment: A Handbook of Models and Measures.Washington, DC, US: American Psychological Association
Hurlock, E. B. 2002. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Airlangga.
Johnson. D. W, Johnson F. (1991). Joining Together. Group and Group Skill. Fouth Edition. Englewood Cliffts. Prentice Hall Inc.
Kail, R.V. & Cavanaugh, J.C. 2000. Human Development: A Life Span View (2nd ed.). Canada: Wadsworth &Thompson Learning.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Majalah Intisari edisi 598. Berjuang Dari Titik Nol. Jakarta: Gramedia Majalah
Makmun, Abin Syamsudin. 2007. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Orford, J. 1992. Community Psychology: Theory and Practice. England: John Wiley & Sons.
Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds, & Ruth Duskin Feldman. 2009. Human Development, edisi 10, buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, J. W. 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sarafino, E.P . 2002. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction (4th ed.). New York: John Wiley.
Sarwono, Sarlito W. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press.
Shore, Kenneth. 2007. The Student with Low Self Esteem Available at: http://www.education-
world.com/a_curr/shore/shore059.shtml (Diakses 1 Maret 2013)
Sugiyono. 2009. MetodelogiPenelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta.
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Sunyoto, Danang. 2011. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta: CAPS.
Suryabrata, Sumadi. 1999. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Surono, Agus. 2012. Pilot Wanita Tanpa Tangan. www.intisari-online.com diakses pada 27 Juni 2013
Syam, Nur. 2012. Peran Generasi Muda Bagi Bangsanya Available at: http://nursyam.sunan-
ampel.ac.id/?p=115 (Diakses 16 Maret 2013).
Trzesniewski, Kali H., M. Brent Donnellan, Terrie E. Moffitt, Richard W. Robins, Richie Poulton, & Avshalom Caspi. 2006. Low Self Esteem During Adolescence Predicts Poor health, Criminal behavior, and Limited Economic Prospects During Adulthood. Journal of developmental Psychology Vol. 42, No. 2, 381-390. Copyright 2006 by the American Psychological Association.
United Nation Development Program (UNDP). 2011. Human Development Report 2011 Sustainability and Equity: A Better Future for All Available at: http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2011/ (Diakses 16 Maret 2011)
Utari, Rahmania. 2007. Upaya Sekolah Dalam Pembentukan Self Esteem Siswa Melalui Pembelajaran. Dinamika pendidikan No.1 /Th. XIV/Mei 2007.
Widanarti, Niken, dan Aisah Indati. 2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Self-Efficacy pada Remaja di SMU Negeri 9 Yogyakarta. Yogyakarta: Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi UGM No.2, 112-123.
Zainuddin, M. 2000. Metodelogi Penelitian. Diktat
62
Discussion and feedback