Jurnal Psikologi Udayana

Edisi Khusus Psikologi Umum, 12-24


Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

ISSN: 2354 5607

PENGARUH MENARI TARI BALIH-BALIHAN TERHADAP HARGA DIRI REMAJA TUNARUNGU DI SLB B BALI

Ni Luh Indah Desira Swandi dan Tience Debora Valentina Sinaga

Program Studi Sarjana Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana [email protected]

Abstrak

Remaja tunarungu memiliki karakteristik yang berbeda dalam berbicara dan berbahasa (Efendi, 2009). Perbedaan tersebut menyebabkan remaja tunarungu sulit untuk berinteraksi serta menghadapi tugas perkembangan remaja sehingga remaja merasa terisolasi dan memiliki harga diri yang rendah (Halimah & Elcamila, 2010). Salah satu cara meningkatkan harga diri adalah dengan menari, sebagai bentuk ekspresi diri dan pengembangan terhadap keyakinan akan kemampuan diri (Branden, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh menari Tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu di Bali.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah two stages cluster sampling. Subjek dalam penelitian berjumlah 40 orang yaitu siswa tunarungu SLB B di Bali yang berusia 11-24 tahun. Metode yang digunakan adalah metode penelitian ex post facto. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala harga diri yang disusun berdasarkan aspek harga diri oleh Coopersmith. Pada variabel menari dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan eksperimen, dalam hal ini kelompok eksperimen telah melakukan kegiatan menari sebagai kegiatan wajib di sekolah. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik Independent Sample T-Test.

Uji validitas pada skala harga diri menunjukan terdapat 20 item yang valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,384. Hasil analisis data menunjukan bahwa sebaran data normal dan homogen. Nilai t adalah sebesar 1,542 dengan nilai probabilitas sebesar 0,131 (p>0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh menari Tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu di Bali.

Kata Kunci: Menari tari Balih-balihan, harga diri, remaja tunarungu

Abstract

Deaf adolescent has different characteristics in speech and language (Effendi, 2009). These differences cause difficulties in interacting and dealing with adolescent developmental tasks so that adolescent feels isolated and has low self-esteem (Halimah & Elcamila, 2010). One way to improve self-esteem is by dancing, as a form of selfexpression and development of confidence in the self competence (Branden, 2005). This study aimed to determine the effect of dancing Balih-balihan toward self esteem of deaf adolescent in Bali.

The sampling technique used in this study is two stages cluster sampling. Subjects of this research are 40 deaf students of SLB B in Bali, from age 11-24 years old. The research method that used is ex post facto. Data is collected by using scale of self-esteem based on aspects by Coopersmith. The dance variable is divided into two groups named the control and the experimental group, in this case the experimental group has been doing dance activity as a compulsory activity in schools. Data were analyzed by using Independent Sample T-Test.

The validity test shows there are 20 valid items with a reliability coefficient of 0.384. The result of data analysis shows data distribution is normal and homogeneous. Independent Sample T-Test results t values 1.542 with a probability value 0.131 (p> 0.05). It means there is no significant effect of dancing Balih-balihan toward self-esteem of deaf adolescent in Bali.

Keywords: Dancing Balih-balihan, self-esteem, deaf adolescent

LATAR BELAKANG

Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sangat besar. Berdasarkan hasil survey Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2009, sekitar 0,55 persen anak berusia 0-17 tahun adalah penyandang cacat. Survey yang dilakukan pada penyandang cacat atau disebut pula anak berkebutuhan khusus (ABK) meliputi tuna netra, tunarungu, tuna wicara, tuna grahita, tuna ganda, cacat jiwa dan cacat tubuh (Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BPS, 2011). Dari 439.000 jiwa penyandang cacat , 5,15 persennya merupakan tunarungu. Jumlah individu dengan karakteristik tunarungu di Bali tidak sedikit. Dari seluruh Sekolah Luar Biasa B yang berada di bawah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali didapatkan hasil jumlah siswa tunarungu yang berada di bangku Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) tahun 2012 adalah sebanyak 429 orang (Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, 2012). Sementara jumlah siswa tunarungu yang duduk di bangku SMPLB dan SMALB yang merupakan kelompok usia remaja adalah sebanyak 169 orang.

Individu tunarungu adalah orang yang mengalami gangguan pada organ pendengarannya sehingga mengalami ketidakmampuan mendengar, mulai dari tingkat ringan sampai berat sekali (Hernawati, 2007). Secara fisiologis, struktur telinga manusia dibedakan menjadi dua bagian yaitu organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan organ telinga yang berfungsi sebagai penerima (Efendi, 2009). Organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar meliputi bagian telinga luar, tengah, dan sebagian telinga dalam. Organ telinga sebagai penerima meliputi sebagian telinga bagian dalam, saraf pendengaran, dan sebagian dari otak yang mengatur persepsi bunyi. Efendi lebih lanjut menjelaskan bahwa proses pendengaran dikategorikan normal apabila sumber bunyi di dekat telinga yang memancarkan getaran-getaran suara dan menyebar ke segala arah dapat tertangkap dan masuk ke telinga sehingga membuat gendang telinga bergetar. Sementara itu, jika dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar , organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan , atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, keadaan tersebut dikenal dengan berkelainan pendengeran atau tunarungu.

Berdasarkan kriteria International Standar Organization klasifikasi anak kehilangan pendengaran atau tunarungu dapat dikelompokan menjadi tuli (deafness) jika kehilangan kemampuan pendengaran 70 dB atau lebih sehingga kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar dan kelompok lemah pendengaran (hard of hearing) jika kehilangan

kemampuan mendengar 35-69 dB sehingga mengalami kesulitan mendengar orang lain secara wajar , namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain (Kirk & Moores dalam Efendi, 2009).

Kehilangan pendengaran pada individu yang tunarungu akan sangat berdampak pada kemampuan berbicara dan berbahasa. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasaannya (Efendi, 2009). Pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi individu akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Kedua hal inilah yang dapat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan merupakan masalah utama. Hal yang sejalan juga diungkapkan oleh Hernawati (2007) bahwa ketunarunguan yang dialami tidak hanya menyebabkan ketidakmampuan berbicara tetapi lebih dari itu menyebabkan ketidakmampuan berbahasa yaitu individu yang tunarungu tidak dapat memahami lambang atau simbol pada lingkungan untuk mewakili benda, peristiwa, perasaan, serta tidak memahami sistem atau tata bahasa. Individu yang tunarungu tidak mampu mengembangkan komunikasi secara verbal atau lisan seperti orang pada umumnya dimana menggunakan komunikasi verbal atau lisan sebagai bentuk interaksi utama. Individu yang tunarungu lebih sering menggunakan bahasa nonverbal dan bahasa tulisan dalam berkomunikasi.

Komunikasi merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia . Komunikasi adalah proses dimana individu (komunikator) mengirimkan rangsangan atau stimulus (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individu lainnya (Hovland, Janis& Kelly dalam Syam, 2011). Komunikasi digunakan sebagai dasar individu melakukan interaksi secara personal maupun sosial. Dengan komunikasi, khususnya verbal memungkinkan individu untuk melakukan interaksi karena adanya proses pemahaman yang sama mengenai lambang sehingga individu dapat mengerti hal yang diungkapkan oleh individu lainnya. Pemahaman akan lambang ini akan memungkinkan adanya penyampaian pendapat, pikiran, perasaan kepada orang lain.

Melihat pentingnya kemampuan bahasa dan bicara menjadikan aspek bahasa dan bicara sebagai proritas utama dalam pendidikan tunarungu. Santoso (2012) menyatakan bahwa untuk mencapai pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu Metode Maternal Reflektif (MMR) yang terdiri dari kegiatan percakapan, menyimak, membaca, menulis dan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) yang bertujuan untuk memaksimalkan sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi anak. Soemantri (dalam Astutik, 2009) mengemukakan bahwa media komunikasi dan penerimaan

bahasa yang dapat digunakan bagi anak tunarungu adalah media tulisan (bacaan) dan membaca sebagai penerimaannya, menggunakan isyarat sebagai media komunikasi, serta bagi anak tunarungu yang masih mampu bicara tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai penerimaan.

Ketidakmampuan dalam berbahasa dan bicara yang dimiliki membuat individu yang tunarungu kesulitan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses komunikasi yang terjalin antara anak dengan lingkungannya akan menentukan harmonis tidaknya perkembangan sosial dan kepribadian seorang anak tunarungu, dalam hal ini seringkali individu yang tunarungu mengalami permasalahan dalam perkembangan tersebut (Semiawan & Mangunsong, 2010). Sementara itu, anak tunarungu akan beranjak menjadi remaja yang membutuhkan kematangan emosi dan penyesuaian sosial untuk menghadapi tugas-tugas perkembangan yang semakin kompleks. Remaja menurut Santrock (2007) adalah individu berada pada periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Di Indonesia, Sarwono (2011) membatasi usia remaja yaitu 11- 24 tahun dan belum menikah dengan berbagai pertimbangan yang mencakup pertimbangan fisik, psikoseksual, kognitif, moral, adat, serta ketergantungan dengan orang tua secara sosial ekonomi.

Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2006) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan remaja yaitu menerima keadaan jasmaniah atau perkembangan aspek-aspek biologis, menerima peran jenis, persiapan kawin dan mempunyai keluarga, belajar lepas dari orang tua secara emosional, belajar bergaul dengan kelompok wanita/laki-laki, belajar bertanggung jawab sebagai warga Negara dan tanggung jawab sosial, perkembangan nilai secara sadar, mendapatkan pandangan hidup sendiri, persiapan mandiri secara ekonomis dan latihan jabatan, merealisasi suatu identitas dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri. Apabila remaja tidak mampu menjalankan tugas-tugas perkembangan ini maka konsep diri (self concept) dan harga diri (self esteem) akan turun karena mendapat kecaman atau celaan dari masyarakat sendiri (Monks, Knoers & Haditono, 2006). Hal sejalan juga diungkapkan oleh Barber (dalam Lestari, 2008) bahwa harga diri dapat dijadikan penanda berhasil atau tidaknya menjalani periode remaja.

Ketidakmampuan mendengar yang dimiliki menyebabkan individu yang tunarungu tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi secara verbal dan menjalankan tugas perkembangan dengan baik sehingga dapat mengakibatkan tekanan emosi, menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan (Halimah & Elcamila, 2010). Tidak hanya itu,

dalam tulisannya Simarmata (2009) menyatakan perasaan rendah diri dapat menimbulkan niat untuk melakukan bunuh diri seperti kasus yang dialami oleh salah satu individu tunarungu yang berasal dari Medan. Karena tidak tahan dengan kondisi yang membuatnya merasa sepi, remaja tersebut tumbuh menjadi individu yang minder, pendiam, dan mudah tersinggung sehingga timbul keinginan bunuh diri tersebut (Simarmata, 2009).

Di Bali sendiri juga terdapat banyak kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh remaja tunarungu. Salah satu kasus terjadi pada remaja tunarungu di SLB B di Bali yang melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali. Percobaan bunuh diri yang dilakukan dipicu oleh permasalahan tentang percintaan. Namun, setelah ditelusuri tindakan tersebut lebih disebabkan karena penolakan yang diterima dari orang tua maupun orang terdekat Orang tua remaja tersebut menyekolahkan anak mereka jauh dari tempat tinggal sehingga mengharuskan remaja tinggal di asrama sekolah. Orang tua remaja tersebut jarang menghubungi anaknya dan dari situ tampak penolakan terhadap keadaan anaknya (Desira, 2012).

Sikap-sikap asosial, menarik diri, bunuh diri disebabkan karena ketidakmampuan yang dimiliki berkaitan dengan harga diri yang rendah. Harga diri adalah evaluasi pribadi dari keberhargaan dan keberartian diri sebagai individu yang mengukur seberapa besar seseorang menghargai dirinya secara fisik, emosional, intelektual, moral (Annastasia, 2006). Coopersmith (dalam Henggaryadi & Fakrurrozi, 2008) menyatakan harga diri adalah sikap evaluatif terhadap diri sendiri. Harga diri mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan mengindikasi keyakinan individu sebagai seorang yang mampu, berarti, sukses, berhasil, serta berharga. Aspek-aspek harga diri menurut Coopersmith (dalam Halimah&Elcamila, 2010) terdiri dari: a) power (kekuasaan), kemampuan untuk mengatur tingkah laku seseorang yang ditandai dengan rasa hormat yang diterima dari orang lain; b) significance (keberartian), kepedulian, perhatian yang diterima individu dari orang lain sebagai tanda penerimaan atas keadaannya; c) virtue (kebajikan), ketaatan melakukan hal-hal berdasarkan standar moral yang berlaku; d) competence (kompetensi), kemampuan untuk berprestasi yang ditunjukan dengan keberhasilan dalam mengerjakan tugas dengan baik.

Branden (2005) mengatakan bahwa harga diri merupakan kebutuhan, yang memberikan kontribusi yang penting dalam proses kehidupan menuju perkembangan yang normal dan sehat serta memiliki nilai bertahan hidup. Kurangnya penghargaan diri dapat menghambat pertumbuhan psikologis dimana seseorang tidak mampu bertahan dalam menghadapi kesukaran hidup, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan keyakinan dalam pikiran sehingga muncul kecemasan, keputusasaan, dan rasa frustasi sebaliknya harga diri yang tinggi memberikan ketahanan, kekuatan, motivasi,

dan memungkinkan regenerasi. Selain itu memungkinkan seseorang untuk siap menghadapi kesukaran-kesukaran dalam karir atau kehidupan pribadi.

Banyak cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan harga diri. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Mubin (2009) mengenai terapi kognitif pada subjek harga diri rendah menunjukan bahwa setelah diberikan terapi kognitif harga diri subjek meningkat. Hal ini menunjukkan terapi kognitif efektif untuk meningkatkan harga diri individu. Namun, kemungkinan terapi ini sulit untuk diterapkan pada remaja tunarungu mengingat keterbatasan yang dimiliki dalam bahasa dan bicara. Penelitian yang menunjukan bahwa harga diri dapat ditingkatkan melalui terapi menari (Dance Movement Therapy) dilakukan oleh Corteville (2009). Hal ini dibuktikan melalui penelitian pada remaja berusia 18 tahun yang diberikan perlakuan atau terapi oleh Corteville. Seseorang bebas mengungkapkan apa yang dirasakan, mengungkapkan segala ekspresi melalui gerakan. Dengan mampu menghasilkan gerakan tersebut seseorang akan menghargai tubuhnya, melihat dirinya secara positif, dan kemudian menghargai dirinya (Corteville, 2009).

Harga diri yang rendah pada remaja tunarungu yang bersumber dari ketidakmampuan berkomunikasi terutama secara verbal dapat ditingkatkan melalui memaksimalkan gerakan nonverbal. Menurut penelitian Hanna (dalam Hapsari 2010) tentang bahasa nonverbal sebagai pembelajaran kurikulum pendidikan tari menjelaskan, bahwa tari juga sebagai komunikasi nonverbal dapat mengungkapkan ekpresi jiwa dan pikiran, serta ekspresi tubuh dalam tari sebagai perpaduan antara bentuk komunikasi dan kognitif. Tubuh seperti berbicara, dan penggabungan antara tubuh, emosi, dan kognisi dapat menciptakan komunikasi efektif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2010) kecemasan berbicara di depan umum dapat diminimalkan dengan pelatihan tari kontemporer. Kecemasan berbicara terjadi karena ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri dan mengungkapkan apa yang diinginkan remaja. Hal ini sejalan dengan kesulitan atau ketidakmampuan yang dialami tunarungu untuk mengungkapkan kehendak, pikiran dan perasaannya akibat ketidakmampuan bicara dan berbahasa (Astutik, 2010).

Penelitian tentang menari pada penyandang tunarungu telah banyak dilakukan. Salah satu penelitian dilakukan oleh Yetti (2011) tentang peningkatan ketajaman pendengaran melalui pembelajaran tari pendidikan. Menurut Yetti, menari dapat membantu tunarungu dalam mempersepsikan bunyi atau merasakan tentang bunyi. Gerakan atau ekspresi motorik tubuh pada tarian diintegrasikan dengan irama yang ada pada tari tersebut sehingga penyandang tunarungu sadar bahwa dalam setiap gerakan akan menghasilkan bunyi.

Selain itu penelitian dilakukan pula oleh Sadjaah (2006) mengenai penguasaan keterampilan menari melalui latihan kelenturan gerak pada anak tunarungu. Menurut Sadjaah anak tunarungu memiliki masalah dalam kelenturan gerakan dan keseimbangan gerakan yang diakibatkan kerusakan pada daerah telinganya. Oleh karena itu diperlukan latihan kelenturan gerak untuk memudahkan anak untuk bergerak dan menguasai gerakan tarian yang bervariasi. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kelenturan gerak dengan penguasaan tari dimana semakin tinggi kelenturan gerak semakin tinggi penguasaan tari begitu pula sebaliknya.

Penelitian juga dilakukan oleh Tsimaras,dkk (2010) mengenai efek dari program pelatihan tari tradisional terhadap kebugaran fisik pada dewasa yang kehilangan pendengaran. Hasil dari penelitian ini adalah dewasa yang kehilangan pendengaran dapat meningkatkan kebugaran fisik yaitu kapasitas erobik dan kekuatan otot dengan penerapan program tari tradisonal yang terancang dengan baik dan sistematis. Tsimaras, dkk (2010) mengatakan tari adalah salah satu aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan fisik dan psikologis individu yang kehilangan pendengaran karena memiliki banyak jenis tarian.

Berdasarkan pengamatan, salah satu siswa tunarungu SLB B di Bali telah menjadikan menari sebagai hobi (Desira, 2012). Tidak hanya di sekolah, siswa tersebut juga tergabung dalam yayasan seni di Bali sehingga dapat melakukan kegiatan pementasan di berbagai tempat, khususnya pementasan tari Balih-balihan secara reguler di Garuda Wisnu Kencana (Gunadi, 2011). Dari kegiatan pementasan yang dilakukan, siswa tersebut tidak hanya merasa senang karena dapat menari melainkan juga mendapatkan penghasilan dari kegiatan tersebut.

Tari adalah gerakan nonverbal yang dapat mengintegrasikan perasaan dan pikiran. Gerakan yang muncul dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaan sehingga menimbulkan kepercayaan diri terhadap kemampuan. Tari Bali memiliki keunikan dalam gerakan dan sangat ekspresif karena mengutamakan ungkapan ekspresi wajah dalam setiap gerakan yang secara jelas membedakannya dengan tari lainnya (Bandem, 1985). Dilihat dari fungsinya tari Bali dibedakan menjadi tari Wali, tari Bebali, dan tari Balih-balihan (Bandem, 1985). Tari Wali dan Bebali biasanya digunakan dalam kegiatan upacara sedangkan tari Balih-balihan adalah segala seni tari yang mempunyai unsur dan dasar dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari Wali ataupun tari Bebali serta mempunyai fungsi sebagai seni serius dan seni hiburan. Tari Balih-balihan dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman karena tidak terlalu terikat oleh gerakan-gerakan sakral. Jenis tari Balih-balihan yang berkembang di Bali sangat banyak seperti tari Janger, tari Kebyar, tari Joged (Bandem, 1985) dan masa sekarang

berkembang tari kreasi baru. Tari kreasi baru terus berkembang sehingga menghasilkan beragam tarian yang bervariasi dalam pola gerakan maupun unsure-unsur lain yang mendukung pertunjukan (Dibya, 2012). Unsur dalam menari bali adalah agem, tandang, tangkep (Bandem,1983). Agem adalah gerakan dasar, tandang adalah perpindahan gerak satu ke lainnya, dan tangkep adalah penjiwaan tari yang terpancar dari wajah.

Tari Balih-balihan yang memiliki tujuan utama untuk menghibur sekaligus sebagai pameran hasil olah kreativitas seni (Dibya, 2012) memungkinkan untuk mengembangkan perasaan mampu menghasilkan gerakan dalam keterbatasanya, mengungkapkan perasaan melalui egat dengan penjiwaan dalam setiap gerakan tari Balih-balihan, merasa mampu dalam penguasaan tertentu, melihat diri secara positif, serta percaya diri. Perasaan mampu dapat dikaitan dengan aspek-aspek dalam harga diri.

Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan diatas, dapat diketahui bahwa menari memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan diri serta mengembangkan rasa mampu dalam penguasaan tertentu. Tari Balih-balihan yang memiliki variasi gerakan yang banyak dan berkembang memungkinkan penari berekspresi lebih variatif dalam setiap gerakannya. Tidak hanya itu, penerapan menari pada anak tunarungu di Bali sudah cukup banyak dilakukan baik di sekolah maupun di yayasan tertentu. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana pengaruh menari Tari Bali (Balih-balihan) terhadap harga diri remaja tunarungu. Apakah menari tari Balih-balihan dapat memberi pengaruh secara signifikan terhadap harga diri remaja tunarungu. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris adanya pengaruh menari tari Balih- Balihan pada harga diri remaja tunarungu di SLB B Bali.

METODE PENELITIAN

Hipotesis penelitian

Penelitian ini memiliki hipotesis yaitu terdapat pengaruh yang signifikan menari tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu di SLB B Bali.

Variabel dan definisi operasional

Di dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung.Variabel bebas dari penelitian ini adalah menari tari Balih-balihan dan variabel tergantung adalah harga diri.

Definisi operasional menari tari Balih-balihan adalah kegiatan menggerakan badan sesuai irama sebagai bentuk ekspresi jiwa yang memiliki unsur dasar tari Bali dimana berfungsi sebagai seni hiburan yang memiliki gerakan bervariasi. Kegiatan menari tari Balih-balihan telah dilakukan sebelumnya oleh

subjek dalam jangka waktu tertentu baik di sekolah maupun di luar sekolah yang mencakup kegiatan pelatihan maupun pementasan.

Definisi operasional harga diri adalah bagaimana individu merasa tentang dirinya yang mencakup perasaan mampu, berhasil, berharga, bahagia serta evaluasi secara menyeluruh baik positif maupun negative. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang mengacu pada aspek harga diri menurut teori Coopersmith yaitu power (kekuasaan), significance (keberartian), virtue (kebajikan), dan competence (kompetensi). Kuesioner ini berisikan 48 item pertanyaan favorable dan unfavorable dengan menggunakan skala binary choices probabilities yang memiliki pilihan jawaban setuju (S) dan tidak setuju (TS).

Definisi operasional remaja tunarungu adalah Remaja tunarungu adalah individu yang berada pada masa transisi anak-anak ke masa dewasa meliputi perubahan secara fisik, kognitif, serta sosial emosional, dalam rentang usia 11 tahun hingga 24 tahun yang mengalami gangguan pendengaran dari tingkat ringan hingga berat dan paling tidak telah menguasai satu jenis tari Balih-balihan.

Responden

Populasi dari penelitian ini adalah remaja tunarungu yang ada di Bali. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan restriced random sampling yaitu cluster sampling khususnya two stages cluster sampling. Melalui teknik ini peneliti mengambil sampel dari kelompok-kelompok atau uniunit tertentu.

Peneliti menggunakan SLB B sebagai kelompok atau unit-unit dari populasi yaitu remaja tunarungu yang ada di Bali. Peneliti terlebih dahulu mendata jumlah SLB B yang ada di Bali beserta keterangan bahwa menari merupakan kegiatan kurikulum wajib atau hanya kegiatan kurikulum pilihan dan ekstrakurikuler. Peneliti mengambil sampel yang dimasukan ke dalam kelompok eksperimen di SLB B yang menerapkan menari sebagai kurikulum wajib. Dari tiga sekolah yang menerapkan menari sebagai kurikulum wajib diambil satu sekolah yang dijadikan sampel. Sementara itu, sampel yang dimasukan ke dalam kelompok kontrol diambil dari sekolah yang menerapkan menari hanya sebagai kegiatan kurikulum pilihan ataupun ekstrakurikuler. Dari dua sekolah diambil kedua sekolah tersebut. Sampel yang diambil adalah berdasarkn kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti.

Adapun kriteria subjek adalah remaja yang mengalami keterbatasan pendengaran dari ringan hingga berat berusia 11 hingga 24 tahun yang merupakan siswa SLB B di Bali dan telah mengikuti kegiatan pelatihan ataupun pementasan menari baik di sekolah maupun di luar sekolah, paling tidak menguasai satu jenis tarian dan remaja tunarungu yang tidak mengikuti kegiatan tersebut.

Kelompok eksperimen diambil dari SLB B yang telah menerapkan menari sebagai kurikulum wajib yaitu SLB B Jimbaran dan kelompok kontrol dari SLB B yang belum menerapkan menari sebagai kurikulum wajib (kurikulum pilihan atau ekstrakurikuler) yaitu SLB B Singaraja dan SLB B Gianyar. Jumlah sampel penelitian adalah 40 orang, 20 kelompok eksperimen dan 20 kelompok kontrol.

Tempat penelitian

Untuk pengambilan data uji coba penelitian dilakukan di dua SLB B yaitu SLB B Singaraja dan SLB B Jimbaran. Pengambilan data penelitian dilakukan di SLB B Singaraja, SLB B Jimbaran, SLB B Gianyar.

Alat ukur

Penelitian ini menggunakan satu buah skala yaitu skala harga diri yang disusun berdasarkan aspek dari teori yang dikemukakan oleh Coopersmith yaitu power (kekuasaan), significance (keberartian), virtue (kebajikan), competence (kompetensi) berjumlah 48 item terdiri dari pernyataan favorable dan unfavorable. Pada kuesioner tersedia jawaban setuju dan tidak setuju yang bernama jenis skala binary choices probability. Dari skala harga diri ini akan diperoleh jenis data interval. Semakin tinggi skor maka harga diri remaja semakin tinggi atau positif sedangkan semakin rendah skor, harga diri remaja juga semakin rendah atau negatif.

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan berdasarkan rancangan penelitian ini yaitu studi kausal komparatif, ex post facto yakni variabel bebas telah terjadi tanpa manipulasi dari peneliti (Emzir, 2011). Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari dua kuesioner. Kuesioner pertama yaitu terdiri dari pertanyaan tertutup dan terbuka mengenai data demogafi dan pelaksanaan kegiatan menari dan kuesioner kedua adalah berisi tentang skala harga diri. Pada kuesioner pertama, subjek diminta untuk mengisi jawaban sedangkan pada kuesioner kedua subjek memberikan tanda pada jawaban yang dipilih. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2013 di SLB B Jimbaran, SLB B Singaraja, SLB B Gianyar. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan skoring pada data tersebut untuk kemudian dilakukan analisis data.

Teknik analisis data

Data dianalisis dengan memasukan nilai skor murni. Hal ini dilakukan jika nilai reliabilitas rendah. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-t yaitu t-test Independent atau Inpendent Sample T-Test (Sugiyono, 2011). Analisis data melalui uji ini adalah untuk melihat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen dimana jika

terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen maka dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang siginifikan menari tari Balih-balihan terhadap harga diri. Sebelumnya dilakukan uji asumsi untuk dapat melakukan analisis data dengan menggunakan uji beda ini yaitu uji asumsi normalitas dan homogenitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan program komputasi SPSS versi 17.0 dengan menggunakan skor murni.

HASIL PENELITIAN

Sebelum mengumpulkan data, terlebih dahulu peneliti mengadakan uji coba alat ukur penelitian yang terdiri dari uji validitas dan reliabilitas. Berdasarkan hasil uji coba alat ukur penelitian yaitu skala harga diri diperoleh bahwa terdapat 20 item yang valid dan 28 item gugur. Koefisien validitas bergerak dari 0,258 sampai dengan 0,630 dan koefisien reliabilitas 0,384. Koefisien reliabilitas dari penelitian ini dapat dikatakan rendah setelah dilakukan uji coba penelitian berkali-kali. Oleh karena itu, analisis dilakukan dengan menggunakan skor murni yang tidak mengandung error.

Deskripsi data subjek yang terlibat dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.

_____________________________Deskrtpsi data subjek penelitian ____________________

Menari

Tidak Menari

Jenis Kelamin

Laki-laki

IO

15

Perempuan

LO

5

Jiinilah

20

20

Tingkat Pendidikan

Sekolah Menensali Pertama Luar Biasa (SMPLB)

10

IS

Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)

10

7

Jumlah

20

20

Dari tabel di atas diketahui bahwa subjek yang terlibat pada penelitian adalah laki-laki dan perempuan. Pada kelompok menari terdapat 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan sementara pada kelompok tidak menari terdapat 15 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Subjek yang terlibat duduk di bangku SMPLB dan SMALB, pada kelompok menari terdapat 10 orang duduk di SMPLB dan duduk di bangku SMALB, pada kelompok tidak menari terdapat 13 siswa SMPLB dan 7 siswa SMALB.

label 2.

___________Persentase Prestasi dan Kegiatan OrganisasiRemaja Tnnarungu________

Menari

Tidak Menari

Prestasi akademis dan non akademis

65%

70%

Persentase kedua kelompok

67,5 %

Kegiatan organisasi

Di sekolah (pramuka. OSIS)

85 %

0%

Di lingkungan rumah (Karang Tamna)

0%

00

Dari tabel di atas diketahui bahwa kelompok menari maupun yang tidak menari sama- sama memiliki prestasi baik di bidang akademis maupun nonakademis. 67,5 % subjek memiliki prestasi. Remaja tunarungu yang menari lebih banyak melakukan kegiatan organisasi di sekolah dibandingkan di lingkungan rumah. Kelompok menari maupun yang tidak menari tidak terlibat dalam kegiatan keorganisasian di luar rumah.

Tabel 3.

Persentase Pfestasi Akacleniis dan Non-Akatlemfc Remaja Tunarungu

Menari

Tidak Menari

Prestasi Akademis

5%

-

Prestasi Non-Akademis

Prestasi Menari

25%

-

Prestasi Selain Menari (melukis, pantomim, tata rias, model, tolak peluru, sepak bola. lari, bulu tangkis)

55%

70%


Berdasarkan tabel di atas, rata-rata remaja tunarungu memiliki prestasi lain selain bidang menari yang dapat menunjang harga diri. Dari kelompok menari sebesar 5% memiliki prestasi akademis, 25% yang memang prestasi di bidang menari, dan 55% memiliki prestasi di bidang seni dan olahraga

Berdasarkan data pada skala harga diri yang telah dikumpulkan, diperoleh deskripsi data sebagai berikut.

Tabel 4.

Deskripsi Data Penelitian

Variabel

N

Mean

SD

X Max

XMin

Harga Diri

40

14.2750

0.73029

16.58

12.14


Untuk mengetahui tingkat harga diri dari subjek penelitian maka dilakukan perbandingan antara mean empiris dan mean teoritis. Mean teoritis adalah rata-rata skor penelitian yang diperoleh melalui angka yang menjadi titik tengah alat ukur penelitian. Mean empiris adalah rata-rata skor data penelitian yang diperoleh dari angka yang merupakan rata-rata data penelitian.Berikut ini disajikan tabel yang memaparkan mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi (SD) hasil penelitian.

Tabel 5.

Tabel Mean Teoritik, Mean Empiris dan Standar Deviasi

Skala

Mean Teoritis

Mean Empiris

SD

Harga Diri

10

14.2750

0.73029

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan mean teoritis sebesar 10 dimana mean teoritis lebih kecil dibandingkan dengan mean empiris yaitu 14,2750. Hal ini berarti bahwa rata-rata subjek memiliki tingkat harga diri yang tinggi.

Dari hasil analisis data diperoleh bahwa variabel harga diri berdistribusi normal. Nilai Asymp. Significant (2tailed) menunjukan angka 0,170 yaitu lebih besar dari 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel harga diri memiliki sebaran data yang normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.

_____________________________ Uji Normalitas________________________

Harga Diri

Koliiiogorov-Siiiiniov Z

1.110

Asymp. Significant (2-tailed)

0.170

Selain uji normalitas, dilakukan pula uji homogenitas yaitu pengujian kesamaan varian dari variabel yang dianalisis. Uji homogenitas dilakukan dengan Lavene Test. Dari hasil analisis diperoleh bahwa kedua kelompok memiliki varian data yang homogen. Nilai signifikansi menunjukan angka 0,646 yaitu lebih besar dari 0,05 yang berarti bahwa kedua kelompok memiliki varian data yang sama atau homogen. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 7.

I ji Homogenitas

Jiargadiri Equal variances assumed _____________[Equal variances not assumed

Levene's Test for Equality of Variances


Setelah melakukan uji asumsi tersebut maka analisis dengan menggunakan Independent Sample t- Test dapat dilakukan. Untuk mengetahui pengaruh menari tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu maka dilakukan uji beda atau uji t ini yang ditunjukan dengan tabel di bawah ini.

label 8.

Uji Beda

Wiriabel Kelompok

Hargadiri Menari

Mean

14.4500

14.1000


Std. Deviation


.73151


Std. Error Mean

.16357

.15734


Tidak menari

.70366

Independent Samples Test

t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

Harga diri

Equal variances assumed

Equal variances not assumed

t

1.542

1.542

Df

38

37.94

Sig.(2-tailed)

131

.131

Mean Differen ce .35000

.35000

Std. Enor Difference

226⅛

.22696

Lower

-.10946

-.10949

Upper

.80946

.80949

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai t sebesar 1,542 dengan df sebesar 38 dan nilai signifikansi 0,557. Nilai t hitung lebih kecil dibanding t tabel yaitu 1,542 < 2,024 yang berarti Ho diterima. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 ( p > 0,05) yang berarti Ho diterima. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa hipotesis nol diterima dan hipotesis altenatif ditolak yaitu tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Namun nilai mean menunjukan bahwa harga diri remaja yang menari lebih tinggi (mean=14,45) dibandingkan dengan harga diri remaja yang tidak menari (mean=14,10).

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok yang berarti pula tidak ada pengaruh menari tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tuna rungu, namun terdapat nilai mean yang menunjukan harga diri remaja yang menari lebih tinggi dibandingkan yang tidak menari.

Kategorisasi dilakukan bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam suatu kontinum pada sebuah variabel yang diukur. Kategori dilakukan dengan menggunakan mean teoritis.

Analisis kategorisasi menunjukan bahwa subjek yang memiliki harga diri yang sangat tinggi dari kelompok menari adalah sebesar 35% yaitu 7 orang dan harga diri tinggi sebesar 65% yaitu 13 orang. Sementara itu pada kelompok yang tidak menari terdapat harga diri sedang sebesar 5% yaitu 1 orang, harga diri tinggi 55% yaitu 11 orang, dan harga diri sangat tinggi sebesar 40% yaitu 8 orang.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap hipotesis yaitu ada pengaruh menari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu dengan menggunakan teknik statistik parametrik yaitu Independent Sample T- Test yang dianalisis menggunakan teknik komputasi SPSS versi 17.0. Melalui analisis tersebut diperoleh hasil nilai t sebesar 1,542 dimana nilai t tersebut lebih kecil dari t tabel, 1,542 < 2,024 yang berarti tidak ada perbedaan harga diri kelompok yang menari dan yang tidak menari. Melalui hasil tersebut juga diperoleh nilai probabilitas atau nilai signifikansi sebesar 0,131 yaitu lebih besar dari 0,05 (p>0,05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan harga diri yang signifikan antara kelompok menari dan kelompok yang tidak menari. Tidak adanya perbedaan antara dua kelompok ini memiliki makna bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan menari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu di Bali.

Meskipun hasil analisis menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan, namun diperoleh data bahwa terdapat perbedaan mean atau rata-rata skor harga diri antara kedua kelompok. Nilai mean harga diri kelompok menari sebesar 14,45 dan kelompok yang tidak menari sebesar 14,10. Hasil ini menunjukan bahwa harga diri remaja yang menari lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak menari.

Hasil dari penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Quin, Redding, & Frazer (2007) mengenai pengaruh

program menari kreasi terhadap status fisiologis dan psikologis remaja. Status psikologis yang dimaksud salah satunya adalah harga diri remaja setelah menjalani program menari. Di dalam penelitian ini terdapat peningkatan harga diri setelah menjalani program menari kreasi pada remaja dari pengukuran kondisi awal, namun tidak ada perbedaan harga diri yang signifikan antara kedua kelompok setelah perlakuan diberikan sehingga dapat disimpulkan bahwa program menari tidak berpengaruh terhadap harga diri remaja. Menari merupakan cara untuk berekspresi dan mengkomunikasikan sesuatu. Dengan menari seseorang dapat memberikan respon individu terhadap dunia yang dihadapi. Kesempatan untuk berekspresi dan menjadi kreatif inilah yang dapat berpengaruh terhadap harga diri seseorang. Hal ini diperkuat oleh penelitian Mainwaring & Krasnow (2010) mengenai kelas menari sebagai strategi dalam meningkatkan positive image yaitu gerakan-gerakan yang kreatif dalam kelas menari dapat menunjang harga diri sosial serta harga diri fisik. Peningkatan harga diri dari kondisi awal pada penelitian Quin, Redding, & Frazer (2007) sejalan dengan kondisi penelitian ini dimana subjek yang menari memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak menari.

Tidak adanya pengaruh yang signifikan pada penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor- faktor teknis maupun faktor dari variabel harga diri itu sendiri, serta faktor dari karakteristik subjek penelitian ini. Secara teknis berkaitan dengan metode penelitian yaitu bagaimana mekanisme pelaksanaan penelitian ini di lapangan. Faktor penyebab dari variabel harga diri berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri itu sendiri. Karakteristik subjek yaitu karakteristik remaja tunarungu yang mengalami kesulitan dalam berbahasa dan bicara dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode yaitu ex post facto. Ex post facto diangkat peneliti karena variabel bebas telah terjadi pada subjek sehingga tidak perlu diberikan manipulasi oleh peneliti. Menurut Emzir (2011), kelemahan desain penelitian kausal komparatif adalah tidak adanya kontrol terhadap variabel bebas sehingga peneliti harus mengambil fakta sebagaimana ditemukan di lapangan dengan tidak ada kesempatan mengatur kondisi. Hal ini juga mengharuskan peneliti memperhatikan semua kemungkinan alasan yang lain untuk memperkaya kesimpulan. Upaya untuk mengontrol variabel ekstra sangat terbatas, salah satunya dapat dilakukan dengan perbandingan kelompok homogen.

Jika dikaitkan dengan penelitian ini, variabel menari telah berlangsung menjadi kegiatan kurikulum wajib maupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah luar biasa B masing-masing subjek. Peneliti tidak dapat memberikan kontrol dalam kegiatan tersebut seperti kontrol terhadap lamanya kegiatan berlangsung perhari, jenis-jenis tarian yang diajarkan, serta kontrol terhadap variabel-variabel lain yang dapat

mempengaruhi harga diri. Dengan segala keterbatasan penelitian, peneliti memberikan kontrol terhadap variabel ekstra dengan cara menyamakan kelompok melalui tingkat pendidikan remaja tunarungu yaitu tingkat menengah pertama dan menengah atas.

Selain secara teknis penelitian, tidak adanya pengaruh yang signifikan menari terhadap harga diri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga diri itu sendiri. Menurut Ghufron& Risnawita (2010), harga diri dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi inteligensi, kondisi fisik, jenis kelamin dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Selain itu Wirawan dan Widyastuti (dalam Sari, 2008) menyebutkan pula faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu fisik, psikologis, lingkungan sosial, inteligensi, status sosial ekonomi, urutan keluarga, ras kebangsaan.

Jika dikaitkan dengan keadaan subjek dari kedua kelompok, harga diri remaja tunarungu dapat dipengaruhi oleh inteligensi yang berkaitan dengan prestasi dan faktor lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Menurut data yang diperoleh bahwa sebagian besar subjek yaitu 67,5% memiliki prestasi baik di bidang akademis maupun nonakademis. Prestasi dalam bidang akademis meliputi perlombaan yang pernah diikuti subjek seperti lomba komputer dan lomba sains. Prestasi nonakademis meliputi perlombaan atau pertunjukan yang diikuti subjek dalam bidang olahraga seperti bulu tangkis, lompat jauh, lari dan dalam bidang seni seperti melukis, tata rias, fashion show. Prestasi inilah yang dapat mempengaruhi harga diri subjek selain variabel menari itu sendiri. Hal ini dipertegas oleh pendapat Bednar, Wells, & Peterson (dalam Santrock, 2007) bahwa prestasi dapat meningkatkan harga diri remaja.

Selain prestasi yang dapat mempengaruhi harga diri adalah lingkungan sosial. Menurut Harter (dalam Santrock, 2007), dukungan emosional dan persetujuan sosial dalam bentuk konfirmasi atau penerimaan dari orang lain memiliki pengaruh yang kuat terhadap harga diri. Berdasarkan data yang diperoleh, remaja tunarungu lebih banyak bergaul dengan kalangan tunarungu dibandingkan dengan kalangan di lingkungan rumah. Hal ini diperlihatkan dari kurangnya keterlibatan subjek pada kegiatan organisasi di lingkungan rumah yang ditunjukan dengan angka 0% yng berarti tidak ada subjek dari kedua kelompok yang mengikuti kegiatan organisasi di lingkungan rumah. Menurut Semiawan & Mangunsong (2010), kebutuhan anak tunarungu untuk berinteraksi dengan anak lain yang juga tunarungu tampak sangat besar sehingga akan membentuk suatu kebudayaan tunarungu dimana anak tunarungu merasa dalam keadaan setara dan diterima oleh kelompok. Kebudayaan tunarungu yang merupakan interaksi sosial tunarungu inilah yang dapat mempengaruhi pembentukan harga diri.

Subjek penelitian ini adalah remaja tunarungu yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan remaja normal lainnya. Karakteristik remaja tunarungu adalah tidak mampu dalam berbicara dan berbahasa (Efendi, 2009). Ketidakmampuan ini menyebabkan kesulitan dalam mengerti suatu kalimat secara utuh, terlebih lagi kalimat-kalimat yang bersifat abstrak sehingga kalimat yang digunakan berupa kalimat-kalimat yang sederhana. Keadaan ini dapat mempengaruhi pelaksanaan penelitian karena usaha yang dibutuhkan remaja tunarungu untuk mengertikan suatu kalimat lebih besar dibandingkan remaja normal lainnya sehingga akan berpengaruh pula terhadap motivasi dalam menyelesaikan pertanyaan.

Pada deskripsi data penelitian diperoleh mean teoritis dari variabel harga diri adalah sebesar 10 dan mean empiris sebesar 14,27. Berdasarkan nilai mean yang tercantum diperoleh bawa mean teoritis lebih besar dibandingkan mean empiris. Hal ini menunjukan bahwa harga diri remaja tuna rungu berada pada titik yang tinggi. Harga diri yang tinggi pada remaja tunarungu lebih dijelaskan melalui kategorisasi subjek berdasarkan skor harga diri yang diperoleh melalui data penelitian.

Kategorisasi pada skala harga diri dilakukan berdasarkan nilai mean teoritis. Hasil kategorisasi menunjukan bahwa kedua kelompok memiliki harga diri dari sedang hingga harga diri yang sangat tinggi. Pada kelompok menari terdapat 65% berada pada kategori harga diri yang tinggi yaitu sebanyak 13 orang dan harga diri yang sangat tinggi sebesar 35% yaitu sebanyak 7 orang. Sementara itu pada kelompok yang tidak menari terdapat harga diri sedang sebesar 5% yaitu 1 orang, harga diri tinggi 55% yaitu 11 orang, dan harga diri sangat tinggi sebesar 40% yaitu 8 orang. Dari hasil kategorisasi tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa rata-rata harga diri remaja tunarungu tinggi.

Harga diri dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah inteligensi yang berkaitan dengan prestasi akademis (Ghufron & Risnawita, 2010). Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi. Clemes, Bean, & Clark (2012) menjelaskan bahwa prestasi yang berhasil akan memperkuat perasaan remaja menjadi lebih positif, memandang diri menjadi lebih mampu sehingga tercipta harga diri yang semakin tinggi. Teori ini juga didukung oleh penelitian Irawati & Hajat (2012) yaitu terdapat hubungan yang positif antara harga diri dengan prestasi belajar. Semakin tinggi harga diri maka semakin tinggi pula prestasi belajar.

Selain prestasi belajar, Clemes, Bean, & Clark (2012) juga menjelaskan mengenai pengaruh harga diri terhadap kreativitas. Remaja yang memiliki harga diri tinggi akan mampu menunjukan kreativitas dalam berbagai hal. Remaja kreatif akan diakui atas produktivitas yang unik dan menonjol yang akhirnya akan semakin meningkatkan harga diri.

Bandura (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa prestasi dapat meningkatkan harga diri remaja karena berhubungan dengan keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai suatu situasi dan memberikan hal yang positif.

Jika dikaitkan dengan keadaan subjek, remaja tunarungu dalam penelitian ini rata-rata memiliki harga diri yang tinggi. Setelah ditelusuri maka diperoleh data mengenai prestasi akademik maupun nonakademik yang dimiliki oleh subjek dari kedua kelompok. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan harga diri tinggi pada subjek dapat disebabkan oleh prestasi akademik maupun nonakademik yang dimiliki oleh subjek. Berikut akan dijelaskan mengenai prestasi akademik maupun nonakademik yang dimiliki subjek.

Berdasarkan data pada tabel 3 mengenai persentase prestasi akademis dan non-akademis remaja tunarungu tersebut diperoleh hasil bahwa rata-rata remaja tunarungu memiliki prestasi lain selain bidang menari yang dapat menunjang harga diri. Dari kelompok menari sebesar 5% memiliki prestasi akademis, 25% yang memang prestasi di bidang menari, dan 55% memiliki prestasi di bidang seni dan olahraga. Prestasi akademis yang dicapai remaja tunarungu pada kelompok menari meliputi perlombaan dalam bidang komputer dan sains. Sementara itu di bidang olahraga meliputi tolak peluru, tenis meja dan bidang seni meliputi melukis, tata rias, fashion show atau peragaan busana. Pada kelompok yang tidak menari sebesar 70% memiliki prestasi di bidang non akademis yaitu seni dan olahraga. Prestasi dalam bidang olahraga yang dicapai meliputi keikutsertaan dalam perlombaan bulu tangkis, lari, lompat jauh, cakram dan dalam bidang seni meliputi pantomim, tata rias, melukis. Dari hasil tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebagian besar remaja tunarungu dari kedua kelompok memiliki prestasi dalam bidang akademis maupun nonakademis. Harga diri yang rata-rata berada pada skor tinggi pada remaja tunarungu di dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh prestasi akademis maupun nonakademis yang berhasil dicapai. Prestasi akademis yang dicapai remaja tunarungu yang ditunjukan dengan angka 5% memang lebih sedikit dibandingkan dengan prestasi nonakademis remaja tunarungu. Semiawan& Mangunsong (2010) menjelaskan bahwa prestasi akademis anak tunarungu menjadi lebih rendah karena terkait dengan aspek kebahasaan.

Setelah melalui berbagai prosedur penelitian serta analisis data maka tujuan dari penelitian ini dapat tercapai yaitu untuk mengetahui pengaruh menari Tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu. Selain tujuan penelitian dapat tercapai, hipotesis dari penelitian dapat diuji dimana hasilnya adalah tidak ada pengaruh menari Tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu dengan nilai harga diri remaja tunarungu yang menari lebih tinggi dibanding remaja tunarungu yang tidak menari.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh menari Tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu. Hal ini ditunjukan dengan nilai t sebesar 1, 542 dan signifikansi sebesar 0,131 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok menari dan kelompok yang tidak menari. Tidak adanya perbedaan kelompok ini memiliki makna bahwa tidak adanya pengaruh menari tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu. Meskipun demikian data menunjukan nilai mean harga diri yang berbeda antara kedua kelompok yaitu nilai harga diri remaja tunarungu yang menari lebih tinggi dibandingkan yang tidak menari. Tidak adanya pengaruh menari tari Balih-balihan terhadap harga diri remaja tunarungu dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor teknis pelaksanaan penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri itu sendiri, serta karakteristik dari subjek penelitian.

Faktor dari teknis penelitian adalah mengenai kesulitan dalam melakukan kontrol terhadap penelitian karena variabel bebas yang telah berlangsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri itu sendiri seperti prestasi serta lingkungan sosial yang menjadi tempat bagi remaja tunarungu berinteraksi. Remaja tunarungu yang merupakan subjek penelitian rata-rata memiliki prestasi akademis maupun nonakademis, baik dibidang seni maupun olahraga. Lingkungan sosial juga mempengaruhi harga diri remaja tunarungu dimana penyandang tunarungu lebih sering berinteraksi dengan penyandang tunarugu lainnya sehingga dapat membentuk suatu budaya tunarungu. Remaja tunarungu yang merupakan subjek penelitian hampir tidak mengikuti kegiatan di luar lingkungan rumah dan memilih berinteraksi dengan penyandang tunarungu lainnya sehingga lebih merasakan kesetaraan.

Faktor dari karakteristik tunarungu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian adalah ketidakmampuan atau keterbatasan dalam berbahasa sehingga kesulitan dalam mengerti sebuah kalimat yang menyebabkan remaja tunarungu mengeluarkan usaha yang lebih besar dibandingkan remaja normal lainnya sehingga mempengaruhi motivasi dalam menyelesaikan sebuah pertanyaan. Deskripsi data penelitian menunjukan mean teoritis lebih kecil dibandingkan dengan mean empiris yang berarti bahwa harga diri subjek rata-rata berada pada tingkat harga diri tinggi. Secara keseluruhan berdasarkan kategorisasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa remaja tunarungu dari kedua kelompok memiliki harga diri yang tinggi. Harga diri tinggi yang dimiliki subjek penelitian yaitu remaja tunarungu dapat disebabkan oleh prestasi yang dimiliki baik dibidang akademis maupun nonakademis.

Berdasarkan hasil dari analisis yang telah dilakukan dapat diajukan berbagai saran yang meliputi saran praktis dan saran bagi peneliti selanjutnya. Saran praktis ditujukan kepada

berbagai pihak yaitu: a) bagi remaja tunarungu, diharapkan dapat terus melakukan kegiatan positif baik bidang akademis maupun nonakademis khususnya menari karena dapat mengembangkan harga diri dan juga memberi kesempatan berprestasi; b) bagi sekolah, diharapkan menerapkan kurikulum menari khususnya menari Bali-balihan secara efektif karena terbukti memberi sumbangan terhadap harga diri yang dibuktikan dengan nilai harga diri kelompok menari lebih tinggi; c) bagi orang tua, diharapkan dapat memegang peranan dalam interaksi sosial anak, mengarahkan anak tunarungu untuk melakukan kegiatan positif, serta pengawasan terhadap kegiatan tersebut; d) bagi pemerintah, diharapkan dapat memfasilitasi sekolah dalam usaha memenuhi kebutuhan siswa tunarungu untuk mencapai prestasi ataupun kegiatan-kegiatan lain yang positif dengan membuat perlombaan ataupun komunitas.

Saran bagi peneliti selanjutnya yang dapat diajukan adalah: a) peneliti diharapkan dapat lebih memerhatikan pembuatan alat ukur serta keadaan subjek yang akan terlibat dalam kegiatan uji coba alat ukur sehingga lebih kecil kemungkinan terjadinya eror pengukuran terkait dengan kelemahan penelitian ini yaitu koefisien reliabilitas yang rendah; b) peneliti diharapkan memerhatikan teknik-teknik kontrol pada penelitian ex post facto serta teknik kontrol pada variabel ekstra; c) peneliti dapat menambah jumlah sampel penelitian sehingga dapat dilakukan generalisasi yang lebih akurat; d) dalam melibatkan subjek yang memiliki karakteristik khusus atau dengan kata lain berada pada kondisi ketidakmampuan tertentu (disability), banyak hal yang harus diperhatikan oleh peneliti seperti aspek bahasa dan bicara, kognitif, serta sosio-emosional karena dapat mempengaruhi pelaksanaan penelitian maupun hasil penelitian; e) peneliti selanjutnya perlu mempertimbangkan untuk menggunakan metode kualitatif terkait dengan hasil penelitian ini sehingga memperoleh hasil yang lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, N. P. (2011). Gunastri. Mudra Volume 10 No.1 , 1-14.

Astutik, E. P. (2010). Metode Maternal Reflektif untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Anak Tunarungu Kelas 3 SLB B Widya Bakti Semarang. Skripsi , 1-78.

Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment, Second Edition. United State of America: Prentice-Hall.

Azwar, S. (2010). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

________. (2010). Reliablitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Bandem, I. M. (1982). Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia.

________. (1985). Pengembangan Tari Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Ditjen Pendidikan Tinggi.

Branden, N. (2005). Kekuatan Harga Diri. Batam: Interaksara.

Burger, J. M. (2008). Personality, Seventh Edition. United States of America: Wadsworth.

Clemes, H., Clark, A., & Bean, R. (2012). Bagaimana Meningkatkan Harga Diri Remaja. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara.

Corteville, M. K. (2009). Dance Your Way to Communication: Dance Movement Therapy to Increase Self-Esteem, Poor Body Image, and Communication Skills in High School Females. Skripsi , 1-72.

Dibya, I. W. (1996). Prinsip-Prinsip Keindahan Tari Bali. Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia , 100-125.

_________. (2012). Geliat Seni Pertunjukan Bali . Denpasar: Buku Arti.

Duija, I. N. (2008). Ekspresi Seni Masyarakat Tradisional Desa Adat Penglipuran Bangli Sebagai Sarana Pemujaan Tuhan. Mudra Vol. 22 No.1 , 1-17.

Efendi, M. (2009). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara.

Emzir. (2008). Metodologi Penelitian PendidikanKuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.

Geniofam. (2010). Mengasuh & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Garailmu.

Ghufron, M. N., & Risnawita S., R. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Gunadi, I. G. (2011). Tari Hyang Lala Nusantara: Sebuah Seni Pertunjukan Pariwisata di Garuda Wisnu Kencana . Skripsi , 1-118.

Halimah, L., & Elcamila, F. N. (2010). Self Esteem dan Relasi Interpersonal Penyandang Tunarungu di Lembaga Deaf n' Dump. Humanitas Vol.VII No. 2 , 185-201.

Hapsari, D. A. (2010). Pengaruh Tari Kontemporer Terhadap Kecemasan Berbicara Di Depan Umum Pada Remaja.

Hastanti, N. W. (2007). Pembelajaran seni Tari Bagi Siswa Tunarungu di SLB Bagaskara Seragen. Skripsi , 1-79.

Henggaryadi, G., & Fakhrurrozi, M. (2008). Hubungan Antara Body Image dengan Harga Diri Pada Remaja Pria Yang Mengikuti Latihan Fittnes/Kebugaran. Jurnal Gunadarma , 1-24.

Hernawati, T. (2007). Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Bicara Anak Tunarungu. Jassi_anakku Vol. 7 No. 1 , 101110.

Irawati, N., & Hajat, N. (2012). Hubungan Harga Diri dengan Prestasi Belajar Pada Siswa SMKN 48 Jakarta Timur. Econosains Vol. X No. 2 , 193-210.

Mainwaring, L. M., & Krasnow, D. H. (2010). Teaching the Dance Class Strategies to Enhance Skill Acquisition, Mastery and Positive Self Image. Journal of Dance Education Volume 10. No. 1 , 14-21.

Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50 , 370-396.

Monks, F. J., Knoers, A. M., & Haditono, S. R. (2006). Psikologi Perkembangan . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mubin, M. F. (2009). Penerapan Terapi spesialis Keperawatan Jiwa:Terapi Kognitif Pada Harga Diri Rendah di RW 09,11 dan 13 Kelurahan Bubulak Bogor. Fikkes Jurnal Keperawatan Vol.2 No.2 , 28-35.

Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development, Eleventh Edition. America: McGraw Hill.

Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adulth Development and Aging, Third Edition. America: McGraw Hill.

Priyatno, D. (2012). Cara Kilat Belajar Analisis Data dengan SPSS 20. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Quin, E., Redding, E., & Frazer, L. (2007). The effects of an eightweek creative dance programme on the physiological and psychological status of 11-14 year old adolescents: An experimental study. Hampsire Dance & Laban , 1-13.

Sadjaah, E. (2006). Penguasaan Keterampilan Menari Melalui Latihan Kelenturan Gerak Pada Anak Tunarungu. Mimbar Pendidikan No. 1 , 54-61.

Sandjaja, B., & Heriyanto, A. (2011). Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Santoso, H. (2012). Cara Memahami & Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Santoso, S. (2012). Aplikasi SPSS pada Statistik Parametrik. Jakarta: PT. Gramedia.

Santrock, J. W. (2007). Remaja, Edisi 11. Jakarta: Erlangga.

Sari, C. P. (2009). Harga Diri Pada Remaja Putri Yang Telah Melakukan Hubungan Seks Pranikah. Jurnal Gunadarma , 1-14.

Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sedyawati, E., Parani, Y., Murgianto, S., Soedarsono, Rohkyatmo, A., Suharto, B., et al. (1986). Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Semiawan, C. R., & Mangunsong, F. (2010). Keluarbiasaan Ganda (Twice Exceptionality). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Seramasara, I. G. (2007). Seni Pertunjukan Tradisional Bali Sebuah Renungan Sejarah. Mudra Volume 20 No.1 , 1-21.

Simarmata, N. M. (2009, 1 Desember). e Bahana . Diakses 15 Agustus 2012, dari e Bahana Web site: http://www.ebahana.com/warta-1882-Saya-Bahagia-kalau-Mereka-Mendengar-Panggilan-Tuhan.html

Statistik, B. P. (2011). Profil Anak Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA).

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

________. (2012). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. (Dibya, 1996)

Suryabrata, S. (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Syam, N. W. (2011). Psikologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Tsimaras, V. K., Kyriazis, D. A., Christovas, K. I., Fotiadou, E. G., Kokaridos, D. G., & Angelopoulo, N. A. (2010). The Effect of A Traditional Dance Training on the Physical Fitness Program of Adults with Hearing Loss. Journal of Strength and Conditioning Research 24.4 , 1052-1058.

Wasito, D. R., Sarwindah S., D., & Sulistiani, W. (2010). Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. INSAN Vol. 12 No. 03 , 138-152.

Weisel, A., & Kamara, A. (2005). Attachment and Individuation of Deaf/Hard-of-Hearing and Hearing Young Adults. Journal of Deaf Studies and Deaf Education vol. 10 no. 1 , 51-62.

Yetti, E. (2011). Peningkatan Ketajaman Tunarungu Melalui Pembelajaran Tari Pendidikan. Artistika Vol. 1 No.1 , 8391.

24