Hubungan antara Berpikir Positif Dengan Harga Diri pada Lansia yang Tinggal di Panti Jompo di Bali
on
Jurnal Psikologi Udayana
2013, Vol. 1, No. 1, 129-137
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Udayana
ISSN: 2354-5607
Hubungan antara Berpikir Positif Dengan Harga Diri pada Lansia
yang Tinggal di Panti Jompo di Bali
Ayu Andini dan Supriyadi
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana andin_dee@yahoo.com
Abstrak
Dari tahun ketahun jumlah lansia yang tinggal di panti jompo di Bali semakin bertambah. Kebanyakan lansia dibawa oleh keluarga ke panti jompo dengan alasan tidak lagi mampu menjaga dan mengurus lansia di rumah. Hal ini menjadikan tidak sedikit lansia yang berpikir negatif tentang keputusan keluarga yang menempatkan lansia di panti jompo, sehingga membuat lansia memiliki harga diri yang rendah. Karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan berpikir positif dengan harga diri lansia.
Penelitian ini merupakan studi korelasional dengan subjek sebanyak 84 lansia yang tinggal di panti jompo di Bali. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Variabel berpikir positif diukur dengan menggunakan kuesioner berpikir positif, sedangkan variabel harga diri diukur dengan menggunakan kuesioner harga diri yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Range validitas item berpikir positif sebesar 0,259 s/d 0,935 dengan jumlah item sebanyak 22 butir dan koefisien reliabilitasnya 0,944. Range validitas item harga diri sebesar 0,282 s/d 0,938 dengan jumlah item sebanyak 23 butir dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,959.
Hasil analisis statistik nonparametrik Kendall’s tau menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan harga diri (r=0,422 ; p=0,000), dimana dapat disimpulkan bahwa variabel berpikir positif dapat menjelaskan variabel harga diri sebesar 17,8%. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali dapat diterima. Hal lain yang dapat menjelaskan adanya hubungan berpikir positif dengan harga diri adalah karena lansia mampu; (1) menerima diri dan keadaannya, (2) menyesuaikan diri, (3) memandang diri secara positif, (4) menunjukkan kekuatan, dan (5) menunjukkan kompetensinya.
Kata kunci: Berpikir positif, harga diri, lansia, panti jompo
Abstract
Year by year, the amount of elderly who lives at nursing home in Bali are increasingly. Most of them be carried to nursing home by their families with a reason that they are not able to take care of their elderly at home. It makes that there is a lot of elderly think negatively about the decision to put them at nursing home. Negative thinking makes them have a low self esteem. According to it, this study aiming to see the relationship positive thinking and self esteem to the elderly.
This study is a correlational study between 84 elders who lives at nursing home in Bali as a subject. Method of data collection in this study is using questionnaires. The variable of positive thinking is measured positive thinking questionnaire, and the variable of self esteem is measured by self esteem questionnaire. Both of them are already valid and reliable. Positive thinking questionnaire consist of 22 items which validity range from 0,259 to 0,935 and the coefficient reliability is 0,944. Self esteem questionnaire consist of 23 items which validity range from 0,282 to 0,938 and the coefficient reliability is 0,959.
The result of nonparametric Kendall’s Tau show that there is a significant relationship between positive thinking and self esteem (r=0,422 ; p=0,000). It that can be concluded that variable of positive thinking can explain the variable of self esteem in 17,8%. It can explain that the hypothesis which stating that there is a relationship between positive thinking and self esteem to the elderly who lives at nursing home in Bali can be accepted. The other things that can explain about the relationship between positive thinking and self esteem are because the elderly able to; (1)accept themselves and their condition, (2) adapt with their environment, (3) see themselves positively, (4) show their power, (5) show their competence.
Keyword : positive thinking, self esteem, elderly, and nursing home
LATAR BELAKANG
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara adalah keberhasilan pada beberapa bidang yaitu sosial ekonomi dan kesejahteraan, termasuk pada bidang kesehatan, dimana kemajuan pada bidang kesehatan dan sosial ekonomi akan berdampak langsung pada meningkatnya usia harapan hidup individu. Dengan meningkatnya usia harapan hidup individu maka jumlah lansia juga akan mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah lansia secara signifikan dialami oleh beberapa negara, dimana Indonesia merupakan negara keempat yang mengalami jumlah lansia terbanyak setelah Cina, India dan Jepang (U.S. Census Bureau, 2009).
Zulfitri (2008) menyebutkan bahwa Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population), hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk lanjut usia (lansia) yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Santrock (2002) menyebutkan bahwa lansia dimulai ketika individu memasuki usia 60 tahun keatas. Saputri (2011) juga menyebutkan lansia merupakan tahap akhir dari siklus perkembangan hidup manusia. Banyak diantara lansia berharap saat mencapai tahap akhir perkembangan hidup, lansia akan hidup tenang, damai dan hidup bersama dengan anak-anak serta cucu dengan bahagia. Tapi pada kenyataan, sebagian besar harapan-harapan lansia tidak terwujud. Kesulitan untuk mencapai harapan lansia untuk bahagia dikarenakan beberapa faktor seperti lansia akan diantarkan ke panti jompo karena berbagai alasan, salah satu alasan adalah anak-anak tidak dapat mengurus lansia yang tinggal di rumah dengan alasan sibuk bekerja. Santrock (2002) menyatakan bahwa kemungkinan lansia lebih banyak tinggal di dalam institusi-institusi, hampir ¼ lansia atau 23% dari jumlah lansia tidak tinggal di rumah sendiri tetapi tinggal di institusi atau tempat pelayanan kesehatan. Baines (dalam Santrock, 2002) menyatakan semakin lansia menua, kemungkinan lansia tinggal di dalam panti jompo dan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya juga semakin meningkat. Beban yang berat dari ketidakmampuan kronis, biaya kesehatan yang semakin mahal dan ketidakmampuan mengurus lansia yang sedang sakit dan bergantung pada pertolongan orang lain membuat keluarga akan mengirim lansia ke panti jompo.
Ketika lansia diantarkan oleh keluarga ke panti jompo, maka lansia akan merasa tidak berguna dan tidak diinginkan sehingga membuat banyak lansia akan mengembangkan perasaan rendah diri dan marah terhadap diri sendiri, orang lain dan juga lingkungan. Perasaan rendah diri tidak akan membantu penyesuaian sosial dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini menyebabkan interaksi sosial akan menurun serta lansia akan secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hutapea (2011) menyatakan bahwa sangat banyak lansia yang dirawat di berbagai panti jompo dengan alasan anak-anak tidak mampu lagi mengurus lansia. Hal ini banyak ditemukan di kota-kota
besar. Tidak hanya kaum laki-laki yang bekerja, perempuan pun banyak menjadi wanita karir sehingga tidak selalu berada di rumah untuk mengurus orang tua yang sudah lanjut usia. Anak-anak yang telah tumbuh dewasa dan mendapatkan pekerjaan yang layak akan menitipkan lansia di panti karena alasan sibuk dengan pekerjaan dan jarang di rumah. Kebanyakan dari kasus penitipan lansia, anak-anak tidak meminta persetujuan lansia terlebih dahulu, lansia dipaksa untuk tinggal di panti. Lansia yang memiliki pemikiran tidak sehat atau berpikir negatif akan menerima keputusan keluarga dengan anggapan jika masih tinggal bersama akan menyusahkan serta menghambat masa depan anak-anak.
Untuk menghindari harga diri yang rendah, lansia diharapkan dapat mempertahankan serta meningkatkan pikiran positif agar dapat melanjutkan kehidupan selanjutnya, saat lansia berada di dalam panti jompo. Dengan tetap berpikir positif kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan maka lansia akan dapat melakukan penyesuaian yang baik di dalam panti, lansia dapat berinteraksi dengan baik dengan lansia lainnya serta tidak menjauhkan diri dari pergaulan baru di panti. Dengan pemikiran positif, lansia tidak akan membenci keluarga yang membawa lansia ke panti. Lansia dapat berpikir bahwa keluarga hanya ingin membuat lansia merasa bahagia dengan membawa mereka ke panti. Lansia juga diharapkan mempunyai harga diri yang positif sehingga lansia berpikir bahwa tinggal di panti jompo tidak akhir dari segalanya, bukan suatu hal yang buruk, sehingga lansia dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan lebih baik dan bahagia.
Berpikir positif juga sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan pengertian dan perasaan lansia bahwa keputusan yang diambil oleh keluarga saat membawa lansia ke panti jompo semata-mata untuk kebaikan lansia. Dimana lansia bisa berinteraksi dengan teman-teman sebaya serta dapat melakukan hal-hal yang menyenangkan, tidak hanya mengurus cucu atau pekerjaan rumah lainnya. Aspek-aspek dari berpikir positif seperti perhatian positif, afirmasi diri, penggambaran diri apa adanya, penyesuain diri terhadap keadaan dan harapan positif terhadap masa depan akan membuat harga diri lansia juga menjadi positif dalam memandang kehidupan lansia di dalam panti jompo.
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali.
METODE
Hipotesis
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan pada latar belakang, peneliti mengajukan hipotesis “Ada hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali”
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan (Azwar, 2012). Dalam penelitian ini, peneliti membagi variabel menjadi 2 yaitu: variabel independent dan variabel dependent. Sutrisno (1998) menyatakan bahwa variabel independent (variabel bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent. Sedangkan variabel dependent (variabel terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel berpikir positif sedangkan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah variabel harga diri. Berikut adalah definisi operasional masing-masing variabel:
-
1. Definisi operasional berpikir positif
Berpikir positif adalah pemusatan perhatian kepada hal-hal yang positif. Berpikir positif dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan angket skala likert yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan beberapa aspek yang dikemukakan oleh Albrecht (dalam Darmayanti, 2011) yaitu: (1) perhatian positif yaitu kemampuan individu untuk mengubah hal-hal negatif yang ada di dalam dirinya menjadi hal-hal yang bersifat positif, (2) afirmasi diri yaitu berhubungan dengan individu menonjolkan kelebihan yang dimilikinya, kekurangan yang dimilikinya tidak akan menghambat individu dan individu memiliki pemikiran bahwa dirinya sama berartinya dengan orang lain, (3) penggambaran diri apa adanya yaitu individu mampu menerima dan menggambarkan keadaan dirinya secara apa adanya, tanpa berusaha menutupi kelemahan atau kekurangan yang dimilikinya dan tidak menilai keadaan orang lain, (4) penyesuaian diri yaitu berhubungan dengan kesadaran individu mengenai sesuatu yang terjadi pada suatu keadaan dan penerimaan keadaan tersebut sebagai wujud kemampuan penyesuaian diri, dan (5) harapan positif yaitu berhubungan dengan anggapan individu bahwa dirinya mampu mencapai kesuksesan dan berusaha untuk mencapai kesuksesan tersebut dengan motivasi diri secara verbal. Dinamika hubungan indikator akan diambil dari Albrecht (Dalam Darmayanti, 2011). Dalam angket ini, dapat dikaitkan bahwa skor yang tinggi menunjukkan berpikir positif pada lansia yang positif pula.
-
2. Definisi operasional harga diri
Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri dalam rentangan positif-negatif. Harga diri dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan angket skala likert yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan beberapa aspek yang di kemukakan oleh Coopersmith (dalam Kuswardani, 2009) yaitu: (1) keberartian diri (significance) yaitu perasaan berarti yang dimiliki oleh individu akan bisa dilihat melalui perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh lingkungan, (2) kekuatan individu (power) yaitu
kemampuan individu untuk mempengaruhi, mengontrol dan mengendalikan orang lain disamping mengendalikan dirinya sendiri, (3) kompetensi (competence) yaitu diartikan individu memiliki usaha yang tinggi untuk meraih prestasi yang baik dan (4) ketaatan individu dan kemampuan memberi contoh (virtue) yaitu ketaatan individu terhadap aturan yang ada serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku serta mampu memberi contoh yang baik kepada orang lain. Semakin tinggi skor yang diperoleh dalam angket ini menunjukkan semakin positif harga diri yang dimiliki oleh lansia yang tinggal di panti jompo.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive proporsional sampling dari populasi lansia yang tinggal di panti jompo di Bali. Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan adalah para lansia yang tinggal di panti jompo di Bali, dimana di Bali terdapat dua panti jompo yaitu Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Wana Seraya dan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jara Marapati. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 84 lansia yang tinggal di panti jompo dengan karakteristik lansia yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu: (1) lansia yang tinggal di panti jompo dengan usia 60-90 tahun, (2) lansia dalam keadaan fisik, yaitu dapat melihat dengan baik, dapat mendengar dan berbicara dengan baik, (3) lansia tidak mengalami sakit mental seperti gangguan jiwa dan (4) lansia tidak sedang dirawat di ruang isolasi. Karakteristik-karakteristik lansia yaitu berusia 60 tahun sampai dengan 90 tahun, dalam keadaan fisik yang sehat seperti mampu melihat, mendengar dan bicara dengan baik, tidak mengalami sakit mental seperti gangguan jiwa serta tidak sedang dirawat di ruang isolasi adalah karakteristik yang diberikan oleh pihak panti kepada peneliti.
Tempat Penelitian
Penelitian ini diadakan pada dua panti jompo yang ada di Bali, yaitu PSTW Wana Seraya dan PSTW Jara Marapati, pada bulan Februari 2013.
Alat Ukur
Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Terdapat dua kuesioner dalam penelitian ini yaitu kuesioner berpikir positif dan kuesioner harga diri. Kuesioner berpikir positif dan kuesioner harga diri disusun sendiri oleh peneliti.
Kuesioner dalam penelitian ini terbagi atas 4 bagian yaitu bagian pertama berisi kata pengantar, bagian kedua yaitu surat pernyataan dari subjek, bagian ketiga adalah kuesioner tentang berpikir positif dan bagian keempat adalah kuesioner tentang harga diri. Kedua kuesioner digunakan system penilaian dengan menggunakan skala likert yang disusun menjadi 4 alternatif jawaban.
Jawaban item skala Likert merupakan gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif yang dapat berupa katakata: sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.
Validitas dalam penelitian ini ditinjau dengan pendekatan konsistensi internal dengan menggunakan metode single trial administration. Selain dari validitas empirik, kuesioner juga dilihat dari validitas isi. Validitas isi tes ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah item. Pendapat professional didapat dengan berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Dalam penelitian ini, reliabilitas dihitung dengan menggunakan formula Alpha Cronbach’s untuk melihat konsistensi internalnya dengan menggunakan software SPSS PC. 17.0.
Setelah melalui tahap pengujian validitas dan reliabilitas tersebut, ditemukan bahwa kuesioner berpikir positif memiliki 22 item yang valid dengan koefisien reliabilitas 0,944 dan kuesioner harga diri memiliki 23 item yang valid dengan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,959.
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengukuran terhadap dua variabel penelitian, yaitu variabel berpikir positif dan variabel harga diri. Kedua variabel tersebut diukur dengan kuesioner. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 84 lansia yang tinggal di panti jompo di Bali.
Teknik Analisis Data
Secara spesifik, penelitian ini merupakan bentuk studi korelasional dengan metode analisis non parametrik menggunakan uji Kendal’s tau. Uji Kendal’s tau digunakan untuk melihat hubungan antar variabel berpikir positif dan variabel harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS 17.0.
HASIL PENELITIAN
Sebelum melihat apakah terdapat hubungan antara variabel-variabel yang ingin diteliti, peneliti melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas untuk memastikan bahwa data memang layak dan bisa digunakan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software SPSS 17.0. Suatu data dapat dikatakan normal apabila hasil uji normalitasnya berada di atas taraf signifikansi 0,05. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1
Hasil Uji Nonnalitas
Berpiklr Positif |
Harga Diri | |
Kolmogoiov-Siniinov Z |
3.140 |
2.511 |
Asymp1 Significant |
0.000 |
0.000 |
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa sebaran data pada variabel berpikir positif dan variabel harga diri memiliki nilai signifikansi dengan probabilitas (p) 0,000, hal ini menunjukkan bahwa sebaran data pada kedua variabel dalam penelitian ini bersifat tidak normal.
Selain itu, dilakukan pula uji linearitas untuk melihat apakah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen bersifat linear. Asumsi linearitas dapat diuji menggunakan compare means dengan bantuan software SPSS 17.0. Apabila signifikansinya berada di bawah taraf signifikansi 0,05, maka hubungannya dinyatakan linear.
Tabel 2
Hasil Uji Linearitas
F |
Signifikan | |||
Total Berpikir Positif* Total Harga Diri |
Between Gioiip |
(Combined) |
121.921 |
0.000 |
Lineaiity |
919.522 |
0.000 | ||
Deviation from Linearity |
7.977 |
0.000 |
Pada tabel 2, dapat dilihat bahwa hubungan kedua variabel bersifat linear karena probabilitas (p) sebesar 0,000 atau memiliki taraf signifikansi lebih kecil dibandingkan 0,005 (p<0,005), sehingga diperoleh hubungan antara berpikir positif dan harga diri menunjukkan garis yang sejajar.
Hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali, dilihat dengan menggunakan uji Kendal’s tau dengan bantuan software SPSS 17.0. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil dari uji Kendal’s tau.
label 3
Hasil Uji KendaTs tan
Total Berpikir Positif |
Total Harga Diri | |||
KendalTs tau-b |
Total Berpikir Positif |
Conelation Coefficient |
1.000 |
0.422** |
Sig. (2-tailed) |
0,000 | |||
N |
84 |
84 | ||
Total Harga Diri |
CoiTelation Coefficient |
0,422** |
1,000 | |
Sig. (2-tailed) |
0.000 | |||
N |
84 |
84 |
'*.Conelation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Diketahui dari tabel 3 diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,422. Angka korelasi yang diperoleh memiliki nilai (+) 0,422 menunjukkan adanya hubungan antara variabel berpikir positif dengan variabel harga diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel saling memiliki hubungan atau saling berkorelasi. Koefisien determinasi menunjukkan besarnya peran atau sumbangan yang dapat diberikan oleh variabel bebas kepada variabel tergantung. Dalam penelitian ini, sumbangan dari variabel berpikir positif terhadap variabel harga diri sebesar 17,8%, sedangkan sumbangan dari variabel lain selain variabel berpikir positif adalah 82,2%.
Pada tabel 3, juga dapat dilihat bahwa nilai angka probabilitas (p) dari variabel berpikir positif dan variabel harga diri yaitu sebesar 0,000. Dimana angka tersebut mencerminkan p<0,05 yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima yang menyatakan “Ada hubungan antara berpikir
positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali”. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali.
Peneliti juga melakukan pengkategorisasian skor untuk menambah hasil dalam analisis data penelitian. Kategorisasi dilakukan untuk melihat subjek yang memiliki skor paling tinggi dan rendah pada masing-masing variabel. Penggolongan ini bertujuan untuk menempatkan subjek ke dalam kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2010).
Tabel 4
Rumus Kategorisasi Skor
Skor |
Kategorisasi |
X<(μ-l,5σ) |
Sangat Negatif |
(μ-l,5σ)<X≤(μ -0.5 σ) |
Negatif |
(μ-O.5σ)<X≤(μ + O.5σ) |
Netral |
( μ + 0,5 σ ) < X ≤ ( μ + 1,5 σ ) |
Positif |
(μ+l,5σ)<X |
Sangat Positif |
Variabel berpikir positif memiliki skor minimal 22 dan skor maksimal 88, dengan rentang skor skala (range) sebesar 44. Standar deviasi sebesar 7,4 dengan mean teoritis sebesar 55. Hasil kategorisasi variabel berpikir positif sebagai berikut:
Tabel 5
Hasil Kategorisasi Variabel Beipikir Positif
Variabel |
Reutaug Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase (%) |
Berpikir Positif |
X ≤ 43,9 |
Sangat Negatif |
9 |
10,7 |
43,9 <X≤ 51,3 |
Negatif |
0 |
0 | |
51,3 <X≤ 58,7 |
Netral |
0 |
0 | |
58,7 <X≤ 66.1 |
Positif |
55 |
65.5 | |
66,1 <X |
Sangat Positif |
20 |
23,8 | |
Jumlah |
84 |
100 |
Dari analisis kategorisasi kuesioner berpikir positif pada tabel 5 di atas menunjukkan subjek hanya termasuk ke dalam kategorisasi sangat negatif, positif dan sangat positif. Jumlah subjek yang masuk ke dalam kategorisasi sangat negatif sebanyak 9 lansia (10,7%), jumlah lansia yang masuk ke dalam kategorisasi positif sebanyak 55 lansia (65,5%) dan jumlah subjek yang masuk ke dalam kategorisasi sangat positif sebanyak 20 lansia (23,8%).
Variabel harga diri memiliki skor minimal 23 dan skor maksimal 92, dengan rentang skor skala (range) sebesar 69. Standar deviasi sebesar 11,5 dengan mean teoritis sebesar 57,5. Hasil kategorisasi variabel harga diri sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Kategorisasi Variabel Haiga Diri
Variabel |
Rentang Nilai |
Kategori |
Subjek |
Persentase |
Harga Diri |
X ≤ 40.25 |
Sangat Negatif |
0 |
0 |
40,25 <X≤ 51,75 |
Negatif |
9 |
10.7 | |
51,75 < X ≤ 63,25 |
Netral |
1 |
1,2 | |
63,25 < X ≤ 74,75 |
Positif |
74 |
88.1 | |
74.75 < X |
Sangat Positif |
0 |
0 | |
Junilah |
84 |
100 |
Dari analisis kategorisasi kuesioner harga diri pada tabel 6 di atas menunjukkan subjek hanya termasuk ke dalam kategorisasi negatif, netral dan positif. Jumlah subjek yang
masuk ke dalam kategorisasi negatif sebanyak 9 lansia (10,7%), jumlah lansia yang masuk ke dalam kategorisasi netral sebanyak 1 lansia (1,2%) dan jumlah subjek yang masuk ke dalam kategorisasi positif sebanyak 74 lansia (88,1%).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data, dapat dikatakan bahwa uji hipotesis alternatif dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu Ada hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengolahan data yang menggunakan analisis non parametrik dengan menggunakan uji Kendall’s tau. Nilai signifikansi yang didapat sebesar 0,000 dimana nilai ini lebih kecil dari 0,05. Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara variabel berpikir positif dengan variabel harga diri. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (r2) yang diperoleh sebesar 0,178. Nilai ini memiliki arti bahwa sumbangan variabel berpikir positif terhadap variabel harga diri yaitu sebesar 17,8% sedangkan 82,2% dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel berpikir positif.
Menurut asumsi peneliti dan teori-teori yang ada, variabel lain tersebut adalah (1) perlakuan orang lain, (2) persepsi individu dan (3) kecintaan pada diri sendiri. Santrock (2002) menyatakan bahwa perlakuan orang lain akan mempengaruhi harga diri individu, dimana saat seorang berperilaku negatif pada individu maka harga diri individu tersebut akan menjadi negatif. Berperilaku tidak baik terhadap individu akan membekas kepada individu dan memberikan dampak kepada individu termasuk berpengaruh kepada harga diri. Donna (dalam Irawati, 2012) menyebutkan persepsi individu juga mempengaruhi harga diri individu, dimana individu mempersepsikan sendiri perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain kepada dirinya apakah orang lain menganggap dirinya berharga atau tidak. Buss (dalam Retno, 2006) juga menyatakan bahwa semakin individu mencintai dan menghormati dirinya sendiri dengan segala atribut yang dimilikinya, maka individu tersebut juga akan memiliki harga diri yang tinggi. Ketika individu mencintai dirinya, individu akan lebih percaya diri dan mengeluarkan semua potensi yang dimilikinya kepada semua orang. Individu tidak akan ragu-ragu untuk mengeluarkan potensi dan menunjukkannya kepada orang-orang disekitarnya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Herabadi (2007) yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara kebiasaan individu yang berpikir positif dengan harga diri yang tinggi. Adanya hubungan antara berpikir positif dengan harga diri juga ditunjukkan dari pernyataan yang dikemukakan oleh Harter (dalam Darmayanti, 2011) dimana disebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi harga
diri adalah individu yang terbiasa berpikir positif. Ketika lansia yang tinggal di panti jompo dapat berpikir positif, maka harga diri lansia tersebut juga akan menjadi tinggi. Faridah (2004) menyatakan bahwa di saat individu berpikir positif tentang dirinya maka akan membuat harga diri individu tersebut tinggi. Ini berarti individu akan merasa dirinya kuat dan dapat berpikir tenang. Karena itu seseorang akan berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik sehingga menimbulkan rasa berharga di dalam dirinya. Sebaliknya, jika individu memiliki harga diri yang rendah, individu tersebut akan merasa tidak layak dan tidak mampu berbuat apa-apa. Oleh karena itu individu akan kehilangan kesempatan yang sebenarnya untuk memperlihatkan kemampuannya. Sebagian besar lansia di panti jompo di Bali selalu berpikir positif dan memiliki harga diri yang tinggi, hal ini dikarenakan lansia berpikir bahwa keputusan keluarga membawa lansia ke panti jompo bukan karena dirinya tidak berguna lagi atau karena keluarga mereka tidak menyayanginya lagi. Sebaliknya, lansia berpikir bahwa keputusan keluarga membawa lansia ke panti jompo untuk memberikan kesempatan kepada lansia berinteraksi dengan lansia lainnya yang memiliki usia dan hobi yang sama dengannya. Dengan begitu lansia akan mampu menjalani kehidupannya di dalam panti dengan baik dan tanpa beban (Monks, 2002). Lansia akan selalu ceria dan menunjukkan kemampuannya kepada semua penghuni panti yang lainnya. Lansia yang selalu berpikir positif dan memiliki harga diri yang tinggi akan mampu menularkan sifat-sifat dan sikap-sikap positifnya kepada penghuni panti lainnya. Lansia dapat membantu lansia lainnya yang dalam kesusahan, serta dapat mengeluarkan ide-idenya yang baik untuk kemajuan panti dan kemajuan bersama. Penelitian Goodhart (dalam Bagus, 2007) terhadap 173 mahasiswa menemukan bahwa berpikir positif mempunyai hubungan yang signifikan dengan kondisi psikologis yang positif, tetapi tidak berhubungan dengan adanya efek negatif dan symptom psikologis. Individu yang berpikir positif akan menunjukkan tingkat kondisi psikologis yang lebih positif antara lain dilihat dari afek harga diri, kepuasan umum dan kepuasan yang bersifat khusus. Dari analisis per item juga ditemukan bahwa pemikiran yang positif dan fokus pada kekuatan yang dimiliki oleh individu akan membangun harga diri yang positif pada individu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan ketika lansia selalu berpikir positif, maka lansia juga dapat mengembangkan harga diri yang tinggi dimana dapat dilihat dari lansia yang menerima dirinya, memandang dirinya secara positif dan dapat menyesuaikan diri pada keadaan yang dihadapinya setiap hari.
Dari pengolahan data didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali, hal ini dapat di karenakan beberapa faktor yaitu:
-
1. Lansia mampu menerima diri dan keadaan di dalam panti jompo
Lansia yang mempunyai pikiran yang positif tidak akan mudah bersedih disaat lansia tidak dijenguk oleh keluarga atau anak serta cucu mereka. Lansia juga tidak akan mudah terpuruk dengan keadaan disekitarnya yang tidak sesuai dengan harapan lansia. Dengan pikiran yang positif, lansia akan menerima perubahan yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Selain itu, lansia mampu menerima keputusan keluarga yang memutuskan membawa lansia ke panti jompo. Lansia akan berpikir bahwa perubahan fisik dan psikis tidak harus disesali dan dihindari, tapi hal tersebut adalah bagian kehidupan yang harus dijalani dengan iklas. Lansia yang memiliki pemikiran yang positif cenderung akan menyukai aktivitas yang ada di dalam panti dan dapat bergaul dengan baik dengan penghuni panti lainnya seperti lansia dan petugas panti. Lansia juga akan lebih mudah menerima perubahan yang terjadi sehari-hari di dalam panti dan dapat melakukan penyesuaian diri lebih baik. Penerimaan diri ini akan membuat lansia selalu berpikir positif dan memiliki harga diri yang tinggi untuk melanjutkan kehidupannya (Darmayanti, 2011).
Lansia yang tinggal di panti jompo di Bali mampu menerima dirinya serta keadaan yang di alaminya. Ini ditunjukkan dari jawaban yang diberikan oleh lansia saat mengisi kuesioner. Pada kuesioner berpikir positif, sebagian lansia menjawab setuju dan sangat setuju pada item nomor 2 yang menyatakan bahwa lansia menerima keberadaan dirinya di panti jompo. Sebanyak 53 lansia (63,1%) menjawab setuju pada pernyataan tersebut. Sedangkan sebanyak 20 lansia (23,8%) menjawab sangat setuju pada pernyataan itu. Hal ini menunjukkan bahwa 86,9% lansia yang tinggal di panti jompo di Bali selalu berpikir positif dan memiliki harga diri yang tinggi karena dapat menerima keberadaannya di dalam panti dan dapat menerima semua perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya.
-
2. Lansia mampu menyesuaikan diri
Adanya hubungan antara berpikir positif dengan harga diri pada lansia yang tinggal di panti jompo di Bali juga dapat dilihat dari para lansia yang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan atau perubahan lingkungan yang dialami lansia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Darmayanti (2011) yang menyatakan bahwa individu yang selalu berpikir positif akan memusatkan perhatian pada hal-hal yang positif pula. Jika terjadi masalah dalam kehidupan sehari-hari lansia, lansia tidak akan cepat berpikir negatif dan menyalahkan orang lain serta keadaan, lansia akan tetap tenang, rileks dan mampu menyesuaikan diri hingga dapat mengatasi masalah yang terjadi. Kemampuan penyesuaian diri pada lansia di panti jompo menunjukkan harga diri lansia yang tinggi, dimana seperti yang dikemukakan oleh Bernard (dalam Darmayanti,
2011) bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan cenderung lebih mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan yang dihadapinya. Penyesuaian diri terhadap keadaan berhubungan dengan kesadaran individu mengenai sesuatu yang terjadi pada suatu keadaan dan penerimaan keadaan tersebut.
Sebanyak 53 lansia (63,1%) lansia menjawab setuju pada nomor item 1 kuesioner berpikir positif dan sebanyak 20 lansia (23,8%) lansia menjawab sangat setuju pada nomor item 1. Hal ini menunjukkan bahwa 86,9% lansia yang tinggal di panti jompo di Bali dapat bersemangat setiap hari. Saat lansia bersemangat setiap hari, maka dapat dikatakan lansia dapat menyesuaikan dirinya saat berada di dalam panti. ketika lansia dapat melakukan penyesuaian diri dengan keberadaannya di dalam panti, maka dapat dikatakan bahwa lansia mampu berpikir positif. Sebanyak 57 lansia (67,9%) menjawab setuju pada item nomor 12 kuesioner berpikir positif yang menyatakan lansia senang bergaul dengan semua penghuni panti jompo. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya yaitu tinggal di dalam panti, jauh dengan keluarga dan tidak bisa bertemu dengan anak-anak serta cucu mereka sesering mungkin, seperti pada lansia yang tinggal di rumah sendiri bersama keluarga mereka. Dengan kemampuan lansia menyesuaikan diri, lansia akan dapat berpikir positif terhadap keluarga dan keadaan sehingga harga diri lansia juga akan menjadi positif dalam menghadapi perubahan-perubahan sehari-hari di dalam panti.
-
3. Lansia mampu memandang diri secara positif
Santrock (2002) menyatakan bahwa ketika individu mampu berpikir positif tentang dirinya dan tidak merendahkan diri serta mencela dirinya sendiri maka akan membuat harga diri individu tersebut menjadi tinggi. Lansia yang tinggal di panti jompo di Bali, selalu berpikir positif terhadap dirinya, hal ini dapat ditunjukkan dari jawaban yang diberikan lansia saat mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti.
Sebagian besar lansia menjawab setuju dan sangat setuju pada item nomor 2 kuesioner harga diri yaitu sebanyak 43 lansia (51,2%) dan menjawab setuju sebanyak 32 lansia (38,1%) menjawab sangat setuju pada nomor item tersebut. Ketika peneliti bertanya pertanyaan tambahan seperti apakah lansia tidak malu tinggal di panti jompo, sebagian besar lansia menjawa bahwa lansia tidak malu tinggal di panti jompo, sebaliknya mereka sangat bersyukur karena tinggal di panti jompo, lansia lebih mudah mendapatkan pelayanan kesehatan, banyak bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman sebaya, serta tidak menyusahkan keluarga, anak dan cucu yang sibuk bekerja.
-
4. Lansia mampu menunjukkan kekuatan yang
dimilikinya
Penelitian institute Adi (dalam Aswendo, 2010) menyatakan bahwa harga diri adalah penentu prestasi dan keberhasilan individu. Individu dengan harga diri yang tinggi akan memiliki kekuatan pribadi yang luar biasa besar dan akan berhasil melakukan apa saja di dalam hidupnya. Dengan kekuatan pribadi yang besar, individu dengan harga diri yang tinggi pasti akan lebih unggul dan berprestasi dibandingkan dengan orang yang memiliki harga diri yang rendah. Jika lansia memiliki pemikiran yang positif, lansia akan terhindar dari pemikiran buruk tentang dirinya dan orang lain, sehingga lansia akan mengekpresikan diri dan berinteraksi dengan baik kepada sesama lansia yang tinggal di panti. Lansia tidak akan minder dan menjauhkan diri dari pergaulan di dalam panti, dengan begitu dapat dikatakan bahwa harga diri lansia tinggi. Lansia yang tinggal di panti jompo di Bali mampu menunjukkan kekuatan yang dimilikinya, hal ini dapat dilihat dari jawaban yang diberikan lansia pada saat mengisi kuesioner. Sebagian besar yaitu sebanyak 75 lansia (89,3%) lansia menjawab setuju pada nomor item 5 dan 6 kuesioner harga diri yang menyatakan bahwa lansia dapat mengontrol dirinya dan mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapinya sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa lansia mampu menunjukkan kekuatan yang dimilikinya saat lansia berada di dalam panti jompo. Aspek kekuatan ini termasuk dalam aspek harga diri, untuk itu dapat dikatakan bahwa lansia yang tinggal di panti jompo di Bali memiliki harga diri yang tinggi.
-
5. Lansia mampu menunjukkan kompetensi yang
dimilikinya
Pemikiran positif yang dikembangkan oleh lansia akan membuat harga diri lansia tersebut menjadi positif atau tinggi. Dimana, saat lansia mampu berpikir positif terhadap dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar, maka lansia tidak akan menjadi minder atau menjauhkan diri dari pergaulan bersama lansia yang ada di panti jompo. Lansia akan berinteraksi dengan baik serta tidak malu menunjukkan diri kepada lansia lainnya dan juga petugas panti. Hal ini dapat menguntungkan lansia karena lansia dapat menunjukkan bahwa dirinya berharga dimata orang lain. Lansia dapat menunjukkan kepada lansia lainnya bahwa lansia masih mampu dan mempunyai talenta untuk mendedikasikan keterampilan yang dimilikinya kepada orang lain (Michael, 2011). Sebaliknya, jika lansia memiliki pemikiran yang negatif, lansia akan menarik diri dan tidak percaya diri untuk menunjukkan potensi di dalam dirinya kepada orang lain. Lansia seperti itu adalah lansia yang memiliki mental yang lemah. Mental lemah ini dikarenakan pemikiran negatif lansia tersebut yang mana lansia selalu merasa tidak aman, kuatir, takut, gelisah dengan hal-hal yang kecil. Karena kerja otak sudah dipenuhi dengan pemikiran negatif tersebut, maka tidak ada tempat untuk memikirkan pikiran positif atau bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang
lain. Pemikiran negatif adalah pemikiran yang mengganggu, gambaran-gambaran atau ide-ide yang buruk namun menghantui, bersifat menyusahkan, dan sulit di atur, sehingga lansia merasa tidak bebas (Michael, 2011). Apabila lansia merasa tidak bebas akan membuat lansia mengurung diri dan tidak bisa mengekspresikan dirinya kepada lansia yang lainnya, sehingga membuat harga diri lansia tersebut juga rendah.
Lansia yang tinggal di panti jompo di Bali dapat menunjukkan kompetensi yang dimilikinya, hal ini ditunjukkan dari jawaban yang diberikan oleh lansia pada saat pengisian kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Pada kuesioner harga diri, kebanyakan lansia menjawab setuju dan sangat setuju pada item-item yang menunjukkan bahwa lansia memiliki kompetensi yang kuat yaitu item nomor 1, 11 dan 21. Sebanyak 62 lansia (73,8%) menjawab setuju pada item nomor 1 yang menyatakan bahwa lansia mengikuti semua kegiatan di panti dengan baik. Sedangkan 13 lansia (15,5%) menjawab sangat setuju pada pernyataan item tersebut. Sebanyak 62 lansia (73,8%) menjawab setuju pada pernyataan item nomor 11 yaitu lansia sangat gigih dan ulet dalam menghadapai masa depannya. Sebanyak 64 lansia (76,2%) menjawab setuju pada item nomor 21 yang menyatakan bahwa lansia dapat mengeluarkan pendapatnya dengan baik. Dan sebanyak 13 lansia (15,5%) menjawab sangat setuju pada item tersebut. Item-item tersebut menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti jompo di Bali dapat menunjukkan kompetensi yang dimilikinya. Dengan begitu, lansia juga akan memiliki pemikiran yang positif terhadap diri, orang lain dan lingkungan sekitar. Pemikiran yang positif tersebut akan membuat harga diri lansia tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anjasmoro.(2011).Variabel dan Hipotesis Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Andy, F.(2009).Discovering Statistic Using SPPS Edisi 3. Los Angeles: Sage
Aswendo, D. Hidayat, F & Dian, S.R.(2010).Pengaruh pelatihan berpikir positif pada efikasi diri akademik mahasiswa (studi eksperimen pada mahasiswa fakultas psikologi undip, semarang). Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Diponogoro, Semarang, Vol. 8, No. 2
Azwar, S.(1992).Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S., Notodiputra, K., Alamudi, A., Sadik, K. (2009). Statistika Dasar. Bogor: Grasindo.
Azwar, S.(2012).Penyusunan skala Psikologi edisi kedua.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S.(2012).Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bagus, M., & Bachtiar. MM.(2007).Hubungan berpikir positif
dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan
Cahyawati, R.(2008).Perbedaan makna hidup pada lansia yang tinggal di panti wredha dengan yang tinggal bersama keluarga. Semarang: Universitas Diponogoro
Chaerani (1995).Hubungan antara berpikir positif dan harga diri dengan daya tahan menghadapi stres. Jakarta: Universitas Indonesia
Darmayanti, E.S., & Purnamasari, A.(2011).Berpikir positif dengan harga diri wanita yang mengalami masa premenopause. Jurnal Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Humanitas, Vol.VIII No. 2
Daryanto, M.T.(2008).Hubungan karakteristik demografi dengan harga diri lanjut usia di rw 2 kelurahan wijaya pura-jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, EconoSains-Vol.8 No.3
Erawati, D.A.(2006).”10 minggu mencari cinta”: program intervensi bagi penghuni panti whreda dan panti asuhan. Depok: Universitas Indonesia
Faridah, A.R.(2004).Pengaruh pelatihan harga diri terhadap penyesuaian diri pada remaja. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan
Geo, D.F.(2010).Hubungan citra merek terhadap harga diri pada remaja. Sumatera Utara: Fakultas Psikologi.
Hayati, S.(2010).Pengaruh Dukungan sosial terhadap kesepian pada lansia. Sumatera Utara: Fakultas Psikologi.
Herabadi, A.G.(2007).Hubungan antara kebiasaan berpikir negatif tentang tubuh dengan body esteem dan harga diri. Jakarta: Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
Hidayat, H.(2013).Model Konseling Kelompok untuk meningkatkan Regulasi kaum lansia di panti jompo. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.
Higgins J.F.,Kleinbau, A.P., Miler, P.(1985).Design Methodology of Randomized Clinical Trials Family Health International: Research Triangle Park. Nort California 27709 USA
Hurlock, B.E.(1999).Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentan kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hutapea, B.(2011).Emotional intelegence dan psychological wellbeing pada manusia. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, INSAN Vol. 3 No. 02
Irawati, N., & Nurahma, H.(2012).Hubungan antara harga diri (self esteem) dengan prestasi belajar pada siswa SMKN 48 di Jakarta Timur. Jurnal Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta Volume X, Nomor 2
Kertajaya, R.(2011).20 keajaiban berpikir positif. Yogyakarta: Sinar Ilmu
Kuswardani, I., & Risa, P.(2009).Hubungan antara harga diri dan prestasi belajar fisika pada siswa STM. Surakarta: Universitas Setio Budi
Manabung, D.(2006).Faktor-faktor yang berhubungan dengan stres psikososial lansia di panti sosial tresna wredha ilomata kota gorontalo. Gorontalo: Poliklinik Kesehatan Kemenkes
Michael, A.(2011).Kekuatan super dasyat berpikir positif.
Yogyakarta: Pinang Merah Publisher
Monks, F.J – A.M.P. Knoers, Siti, R.H.(2002).Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Mulyana, H., & Santi, E.P.(2010).Hubungan antara harga diri dengan sikap terhadap perilaku seksual pranikah remaja dari keluarga broken home. Jurnal Fakultas Psikologi
Universitas Mercu Buana Yogyakarta PSYCHO IDEA, Tahun 8 No.2, Juli 2010 ISSN 1693-1076
Nariza, W.W.(2010).Uji Korelasi Rank Kendall Tau untuk Mengetahui Hubungan antara IQ dan Prestasi Kerja. Semarang: Universitas Diponogoro
Novliadi, F.(2009).Hubungan antara organization based self-esteem dengan etos kerja. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Nurgiyantoro,dkk.(2009).Statistik terapan (untuk Penelitian ilmu-ilmu sosial).Yogyakarta: Gajah Mada University
Nurhanifah, P.(2007).Hubungan antara harga diri dan dukungan sosial dengan depresi pada lansia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Papalia D.E., Harvey L.S.,Ruth D.F., Cameron, J.C. (2007). Adult Development and Aging. Mc Graw-Hill International Edision
Papalia, D.E., Old, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika.
Partini, S.S. (2011). Psikologi lanjut usia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Prasetyo, E., & Utomo, T.(2012).Well-being pada lansia yang tinggal di panti wredha atas dasar keinginan sendiri. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala.
Priyatno, D.(2012).Belajar cepat olah data statistik dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset
PRmob.(2012).Berpikir positif dan disiplin diri. Yogyakarta: Andi Offset
Puspito,S.C.(2009).Jurnal Harga diri pada remaja putrid yang telah melakukan hubungan seks pranikah. Universitas Gunadarma
Retno, P.S., Tri, R.A., & Achmad, M.M.(2006).Pengungkapan diri mahasiswa tahun pertama universitas di ponogoro ditinjau dari jenis kelamin dan harga diri. Semarang: Universitas Diponogoro
Ridha, O.(2008).Self esteem. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia
Riduwan & Sunarto, H.(2009).Pengantar Statistik untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan bisnis. Bandung: Alfabeta
Roscoe.(1992).Research Method for Bussines. Yogyakarta: Sinar Ilmu.
Sakina, E.(2008).Berpikir benar, berpikir positif. Jakarta: Erlangga
Santrock, J.W. (1995). Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W.(2002).Life-Span development perkembangan masa hidup edisi 5. Jakarta: Erlangga
Santrock, J.W(2002). Remaja edisi 11 jilid 1. Jakarta: Erlangga
Saputri, A.W., & Endang, S.I.(2011).Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Depresi pada lanjut usia yang tinggal di panti wredha Wening Wardoyo Jawa Tengah. Semarang: Universitas Diponogoro
Sarvatra, W. E.(2007).Jurnal subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo. Universitas Gunadarma
Sugiyono.(2005).Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sugiyono.(2006).Statistik untuk Penelitian jilid 2. Bandung: Alfabeta
Sugiyono.(2012).Metode penelitian bisnis. Bandung: Alfabeta
Sutrisno, H.(1988).Statistik 2. Andi Offset: Yogyakarta
Suwarti.(2010).Kemandirian lanjut usia ditinjau dari dukungan sosial. Purwokerto: Universitas Muhamadyah
Warsito, H., & Sulistyowati, H.(2009).Penerapan konseling realita untuk meningkatkan harga diri siswa. Prodi BK FIP UNESA.
Zulfitri, R.(2008).Konsep diri dan gaya hidup lansia yang mengalami pernyakit kronis dipanti sosial tresna werdha (PSTW) khusnul khotimah pekan baru. Riau: Universitas Negeri Riau
137
Discussion and feedback