Demam Berdarah dalam Perspektif Urban : Analisa Statistik untuk Awareness Strategy
on
D-027
Prosiding Conference on Smart-Green Technology in Electrical and Information Systems
Bali, 14-15 November 2013
Demam Berdarah dalam Perspektif Urban : Analisa Statistik untuk Awareness Strategy
Wahjoe Tjatur S, Departemen Elektronika, EEPIS Surabaya , [email protected],
Ira Prasetyaningrum, Tri harsono , Departemen Informatika , EEPIS Surabaya, [email protected], [email protected]
Shiori Sasaki, Graduate School of Media and Governance, Keio University, [email protected]
Yasushi Kiyoki, Faculty of Environment and Information Studies, Keio University, [email protected]
Abstrak—Demam berdarah saat ini menjadi penyakit yang banyak mengancam banyak kota besar didunia saat ini. Mengingat kompleksitas pada penyebaran penyakit ini, perlu adanya strategi yang komprehensip dan bersifat preventif. Untuk mendapatkan strategi yang tepat perlu adanya analisa statistic komprehensip antara semua factor yang mempengaruhi demam berdarah yaitu perubahan iklim, peningkatan human movement dan kultur budaya dalam kebersihan. Penelitian ini berfokus pada general case analisa statistik yang diharapkan dapat menjadi dasar bagi strategi awareness demam berdarah Kata kunci: demam berdarah, analisa statistic, strategi awareness
-
I. PENDAHULUAN
Kebijakan untuk mengontrol demam berdarah sering difokuskan pada pemberantasan nyamuk Aedes aegepty sebagai vector virus demam berdarah secara terpisah. Bertambahnya jumlah korban dari tahun 2006 sampai dengan 2012 dan meluasnya daerah penyebaran[1] membuktikan bahwa metode tersebut tidak efektif untuk menyelesaikan permasalahan ini. Penyebaran demam berdarah melibatkan beberapa factor yang saling berkaitan yang mempengaruhi penyebaran demam berdarah, yaitu factor cuaca [2][3][4][5] , human movement[6][7][8], karakteristik spesifik urban demography [9][10][11] dan hygiene culture [12][13][14]. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan pemahaman komprehensip tentang hubungan yang komplek antara urbanisasi dan penyakit menular di negara berkembang[15] dan dan khususnya hubungan antara demam berdarah, dan perencanaan kota [17]. Studi ini diharapkan dapat dipakai sebagai materi pertimbangan rancangan kesehatan masyarakat [18].
-
II. OBYEK DAN METODOLOGI
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran umum tentang karakteristik urban berkaitan dengan demam berdarah. Untuk itu dipakai obyek yang mendekati model urban pada umumnya. Surabaya dipilih dengan pertimbangan kota ini sedang berkembang menjadi kota metropolis, dengan karakteristik yang sama dengan beberapa kota dari beberapa negara dalam studi ini yaitu Penang[18],KualaLumpur [19], Putrajaya[20] Malaysia,
SakonNakhon [21] (Thailand), Kao Hsiang [22] (Taiwan), Barbados Brazil[23], Guayaquil[24](Equador), Singapura[25], PhnomPenn(Cambodia) [26], Aburrá Valley[27], (Colombia), NhaTrang[28](Vietnam), Jedah[29] (Saudi Arabia). Kesamaan semua kota diatas adalah kota yang mulai berkembang menjadi metropolis ditandai dengan peningkatan jumlah industri , mobilitas penduduk tinggi , variasi pendapatan antar penduduk cukup besar, gap dalam hygiene culture besar karena banyaknya urbanisasi. Hal ini menyebabkan peningkatan pada kasus demam berdarah disemua kota tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Penelitian ini memanfaatkan data dari Surabaya, kota besar kedua di Indonesia. Surabaya memiliki 5 kabupaten, 31 (kecamatan) dan 160 kelurahan (desa) [30]. Desa dianggap unit terkecil di bawah Indonesia sistem kesehatan public.
Pada awalnya, analisis statistik adalah pendekatan sistem makro di mana semua variabel dianalisis secara
global. Karena dipakai untuk menentukan tren, maka pendekatan yang dipakai adalah korelasi, dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson[31]. Koefisien korelasi Pearson
dapat digunakan untuk menyatakan besar hubungan linier
antara dua variabel ketika data adalah data kuantitatif (data
berskala interval atau rasio) dan kedua variabel adalah
bivariat yang berdistribusi normal. Formula untuk korelasi
Pearson adalah sebagai berikut:
lp∑χΓaχj∖pτ^^
(1)
koefisien korelasi mempunyai range nilai berkisar antara -1
sampai 1. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah ada
hubungan linier yang signifikan antara dua variabel. Uji ini
termasuk klasifikasi uji statistik parametrik. Hipotesanya adalah:
Ho : ρ = 0 VS H1 : ρ ≠ 0
Statistik uji yang digunakan adalah statistik
uji t. Formulanya adalah sebagai berikut:
~ t(a/2 , n-2)
(2)
daerah tolak H0:
t <- t(a/2 , n-2) dan t > t(a/2 , n-2) (3)
Selanjutnya, hasil korelasi akan dianalisa dan divisualkan dalam bentuk spasial. Analisa spasial ini sangat penting untuk menggambarkan korelasi antar beberapa factor dan membuat klasifikasi untuk faktor2 demografi. berdasarkan skala Likert paling sederhana, yaitu Low, Medium, High. Hasil akan divisualisasikan melalui Sistem Informasi Geografis.
-
III. HASIL DAN ANALISA
-
A. Demogafi dan Pergerakan manusia
Penelitian sebelumnya telah meneliti efek dari kepadatan penduduk di beberapa wilayah, seperti Malaysia[32] yang menjelaskan bahwa kasus demam berdarah tinggi terjadi pada kepadatan penduduk yang tinggi dan hasil yang lain di Vietnam [33] yang menunjukkan kasus tinggi pada kepadatan penduduk rendah. Hasil kontras mengarah untuk mengeksplorasi hubungan antara kepadatan penduduk dan kasus demam berdarah di setiap kecamatan. Untuk tujuan ini, kepadatan dan jumlah kasus akan diklasifikasikan berdasarkan skala Likert paling sederhana, yaitu Low, Medium, High. Hasil klasifikasi ditunjukkan pada tabel 1
Hasilnya menunjukkan empat kombinasi hubungan: Tipe A adalah kepadatan rendah- kasus rendah (L, L), Tipe B adalah kepadatan rendah, kasus medium/ tinggi (L, M / H), Tipe C adalah kepadatan medium/high- kasus low/medium (M / H, L / M), dan TipeD adalah kepadatan medium/high-kasus tinggi (M / H, H).
Klasifikasi hasil ini dapat melingkupi perbedaan antara [15] dan [16] dan menjawab pertanyaan mengapa tidak ada korelasi antara kasus dan kepadatan. Penemuan ini merupakan jendela untuk melihat kota sebagai puzzle dengan keragaman karakteristik kota ketimbang berasumsi bahwa setiap kota hanya memiliki satu karakteristik. Hasil penelitian ini diharapkan lebih komprehensif daripada beberapa penelitian di Jedah[29] Arab Saudi Penang[18] Malaysia Guayaquil, Equador [24]
Hal penting adalah menginvestigasi data tahun 2006 sampai 2011 untuk menyelidiki kemungkinan penyebaran penyakit tersebut melalui pergerakan manusia. Tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat kontak adalah industri atau perdagangan, sekolah dan supermarket/ perbelanjaan. Industri atau perdagangan mewakili kontak dalam jam kerja yabg juga merukana “jam kerja” nyamuk, sekolah mewakili kemungkinan pergerakan manusia adalah setengah-setengah (sekolah dan rumah) dan supermarket mewakili kontak dalam menit, tapi berkali-kali.
Hal yang menarik adalah adanya pola di kawasan spasial tentang jenis seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada tipe A, melambangkan perubahan daerah pedesaan ke daerah industri, penggunaan lahan terutama untuk industri. Tipe A dikelilingi oleh tipe lain yang bukan tipe A. Pergerakan manusia terjadi antar kecamatan . Seseorang yang terinfeksi di daerah ini dapat berasal dari kecamatan
lain dan kasus yang tercatat di tempat tinggal mereka. Jumlah kasus dalam jenis ini tidak mencerminkan kasus insiden.
Tipe B mencerminkan daerah baru di mana orangorang kaya dengan rumah besar tinggal. Orang bergerak sepanjang hari kerja, terinfeksi di Kecamatan lainnya, membawa virus di kediaman dan menyebarkannya di tempat tinggal mereka. Pergerakan manusia berkontribusi terbesar dalam k a s u s d e m a m b e r d a r a h
Tipe C merupakan daerah perumahan dengan rumah kecil atau daerah padat penduduk. Gerakan manusia kebanyakan terjadi dalam Kecamatan itu sendiri. Kasus DBD rendah berhubungan dengan kontrol yang baik dalam vektor, yaitu faktor sosial budaya berperan penting dalam pengendalian.
Tipe D mewakili kumuh dan padat penduduk. Ini menunjukkan kompleksitas bergerak manusia, baik di dalam kecamatan atau antara kecamatan, dan faktor sosial budaya. Kedua faktor saling mendukung menyebabkan peningkatan pesat dalam kasus demam berdarah.
Gambar 1. Karakteristik setiap kecamatan
TABEL I KLASIFIKASI TIAP KECAMATAN
Type |
Characteristic |
Correlation |
Kecamatan | ||
Case-Ind |
Case_Market |
Case_School | |||
A |
High Industry Low Market Low School Low Case L/M Density |
0.168 |
0.892 |
0.168 |
Asemrowo Bulak KarangPilang Gunung Anyar Tenggilis |
B |
Low Industry Low Market L /M School L /Med Case L/M Density |
0.562 |
-0.118 |
-0.236 |
Dukuh Pakis Lakarsantri Pakal Gayungan Wiyung Mulyorejo |
C |
Low Industry L/M Market M/H School L/M Case M/H Density |
-0.289 |
-0.085 |
-0.085 |
Sambikerep Benowo Genteng Tegalsari Jambangan Wonocolo Pabean Simokerto |
D |
High Industry Low market High School High case M/H Density |
0.7 |
0.225 |
0.089 |
Sukomanunggal Tandes Bubutan Kenjeran Krembangan Semampir Sawahan Wonokromo Rungkut Sukolilo Tambaksari Gubeng |
-
B. Kondisi Lingkungan
Lingkungan dalam kasus demam berdarah adalah kondisi cuaca, dimana mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk Aedes aegepty. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan pengaruh variabel cuaca pada siklus hidup aedes aegepty , kemungkinan terjadi kontak yang menimbulkan infeksi dan tingkat kelangsungan hidup vektor dan masa inkubasi virus dengue [34] Untuk memodelkan, diambil data kejadian demam berdarah dan beberapa variabel cuaca yang ditengarai mempengaruhi kejadian demam berdarah [35]. Data untuk variabel iklim harian dikumpulkan dari Departemen Metereologis Indonesia ,disediakan oleh stasiun cuaca Surabaya. Dalam
penelitian ini data dikumpulkan dari 3 Stasiun Meteorologi dalam tiga kecamatan yang berbeda. Hasilnya ditunjukkan dalam Tabel 2. Kelembaban mengacu pada kelembaban relatif rata-rata untuk hari tertentu .Kelembaban tertentu diukur dengan alat yang disebut hygrometer dan dinyatakan sebagai dinyatakan sebagai persentase (%).Hujan mengacu pada jumlah curah hujan harian (dalam milimeter ) untuk hari tertentu dan dikumpulkan selama 24 jam periode awal dari pukul 08.00 pagi sampai hari berikutnya . Temp_max dan Temp_Min lihat suhu dicatat dalam sehari masing-masing. Angin mengacu pada kecepatan angin rata-rata per hari di stasiun cuaca
. tabel 1i. data cuaca dari 3 stasiun
Perak 1 (Krembangan) |
Perak 2 (Pabean Cantikan) |
Juanda (Gunung Anyar) | ||||||||||
Humidity |
Wind |
Temperature |
RainFall |
Humidity |
Wind |
Temperature |
RainFall |
Humidity |
Wind |
Temperature |
RainFaH | |
max av⅛ min |
⅛ ⅛ed |
maxavemiιj |
Speed |
maxavemin |
maxave min |
Speed | ||||||
Janijaiy |
97/47/82 |
7 |
34.2/27.422.8 |
123 |
90/78/63 |
7 |
32.3'28.2.25 2 |
174.5 |
99/81/52 |
8.9 |
33.3.27/23 |
230.5 |
Psbruaiy |
97/54/81 |
7 |
344/27.7.23.2 |
174 |
89/7861 |
6 |
32.7'28.3 25.5 |
172.4 |
98/74/55 |
8.3 |
33.627/23 |
212.8 |
March |
97/81/53 |
6 |
34.2 27.9/23.6 |
461 |
91 ^^ 58 |
5 |
33.3 287 25.5 |
375 |
97/83/55 |
7 |
33.7.27,1.23 |
398.5 |
April |
95/81/52 |
6 |
34.3 28.224 |
275 |
91/78/59 |
4 |
33.2 28.8 25.7 |
252.3 |
97/83/54 |
7 |
32.727.4/23 |
140.8 |
Mey |
96/76/45 |
6 |
34.5 2 8.9 24.5 |
70 |
89'75/57 |
5 |
33.7/29.2.25.9 |
78.9 |
97/80/50 |
6 |
32.6/27.7/23.5 |
156.8 |
Juns |
97/70/38 |
7 |
34.8/28.1/22 |
28 |
85/70/51 |
7 |
33.2/28.3/24.3 |
21.3 |
94/75/43 |
7 |
32.6 26.8.20.4 |
31.3 |
Jtiy |
92/70/38 |
6 |
33.6/28.1/22 |
0 |
85/69.49 |
8 |
33.1/28.4244 |
1.6 |
92/75/43 |
7 |
31.S 26.6 2O.6 |
30.7 |
August |
89/67/35 |
S |
34.2/28/21.4 |
0 |
82/65/45 |
8 |
33.1.28.224 |
0 |
96/72/39 |
7.1 |
32.4.26.320 |
0 |
Septembsf |
91/66/33 |
5 |
35/28.6/22.8 |
0 |
82 64 43 |
8 |
3428.9/24.4 |
C |
85.7141 |
7.3 |
33.4.26.3.21.7 |
C |
October |
92 6528 |
8 |
36.429.8/22.8 |
23 |
81/63/45 |
8 |
34.7.∙302 29.9 |
28 |
85/6841 |
7.6 |
34.82922.6 |
9.7 |
November |
97/77/44 |
6 |
354 28.9 23.6 |
205 |
89 7456 |
5 |
33.929.7.26 |
181.5 |
95/77/48 |
7 |
34.6 28.6 23.5 |
260.9 |
December |
97/79/47 |
5 |
35/28.3/23.6 |
356 |
90/77/58 |
6 |
33.7/29.1.25.7 |
516.2 |
98/81/56 |
6.4 |
34.2.27.8.22.9 |
317.1 |
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dimulai ketika iklim (suhu , kelembaban , dan curah hujan ) yang konduktif membuat telur nyamuk berubah menjadi larva , larva menjadi pupa dan kemudian menjadi nyamuk dewasa . Semua Siklus Hidup memerlukan waktu dari dua minggu sampai satu bulan . Kemudian, periode Siklus Hidup dilanjutkan dengan masa penularan , dan kedua periode membutuhkan waktu 10-21 hari Virus yang ditularkan ketika nyamuk Aedes betina menggigit dan menghisap darah yang mengandung virus dengue dari orang yang terinfeksi melalui periode yang dikenal sebagai ' inkubasi. Ini berlangsung sekitar tujuh hingga dua belas hari setelah itu akan bertransmisi kepada orang lain [2][4][36].Untuk alasan ini manifestasi variabel iklim dirasakan dalam bentuk jumlah korban pada bulan berikutnya [37]. Tabel 3 menunjukkan korelasi kasus terhadap cuaca.
TABEL III. KORELASI KASUS TERHADAP CUACA
Suhu |
Curah Hujan |
Kecepatan Angin |
Kelembaban | ||
20-28 |
0.83 |
45-80 |
-0.77 | ||
28-36 |
-0.639 |
0.911 |
-0.329 |
75-90 |
0.723 |
Suhu mempengaruhi perkembangan nyamuk tetapi kisaran suhu yang bervariasi untuk setiap tempat tergantung pada lokasi , misalnya di Barbados (Karibia) adalah 25oC-30oC[38], KaoHsiang(Taiwan) lebih dari 18oC[5] dan optimal di 28oC[39],Thailand dan Brazil adalah 25oC-28 oC [30]. Meskipun ada beberapa variasi dalam kisaran yang optimal , demam berdarah memiliki suhu optimal , terutama dalam cuaca bagus yang sama dengan manusia . Dalam pemanasan global , suhu dunia meningkat [39] dan ini adalah penjelasan mengapa penyebaran DBD melebar sampai di daerah subtropis. Dibandingkan dengan beberapa penelitian serupa di Putra jaya [20] , Singapura [25] dan bahkan di Surabaya [2] yang memanfaatkan data global di
satu kota , penelitian ini memanfaatkan data data yang lebih spesifik dari tiga kecamatan di mana stasiun meteorologi mencakupnya.
Efek kelembaban , secara teoritis berbanding terbalik dengan efek suhu dalam kasus demam berdarah[35].Dalam beberapa kasus seperti Guadeloupe[40], kelembaban relatif umumnya tinggi (63,16-85,29%) untuk mempertahankan tingkat kelangsungan hidup nyamuk[28][32] [38] . Dalam studi ini , kelembaban memiliki dampak positif dalam kisaran 75-90 , sedangkan pada 45-75 mengurangi kasus DBD .
Curah hujan akan menjadi faktor pemicu dalam epidemi demam berdarah.Variasi hasil tentang faktor curah hujan dilaporkan di Jogjakarta(Indonesia) Chennai (India ), Yangon (Myanmar) and the Mutinlupa City (Philippines) Gampaha district (Sri Lanka) and Chachoengsao Province (Thailand) [memiliki dampak positif dalam kasus demam berdarah , di [41][42]. Kasus DBD meningkat pada musim kemarau terjadi di San Juan [43] karena hujan terjadi terus menerus sepanjang tahun dengan curah bervariasi. Dalam penelitian ini , curah hujan memiliki korelasi yang signifikan dengan kasus DBD karena kemungkinan perkembang biakan meningkat.
Di sisi lain , kecepatan angin dilaporkan di Putrajaya [20] memiliki korelasi positif terhadap dengue terjadi tetapi dalam penelitian ini tidak ada yang signifikan. Peran kecepatan angin adalah memperjauh jarak terbang nyamuk, tetapi hal ini berlaku jika arahnya sesuai sehingga mewakili invasi biologis.[44] Dalam penelitian ini arah angin adalah acak, yaitu gelombang yang sesuai tidak stabil
-
C. Hygiene Culture
Larva mengindikasikan risiko tinggi untuk penularan virus dengue [45] , namun hubungan Adese aegypti indeks untuk keragaman penyakit DBD pada dasarnya tidak diketahui [46] karena penularan virus efisien pada
kepadatan vektor rendah , dikaitkan dengan kecenderungan nyamuk untuk menyerap darah hampir secara eksklusif ( 0,6-0,8 kali per hari) , sesuatu yang meningkatkan kontak mereka dengan host (manusia) dan sebagai hasilnya meningkatkan kesempatan mereka untuk tertular atau menularkan infeksi virus . Kehadiran larva biasanya diwakili oleh House Index[47]. HI adalah data yang diambil dari sampel , bukan dari seluruh daerah , dan data dari orang yang terinfeksi diambil dari persentase total data yang terinfeksi per kepadatan .Investigasi atas Aedes dalam kasus demam berdarah ini penting untuk menemukan strategi [48] untuk membangkitkan partisipasi masyarakat dalam bencana dengue melalui model kontrol sosial budaya kebersihan . Oleh karena itu , pola keberadaan Aedes terkait kasus demam berdarah harus dimapingkan. Hasilnya ditunjukkan pada gambar 2
(a) House Index Map
-
(b) Jumlah Kasus per density Gambar2. Map House Index dan Kasus
Dari gambar 2 kejadian berdarah di satu kecamatan dipengaruhi oleh HI dari kecamatan pola lingkungan .Jika kecamatan dengan Low HI dikelilingi oleh HI yang lebih tinggi , kasus DBD akan meningkat , dan sebaliknya . Untuk kecamatan dengan HI Tinggi , kasus cenderung stabil High . Itu berarti , ketika wabah terjadi di Low HI Kecamatan , peringatan dini harus disebarkan kecamatan tetangganya , juga partisipasi masyarakat pada kecamatan tetangga harus
ditingkatkan dalam waktu yang sama . Sementara itu, dalam kasus Tinggi HI , fokus partisipasi masyarakat dalam k e c a m a t a n i n i dalam jangka panjang .
-
III. KESIMPULAN DAN FUTURE WORK
Pada penelitian ini telah dilakukan investigasi atas factor yang mempengaruhi demam berdarah. Dalam penelitian ini, titik beratnya bukan mencari akurasi model tetapi mendaatkan pola hubungan antar variabel.
Beberapa hal yang bias diambil dari kesimpulan ini adalah
-
1. Terdapat sedikitnya 4 tipe karakteristik dalam satu kota berkaitan dengan penyebaran demam berdarah. Strategi awareness harus didasarkan atas karakteristik tersebut
-
2. Cuaca memegang peranan penting dalam daur hidup nyamuk sebagai vector demam berdarah Factor yang berpengaruh adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin. Berkaitan dengan Climate change, semua factor menjadi tidak dominan karena ketidak pastian cuaca memberikan kombinasi yang beragam. Pada penelitian mendatang perlu dikembangkan kemungkinan kombinasi antar factor terhadap jumlah kasus.
-
3. House Index berkaitan dengan hygiene culture dan banyaknya kasus demam berdarah. Oleh karena itu perlu dipikirkan strategi untuk memberdayakan masyarakat secara bersama dengan menggunakan media semacam social network.
Dari data diatas, strategy yang akan diterapkan adalah system terintegrasi antara sensor cuaca, permodelan human movement dan algoritma deseminasi informasi untu pemberdayaan masyarakat dalam memerangi demam berdarah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih pada DP2M Kemdikbud atas pendanaan penelitian ini melalui skim BOPTN
DAFTAR PUSTAKA
-
[1] . http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%2 0DBD.pdf diakses Februari 2012
-
[2] . Rachel Lowe et all,2010, Spatio-temporal modelling of climatesensitive disease risk: Towards an early warning system for dengue in Brazil, Computer and Geoscience
-
[3] . Wiwiek Setya Winahju,, Adatul Mukarromah , Modeling Dengue Cases Using Poisson INAR, Procedia Engineering 50 ( 2012 ) 837
-
[4] . Zha Zhaoxia Wanga∗, Hoong Maeng Chana, Martin L. Hibberdb, Gary Kee Khoon, 2012, Delayed Effects of Climate Variables on Incidence of Dengue in Singapore during 2000-2010, APCBEE Procedia 1 ( 2012 ) 22 – 26
-
[5] . Pei-Chih Wu, How-Ran Guo, Shih-Chun Lung, Chuan-Yao Lin, Huey-Jen Su, 2007, Weather as an effective predictor for occurrence of dengue fever in Taiwan, Acta Tropica 103 (2007) 50–57
-
[6] . DH Barmak et all, 2011, Dengue Epidemic and Human Mobility PHys Rev E Stat Nonlin Soft Matter Phys, 2011 Jul :84
-
[7] . Magali Teurlei et all,2012, Can Human Movement Explain Heterogenous Propagation of Dengue Fever in Cambodia?,
www.plosntds.org/article
/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pntd.0001957
-
[8] . Steven T Stoddart et all, 2012, House to House Human Movement Drive Dengue VirusTransmission, http://www.pnas.org
-
[9] . Derek A. T. Cummings, 2011,et all The Impact of the Demographic Transition on Dengue in Thailand: Insights from a Statistical Analysis and Mathematical Modeling,
-
[10] . Mathuros Tipayamongkholgul1, 2011, Socio-geographical factors in vulnerability to dengue in Thai villages: a spatial regression analysis, Geospatial Health 5(2), 2011, pp. 191-198
-
[11] . Mathieu Andraud et all, 2012, Dynamic Epidemilogical Models for Dengue Transmission : Systematic Review of Structural Approaches,PLoS ONE7(11) : e49085. doi:
10.1371/journal.pone.0049085
-
[12] . Siti Morni Umor, 2010,Generating A Dengue Risk Map (Drm) Based On Environmental Factors Using Remote Sensing And Gis Technologies http://www.a-a-r-s.org/acrs /proceeding / ACRS2007/Papers/TS27.4.pdf.
-
[13] . Surachart Koyadun,2012. Ecologic and Sociodemographic Risk Determinants for DengueTransmission in Urban Areas in Thailand, Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseasese, Volume 2012
-
[14] . Gonzalo M Vazkuez-Prokopec ,2011, et all Quantifying the Spatial Dimension of Dengue Virus Epidemic Spread within a Tropical Urban Environment, , http://www.plosntds.org /article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pntd.0000920, 2011
-
[15] . Aziz Shafie, 2011, Evaluation of the Spatial Risk Factors for High Incidence of Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever Using GIS Application, Sains Malaysiana 40(8)(2011): 937–943
-
[16] . reuter,http://www.thestandard.co.zw/jan 20,2013
-
[17] . WHO, 1999, WHO Recomended Survaillance Standard
-
[18] . C.D. Nazri , Hashim A. , Rodziah I, Abu Hassan, A. Abu Yazid ,2013, Utilization of Geoinformation Tools for Dengue Control Management Strategy: A Case Study in Seberang Prai, Penang Malaysia, International Journal of Remote Sensing Applications Volume 3 Issue 1, March 2013
-
[19] . Hafiz Hassan1, Shamarina Shohaimi2, Nor R. Hashim1,2012, Risk mapping of dengue in Selangor and Kuala Lumpur,Malaysia, Geospatial Health 7(1), 2012, pp. 21-25]
-
[20] . W. Y. Wan Fairos, W. H. Wan Azaki, L. Mohamad Alias, and Y. Bee Wah,2010, Modelling Dengue Fever (DF) and Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Outbreak Using Poisson and Negative Binomial Model, World Academy of Science, Engineering and Technology 38 2010
-
[21] . M. Sriprom, K Chalvet-Monfray, T Chaimane, K Vongsawat, D.J. Bicout, 2010, Monthly district level risk of dengue occurrences in Sakon Nakhon Province, Thailand, Science of The Total Environment Volume 408, Issue 22, 15 October 2010, Pages 5521– 5528
-
[22] . Tzai-Hung Wen et all, 2010,Spatial_Temporal pattern of dengue in Area at Risk of DHF in Kaohsiung Taiwan 2002, International Journal of Infectius Dissease
-
[23] . Daniel Parker, Darryl Holman, 2012, Event history analysis of dengue fever epidemic and inter-epidemic spells in Barbados, Brazil, and Thailand
-
[24] . Katty C. Castillo,2011, Application of spatial analysis to the examination of dengue fever in Guayaquil, Ecuador, , Procedia Environmental Sciences 7 (2011) 188–193
-
[25] . Zha Zhaoxia Wanga∗, Hoong Maeng Chana, Martin L. Hibberdb, Gary Kee Khoon, 2012, Delayed Effects of Climate Variables on Incidence of Dengue in Singapore during 2000-2010, APCBEE Procedia 1 ( 2012 ) 22 – 26
-
[26] . S. Ly1,∗, V. Duong1, A. Rachmat2, C. Yasuda2, C. Ngan3, R. Huy3,S. Ong1, W. Rogers2, P. Buchy1, A. Tarantola1,2012, Dengue attack rate and proportion of asymptomatic infections in the Kampong Cham prospective community study 2011: Preliminary Data, International Journal of Infectious Diseases Volume 16, Supplement 1, June 2012, Pages e14
-
[27] . Sair Arboleda 1, Nicolas Jaramillo-O. 1 and A. Townsend Peterson, Mapping Environmental Dimensions of Dengue Fever Transmission Risk in the Aburrá Valley, Colombia, Int. J. Environ. Res. Public Health 2009, 6, 3040-3055
[28].
[29].
[30].
[31].
[32].
[33].
[34].
[35].
[36].
[37].
[38].
[39].
[40].
[41].
[42].
[43].
Ataru Tsuzukia,∗, Vu Trong Duocb, Yukiko Higac, Nguyen Thi Yenb, Masahiro Takagia, 2009, High potential risk of dengue transmission during the hot-dry season in NhaTrang City, Vietnam, Acta Tropica 111 (2009) 325–329
Abdulatif Alharty, 2009, Role of GIS in Dengue Control Management Strategy at Jeddah Municipality, www.saudis.org/ FCLFiles/File/33_E_AbdullatifAlharty_KSA.pdf
Surabaya Dalam Angka, www.Surabaya.go.Id
Mei-Mei Kuana,*, Ting Linb , Jen-Hsiang Chuangc , Ho-Sheng Wud,2010, Epidemiological trends and the effect of airport fever screening on prevention of domestic dengue fever outbreaks in Taiwan, 1998–2007, International Journal of Infectious Diseases Volume 14, Issue 8, August 2010, Pages e693–e697Md. Shahin Mia, Rawshan Ara Begum, A.C. Er, Raja Datuk Zaharaton Raja Zainal Abidin, Joy Jacqueline Pereira, 2013, Trends of dengue infections in Malaysia, 2000-2010, Asian Pacific Journal of Tropical Medicine (2013)462-466
Wolf-Peter Schmidt1, et all, 2011, Population Density, Water Supply, and the Risk of Dengue Fever in Vietnam: Cohort Study and Spatial Analysis, PLoS Medicine | August 2011 | Volume 8 | Issue 8 | e1001082
Azad Mohammed, Dave D. Chadee∗, 2011, Effects of different temperature regimens on the development of Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) mosquitoes, Acta Tropica 119 (2011) 38–43 Roberto Barrera*, Manuel Amador, Andrew J. MacKay, 2011, Population Dynamics of Aedes aegypti and Dengue as Influenced by Weather and Human Behavior in San Juan, www.plosntds.org, December 2011| Volume5 | Issue12 | e1378Liliam Cesar et all, 2012, Modelling the Dynamic Transmission of Dengue Fever : Investigating Dissease Persistence, www.plosntds.org/ article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pntd.0000942 Szu-Chieh Chena, Chung-Min Liaoc,Chia-Pin Chio, Hsiao-Han Chou, Shu-Han You, Yi-Hsien Cheng, 2010, Lagged temperature effect with mosquito transmission potential explains dengue variability in southern Taiwan: Insights from a statistical analysis, Science of The Total Environment Volume 408, Issue 19, 1 September 2010, Pages 4069–4075
Daniel Parker ,Darryl Holman ,2012, Event history analysis of dengue fever epidemic and inter-epidemic spells in Barbados, Brazil, and Thailand, International Journal of Infectious Diseases 16 (2012) e793–e798
Pei_Chih Wu, Jinn_Guey Lay,How-Ran Guo,Chuan-Yao Lin,Shih_Cun Lung, Huey-Jen Shu, 2009, Higher temperature and urbanization affect the spatial patterns of dengue fever transmission in subtropical Taiwan, Science of The Total Environment,Vol 407 issue 7
Myriam Gharbi1, Philippe Quenel, Joël Gustave3 Sylvie Cassadou, Guy La Ruche4, Laurent Girdary and Laurence Marrama, Time series analysis of dengue incidence in Guadeloupe, French West Indies: Forecasting models using climate variables as predictors, BMC Infectious Diseases 2011, 11:166
Phaisarn Jeefo, 2011, Spatio-Temporal Diffusion Pattern and Hotspot Detection of Dengue in Chachoengsao Province,
Yien Ling Hii, 2011, Forecast of Dengue Incidence Using Temperature and
Rainfall,http://www.plosntds.org/article/info%3Adoi%2F10.1371 %2Fjournal.pntd.0001908
Roberto Barrera*, Manuel Amador, Andrew J. MacKay, Population Dynamics of Aedes aegypti and Dengue as Influenced by Weather and Human Behavior in San Juan, Puerto Rico, 2011, http://www.plosntds.org
Ronald Enrique Morales Vargas c, Phubeth Ya-umphan a, Noppawan Phumala-Morales, Narumon Komalamisra a,*, Jean-Pierre Dujardin, 2010, Climate associated size and shape changes in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) populations from Thailand, Infection, Genetics and Evolution 10 (2010) 580–585
Szu-Chieh Chen, , Meng-Huan Hsieh, 2012, Modeling the transmission dynamics of dengue fever: Implications of temperature effects, Science of the Total Environment 431 (2012) 385–391
-
[44] . Anna L Buczak, 2012, A data-driven epidemiological prediction method for dengue outbreaks using local and remote sensing data, BMC Medical Informatics and Decision Making 2012,
-
[45] . Bulletin Board, Dengue could be a complex problem for the USA, 2008, www.futuremedicine.com
-
[46] . Thomas W. Scott_ and Amy C. Morrison, Aedes aegypti density and the risk of dengue-virus transmission, 2004, edepot.wur.nl/136912
-
[47] . Scott, T.W., Amerasinghe, P.H., Morrison, A.C., et al., 2000a. Longitudinal studies of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Thailand and Puerto Rico: blood feeding frequency. Journal of Medical Entomology, 37 (1), 89-101.
Halaman Ini Sengaja Dikosongkan
320
ISBN: 978-602-7776-72-2 © Universitas Udayana 2013
Discussion and feedback