PEMETAAN DAN VALUASI EKONOMI KERUGIAN BANJIR DI KARESIDENAN SURAKARTA
on
PIRAMIDA Vol. XIII No. 1 : 1 - 8
ISSN : 1907-3275
PEMETAAN DAN VALUASI EKONOMI KERUGIAN BANJIR DI KARESIDENAN SURAKARTA
Suryanto
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: [email protected]
ABSTRAK
Dampak negatif dari perubahan iklim karena isu lingkungan saat ini tidak dapat dihindari. Perubahan iklim menyebabkan kerugian terutama untuk sektor pertanian. Tujuan penelitian sebagai berikut: 1) memetakan dan mengidentifikasi daerah banjir, 2) memperkirakan kerugian negatif perubahan iklim terhadap penurunan produksi pertanian dan pendapatan petani.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk memperkirakan probabilitas kerugian pada lahan pertanian. Alat analisis untuk pemetaan dan identifikasi daerah rawan bergantung pada Informasi Geografis. Data spasial akan dibutuhkan dalam penelitian ini untuk memberikan informasi tentang daerah tersebut. Penilaian ekonomi akan memberi hasil nilai kerugian produksi akibat dampak perubahan iklim.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten di Karesidenan Surakarta memiliki daerah rawan banjir. Kabupaten ini adalah Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, dan Klaten. Kabupaten lain seperti Boyolali dan Wonogiri dapat diklasifikasikan sebagai kurang rentan terhadap bahaya banjir. Berdasarkan valuasi ekonomi memberikan hasil bahwa 36,72 persen terhadap total lahan pertanian rentan terhadap banjir dan 24,55 persen terhadap total lahan pertanian rentan terhadap kekeringan.
Kata kunci: perubahan iklim, pemetaan, kehilangan produksi
ABSTRACT
Negative impact of Cilmate change as current environmental issues could not be avoided. Climate change caused loss especially for agricultural sector. The purposes of research: 1) to mapping and identify flooding area, 2) to estimate negative loss of climate change to decreasing of farm production and farmer income.
This study used quantitative approfach to estimate probability loss in agricultural land. Tool of analysis to mapping and identify the vulnerable area relied on Geographic Information. Spatial data would be needed in this research to give information about the area. Economic valuation would give result value loss of production caused of climate change impact.
Result of data analysis showed that most of regencies in Karesidenan Surakarta have vulnerable area of flood. These regencies were Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, and Klaten. The other regencies such as Boyolali and Wonogiri could be classified as less vulnerable to flood hazard. Based on economic valuation gave result that 36.72 percent to total of agricultural land vulnerable toward flood and 24.55 percent to total of agricultural land vulnerable toward drought.
Keywords : climate change, mapping, loss of production
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Selama tahun 2015 tercatat bahwa terjadi penurunan panen ketiga di beberapa daerah. Efek el nino menyebabkan curah hujan berkurang di beberapa daerah, seperti di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sumatera bagian selatan, Jawa, Sulawesi, Papua bagian selatan. Selain curah hujan dilaporkan juga terjadi beberapa titik kebakaran pada bulan September dan Oktober yang berpengaruh pada komoditas kelapa sawit dan karet. Pengaruh perubahan iklim akan
sangat berdampak pada produktivitas sektor pertanian di Jawa Tengah. Menurut data Bulog, Provinsi Jawa Tengah adalah provinsi penghasil beras terbesar kedua setelah Jawa Timur di Indonesia. Jawa Tengah mampu memproduksi 779 ribu ton per tahun lebih rendah dari Provinsi Jawa Timur yang mampu menghasilkan beras 1,1 juta ton.
Risiko adanya perubahan iklim tidak hanya terhadap ketahanan pangan nasional namun juga menurunnya kesejahteraan petani. Diperkirakan 3 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan antara bulan Oktober dan Desember 2016, sebanyak 1,2 juta di antaranya bergantung pada curah hujan untuk produksi pangan dan mata pencaharian (Kementan dalam ACAPs, 2016).
Apabila terjadi kegagalan panen maka petani terpaksa untuk mengatasi kegagalan tersebut dengan mengurangi aset-aset yang dimiliki atau melakukan pinjaman ke pihak ketiga. Pengurangan risiko perubahan iklim di wilayah Jawa Tengah lebih banyak dilakukan dengan pengalihan aset yang dimiliki oleh petani, hampir 50 persen petani menyatakan menggunakan tabungan pribadi untuk menutup kerugian. Fakta yang menarik lainnya adalah sebanyak 94 persen menolak mengikuti asuransi pertanian. Menurut responden mereka tidak memahami skema asuransi pertanian dan mereka mengharapkan adanya subsidi dari pemerintah untuk membayar premi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan penelitian mengenai gambaran umum tingkat kerugian petani karena perubahan iklim. Gambaran umum dalam penelitian secara khusus diwujudkan dengan: 1) pemetaan wilayah-wilayah yang berisiko negatif karena perubahan iklim, 2) valuasi ekonomi kerugian sebagai akibat negatif perubahan iklim terhadap penurunan produksi dan pendapatan petani.
TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan Iklim
Kegiatan pembangunan ekonomi membawa konsekuensi terjadinya degradasi lingkungan. Laju degradasi lingkungan amat ditentukan oleh orientasi model pembangunan yang dikembangkan. Penggunaan bahan bakar yang kurang ramah terhadap lingkungan dan alih fungsi lahan mempercepat laju degradasi lingkungan. Peningkatan kadar karbondioksida, metana, dan nitrous oksida disebabkan juga oleh aktivitas “pembangunan ekonomi”. Perubahan iklim akan membawa perubahan pada parameter-parameter cuaca, yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin, kondisi awan, dan radiasi matahari (Aliadi et al. 2008).
Menurut Salim (2003), peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola distribusi dan curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu. Gilirannya dampak perubahan iklim tersebut tentu juga mempengaruhi produktivitas pertanian terutama untuk wilayah tropis.
Dampak La Nina dan El Nino bagi Indonesia
El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru – Ekuador (Amerika Selatan yang mengakibatkan gangguan iklim secara global). Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa setempat El Nino berarti bayi laki-laki
karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir Desember). Di Indonesia, angin monsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang (Quinn, et al. 2005).
Gilbert Walker dalam Katz (2002) yang mengemukakan tentang El Nino dan sekarang dikenal dengan Sirkulasi Walker yaitu sirkulasi angin Timur-Barat di atas Perairan Pasifik Tropis. Sirkulasi ini timbul karena perbedaan temperatur di atas perairan yang luas pada daerah tersebut.
-
1) Perairan sepanjang pantai China dan Jepang, atau Carolina Utara dan Virginia, lebih hangat dibandingkan dengan perairan sepanjang pantai Portugal dan California, sedangkan perairan disekitar wilayah Indonesia lebih banyak dari pada perairan disekitar Peru, Chile dan Ekuador.
-
2) Perbedaan temperatur lautan di arah Timur – Barat ini menyebabkan perbedaan tekanan udara permukaan di antara tempat – tempat tersebut.
-
3) Udara bergerak naik di wilayah lautan yang lebih hangat dan bergerak turun di wilayah lautan yang lebih dingin. Dan itu menyebabkan aliran udara di lapisan permukaan bergerak dari Timurk-Barat.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global
-
(1) . Angin pasat timuran melemah
-
(2) . Sirkulasi Monsoon melemah
-
(3) . Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan amerika Selatan bagian Utara. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.
-
(4) . Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah Argentina. Cuaca cenderung hangat dan lembab.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia, fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut (IPCC, 2001). Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino. El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2013) menyebutkan bahwa salah satu dampak pemanasan global adalah kondisi iklim ekstrim seperti badai, kekeringan, dan banjir. Selama periode 1970-2012 diketahui terjadi 11 kejadian El Nino dan 10 kejadian La Nina. Apabila El Nino berpotensi memberi dampak negatif baik kekeringan maupun banjir, sedangkan La Nina berpotensi memberi dampak positif. El Nino dapat berpotensi negatif.
Wilayali/ provinsi
Jaxva Tengali
Sangat rentan I Rentan
2 322 I 142.575
JLtias Iaakti Saxvali
1 053 882
Gambar 1. Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El Nino di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006 (SNC, 2009)
Pada tahun La Nina wilayah yang terkena dampak banjir meningkat
Gambar 2. Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami banjir pada tahun La Nina di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006 (SNC, 2009)
Di sektor irigasi, hasil kajian menyebutkan bahwa kondisi beberapa DAS di Indonesia cukup kritis dan jumlahnya semakin banyak, khususnya di Jawa. Berdasarkan analisis terhadap data debit minimum dan maksimum dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke terlihat bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk menimbulkan masalah kekeringan meningkat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990- banyak yang sudah mengalami degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim dalam bentuk penurunan atau peningkatan hujan jauh dari normal akan langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam dari debit minimum atau debit maksimum (kekeringan hidrologis).
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa dampak El Nino, tingkat kerawanan lahan di Jawa Tengah seluas 142.575 hektar dan yang masuk kategori sangat rawan seluas 2.322 hektar dari luas keseluruhan 1.053.882 hektar. Gambar 2 menunjukkan dampak La Nina terhadap luas lahan 49.569 hektar dan kategori rentan seluas 505.803 hektar dari luas keseluruhan 1.053.882 hektar.
METODE PENELITIAN
Jenis Data dan Sumber Data
Data yang diperlukan untuk melakukan pemetaan wilayah rawan banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim di antaranya adalah
-
1) Peta RBI Wilayah Jawa Tengah skala 1:25.000
-
2) Peta geologi lembar Jawa Tengah skala 1:100.000
-
3) Data titik tinggi Jawa Tengah
-
4) Informasi jalan
-
5) Informasi sungai
-
6) Informasi penggunaan lahan
-
7) Data Genangan Banjir di Jawa Tengah
-
8) Data Debit Sungai
-
9) Data Curah Hujan di Jawa Tengah
-
10) Data infiltrasi tanah di Jawa Tengah
Data-data tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber terkait seperti Badan Pusat Statistik, Badan Meteorologi dan Geofisika, BAPPEDA, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Pemerintah Daerah masing-masing Kabupaten di di Jawa Tengah dan sebagainya.
Populasi
Populasi dalam penelitian adalah seluruh kepala keluarga (KK) di Karisidenan Surakarta yang tinggal di wilayah Sangat Rawan terhadap perubahan iklim (banjir dan kekeringan). Penentuan kriteria karakteristik kerawanan wilayah di Jawa Tengah berdasarkan pemetaan wilayah bencana kekeringan dan banjir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai zona kerawanan wilayah berdasarkan indeks kerawanan banjir dan kekeringan. KK dipilih sebagai unit analisis karena diasumsikan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Jumlah populasi dapat diketahui secara pasti yaitu meliputi seluruh KK di wilayah Karisidenan Surakarta. Menurut data hasil pemetaan wilayah rawan bencana banjir dan kekeringan jumlah KK sebanyak 8779.
Sampel
Sampel adalah suatu cara di mana seorang peneliti dapat menggunakan orang, tempat atau apa pun untuk keperluan studi, yang merupakan bagian dari populasi yang dianggap mewakili untuk dijadikan objek penelitian (Trochim, 2002). Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sampel. Sampel digunakan karena tidak semua unit pada populasi dapat diidentifikasi, biaya, dan waktu yang digunakan lebih sedikit dibandingkan menghitung populasi.
Jumlah sampel yang digunakan mengikuti tabel yang disusun oleh Krejcie dan Morgan (1970) dalam Sekaran (1992). Menurut Krejcie dan Morgan (1970) dalam Sekaran (1992) dapat diketahui bahwa jumlah sampel yang dapat digunakan untuk mewakili populasi 8779 KK adalah sebesar 370 responden.
Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini ingin mengetahui perilaku mitigasi individu di Karesidenan Surakarta sehingga desain sampel yang digunakan adalah desain probabilitas. Desain probabilitas digunakan dengan pertimbangan bahwa keterwakilan sampel merupakan hal yang penting.
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode multistage cluster sampling. Metode ini digunakan untuk memperoleh sampel dengan cara bertahap menurut kluster yang telah ditetapkan. Alasan digunakan sampel kluster adalah kebutuhan efisiensi ekonomis yang tidak bisa diperoleh peneliti jika menggunakan sampel random sederhana, dan tidak tersedianya kerangka sampel untuk elemen tertentu (Kuncoro, 2003). Salah satu tujuan penelitian ini adalah ingin menginvestigasi perilaku mitigasi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.
Metode Pengumpulan Data
Data-data di atas dapat diperoleh dengan metode studi pustaka disertai dengan metode survei. Adapun penggunaan kedua metode tersebut ditujukan untuk mencocokkan peta tematik dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
Metode Analisis
Penelitian ini mengandalkan beberapa metode analisis antara lain Sistem Informasi Geografis (SIG), Valuasi Ekonomi Contingent Valuation Method (CVM), dan pendekatan kualitatif untuk mengetahui secara mendalam mengenai persepsi masyarakat terhadap banjir.
Sistem Informasi Geografis
SIG digunakan untuk mengetahui wilayah pertanian yang rawan terhadap perubahan iklim (banjir dan kekeringan). Apabila data-data mencukupi dan dapat digunakan sebagai dasar analisis maka SIG dalam penelitian digunakan untuk dua skenario, yang pertama adalah scenario dengan menggunakan metode Neighborhood Operation dan metode yang kedua adalah metode Indeks Skoring Kerawanan Banjir. Metode Neighborhood Operation ini digunakan untuk mengetahui potensi kerawanan banjir ditinjau dari tingkat ketinggian wilayah dan skenario tingginya genangan karena banjir. Metode yang kedua berbeda dengan metode yang pertama, metode Indeks Skoring Kerawanan Banjir lebih didasarkan pada faktor-faktor penyebab banjir dalam suatu wilayah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah bentuk lahan, infiltrasi, tekstur dan lereng.
Valuasi Ekonomi
Valuasi Ekonomi Kerugian Loss Production
Bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim seperti banjir berdampak negatif terhadap petani. Besar kerugian yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut dapat diketahui dari perubahan (penurunan) produktifitas pertanian. Bencana banjir dapat menyebabkan kegagalan panen total bagi petani seperti yang terjadi di daerah Kulonprogo bagian selatan (Saptutyningsih dan Suryanto, 2009), demikian juga bencana kekeringan juga berdampak negatif.
Kerugian sektor pertanian itu sendiri dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut (Suparmoko, 2006):
∆Qx = f (A x ∆Pt)
Di mana
∆ = perubahan
Qx = produksi pertanian
A = luas tanah yang tererosi
Pt = produktifitas tanah per ha.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kerugian per petani antara lain adalah:
-
1) Menghitung penurunan produksi sektor pertanian karena banjir dan atau kekeringan
-
2) Menghitung luas lahan pertanian masing-masing keluarga
-
3) Menghitung kerugian rata-rata yang diderita per petani
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bagian ini akan mendiskusikan mengenai analisis data yang telah diperoleh baik melalui penelusuran pustaka dan data primer. Analisis data akan dibagi menjadi beberapa bagian, bagian ke satu akan menggambarkan kondisi wilayah dan responden yang tinggal di wilayah rawan perubahan iklim (banjir dan kekeringan).
Analisis Deskriptif dan SIG
Sistematika penjelasan analisis deskriptif berdasarkan SIG wilayah-wilayah berpotensi banjir diawali dengan penjelasan wilayah satu provinsi kemudian diperjelas dengan SIG masing-masing karesidenan. SIG kerawanan banjir di Karesidenan Surakarta akan menampilkan luasan penggunaan lahan yang rawan tergenang akibat banjir.
Ancaman bencana banjir di Karesidenan Surakarta hampir tersebar merata di semua wilayah Kabupaten/ Kota yanga ada di dalamnya. Total luas area rawan banjir di Karesidenan Surakarta seluas 370.412.445 Sawah irigasi menjadi lahan dengan luas area rawan banjir yang terbesar yaitu seluas 211.386.632 Lalu diikuti lahan pemukiman yang terancam banjir seluas 114.830.698 . Lahan kebun, sawah tadah hujan, dan tegalan berturut-turut adalah 10.043.493 , 12.748.491 , 13.040.066 . Sedangkan lahan hutan memiliki luas area rawan banjir terkecil yaitu seluas 318.996 .
Wilayah Kota Surakarta yang rawan banjir meliputi daerah Banjarsari, Jebres, dan Pasar Kliwon yang berupa pemukiman penduduk, sedangkan Kabupaten Boyolali yang rawan banjir hanya mencakup beberapa Kecamatan saja diantaranya Kecamatan Juwangi, Kecamatan Wonosegoro, Kecamatan Kemusu, Kecamatan Klego. Lahan rawan banjir Kecamatan Juwangi berupa wilayah pemukiman, sawah irigasi dan tegalan; Kecamatan Wonosegoro berupa sawah irigasi dan tegalan; Kecamatan
Gambar 3. Tingkat Kerawanan Banjir di Karesidenan Surakarta.
Kemusu berupa sawah irigasi,dan sawah tadah hujan; Kecamatan Klego berupa sawah irigasi dan pemukiman.
Wilayah Kabupaten Sukoharjo menjadi wilayah dengan lahan rawan banjir terluas meliputi Kecamatan Grogol, Kecamataan Sukoharjo, Kecamatan Polokarto, kecamatan Bendosari, Kecamatan Nguter, Kecamatan Tawangsari, Kecamatan Bulu, dan Kecamatan Weru, Kecamatan Baki. Sebagian besar wilayah yang rawan banjir adalah lahan sawah irigasi. Kabupaten Wonogiri juga memiliki wilayah rawan banjir yang tersebar hampir di semua wilayah, namun hanya meliputi bagian kecil dari wilayah itu yaitu sepanjang aliran DAS Bengawan Solo dan sungai-sungai yang mengaliri wilayah di Kabupaten Wonogiri. Lahan rawan banjir tersebut berupa tanah ladang/tegalan dan sawah irigasi.
Wilayah Kabupaten Sragen yang paling besar rawan terhadap banjir adalah Kecamatan Masaran, Kecamatan Plupuh, dan Kecamatan Sidoharjo yang lahannya berupa sawah irigasi dan pemukiman. Wilayah rawan banjir Kabupaten Klaten meliputi Kecamatan Cawas, Kecamatan Karangdowo, dan sebagian kecil Kecamatan Wonosari, Kecamatan Juwiring, Kecamatan Manyaran, dan Kecamatan Bayat. Lahan tersebut berupa sawah irigasi, pemukiman, dan tegalan. Wilayah rawan banjir
Tabel 1 Jumlah Kasus Terkait dengan Anak pada Tahun 2012-Agustus 2016
No |
Unit Pelayanan Terpadu |
Jenis Kasus |
Tahun |
Jumlah (Kasus) | ||||
2012 (kasus) |
2013 (kasus) |
2014 (kasus) |
2015 (kasus) |
2016 (JanuariAgustus (kasus) | ||||
1 |
P2TP2A Kota Denpasar |
Pelecehan Seksual |
7 |
9 |
13 |
20 |
19 |
68 |
Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) |
10 |
7 |
16 |
11 |
12 |
56 | ||
Penelantaran |
0 |
4 |
2 |
12 |
12 |
30 | ||
Lainnya |
0 |
4 |
4 |
24 |
25 |
57 |
Sumber: Ketua Harian P2TP2A Kota Denpasar, diolah, 2016.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Sangat banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual pada anak dalam berbagai kasus. Pertama, yang paling banyak diperbincangkan adalah faktor ekonomi yaitu kemiskinan, tingkat pendidikan, media sosial dan kondisi keluarga. Seseorang yang berada pada keadaan ekonomi miskin akan mengakibatkan orang atau masyarakat mengabaikan lingkungannya, termasuk keluarga, terutama anak-anak karena kesibukan orang tua bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga anak menjadi tidak diperhatiakan atau tidak diurus oleh kedua orang tuanya.
Faktor kedua yang menjadi penyebab terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak adalah tingkat pendidikan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung tidak dapat bertindak, berpikir dan berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Melalui pendidikan, seseorang akan belajar mengenai etika dan moral, sehingga dapat membedakan mengenai tindakan yang baik dan buruk serta akan menjauhkan seseorang terlibat dalam tindak kriminalitas atau kegiatan illegal.
Faktor ketiga adalah media sosial.Media sosial baik dalam bentuk tontonan, gambar, atau bacaan pornografi menjadi salah satu sumber terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak. Indikasnya adalah masih bebasnya seseorang mengakses situs-situs dan film porno, baik melalui media sosial atau internet maupun penjualan ilegal kaset video porno di pasaran.Seseorang yang mengakses situs-situs prono melalui internet secara tidak langsung, pikiran dan tindakan terpengaruh oleh hal tersebut.Peristiwa inilah yang mendorong pelaku bertindak untuk melakukan pelecehan seksual pada anak.
Sejauh mana faktor media sosial dapat mempengaruhi terjadinya pelecehan seksual pada anak dapat dilihat dari segi pelaku dan media sosial apa yang sering pelaku gunakan untuk melihat situs-situs porno yang akan mempengaruhi pelaku untuk melakukan pelecehan seksual.
Faktor keempat, yaitu kondisi keluarga. Keluarga dan lingkungan masyarakat tidak mau peduli terhadap lingkungan tempat anak bersosialisasi (Teja,2016).Kondisi keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kondisi kedua orang tua korban dan kondisi keluarga pelaku. Melihat dari sisi korban, korban dengan keadaan orang tua bercerai atau broken home, pisah ranjang tetapi masih dalam satu atap atau satu rumah, dan kesibukan orang tua untuk bekerja membuat orang tua sibuk dengan dirin masing-masing dan cenderung mengabaikan anak. Anak yang diabaikan dalam kehidupan sehari-harinya tidak ada yang memperhatikan atau tidak terurus, anak akan mencari tempat perlindungan dan perhatian pada orang lain.
Lokasi penelitian kasus pelecehan seksual pada anak ini terletak di Kota Denpasar. Pemilihan lokasi ini juga ditentukan oleh karena kasus pelecehan seksual di Kota Denpasar memiliki jumlah kasus paling tinggi diantara kasus-kasus yang lain (Tabel 1)
Data lain selain yang terdapat pada Dinas P2TP2A, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), yaitu Polresta Denpasar juga mendapat pengaduan dari anak yang menjadi korban kasus pelecehan seksual. Laporan yang diterima UPPA Polresta Denpasar, kasus pelecehan seksual pada anak juga memiliki catatan kasus paling tinggi (Tabel 2).
Rumusan masalah yang dapat diajukan berdasarkan latar belakang adalah sebagai berikut.
-
1) Bagaimana kaitan faktor ekonomi dengan terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak?
-
2) Bagaimana kaitan tingkat pendidikan terhadap: terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak?
-
3) Bagaimana kaitan peran media sosial terhadap: terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak?
-
4) Bagaimana kaitan kondisi keluarga terhadap: terjadinya kasus pelecehan seksual pada anak?
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
-
1) Untuk mendeskripsikan pengaruh faktor ekonomi
Kabupaten Karanganyar hanya terdapat di Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Jaten, karena wilayah tersebut berupa dataran rendah dan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo. Lahn tersebut berupa pemukiman, sawah irigasi dan tegalan.
VALUASI EKONOMI KERUGIAN AKIBAT BENCANA
Potensi Kerugian Sektor Pertanian
Tabel 1. Luas Lahan Sawah yang Rawan Banjir dan Wilayah Eks Karesidenan Surakarta |
Rawan Kekeringandi | |
Rawan Banjir/Kekeringan |
Luas Lahan (ha) |
Persentase |
Rawan kering |
41.704 |
24,55 |
Tidak rawan kering |
128154 |
75,45 |
Rawan banjir |
62.365 |
36,72 |
Tidak rawan banjir |
107.493 |
63,28 |
Sawah |
169.858 |
100 |
Sumber: Estimasi SIG berdasarkan peta rawan banjir dan kekeringan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah, 2010 |
Tabel 1 menyajikan luas lahan sawah yang memiliki kategori rawan banjir dan rawan kekeringan berdasarkan olah data SIG. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa luas wilayah di eks Karesidenan Surakarta yang tergolong sebagai wilayah rawan banjir adalah 36,72 persen dari total lahan sawah. Wilayah rawan kekeringan tidak seluas wilayah yang tergolong rawan banjir yaitu 24,55 persen dari total wilayah lahan sawah.
Potensi kerugian yang diderita oleh petani-petani di wilayah eks Karesidenan Surakarta dapat diperkirakan dari luas wilayah yang tergolong banjir dan kekeringan. Rumus yang digunakan untuk menghitung potensi kerugian adalah formula ∆Qx = f (A x ∆Pt). Rumus tersebut dimodifikasi menjadi LP = f (A x L), di mana LP adalah Potensi Kerugian, A adalah luas lahan, L adalah kerugian per hektar seandainya gagal panen per hektar. Apabila luas wilayah rawan banjir adalah seluas 62.365 hektar dan luas wilayah rawan kekeringan adalah 41.704 hektar maka potensi kerugiannya dapat dihitung sebagai berikut:
Tabel 2. Potensi Kerugian akibat Bencana Banjir dan Kekeringan di Wilayah Eks Karisidenan Surakarta | ||
Rawan Banjir/Kekeringan |
Luas Lahan (ha) |
Kerugian (juta rupiah) |
Rawan kering |
41.704 |
83.408 |
Rawan banjir |
128154 |
124.729 |
Total |
62.365 |
208.137 |
Sumber: data diolah
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa potensi kerugian oleh petani adalah Rp. 208.137.000.000,- atau sekitar 208 milyar rupiah per gagal panen. Hitungan Tabel 2 didasarkan pada asumsi bahwa kerugian petani per hektar apabila gagal panen adalah Rp. 2.000.000,-.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bagian analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
-
1) Hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah memiliki wilayah yang tergolong rawan terhadap perubahan iklim. Berdasarkan analisis SIG dapat diketahui karakter wilayah di dataran rendah dan berada di sekitar sungai dan anak sungai memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Tingkat kerawanan wilayah tersebut lebih tinggi daripada wilayah lain. Analisis lebih detail untuk wilayah Karesidenan Surakarta, diketahui bahwa di Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Sragen adalah wilayah yang tergolong rawan. Wilayah Kota Surakarta sebagian besar adalah pemukiman maka potensi kerugian pada sektor pertanian relatif kecil, berbeda dengan wilayah rawan banjir di wilayah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen. Wilayah-wilayah yang tergolong rawan kekeringan tidak seluas wilayah rawan banjir di eks Karesidenan Surakarta. Wilayah yang tergolong rawan kekeringan ada di lahan persawahan di Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Sragen.
-
2) Potensi kerugian yang diderita petani per periode tanam apabila risiko banjir dan kekeringan menimpa adalah sebesar Rp. 208.137.000.000,(208 milyar rupiah). Perhitungan luasan banjir dan kekeringan didasarkan pada hitungan SIG yaitu luas wilayah rawan banjir adalah 62.365 hektar dan wilayah rawan kekeringan adalah 41.704 hektar.
Implikasi
Implikasi kebijakan yang dapat ditempuh berkaitan dengan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
-
1) Wilayah-wilayah yang teridentifikasi sebagai wilayah rawan banjir dan kekeringan harus segera dilakukan antisipasi untuk mengurangi risiko kerugian. Antisipasi yang dapat dilakukan adalah tindakan struktural atau tindakan nonstruktural. Tindakan struktural untuk mengatasi banjir misalnya revitalisasi Sungai Bengawan Solo dan pembangunan dam-dam. Antisipasi nonstruktural dapat dilakukan dengan meningkatkan sosialisasi sadar bencana. Masyarakat dapat dilibatkan dalam tindakan mitigasi yang dapat diintegrasikan dalam tindakan mitigasi yang dikoordinir oleh pemerintah, misalnya asuransi bencana.
-
2) Potensi kerugian sebesar 208 milyar adalah potensi kerugian yang tidak kecil. Kerugian sebesar itu diderita oleh petani yang sebagian besar berpenghasilan rendah. Apabila kerugian tidak
diantisipasi berdasarkan hasil studi menunjukkan bahwa masyarakat pada akhirnya menggunakan dana tabungan nonpertanian untuk mengganti ongkos produksi yang dikeluarkan. Hal ini artinya kerugian sektor pertanian dapat menyebabkan kesejahteraan petani secara keseluruhan akan menurun. Perubahan iklim menyebabkan potensi menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat tani.
DAFTAR PUSTAKA
ACAPs, 2016, Dampak El Nino.La Nina di Indonesia: Skenario. www.acaps.ord. diakses tanggal 5 Juli 2017.
Aliadi, Arif, dkk (2008). Perubahan Iklim Hutan dan REED: Peluang atau Tantangan. Kemitraan Bogor.
Biro Pusat Statistik, 2007, Beberapa Indikator Penting Sosio-Ekonomi Indonesia Tahun 2004-2006
IPCC, 2001, Climate Change 2001: Impact, Adaptation and Vulnerability, Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Irawan, Bambang, 2003. Multilevel Impact Assesment and Coping Strategies against El Nino: Case of Food Crops in Indonesia. GCPRT Centre Working Paper No. 75. United Nations.
Irawan, Bambang, 2006, Fenomena Anomali El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya terhadap Produksi Pangan. Forum Penenelitian Agro Ekonmomi, Volume 24 No..1 Juli 2006.
Katz, Richard W. (2002), Sir Gilbert Walker and a connection between El Nino and Statistics, Statistical Science, Institute of Mathematical Statistics
Kementerian Lingkungan Hidup, Second National Comunication, (2009), Kemeneg LH, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad., (2002), Analisis Spasial dan Regional: Studi Anglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Marshall, Christopher dan Michael Siegel (1996), Value-at-Risk: Implementing a Risk Measurement Standard (June 1996). 96-47. Available at SSRN: http://ssrn.com/ abstract=1212 or DOI: 10.2139/ssrn.1212
Prahasta, Eddy. 2006, Sistem Informasi Geografis Konsep-konsep Dasar, Penerbit Informatika, Bandung
Parson, S., dan R. Dymond, R.H. Herman. (2004)., GIS Techniques for Flood Map Moderization and Hazard Mitigation Plans. Fourth Annual ESRI Conference. San Diego, CA.
Quinn et al., (2005), ’The Hstorical Record of El Niño Events’, Raymond S. Bradley, Philip D. Jones (ed.), Climate Since A.D. 1500 (London 1992), p. 623-626, http://www.gvc. gu.se/ngeo/rcg/edu_nino.html (11.10.2005),
Rashed, T. M. G. E. (2003). Measuring the environmental context of social vulnerability to urban earthquake hazards: An integrative remote sensing and GIS approach. University of California, Santa Barbara, PhD Thesis.
Salim, Emil, (2003). Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sekaran, Uma. (2011). Research Methods for business Edisi I and 2. Jakarta: Salemba Empat.
Suparmoko (2006). Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi, BPFE, Yogyakarta
Watson, C.J, et.al. (1993), Statistic for Management and Economics, Englewood Cliffs, NJ, USA, Prentice Hall Inc.
PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Discussion and feedback