DAMPAK PELAKSANAAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PELAYANAN KB DAN PENGENDALIAN KELAHIRAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
on
PIRAMIDA Vol. XII No. 2 : 59 - 71
ISSN : 1907-3275
DAMPAK PELAKSANAAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PELAYANAN KB DAN PENGENDALIAN KELAHIRAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
Paulus Uppun
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin upnpaul@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan keikut sertaan PUS menjadi peserta KB terhadap jumlah kelahiran di kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang tercermin dalam penetapan struktur kelembagaan pemerintah daerah dan pengalokasian anggaran. Data alokasi anggaran yang digunakan adalah besarnya alokasi APBD Kabupaten/ kota untuk pembiayaan program yang berkaitan dengan pengendalian penduduk dan pelayanan KB pada Dinas Kesehatan dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB selama periode 2010 – 2014. Sedangkan tingkat keikut sertaan PUS menjadi peserta KB diukur dari angka prevalensi kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate CPR) serta data jumlah kelahiran diperoleh dari kantor Badan PP-KB dan Dinas Kesehatan pada 10 kabupaten/kota sebagai sampel penelitian. Selain itu dilakukan wawancara kepada aparat pemerintah daerah yang terkait untuk mendapatkan informasi kualitatif yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif dan model regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecilnya realisasi anggaran yang dialokasikan untuk program pengendalian penduduk dan pelayanan KB. Penempatan urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB hanya di bawah tanggung jawab dan dikoordinasikan oleh seorang Kepala Seksi atau Kepala Sub Bidang pada salah satu Badan atau Dinas di daerah berpengaruh pada kurang optimalnya kualitas pelayanan KB dan pengendalian penduduk di kabupaten dan kota. Perubahan alokasi anggaran dan angka prevalensi kontrasepsi berpengaruh negatif yang signifikan terhadap perubahan jumlah kelahiran hidup baik secara parsial maupun secara bersamaan. Hal ini berarti semakin banyak anggaran dialokasikan untuk program pengendalian kelahiran dan semakin meningkat angka prevalensi kontrasepsi, akan semakin menurun jumlah kelahiran hidup yang terjadi di dalam masyarakat. Pengaruh perubahan alokasi anggaran terhadap penurunan kelahiran lebih besar daripada pengaruh perubahan angka prevalensi kontrasepsi.
Kata kunci : Kebijakan Otonomi Daerah, Alokasi Anggaran; Angka Prevalensi Kontrasepsi ; Jumlah Kelahiran Hidup
ABSTRACT
The purpose of this study was to see the impact of the implementation of regional autonomy and Contraceptive prevalence of fertile married couple to the number of live births in the District / City of South Sulawesi Province. The implementation of regional autonomy policy is reflected in the determination of the structure of local government institutions and budget allocations.
Budget allocation data used is the number of regional government budget to finance programs related to population control and family planning services as well as data on the number of live birth and Contraceptive Prevalence obtained from the regional Health Service and Women’s Empowerment and Family Planning Agency in 10 districts /cities during the period 2010 - 2014. Data analysis was performed using descriptive methods and multiple linear regression model. In addition, it was conducted in-depth interviews to regional government officials associated to obtain qualitative information relating to the mechanisms and systems of budgeting, the institution or agency responsible for program planning, budgeting and implementation of programs of population control and family planning services in each region.
Based on the results of this study can be concluded that small proportion of budget allocated to the program of population control and placement of the affairs of population control and family planning services under the responsibility and coordinated by a head of low level of regional government institution (the Section Head or the Sub Division Head in one agency or service) affect the less optimally service quality of family planning and population control in the community. Changes in
budget allocation and the contraceptive prevalence rate have a significant negative effect on the change in the number of live births either partially or simultaneously. This means that a growing number budget allocated to the program of birth control and increasing contraceptive prevalence rate, would decreasing number of live births that occur in the community. Effect of changes in budget allocations to the decline in births is greater than the effect of changes in contraceptive prevalence rate.
Keywords : Regional Autonomy Policy, Budget Allocation; Top of Form
PENDAHULUAN
Pada tahun 1970 merupakan waktu yang sangat bersejarah di bidang kependudukan bagi bangsa Indonesia karena pada tahun tersebut terjadi perubahan kebijakan pemerintah dalam bidang pembangunan kependudukan dari kebijakan pro natalis menjadi kebijakan anti natalis. Dengan kebijakan anti natalis maka pertumbuhan penduduk dikendalikan. Sebagai wujut dari pelaksanaan kebijakan anti natalis yang melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk, maka pada tahun 1970 pemerintah Indonesia membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program pengendalian kelahiran yang disebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selama hampir tiga dekade sejak tahun 1970 sampai akhir masa pemerintahan Orde Baru (masa pemerintahan sistem sentralistik) kebijakan pengendalian kuantitas kependudukan menjadi pusat perhatian dalam kebijakan pembangunan nasional sehingga lebih banyak menyerap anggaran belanja nasional pada periode tersebut. Hasil dari kebijakan tersebut adalah laju pertumbuhan penduduk turun dari sekitar 3 persen pada periode 1950-1970 menjadi 1,45 persen pada periode 19902000. Sedangkan angka TFR secara nasional mengalami penurunan yang cukup signifikan dari angka 5,6 pada tahun 1970 menjadi 2,27 pada tahun 2000. Angka TFR di Sulawesi Selatan lebih tinggi daripada TFR Indonesia dan menurun lebih lambat daripada penurunan TFR Indonesia. Angka TFR Sulawesi Selatan turun dari 5,7 pada tahun 1970 menjadi 2,4 pada tahun 2000.
Sejak beralihnya sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau era otonomi daerah pelaksanaan KB mulai meredup, maka pembangunan yang berwawasan kependudukan terutama yang berkaitan dengan pengendalian kuantitas menghadapi tantangan tersendiri. Terutama dengan keluarnya UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa urusan pengendalian penduduk dan Keluarga Berencana merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan merupakan urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Program KB, seolah terlupakan karena tidak menghasilkan keuntungan. Fokus anggaran untuk pembangunan dan sektor lain yang dianggap menguntungkan. Otonomi daerah adalah sistem yang memberi keleluasaan kepada pemerintah kabupaten
Contraceptive Prevalence Rate ; Number of Live Birth. dan kota untuk merencanakan, menentukan prioritas dan melaksanakan pembangunan daerah sesuai kondisi dan kemampuan daerah termasuk penetapan struktur kelembagaan pemerintah daerah dan pengalokasian anggaran (APBD). Sejak berlakunya sistem otonomi daerah, pimpinan daerah dalam menyusun kebijakan lebih berorintasi pada kepentingan jangka pendek dan kepentingan lokal dan kurang memperhatikan pengaruh jangka panjang dari program pengendalian penduduk. Di era tersebut kependudukan dan KB tidak termasuk skala prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah terutama setelah kewenangan urusan kependudukan dan KB diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Sebagai akibat dari perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia dan menurunnya perhatian terhadap pengendalian penduduk, maka baik laju pertumbuhan penduduk maupun angka TFR mengalami peningkatan pada periode 2000-2010. Laju pertumbuhan penduduk Indonesi meningkat dari 1,45 persen menjadi 1,49 persen sedangkan angka TFR meningkat dari 2,27 menjadi 2,41 pada periode tersebut. Di Sulawesi Selatan meskipun laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan dari 1,49 persen periode 1990-2000 menjadi 1,17 persen periode 2000-2010 tetapi angka TFR meningkat dari 2,55 pada tahun 2000 menjadi 2,60 pada tahun 2010. Turunnya laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan periode tersebut hanyalah akibat dari jumlah migran keluar jauh lebih besar dari jumlah migran masuk dan juga karena pada periode tersebut terjadi pemekaran provinsi yang membentuk provinsi baru yaitu Provinsi Sulawesi Barat. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk tersebut mulai membayangi akan terjadinya ancaman ledakan jumlah penduduk di Indonesia. Melihat kenyataan tersebut maka perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap upaya pengendalian penduduk mulai tumbuh kembali. Untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk, pemerintah melalui BKKBN mendorong kembali program KB agar berjalan sesuai dengan harapan. Upaya pemerintah untuk mensukseskan program KB dengan mengalokasikan anggaran yang terus meningkat setiap tahun melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tingkat nasional dan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada tingkat daerah. Peningkatan alokasi anggaran program KB dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Untuk mengetahui bagaimana dampak pelaksanaan kebijakan otonomi daerah terhadap upaya pengendalian penduduk khususnya pengendalian kelahiran maka penelitian ini mengambil topik: Dampak Pelakasanaan Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pengendalian penduduk di propinsi Sulawesi Selatan. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul yang mengarahkan kajian atau penelitian ini adalah :
-
1. Bagaimana dampak pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap pelayanan KB dan pengendalian kelahiran di Provinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi :
-
a. Bagaimana dampak penempatan kewenangan pengendalian penduduk dalam struktur organisasi pemerintah daerah terhadap pelayanan KB dan :
-
b. Apakah besarnya realisasi alokasi anggaran untuk pengendalian penduduk mempunyai pengaruh signifikan terhadap penurunan kelahiran di kabupaten dan kota Provinsi Sulawesi Selatan
-
2. Apakah peningkatan Current User yang diukur dengan Angka Prevalensi KB (Contraceptive Prevalence Rate CPR) berpengaruh signifikan terhadap penurunan kelahiran di Sulawesi Selatan?
Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
1. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan Otonomi
Daerah (dilihat dari aspek penetapan struktur kelembagaan penanganan pengendalian penduduk dan pengalokasian anggaran) terhadap pelayanan KB dan pengendalian kelahiran di Provinsi Sulawesi Selatan.
-
2. Untuk mengentahui pengaruh peningkatan Current User yang diukur dengan Angka Prevalensi KB (Contraceptive Prevalence Rate CPR) terhadap penurunan kelahiran di Sulawesi Selatan.
Selanjutnya, hasil peneitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan keilmuan, khususnya dalam bidang teori Kependudukan dan Sumberdaya Manusia. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu rujuan dalam penetapan kebijakan untuk pengendalian penduduk terutama pengendalian kuantitas penduduk.
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Elmi (2002), penganggaran adalah suatu proses penyusunan rencana keuangan yaitu pendapatan dan pembiayaan kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. Masing-masing kegiatan dikelompokkan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari satuan kerja tertentu. Pada masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, sistem penganggaran lebih dominan ditangani oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat
memegang kendali perencanaan dan penentuan anggaran biaya. Pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan yang dominan menentukan jenis-jenis urusan kegiatan serta pengalokasian dana untuk pembiayaan urusan tersebut. Jelasnya pada sistem sentralistik, pemerintah pusat terlalu banyak mencampuri urusan pemerintah daerah, hampir semua kebijakan ditentukan oleh pemerintah pusat. Pengalokasian dana APBN untuk pembangunan di daerah-daerah dialokasikan melalui Daftar Isian Proyek (DIP) dan DIK masing-masing departemen/lembaga non departemen serta melalui program Inpres. Sering terjadi pelaksanaan proyek yang dananya bersumber dari pemerintah pusat dan lokasinya di daerah-daerah sedang pimpronya ada di pusat. Sistim ini membuat daerah menjadi pasif dan tidak kreatif karena selalu menunggu arahan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Menurut Elmi (2002), sistim penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) erat keterkaitannya dengan pola yang berlaku dalam APBN yang tidak lepas dari sistim penganggaran yang diwarisi dari Undang Undang Perbendaharaan Indonesia tahun 1925. Sebelum diberlakukan Otonomi Daerah, anggaran disusun merupakan kombinasi antara klasifikasi organisasi dan objek yang dikenal dengan istilah “ line budgeting”yang berbasis input. Dalam penyusunan APBD, campur tangan pemerintah pusat terutama Bappenas dan Departemen Dalam Negeri lebih dominan baik dalam penyusunan rencana fisik maupun dalam alokasi dan pelaksanaan anggarannya.
Sejak awal pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001 merupakan masa transisi bagi Pemerintah daerah dari kebiasaan sentralisasi berubah ke permulaan tugas menyusun sendiri anggarannya (APBD). Penusunan APBD sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Sejak itu APBD disusun dengan pendekatan kinerja yang berbasis output. Sistim anggaran dengan pendekatan kinerja merupakan langkah lebih maju dibandingkan “line item budgeting” yang berbasis input. Sistem anggaran kinerja mengutamakan hasil yang dicapai harus sepadan atau lebih besar dari biaya yng dikeluarkan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 105 tahun 2000 terdiri dari tiga komponen yaitu pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah sangat mempengaruhi keberhasilan perekonomian suatu daerah. Menurut Lin dan Lun (2013) , jika ketiga komponen tersebut diolah dengan baik maka akan memberikan dampak yang baik pula bagi perekonomian daerah dengan meningkatnya nilai Produk Domestik Bruto (PDRB). Selanjutnya meningkatnya nilai PDRB akan berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah baik yang bersumber dari pendapatan asli daerah itu sendiri maupun karena meningkatnya pengalokasian
belanja dari pemerintah pusat. Lin dan Lun juga mengemukakan bahwa Pengeluaran Belanja Daerah ditentukan oleh perkembangan jumlah penduduk di suatu daerah, apabila perkembangan jumlah penduduk semakin besar akan memerlukan anggaran yang semakin besar. Karena meningkatnya jumlah penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan sarana dan prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar akan memerlukan anggaran yang semakin besar, supaya kualitas pertumbuhan ekonomi lebih baik, pertumbuhan penduduk harus selalu dikendalikan.
APBD merupakan instrument yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah. Untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, maka diatur landasan administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis penganggaran yang harus diikuti secara tertib dan taat asas. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena dalam proses dan mekanisme penyusunan APBD akan memperjelas siapa bertanggung jawab apa sebagai landasan pertanggungjawaban baik antara eksekutif dan DPRD, maupun di internal eksekutif itu sendiri. Pengalokasian anggaran dalam APBD di daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan pemerintah daerah dalam menangani pembangunan daerah. Struktur dan besarnya anggaran belanja daerah yang dialokasikan pada setiap bidang, urusan, program dan kegiatan dapat menunjukkan skala prioritas kegiatan pembangunan di daerah. Dalam kaitannnya dengan penanganan masalah kependudukan, pemerintah Daerah kebanyakan menganggap Program Kependudukan dan KB bukan prioritas daerah dan bahkan tidak dimasukkan dalam dokumen RPJMDdan Renstrada.
Penanganan masalah kependudukan di daerah dikerdilkan sehingga bentuk lembaga yang menangani Kependudukan dan KB (KKB) digabung dengan 2 atau 3 atau lebih urusan meskipun hal itu tidak menyalahi PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah tetapi sangat berdampak pada kinerja penanganan masalah penduduk. Dampaknya program dan kegiatan KKB tidak fokus dan mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil bahkan tidak ada, akibatnya banyak masyarakat tidak terlayani KB. Dengan kata lain, kecilnya anggaran belanja yang dialokasikan pada kegiatan kependudukan akan mencerminkan seberapa besar perhatian Pemerintah Daerah Otonom dalam menangani masalah kependudukan di daerahnya.
Pengendalian penduduk adalah suatu usaha yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk kearah suatu angka pertumbuhan penduduk yang diinginkan. Lazimnya usaha yang dilakukan adalah melalui kebijakan pemerintah di bidang kependudukan. Secara umum, pertumbuhan penduduk di suatu wilayah (suatu negara atau daerah) dipengaruhi oleh tiga faktor demografi yaitu jumlah kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi. Dari tiga faktor demografi tersebut ada diantaranya yang berpengaruh positif (menambah jumlah penduduk dan ada yang berpengaruh negatif (mengurangi) jumlah penduduk. Fertilitas adalah suatu faktor demografi yang dapat menambah jumlah penduduk. Makin tinggi angka kelahiran, maka pertambahan penduduk makin tinggi. Sebaliknya angka kematian (mortalitas) maka semakin besar angka penurunan jumlah penduduk sehingga selisih antara angka kelahiran dan angka kematian memberikan kontribusi bersih terhadap pertambahan penduduk yang disebut pertambahan alamiah. Pada sisi lain migrasi terdiri atas dua komponen yaitu migrasi masuk dan migrasi keluar. Selisih antara angka migrasi masuk dengan angka migrasi keluar disebut migrasi netto yang memberikan kontribusi bersih terhadap pertambahan penduduk yang bersumber dari faktor migrasi. Dari tiga faktor demografi tersebut, faktor yang paling besar pengaruhnya pada pertumbuhan penduduk di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah fertilitas. Semakin tinggi tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu negara di bidang pembangunan sosial ekonomi, maka tingkat kesehatan masyarakat semakin baik ekonomi semakin maju dan kesejakteraan masyarakat semakin meningkat sehingga kesehatan semakin baik dan angka kematian semakin menurun demikian juga angka fertilitas menurun. Tetapi penurunan angka kelahiran lebih lambat dari angka kematian karena perubahan kelahiran tidak hanya dipengaruhi oleh kemajuan yang dicapai dalam pembangunan sosial ekonomi tepi juga oleh perubahan perlaku dan persepsi masyarakat terhadap nilai anak. Oleh karena itu, penelitian ini lebih menekankan pada kajian pengendalian penduduk melalui pengendalian kelahiran di era otonomi daerah. Di Indonesia, pengendalian penduduk dilakukan melalui pelaksanaan program KB yang ditujukan untuk mencapai tingkat kelahiran tertentu di masa yang akan datang. Sejak diterapkannya otonomi daerah terutama sejak penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan program Kependudukan dan KB ke kabupaten dan kota tahun 2003, maka penanganan masalah pengendalian penduduk dan KB di tingkat kabupaten dan kota menjadi tidak prioritas dan terabaikan dan berdampak operasional yang kurang mendapatkan dukungan pembiayaan. Demikian juga dukungan Sumber Daya Manusia baik jumlah dan kualitasnya semakin terbatas karena banyak petugas KB (PLKB) dialih tugaskan dan dimanfaatkan untuk jabatan strategis pada urusan-
urusan atau bidang lain. Permasalahan ini menyebabkan program BKKBN pada tingkat Kabupaten dan kota tidak optimal dan tentu hal ini berpengaruh pada usaha pengendalian kuantitas penduduk.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan unit analisis adalah kabupaten dan kota. Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 21 kabupaten dan 3 kota. Dari 24 kabupaten dan kota tersebut dipilih 10 kabupaten kota yang terdiri dari 8 kabupaten yaitu kabupaten-kabupaten Soppeng, Bone, Enrekang, Toraja Utara, Luwu Timur, Gowa Bantaeng dan Bulukumba, dan 2 kota yaitu kota Makassar dan kota Palopo.
Selanjutnya, variabel dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah besarnya realisasi Anggaran Belanja Daerah dan alokasinya tiap tahun pada tiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu Badan-Badan dan Dinas Daerah. Adapun yang akan dipilih sebagai salah satu variabel penjelas atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah besarnya anggaran yang dialokasikan khusus pada setiap program kegiatan yang terkait langsung dengan kegiatan yang dapat berpengaruh pada penurunan kelahiran. Hasil pengamatan pada 10 kabupaten dan kota yang terpilih, di temukan bahwa ada dua SKPD yang menyusun program dan melaksanakan kegiatan yang dapat berpengaruh langsung pada penurunan angka kelahiran yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB atau Badan Keluarga Berencana dan Dinas Kesehatan. Besarnya realisasi anggaran belanja daerah yang dialokasikan untuk pembiayaan program kegiatan pengendalian kelahiran dijadikan sebagai variabel penjelas (explanatory variable). Sedangkan anggaran belanja yang digunakan untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pengendalian kelahiran tidak dimasukkan dalam data variabel tersebut. Variabel penjelas lain yang dipilih adalah Current User yang diukur dengan Angka Prevalensi KB, sedangkan sebagai variabel yang dijelaskan adalah jumlah kelahiran tiap tahun di tiap kabupaten dan kota yang terpilih.
Berkaitan dengan pengumpulan datanya, ditempuh langkah-langkah seperti berikut ini. Untuk data tentang alokasi anggaran belanja daerah tahun 2010 – 2014 diperoleh dari Dinas Pengelola Keuangan dan Asset daerah (DPKAD) di tiap daerah otonom sedangkan jumlah kelahiran dan jumlah kematian dan dokumen perencanaan pada periode yang sama diperoleh dari Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB dan Bappeda tiap daerah. Selain itu dilakukan wawancara terstruktur pada pimpinan instansi terkait di tiap daerah sampel.
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabel. Selain itu, untuk melihat pengaruh
alokasi anggaran dan angka prevalensi KB terhadap kelahiran digunakan model regresi. Besarnya alokasi anggaran digunakan data realisasi anggaran selama 5 tahun. Sementara itu, variabel kelahiran digunakan data jumlah kelahiran tiap tahun yang diperoleh dari Kantor Dinas Kesehatan dan Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB. Jadi data yang diolah dengan model regresi adalah data time series selama 5 tahun pada 10 kabupten dan kota sehingga jumlah pengamatan menjadi 50 (n = 50). Dengan demikian data yang diolah mengunakan model regresi berupa data panel (panel data) atau ‘pooling data’.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Penduduk
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa penduduk Provinsi Sulawesi Selatan pada periode 2000 – 2010 mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan sebesar 1,17 persen per tahun yang relatif lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode yang sama. Akan tetapi pada periode 2010 - 2014 pertumbuhan penduduk cukup mengejutkan karena mengalami tingkat pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dari periode sebelumnya yaitu sebesar 1,26 persen per tahun. Hal ini sungguh mengejutkan karena pada periode tersebut pemerintah daerah mulai memberi perhatian yang serius terhadap masalah penduduk terutama dengan makin gencarnya pelaksanaan program kegiatan untuk pengendalian kelahiran dari Perwakilan BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan yang diharapkan akan dapat menekan pertumbuhan penduduk. Melihat pertumbuhan penduduk di tiap kabupaten dan kota, tampak bahwa Kabupaten Gowa memiliki pertumbuhan penduduk tertinggi pada periode 2000 – 2010 yaitu sebesar 2,44 persen per tahun. Sedangan kabupaten –kota yang menduduki posisi urutan berikutnya setelah Kabupaten Gowa yang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah Kota Makassar dengan laju pertumbuhan sebesar 1,98 persen dan Kota Parepare dengan laju pertumbuhan 1,79 persen pada periode tersebut. Ada tiga kabupaten yang mengalami pertumbuhan penduduk negatif pada periode 2000 – 2010 yaitu Kabupaten Luwu, Kabupaten Tana Toraja, dan kabupaten Luwu Utara. Hal ini disebabkan karena pada periode tersebut ketiga kabupaten ini mengalami pemekaran wilayah masing-masing terpecah menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Luwu dimekarkan menjadi Kabupaten Luwu dan Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Tana Toraja terbagi menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Pada Tabel 1 tampak pula bahwa periode 2010 – 2014 Kabupaten Gowa meskipun laju pertumbuhan penduduknya masih bertahan diatas 2 persen, tetapi pertumbuhan
penduduknya hanya menduduki urutan ketiga setelah pertumbuhan penduduk Kota Palopo sebesar 5,11 persen pertumbuhan penduduk Luwu Timur sebesar 2,71 persen pada periode tersebut.
Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Tiap Kabupaten-Kota di Sulawesi Selatan, 2000–2014 | ||||||
No. |
Kabupaten/Kota |
Total Penduduk |
Pert. Penduduk | |||
2000 |
2010 |
2014 |
2000/ 2010 |
2010/ 2014 | ||
1 |
Kepulauan Selayar |
103596 |
122.055 |
128744 |
1,65 |
1,37 |
2 |
Bulukumba |
352419 |
394.560 |
407775 |
1,14 |
0,84 |
3 |
Bantaeng |
158632 |
176.699 |
182283 |
1,08 |
0,79 |
4 |
Jeneponto |
317588 |
342.700 |
353287 |
0,76 |
0,77 |
5 |
Takalar |
229718 |
269.603 |
283762 |
1,61 |
1,31 |
6 |
Gowa |
512876 |
652.941 |
709386 |
2,44 |
2,16 |
7 |
Sinjai |
204385 |
228.879 |
236497 |
1,14 |
0,83 |
8 |
Maros |
272116 |
319.002 |
335596 |
1,60 |
1,30 |
9 |
Pangkep |
263565 |
305.737 |
320293 |
1,50 |
1,19 |
10 |
Barru |
151085 |
165.983 |
170316 |
0,94 |
0,65 |
11 |
Bone |
648089 |
717.682 |
738515 |
1,03 |
0,73 |
12 |
Soppeng |
219505 |
223.826 |
225709 |
0,20 |
0,21 |
13 |
Wajo |
357720 |
385.109 |
391980 |
0,74 |
0,45 |
14 |
Sidrap |
238419 |
271.911 |
286610 |
1,32 |
1,35 |
15 |
Pinrang |
310833 |
351.118 |
364087 |
1,23 |
0,92 |
16 |
Enrekang |
166307 |
190.248 |
198194 |
1,35 |
1,04 |
17 |
Luwu |
398131 |
332.482 |
347096 |
-1,79 |
1,10 |
18 |
Tana Toraja |
392726 |
221.081 |
227588 |
-5,58 |
0,74 |
19 |
Luwu Utara |
431680 |
287.472 |
299989 |
-3,98 |
1,09 |
20 |
Luwu Timur |
- |
243.069 |
269405 |
*) |
2,71 |
21 |
Toraja Utara |
- |
216.762 |
224003 |
*) |
0,84 |
22 |
Kota Makassar |
1100019 |
1.338.663 |
1429242 |
1,98 |
1,69 |
23 |
Kota Parepare |
108258 |
129.262 |
136903 |
1,79 |
1,48 |
24 |
Kota Palopo |
- |
147.932 |
180600 |
*) |
5,11 |
PROP. SULAWESI |
7801678 |
8.034.776 |
8447860 |
1,17 |
1,26 | |
SELATAN |
Sumber : BPS Propinsi Sulawesi Selatan, Sensus Penduduk Tahun 2000, 2010 dan Suse-nas 2014.
Perkembangan Jumlah Kelahiran
Pertumbuhan penduduk di suatu daerah atau suatu wilayah dipengaruhi oleh tiga faktor demografi, yaitu jumlah kelahiran (fertilitas), jumlah kematian (mortalitas) dan migrasi. Dari tiga faktor demografi yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tersebut pada dasarnya dapat dibedakan atas dua faktor saja yaitu pertambahan alamiah (natural increase) yaitu selisih antara jumlah kelahiran dan jumlah kematian, dan migrasi netto (net migration) yaitu selisih antara jumlah migran masuk di suatu daerah dan jumlah migran keluar dari daerah terebut. Dari dua faktor tersebut, maka yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan penduduk di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia
adalah pertambahan alamiah (natural increase) yang pada dasarnya adalah bersumber dari jumlah kelahiran yang cukup banyak yang melebihi jumlah kematian. Hal ini jelas sekali tampak pada grafik struktur penduduk menurut umur yang disebut piramida penduduk yang masih membesar pada bagian dasar piramida. Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, pertumbuhan penduduk yang tinggi terutama disebabkan oleh jumlah kelahiran hidup yang masih tinggi, sehingga segala usaha untuk pengendalian pertumbuhan penduduk lebih menekankan pada kebijakan dan program pengendalian kelahiran.
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Kelahiran Hidup Pada 10 Kabupaten/Kota, di Sulawesi Selatan, 2010 – 2014
No. |
Kab/ Kota |
2010 |
2011 |
Tahun 2012 |
2013 |
2014K |
Total elahiran |
Rata-rata Perubahan (%) |
1. |
Kota Makassar |
26230 |
26129 |
24034 |
24576 |
24600 |
125569 |
-1,51 |
2. |
Gowa |
13071 |
13609 |
13789 |
13567 |
11941 |
65977 |
-2,04 |
3. |
Bantaeng |
3037 |
3181 |
3018 |
3115 |
3305 |
15656 |
2,23 |
4. |
Bulu-kumba |
7170 |
7221 |
7265 |
7343 |
7660 |
36659 |
1,68 |
5. |
Soppeng |
3332 |
3336 |
3343 |
3191 |
3178 |
16380 |
-1,16 |
6. |
Bone |
13946 |
13254 |
13642 |
13471 |
13573 |
67886 |
-0,63 |
7. |
Enrekang |
4014 |
3681 |
3541 |
3578 |
3591 |
18405 |
-2,67 |
8. |
Toraja Utara |
4159 |
4057 |
3863 |
3563 |
3618 |
19260 |
-3,36 |
9. |
Kota Palopo |
2832 |
2793 |
2932 |
2614 |
2747 |
13918 |
-0,54 |
10. |
Luwu Timur |
5535 |
5476 |
6103 |
5189 |
4590 |
26893 |
-4,03 |
TOTAL |
83326 |
82737 |
81530 |
80207 |
78803 |
406603 |
-1,38 |
Sumber : Kantor Dinas Kesehatan pada Tiap Kabupaten dan Kota di Sulawesi Selatan
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB pada 10 kabupaten-kota di Provinsi Sulawesi Selatan sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa selama periode 2010 -2014 jumlah kelahiran hidup yang telah terjadi adalah 406.603 kelahiran. Jika dilihat per kabupaten dan kota, tampak pada tabel tersebut bahwa jumlah kelahiran hidup yang terbanyak pada periode tersebut terjadi di Kota Makassar yaitu 125.569 kelahiran kemudian disusul oleh Kabupaten Bone sebanyak 67.886 kelahiran dan Kabupaten Gowa sebanyak 65.977 kelahiran. Meskipun jumlah kelahiran pada 10 kabupaten dan kota tersebut secara umum menunjukkan penurunan (kecuali di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba yang mengalami kenaikan) selama periode pengamatan tetapi dalam rangka mensukseskan pelaksanaan program pengendalian pertumbuhan penduduk melalui pengendalian kelahiran, maka data perkembangan kelahiran tersebut dapat memberi “warning” untuk tetap diberikan perhatian khusus penanganannya karena dari data tersebut dapat diduga bahwa jumlah kelahiran hidup telah terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan (yang terdiri
Tabel 3. Jumlah PUS dan CU pada 10 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, Tahun 2010 dan 2014.
No. Kab./Kota |
Jumlah PUS |
Jumlah CU |
Prevalence Rate | |||||
2010 |
2014 |
Pert. (%) | ||||||
2010 |
2014 |
Pert. (%) | ||||||
2010 |
2014 | |||||||
1. Kota Makassar |
182267 |
175164 |
-0,97 |
123557 |
123897 |
0,07 |
67,79 |
70,73 |
2. Gowa |
137.943 |
127.276 |
-1,93 |
86490 |
92069 |
1,58 |
62,70 |
72,34 |
3. Bantaeng |
32030 |
35907 |
2,90 |
28196 |
32131 |
3,32 |
88,03 |
89,48 |
4. Bulukumba |
67886 |
75310 |
2,63 |
54543 |
56422 |
0,94 |
80,34 |
74,92 |
5. Soppeng |
40839 |
39 860 |
-0,60 |
19559 |
29440 |
10,71 |
47,89 |
73,86 |
6. Bone |
117982 |
126313 |
1,72 |
80573 |
87184 |
1,99 |
68,29 |
69,02 |
7. Enrekang |
29072 |
33387 |
3,52 |
20444 |
17231 |
-4,18 |
70,32 |
51,61 |
8. Toraja Utara |
42184 |
55846 |
7,27 |
24.736 |
20436 |
-4,66 |
58,64 |
36,59 |
9. Kota Palopo |
26632 |
17341 |
-8,72 |
15298 |
15022 |
-0,45 |
57,44 |
86,63 |
10. Luwu Timur |
38.606 |
41.255 |
1,72 |
35532 |
35792 |
0,18 |
92,04 |
86,76 |
Total |
715441 |
727659 |
0,42 |
488928 |
509624 |
1,04 |
68,34 |
70,04 |
SULAWESI SELATAN |
1324031 |
1387345 |
1,17 |
932461 1012913 |
2,09 |
70,43 |
73,01 |
Sumber : Diolah dari data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Tiap Kabupaten dan Kota di Sulawesi Selatan.
dari 24 kabupaten/ kota) selama lima tahun terakhir (2010-2014) adalah sekitar satu juta kelahiran. Data ini hanya berdasarkan peristiwa kelahiran hidup nyata yang terjadi dan dicatat oleh paramedis di rumah-rumah sakit, puskesmas dan rumah-rumah bersalin. Selain itu, masih banyak kelahiran yang tidak terdaftar yang berlangsung di rumah-rumah penduduk yang ditangani non paramedis.
Perkembangan PUS, CU dan Prevalency Rate
Potensi jumlah pasangan usia subur (PUS), yang secara alamiah yang merupakan faktor penentu banyaknya kelahiran terjadi di suatu daerah karena hanya wanita usia subur terutama yang masih berusia muda yang mempunyai resiko untuk dapat hamil dan melahirkan. Oleh karena itu, peningkatan jumlah PUS berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah kelahiran. Hal ini terutama jika peningkatan jumlah PUS tidak dibarengi dengan peningkatan motivasi mereka untuk menjarangkan bahkan membatasi kelahiran melalui peningkatan komunikasi, pemberian informasi dan peningkatan pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan (KIE) kepada para PUS tersebut. Bahkan lebih dari itu dalam tindakan nyata meningkatkan dorongan mereka untuk menggunakan alat kontrasepsi. Hanya dengan meningkatnya dorongan PUS untuk menjarangkan bahkan membatasi kelahiran baik dengan cara penggunaan alat kontrasepsi maupun dengan metode lainnya maka perkembangan jumlah kelahiran hidup dapat diperlambat sehingga laju pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan. Dengan demikian meningkatnya jumlah PUS akan berpotensi menyebabkan jumlah kelahiran hidup meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah current user akan dapat menurunkan jumlah kelahiran hidup.
Tabel 3 menyajikan data perkembangan jumlah pasangan usia subur (PUS), jumlah pemakai metode
kontrasepsi (Current User CU) dan Prevalence Rate. Tampak pada Tabel 3 bahwa baik jumlah PUS, jumlah Current User maupun angka prevalensi di Sulawesi Selatan secara keseluruhan semuanya mengalami peningkatan selama periode 2010 – 2014. Jumlah PUS mengalami peningkatan sebesar 1,17 persen yang lebih rendah daripada peningkatan CU yaitu sebesar 2,09 persen sedangkan angka prevalensi meningkat dari 70,43 persen menjadi 73,01 persen pada peride tersebut.
Sedangkan dari 10 kabupaten-kota yang menjadi sampel pengamatan dalam penelitian ini, tampak bahwa Current User (CU) pada 10 daerah tersebut meningkat dengan tingkat kenaikan sebesar 1,04 persen lebih tinggi dari pada tingkat kenaikan jumlah pasangan usia subur (PUS) yaitu 0,42 persen pada periode yang sama. Demikian juga angka prevalensi KB meningkat dari 68,34 persen pada tahun 2010 menjadi 70,04 persen pada tahun 2014.
Akan tetapi jika dilihat perkembangan PUS dan CU serta angka prevalensi di tiap kabupaten dan kota yang menjadi sampel pengamatan, tampak pada tabel 3, ada beberapa daerah yang mengalami penurunan baik jumlah PUS maupun jumlah CU. Tampak pada tabel 3 bahwa dari 10 daerah yang terpilih menjadi sampel pengamatan, ada empat daerah yang mengalami penurunan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) dan tiga daerah yang mengalami penurunan jumlah Current User (CU) pada periode 2010 - 2014. Daerah yang mengalami penurunan jumlah PUS nya, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Soppeng, dan Kota Palopo. Sedangkan daerah yang mengalami penurunan jumlah CU yaitu Kabupaten Enrekang, Kabupaten Toraja Utara dan Kota Palopo. Penurunan jumlah PUS pada empat daerah (kabupaten dan kota) tersebut karena jumlah PUS yang istrinya sudah memasuki usia tua lebih banyak daripada tambahan jumlah pasangan usia subur muda (PUSUM) yang baru. Kurangnya tambahan pasangan usia subur muda (PUSUM) yang baru disebabkan oleh faktor semakin meningkatnya usia kawin pertama di daerah tersebut. Selanjutnya, penurunan jumlah Current User berdampak pula pada turunnya angka prevalensi KB (Contraceptive Prevalence Rate =CPR) di beberapa daerah. Penurunan jumlah Current User yang pada gilirannya berpengaruh pada turunnya angka prevalensi (CPR) dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lemahnya pembinaan peserta KB aktif yang dapat menyebabkan meningkatnya angka putus pakai, terbatasnya informasi tentang pelayanan KB menyebabkan timbulnya ketakutan terhadap efek samping penggunaan alat kontrasepsi. Bisa juga disebabkan karena terbatasnya akses terhadap pelayanan, biaya, pilihan metode atau alat kontrasepsi yang dibutuhkan oleh Pasangan Usia Subur (PUS). Hal ini sejalan dengan keterangan dari sebagian besar Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP-KB), bahwa kendala yang dihadapi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah terbatasnya tenaga petugas lapangan baik dari aspek kuantitas (jumlah petugas) maupun dari segi kualitas petugas. Kebanyakan petugas lapangan kependudukan dan KB yang ada memiliki kemampuan pengetahuan dan pengalaman kerja yang terbatas. Para petugas lapangan KB yang direkrut memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi yang belum tentu memiliki latar belakang pengetahuan kependudukan yang memadai. Sebelum melaksanakan tugasnya diberikan pelatihan seadanya kemudian dilepaskan untuk menjadi petugas penyuluh lapangan KB.
Berdasarkan informasi yang diperoleh di daerah, kebanyakan dari petugas lapangan masih berstatus sebagai tenaga honorer yang hanya menerima gaji (honor) yang cukup rendah. Demikian juga faktor terbatasnya dana untuk membiayai kegiatan advokasi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah yang sulit terjangkau. Dalam memberikan pelayanan KB, maka Badan PP-KB banyak bekerja sama dengan Dinas Kesehatan namun tetap juga masih diperhadapkan pada masalah kekurangan tenaga.
Kendala lain yang dihadapi dalam mengadvokasi program pelayanan KB adalah sering terkendala dengan faktor dukungan kelembagaan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, penanganan masalah kependudukan khususnya upaya pengendalian kelahiran melalui pelayanan KB tidak banyak menemui kendala karena ditangani secara sentralistik. Instruksi dari BKKBN pusat dengan cepat dapat direspon sampai ke tingkat desa karena lembaga atau institusi BKKBN jelas tertata secara rapih dan bersifat vertikal dari pusat sampai ke tingkat desa. Demikian juga para petugas KB pada setiap tingkatan cukup tersedia dengan uraian tugas dan tanggung jawab cukup jelas sampai ke tingkat desa.
Memasuki era otonomi daerah memberi tantangan tersendiri bagi pembangunan berwawasan kependudukan khususnya penanganan program pengendalian kelahiran. Esensi dari otonomi daerah adalah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk merencanakan, melaksanakan, melakukan evaluasi serta menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan situasi dan kondisi kemampuan daerah.
Dalam kaitan ini, rupanya urusan pengendalian penduduk nampaknya tidak dimasukkan sebagai salah satu urusan prioritas di daerah (kabupaten dan kota) sehingga pelaksanaan program BKKBN an berdampak pada di daerah tidak optimal. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan program pengendalian kuantitas penduduk, maka daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan jumlah PUS yang tinggi atau penurunan jumlah Current User atau angka prevalensi KB yang rendah perlu mendapat perhatian dalam melakukan kajian
kependudukan serta penyusunan arah strategi kebijakan pembangunan bidang kependudukan di tiap daerah.
Alokasi Anggaran
Program pengendalian penduduk melalui pengendalian kelahiran tidak mungkin terlaksana dan berhasil dengan baik tanpa ditopang dengan dukungan pendanaan yang cukup. Data yang diperoleh pada 10 kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa realisasi jumlah anggaran yang telah dialokasikan pada kegiatan program pengendalian penduduk selama lima tahun yaitu periode 2010 – 2014 sebagaimana yang tampak pada Tabel 4 yaitu sebesar Rp 372,954 miliar adalah suatu angka yang relatif kecil.
Meskipun realisasi anggaran untuk pembiayaan pengendalian kependudukan pada 10 daerah tersebut menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu rata-rata 5,41 persen per tahun (Tabel 4), tetapi dari semua urusan kegiatan di kabupaten dan kota, tampaknya urusan untuk penanganan masalah penduduk khususnya yang berkaitan langsung dengan pengendalian kuantitas penduduk mendapat alokasi anggaran terkecil bahkan secara relatif persentasenya terhadap total anggaran belanja cenderung menurun pada periode tersebut. Tampak pada Tabel 5 proporsi realisasi anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan program pengendalian kelahiran di 10 daerah (kabupaten dan kota) turun dari 1,10 persen dari total realisasi anggaran belanja daerah pada tahun 2010 menjadi 0,84 persen pada tahun 2014 (Tabel 5). Melihat perubahan anggaran pengendalian kelahiran yang terjadi pada tiap kabupaten dan kota, tampak pada Tabel 4 dan Tabel 5 ada tiga daerah yang mengalami kenaikan anggaran belanja baik kenaikan dalam besarnya alokasi nilai absolut (nilai rupiahnya) maupun kenaikan persentasenya terhadap total anggaran belanja daerah. Ketiga daerah tersebut adalah Kota Palopo, Kota Makassar, dan Kabupaten Enrekang. Kota Palopo yang mengalami pertumbuhan anggaran belanja pengendalian kelahiran rata-rata sebesar 34,22 persen dan proporsi (persentasenya) terhadap total anggaran belanja daerah dari 0,30 persen pada tahun 2010 menjadi 1,83 persen pada tahun 2014 atau dengan kenaikan sebesar 1,53 persen selama periode 2010-2014 (Tabel 4).
Tingkat kenaikan anggaran pengendalian penduduk di Kota Palopo tersebut merupakan tingkat kenaikan tertinggi dari 10 kabupaten/kota (Tabel 5). Daerah lain yang mengalami tingkat kenaikan tertinggi beikutnya adalah Kota Makassar yang mengalami kenaikan besarnya anggaran biaya pengendalian kelahiran yang meningkat dari Rp 13,78 milyar pada tahun 2010 menjadi Rp 26,84 pada tahun 2014 atau meningkat dengan rata-rata kenaikan sebesar 18,13 persen per tahun (tabel 5), sedangkan persentasenya terhadap total anggaran
Tabel 4. Total Alokasi Anggaran Belanja Untuk Pembiayaan Program Kegiatan Pengendalian Kelahiran Pada Sepuluh Kabupten/Kota Di Sulawesi Selatan, Tahun 2010 - 2014. (dalam Rp juta)
No. Kab./Kota |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
2014 |
Total |
Pert. (%) |
1 Kota . Makassar |
13780 |
18317 |
21043 |
24517 |
26842 |
104499 |
14,26 |
2. Gowa |
1335 |
1463 |
1607 |
1748 |
1894 |
8047 |
7,25 |
3. Bantaeng |
4512 |
3951 |
3486 |
4734 |
4233 |
20916 |
-1,27 |
4. Bulukumba |
17557 |
18259 |
22476 |
37580 |
22209 |
118081 |
4,81 |
5. Soppeng |
1575 |
850 |
960 |
1206 |
1356 |
5947 |
-2,95 |
6. Bone |
4529 |
4013 |
3970 |
3676 |
3099 |
19287 |
-7,31 |
7. Enrekang |
1896 |
632 |
574 |
1379 |
1907 |
6388 |
0,12 |
8. Toraja Utara |
3799 |
4025 |
3970 |
4780 |
1042 |
17616 |
-22,80 |
8. Kota Palopo |
1249 |
5184 |
5560 |
3081 |
5441 |
20515 |
34,22 |
10. Luwu Timur |
11736 |
11327 |
9735 |
6244 |
12616 |
51658 |
1,46 |
TOTAL |
61968 |
68021 |
73381 |
88945 |
80639 |
372954 |
5,41 |
Tabel 5. Proporsi Realisasi Anggaran Belanja Pemda Digunakan Untuk Pembiayaan kegiatan Kegiatan Pengendalian Kelahiran, Pada Sepuluh Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan, Tahun 2010-2014 (dalam %)
No. |
Kabupaten/Kota |
2010 |
2014 |
Perubahan |
1. |
Kota Makassar |
1,01 |
1,03 |
0,02 |
2. |
Gowa |
2,43 |
2,18 |
-0,25 |
3. |
Bantaeng |
1,68 |
0,82 |
-0,86 |
4. |
Bulukumba |
2,41 |
2,24 |
-0,17 |
5. |
Soppeng |
0,20 |
0,19 |
-0,01 |
6. |
Bone |
0,01 |
0,22 |
+0,21 |
7. |
Enrekang |
0,06 |
0,21 |
+0,15 |
8. |
Toraja Utara |
1,00 |
1,20 |
+,20 |
9. |
Kota Palopo |
0,30 |
1,83 |
+1,53 |
10. |
Luwu Timur |
2,09 |
1,13 |
-0,96 |
TOTAL |
1,10 |
0,86 |
-0,24 |
Sumber : Diolah Dari Data Realisasi Anggaran Belanja Pada Dinas Kesehatan dan Badan PP-KB Tiap Kabupaten Kota
meningkat dari 1,01 persen pada tahun 2010 menjadi 1,03 persen pada tahun 2014. Selanjutnya Kabupaten Enrekang meskipun pertumbuhan anggaran biaya untuk pengendalian kelahiran cukup rendah yaitu 0,12 persen, tetapi masih dapat menaikkan posisi relatif anggaran biaya pengendalian kelahiran dari 0,06 persen menjadi 0,21 persen atau naik sekitar 0,15 persen selama periode tersebut. Ada 4 kabupaten yang mengalami pengurangan besarnya anggaran untuk pengendalian kelahiran yaitu Kabupaten Bantaeng, Soppeng, Bone, dan Toraja Utara. Dari 4 kabupaten tersebut Kabupaten Toraja Utara yang mengalami pengurangan anggaran yang paling besar yaitu turun dari Rp 3,8 milyar pada tahun 2010 menjadi Rp 1,04 miliyar pada tahun 2014 atau berkurang rata-rata hampir 23 persen pada periode tersebut (Tabel 4). Pengurangan alokasi anggaran pengendalian penduduk yang cukup drastis tersebut menyebabkan Kabupaten Toraja Utara menempati posisi sebagai daerah yang mengalokasikan anggaran terkecil untuk pengendalian kelahiran pada tahun 2014.
Daerah yang mengalami penurunan baik besarnya alokasi anggaran untuk pengendalian kelahiran maupun persentase anggaran untuk kegiatan tersebut terhadap total anggaran kabupten yaitu Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Soppeng. Berkurangnya alokasi anggaran untuk pengendalian kelahiran baik jumlah anggaran maupun persentasenya relatifnya terhadap total anggaran kabupaten di Kabupaten Bantaeng disertai dengan perubahan yang sangat kecil pada angka prevalensi KB diduga menjadi pemicu tingginya kenaikan jumlah kelahiran di erah tersebut pada periode 2010 – 2014. Besarnya proporsi (persentase) anggaran belanja daerah yang dialokasikan pada kegiatan pengendalian kelahiran dapat menjadi salah satu indikasi bagaimana perhatian pemerintah daerah terhadap masalah pengendalian penduduk di daerahnya karena besarnya manfaat atau hasil yang dharapkan dari setiap urusan atau bidang
kegiatan harus ditopang dengan biaya yang seimbang.
Makin besar manfaat yang diharapkan dari suatu kegiatan makin besar pula biaya yang dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut (money follow function).
Dukungan Kelembagaan dan SDM
Esensi dasar dari otonomi daerah adalah pemberian keleluasaan kepada pemerintah Kabupaten dan kota untuk merencanakan, dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah, termasuk kebebasan untuk menentukan struktur kelembagaan pemerintahannya sesuai kebutuhannya. Menurut Darahim (2010), di era otonomi daerah saat ini kependudukan dan KB tidak menjadi skala prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah. Hal ini mungkin dengan pertimbangan bahwa urusan kependudukan dan KB lebih berorientasi pada kepentingan jangka panjang dan kepentingan publik yang dalam jangka pendek tidak menambah pemasukan untuk PAD, sebaliknya menjadi beban bagi APBD karena pelayanan KB hanya bersifat pelayanan penduduk yang tidak menghasilkan uang. Kebanyakan pimpinan daerah dalam menyusun kebijakan lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek dan kepentingan lokal dan kurang memperhatikan pengaruh jangka panjang dari setiap pengambilan kebijakan.
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut diatas, maka penanganan urusan pelayanan KB dan pengendalian penduduk di kabupaten dan kota menjadi semakin kerdil. Lembaga yang menangani urusan kependudukan dan pelayanan KB tidak jelas nomenklaturnya. Hasil penelitian menemukan bahwa pada sebagian besar kabupaten dan kota terpilih, lembaga yang menangani urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB berada didalam satu Dinas atau Badan. Satu Dinas atau Badan membawahi sejumlah (lebih dari satu) urusan yang disebut Bidang dan satu bidang membawahi sejumlah kelompok kecil urusan yang disebut Seksi atau Sub
Bidang. Satu Dinas atau Badan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas dengan jabatan struktural adalah eselon II. Satu Bidang dipimpin oleh seorang Kepala Bidang dengan jabatan struktural eselon III dan satu Seksi atau Sub Bidang dipimpin oleh seorang Kepala Seksi atau Kepala Sub Bidang dengan jabatan struktural eselon IV merupakan jabatan struktural terendah. Urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB di kabupaten dan kota merupakan urusan Seksi atau Sub Bidang yang kegiatannya termasuk usulan pendanaannya direncanakan dan dilaksanakan oleh seorang Kepala Seksi atau Kepala Sub Bidang.
Bila dibandingkan dengan urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB di era Orde Baru yang bersifat sentralistik, urusan ini menjadi kerdil di tingkat kabupaten dan kota pada era otonomi sekarang ini. Pada masa pemerintahan Orde Baru, urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB di tingkat kabupaten dan kota berada dibawah kewenangan dan dikoordinasikan oleh seorang Kepala BKKBN kabupaten/kota yang lembaganya setingkat Dinas di daerah tersebut. Kewenangan seorang Kepala BKKBN Kabupaten/kota lebih besar daripada Kepala Dinas kabupaten karena BKKBN kabupaten/ kota merupakan lembaga yang bersifat vertikal yang berada di kabupaten dan kota tetapi tidak dibawah kendali Pemerintah Daerah setempat. Semua kegiatan BKKBN di tingkat kabupaten dan kota direncanakan, dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh kepala BKKBN Kabupaten dengan tetap memperhatikan petunjuk dan arahan dari BKKBN provinsi dan BKKBN pusat. Bahkan pegawai BKKBN kabupaten/kota adalah pegawai negeri sipil pusat yang tidak ditaktis oleh pemerintah daerah.
Pada masa otonomi daerah terutama setelah urusan KB diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten dan kota), maka semua urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB termasuk penentuan anggarannya dibawah kendali Pemerintah Daerah. Demikian juga para pegawai BKKBN yang merupakan pegawai Negeri Sipil Pusat yang sudah memiliki pengetahuan, pengalaman kerja dan ketrampilan yang tinggi di bidang pelayanan KB dan penanganan masalah penduduk (sudah memiliki kualitas SDM yang bagus) akhirnya dengan bebas dipindahkan ke instansi lain. Kemudian penempatan Kepala SKPD (Kepala Dinas atau Kepala Badan) demikian juga Kepala Bidang dan Kepala Seksi yang membawahi urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB kebanyakan diduduki oleh orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja yang terbatas di bidang kependudukan.
Akibatnya kegiatan pengendalian penduduk dan pelayanan KB pada akhirnya mengalami kendala dan tantangan yang cukup berat karena karena diperhadapkan pada masalah kekurangan pendanaan dan keterbatasan tenaga baik jumlahnya maupun kompetensi kemampuan yang dimiliki oleh tenaga yang menangani urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB.
Hubungan Antara Perubahan Alokasi Anggaran, Prevalensi KB dan Kelahiran
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat pola hubungan berlawanan antara perubahan besarnya anggaran pengendalian kelahiran dengan perubahan kelahiran yang terjadi selama periode pengamatan. Peningkatan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan program pengendalian kelahiran disertai peningkatan angka prevalensi KB dapat menyebabkan jumlah kelahiran menurun. Dari 10 daerah yang terpilih, tampak bahwa selama periode pengamatan, anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kelahiran meningkat dengan rata-rata kenaikan sebesar 5,41 persen per tahun, angka pevalensi KB meningkat sebesar 2,58 persen sebaliknya jumlah kelahiran menurun sebesar 1,38 persen. Pola hubungan yang sama tampak di Kota Makassar,K Gowa, kota Palopo dan di beberapa kabupaten lainnya.
Berbeda halnya dengan pola hubungan yang tampak di kabupaten Bantaeng sebagaimna terlihat pada Tabel 6. Di Kabupaten Bantaeng, besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kelahiran cenderung menurun baik besarnya anggaran maupun persentase relatifnya terhadap total anggaran daerah. Jumlah anggaran untuk pengendalian kelahiran di daerah tersebut menurun dengan tingkat penurunan rata-rata sebesar 1,27 persen per tahun selama periode 2010 – 2014, sedangkan angka persentasenya terhadap total anggaran daerah menurun rata-rata sebesar 0,86 persen. Meskipun angka prevalensi KB masih sedikit mengalami peningkatan namun dampaknya adalah angka kelahiran mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,23 persen pada periode tersebut. Di Kabupaten Bulukumba, meskipun terjadi peningkatan besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kependudukan, namun proporsinya terhadap total anggaran dan angka prevalensi KB mengalami penurunan yang cukup besar, maka kelahiran didaerah tersebut naik sebesar 1,68 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa pola hubungan negatif (berlawanan) antara perubahan anggaran dengan perubahan jumlah kelahiran. Meningkatnya besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kelahiran dapat menurunkan jumlah kelahiran yang terjadi di dalam masyarakat.
Sebaliknya jika anggaran belanja untuk pos pengendalian kelahiran dikurangi maka maka jumlah kelahiran meningkat. Besarnya anggaran yang dialokasikan untuk membelanjai kegiatan yang terkait dengan program pengendalian penduduk (kelahiran) menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam menangani masalah penduduk khususnya masalah pertumbuhan penduduk di daerahnya. Sebagaimana halnya dengan perubahan besarnya anggaran untuk pengendalian penduduk (kelahiran), demikian juga angka prevalensi KB (Contraceptive Prevalence Rate
Tabel 6. Perubahan Anggaran Pengendalian Kelahiran, Prevalensi KB dan Jumlah Kelahiran Pada Sepuluh Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, 2010 – 2014
No. |
Kabupaten/Kota % |
Perubahan Anggaran |
Perkembangan Kelahiran (%) | ||
Pertumbuhan |
% thdp Total |
Perubahan CPR | |||
1. |
Kota Makassar |
14,26 |
0,02 |
-2,94 |
-1,51 |
2. |
Gowa |
7,25 |
-0,25 |
9,64 |
-2,04 |
3. |
Bantaeng |
-1,27 |
-0,86 |
1,45 |
2,23 |
4. |
Bulukumba |
4,81 |
-0,17 |
-5,41 |
1,68 |
5. |
Soppeng |
-2,95 |
-0,01 |
25,97 |
-1,16 |
6. |
Bone |
-7,31 |
0,21 |
0,73 |
-0,63 |
7. |
Enrekang |
0,12 |
0,15 |
-18,71 |
-2,67 |
8. |
Toraja Utara |
-22,80 |
1,00 |
-22,05 |
-3,36 |
9. |
Kota Palopo |
34,22 |
1,53 |
29,19 |
-0,54 |
10. |
Luwu Timur |
1,46 |
-0,96 |
- 5,28 |
-4,03 |
TOTAL |
5,41 |
-0,26 |
+ 2,58 |
- 1,38 | |
Sumber : Tabel 2, 3, 4, 5 |
= CPR) mempunyai perubahan yang berlawanan (hubungan negatif) dengan perubahan jumlah kelahiran. Peningkatan angka prevalensi KB memberi respon (pengaruh) terhadap penurunan jumlah kelahiran. Pola hubungan antara perubahan anggaran dan perubahan angka prevalensi KB terhadap perubahan kelahiran tersebut didukung pula hasil analisis regresi seperti yang dapat dilihat pada tabel 7.
Dari hasil analisis data yang menggunakan regresi linier berganda sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 7a menunjukkan CPR maupun alokasi anggaran untuk kegiatan pengendalian berdasarkan hasil uji t berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kelahiran. Angka koefisien regresi CPR maupun anggaran terhadap kelahiran keduanya bertanda negatif yang menunjukkan bahwa jika angka prevalensi KB (CPR) meningkat satu persen maka jumlah kelahiran menurun 0,37 persen. Demikian juga jika besarnya anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian kelahiran meningkat satu persen jumlah kelahiran akan menurun 1,71 persen. Jadi berdasarkan hasil analisis data tersebut, tampak jelas bahwa pengaruh kenaikan alokasi anggaran terhadap penurunan jumlah kelahiran lebih besar daripada pengaruh kenaikan angka prevalensi KB (CPR). Pengaruh relatif CPR dan anggaran secara bersamaan (simultan) terhadap penurunan kelahiran dapat dilihat dari angka koefisien determinasi berganda (R2 = 0,855) yang tidak bbesar perbedaannya dengan adjusted R2 sebesar 0,849 (tabel 7b). Angka koefisien determinasi berganda tersebut mengindikasikan bahwa sekitar 85,5 persen variasi perubahan kelahiran ditentukan oleh perubahan besarnya anggaran dan perubahan angka prevalensi KB dan selebihnya hanya sekitar 14,5 persen ditentukan oleh faktor lain. Pengaruh bersamaan (simultan) dari kedua variabel (CPR dan anggaran) terhadap penurunan kelahiran secara statistik berdasarkan uji F menunjukkan sangat signifikan (Tabel 7b).
Tabel 7a. Hasil Analisis Regresi CPR dan Anggaran Terhadap Kelahiran Berdasarkan Data dari Sepuluh Kabupaten dan Kota Di Sulawesi Selatan, Tahun 2010 – 2014
Model |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients Beta |
t |
Sig. | |
B |
Std. Error | ||||
(Constant) |
-52.3274 |
64.4536 |
-.812 |
.421 | |
CPR |
-.37 |
.17 |
.058 |
-2.1765 |
.046 |
Budget |
-1.71 |
.011 |
.895 |
-15.5454 |
.000 |
a. Dependent Variable: ALH
Tabel 7b. Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi Berganda Serta Nilai Uji F Hasil Analisis Regresi CPR dan Anggaran Terhadap Kelahiran
Model R |
R Square Adjusted R Std. Error of Square the Estimate |
Change Statistics | ||
R Square Change |
F Change | |||
1 .925a |
.855 |
.849 2670.756 |
.855 |
141.799 |
a. Dependent Variable: ALH | ||||
Model Summaryb | ||||
Model |
df1 |
Change Statistics Durbin-Watson df2 Sig. F Change | ||
1 |
2a |
48 |
.000 |
1.832 |
a. Dependent Variable: ALH
Sumber : Hasil Analisis Data Yang dikumpul dari 10 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
Berdasarkan hasil analisis data, baik yang terdapat pada Tabel 6 maupun hasil analisis kuantitatif menggunakan analisis regresi seperti yang ditampilkan pada Tabel 7a dan 7b, menunjukkan pola hubungan negatif (berlawanan arah) antara CPR dan anggaran terhadap perubahan kelahiran. Dari hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa masing-masing variabel (CPR dan anggaran) mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap perubahan kelahiran. Artinya jika CPR meningkat akan berpengaruh terhadap menurunnya kelahiran, demikian juga jika anggaran pengendalian kelahiran ditingkatkan, juga berpengaruh terhadap menurunnya kelahiran. Pengaruh kenaikan anggaran lebih besar daripada pengaruh peningkatan angka prevalensi KB. Hal ini menunjukkan bahwa jika Pemerintah Daerah memiliki komitmen dan perhatian lebih serius terhadap usaha pengendalian penduduk khususnya pengendalian kelahiran dengan melakukan berbagai macam usaha dan didukung dengan pengalokasian anggaran yang lebih besar maka dampaknya akan dapat menurunkan angka kelahiran yang pada gilirannya akan berdampak pada penurunan atau penekanan laju pertumbuhan penduduk. Sebab penurunan angka kelahiran tidak cukup hanya dengan meningkatkan jumlah peserta KB (current user) atau meningkatkan angka prevalensi KB (Contraceptive Prevalence Rate = CPR) tetapi lebih dari itu harus melakukan berbagai kegiatan termasuk kegiatan yang dapat merubah pola fikir masyarakat, perubahan persepsi dan berbagai aktivitas lainnya yang dapat berkaitan lagsung atau tidak langsung terhadap pengendalian kelahiran dan penekanan laju pertumbuhan penduduk di daerah masing-masing. Semuanya ini dapat
dilakukan jika tersedia dana yang cukup disediakan oleh Pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa besarnya anggaran belanja daerah yang dialokasikan kepada pelaksanaan program pengendalian penduduk merupakan cerminan komitmen dan perhatian Pemerintah Daerah terhadap upaya pengendalian pertumbuhan penduduk di daerah masing-masing. Semuanya ini dapat dilakukan apabila masalah penduduk dijadikan issu strategis dalam pembangunan dan program pengendalian penduduk menjadi salah satu program prioritas baik di tingkat pusat maupun di daerah.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Simpulan
Anggaran Belanja Daerah yang dialokasikan Pemerintah Daerah kabupaten dan kota untuk pembiayaan program pengendalian kuantitas penduduk khususnya pengendalian kelahiran sangat kecil baik dilihat dari nilainya maupun persentasenya terhadap total anggaran belanja daerah dan cenderung menurun setiap tahun selama periode pengamatan. Kecilnya anggaran pengendalian kelahiran tersebut dapat menunjukkan bahwa program pengendalian kuantitas penduduk melalui kelahiran tidak menjadi skala prioritas dalam perencanaan pembangunan daerah. Pengalokasian anggaran belanja daerah merupakan instrumen kebijakan Pemerintah Daerah yang sekaligus mencerminkan skala prioritas program pembangunan. Hal ini menyebabkan kegiatan pelaksanaan program pengendalian kuantitas melalui kelahiran tidak dapat berjalan secara optimal.
Realisasi anggaran belanja yang dialokasikan untuk pengendalian kuantitas (kelahiran) dan peningkatan angka prevalensi KB (CPR) berdasarkan hasil pengujian secara statistik keduanya mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap kelahiran baik secara bersama (simultan) maupun secara parsial (sendiri-sendiri). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan anggaran belanja untuk progam pengendalian kuantitas penduduk khususnya pengendalian kelahiran menyebabkan jumlah kelahiran hidup menurun dan hal yang sebaliknya jika anggaran belanja untuk program itu menurun. Demikian juga halnya dengan perubahan angka prevalensi KB (CPR). Jika CPR meningkat, maka jumlah kelahiran hidup penduduk menurun dan sebaliknya kalau ternyata angka prevalensi (CPR) menurun maka jumlah kelahiran akan berpeluang meningkat.
Kedua variabel yang terpilih sebagai variabel bebas (anggaran dan CPR) mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap penurunan jumlah kelahiran hidup. Secara kuantitatif berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa kedua variabel tersebut memberikan kontribusi sebesar 86 persen terhadap penurunan
jumlah kelahiran. Tampak pada hasil analisis data bahwa pengaruh perubahan alokasi anggaran terhadap penurunan kelahiran lebih besar daripada pengaruh perubahan angka prevalensi KB.
Penanganan masalah kependudukan khususnya yang berkaitan dengan pengendalian penduduk dan pelayanan KB di tingkat kabupaten dan kota di era otonomi daerah menghadapi tantangan yang cukup berat. Dari segi kelembagaan, kewenangan dan tanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian penduduk dan pelayanan KB dalam struktur kelembagaan daerah berada pada tingkat Seksi atau Sub Bidang yaitu pada level terrendah dalam struktur kelembagaan dan dipimpin oleh seorang Kepala Seksi atau Kepala Sub Bidang dengan jabatan eselon IV. Dengan dibawanya kegiatan pengendalian penduduk dan pelayanan KB ke tingkat Seksi atau Sub Bidang berarti tanggung jawab pelaksanaan dan kegiatannya diperkecil. Sehingga tidak heran kalau anggaran yang dialokasikan pada kegiatan ini juga kecil. Demikian juga tenaga atau sumberdaya manusia yang bertanggung jawab dan bertugas pada tingkat Seksi atau Sub Bidang jumlahnya sedikit dengan kualitas kompetensi kebanyakan tidak sesuai kebutuhan untuk kegiatan tersebut. Berbeda pada masa pemerintahan Orde baru, dimana tanggung jawab program pengendalian penduduk dan pelayanan KB berada dalam satu lembaga (yaitu BKKBN kabupaten) yang setingkat Dinas di daerah. Kebanyakan petugas KB pada masa Orde Baru yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja tinggi di bidang pengendalian penduduk dan KB yang masih aktif sekarang sudah dipindah tugaskan ke instansi lain.
Berdasarkan hasil analisis data khususnya dilihat dari tiga indikator yaitu : (1) alokasi anggaran untuk pengendalian penduduk dan pelayanan KB sangat kecil; (2) penempatan urusan pengendalian penduduk dan pelayanan KB pada level organisasi perangkat daerah terendah (tingkat Seksi atau Sub Bidang); dan (3) penempatan tenaga (SDM) yang menangani urusan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) terhadap upaya pengendalian kuantitas penduduk pada umumnya masih sangat lemah.
Rekomendasi Kebijakan
-
1. Mengupayakan adanya komitmen yang tinggi dan perhatian yang lebih serius Pemerintah Kabupaten dan Kota terhadap penyelesaian masalah kependudukan memasukkan masalah kependudukan dalam perencanaan pembangunan daerah sebagai salah satu issu strategis dan pengendalian penduduk dan pelayanan KB sebagai salah satu program prioritas pembangunan di daerahnya.
-
2. Melakukan penataan kelembagaan dengan penguatan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam
penyusunan perencanaan, kebijakan pengendalian penduduk dan pelayanan KB. Diharapkan agar lembaga yang bertanggung jawab dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan pengendalian penduduk dan pelayanan KB di kabupaten dan kota tidak berada pada tingkat Seksi atau Sub Bidang, tetapi berada pada suatu lembaga setingkat Dinas atau Badan yang berdiri sendiri, tidak bergabung dengan urusan lain.
-
3. Meningkatkan porsi alokasi Anggaran Belanja Daerah pada urusan pengendalian kependudukan dan pelayanan KB untuk menjamin terselenggaranya program pengendalian penduduk dan pelayanan KB yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
-
4. Meningkatkan KIE yang berperspektif Keluarga Berencana, peningkatan pemahaman nilai-nilai NKKBS dan kesehatan reproduksi kepada keluarga dan remaja.
-
5. Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman aparat pemerintah daerah tentang masalah pengendalian kependudukan dan pengelolaan KB.
-
6. Mengembangkan pola kemitraan antar instansi pemerintah, swasta dan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap masalah penduduk dan KB melalui bimbingan dan konseling serta memberikan pelayanan KB yang berkualitas.
-
7. Pengembangan Sumberdaya Manusia dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi tenaga dan aparat perencana dan pengelola program pengendalian penduduk dan peningkatan kemampuan petugas PLKB dan tenaga kesehatan untuk memberi pelayanan KB.
-
8. Meningkatkan komunikasi dan informasi untuk memberi dorongan dan semangat para PUS khususnya pasangan usia muda (PUSUM) untuk selalu menggunakan alat kontrasepsi sebagai sarana pengendalian kelahiran.
DAFTAR PUSTAKA
Darahim, Andarus (2010), “Penduduk Sebagai Modal Sekaligus Beban Pembangunan” dalam Darwin (eds), Dinamika Kependudukan dan Penguatan Governnance, Media Wacana, Yokyakarta.
Darwin, Muhajir dan Sukamdi (2010), “Revitalisasi Program Keluarga Berencanan Di Indonesia”, dalam Darwin (eds.), Dinmika Kependudukan dan Penguatan Governance, Media Wacana, Yokyakarta.
Devita, Andri., Arman Delis dan junaidi (2014), “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Jumlah Penduduk terhadap Belanja Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi Jambi”, Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah, Vol. 2 No. 2
Elmi,Bahrul (2002), Keuangan Pemerintah daerah Otonomi di Indonesia, UI Press, Jakarta.
Glowaki, T dan Richmond, A.K. 2007. How Government Policies Influence Declining Fertility Rate in Developed Countries. Middle State Geographer. 40:32-38
Hadi, Sasana (2011), Analisis Determinan Belanja Daerah di Kabupaten-Kota Propinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Nur Afni, Dini (2013), “Factors Influencing The Current Use of Modern Contraception Method in Lampung Province 2007, “ dalam Bunga Rampai IPADI, IPADI, Jakarta
Syarif, Sugiri (2010), “Program Kependudukan dan KB Bagi Pembangunan Bangsa”, dalam Darwin (eds.), Dinamika Kependudukan dan Penguatan Governance, Media Wacana, Yokyakarta.
rohmawati, dewi sintani (2011), Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi BelanjaDaerah di Kabupaten Sumenep.
Volume XII No. 2 Desember 2016
Discussion and feedback