KONTRIBUSI MIGRAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR INFORMAL DI PERKOTAAN

(Kasus di Jakarta Selatan)

Sari Seftiani

Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Email: [email protected]

Abstract

Migration Phenomenon in a big city can not be separated from informal sector growth. Today, rural citizens are more proactive in reaching for opportunity and prosperity in the city that they wish by migration. Informal Sector happens when the limited city to provide acceptable field of job. Limited job opportunity in formal sector causes the migrants have to choose the informal sector to look for prosperity. This study analyses the contribution of migrant, especially migrant in South Jakarta to informal sector growth in this region by using qualitative approach. Research Result shows that migrant, especially in South Jakarta, gives contribution to informal sector growth in urban area.

Keywords : Migration, Informal Sector, and Urban.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menampakkan wajahnya di kota-kota besar, faktor penyebab migrasi pun menjadi semakin bervariasi. Berbagai faktor sosial, ekonomi maupun psikologi sangat mempengaruhi keputusan calon migran untuk melakukan migrasi. Kemiskinan di perdesaan tidak lagi menjadi satu-satunya faktor pendorong migrasi. Masyarakat desa kini lebih bersifat proaktif dalam meraih kesempatan dan kemakmuran yang mereka inginkan di kota. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa motif ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi (Lee, 1966; Todaro, 1977 dan Titus, 1978).

Fenomena migran yang menyerbu kota-kota besar ini ternyata tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan sektor informal. Sektor informal terjadi ketika

terbatasnya kota untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Kesempatan kerja yang sangat terbatas di sektor formal menyebabkan sektor informal menjadi alternatif tujuan para migran untuk bertahan hidup. Betapa pun kecilnya pendapatan yang diperoleh pekerja dari sektor informal di kota, kesempatan kerja di perkotaan senantiasa lebih banyak tersedia daripada di perdesaan dan standar hidup minimum di kota juga jauh lebih tinggi. Bahkan keadaan penduduk yang paling miskin di kota seperti Jakarta, barangkali jauh lebih baik daripada lapisan berpendapatan rendah di perdesaan Jawa (Papanek, 1975).

Penekanan pada latar belakang kondisi perdesaan yang serba kesulitan dianggap cukup beralasan karena sektor informal dianggap bermula dari proses migrasi dari desa ke kota yang berlangsung terus-menerus, yakni arus pekerja yang berlebih keluar dari perdesaan. Para migran pada akhirnya terpaksa harus memilih sektor informal karena kepastiannya dalam memperoleh pendapatan secara mudah tanpa banyak syarat. Selain dikarenakan keterbatasan lahan sektor formal di perkotaan, faktor pendidikan rendah dan keterampilan terbatas yang dimiliki rata-rata para migran pun menjadi salah satu faktor menjamurnya sektor informal di perkotaan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa pekerja di sektor informal umumnya berasal dari desa (Manning et al,1984; Hidayat,1978).

Salah satu kota besar yang sering menjadi tujuan untuk bermigrasi adalah Jakarta. Meskipun pusat-pusat pertumbuhan telah banyak dibangun di provinsi-provinsi luar Jawa yang merupakan tujuan awal dari proses industrialisasi, hal tersebut ternyata masih belum mampu mengimbangi pusat-pusat pertumbuhan yang ada di Jawa, khususnya Jakarta. Seperti diketahui, Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus, jumlah penduduk di Jakarta sebanyak 8.860.381 penduduk yang tersebar di enam kabupaten, yaitu Jakarta Selatan sebanyak 2.007.172 penduduk, Jakarta Timur sebanyak 2.404.127 penduduk, Jakarta Pusat sebanyak 889.448 penduduk, Jakarta Barat sebanyak 2.093.185 penduduk, Jakarta Utara sebanyak 1.447.805 penduduk, dan Kepulauan Seribu sebanyak 18.644 penduduk (BPS, 2005).

Sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta menjadi daerah favorit migran dari berbagai provinsi di Indonesia. Berdasarkan data BPS, persentase penduduk yang datang 2

(migran) ke wilayah Jakarta Selatan saja mencapai 42,89 persen (BPS, 2000), belum lagi di wilayah Jakarta yang lain. Data tersebut memperlihatkan bahwa tingkat persentase migran yang datang cukup tinggi. Bisa dibayangkan berapa banyak migran yang memiliki motif mencari pekerjaan, sedangkan kesempatan kerja yang tersedia, khususnya di sektor formal semakin terbatas. Hal tersebut menyebabkan para migran terpaksa memilih sektor informal sebagai alternatif.

Beberapa jenis usaha yang termasuk sektor informal di kota Jakarta diisi oleh pedagang kaki lima. Hampir setiap ruas jalan di Jakarta dihiasi oleh para pedagang kaki lima. Salah satu contoh di kawasan Jakarta Selatan, setiap malam dengan mudah kita dapat melihat jalan trotoar berubah menjadi area berdagang kaki lima. Dari pedagang makanan, minuman, mainan, sampai ke pedagang pakaian pun ada. Kebanyakan dari para pedagang berasal dari luar Jakarta dan mayoritas tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta (kontrak). Para pelaku sektor informal tersebut banyak yang sudah berdagang di sepanjang ruas jalan selama bertahun-tahun. Setiap pedagang seperti telah memiliki lahan yang paten. Permasalahan migran sepertinya tidak pernah dapat dipisahkan dari pertumbuhan sektor informal di perkotaan. Bertambahnya migran terlebih migran yang berpendidikan rendah dan minim keterampilan, diperkirakan menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah sektor informal di perkotaan.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, pertanyaan dalam studi ini adalah sebagai berikut.

  • 1.    Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab munculnya migran di perkotaan?

  • 2.    Apakah migran memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan sektor informal di perkotaan?

Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi migran yang datang terhadap pertumbuhan sektor informal di perkotaan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

  • (1)    mengkaji faktor-faktor penyebab utama penduduk desa melakukan migrasi ke kota; dan

  • (2)    mengkaji peranan migran terhadap pertumbuhan sektor informal di perkotaan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan mengenai kontribusi migran terhadap pertumbuhan sektor informal di perkotaan dan diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan, khususnya di DKI Jakarta yang merupakan Ibu Kota Negara dan daerah tujuan utama para migran.

Tinjauan Pustaka

Kenyataan saat ini, setiap tahun berjuta-juta orang pindah dari desa ke kota, sekalipun banyak kota besar dalam kenyataannya sudah tidak mampu menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan transportasi yang memadai. Salah satu contoh kota tersebut adalah Jakarta yang diperkirakan saat ini sudah dihuni lebih dari delapan juta jiwa, baik yang berasal dari Jakarta sendiri maupun dari luar Jakarta (migran). Jakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yang salah satunya disebabkan oleh mobilitas penduduk dari desa.

Migrasi (Chotib, 2010) dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/Negara (migrasi internasional). Migrasi bersama dengan komponen demografi lainnya, yaitu kelahiran dan kematian mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah. Seseorang dapat dikatakan sebagai migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang baru itu paling sedikit enam bulan lamanya.

Kemudian, untuk konsep mengenai sektor informal, ILO (1973) dalam hal ini menggambarkan sektor informal sebagai sektor yang mencakup bidang-bidang usaha yang mudah dimasuki, menggunakan sumber daya setempat, dimiliki oleh kerabat dan berskala kecil, menggunakan tenaga kerja intensif dan teknologi yang telah diadaptasi, para pekerja di sektor ini tidak menuntut keterampilan yang berasal dari pendidikan formal dan usaha-usaha tersebut beroperasi dalam keadaan pasar yang tidak terkendali dan kompetitif.

Hidayat (1978), berdasarkan hasil penelitiannya, memberikan 11 ciri pokok sektor informal, yaitu sebgai berikut.

  • 1.    Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

  • 2.    Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.

  • 3.    Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

  • 4.    Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

  • 5.    Unit usaha mudah keluar dan masuk dari sub sektor ke sub sektor lain.

  • 6.    Teknologi yang dipergunakan bersifat primitif.

  • 7.    Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

  • 8.    Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

  • 9.    Pada umumnya unit usaha termasuk “one man enterprise”.

  • 10.    Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.

  • 11.    Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.

Metode Penelitian

Mengacu pada tujuan penelitian dan kerangka pemikiran yang sudah dijelaskan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa teknik pengumpulan data, yaitu melalui studi kepustakaan (desk review), wawancara mendalam (open-ended interview), serta pengamatan di lapangan (observasi). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005. Sesuai dengan definisi migran di atas, maka informan yang diambil adalah migran yang telah menetap di Jakarta lebih dari enam bulan dan melewati batas provinsi daerah asal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Kajian

Penelitian dilakukan di wilayah perkotaan Jakarta, salah satunya di wilayah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus, jumlah penduduk di Jakarta Selatan sebanyak 2.007.172 jiwa dengan luas wilayah (keputusan Gubernur KDKI Jakarta nomor 1815 tahun 1989) 145,73 Km2 atau 22,41% dari luas DKI Jakarta. Terlihat bahwa wilayah ini memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Kepadatan penduduk yang terjadi selain dikarenakan kelahiran (fertilisasi) dan kematian (mortalitas), juga disebabkan oleh migrasi. Migran yang datang dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya lokasi yang strategis, mudahnya mencari lahan untuk membuka usaha, ajakan dari migran yang telah menetap sebelumnya, dan lain-lain.

Kepadatan penduduk yang cukup tinggi di perkotaan Jakarta mengakibatkan penduduk yang menetap di wilayah ini memiliki keberagaman dalam hal mata pencaharian, diantaranya buruh, pedagang, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, ABRI, pegawai swasta dan lainnya. Contoh kasus di Jakarta Selatan, yaitu Mampang Prapatan, menurut data Monografi pada tahun 2007, sebagian penduduk di Mampang Prapatan mayoritas mata pencaharian pokok adalah pedagang kecil (sektor informal)

sebanyak 1461 orang yang didominasi oleh para migran yang datang mengadu nasib. Kemudian disusul karyawan swasta sebanyak 530 orang, buruh 275 orang, swasta lainnya 155 orang, pensiunan sebanyak 76 orang, pegawai negeri sipil sebanyak 69 orang, dan ABRI sebanyak 43 orang. Data tersebut diperkuat oleh pernyataan Wakil Kepala Kelurahan Mampang Prapatan saat ini, yaitu Zaenuddin, S.sos yang mengatakan bahwa penduduk yang bermigrasi ke Mampang Prapatan lebih tinggi dibandingkan penduduk yang lahir. Hal tersebut menunjukkan bahwa Mampang Prapatan merupakan salah satu kawasan yang banyak dihuni migran. Perilaku Masyarakat yang terbuka menerima orang baru/pendatang kemungkinan besar menjadi salah satu penyebabnya. Migran dengan mudah mendapatkan tempat tinggal di wilayah ini karena tersedia rumah-rumah penduduk asli yang disewakan. Selain itu, migran yang datang setelah merasa dirinya sukses, hampir sebagian besar mengajak sanak saudara maupun tetangga untuk ikut bermigrasi. Dengan kata lain, migran yang telah lebih dulu datang memiliki peranan penting dalam mendatangkan migran-migran baru.

Faktor Terjadinya Migrasi Ke Kota

Berbagai faktor yang menyebabkan penduduk desa mengambil keputusan untuk bermigrasi ke kota. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya migran di kota, yaitu faktor pendorong dari desa dan faktor penarik dari kota (push-pull theory) (Todaro, 1983). Faktor pendorong yang berasal dari desa diantaranya adalah faktor fisik, seperti cuaca, kondisi tanah, bencana alam, faktor sosial berupa kemiskinan, faktor demografis diantaranya pengurangan tingkat kematian dan tingginya tingkat pertumbuhan populasi di daerah perdesaan. Faktor kultural berupa tradisi merantau, dan yang paling utama adalah faktor ekonomi, yaitu keinginan untuk mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Sedangkan faktor penarik yang berasal dari kota diantaranya adalah kota sebagai pusat ekonomi (pusat perdagangan, jasa, kesempatan kerja, dan lain-lain), kota sebagai pusat hiburan, kota sebagai pusat informasi atau komunikasi, dan daya tarik kota yang memiliki fasilitas yang lengkap dibandingkan dengan di desa, baik fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Selain itu, sarana transportasi yang semakin maju

mengakibatkan aksesbilitas penduduk desa untuk bermigrasi ke kota lebih terbuka lebar.

Saat ini, kemiskinan di perdesaan tidak lagi menjadi satu-satunya faktor pendorong migrasi dari desa ke kota. Kota pun secara tidak langsung menyebabkan kondisi desa yang terbelakang karena terhisapnya hasil-hasil perdesaan yang dimanfaatkan untuk pembangunan di perkotaan. Dengan kata lain, kota juga menjadi faktor pendorong terjadinya ’over urbanization’. Berkembangnya kota dengan segala kemudahan yang tersedia bagi hidup, telah mendorong orang-orang desa untuk bergerak ke kota. Penduduk desa kini lebih proaktif dalam mencari kesejahteraan di kota. Di sisi lain, cukup merugikan pula bagi kondisi desa yang ditinggalkan karena beberapa penduduk desa yang hijrah ke kota adalah kaum muda, hal tersebut mengakibatkan desa hanya diisi oleh orang-orang tua. Pembangunan desa pun menjadi terhambat karena generasi muda desa lebih memilih untuk mencari kesejahteraan di kota.

Berdasarkan hasil penelitian, faktor ekonomi menjadi faktor utama yang mendasari keputusan untuk melakukan migrasi. Hampir seluruh migran yang dipilih sebagai informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa faktor ekonomilah yang menyebabkan mereka nekat bermigrasi ke kota. Migran yang datang sebagian besar bertujuan mencari pekerjaan demi mendapat penghasilan yang lebih baik dibandingkan bekerja di desa. Seperti yang dikemukakan oleh migran yang bernama Suyatno, berikut ini :

”Wong saya ke kota tuh mau cari makan mbak, kerja apa aja yang saya bisa, kalo saya terus di desa mau makan apa, lah wong kerjaan yang ada cuma jadi buruh tani yang upahnya cuma jagung dan tembakau”.

Selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Todaro (1983), bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya migrasi dari desa ke kota. Mengingat kondisi kehidupan yang demikian buruk bagi kebanyakan penduduk desa, migrasi tersebut lebih menggarisbawahi kondisi kehidupan yang teramat parah di daerah perdesaan daripada pertumbuhan ekonomi di kota. Dalam hal ini, kita menghadapi suatu masalah yang disebabkan oleh migrasi dari desa ke kota yang tak terkendalikan. Suatu kelemahan yang mencolok dalam sistem ekonomi yang terlalu mengutamakan

sektor modern di kota. Akibatnya tidak dapat dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, baik untuk penduduk kota maupun penduduk desa. Selama kondisi desa masih jauh dari kemajuan dan kesejahteraan, akan banyak penduduk desa yang melakukan migrasi ke kota.

Pertumbuhan Sektor Informal

Kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa kemampuan sektor formal sangat terbatas dalam menyerap tenaga kerja. Sedangkan tenaga kerja terus meningkat, salah satunya disebabkan oleh arus migrasi berlebih karena terbatasnya kesempatan kerja (baik di sektor formal maupun informal) di daerah asal. Dengan kondisi semacam ini, kedatangan migran di kota tidak lagi secara realistis untuk meningkatkan pendapatan di kota, tetapi yang paling utama memperoleh pekerjaan di kota. Sesuai dengan definisi yang disebutkan ILO, bahwa sektor informal tidak memerlukan keterampilan yang didapat dari pendidikan formal, maka pada akhirnya para migran yang berpendidikan rendah terpaksa memilih memasuki sektor ini agar dapat bertahan hidup di kota. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli sesungguhnya sepakat adanya keterkaitan antara migrasi dan sektor informal dikarenakan ketiga peneliti tersebut beranggapan bahwa sektor informal merupakan alternatif yang paling mudah bagi para migran untuk bekerja di kota apabila mereka tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal (Temple (1975), Manning dan Effendi (1989), serta Suharso (1977)).

Sebagian besar migran di Jakarta Selatan mengais rejeki di sektor informal. Hal tersebut selaras dengan apa yang terjadi di salah satu wilayah Jakarta Selatan, yaitu Mampang Prapatan. Berdasarkan keterangan Zaenuddin, S.sos selaku Wakil Kepala Kelurahan Mampang Prapatan, sebagian besar migran yang menetap di wilayah ini bergantung pada sektor informal. Salah satu kawasan yang terdapat usaha sektor informal adalah di sepanjang jalan Pasar Mampang bagian luar pada pagi dan malam hari yang banyak dipenuhi oleh pedagang kaki lima, asongan, pengamen, tukang ojek, dan lain-lain yang tidak memiliki ijin usaha dan sebagian besar merupakan migran dari berbagai daerah.

Seperti kisah Sulardi (50 tahun) misalnya yang telah hampir 25 tahun ini mencari nafkah dengan bergantung pada usahanya berjualan bakso keliling yang pada saat ditanyakan mengenai alasannya memilih untuk berjualan bakso, Sulardi menjawab sebagai berikut:

” saya ini cuma cuma lulusan SD mbak, jadi cari kerja kantoran itu susah, jadi saya pilih kerja jadi tukang bakso keliling saja seperti teman saya yang penting halal”.

Hampir seluruh migran di Mampang Prapatan sepakat mengatakan bahwa terdapat peningkatan pendapatan sekitar tiga sampai empat kali lipat setelah mereka memasuki usaha di sektor informal yang terdiri dari pedagang kaki lima, tukang ojek, dan pedagang keliling. Menurut para migran, mencari rejeki di sektor formal lebih sulit dibandingkan di sektor informal. Kenyataannya, usaha mereka di sektor informal tidak memerlukan pendidikan yang tinggi ataupun keahlian dan keterampilan yang dituntut dalam sektor formal. Maka dapat dikatakan bahwa sektor informallah yang paling mudah untuk dimasuki migran dengan pendidikan rendah.

Sebagian besar alasan mengapa sektor informal menjadi pilihan bagi para migran yaitu karena untuk memasuki sektor formal dituntut untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan keterampilan agar dapat bersaing dengan para pencari kerja lain, sehingga menjadi sulit bagi migran untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal yang mereka harapkan. Selaras dengan penggambaran sektor informal menurut ILO yang telah disebutkan di atas bahwa sektor ini tidak menuntut keterampilan yang berasal dari pendidikan formal. Di sisi lain, dengan usaha di sektor informal yang digeluti oleh para migran, dapat menghasilkan pendapatan jauh lebih besar dibandingkan jika mereka bekerja di sektor formal yang sesuai dengan pendidikan mereka.

Migran dalam hal ini turut mendorong tumbuhnya sektor informal. Di Mampang Prapatan, pernyataan tersebut diperkuat oleh Wakil Kepala Kelurahan, Zaenuddin, S.Sos, yang mengatakan bahwa ”sekitar 90 persen migran yang ada di wilayah Mampang Prapatan bekerja di sektor informal, sebagai pedagang kaki lima. Hanya sebagian kecil saja yang bekerja di sektor formal”.

Terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor formal mengakibatkan para migran terpaksa memilih sektor informal sebagai alternatif. Industrialisasi yang stagnan setelah krisis ekonomi melanda Indonesia kian sulit mengimbangi pertumbuhan jumlah penduduk dan angkatan kerja. Sementara sektor pertanian yang dulu menjadi basis penyerap tenaga kerja kian tidak diminati. Pada akhirnya migrasi desa-kota lah yang menjadi pilihan penduduk desa untuk mencari kesejahteraan, sehingga kota menjadi semakin padat. Di sisi lain, jumlah migran yang datang tidak diimbangi dengan perluasan kerja di sektor formal, sehingga sektor informallah yang menjadi alternatif jalan keluar karena dianggap paling relevan bagi sebagian besar migran. Selain itu, di sektor informallah mereka dapat mencari nafkah meskipun berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan khusus.

Sekilas Mengenai Kebijakan dan Program Terkait Sektor Informal

Perbincangan mengenai sektor informal sudah sering kita dengar, baik berupa tulisan maupun diskusi dan seminar. Akan tetapi, permasalahan terkait isu ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Sektor informal yang memenuhi perkotaan di satu sisi memberikan dampak positif untuk mengurangi pengangguran, akan tetapi di sisi lain merusak keindahan kota dan lebih parahnya lagi mengganggu lalu lintas (kemacetan). Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah, seperti kewajiban pengelola mal untuk memberikan sebagian kecil lahannya pada sektor informal. Akan tetapi, sektor informal terus-menerus bertambah dan pada akhirnya lahan yang ada tidak dapat menampung seluruhnya.

Rasanya tidak perlu dipersoalkan lagi bahwa sektor informal berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik, sektor informal menyumbang sekitar 74 persen terhadap kesempatan kerja pada tahun 1985, berkurang menjadi 72 persen pada tahun 1990 dan 65 persen pada 1998. Pengurangan ini sangat kecil, artinya sektor informal merupakan penampung angkatan kerja dominan. Bahkan pasca krisis ekonomi, diperkirakan penyerapan tenaga kerja di sektor ini meningkat. Akan tetapi, meski peranannya penting, pembicaraan tentang sektor informal tampak lebih menimbulkan persoalan daripada

memecahkannya. Hal ini terjadi terutama karena langkanya definisi yang tepat tentang sektor informal (Tobing, 2008).

Sampai saat ini memang belum ada kebijakan ataupun aturan yang mengatur langsung secara khusus mengenai sektor informal, akan tetapi Pemerintah sesungguhnya telah mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, bahwa sektor informal, termasuk pedagang kaki lima (PKL), harus masuk dalam rencana tata ruang wilayah. Sebelum adanya undang-undang ini, keberadaan PKL diakomodasi oleh Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2002. Dalam Perda itu, PKL memiliki tempat di pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern. Dalam Perda tersebut dijelaskan kewajiban pengelola mal untuk menyediakan 20 persen lahannya bagi PKL (Koran-Jakarta.com, 2010). Pada prinsipnya, di setiap wilayah Jakarta harus ada sentra-sentra PKL. Setiap wilayah harus mengalokasikan ruang untuk sektor informal seperti PKL ini. Sebab sektor informal selain menjadi penggerak sektor ekonomi rakyat, juga akan menambah penghasilan wilayah yang mengelolanya. Akan tetapi, yang sering terjadi adalah kurangnya kontrol dari pemerintah khususnya pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengawasi para pekerja sektor informal. Pemerintah cenderung mengambil tindakan represif terhadap para pelaku sektor informal di perkotaan. Penggusuran pedagang kaki lima sebagai salah satu jenis sektor informal di Jakarta yang sering dilakukan pemerintah provinsi tidak akan menyelesaikan masalah, yang terjadi justru sebaliknya, penggusuran secara paksa menambah masalah baru. Untuk itu, pemerintah provinsi sebaiknya memfasilitasi dengan membuat sentralisasi PKL di setiap wilayah.

Sedangkan, di Jakarta Selatan, pemerintah setempat dalam hal ini diwakili oleh aparat kelurahan sudah terlihat peduli dengan keberadaan sektor informal. Terlihat dari terbukanya kesempatan para pedagang kaki lima untuk berjualan di luar areal Pasar Mampang sebagai salah satu pasar tradisional di Jakarta Selatan, akan tetapi disertai dengan persyaratan tertentu, salah satunya waktu yang dibatasi, yaitu sebatas pada malam hari. Sedangkan di pagi hari diisi oleh pedagang kaki lima yang menjual sayuran. Keduanya memiliki batas waktu yang ditentukan dan para pedagang tersebut diwajibkan untuk menjaga kebersihan Lingkungan Pasar Mampang. Akan

tetapi, seringkali terdapat pedagang kaki lima yang nakal, seperti pedagang yang melewati batas waktu yang ditentukan dan tidak mematuhi peraturan yang ada, seperti menempati tempat untuk berjualan secara permanen dan pada akhirnya merasa wilayah berjualan yang ditempati menjadi milik mereka padahal lahan yang mereka tempati merupakan lahan untuk umum.

Di sisi lain, para pelaku sektor informal seperti pedagang kaki lima pun terkadang sering diperlakukan semena-mena oleh aparat yang berwenang. Dikarenakan mereka di pihak yang lemah karena tidak mempunyai ijin resmi, seringkali mereka dikenakan pungutan-pungutan liar dari oknum aparat yang bertugas. Selain itu, perlu adanya ketegasan di mana tempat pedagang kaki lima boleh berdagang. Selama ini, pedagang kaki lima berada di mana-mana terutama memenuhi jalur pedestrian yang seolah-olah dibebaskan padahal hal tersebut melanggar hak para pejalan kaki. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kontrol dari pemerintah daerah, sedangkan migran terus berdatangan akan tetapi lahan yang tersedia sudah semakin menipis, sehingga para migran menjadi bertindak di luar aturan dengan memakai jalur pedestrian untuk tempat berjualan.

Sekiranya, perlu pelibatan semua elemen masyarakat untuk mengatasi kedua masalah tersebut. Oleh karena itu, jika ada kelompok masyarakat yang kreatif mengembangkan usaha informal seharusnya bisa diapresiasi oleh semua pihak, terutama pemerintah karena usaha kaki lima (sektor informal), dalam hal ini usaha yang sering menjadi pilihan bagi para migran, secara tidak langsung ikut mengatasi masalah pengangguran. Namun, yang sering terjadi adalah para pedagang kaki lima di kota-kota besar, seperti di Jakarta, yang terbukti bisa bertahan terhadap berbagai situasi ekonomi justru seringkali dikejar-kejar petugas keamanan dan ketertiban.

SIMPULAN

Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya migran di kota, yaitu faktor pendorong dari desa dan faktor penarik dari kota (push-pull theory). Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong utama dari desa yang menyebabkan penduduk desa memutuskan bermigrasi ke wilayah 13

perkotaan termasuk ke Jakarta Selatan adalah faktor ekonomi. Kesempatan kerja yang terbatas di perdesaan, menyebabkan mereka mencari alternatif lapangan pekerjaan di perkotaan yang lebih menjanjikan. Meskipun begitu, faktor-faktor lain, seperti faktor fisik, faktor sosial, dan faktor kultural juga turut mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi. Sedangkan kota sebagai pusat perekonomian menjadi daya tarik bagi penduduk desa untuk bermigrasi. Kesempatan kerja yang lebih besar dan fasilitas lengkap di perkotaan adalah faktor penarik penduduk desa untuk melakukan migrasi.

Migran yang datang dari desa ke wilayah perkotaan Jakarta Selatan hampir seluruhnya berpendidikan rendah dan tidak memiliki keterampilan khusus. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya mereka memasuki lapangan pekerjaan di sektor formal. Agar dapat bertahan hidup di perkotaan pada akhirnya para migran terpaksa memilih sektor informal sebagai alternatif. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa migran yang datang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan sektor informal di wilayah perkotaan Jakarta Selatan. Terlihat dari semakin menjamurnya pekerja di sektor informal, diantaranya usaha kaki lima yang memanfaatkan lahan umum untuk berdagang.

Diperlukan peran aktif pemerintah, khususnya pemerintah daerah serta semua elemen masyarakat untuk mengatasi masalah ini, karena tidak dapat dipungkiri bahwa sektor informal berperan dalam mengurangi jumlah pengangguran di perkotaan dan merupakan penggerak sektor ekonomi rakyat, akan tetapi di sisi lain, sektor informal juga harus diatur secara baik agar tidak menimbulkan masalah baru bagi kota itu sendiri. Pemerataan pembangunan di seluruh provinsi diharapkan dapat menjadi jalan keluar untuk mengurangi jumlah penduduk yang bermigrasi ke kota, sehingga sektor informal di perkotaan yang sering menjadi alternatif pilihan bagi para migran tidak terus-menerus bertambah karena pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif bagi kota.

DAFTAR PUSTAKA

Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta.

BPS. 2005. Hasil Sensus Penduduk DKI Jakarta 2005. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

BPS. 2000. Penduduk menurut Status Migrasi Seumur Hidup, Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Chotib. 2010. Mobilitas Penduduk: Migrasi. Materi dipresentasikan pada Pengajaran Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pasca Sarjana UI. http://repository.ui.ac.id, diakses tanggal 13 Mei 2010.

Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Herlianto, M, Th. 1986. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. P.T Alumni, Bandung.

Hidayat. 1978. Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia; Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol XXIV (4).

Lee, Everet.S. 1966. A Theory of Migration. Geography,3(1).

Manning, C dan Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Papanek, G.F. 1975. “The Poor of Jakarta”. Dalam Economic Development and Cultural Change. vol.XXIV, hal 8-9.

Prijono Jiptoheriyanto. 1999. Migrasi, Urbanisasi, dan Pasar Kerja di Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta.

Redaksi Koran Jakarta. 2009. Keberadaan PKL Dijamin UU: Penataan Pedagang/ Mal Harus Beri Ruang Pedagang Informal. http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=14849 . diakses tanggal 12 Mei 2010.

Tobing, Elwin. 2008. Reorientasi Pembenahan Sektor   Informal.

www.pikiranrakyat.com diakses pada tanggal 10 Maret, 2008.

Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ghalia Indonesia, Jakarta.

15