PIRAMIDA Vol. XI No. 2 : 95 - 105

ISSN : 1907-3275

MODEL HUBUNGAN PARIWISATA, KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BADUNG, BALI

I Made Patera,1

I Wayan Suardana 2

  • 1    Alumni S3 Pariwisata Universitas Udayana

  • 2    Dosen Program Studi Industri Perjalanan Wisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Fenomena pariwisata dan kemiskinan telah ada sejak lahirnya peradaban manusia dan sejak tahun 1980-an telah menjadi perhatian serius para praktisi dan cendikiawan diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai sebuah pemahaman konsep abstrak, tetapi sebagai realitas terhadap ketidakadilan ekonomi dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia di berbagai negara kaya maupun negara miskin di dunia. Masalah kemiskinan adalah masalah yang sangat mendasar dan pariwisata adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ini. Tujuan penelitian adalah: 1) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian; 2) menganalisis pengaruh kinerja perekonomian terhadap pengentasan kemiskinan; 3) menganalisis pengaruh perkembangan pariwisata terhadap pengentasan kemiskinan; dan 4) merumuskan strategi untuk meningkatkan peran pariwisata dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Badung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung data sekunder dan pendekatan kualitatif dengan data primer didapat melalui wawancara mendalam (depth-interview) dan diskusi kelompok terfokus (focuss group discussion). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung Selatan sebagai daerah terkaya di Bali dari hasil pariwisata. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan, namun belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan.

Kata kunci : Perkembangan pariwisata, kinerja ekonomi, kemiskinan

ABSTRACT

Tourism and poverty’s phenomenon had already been known since the birth of human civilization. In the 1980s poverty became a serious concern of practitioners and scholars in various part of the world, including Indonesia. Poverty is not only understood in understanding as an abstract concept, but also as a reality of economic injustice and inability to meet basic human needs in some rich countries but also in many developing countries in the world. The problem of poverty is a fundamental and tourism is one of the many ways to solve this. The objective of this paper is to study the role of tourism to poverty alleviation including: 1) to analyze the influence of tourism development toward economic performance; 2) to analyze the effect of economic performance on poverty eradication; 3) to analyze the influence of tourism on poverty alleviation; 4) to formulate a strategy to increase tourism’s role in poverty alleviation in Badung Regency. This study uses quantitative approach supported by secondary data and qualitative approach using primary data obtained through in-depth interviews and focus group discussions. Research was conducted in South Badung Regency in the most developed tourism growth and considered the richest district among all regencies in Bali Regencies. Various attempts have been made to alleviate poverty, however have not been able to resolve poverty problems.

Keywords: Tourism development, economic performance, dan poverty

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aktivitas pariwisata internasional merupakan kegiatan ekonomi global yang dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Bryden (1973)

menyatakan bahwa pembangunan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan mutualistis untuk mengentaskan kemiskinan. Pariwisata Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan pariwisata global sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi yang melahirkan persetujuan umum tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade and Services) disingkat

GATS. Persetujuan ini membuka hambatan tarif pada perdagangan jasa di dunia dan diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2011. GATS membuka ruang bagi pariwisata untuk bertumbuh menjadi salah satu industri jasa terbesar di dunia, berperan sebagai penggerak (driving force) ekonomi global dengan regulasi perdagangan dan jasa yang menguntungkan industri pariwisata negara maju.

Sejalan dengan temuan Bryden (1973), Gibson (2009: 527-528) dan Leon (2006: 341) menyatakan bahwa pariwisata bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian spektakuler kunjungan wisatawan internasional sebanyak 1,087 miliar pada tahun 2013, meningkat lima persen atau sebanyak 52 juta wisatawan dari tahun 2012 (1,075 miliar). Dari angka tersebut, 258 juta wisatawan berkunjung ke Asia Pasifik, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya. Eropa sebagai penerima kunjungan tertinggi sebanyak 563 juta wisatawan, meningkat sebesar lima persen (534 juta) dari tahun sebelumnya. Amerika menerima 167 juta wisatawan dengan kenaikan sebesar 3.6 persen. Lebih jauh Ashley, et al (2001: 2) selaras dengan temuan Hall (2008:1921) menyatakan bahwa untuk setiap pengembangan pariwisata diperlukan peran negara sebagai perumus pembangunan dan pengendali kebijakan publik. Hal ini dimaksudkan agar peran kebijakan publik sebagai kontrol untuk mencegah dampak negatif perkembangan pariwisata dan mampu berkontribusi positif terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Badung dengan penerimaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2014 mencapai Rp 23,556 (triliun), berdampak besar pada penerimaan kabupaten dari PHR, sehingga berpotensi besar pada program pengentasan kemiskinan. Akan tetapi pendapatan kabupaten yang besar ini, ternyata di kabupaten Badung masih ada penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung (BPS Badung) tahun 2014, terdapat rata-rata 14.670 orang per tahun dari tahun 2009-2013 penduduk miskin dan rata-rata garis kemiskinan sebesar Rp.344.824. Sebaran penduduk miskin di Kabupaten Badung sangat menarik, karena ada dua wilayah yang sangat kontradiktif, yaitu Kabupaten Badung Utara dengan pengembangan agraris yang dominan masyarakat miskin masih banyak, dan Badung Selatan yang di dominasi oleh pengembangan pariwisata skala besar seperti hotel dan fasilitas pariwisata lainnya. Kedua wilayah ini menjadi menarik untuk dikaji karena memiliki karakteristik pengembangan pariwisata yang berbeda, dan mengalami perkembangan ekonomi yang berbeda, serta garis kemiskinan masyarakat yang bervariasi. Tujuan penenlitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pariwisata terhadap kinerja perekonomian dan kemiskinan di Kabupaten Badung.

KAJIAN PUSTAKA

World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pariwisata sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk tinggal diluar tempat tinggalnya sendiri untuk sementara waktu, tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk tujuan wisata atau tujuan lainnya yang tidak bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan atau gaji ditempat yang dikunjungi. Pariwisata terbangun dari hubungan antara wisatawan dengan perusahaan yang menyediakan layanan wisata, didukung oleh pemerintah dan badan usaha yang bergerak dibidang pariwisata untuk menyiapkan sarana yang dibutuhkan oleh wisatawan (Theobald, 2005: 17). Menurut Jamieson et al (2004: 2) dan Reisinger (2009: 8), kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan yang melibatkan pemerintah, perusahaan yang digerakkan oleh swasta, badan-badan lainnya yang terkait dengan pariwisata dan masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan dan mengatur kebutuhan wisatawan seperti menyiapkan penginapan, kegiatan perjalanan pelayanan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan wisatawan.

Pike (2008: 23) menyatakan munculnya kegiatan pariwisata dengan minat khusus yang sekarang semakin populer, seperti: (1) kegiatan wisata yang dibarengi dengan melakukan kegiatan bisnis, (2) wisata pendidikan dan penelitian lapangan dilakukan oleh siswa, mahasiswa dan akademisi untuk tujuan penelitian,(3) kelompok wisatawan melakukan perjalanan wisata sambil berjudi ketempat kasino, (4) mereka yang melakukan berwisata sambil melakukan kegiatan wisata alam, (5) berwisata sambil melakukan ziarah dan kegiatan spiritual, (6) berwisata sambil mengunjungi sahabat dan keluarga. Ashley et al (2001) menyatakan bahwa pariwisata berperan terhadap terbukannya kesempatan kerja baru, bertumbuhnya perekonomian mikro. Pertumbuhan ekonomi mikro berdampak langsung terhadap peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat dan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin. Dampak pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian didukung oleh konsep community based tourism (Tasci, et al, 2013: 10-11); Joppe (1996: 475) dan Armstrong (2012: 2). Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa dampak pengembangan pariwisata di dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan pelestarian lingkungan dan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat.

Pariwisata dalam perannya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dunia, berkepentingan terhadap pelestarian sosial budaya, dukungan terhadap tradisi lokal dan meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia termasuk di negara-negara miskin (least developed countries), termasuk meningkatkan kesediaan pangan (Wall dan Mathieson, 2006: 77-78). Meningkatnya peran pariwisata semakin memberi banyak manfaat

yang dinikmati oleh negara-negara berkembang (developing countries), seperti penerimaan devisa, terjadinya multiplier effect yaitu berkembangnya mata rantai pendapatan dari satu sektor unit usaha ke unit usaha lainnya dan dampaknya terhadap pendapatan pajak bagi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (Richardson, 2010: 1).

Athanasopoulou (2013:7-16) menyatakan bahwa mata rantai pariwisata berupa kegiatan perdagangan antara negara, peningkatan kinerja perekonomian, export import, perdagangan, penyediaan tenaga kerja dan pertumbuhan investasi serta timbulnya beragam kontribusi terkait pelayanan pariwisata. Krongkaew et al (2006), yang meneliti tentang hubungan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa dipastikan memberi dampak meningkatnya pendapatan, yang menyebabkan berkurangnya kemiskinan. Sementara Fields (2007) mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan okonomi sangat terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk mereka yang berada dalam keadaan yang paling miskin

Bappenas (2010: 8-10) membagi konsep kemiskinan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan relatif (relative poverty) yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar akibat dari pengaruh kebijakan pembangunan yang berdampak terhadap ketimpangan pendapatan masyarakat, dan kemiskinan absolut (absolut poverty) yaitu kemiskinan akibat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti kebutuhan sandang pangan, kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan air bersih. Sedangkan konsep kemiskinan kultural menurut Elesh (1970: 4), terjadi akibat dari jebakan perilaku internal perorangan atau sekelompok masyarakat yang mengakibatkan mereka tidak mampu melakukan mobilitas secara sosial dan kemiskinan struktural terjadi akibat dari pengaruh faktor-faktor external berupa aturan yang tidak berpihak kepada orang miskin seperti terbatasnya kesempatan kerja dan ketidakmampuan mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.

Konsep kemiskinan dapat dilihat dari ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs approach) dan dari aspek kemampuan ekonomis dan kesejahteraan yang rendah, serta keterbatasan partisipasi politik dan sosial budaya mereka sehari-hari (Laderchi et al 2006). Menurut Bank Dunia standar kemiskinan yang dimasukkan dalam rancangan Millenium Development Goals (MDG) yaitu mereka yangpada tahun 1999 hanya mampu menghasilkan US$ 1.00/hari dan setelah direvisi tahun 2005 menjadi US$ 1.25/hari (Edward, 2006; World Bank, 2008; Nehen 2012: 193). BPS Bali(2012: 493) menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi dari ketidakmampuan seseorang atau sekelompok masyarakat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup layak akibat

dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya akses ke sektor ekonomi dan faktor-faktor lainnya

Pro-poor tourism (PPT) bukanlah sebuah bagian atau produk khusus dari pariwisata, tetapi sebuah upaya pendekatan untuk membuka berbagai kesempatan yang sebelumnya tertutup dan tidak mampu diakses oleh masyarakat setempat. Pengenalan pro poor tourism sebagai sebuah wacana internasional telah dimulai sejak tahun 1999, diprakarsai oleh berbagai institusi multilateral dan oleh lembaga-lembaga non pemerintah (non-governmental organizations) di banyak negara di dunia. Mereka berpandangan bahwa pariwisata mampu memberi kontribusi positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berperan di dalam mengentaskan kemiskinan (Scheynes dan Momsen, 2008). Menurut Ashley, et al (2001: 4-5), pro poor tourism memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat seperti: tersedianya pekerjaan formal bagi masyarakat dibidang pariwisata, pendapatan dari pengadaan barang dan jasa atau pekerjaan sampingan, keuntungan yang didapat dari kegiatan ekonomi dan pendapatan kolektif dari kegiatan yang dilakukan masyarakat miskin.

Kehadiran pemerintah dalam pengembangan pariwisata melalui regulasi penanam modal akan meningkatkan masuknya investasi pembangunan dibidang pariwisata dan memberi manfaat kepada masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Perlunya peraturan pemerintah tentang pelestarian lingkungan untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang terbatas, melalui pendidikan dan pelatihan. Program pro-poor tourism menekankan pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk memberikan keuntungan kepada masyarakat miskin (Ashley et al 2001: 2; Hall, 2007: 37). Selanjutnya Harrison (2008), menyatakan bahwa pro poor tourism sebagai sebuah metode dengan strategi khusus, berperan untuk meningkatkan kegiatan pariwisata dan mampu memberikan keuntungan ekonomis kepada orang miskin. Dengan kerjasama dan komitmen dari para pemangku kepentingan pariwisata, orang miskin akan menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh pariwisata.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan utama kuantitatif didukung oleh pendekatan kualitatif. metode gabungan antara metode kuantitatif dengan metode kualitatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Creswell, 2010: 22) dan Jonker et al (2011: 88) menyatakan bahwa dengan semakin kompleksnya masalah penelitian, memakai pendekatan campuran antara kuantitatif dan kualitatif dalam satu penelitian akan saling memperkuat satu sama lainnya, dari pada menggunakan hanya satu metode penelitian secara terpisah.

Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pengambilan data sekunder dari sumber data yang tersedia di Kantor Statistik, Kantor Satuan Kerja Peringkat Daerah Badung dan beberapa tulisan terkait dengan penelitian yang tersedia di instansi lainnya. Data yang tersedia diolah dengan analisis statistik inferensial menggunakan Partial Least Partial (PLS). Hasil pengujian hipotesis dipakai mengkonfirmasi hasil penelitian dan teori-teori yang dirujuk.

Pendekatan kualitatif juga digunakan dalam penelitian ini karena sebagian dari permasalahan yang diteliti dilakukan melalui penelusuran (ekplorasi) melalui wawancara mendalam (in-depth interview). Selain melalui wawancara mendalam, pengumpulan data juga ditempuh dengan cara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) untuk mengeksplorasi masalah yang spesifik, berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Pariwisata Kabupaten Badung

Sejalan dengan tantangan dan dinamika Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten Badung melakukan kajian dan tindakan inovatif dalam menggerakkan perekonomian untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan aset potensial secara profesional berdampak positif bagi perekonomian daerah. Dinas Pariwisata Badung (2014: 5) menyatakan bahwa dari keseluruhan pendapatan asli daerah Badung, sejumlah sembilan puluh persen merupakan kontribusi dari hasil pariwisata dan tujuh puluh persen dari padanya berasal dari PHR. Pesatnya pertumbuhan pariwista di daerah Kuta dan Jimbaran dengan berdirinya hotelhotel berbintang, restoran berkualitas internasional dan didukung oleh sarana penunjang lainnya seperti tersedianya sarana-sarana yang menyiapkan keperluan wisatawan berkontribusi terhadap peningkatnya PDRB Badung. Untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata pemerintah menaruh perhatian khusus dan visi dan misi pengembangan pariwisata yang selektif dan bervariatif.

Pengembangan pariwisata menurut pandangan Fridgen (1996: 219-221) mendatangkan dampak positif dan dampak negatif, harus diantisipasi oleh Pemerintah Kabupaten Badung untuk menjaga keseimbangan antara besarnya dampak positif (benefits) yang didapat, dibandingkan dengan kerugian (cost/lost) yang diterima oleh pemerintah dan yang dinikmati oleh masyarakat Kabupaten Badung. Sedangkan dampak negatif dari pengembangan pariwisata di Kabupaten Badung dapat dilihat dari: (1) hilangnya tanah persawahan akibat pemanfaatan yang berlebihan untuk kebutuhan pariwisata dan dampak negatif lainnya yang berujung pada rusaknya lingkungan (damage to the environment), (2)

meningkatnya penduduk urban dan tersedianya sarana transportasi pribadi berdampak terhadap kemacematan lalu lintas (increse in number of people and vehicle, resuslting in congestion), dan (3) bertumbuhnya investasi dalam sekala besar berdampak terhadap semakin meningkatnya biaya hidup bagi orang miskin.

Pengembangan pariwisata di Badung Selatan khususnya pengelolaan daya tarik wisata Uluwatu, dilakukan melalui proses panjang dengan tahapan yang memakan waktu lama dengan melibatkan masyarakat didampingi oleh pimpinan non-formal setempat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fridgen (1996: 219-221) yang menyatakan bahwa pengembangan pariwisata memerlukan waktu panjang dengan melibatkan masyarakat dari perencanaan menuju kepada perkembangan pembangunan fisik sampai pemberian layanan yang diberikan kepada wisatawan. Selama proses pengembangan obyek wisata, masyarakat diberikan pemahaman agar tujuan wisata Uluwatu mampu berperan positif di dalam pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal. Dinamisnya perkembangan obyek wisata Uluwatu, menuntut pengelolaan obyek wisata yang profesional dan mandiri. Obyek wisata Uluwatu yang awalnya dikelola oleh Desa Adat, sejak bulan Juni 2014 dikelola oleh manajeman yang berdiri sendiri.

Untuk mencapai tingkat perkembangan yang direncanakan untuk tahun 2000-2013 dari indikator-indikator perkembangan pariwisata yang tersedia, Pemerintah Kabupaten Badung menggunakan empat indikator yang diukur untuk memperkuat landasan misi pemerintah untuk mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap peningkatan kinerja perekonomian. Indikator-indukator yang dimaksud adalah: (1) jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang datang ke Kabupaten Badung, (2) jumlah penerimaan pajak hotel dan restoran khususnya yang bersumber dari Badung Selatan sebagai kontributor PHR terbesar untuk Kabupaten Badung, (3) peningkatan lama tinggal wisatawan, dan (4) pengeluaran wisatawan selama mereka tinggal (Tabel 1).

Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung

Kinerja perekonomian Kabupaten Badung terlihat dari meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara signifikan selama tahun 2010-2013 yaitu: Rp. 14.926.782,41 juta. Pada tahun 2010, Rp. 16.403.381,18 juta pada tahun 2011, Rp. 18.996.102,98 juta pada tahun 2012 dan Rp.20.988.078,20 juta pada tahun 2013 (BPS Badung, 2014). Sedangkan BPS Badung (2015) mencatat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung yaitu: Rp. 979.194,61 juta pada tahun 2010, Rp. 1.406.298,09 juta pada tahun 2011, Rp. 1.872.346,181 juta pada tahun 2012, sebesar Rp. 2.279.113,50 juta pada tahun 2013 dan Rp. 2.722.625,56 juta tahun 2014.

Secara umum PDRB Kabupaten Badung menunjukkan

Tabel 1. Perkembangan Beberapa Indikator Pariwisata di Kabupaten Badung

Tahun

Jumlah Kunjungan Wisatawan (orang)

Kontribusi PHR (Dalam Jutaan Rupiah)

Lama Tinggal Wisatawan / Hari

Pengeluaran Wisatawan / Hari

2000

466,111

1,551,722.82

5,90

819,213

2001

1,128,940

1,760,542.27

4,44

822,990

2002

382,443

1,982,526.74

5,28

826,768

2003

249,845

2,183,219.66

4,00

830,545

2004

223,548

2,420,490.15

4,20

834,323

2005

383,613

2,815,368.11

4,08

838,100

2006

497,899

3,024,626.55

3,97

841,878

2007

473,774

3,427,697.13

3,74

845,655

2008

734,861

3,973,530.83

3,85

792,500

2009

812,489

4,898,698.14

3,93

913,060

2010

774,753

5,467,109.15

3,75

839,460

2011

682,382

5,998,644.44

3,60

891,483

2012

1,092,413

6,508,632.44

3,60

926,890

2013

1,192,129

7,260,307.93

3,55

801,195

Sumber

: BPS Kabupaten Badung, BAPPEDA Bali Data Diolah 2014.

peningkatan selama periode 2000—2013 (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, pencapaian PDRB terlihat yang sangat siginifikan terjadi pada tahun 2008 dengan pencapaian mendekati Rp. 10,5 triliun, terus meningkat hampir mencapai Rp. 21 triliun pada tahun 2013. Hal yang sama terjadi pada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan besarnya investasi. Meningkatnya rata-rata penerimaan PDRB, penyerapan tenaga kerja dan besarnya investasi, menunjukkan dampak positif dari kinerja perekonomian di Kabupaten. Hal ini diakibatkan oleh semakin berkembangnya laju pertumbuhan pariwisata di Kabupaten Badung.

Tabel 2. Kinerja Perekonomian Kabupaten Badung

Tahun

PDRB (Jutaan Rupiah)

Penyerapan Tenaga Kerja(orang)

Investasi

(Ribuan Rupiah)

2000

3.433.683,38

101.626

148.750.200

2001

4.086.884,27

118.433

152.801.324

2002

4.818.028,87

135.239

154.931,201

2003

5.247.929,98

152.046

1.101.407.059

2004

5.891.231,65

168.853

2.360.745.445

2005

7.004.648,18

185.659

4.140.660.000

2006

7.701.192,62

202.466

1.652.957.796

2007

8.799.215,12

219.273

5.305.717.700

2008

10.478.390,93

227.091

6.043.268,777

2009

12.875.498,13

231.628

2.362.541.294

2010

14.926.782,41

310.147

1.890.474.000

2011

16.403.318,18

305.897

8.536.644.646

2012

18.996.102,98

313.338

5.334.590.363

2013

20.998.078,20

330.897

6.048.968.601

Sumber : BPS Kabupaten Badung, Bappeda Provinsi Bali 2014

Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Badung

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan di Kabupaten Badung. Fenomena kemiskinan yang kompleks dipengaruhi oleh

berbagai faktor yang saling berkaitan seperti tingkat pendapatan yang rendah, penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan kondisi lingkungan yang buruk.Upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program yang dilakukan pemerintah daerah seperti pemberian Dana Pendamping (BOS) bagi siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang diberlakukan bagi sekolah negeri dan swasta. Pemerintah Kabupaten Badung menerapkan juga pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun dan memberikan bantuan beasiswa yang ditujukan kepada masyarakat miskin atau kepada masyarakat yang secara ekonomis kurang mampu untuk membiayai mahalnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Pemberian Beasiswa sudah diberlakukan sejak diterapkan anggaran pemerintah daerah pada tahun 2010.

Selanjutnya terhadap upaya penanggulangan kemiskinan (Bappeda Badung, 2014), Pemerintah Kabupaten Badung telah melaksanakan Peraturan Presiden nomor 15/2010 yaitu Tiplogi Perlindungan Sosial bagi masyarakat miskin tentang pencepatan penanggulangan kemiskinan dengan seperti dalam Klaster I yaitu Program berbasis perlindungan sosial dan keluarga, Klaster II yaitu Program berbasis pemberdayaan masyararakat, Klaster III yaitu Program berbasis usaha mikro kecil dan menengah dan Klaster IV Program lain pro rakyat. Kondisi kemiskinan di Kabupaten Badung selama periode 2000-2013 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kemiskinan Di Kabupaten Badung, 2000 – 2013

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (000 jiwa)

Garis Kemiskinan (Rp/Kap/ bln)

Persentase Penduduk Miskin

Indeks Kedalaman Kemiskinan

Indeks Keparahan Kemiskinan

2000

21,66

47.621

5,96

1,05

0,25

2001

21,08

74.607

5,70

0,99

0,23

2002

16,90

101.593

4,68

0,93

0,22

2003

21,40

128.579

5,31

0,86

0,20

2004

20,50

155.564

5,00

0,80

0,19

2005

22,00

208.271

5,25

0,81

0,19

2006

18,20

217.507

4,57

0,52

0,10

2007

17,40

221.695

4,28

0,46

0,07

2008

13,70

234.959

3,28

1,01

0,34

2009

14,00

282.559

3,28

0,35

0,06

2010

17,70

312.602

3,23

0,39

0,06

2011

14,60

346.460

2,62

0,27

0,05

2012

12,51

383.985

2,16

0,33

0,08

2013

14,55

406.408

2,46

0,27

0,06

Total

246,20

3.122.410

57,78

8,71

2,1

Rata-Rata

18,94

240.185

4,44

0,67

0,16

Sumber : BPS Kabupaten Badung, Data diolah 2014

Persentase penduduk miskin di Kabupaten Badung antara tahun 2000-2013 menunjukkan penurunan sangat signifikan dari tahun ke tahun. Penurunan persentase penduduk miskin dari tahun 2000 sampai tahun 2013 menunjukkan keberhasilan pemerintah pengentasan

kemiskinan di Kabupaten Badung. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyudi (2007) dan Gibson (2007) yang menyatakan bahwa pesatnya pengembangan pariwisata bisa menjadi salah satu jawaban terhadap terciptanya peluang kerja di sektor pariwisata yang berkorelasi langsung dengan pemerataan pendapatan masyarakat.

Garis kemiskinan (GK) juga disebut sebagai batas kemiskinan yaitu pendapatan minimum yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup di suatu daerah atau negara tertentu. Untuk Kabupaten Badung garis kemiskinan dihitung sama dengan 2100 kilo kalori untuk makanan ditambah 54 komoditi non makanan, atau disetarakan dalam bentuk rupiah sebesar Rp.406.408/ kapita/hari (BPS Badung, 2014). Peningkatan rata-rata GK pada tahun 2002-2004 menjadi sebesar Rp.128.580/ tahun dan meningkatnya GK sebesar 44,65 persen pada tahun 2005-2009 menjadi rata-rata Rp.232.300/tahun menunjukkan telah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara pencapaian GK rata-rata Rp. 362.360/tahun untuk tahun 2010-2012. Dengan terus meningkatnya angka rata-rata garis kemiskinan dari tahun ketahun, menunjukkan semakin meningkatnya sejahteranya masyarakat dan semakin berkurangnya tingkat kemiskinan di Kabupaten Badung.

Indeks kedalaman kemiskinan yaitu seberapa jauh rata-rata pengeluaran orang miskin terhadap garis kemiskinan. Pada tahun 2000 indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Badung sebesar 1,05 persen atau selisih dalam persen terhadap kemiskinan, artinya bahwa selisih jarak antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan sebesar 1,05 persen atau 1,05 persen dibawah Rp. 406.408. Rata-rata kedalaman kemiskinan dari tahun ke tahun sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Badung masih berada dalam kisaran dibawah 0,65 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran orang miskin masih berada 0,65 persen dari angka garis kemiskinan di Kabupaten Badung. Data indeks kedalaman kemiskinan terendah terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013 masing-masing sebesar 0,33 (Rp.383.985). Hal ini menunjukkan pencapaian terbaik dari kemampuan ekonomis masyarakat Badung mendekati garis kemiskinan di Kabupaten Badung yaitu sebesar Rp. 406.408.

Indeks keparahan kemiskinan, juga disebut sebagai tingkat variasi atau varian diantara orang miskin yaitu: dengan semakin besarnya indeks keparahan kemiskinan berarti jumlah orang miskin menjadi semakin heterogen. Sebaliknya dengan semakin kecil indeks keparahan kemiskinan, jumlah orang miskin menjadi semakin homogin. Hubungan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Kabupaten Badung dapat dibedakan menjadi dua yaitu 1) Persentase penduduk miskin dapat saja menurun, tetapi indeks keparahan kemiskinan bisa naik bisa turun. Artinya, bahwa pada kondisi seperti ini, jumlah orang miskin secara

absolut akan menurun, tetapi jumlah penduduk miskin menjadi semakin bertambah miskin. 2) Persentase penduduk miskinnya meningkat, dan indeks kedalaman kemiskinannya menurun. Artinya bahwa prosentase kemiskinan bisa saja meningkat tetapi kedalaman kemiskinan akan menjadi semakin rendah.

Hasil Pengujian Partial Least Square (PLS)

Sesuai dengan persyaratan yang digunakan dalam pemodelan SEM dengan menggunakan Partial Lesat Square (PLS) dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Hidayat dan Widjanarko, 2012)

Hasil pengujian outer model atau measurement model

Hasil analisis model tentang pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil analisis outer model penelitian

Terdapat tiga kriteria di dalam penggunaan teknik analisis data dengan Smart PLS untuk menilai outer model yaitu convergent validity, discriminant validity, serta average variance extracted (AVE) dan composite reliability (Ghozali, 2008). Outer model dinilai dengan cara melihat convergent validity seperti terlihat pada Tabel 4. Penelitian ini menggunakan batas minimal loading factor sebesar 0,5.

Tabel 4. Outer Loadings

Kemiskinan


Perkem–

Kinerja Per-

bangan Pari-ekonomian

wisata

x1.1 (Jumlah kunjungan wisatawan)

x1.2 (Kontribusi PHR)

x1.3 (Lama tinggal wisatawan)

x1.4 (Pengeluaran wisatawan)

x2.1 (Pertumbuhan PDRB)

x2.2 (Penyerapan tenaga kerja)

x2.3 (Investasi)

y1.1 (Jumlah penduduk miskin)0,992

y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan)0,956

y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan)0,929

0,970

0,979

0,849


0,739 0,948

-0,817 0,428


Hasil pengolahan seperti terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai outer model telah memenuhi

kriteria convergent validity, dimana semua indikator memiliki loading factor di atas 0,50 kecuali indikator lama tinggal wisatawan (X1.3) dan indikator pengeluaran wisatawan (X1.4), memiliki loading factor di bawah 0,5. Hal ini menyebabkan kedua indikator tersebut dikeluarkan dari model. Alasan lain yang menyebabkan kedua indikator dimaksud negatif adalah terjadinya kondisi pariwisata tidak normal, yaitu ketika jumlah kunjungan wisatawan meningkat justru hotel-hotel dihuni oleh rombongan-rombongan besar dengan nilai beli rendah. Mereka hanya menginap tanpa makan dan minum di hotel dan membelanjakan uang mereka yang terbatas di tempat umum. Revisi hasil analisis outer model diperlihatkan pada Tabel 5. Hasil revisi analisis outer model seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Akhir analisis outer model

Tabel 5. Outer Loadings (Model Revisi)

Kemiskinan

Kinerja Perekonomian

Perkembangan Pariwisata

x1.1 (Jumlah kunjungan wisatawan)

0,856

x1.2 (Kontribusi PHR)

0,954

x2.1 (Pertumbuhan PDRB)

0,971

x2.2 (Penyerapan tenaga kerja)

0,979

x2.3 (Investasi)

0,846

y1.1 (Jumlah penduduk miskin)

0,992

y1.2 (Indeks Kedalaman Kemiskinan)

0,957

y1.3 (Indeks Keparahan Kemiskinan)

0,928

Sumber: analisis 2014

Hasil pengolahan data sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai outer model memenuhi kriteria convergent validity dimana semua indikator memiliki loading factor di atas 0,50 artinya konstruk mempunyai convergent validity yang baik.

Hasil pengujian discriminant validity

Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator (faktor) dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainya, maka hal ini menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya.

Tabel 6. Cross Loadings

Kemiskinan

Kinerja Perekonomian

Perkembangan Pariwisata

x1.1

-0,542

0,560

0,856

x1.2

-0,949

0,939

0,954

x2.1

-0,951

0,971

0,942

x2.2

-0,953

0,979

0,869

x2.3

-0,702

0,846

0,569

y1.1

0,992

-0,932

-0,854

y1.2

0,957

-0,946

-0,886

y1.3

0,928

-0,829

-0,759

Sumber: analisis 2014

Data pada Tabel 6 diperoleh bahwa nilai cross loadings menunjukkan adanya discriminant validity yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai korelasi indikator terhadap konstruknya (loading factor) lebih tinggi dibandingkan nilai korelasi indikator tersebut dengan konstruk lainnya.

Hasil pengujian Reliability

Menurut Ghozali (2008: 40) bahwa reliabilitas suatu konstruk dapat dinilai dari composite reliability yang berfungsi untuk mengukur internal consistency yang nilainya harus diatas 0,60.

Tabel 7. Composite Reliability

No

Konstruk

Composite Reliability

1

Kemiskinan

0,972

2

Kinerja Perekonomian

0,953

3

Perkembangan Pariwisata

0,902

Sumber: analisis 2014

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai composite reliability dari semua konstruk adalah diatas 0,60 maka konstruk sudah memenuhi kriteria reliabel.

Pengujian model struktural (inner model)

Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada substantive theory. Dalam menilai model dengan PLS, dimulai dengan melihat R-squares untuk setiap variabel laten dependen. Hasil pengujian inner model dapat melihat hubungan antar konstruk dengan cara membandingkan nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian (Ghozali, 2008: 42). Diagram struktural hasil uji inner model diperlihatkan pada Gambar 3. Nilai R-Square diperoleh pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai R-Squares

No

Konstruk

R Square

1

Kemiskinan

0,899

2

Kinerja Perekonomian

0,758

3

Perkembangan Pariwisata

0,000

Sumber: analisis 2014

Nilai R-square variabel Kemiskinan sebesar 0,899 dapat diintepretasikan bahwa 89,9% variabilitas Kemiskinan dijelaskan oleh Perkembangan Pariwisata

dan Kinerja Perekonomian, sedangkan 10,1% konstruk Kemiskinan dijelaskan oleh variabel di luar model. Demikian juga dengan variabel Kinerja perekonomian, memiliki R square 0, 758 yang artinya 75,8% variabilitas kinerja pereknomian disebabkan oleh perkembangan pariwisata dan 24,2% disebabkan oleh variabel di luar model.

Gambar 3. Diagram Struktural Hasil Uji Inner Model

Model struktural tersebut dinamai model reflektif dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk unidimensional yang digambarkan dengan bentuk elips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator. Dalam model tersebut terdapat satu variabel eksogen yaitu variabel perkembangan pariwisata dan dua variabel endogen yaitu kinerja perekonomian dan kemiskinan.

Pengaruh Perkembangan Pariwisata, Kinerja Perekonomian, dan Kemiskinan

Pengujian hipotesis tentang koefisien jalur atau pengaruh variabel perkembangan pariwisata (PP) terhadap kinerja perekonomian (KP), pengaruh kinerja perekonomian (KP) terhadap Kemiskinan (KM) dan pengaruh perkembangan parisiwata (PP) terhadap kemiskinan (KM) seperti disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 9.

Gambar 4. Diagram Jalur Hasil Uji Hipotesis

Tabel 9. Pengaruh Perkembangan Pariwisata dan Kinerja Perekonomian terhadap Kemiskinan

Original Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Standard

T Statistics (|O/ STERR|)

Deviation (STDEV)

Error (STERR)

Perekonomian ->

Kemiskinan

-0.762

-0.754

0.049

0.049

15.462

Pariwisata -> Kemiskinan

-0.207

-0.217

0.051

0.051

4.099

Pariwisata ->

Perekonomian

0.871

0.875

0.012

0.012

71.567

Pengujian terhadap hipotesis dalam metode PLS dilakukan dengan menggunakan simulasi terhadap setiap hubungan yang dihipotesiskan. Dalam hal ini dilakukan metode bootstraping terhadap sampel. Metode bootstraping juga berfungsi untuk meminimalkan masalah ketidaknormalan data penelitian yang digunakan. Pada penelitian ini telah ditentukan sebelumnya nilai T-tabel dengan signifikansi 5%, dk=11, adalah sebesar 2,201. Semua koefisien jalur memiliki nilai t statistik di atas 2,201 sehingga dinyatakan memiliki pengaruh yang signifikan. Pengujian masing-masing hipotesis dibahas berikut ini.

  • 1.    Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian

Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kinerja perekonomian menunjukkan nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dengan nilai t-statistik sebesar 71,567. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201. Ini menunjukkan bahwa variabel perkembangan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya bahwa semakin baik perkembangan pariwisata maka kinerja perekonomian juga akan meningkat. Hal ini berarti hipotesis pertama diterima. Temuan ini selaras dengan Theobald (2005:79) yang menyatakan bahwa pariwisata berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian terutama sebagai sumber penerimaan devisa, meningkatkan investasi, perpajakan serta kesempatan kerja. Temuan ini juga mendukung penelitian Gibson (2009); Leon (2006); Asley et al (2001) bahwa pariwisata berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian makro maupun mikro. Peningkatan kinerja perekonomian suatu daerah dapat diakibatkan oleh peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, penyerapan tenaga kerja dan masuknya investasi baru yang tidak dapat terpisahkan dari pariwisata.

  • 2.    Pengaruh kinerja perekonomian terhadap kemiskinan

Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan adanya pengaruh signifikan variabel kinerja perekonomian (KP) terhadap kemiskinan (KM) dengan nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel

sebesar 2,201, menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel kinerja perekonomian terhadap kemiskinan. Koefisien jalur yang bertanda negatif menunjukkan bahwa kinerja perekonomian memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kinerja perekonomin (KP) maka kemiskinan (KM) semakin menurun. Hal ini berarti hipotesis 2 diterima.

Temuan ini sejalan dengan hasil dari Jonaidi (2012); Siregar (2010); Dewantoro, dkk (2014) yang menemukan pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan yang diukur dari peningkatan prekonomian (PDRB), investasi derdampak pada pengurangan kemiskinan. Penelitian diukur dari pengaruh investasi, harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh pada peningkatan investasi PMA dan PMDN berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. Hal ini berarti semakin meningkat penanaman modal asing berdampak pada menurunkan tingkat kemiskinan.

  • 3.    Pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan

Koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099. Nilai t- statistik tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel perkembangan pariwisata dengan kemiskinan. Koefisen jalurnya menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan, artinya bahwa semakin bertambah baiknya perkembangan pariwisata, berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan. Hal ini berarti hipotesis 3 diterima.

Spenceley dan Seif (2003) menganalisis strategi lima perusahaan swasta yang bergerak dibidang pariwisata di Afrika Selatan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan mengembangkan pembangunan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tujuan wisata dan melakukan analisis dampak serta besarnya biaya terhadap pendekatan propoor tourism di Afrika Selatan. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan pariwisata yang bergerak di bidang layanan operasi safari, wisata diving, fasilitas kasino dan fasilitas golf. Temuan penelitian ini menyatakan terjadi hubungan langsung antara keuntungan ekonomi dan nonekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan propoor tourism dan semakin terbukanya mata pencaharian masyarakat miskin di pedesaan di Afrika Selatan.

Hasil temuan ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ashley et al (2001), yang melakukan penelitian tentang peran pariwisata sebagai strategi untuk mengurang kemiskinan dengan istilah pro-poor tourism. Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan, Namibia, Uganda, St Lucia, Ekuador dan Nepal menemukan semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin yang terdapat di enam negara tersebut. Lebih lanjut Scheyvens dan Momsen

(2008) juga menyatakan bahwa pariwisata berperan penting dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagai bagian dari isu global, pengentasan kemiskinan dilakukan dalam bentuk kerja sama dengan sektor pariwisata dan sektor swasta lainnya dengan memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kontribusi menyeluruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatannya (Ardianto dan Machfudz, 2011: 35). Komitmen sektor swasta sebagai bagian dari tanggung jawab sosial untuk mengentaskan kemiskinan melalui CSR masih sangat kecil jika dibandingkan dengan total pebisnis swasta di Kabupaten Badung sebagai berikut. Selama tahun 2009-2013 program bedah rumah menempati urutan teratas didukung oleh 6 (enam) perusahan swasta dengan total CSR sebesar Rp. 2.513.250.500 diikuti program program beasiswa sebagai program populer didukung oleh dua puluh perusahaan dengan jumlah CSR sebesar Rp. 124.926.500 dan sisanya berupa pemberian sembako. Dilihat dari jumlah kontribusi yang disalurkan perusahaan swasta kepada pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat masih sangat kecil. CSR menghadapi persepsi bahwa perusahaan sudah membayar pajak daerah dan karenanya CSR merupakan biaya tambahan yang membebani perusahaan. Pengikut CSR di Kabupaten Badung masih terbatas pada kontribusi dari perusahan daerah dan dari sektor perhotelan

Kontribusi penelitian ini secara keseluruhan penenlitian ini mendukung temuan dari Ashley, et al (2001), bahwa pengaruh pariwisata berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, karena kinerja ekonomi daerah yang bersangkutan meningkat. akan tetapi penelitian ini, tidak mengukur turunan dari faktor ekonomi secara mikro yaitu investasi yang terserap dan tersebar di Kawasan Wisata Badung Selatan. sehingga model pengembangan pariwisata di Badung Selatan tidak tepat digunakan dalam model pembangunan pariwisata di Badung Utara. Investasi yang besar dia kawasan Badung Selatan telah memberikan kontribusi pada perekonomian Badung, tetapi berdampak pada peningkatan kesenjangan ekonomi masyarakat semakin luas. Pola pengembangan yang kecil lebih memberikan dampak yang baik bagi pemerataan ekonomi masyarakat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

  • 1.    Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perekonomian. Artinya bahwa semakin baik perkembangan pariwisata, kinerja perekonomian semakin meningkat. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar 0,871 dan nilai t-statistik sebesar 71,567 lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 2,201.

  • 2.    Kinerja perekonomian berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap kemiskinan. Artinya semakin tinggi kinerja perekonomian, semakin menurun tingkat kemiskinan. Hal ini terlihat dari nilai koefisien jalur sebesar -0,762 dengan nilai t-statistik sebesar 15,462, lebih besar dari nilai t-tabel yaitu sebesar 2,201.

  • 3.    Perkembangan pariwisata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Artinya bahwa semakin meningkatnya perkembangan pariwisata, maka berdampak terhadap semakin menurunnya kemiskinan. Hal ini terlihat dari koefisien jalur pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kemiskinan sebesar -0,207 dengan nilai t-statistik sebesar 4,099, lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 2,201.

Saran

  • 1.    Perlu dikembangkan penelitian berkelanjutan di Kecamatan Badung Selatan berupa pilot project yang terintegrasi dengan melibatkan masyarakat setempat untuk mengembangkan rumput laut dan mengembalikan kejayaan jeruk Pecatu. Sementara untuk Desa Jimbaran untuk pengembangan kegiatan bersifat ekonomis selain wisata kuliner pantai Jimbaran dengan dukungan dana dari pemerintah dan mengoptimalkan pemanfaatan CSR dari perusahaan swasta.

  • 2.    Pengembangan penelitian berkelanjutan di Badung Utara, di Kecamatan Petang, Desa Plaga dan Desa Belok Sidan untuk mengembangkan pertanian modern secara terintegrasi, berbasiskan masyarakat dengan melibatkan badan-badan internasional, pemerintah, dan swasta yang berpengalaman di bidang pertanian modern.

UCAPAN TERIMA KASIH

Prof I Made Sukarsa dan Dr. AA. Suryawan, sebagai reviewer dalam tulisan ini, dan sekaligus sebagai pembimbing penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Rebecca. 2012. “An analysis of the conditions for succes of community based tourism enterprises”. International Centre for Responsible Tourism. Pp.1-52

Ashley, Caroline., Dilys Roe and Harold Goodwin. 2001. “ProPoor Tourism Strategies: Making Tourism Work For The Poor”, ODI (Overseas Development Institute).

Ashley, Caroline., Roe, Dilys., Goodwin, Harold. 2001. Pro Poor Report No. 1. Pro Poor Tourism Strategies: Making Tourism Wo rk For The Poor, The Russell Press, Nottingham, NG6 OBT

Ashley, Caroline and Dilys Roe. 2002. “Making Tourism Work for the Poor: Strategies and Challenges in Southern Africa”. Development Southern Africa. Vol: 19. No. 1.

Ashley, Caroline and Gareth Hayson. 2006. “From Philanthropy to a Different Way of Doing Business: Strategies and

Challenges in Integrating Pro-Poor Approaches into Tourism Business”. Development Southern Africa. Vol: 23. No. 2.

Ashley, Caroline and Goodwin, Harold. 2007. Pro Poor Tourism’: What’s gone right and what’s gone wrong? Overseas Development Institute Unite kingdom.

Athanasopoulou, Anna. 2013. Tourism as a driver of economic growth and development in the EU-27 and ASEAN regions. EU Center, Singapore.

Babbie, Earl 2005. The Basic of Social Research, Third Edition, Chapman University, Thompson Wadsworth, USA

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka 2012, UD. Sarana Ilmu Denpasar, Bali.

BAPPENAS, Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan nak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan. Evaluasi Pelayanan Kerluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin. 2010

BPS/Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2014. Badung Dalam Angka.

BPS/Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Bali Dalam Angka 2014

Bryden, J. 1973. Tourism and Development: A Case Stydy of the Commenwealth Carribean. Cambridge: Cambridge University Press.

Corbett, Steve and Fikkert, Brian. 2012. When Helping Hurt. Moody Publishers 820N.Lasalle Boulevard Chicago, II 60610 USA

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: SAGE Publications.

Dewantoro, Pendi., Rujiman, dan Sariadi, Agus. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Mebidangro, Jurnal Ekonomi, Vol. 17, No. 3, hal. 140-164.

Dilys., Harris Catherine., Andrade, de Julio. 2003. Addressing Poverty Issues in Tourism Standard, PPT Working Paper No.14, hal.1-14.

Dinas Pariwisata Kabupaten Badung. 2014. Profil Dinas Pariwisata Kabupaten Badung Tahun 2014. Bali

Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2014. Bali Tourism Statistic. Bali

Djaelani, Aunu Rofiq. 2013. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif, Majalah Ilmiah Pawiyatan, FPTK IKIP Veteran Semarang.

Djaya, Ashad Kusuma. 2012. Teori-teori Modernitas dan Globalisasi Kreasi Wacana, Bantul.

Edward, Peter. 2006. UNDP, Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil

Elesh, David. 1970. Poverty Theories and Income Maintenance: Valadity and Policy Relevance. The Institute for Research on Poverty University of Wisconsin, USA.

Fields, Gary S. 2007. ILRI Impact Brief-Economic Development, Labor Markets and Poverty Reduction. Cornel University, ILR School

Fridgen, Joseph D. 1996. Dimensions of Tourism, Educational Institut of the American Hotel & Lodging Association Michigan 48906

Ghozali, H. Imam, (2006). Strictural Equation Modeling. Metode Alternatif Dengan Partial Least Square (PLS). Badan Penerbit UNDIP Semarang.

Giampiccoli, Andrea and Janet Hayward Kalis. 2012. “ Community-based tourism and local culture: the case of the amaMpondo” PASOS. Revista de Tourismo y Patrimonio Cultular. Vol: 10. No. 1. pp. 173-188.

Gibson, Chris. 2009. “Geograpies of tourism: critical research on capitalism and local livelihoods”. Progress in Human Geography. Vol: 33. No. 4.

Goodwin, Harold and Rosa Santilli. 2009. ”Community-Based

Tourism: a success?. Responsible Tourism. pp. 1-37.

Goodwin, Harold. 2008. “Pro-poor Tourism: a response”. Third World Quarterly. Vol: 29. No. 5. pp. 869-871.

Hall, C Michael. 2008. Tourism Planning. Policies, Processes and Relationships. Pearson Education Limited, England

______.  2007. Pro-Poor Tourism: Who Benefits?, Perspectives on Tourism and Poverty Reduction. Channel View Publications. New Zealand

Harrison, David. 2008. “Pro-Poor Tourism: a Critique”. Third World Quartertly. Vol: 29. No. 5. pp. 851-869.

Hidayat, Noermayanti dan Otok, Bambang Widjanarko. 2012. Pemoderal Structural Equation Modeling (SEM) Berbasis Varian Pada Derajat Kesehatan di Provinsi Jawa Timur 2010, Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012.

Hendriwan, 2003. ”Penanggulangan Kemiskinan Dalam Kerangka Kebijakan Desentraslisasi”, Makalah Falsafah Sains (PPS 772). Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

Hill, Trevor., Etienne Nel and Dayle Trotter. 2006. “SmallScale, Nature-Based Tourism as a Pro-Poor Development Intervention: Two Examples in Kwazulu-Natal, South Africa”. Journal Compilations.

Jamieson, Walter., Harold Goodwin and Christopher Edmundo. 2004. “Contribution of Tourism To Poverty Alleviantion: Pro-Poor Tourism and Challenge of Measuring Impacts” For Transport Policy and Tourism Section Transpor and Tourism Devision UN ESCAP.

Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. John Wiley and Sons Australia. Sidney and Melborne.

Jonaidi, Arius. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Kajian Ekonomi, Vol. 1, No. 1, hal. 140-164.

Jonker, Jan., Pening, J.W., Bartjan., Wahyuni, Sari. 2011. Metode Penelitian Pantuan untuk Master dan Ph.D. di Bidang Manajemen, Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Joppe, Marion. 1996. Sustainable Community Tourism Development Revisited, Tourism Management, Vol. 17 No.7, pp 475-479, 1996. Elsevier Science Ltd, Great Britain

Karim, Rehmat., Faqeer Mohammad., Loris Serafino. 2012. “Integrating pro-poor tourism activities in a communitybased idea of development: the case of the district of Hunza-Neger, Pakistan”, Proceedings of the International Colloquium on Tourism and Leisure (ICTL) 2012 Bangkok, www.ictlconference.com.

Krongkaew,Medhi., Chamnivickorn, Suchittra.,Nitithanprapas, Isriya. 2006. Economic Growth, Employment, and

Poverty Reduction. The case of Thailand www.ilo.org/.../ wcms_120671.pdf. Diunduh 15 September, 2015

Laderchi, Caterina Ruggeri., Saith Ruhi., Stewart. 2006. U N D P,Poverty in Focus, International Poverty Center, Brazil

Leon, Yolanda M. 2006. “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods in the Dominican Republic’s Coastal Areas”. Journal of Development Studies. Vol: 43. No. 2.

Lewis and Brown. 2008. “Title: Pro-Poor Tourism: A Vehicle for Development in Trinidad and Tobago”. Sir Arthur Lewis Institute of Social and Economic Studies (SALISES). pp. 1-22.

Scheyvens, Regina and Janet H. Momsen. 2008. “Tourism and Proverty Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism Geographies. Vol: 10. No. 1. pp. 22-41.

Siregar, Hermanto dan Wahyuniarti, Dwi, Pustaka.blog. mb.ipb.ac.id/files      /2010/.../dampak-ptbmbhn-ek_

hermanto. Diunduh tanggal 27 Mei 2015, hal. 23-40.

Sudipa, I Nyoman. 2014. Disertasi: Kemiskinan Dalam Industri Pariwisata Di Kelurahan Ubud. Program Doktor Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Pike, Steven. 2008. Drstination Marketing An Integrated Markeeting Communication Approach. Elsevier Inc USA.

Reisinger, Yvette. 2009. International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier Inc, New York.

Richardson, Robert B. 2010. Michigan State University. The Contribution of Tourism to Economic Growth and Food Security. USAID Mali

Tasci., Asli D.A., Semrad, Kelly J., Yilmaz Semih S. 2013, Community Based Tourism Finding The Equilibrium in COMCEC Contact, Setting the Pathway for the Future. COMCEC Coordination Office, Ankara, Turkey.

Theobald, William F. 2005. Global Tourism Third Edition, Elsevier Inc, New York.

United Nations Environment Program. 2005. Division of Technology, Industry and Economics, France.

______. 2003. Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism Development, Economic And Social Commission For Asia And The Pacific, hlm. 1-172.

Wall, Geoffrey dan Mathieson, Alister. 2006. Tourism, Change, Impact and Opportunities.Pearson Educational Limited, England.

Woodsong, Mack N., and Macqueen K. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. North Carolina: Research Triangle Park.

World Bank. 2002.Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook, Tools and Practices 20, hlm. 1-280.

Volume XI No. 2 Desember 2015

105