PIRAMIDA Vol. XI No. 2 : 76 - 87

ISSN : 1907-3275

DAMPAK PARIWISATA TERHADAP MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT PESISIR KARANGASEM:PENDEKATAN PRO POOR TOURISM

I Wayan Suardana,1

Ni Gusti Ayu Susrami Dewi 2

1, 2 Dosen Program Studi Industri Perjalanan Wisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Pariwisata adalah salah satu kegiatan pembangunan dengan prospek pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan di daerah tujuan wisata menjadi perhatian para cendekiawan, komponen pariwisata, dan wisatawan. Upaya yang dilakukan untuk memberantas kemiskinan, antara lain: untuk melibatkan dan menjadikan masyarakat sebagai subyek pariwisata yang berpartisipasi langsung dalam mengentaskan kemiskinan. Salah satu kabupaten di Bali yang mendukung dan mengembangkan pariwisata adalah Kabupaten Karangasem. Lambannya upaya masyarakat dalam berpartisipasi di sektor pariwisata disebabkan oleh sikap mental masyarakat yang tidak memiliki ide bagaimana untuk keluar dari siklus kemiskinan, sehingga motivasi untuk bekerja secara produktif masih rendah. Ada pengaruh positif dari pengembangan pariwisata terhadap perubahan ekonomi masyarakat, terutama mata pencahariannya. Pariwisata memberikan kesempatan pada perubahan mata pencaharian masyarakat yang semakin luas. Pengembangan masyarakat yang maju memiliki peran dalam mempengaruhi orang lain untuk mengubah motivasi mental untuk bekerja lebih baik. Pemanfaatan keterampilan sebagai nelayan diimbangi dengan peningkatan kesempatan bagi wisata menyelam, yang dapat dimanfaatkan sebagai usaha sampingan untuk menambah peluang penghasilan mereka.

Kata kunci: dampak pariwisata, pro-poor tourism, dan mata pencaharian.

ABSTRACT

Tourism is one of the development activities with high growth prospects. The concern for poverty in tourist destinations becomes the attention of scholars, tourist components, and tourists. Attempts which were made to eradicate poverty, among others are : to engage and make the community as tourism subjects who participated directly in alleviating poverty. One district in Bali that support and develop tourism is Karangasem regency. The slow pace of the community in participating in tourism, caused by mental attitude of the society who don’t have idea how to get out of the poverty cycle, so the motivation to work productively still low. There is a positive influence on the development of tourism on the economic changes of society, especially livelihood. Tourism provides an opportunity change people’s livelihood that increasingly widespread. The development of the first advanced society has a role in influencing other people to change mental motivation to work better. Utilization of skills as a fisherman is offset by enhancement of opportunities for diving tourists, which can be utilized as a sideline to supplement their income opportunities.

Keywords: Tourism impact, pro poor tourism, and livelihoods.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keprihatinan akan kemiskinan di daerah tujuan wisata menjadi perhatian dari para cendekiawan, komponen wisata, dan wisatawan di Bali. Semua stakeholders tersebut ikut berperan aktif mengentaskan kemiskinan dengan mengikutsertakan dan menjadikan masyarakat subjek kepariwisataan yang berpartisipasi langsung di dalam usaha mengentaskan kemiskinan mereka. Usaha terus dilakukan tetapi kemiskinan terus meningkat

dan Indeks kedalaman kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Begitu juga halnya dengan indeks keparahan kemiskinan. Kondisi ini mencerminkan kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dibandingkan daerah perkotaan (BPS Provinsi Bali, 2010: 1-5).

Salah satu Kabupaten di Bali yang mendukung dan mengembangkan pariwisata adalah Kabupaten Karangasem. Saat ini terdapat dua kawasan wisata yang memiliki potensi wisata bahari dan sudah banyak fasilitas pendukung yang dibuat. Kawasan pariwisata tersebut ada-

lah Kawasan Tulamben di Kecamatan Kubu dan Abang, dan Kawasan Candidasa yang berada di Kecamatan Manggis. Kawasan wisata bahari dan fasilitas wisata yang berkembang melalui suatu proses perencanaan yang paradoks, yaitu idealisme perencanaan awal yang mengandung suatu keinginan untuk melakukan pemerataan pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Kawasan Timur Pulau Bali, dan realitanya pengembangan pariwisata penuh dengan hegemoni dari berbagai pihak.

Perkembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem mampu memberikan mata pencaharian alternatif untuk masyarakat pesisir dan hal ini dapat mengimbangi penurunan pada sektor lainnya khususnya tangkapan ikan, dan dengan demikian membantu mengurangi kemiskinan dan memajukan pembangunan negara. Namun, dari beberapa penulis ada yang skeptis bahwa pariwisata akan mampu sebagai penyelamat yang layak bagi masyarakat miskin, mengingat pariwisata adalah sebuah bentuk neo-kolonialisme (Mowforth dan Munt, 1998). Hal ini akan terlihat dari beberapa kasus bahwa ketika pariwisata mampu memberikan keuntungan ekonomis yang tinggi, justru akan memiliki keterbatasan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan. Hal ini disebabkan kebocoran luar negeri, kehilangan kontrol atas sumber daya lokal, dan fakta bahwa sebagian besar dari orang lokal hanya dapat berpartisipasi di bidang pariwisata melalui upah tenaga kerja yang rendah, usaha kecil, yang semuanya memiliki pendapatan rendah, sementara kelompok elit lokal dan kepentingan asing menerima sebagian besar keuntungan ekonomi (Britton, 1982, 1989, 1996; Brohman, 1996).

Namun demikian, pro poor tourism saat ini menjadi model yang dianggap ideal untuk meningkatkan peran pariwisata dalam mengurangi kemiskinan. Menurut Ashley et al. (2000), pariwisata memiliki beberapa keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi pro-miskin: (1) konsumen datang ke tempat tujuan, sehingga memberikan kesempatan untuk menjual barang tambahan dan jasa; (2) pariwisata merupakan kesempatan penting untuk diversifikasi ekonomi lokal, dan dapat berkembang di daerah miskin dan marjinal dengan sedikit ekspor dan pilihan diversifikasi, terutama daerah-daerah terpencil yang menarik wisatawan karena tinggi budaya masyarakat dan utentisitas alam, dan nilai lanskap, dan (3) pariwisata menawarkan kesempatan kerja yang lebih intensif dan berskala kecil dibandingkan dengan non-kegiatan pertanian. Penekanan penelitian ini adalah pada dampak paerkembangan pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir di kawasan wisata. Secara umum tujuan penelitian ini adalah menemukan pemahaman yang berhubungan dengan pembangunan pariwisata, mata pencaharian, pariwisata dan pro poor tourism. Pada satu sisi pariwisata meningatkan kesejahteraan masyarakat serta mampu mendekatkan gap antara kesenjangan pendapatan miskin dan kaya.

Namun pada sisi lain masyarakat menunjukkan adanya resistensi terhadap manipulasi pariwisata karena dianggap neo kolonialisme yang dapat mengekploitasi sumber daya manusia dan budaya masyarakat. Secara khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui: 1) tipologi kemiskinan masyarakat pesisir di Kabupaten Karangasem, 2) faktor-faktor yang menghambat partisipasi masyarakat di sektor pariwisata di Kabupaten Karangasem, dan 3) dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat di Kawasan Tulamben dan Candidasa. Penelitian ini memiliki keutamaan pada pendekatan yang digunakan dalam menganalisis dampak pariwisata dalam masyarakat pesisir di Bali yaitu pendekatan pro poor tourism dengan metode penelitian gabungan kualitatif dan kuantitatif.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu

Penelitian dari Leon (2007: 1-22) menfokuskan penelitiannya pada dampak pariwisata terhadap masyarakat pedesaan khususnya masyarakat pesisir dalam upaya pengentasan kemiskinan pada rumah tangga. Dengan menggunakan pendekatan pro poor tourism, pariwisata dapat tumbuh dengan baik di Republik Dominika. Teori yang digunakan yaitu teori pembangunan, masih ada relevansinya dengan penelitian ini karena ideologi pasar yang mendorong perkembangan pasar pariwisata menyebabkan kemiskinan menjadi bagian yang harus di tekan. Lebih lanjut Harniati (2007:201-208) melakukan kajian kemiskinan secara makro dan ditemukan bahwa kemiskinan di Indononesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Pada masyarakat dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Akan tetapi secara kuantitatif rumah tangga miskin di lahan kering lebih besar daripada di daerah pesisir. Selain itu juga ditemukan bahwa tingkat keparahan kemiskinan terjadi di agroekosistem hutan dan pesisir.

Penelitian selanjutnya yang memfokuskan pada masyarakat dan pariwisata dilakukan oleh Madium (2010) melihat peran masyarakat Nusa Dua dalam pariwisata. Metode analisis yang digunakan analisis kualitatif dan pendekatan budaya, ditemukan bahwa terjadi hegemoni penguasa terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di Kawasan Nusa Dua. Pariwisata telah mengakibatkan masyarakat lokal termarginalisasi dalam merebut peluang usaha dan dikalahkan oleh pengusaha besar. Dengan berbagai keterbatasan kemampuan masyarakat, seperti keterbatasan dalam bidang komunikasi, modal, jaringan, kompetensi, mengakibatkan meraka tidak mampu untuk bersaing dengan kuatnya tekanan pasar pariwisata. Hal tersebut telah mengakibatkan kegagalan masyarakat lokal dalam berpartisipasi dalam pa-

riwisata sebagai wujud pariwisata berbasis masyarakat lokal. Relevansi dari penelitian ini adalah dampak yang diberikan pada pariwisata terhadap masyarakat memang secara ekonomi sudah cukup tinggi, tetapi diketahui bahwa community based tourism tidak mampu menyentuh pada masyarakat miskin. Masyarakat yang mendapatkan manfaat adalah masyarakat yang mampu dan memiliki kompetensi, sedangkan masyarakat miskin tetap miskin. Akhirnya kesenjangan semakin tinggi, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Hal ini juga ditemukan oleh Semadi (2010: 319-345) pada kajian masyarakat Kuta ditemukan bahwa kegagalan masyarakat Kuta yang miskin dalam percaturan pariwisata, karena masyarakat memiliki modal ekonomi seperti tanah dan uang tetapi karena kompetensi dan tekanan pasar pariwisata, tidak mampu mengelola dan menangkap peluang ekonomi yang ada, sehingga akhirnya mereka jatuh miskin. Kasus Nusa Dua dan Kuta menunjukkan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam pariwisata.

Penelitian diatas sangat penting dan menarik dikaji lebih lanjut, karena terdapat fenomena yang sangat kontradiktif. Pariwisata dengan ego kapitalime telah memberikan dampak makro pada ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Mathieson and Wall, 1987: 5-13). Pada sisi lain ternyata belum menyentuh masyarakat miskin yang notabena lemah dalam berbagai hal. Fokus kajian pada masyarakat merupakan pusat kajian dalam penelitian ini. Masyarakat lokal sebagai pelaku pariwisata yang berhadapan dengan wisatawan sebagai pasar wisata menjadi sebuah paradoks.

Penelitian tentang pariwisata di negara-negara berkembang telah banyak difokuskan pada dampak ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Industri ini memiliki dampak yang berpotensi menguntungkan, tetapi dalam prakteknya ini telah sering sebanding dengan konsekuensi negatif untuk penduduk setempat (Brohman, 1996; Burns, 1999; Iwersen-Sioltsidis dan Iwersen, 1996; Lea, 1988; Sinclair, 1998). Menurut kriteria John Brohman (lihat bagian tentang neoliberalisme dan pertumbuhan makro-ekonomi), pariwisata telah memberikan kontribusi untuk pembangunan sarana pendukung di banyak negara berkembang.

Menurut Cattarinich (2001: 18-76), ‘over-liberalisasi’ industri pariwisata telah berdampak negatif terhadap masyarakat. Sebagai contoh, pemerintah Mesir telah melakukan privatisasi sebagian besar aset pariwisata negara itu tahun 1991. Pada tahun 1993, investasi swasta di sektor pariwisata Mesir telah mencapai 100 persen (Gray, 1998, p103). Tetapi, privatisasi dan liberalisasi pariwisata di Mesir telah terjadi tanpa adanya rencana menyeluruh yang telah menciptakan masalah. Pada tahun 1998 Mesir tidak mempunyai rencana jangka panjang untuk pengembangan pariwisata, tidak ada rencana strategis untuk menarik wisatawan agar datang ke Mesir. Bahkan, ada beberapa daerah yang saat ini

tidak ditujukan untuk pengembangan pariwisata. Hal ini telah dilakukan tanpa penilaian atau perencanaan potensi masalah dari perkembangan pesat tersebut. Hal ini disebabkan oleh kerusakan lingkungan, ketidakpuasan dari penduduk lokal, perubahan sosial dan ekonomi yang cepat dan ketimpangan distribusi ekonomi, dan kelebihan pasokan di sektor menyebabkan jatuhnya investasi dan lapangan kerja. Akibatnya, Mesir mengalami decline dalam pariwisata, wisatawan tidak mau lagi berkunjung ke tempat tersebut dan masyarakat juga telah antipati terhadap wisatawan.

Konsep

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yang mendasari penelitian dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat:

Pro Poor Tourism

Data mengenai besaran peran dari pariwisata dalam mengentaskan kemiskinan sampai saat ini masih terbatas. Dalam implementasi belum banyak best practice bahwa pariwisata secara faktual mampu menanggulangi kemiskinan (Damanik dan Kusworo, 2005: 107). Perdebatan tentang pariwisata sebagai kegiatan yang propoor atau tidak, jawabannya tergantung kepada situasi, dan harus dikaji kasus demi kasus. Pandangan ini mulai mencuat ketika muncul konsep pro poor tourism, dengan pengertian bukan membuat produk baru pariwisata dan bukan pula untuk menjual kemiskinan sebagaimana tour mengunjungi kantong-kantong kemiskinan seperti terjadi pada kasus tour di Jakarta (Subagja, 2010: 1).

Pendekatan pro poor tourism, adalah pendekatan pembangunan di bidang pariwisata yang memberikan manfaat pada masyarakat miskin, yaitu manfaat ekonomi, sosial, lingkungan, dan kultural. Menurut Jamieson W, Goodwin H and Edmunds C (2004: 31-32), berbagai indikator pengukuran implementasi pro poor tourism, yang diklasifikasikan pada 3 indikator yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  • 1.    Indikator ekonomi terdiri atas: a). Persentase (%) penduduk miskin yang bekerja di sektor pariwisata yang pro poor. b). Jumlah dan jenis pekerjaan yang diciptakan oleh pariwisata, pada kondisi musim ramai (high seasons) atau pada musim sepi (low seasons), Bekerja penuh/tetap atau paruh waktu. c) Diversifikasi pekerjaan, d) Jumlah bisnis lokal yang berkaitan dengan pariwisata yang baru dimulai. e). Jumlah penjualan untuk produk masyarakat. f). Pola pengeluaran orang yang bekerja di bidang pariwisata g). Biaya barang makanan dan konsumen sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata. h). Pemakaian listrik per kapita sebelum dansesudah pengembangan pariwisata. i). Penghasilan distribusi dalam masyarakat sebelum dan sesudah, j). Kebocoran dalam hal akomodasi, makanan dan

transportasi. k). Hutang per kapita sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata l). Harga tanah sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata.

  • 2.    Indikator Sosial terdiri atas a). Modal SDM yaitu perbaikan dalam bahasa atau belajar terhadap kinerja tradisional karena pengaruh pariwisata. b). Persentase tingkat kejahatan (turun atau naik). c). Peningkatan akses terhadap infrastruktur publik d). Peningkatan akses terhadap pelayanan sosial/ fasilitas e). Peningkatan akses ke pasar oleh orang miskin f) Peningkatan tanah g). Jumlah orang lokal dengan pelatihan di bidang pariwisata yang berkaitan h). Tingkat pendidikan penduduk

  • 3.    Indikator Lingkungan, terdiri atas: a). Generasi sampah dari kegiatan wisata b). Tingkat pencemaran air limbah, c). Tingkat polusi udara dari bus wisata dan kendaraan d). Peningkatan atau penurunan masalah lalu lintas

Pro poor tourism merupakan pendekatan bukan produk yang spesifik. Sebenarnya pendekatan ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata yang sudah dikembangkan di Bali. Dalam perkembangan ekowisata, wisata perdesaan, agro wisata dan marine tourism. Ciri-ciri pro poor tourism ini adalah fokusnya kepada masyarakat miskin. Potensi pariwisata untuk ikut berperan serta dalam pengentasan kemiskinan didasari oleh kenyataan bahwa:

  • 1.    Sebagai industri yang beragam, kemungkinan partisipasi makin luas, termasuk kenyataan bahwa sektor ini juga sangat memungkinkan partisipasi sektor informal.

  • 2.    Wisatawan datang ke lokasi, asal ada peluang untuk keterkaitan ekonomi dengan usaha kepariwisataan lain, membuka peluang bagi masyarakat seperti penjualan cinderamata.

  • 3.    Pariwisata berbasis kepada sumberdaya alam dan budaya yang dalam berbagai kenyataan dimiliki oleh masyarakat miskin meskipun mereka tidak memiliki sumberdaya finansial.

Ashley and Roe (2002: 61-81) melakukan analisis terhadap implementasi dari pro poor tourism terhadap manfaat pariwisata terhadap masyarakat miskin. Berdasarkan pada fakta bahwa di Afrika Selatan banyak masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan, walaupun di beberapa wilayah berkembang sentra-sentra kepariwisataan. Dengan melakukan analisis terhadap kemajuan dari daerah wisata, masalah yang dihadapi, dan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi diharapkan mampu memberikan implikasi yang lebih baik pada pengentasan kemiskinan. Dengan mengambil kasus pada enam daerah pariwisata yang dengan tipologi yang berbeda di Afrika Selatan ditemukan bahwa pro poor sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, target pasar dan kepentingan masyarakat.

Berdasarkan kajian Poultney dan Spencenley (2001: 8-11) ada enam strategi yang dapat dilakukan, yaitu;

  • 1.    Perluasan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin.

Perluasan kesempatan berusaha dapat memanfaatkan bahan lokal untuk sandang dan pangan serta kebutuhan akomodasi untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan. Penggunaan bahan lokal menjamin terbukanya peluang berusaha bagi penduduk miskin.

  • 2.    Perluasan kesempatan kerja bagi penduduk miskin Perluasan kesempatan kerja dilakukan dengan cara optimalisasi rekrutmen tenaga kerja lokal. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan guide lokal yang lebih memahami budaya lokal dibandingkan guide luar. Penggunaan tenaga kerja lokal, pemanduan dan pelayanan akomodasi dari orang lokal merupakan upaya nyata dalam mengentaskan kemiskinan.

  • 3.    Pengurangan dampak lingkungan bagi penduduk miskin yang lebih rentan Pengembangan akomodasi hotel (bahan baku dan keperluan sehari-hari) dengan memanfaatkan bahan lokal. Namun pemanfaatan bahan tersebut harus dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak defisit bagi masyarakat yang sangat bergantung padanya.

  • 4.    Pengurangan dampak negatif pariwisata terhadap kondisi sosial budaya bagi penduduk miskin.

Pariwisata dapat dengan mudah mengubah struktur ekonomi masyarakat tetapi, sulit untuk aspek sosial budaya. Oleh sebab itu perluasan kesempatan kerja tidak hanya melihat jumlah pekerjaan tetapi kesesuaian dengan situasi riil masyarakat miskin.

  • 5.    Pengembangan kelembagaan yang mendorong upaya pengentasan kemiskinan.

Masyarakat miskin seringkali tidak memiliki institusi yang kuat untuk melakukan berbagai tindakan bersama. Padahal masalah tersebut diperlukan sebagai upaya sebagai entitas kelembagaan yang merepresentasi masyarakat miskin.

  • 6.    Penajaman kebijakan dan perencanaan pariwisata yang lebih tepat.

Kebijakan dan rencana pengembangan pariwisata perlu dirumuskan secara spesifik dan tegas mengakomodasi kepentingan masyarakat miskin. Masyarakat miskin di daerah tujuan wisata perlu dihargai sebagai pemilik sumber daya yang utama, sehingga setiap pengembangan harus memberikan sumbangan yang positif bagi kehidupan mereka.

Implementasi pro-poor tidaklah mudah, tetapi ada potensi nyata untuk memanfaatkan pariwisata lebih efektif untuk pengurangan kemiskinan. Dengan demikian sifat pariwisata berkembang di Afrika Selatan memberikan kesempatan yang baik untuk mengambil pro poor

sebagai model yang relevan. Di Tanzania, perkembangan pariwisata memberikan peningkatan pada pendapatan masyarakat, peluang kerja, peningkatan pendapatan untuk konservasi alam, budaya dan nilai-nilai norma masyarakat. Begitu pula di Namibia dan Uganda (Ashley dan Roe, 2002: 61-81) manfaat ekonomi sangat penting untuk peningkatan promosi konservasi wilayah. Temuan yang sama juga ditulis oleh Leon (2007:349-356) dalam salah satu tulisannya menunjukkan dampak positif dari pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat di Republik Dominika. Karakteristik masyarakat seperti pengetahuan bahasa asing, usia muda dan keunggulan dari masyarakat dan perjalanan wisata merupakan faktor utama sebagai penentu tenaga kerja.

Memaksimalkan dampak pariwisata terhadap masyarakat tidak harus dalam skala besar. Penelitian dilakukan oleh Trevor Hil, Nell and Troter (2006: 163-174) menemukan pengembangan pariwisata yang berbasis pada alam dan dengan skala kecil di Provinsi Kwazulu-Natal, Afrika Selatan mampu mengatasi krisis ekonomi. Penelitian lainnya dari Mograbi dan Rogeron (2007: 85-102) dengan kasus pariwisata bahari di Teluk Sodwana Afrika Selatan. Adanya mekanisme kontrol, pola pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala kelompok operator secara berkeadilan, dapat meningkatkan pendapat dari masyarakat secara signifikan. Dampak nyata dari upaya pengentasan kemiskinan adalah peningkatan tenaga kerja khususnya dive operator, yaitu 52 persen dari masyarakat lokal, 47 persen dari luar wilayah, dan 28 persen dari luar daerah. Manat dalam tulisan Tingsabadh (Damanik, dkk, 2005: 63) memperkuat dengan temuan dari Phuket bahwa dampak pariwisata pantai adalah tumbuhnya pengusaha lokal, dan pekerja sektor informal. Dari 12.570 pekerja sektor pariwisata, hanya 5.025 adalah pekerja formal.

Pariwisata dalam beberapa kasus, terutama di sektor ekonomi tidak mempunyai dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan. Pada beberapa kasus perkembangan pariwisata justru memunculkan gap semakin besar antara masyarakat kaya dan miskin (Scheyvens & Momsen, 2008: 22-41). Struktur pariwisata yang bersandar pada mekanisme pengadaan modal infrastruktur membatasi partisipasi kelompok miskin untuk memanfaatkan keuntungan dari pariwisata (Harrison, 2008: 851-866). Apalagi kalau hotel tidak merekrut masyarakat lokal sebagai karyawan, sehingga tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan dan tetap saja miskin. Ada sejumlah alasan kegagalan pariwisata menciptakan keuntungan pada masyarakat miskin, yaitu; modal yang terbatas; keterbatasan fisik penduduk; sifat-sifat bisnis pariwisata yang telah mapan; tipe pasar wisatawan yang ditarik ke wilayah itu; sifat temporer proyek; keadaan buruk kaum miskin yang tidak terintegrasikan ke dalam rencana pembangunan pariwisata (Gibson, 2009:527-534).

Kemiskinan

Kemiskinan merupakan isu sentral di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, terutama pasca krisis tahun 1997-1999. Levitan 1980 (dalam Nawawi, 2009: 119) mendefinisikan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan layanan yang dibutuhan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sejalan dengan itu, Lewis (dalam Usman, 2009) mengkategorikan kemiskinan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan kultural, pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional. Pendekatan kultural bahwa kemiskinan merupakan suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic deprivation) yang berlangsung lama. Berbeda dengan yang diasumsikan Luwis, Valentine (dalam Usman, 2009: 3) mengatakan bahwa ciri-ciri subkultar orang miskin bukan karena kebudayaan yang dihasilkan secara turun temurun, tetapi karena situasi yang menekan yang disebut pendekatan situasional. Sedangkan pendekatan interaksional oleh Gans (dalam Usman, 2009: 4) perilaku dan ciri-ciri yang ditampilkan kaum miskin merupakan hasil interaksi di antara faktor kebudayaan yang sudah tertanam dalam diri orang miskin karena ada faktor yang menekan.

Menurut Harun (2008: 1), dari 100-an negara berkembang, pariwisata merupakan sektor ekonomi yang signifikan bagi hampir setengah negara dengan pendapatan rendah (low income countries) dan di hampir seluruh negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower-midle income countries). Di negara berkembang pariwisata merupakan ekspor utama (termasuk lima besar) yaitu sebesar 83 persen yang menghasilkan devisa. Kenyataan juga membuktikan bahwa negara-negara yang berkembang (lesser developed countries/LDCs), mengalami pertumbuhan pendapatan per kedatangan internasional tahun 1990-2000 yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan negara-negara Eropa. Kenaikannya sebesar 45 persen sementara negara berkembang mengalami kenaikan sebesar hampir 20 persen, negara-negara OECD mengalami kenaikan 18 persen, sedangkan masyarakat Uni Eropa hanya mengalami kenaikan sebesar 7,8 persen. Pariwisata juga terbukti merupakan sumber devisa yang signifikan, lapangan kerja, dan peluang bisnis (Mograbi and Rogerson, 2007: 86; Muhanna, 2007:39). Dalam perkembangan pariwisata di negara berkembang diketahui ternyata pertumbuhan ekonomi tidak selalu memberikan dampak bagi masyarakat miskin (Hill, Nel and Trotter, 2006:164; Nevin, 2007: 50). Pengurangan kemiskinan hanya dapat dicapai apabila keuntungan atau manfaat pertumbuhan didistribusikan kembali kepada si miskin atau bilamana si miskin disertakan dalam kegiatan ekonomi, sebagai pekerja atau melalui pemberdayaan untuk menciptakan lapangan usaha.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan paradigma penelitian kuantitatif, yang menekankan pada penggunaan statistik untuk pengukuran. Penelitian ini ditujukan sebagai riset kebijakan yang bersifat mikro pada rumah tangga dengan variabel yang banyak. Jenis penelitiannya adalah expa-lantory research. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari isian angket yang disebarkan pada responden. Untuk data sekundernya digunakan data dari Badan Pusat Statistik Bali dan Karanangasem. Penelitian difokuskan pada dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat miskin di Kabupaten Karangasem. Masyarakat miskin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat miskin dalam kategori dari BPS yaitu, kemiskinan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan makanan yakni 2,100 kalori per orang per hari.

Tipologi masyarakat miskin di Kawasan pariwisata diidentifikasi dan dibandingkan dengan perkembangan pariwisata yang sudah ada. Dengan mengetahui penyebab dari kemiskinan dari masyarakat pesisir, maka akan diketahui pula faktor yang menghambat dalam berpartisipasi dalam pariwisata. Gambaran dari masyarakat dan pariwisata diukur dampak yang diberikan pariwisata terhadap masyarakat miskin.

Lokasi penelitian terletak di kawasan pariwisata Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Penelitian ini dilengkapi dengan instrumen pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder, camera dan pencatatan. Untuk data kuantitatif digunakan instrumen angket. Daftar angket digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pariwisata di Kabupaten Karangasem. Angket disusun dengan indikator yang jelas dan terukur, dalam daftar pertanyaan yang tertutup. Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung dilokasi penelitian dengan bantuan dokumentasi berupa alat kamera dan pencatatan.

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga miskin yang bermukim di dalam dan Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa sebanyak 560 KK (data tahun 2014). Sampel yang diambil berjumlah 188 KK yang tersebar di Desa Tulamben, Purwakerti, Nyuhtebel dan PadangBay.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kabupaten Karangasem

Kabupaten Karangasem merupakan satu dari sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali, terletak di ujung timur Pulau Bali. Secara geografis Kabupaten Karangasem memiliki daerah pantai dan pegunungan yang terbentang dari timur ke barat dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara adalah Laut Bali, sebelah timur adalah Selat Lombok, sebelah selatan adalah Samudra Indonesia, dan

sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Buleleng. Secara administratif Kabupaten Karangasem terdiri atas 8 kecamatan dan 75 desa, 3 kelurahan, 191 desa adat, 714 banjar adat, 539 banjar dinas, dan 52 banjar lingkungan.

Di lihat dari struktur ekonomi tahun 2013 jumlah penduduk di Kabupaten Karangasem sebanyak 471.820 orang dengan komposisi 236.530 orang laki-laki dan 235.290 orang perempuan, yang tersebar ke dalam 127.586 rumah tangga. Jumlah penduduk ini meningkat 3,20 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 457.204 orang. Kenaikan jumlah penduduk ini disebabkan oleh pertumbuhan alami (lahir dan mati) dan migrasi dari daerah lain. Luas wilayah 839,54 Km2, kepadatan penduduk mencapai 522 orang/Km2.

Kabupaten Karangasem memiliki pertumbuhan penduduk mencapai 0,96 persen dengan tertinggi dicapai oleh Kecamatan Rendang (1,84) persen dan terendah di Kawasan Tulamben (1,48) persen. Kabupaten Karangasem yang terdiri atas delapan kecamatan memiliki persebaran penduduk yang tidak merata, sebagian besar penduduk bermukim di bagian utara terutama Kecamatan Kubu dan Kecamatan Abang sedangkan di bagian selatan penduduk terkonsentrasi di Kawasan Tulamben dan Manggis. Kawasan Tulamben merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar mencapai 98.882 orang.

Kabupaten Karangasem memiliki proporsi rumah tangga miskin terbesar di Provinsi Bali, yang mencapai 33,66 persen. Hal ini memiliki arti bahwa setiap 3 rumah tangga terdapat 1 rumah tangga miskin. Berdasarkan pada indeks kemiskinan dari Propinsi Bali, Kabupaten Karangasem juga menunjukkan kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan yang sangat tinggi. Kesenjangan masyarakat yang miskin dan kaya sangat kelihatan dan bebeda jauh, dimana masyarakat pada satu desa ada yang miskin sekali sampai tidak memiliki rumah, pada sisi lain ada masyarakat yang sangat kaya. Keadaan ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 1.

Tabel 1.Indeks

Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan

Kabupaten

Karangasem dan Provinsi Bali Periode 2013-2014

Wilayah/

Indeks Kedalaman

Indeks Keparahan Kemiskinan

Kemiskinan (P2)

(P2)

Kabupaten

2012

2013    2014

2012

2013

2014

Karangasem

1,90

0,81     1,21

0,53

0,22

0,30

Provinsi Bali

1,29

0,82     0,79

0,36

0,28

0,18

Sumber: Bali Dalam Angka 2014 diolah (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional)

Tingginya indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Karangasem menandakan masih tingginya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Demikian pula indeks keparahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Bali. Garis kemiskinan Kabupaten Karangasem per kapita per bulan Rp. 205.860 jauh lebih rendah dari garis kemiskinan

Provinsi Bali (246.598). Kawasan Tulamben memiliki penduduk 32.679 orang (6.513 KK) dengan komposisi berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 75 persen dari penduduk bekerja sebagai petani, sisanya mempunyai profesi sebagai buruh tani, nelayan, wiraswasta, dagang, dan bidang jasa. Pendapatan masyarakat rata-rata mencapai Rp. 1.640.554 sampai Rp. 2.249.145 per tahun. Sebagai pusat pariwisata kawasan ini memiliki jenis pekerjaan cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya, terutama disektor pariwisata. kawasan Candidasa jumlah penduduknya sebanyak 48.106 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,36 persen dan lebih bersifat homogen ditinjau dari etnis dan agama. Walaupun daerah ini dilalui oleh lalu lintas antar kota dan provinsi pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan perkebunan terutama pisang dan kelapa, dan sebagian kecil sebagai nelayan.

Tipologi Sosial Demografi Responden

Gambaran tentang karakteristik sosial demografi responden seperti umur, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran dipaparkan berikut ini. Dari hasil 188 kuisioner yang sudah dilakukan analisis ada masing-masing kawasan diperoleh sebaran data yang cukup baik dari aspek demografis responden. Ditinjau dari umur, responden berada pada rentang 20 tahun keatas, Data menunjukkan, usia responden yang tergolong miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa cenderung menyebar pada kelompok umur 60 tahun ke atas atau usia tidak produktif mencapai 38,3 persen. Pada usia 40-49 tahun sebesar 22,3 persen, usia 50-59 tahun sebesar 18 persen, sedangkan pada 20-29 tahun dan 3039 tahun masing-masing 10,6 persen.

Umumnya kondisi kemiskinan berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan yang mampu dicapai. Data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja (6,4 persen) yang telah tamat SLTA. Proporsi responden hanya tamat Sekolah Dasar (34 persen). Secara keseluruhan, tingkat pendidikan yang mampu dicapai oleh responden di Kawasan Candidasa relative lebih tinggi dari pada tingkat pendidikan responden di Kawasan Tulamben. Hal ini berarti pendidikan berkorelasi negatif dengan kemiskinan, dimana semakin banyak masyarakat yang berpendidikan rendah akan meingkatkan kemiskinan. Hasil studi ini mendukung studi Gustafsson, Bjorn and Yue, Ximing (2006), yaitu rumah tangga dengan banyak anggota rumah tangga serta kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah, maka anak-anak tersebut menghadapi resiko kemiskinan yang lebih tinggi dari orang lain. Hal yang sama disampaikan Affandi (2011), bahwa rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga lebih dari empat orang dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah memiliki peluang 1,312 kali lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah

tangga miskin yang memiliki pendidikan di atas SMP.

Jenis pekerjaan masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa menunjukkan pola yang hampir sama. Umumnya mereka bekerja sebagai petani penyakap, buruh, pedagang, dan kerja serabutan.

Tabel 2. Jenis Pekerjaan Responden di Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa

Pekerjaan

Kawasan

Tulamben

Kawasan Candidasa

Total

Jumlah

Persen

Jumlah

Persen

Jumlah

Persen

Nelayan

20

16.7

14

20.6

34

18.1

Buruh

28

23.3

6

8.8

34

18.1

Pedagang

12

10.0

12

17.6

24

12.8

Tukang bangunan

8

6.7

10

14.7

18

9.6

Wirausaha

4

3.3

4

5.9

8

4.3

Nelayan dan serabutan

36

30.0

20

29.4

56

29.8

Tidak bekerja

12

10.0

2

2.9

14

7.4

Total

120

100,00

68

100,00

188

100

Sumber: Hasil analisis, 2015

Jenis pekerjaan yang mendominasi masyarakat di Kawasan Tulamben adalah nelayan dan petani, dan proporsinya lebih banyak dari pada di kawasan Candidasa. Sebanyak 6,7 persen responden tidak memiliki pekerjaan dan kondisi itu lebih banyak terjadi di Kawasan Tulamben. Untuk menopang kondisi ekonomi rumah tangga, sebanyak 31,9 persen responden yang bekerja mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sampingan, namun pekerjaan sampingan yaitu sebagai buruh pembawa alat selam, pedagang, sopir dan guide lokal. Secara rinci, datanya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pekerjaan Sampingan Responden di Kawasan Tulamben dan Candidasa Tahun 2014

Jenis Pekerjaan Sampingan

Kawasan Tulamben

Kawasan Candidasa

Total

Jumlah

Persen

Jumlah

Persen

Jumlah

Persen

Buruh pengangkut alat selam/porter

12

33.3

2

9.1

7

24.1

Dagang dan guide

16

44.4

14

63.6

15

51.7

Sopir

8

22.2

6

27.3

7

24.1

Total

36

100,00

22

100,00

29

100,00

Sumber: Hasil analisis, 2015

Secara keseluruhan, dominan responden (18 persen) hanya mampu memperoleh pendapatan per bulan kurang dari Rp. 600.000 baik di Kawasan Tulamben maupun di kawasan Candidasa. Data juga menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan di Kota (Kawasan Candidasa) relatif lebih tinggi dari pada Kawasan Tulamben. Hal ini dapat dilihat dari proporsi pendapatan pada kelompok Rp. 600.000,-ke atas lebih banyak di Kawasan Candidasa dari pada di Kawasan Tulamben. Berdasarkan data di atas disimpulkan bahwa tipologi masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) Masyarakat yang tetap dengan

mata pencaharian yang lama, seperti nelayan, buruh bangunan, buruh galian, petani penggarap. 2). Masyarakat dengan bekerja sampingan, seperti nelayan dan pengatar tamu. 3) Masyarakat yang sudah mengalami perubahan mata pencaharian dari yang pokok nelayan menjadi bekerja di sektor pariwisata seperti tukang kebun atau penjual cendramata. Penelitian ini mendukung temuan Leon (2007; Gibson: 2009) bahwa tipologi masyarakat yang memiliki keterbatasan modal dan sumber daya lainnya seperli rendahnya ketrampilan akan mengalami perlambatan perubahan mata pencaharian, sehingga tidak mampu keluar dari kemiskinan. Penelitian ini juga mendukung Suartha (2013) dengan temuan rendahnya tingkat pendidikan, menyebebkan pendapatan rendah akibat akses pada kesempatan kerja rendah.

Faktor-faktor Penghambat Masyarakat dalam Berpartisipasi pada Sektor Pariwisata

Kecamatan Kubu memiliki jumlah RTM lebih banyak (6.211 RTM) dibandingkan dengan Kawasan Candidasa dengan jumlah RTM paling sedikit hanya (1521 RTM) paling rendah. Konsentrasi kemiskinan di masing-masing wilayah, untuk Kawasan Tulamben terjadi di Desa Datah, Labasari dan Purwakerthi. Untuk Kawasan Candidasa konsentrasi kemiskinan terjadi di Desa Antiga, Desa Nyuhtebel dan Padangbai. Menurut Suartha (2013), kemiskinan di daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni:

  • 1.    Faktor alam. Kedua kawasan ini merupakan kawasan pesisir pantai yang berhadapan langsung dengan gunung. Masyarakat hanya dapat mengandalkan mata pencaharian sebagai buruh tani dan nelayan. Lahan yang tersedia dominan lahan kering dan lautan. Kondisi ini memang sangat ironi ketika pariwisata bergeliat di Kawasan Tulamben dan Candidasa, tetapi pada sisi lain banyak sekali masyarakat yang menjual tanah dipinggir laut untuk dijadikan hotel atau tempat usaha. Memang tidak dipungkiri juga daerah Kubu rata-rata adalah aliran lahar Gunung Agung, sehingga daerah ini, tidak memiliki struktur tanah yang baik untuk bercocok tanam. Tanaman yang dapat hidup hanya pohon rontal dan intaran, sedangkan binatang peliharaan masyarakat dominan kambing dan sapi.

  • 2.    Faktor budaya. Adanya kebiasaan penduduk untuk melakukan aktivitas yang tidak produktif seperti berjudi (tajen/sabung ayam) yang dilaksanakan setiap hari kamis hingga sabtu dari siang sampai sore dan hari minggu dari pagi hari, dan minum-minum terutama minum tuak dan arak, lebih-lebih jika ada upacara kematian.

  • 3.    Rendahnya akses terhadap pembangunan. Hal ini terutama disebabkan rendahnya kapasitas rumah tangga yaitu rendahnya pendidikan yang

hanya berpendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) ke bawah dan masih banyak penduduk tidak bersekolah, rata-rata beban tanggungan setiap RTM tiga orang lebih, dan banyaknya infrastruktur yang rusak.

Perkembangan pariwisata di Tulamben dan Candidasa telah memberikan kontribusi pada perubahan mata pencaharian masyarakat yang berdampak terhadap kondisi ekonomi. Akan tetapi, tidak semuanya memberikan dampak positif pada partisipasi masyarakat miskin dalam perkembangan pariwisata. Ada faktor penghambat yang muncul dari dalam (internal) dan faktor dari luar (ekternal). Tosun (2000) telah membagi hambatan partisipasi mayarakat kedalam tiga bagian, yaitu hambatan operasional, hambatan struktural dan, hambatan budaya/cultural. Pada penelitian sebelumnya Mustapha et al. (2013) telah mengkatagorikan ketiga tipe hambatan masyarakat dalam berpartisipasi adalah sebagai berikut. Tipe hambatan operational seperti: keengganan pemegang saham dalam berbagi kekuasaan, sentralisasi administrasi publik, dan kurangnya informasi. Persepsi masyarakat di kawasan pariwisata disebabkan oleh keterbatasan dalam mengakses hak-hak dasar seperti pangan, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Dalam persepsi masyarakat miskin muncul sikap pasrah yang menerima kemiskinan sebagai bentuk yang pasrah dan disebabkan karena kebodohan. Pasa sisi lain ada harapan hidup dimana mereka tidak mau merelakan anak mereka menjadi seperti dirinya yaitu ingin lebih maju, lebih pintar dan lebih mampu. Tipe hambatan structural yaitu: dominasi elite yang tidak berpihak pada masyarakat kecil, kurangnya sumber daya keuangan atau modal, sikap profesional, dan kurangnya hukum yang sesuai sistem yang memberikan perlindungan pada masyarakat kurang mampu. Proyek yang dibuat pemerintah justru menyebabkan peningkatan pendapatan pada pemerintah, swasta dan lapisan atas, dan yang lainnya justru mengalami proses kemiskinan. Tipe hambatan cultural yaitu: terbatasnya kemampuan masyarakat miskin, apatis, dan rendahnya tingkat kesadaran di komunitas lokal. Pada kawasan Tulamben dan Candidasa masyarakat masih dalam kategori konsumtif dalam hal upacara, walaupun harus berhutang. Hal ini biasanya berhubungan dengan ritual adat atau kekerabatan seperti hari kelahiran yang dirayakan secara besar-besaran, upacara perkawinan yang harus “ngejot” ke banyak tetangga, upacara kematian yang harus memotong babi dan acara minum arak. Hal ini secara ekonomis dapat menghambat peran dalam pariwisata selain kurang mampu dalam mencari peluang untuk bersaing dalam peluang yang tersedia dalam pariwisata.

Hasil penelitian ini mendukung Teori Sen (1998), bahwa kemiskinan terjadi karena adanya kelahiran seseorang dari keluarga miskin dan budaya yang tidak memiliki memampuan untuk meningkatkan

sosial ekonomi, sehingga tetap dalam kondisi miskin. Faturrochman dan Molo (1994) menyatakan kemiskinan masyarakat berawal dari pendapatan masyarakat yang rendah. Pada sisi lain Leon (2007) melihat bahwa pariwisata tidak selalu berdampak buruk pada masyarakat, dengan pro poor dengan membuat kegiatan wisata yang skala kecil dan sektor-sektor pemberdayaan masyarakat dapat ditingkatkan, pariwisata dapat berkontribusi positif pada masyarakat. Ativitas wisata dengan sektor informal dapat menjangkau masyarakat dengan kemampuan modal terbatas, dan ketrampilan terbatas. Peningkatan partisipasi masyarakat semakin diperlebar, sedangkan kesenjangan investasi dipersempit (Ashley and Goodwin, 2007). Program Corporate Social Responsibilty (CSR) dari pelaku pariwisata telah memberikan peluang besar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kemiskinan kultural yang disebabkan pada sikap masyarakat dan ketidakkemampaun masyarakat menjadi hal yang berbeda dalam usaha penanganannya. Di Kawasan Candidasa, masyarakat dominan berperan dalam usaha mengantar tamu dengan perahu yang dimiliki untuk diving atau snorkling. Pada Hotel mereka dimanfaatkan untuk satpam atau petugas kebun. Berbeda halnya di Kawasan Tulamben, masyarakat berkelompok dalam usaha untuk membangun jaringan yang baik dalam pelayanan pada tamu. Kelompok yang ada seperti pengantar tabung penyelam, kelompok pedagang dan kelompok tukang pijat dan souvernir.

Pengaruh Perubahan Mata Pencarian Masyarakat

  • 1.    Perubahan Mata Pencarian Masyarakat

Pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa secara tidak langsung memberikan dampak pada perubahan mata pencaharian masyarakat sekitar. Menurut Ritchie (1987) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata di suatu daerah akan berdampak pada perubahan struktur ekonomi masyarakat khususnya mata pencaharian masyarakat yang ditimbulkan dari adanya peluang usaha sektor tersebut dan ikutannya. Dalam hal ini akan dianalisis perubahan struktur mata pencaharian masyarakat dikaji dari sebelum dan sesudah kawasan wisata Tulamben dan Candidasa di kembangkan sebagai destinasi wisata bahari. Tabel 4. yang menunjukkan mata pencaharian penduduk sebelum dan sesudah adanya pengembangan pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa.

Berdasarkan Tabel 4, mayoritas masyarakat sebelum adanya pengembangan pariwisata yang tidak bekerja pada sektor usaha wisata yaitu sekitar 70 persen yang mana jenis pekerjaannya itu sendiri didominasi oleh pekerjaan sebagai nelayan yakni 46 persen, petani 10 persen, pekerjaan buruh 11 persen dan penduduk dengan pekerjaan buruh galian C atau pasir 1 persen. Selanjutnya penduduk yang bekerja pada sektor usaha wisata sebagai

Tabel 4. Mata Pencarian Penduduk Sebelum dan Sesudah Adanya Pengembangan Pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa

No

Mata Pencarian Penduduk

Sebelum Pengembangan Pariwisata (%)

Sesudah Pengembangan Pariwisata (%)

Tulamben Candidasa

Tulamben Candidasa

1.

Tidak bekerja pada sektor usaha pariwisata

93.3

90.0

63.3

50.0

2.

Bekerja pada sektor usaha wisata, namun hanya samp-ingan

6.7

6.7

30.0

33.3

3.

Bekerja pada sektor usaha wisata sebagai pekerjaan pokok

0.0

3.3

6.7

16.7

Jumlah

100

100

100

100

Sumber: Hasil Analisis, 2015

pekerjaan pokok yaitu 22 persen yang pada umumnya kebanyakan berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 19 persen dan sisanya adalah laki-laki. Sesudah pengembangan pariwisata penduduk lokal yang tidak bekerja pada sektor usaha wisata menjadi 29 persen dengan jenis pekerjaan yang ditekuni saat ini pada umumnya status pekerjaannya memiliki dua jenis pekerjaan, pekerjaan tersebut tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat lokal yang tidak terlibat dengan kegiatan wisata. Adapun komposisi jumlah pekerjaan penduduk yang tidak bekerja pada sektor wisata yakni penduduk dengan pekerjaan nelayan 7 persen, kemudian penduduk dengan buruh bangunan 11persen, petani 2 persen dan penduduk dengan jenis pekerjaan lainnya. Pengembangan pariwisata khususnya diving dan snorkling menyebabkan munculnya pergeseran mata pencarian bagi masyarakat lokal khususnya masyarakat dari nelayan menjadi usaha pariwisata seperti pedagang, pemandu wisata, pengantar tamu diving, dan pembawa alat atau tabung para penyelam. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 5 mengenai persentase perpindahan mata pencarian penduduk berikut ini.

Tabel 5. Persentase Perpindahan Mata Pencarian Penduduk Sebelum dan Sesudah Pengembangan

Sebelum                         Sesudah

Mata Pencarian

Mata Jumlah

Pencarian (%)




Jumlah


(%)


Nelayan 461

Petani 181

Pedagang 22

Buruh

galian C12

Buruh2

bangunan

Jumlah (%) 100   11


32             7           646

6                      10    118

2222

10        1                   112

112

71   1   1     7     108 100

Sumber: Hasil analisis, 2015

Dampak pariwisata terhadap perubahan mata pencaharian atau pekerjaan masyarakat didorong adanya kesempatan berusaha untuk lepas dari keterbelakangan ekonomi. Ini artinya secara psikologis, masyarakat dengan kemampuannya ingin lebih kaya, walaupun faktor lain terbatas. Itu berarti dengan adanya perkembangan pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa memberikan dampak pada perekonomian masyarakat lokal di wilayah tersebut.

  • 2.    Pengaruh Perubahan Mata Pencaharian terhadap Karakteristik Sosial Mayarakat Pesisir

Perkembangan pariwisata di Kawasan Candidasa dan Tulamben, secara langsung berpengaruh pada perubahan mata pencaharian masyarakat. Perubahan mata pencaharian masyarakat di wilayah penelitian menunjukkan dominasi terbesar pada perempuan yang mengalami pergeseran mata pencaharian sedangkan laki-laki kondisi sebelum dan sesudahnya masih tetap sama, hanya saja ada penambahan atau perubahan yang sifatnya eksidental yaitu dari nelayan menjadi pengantar tamu pada siang hari.

Tabel 6. Persentase Perpindahan Mata Pencarian Penduduk Sebelum dan Sesudah Pengembangan

Sebelum                    Sesudah

Mata Pencarian               Mata Pencarian

Laki-laki 24 16  2   2  44  14  5  2   8   3    10    1   1  44

Perempuan 20 4  23  9  56  3  2  11  5  16   0   15  4  56

Jumlah (%) 44 20 25  11 100 17  7  13  13  19   10   16  5  100

Sumber: hasil analisis, 2015.

Tabel 6 menunjukkan responden perempuan mendominasi sebesar 56 persen, pergeseran sebelumnya mereka sebagai petani dan nelayan, saat ini sudah berprofesi di jasa pariwisata dengan komposisi sebagai di porter (19 persen) dan jasa hotel (16 persen). Selanjutnya masyarakat nelayan dan buruh bangunan mengalami pergeseran mata pencaharian menjadi nelayan dengan tambahan profesi sebagai pengantar tamu yang akan melakukan diving, walaupun dengan sistem antrean. Untuk kegiatan lainnya petani laki-laki mengalami pergeseran menjadi nelayan yang mengangkut tamu diving dan buruh bangunan di hotel dan tempat-tempat usaha lainnya. Di Tulamben terdapat kelompok porter dan massage untuk tabung diving, yang terdiri dari para ibu-ibu kelompok nelayan, sedangkan di Candidasa bergeser pada mata pencaharian sebagai pedagang atau karyawan hotel.

Tingkat pendidikan masyarakat di wilayah penelitian pada umumnya didominasi oleh penduduk dengan

tidak tamat SD, tamatan SD dan SMP/sederajat dan sisanya adalah lulusan SMA. Nampak perubahan mata pencarian penduduk yang terbesar adalah penduduk dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat mencapai 65%, kemudian penduduk dengan pendidikan SMA atau sederajat 25% dan tamat SD hanya 10%. Kondisi ini dominan ditunjukkan di wilayah Tulamben bahwa masyarakat hanya untuk melajutkan sekolah pada jenjang SMA, sehingga banyak yang putus sekolah, dan memilih untuk membantu orang tua. Pilihan ini mengakibatkan masyarakat memilih untuk mencari pekerjaan di wilayah terdekat dengan bidang yang sesuai seperti cleaning service atau porter.

Pada golongan umur penduduk yang mengalami pergeseran pekerjaan di Kawasan Tulamben dan Candidasa, adalah pada golongan produktif yaitu 3040 tahun. Kondisi ini menunjukkan adanya masyarakat dengan usia yang produktif dan adanya kebutuhan yang besar di rumah tangga, memaksa mereka untuk berusaha keras keluar dari garis kemiskinan. Usaha ini terlihat dari kegigihan masyarakat untuk mencari pekerjaan dalam berbagai sektor jasa pariwisata, walaupun dengan berbagai keterbatasan.

Hasil temuan ini mendukung penilitian Ashley et al (2001; Ashley and Goodwin, 2007; Leon, 2007) pariwisata adalah strategi untuk mengurangi kemiskinan. Peran pariwisata lebih meningkat ketika dikembangkan dalam skala yang kecil dengan peningkatan partisipasi masyarakat. Sementara Speneley dan Seif (2003) menyatakan terdapat hubungan langsung keuntungan ekonomi dan non ekonomi bagi masyarakat miskin dalam penerapan pro poor tourism, dan semakin terbukanya mata pencaharian masyarakat miskin di pedesaan. Tulamben dan Candidasa telah membuktikan dengan aktivitas wisata yang skala kecil, sektor informal dapat tumbuh, dan partisipasi masyarakat meningkat. Ramadani (2012) menyatakan pro poor tourism bermanfaat dalam pengentasan kemiskinan melalui penciptaan kesempatan kerja baru, tingkat kehidupan ekonomi masyarakat miskin menjadi lebih baik, peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat.

Implikasi dari temuan ini adalah pola pengembangan pariwisata yang selama ini lebih diarahkan pada pembangunan dengan investasi besar kurang memberikan dampak pada pengurangan kemiskinan di daerah tersebut (Leon, 2007; Gibson, 2009). Justru dengan kondisi tersebut secara kualitatif terjadi kesenjangan semakin tinggi bagi masyarakat yang miskin dan yang kaya seperti Nusa Dua (Madiun, 2010). Pola pengembangan yang lebih mendekatkan peran dan partisipasi masyarakat khususnya pro poor tourism diarahkan pada pola pemberdayaan mata pencaharian masyarakat. Heterogenitas mata pencaharian masyarakat dari pariwisata berkontribusi pada peningkatan pendapatan (Harrison, 2008; Patera, 2015). Pengembangan pariwisata skala kecil pada

destinasi yang kecil sangat penting dilakukan untuk memberikan keberlanjutan budaya masyarakat lokal (Scheyvens and Monsen).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kawasan Tulamben dan Candidasa diakibatkan oleh faktor alam yang tandus, tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya infrastruktur, dan sikap mental dan budaya yang dimiliki. Perkembangan pariwisata telah memberikan pengaruh pada perubahan mata pencaharian masyarakat yang mengarah pada tipologi yang heterogen. Berdasarkan hal tersebut dapat dikelompokkan tipologi kemiskinan yang terbentuk yaitu masyarakat dengan matapencaharian tetap dari sebelum berkembang pariwisata, masyarakat memiliki mata pencaharian sampingan yaitu pariwisata selain mata pencaharian utama, dan masyarakat dengan mata pencaharian dari sektor pariwisata sebagai mata pencaharian utama.

Kecilnya perubahan mata pencaharian masyarakat Tulamben dan Candidasa dalam usaha mengambil peluang sektor pariwisata disebabkan adanya hambatan internal dan ekternal dalam berpartisipasi. Hambatan partisipasi mayarakat dapat dikelompokkan kedalam tiga bagian, yaitu hambatan operasional, hambatan struktural dan, hambatan budaya/cultural. Lambatnya masyarakat dalam berpartisipasi dalam pariwisata karena sikap mental masyarakat yang kurang termotivasi untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, sehingga motivasi untuk bekerja produktif masih rendah.

Terdapat kecenderungan positif perkembangan pariwisata terhadap perubahan ekonomi masyarakat khususnya mata pencaharian. Perkembangan masyarakat yang lebih dulu maju telah memberikan peran dalam mempengaruhi mental masyarakat lain untuk merubah motivasi kerja yang lebih baik. Pemanfatan keterampilan sebagai nelayan diimbangi dengan peluang meningkatnya jumlah wisatawan untuk diving dapat dimanfatkan untuk menjadi peluang sampingan utuk menambah penghasilan. Masyarakat sebagai nelayan juga berperan sebagai pengantar tamu pada saat diving atau snorkling. Pro poor tourism pada aktivitas wisata dalam skala kecil lebih berkontribusi pada perubahan mata pencaharian masyarakat.

Saran

Berdasarkan pada berbagai temuan di atas maka dapat diuraikan beberapa saran yaitu :

  • 1.    Meningkatkan kapasitas rumah tangga miskin, dengan mendorong rumah tangga miskin agar menyekolahkan anaknya, bukan malah memanfaatkannya untuk bekerja guna menambah penghasilan.

  • 2.    Meningkatkan kesadaram masyarakat untuk merubah pola kerja dengan memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan yang lebih produktif guna meningkatkan penghasilan keluarga.

  • 3.    Pengembangan pariwisata dalam skala kecil lebih memberikan peran partisipasi masyarakat lebih besar dibandingkan dengan pola pengembangan pariwisata skala besar, pro poor tourism lebih tepat diterapkan pada usaha-usaha pemberdayaan masyarakat di daerah pesisir dengan peningkatan mata pencaharian masyarakat.

  • 4.    Terbatasnya wilayah dan sampel penelitian membawa konsekuensi pada generalisasi hasil penelitian menjadi terbatas, sehingga diperlukan perluasan wilayah penelitian yang komprehensip.

DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 2006. Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan. Makalah dalam Seminar Pariwisata.

Ashley, C., and Roe, D. 2002. Making Tourism Work for the Poor: Strategies and Challenges in Southern Africa. Development Southerm Africa Vol. 19. No.1. pg 61-82. Carfax Publishing, Taylor and Francis Group. Caroline Ashley. 2002. Methodology for Pro-Poor Tourism Case Studies. Working Paper. Overseas Development Institute.

Ashley, C., and Haysom, G. 2006. “From philanthropy to a different way of doing business: strategies and challenges in integrating pro poor approaches into tourism business”. Internasional Journal of Development Southerm Africa Vol. 23 No.22. pg 265-280. Rotledge, Taylor and Francis Group.

Ashley. C., and Goodwin. H. 2007. Pro poor tourism’: What,S Gone Right And What’s Gone Wrong?” Opinion Papers. Overseas Development Institute.

Awirya, Agni Alam. 2009. “Peningkatan Ekonomi Bali Melalui Pengembangan Pariwisata”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol. XVII (1), 2009. ISSN 0854-526X.

Baskoro. Bra. 2010. Wisata Kota Jalan Jaksa Sebuah Kajian Sosiologi

Pariwisata. Jakarta: Koekoesan.

Bali Post. 2008. Potret Kemiskinan di Sudut Kawasan Lovina. Di akses http://www.balipost.com/ balipostcetak/2008/1/21.

BPS Provinsi Bali. 2010. “Tingkat Kemiskinan Bali, Maret 2010”. Berita Resmi

Statistik Provinsi Bali No. 29/07/51/Th IV, 1 Juli 2010.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2013. Karangasem Dalam Angka 2013.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2014. Karangasem Dalam Angka 2014.

Braman, S and Amazonia, F A. 2001. “Practical Strategies for Pro Poor Tourism Tropic Ecological Adventures-Ecuador”. Pro Poor Tourism Working Paper No.6, London Overseas Development Institute.

Damanik, J., Kusworo, H. A., dan Raharja, D.T,. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata. Jakarta: Pusat Studi Pariwisata UGM dan Kementrian Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

  • D. Hall and Brown. 2006. Tourism and Welfare: Ethics, Responsibility and Sustained Well-being. pp.106-131.

Gibson, C. 2009. Geographies of Tourism: Critical Research on Capitalsm and Local Livelihoods. Progress in Human Geography 33 (4) 2009 pp 527-534.

Gossling, Stefan, et all. 2004. “Tourism and Street Children in Antananarivo,

Madagascar”. Journal Tourism and Hospitality Research. London: Aug 2004. Vol.5. Iss. 2;pg 131, 19 pgs.

Guo, Lan. 2008. Pro poor Tourism in China:thP reliminary Investigation. A Paper prepared for The 19 CEA (UK) Annual Conference China’s Three Decades of Economic Reform (1978-2008). Cambrigde, UK. April 2008.

Harun, Rochajat. 2008. Pariwisata dan Pengurangan Kemiskinan. Dalam Kabar Indonesia diakses pada 25-Des-2008, 12:27:46 WIB.

Harrison, D. 2008. “Pro poor Tourism: a Critique. Third World Quartery. Vol.29, No.5, 2008. Routledge Taylor and Francis Group.

Hermantoro, Henky. Dkk. 2010. Pariwisata Mengikis Kemiskinan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan.

Hill, T., Nel, E and Trotter, D. 2006. “Small-scale, Naturebased tourism as a pro-poor development intervention: Two examples in Kwazulu-Natal, South Africa”. Singapore Journal of Tropical Geography 27. (2006).pg 163-175. The Authors.

Jamieson W, Goodwin H and Edmunds C. 2004. Contribution Of Tourism To Poverty Alleviation Pro-Poor Tourism And The Challenge Of Measuring Impacts. Transport Policy and Tourism Section, Transport and Tourism Division UN ESCAP

Leon, Y. M. 2007. “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods in the Dominican Republic’ Costal Areas”. Journal of Development Studies. Vol.43. No.2, 340-359, ISSN 00220388. February 2007. New York. Rotledge, Taylor and Francis.

Mitchhell, Ross.E. 2003. “Community-based tourism: Moving from Rhetoric to Practice” e-Review of Tourism Research (eRTR), Vol 1.No.1 2003. Mitchell, J & Faal, J. 2007. “Holiday Package Tourism And The Poor In the Gambia”. Development Southern Africa Vol. 24, No.3 Sept.2007. ISSN 0376-835X. New York. Rotledge, Taylor and Francis.

Mograbi, J and Rogerson, C. M. 2007. “Maximising the Lokal Pro-Poor Impacts of Dive Tourism: Sodwana Bay, South Africa”. Urban Forum (2007) 18:85-104. Publised online 26 July 2007. Springer Science + Business Media B.V.

Muhanna, Emaad. 2007. “Tourism Development Strategies and Poverty Elimination. Problem and Perspectives in Managenent”. Sumy: 2007. Vol 5, Iss.1; pg. 37.14 pgs

Nadjib, M. 2009. “Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Nelayan Melalui Model Kerjasama Pengelolaan Wilayah Laut”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol. XVII (1), 2009. pg 14-27. ISSN 0854-526X.

Nawawi, Ismail. 2009. Pembangunan dan Problema Masyarakat. Surabaya: Putra Media Nusantara.

Nevin, Tom. 2007. “What is Pro Poor Tourism?” African Business; Nov 2007; 336; ABI/INFORM Global pg 50.

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepusakaan Populer Gramedia.

Pitana, I Gde. 2010. “Kemiskinan di Bali Bukan Imbas Pariwisata”. Bussiness News. http://bataviase.co.id/ node/408963. diakses 06 Oktober 2010. Poultney, C. and Spenceley, A. 2001. “Practical Strategies for pro poor tourism, wilderness safaris South Africa: Rocktail Bay and Ndumu Lodge”. Pro Poor Tourism Working Paper No 7, April. For The Centre for Responsible Tourism (CRT), International Institute for Environment (IIED) and Development and Overseas Development and Overseas Development Institute (ODI).

Pujaastawa, Wirawan, Adhika. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Badung: Universitas Udayana. Raharjana, Destha T. 2002. “Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas (Studi awal di Kawasan Konservasi Bromo Tengger Semeru)”. Jurnal Pariwisata STIEPAR YAPARI-AKTRIPA Bandung. Vol 3 No. 2. pg.1-10.

Ramadani, Mutiara. 2012. Perencanaan Pariwisata Pro Masyarakat Miskin di Kampung Baru Jakarta Barat.

Rogerson, M, Cristian. 2006. “Pro-poor Lokal Economic Development in South Africa: The Role of Pro-Poor Tourism”. Journal of Lokal Environment. Vol.11, No 1, 37-60. Routledge Taylor and Francis Group.

Saptono, Iqbali. 2010. Gelandangan-Pengemis (Gepeng) di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Makalah diakses http/google/pro poor/co

Scheyvens, R., & Momsen, J. H. 2008. “Tourism and Poverty Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism Geographies. Vol. 10. No 1, 22-41. Routledge Taylor and Francis Group.

Sen, Amartya. 2000. Development As`Freedon. New York A Division of Random House, Inc.

Selinger, E. 2009. “Ethics and Poverty Tours”. Philosophy & Public Policy Quarterly. Vol.29 No.1/2 (WINTER/ SPRING).

Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina Son-dakh: Perkembangan Pariwisata Indonesia. Jakarta: Ke-saint Blanc- anggota IKAPI.

Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina Sondakh: Masa Depan Pariwisata Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc- anggota IKAPI.

Steven C Dinero. 2004. “The Rumour of Calcuta: Tourism, Charity and the Poverty of Representation”. Journal of Third Word Studies, Spring 2004; 21, 1 Research Library. pg.268.

Suartha, Nyoman. 2013. “Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga, Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keberdayaan Rumah tangga Miskin di Kabupaten Karangasem”. Disertasi. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Suardana, Wayan. 2004. “Strateggi Pengembangan Pesisir Pantai Tulamben Sebagai Kawasan Wisata Alam di Kabupaten Karangasem”. Thesis. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Subagja. 2010. “DPRD Sesalkan Wisata Kemiskinan di Jakarta”. Diakses dari Detik News. Minggu 24 Januari 2010. http//m.detik.com.

Sudipa, Nyoman. 2014. “Kemiskinan Dalam Perkembangan Industri Pariwisata di Kelurahan Ubud”. Disertasi. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Torres, R and Momsen, J. H. 2004. “Challenges and potential for linking tourism and agriculture to achieve pro-poor tourism objectives”. Progress in Development Studies (2004) pp.294-318.

Usman, T.S. 2009. “Pemilu 2009: Isu Kemiskinan dan Kesenjangan Serta Pelemahan Kehidupan Berbangsa-Bernega-ra”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol. XVII (1), 2009. pg 1-13. ISSN 0854-526X.

United Nations World Tourism Organization. 2007. Global Forecast and Profiles of Market Segments Vol.7, 2007

Wrihatnolo, Randy R., dan Dwidjowijoto, R.N. 2007. Manajemen Pemberdayaan Sebuah Pengantar Dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Volume XI No. 2 Desember 2015

87