PIRAMIDA Vol. XI No. 2 : 59 - 67

ISSN : 1907-3275

MOBILITAS NON PERMANEN MENJADI PILIHAN SEBAGIAN PEKERJA DALAM MENGHADAPI HIMPITAN EKONOMI DI WILAYAH DENPASAR, BADUNG, GIANYAR DAN TABANAN PROVINSI BALI 2014

I Wayan Putrawan dan Nindya Purnama Sari

BPS Provinsi Bali

[email protected][email protected]

ABSTRAK

Sebagai pusat perekonomian, bisnis dan pemerintahan di Provinsi Bali ; Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan dikenal sebagai Sarbagita menjadi pusat perhatian masyarakat, terutama dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Tetapi biaya hidup di daerah tujuan tersebut lebih mahal dari tempat asal mereka. inilah yang menjadi alasan mengapa mereka mengubah pola mobilitas mereka dari mobilitas permanen menjadi mobilitas non-permanen. Dalam 4 tahun terakhir, ada sekitar 14 persen dari karyawan di daerah Sarbagita yang bekerja di luar rumah mereka. Persentase ini menunjukkan bahwa banyak orang mengambil manfaat ekonomi dari mobilitas. Namun demikian situasi ini tidak selalu memberikan keuntungan, karena sarana dan prasarana dibutuhkan untuk menghindari pengurangan dari manfaat ekonomi dari mobilitas. Kita membutuhkan informasi tentang karakteristik orang yang bekerja dengan mobilitas non-permanen di sekitar Sarbagita dan juga informasi tentang kontribusi dan bentuk hubungan antara karakteristik dan keputusan mereka untuk bekerja dengan mobilitas non-permanen. Informasi ini digunakan untuk mengidentifikasi pola dan kebutuhan karyawan itu. Untuk mencari informasi lebih lanjut, digunakan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) data Agustus 2014 difokuskan pada karyawan yang bekerja dengan mobilitas non-permanen di sekitar Sarbagita. Analisis deskriptif digunakan untuk mencari informasi tentang ciri-ciri orang yang bekerja dengan mobilitas non-permanen di sekitar Sarbagita. Hanya 1,89 persen dari mereka menggunakan transportasi umum sebagai moda transportasi sehari-hari. Kami juga menggunakan analisis regresi logistik untuk menemukan kontribusi dan bentuk hubungan antara karakteristik dan keputusan mereka untuk bekerja dengan mobilitas non-permanen. Karyawan laki-laki yang bekerja di area layanan dengan usia yang lebih muda, upah lebih tinggi dan pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk memutuskan bekerja dengan mobilitas non-permanen di sekitar Sarbagita. Kebutuhan ekonomi orang menikah tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk memutuskan bekerja dengan mobilitas non-permanen di sekitar daerah Sarbagita.

Kata kunci: mobilitas, non-permanen, karyawan.

ABSTRACT

As an economic, business and government center in Bali Province, Denpasar, Badung, Gianyar and Tabanan are well known as Sarbagita is the center of people attention, especially in trying to find a job. But the living cost in destination area is more expensive than the place where they live, this is why they change their mobility pattern from permanent mobility to non-permanent mobility. In last 4 years, there is about 14 percent of employee in Sarbagita who work outside their residences. This percentage shown many people take economy benefits of mobility. But this situation is not always give an advantage, because of facilities and infrastructures are required to avoid a reducing in economy benefit of mobility. We need information about characteristics of people who work by nonpermanent mobility around Sarbagita and also information about contribution and relationship form between people characteristics and their decision to work by non-permanent mobility. This information is used to identify the pattern and needs of that employee. To seek further this information, it;s to be used National Labour Force Survey (Sakernas) August 2014 data and focused in employee who work by non-permanent mobility around Sarbagita. Descriptive analysis is used to seek information about characteristics of people who work by non-permanent mobility around Sarbagita. Only 1.89 percent of them use public transportation as their daily transportation. We also use logistic regression analysis to find contribution and relationship form between people characteristics and their decision to work by non-permanent mobility. Male employee who work in service area with a younger age, a higher wage and a higher education tend to decide working by non-permanent mobility around Sarbagita. Economy needs of married people does not give a significant contribution to decide working by non-permanent mobility around Sarbagita.

Keyword: mobility, non-permanent, employee.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Berdasarkan angka proyeksi penduduk yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk tahunan sebesar 1,17 persen, diperkirakan jumlah penduduk Bali pada tahun 2015 mencapai 4.152,8 ribu jiwa. Sayangnya, sekitar 58,47 persen diantaranya terkonsentrasi di empat kabupaten/kota yang berada di Bali bagian selatan atau dikenal dengan sebutan Sarbagita (Denpasar, Bali, Gianyar, Tabanan).

Saat ini Sarbagita telah menyandang status sebagai kota metropolitan (Pusat Komunikasi Publik, Dinas PU Bali: “Sarbagita Metropolitan di Jantung Bali”). Hal ini merupakan akibat dari perkembangan Sarbagita menjadi suatu kesatuan perkotaan, dimana satu kota yaitu Kota Denpasar menjadi sentral perkembangan, dan kota-kota lainnya sebagai wilayah pendukung sekitarnya.

Pada tahun 2015, jumlah penduduk yang tinggal di wilayah Sarbagita diperkirakan sebesar 60 persen lebih yaitu mencapai 2,50 juta jiwa dari sekitar 4,15 juta penduduk Bali. Banyaknya penduduk yang tinggal di Sarbagita ini tidak terlepas dari posisinya sebagai pusat pemerintahan dan bisnis. Gula-gula ekonomi yang ditawarkan pusat pemerintahan Provinsi Bali berakibat pada banyaknya penduduk yang mengadu keberuntungan di wilayah ini. Kabupaten Badung, Gianyar dan Tabanan yang berbatasan langsung dengan Kota Denpasar menjadi daerah-daerah yang menerima tumpahan migran menuju Kota Denpasar.

Biaya hidup di Kota Denpasar secara rata-rata jauh lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Bali. Hal ini terlihat dari besarnya rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan di Kota Denpasar. Berdasarkan hasil pendataan Susenas yang dilakukan oleh BPS, pada tahun 2013 rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan di Kota Denpasar mencapai Rp. 1.474.889,-, tertinggi di Provinsi Bali dan jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Bali yang sebesar Rp. 994.070,-.

Tingginya biaya hidup di daerah tujuan mendorong para penikmat kue ekonomi untuk mengubah pola mobilitas mereka dari mobilitas permanen menjadi mobilitas non permanen. Standar hidup di daerah tempat tinggal yang rendah dan tingkat upah di tempat tujuan yang tinggi mendorong para pekerja untuk memilih melakukan kegiatan ekonomi di wilayah yang berbeda dengan wilayah tempat tinggalnya. Hal ini tidak saja terjadi untuk Kota Denpasar sebagai daerah tujuan, akan tetapi dapat terjadi pada daerah Sarbagita yang lain seperti Kuta (Kabupaten Badung), dimana pegawai/karyawan yang bekerja di Kuta bertempat tinggal di luar Kabupaten Badung. Pada Tabel 1 disajikan jumlah dan persentase pekerja Sarbagita menurut wilayah tempat kerjanya.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Sarbagita yang Bekerja Menurut Wilayah Tempat Kerjanya, Tahun 2011-2014

Tahun

Pekerja yang Bekerja di Kab/Kota Sarbagita luar Kab/Kota Tempat Tinggalnya

Pekerja yang Bekerja di Kab/Kota Sarbagita dalam Kab/Kota Tempat Tinggalnya

Total Penduduk

Sarbagita yang Bekerja

Jumlah

(%)

Jumlah

(%)

Jumlah

(%)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

2011

178.192

14,77

1.027.928

85,23

1.206.120

100,00

2012

186.967

14,82

1.074.523

85,18

1.261.490

100,00

2013

180.101

14,18

1.089.802

85,82

1.269.903

100,00

2014

190.196

14,56

1.115.783

85,44

1.305.979

100,00

Sumber: Sakernas 2011-2014

Pada tahun 2014, dari sekitar 1,3 juta penduduk Sar-bagita yang bekerja 190 ribu (14,56 persen) diantaranya bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita luar kabupaten/kota tempat tinggalnya. Jumlah ini berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja, secara persentase pekerja yang bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita luar tempat tinggalnya sejak tahun 2011 hingga 2014 berada pada kisaran 14-15 persen.

Tingginya persentase penduduk Sarbagita yang memilih untuk bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita lainnya merupakan pengejawantahan manfaat ekonomis dari berpindah. Namun, keadaan ini tidak selamanya dapat memberikan keuntungan. Tingkat mobilitas yang tinggi di Sarbagita membutuhkan daya dukung wilayah, terutama dalam penyediaan sarana transportasi umum. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana transportasi umum dapat menyebabkan kemacetan di wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan menurunkan manfaat ekonomis dari kegiatan ekonominya tersebut.

Segala bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Penduduk merupakan titik sentral pembangunan, sehingga dalam melakukan perencanaan pembangunan, khususnya terkait aktivitas yang dila-kukkan penduduknya, pemerintah perlu memperhatikan karakteristik penduduk yang melakukan aktivitas tersebut. Dalam hal ini, dipandang perlu adanya kajian terkait karakteristik penduduk yang berhubungan dengan keputusannya melakukan kegiatan ekonomi dengan pola mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita.

Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan kajian ini adalah:

  • 1.    Bagaimana karakteristik penduduk yang melakukan mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita?.

  • 2.    Bagaimana kecenderungan karakteristik penduduk Sarbagita yang bekerja terhadap keputusannya untuk melakukan mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita?

Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan

sebelumnya, maka tujuan dari penulisan kajian ini adalah:

  • 1.    Untuk mengetahui karakteristik penduduk yang melakukan mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita.

  • 2.    Untuk mengetahui kecenderungan karakteristik penduduk Sarbagita untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan pola mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita.

Manfaat

Melalui kajian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi terkait karakteristik penduduk yang melakukan mobilitas non permanen di Sarbagita, sekaligus kecenderungan antara karakteristik yang dimiliki dengan keputusannya tersebut. Informasi tersebut diharapkan selain dapat membantu pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan yang diambil selama ini, juga dapat membantu dalam menentukan bentuk kebijakan yang akan diambil kedepannya.

KAJIAN PUSTAKA

Definisi Kota

Definisi kota berdasarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah suatu wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat layanan jasa pemerintahan, layanan sosial dan kegiatan ekonomi. Sementara itu, penentuan wilayah masuk dalam kategori perkotaan atau perdesaan telah dilakukan berdasarkan pada data karakteristik desa yang didapat dari pendataan Potensi Desa (Podes) yang diselenggarakan oleh BPS.

Hubungan yang baik antara kota dan lingkungan sekitarnya terjadi apabila kota tersebut bersifat generatif. Kota dikatakan sebagai kota generatif apabila kota tersebut menjalankan berbagai macam fungsi sehingga saling menguntungkan dan mengembangkan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk wilayah sekitarnya (Tarigan, 2005). Kota yang demikian mendorong berkembangnya wilayah sekitar, sehingga muncul istilah kota satelit. Kota satelit merupakan kota yang berada di sekitar kota besar dan masih sangat tergantung pada kota serta menjadi daya dukung bagi kehidupan kota.

Lebih lanjut UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang mendefinisi kota metropolitan sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Salah satu ciri kota metropolitan adalah kemudahan mobilitas penduduk. Menurut Angoti (1993) terdapat 3 bentuk mobilitas, yaitu mobilitas pekerjaan (employment mobility), mobilitas

perumahan (residential mobility), dan mobilitas perjalanan (trip mobility).

Mobilitas Penduduk

Kata mobilitas berasal dari Bahasa Inggris, mobile yang memiliki arti gerakan berpindah-pindah. Mantra (2000) menyatakan bahwa mobilitas penduduk sendiri terbagi menjadi dua, yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horisontal. Mobilitas vertikal merupakan gerakan perpindahan penduduk terkait dengan perubahan status sosial, sedangkan mobilitas horisontal terkait dengan lokasi geografisnya.

Jika dirinci lebih mendalam, terdapat tiga bentuk mobilitas horisontal yang dikenal secara umum, yaitu perubahan tempat yang bersifat rutin (recurrent movement), perubahan tempat tinggal yang bersifat sementara, dan perubahan tempat tinggal dengan tujuan menetap dan tidak kembali ke tempat semula (non-recurrent movement). Lebih lanjut, dilihat dari tujuan dan lama tinggalnya, mobilitas horisontal terbagi menjadi dua, yaitu mobilitas permanen dan mobilitas non permanen. Selanjutnya, mobilitas permanen inilah yang sering dikenal dengan istilah migrasi.

Migrasi merupakan bagian (subset) dari mobilitas penduduk. Raverstein (1985) dalam tujuh teori migrasinya (The Laws of Migration) mengatakan bahwa motif ekonomi merupakan dorongan utama orang melakukan migrasi. Adanya faktor pendorong dari daerah asal, seperti terbatasnya pasar tenaga kerja dan faktor penarik dari daerah tujuan, seperti adanya kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik berakibat pada keputusan untuk melakukan migrasi.

Mobilitas penduduk non permanen, khususnya mobilitas tenaga kerja, dibedakan menjadi dua, yaitu mobilitas sirkuler dan mobilitas ulang alik. Mobilitas sirkuler adalah perpindahan penduduk dengan batasan waktu lebih pendek dari migrasi yang sifatnya sementara hanya untuk mencari nafkah tanpa berniat untuk menetap di tempat kerja (Jellinek, 1986). Sedangkan mobilitas ulang alik menurut Mantra (1989) adalah perpindahan penduduk dalam jangka waktu yang lebih pendek, misalnya berangkat dan pulang dalam satu hari dan dilakukan secara terus menerus.

Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi mobilitas pada masyarakat modern terbagi menjadi dua, yaitu faktor struktural dan individu (Horton dan Hunt, 1987). Faktor struktural adalah jumlah kedudukan yang dapat dan harus diisi, serta kemudahan untuk memperolehnya, sedangkan faktor individual adalah faktor yang berasal dari masing-masing individu.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pola mobilitas menurut para ahli antara lain:

  • 1.    Ravenstein (1885) dalam publikasi analisis mobilitas tenaga kerja BPS mengatakan faktor yang dominan mempengaruhi keputusan

seseorang untuk melakukan mobilitas (migrasi) adalah sulitnya memperoleh pendapatan di daerah asal dan adanya kemungkinan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa faktor pendapatan, umur dan status menikah, serta tingkat pendidikan berpengaruh pada keputusan untuk melakukan mobilitas. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin tinggi frekuensi mobilitas orang tersebut. Begitupula dalam pendidikan, penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi pada umumnya mobilitasnya lebih tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah. Penduduk yang masih muda dan tidak menikah lebih mobile dibandingkan mereka yang berstatus menikah.

  • 2.    Sahara (2010) mengatakan berdasarkan tingkat pendidikan, mobilitas mereka yang berpendidikan SMA ke atas jauh lebih tinggi dibandingkan mobilitas mereka yang tingkat pendidikannya kurang dari SMA. Dijelaskan lebih lanjut bahwa, jika dilihat dari kelompok umur, mobilitas lebih banyak dilakukan oleh mereka yang berada pada kelompok umur 30-55 tahun.

  • 3.    BPS (2011) dalam publikasi analisis mobilitas tenaga kerja BPS mengatakan upah yang diterima perempuan relatif lebih rendah daripada laki-laki. Hal tersebut mengakibatkan perempuan akan meminimalkan biaya transportasi dari dan ke tempat tujuan, sehingga pola mobilitas perempuan lebih rendah jika dibandingkan pola mobilitas laki-laki.

  • 4.    Speare (1975) mengatakan bahwa migrasi tenaga kerja dipengaruhi oleh faktor struktural. Daerah yang lahan pertaniannya kurang baik cenderung akan ditinggalkan penduduknya menuju daerah yang lebih subur atau memiliki banyak peluang ekonomi, khususnya sektor non pertanian.

METODE PENELITIAN

Jenis Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Provinsi Bali yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2014. Sakernas Agustus 2014 di Provinsi Bali dilakukan di seluruh kabupaten/kota dengan jumlah sampel rumah tangga sebanyak 3.676 rumah tangga, dimana 2.118 rumah tangga sampel berada di perkotaan dan 1.558 rumah tangga sampel lainnya berada di perdesaan. Dari 3.676 rumah tangga sampel Sakernas Agustus 2014, dapat dilakukan estimasi data hingga level kabupaten/ kota. Selain mengumpulkan data terkait karakteristik seluruh anggota rumah tangga, pada Sakernas Agustus 2014 dikumpulkan pula data terkait status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, pengangguran dan pengalaman kerja dari mereka yang berusia 10 tahun ke atas.

Metode Penentuan Sampel

Metode sampling yang digunakan dalam Sakernas adalah penarikan sampel tiga tahap berstrata. Penarikan sampel tahap pertama adalah memilih sejumlah wilcah (wilayah pencacahan) dari sejumlah wilcah pada setiap strata (strata : perkotaan atau perdesaan) secara pps (Probability Proportional to Size) dengan size banyaknya rumah tangga SP2010 (Mi). Tahap kedua, dilakukan pemilihan blok sensus pada setiap wilcah terpilih secara pps, dan tahap ketiga adalah pemilihan sepuluh rumah tangga pada setiap blok sensus terpilih secara sistematik.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam Sakernas menggunakan teknik wawancara langsung dengan responden dalam rumah tangga sampel. Pada kajian ini terfokuskan pada para pekerja yang tinggal di Kabupaten/Kota Sarbagita, namun bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita luar tempat tinggalnya. Analisis dalam penulisan kajian ini dibatasi pada mereka yang bekerja dengan status pekerjaan utamanya sebagai karyawan/buruh/pegawai atau pekerja bebas baik di pertanian maupun non pertanian, dengan maksud agar dapat diperbandingkan dengan upah minimum yang diperoleh. Pekerja yang diulas pada kajian ini adalah perluasan dari pekerja komuter yaitu pekerja yang melakukan mobilitas pulang pergi dari tempat tinggal ke tempat kerja dalam satu hari. Jadi selain pekerja komuter, dalam kajian ini juga mencakup mereka yang berstatus sebagai kepala keluarga dengan mobilitas pulang pergi dari tempat tinggal ke tempat kerjanya lebih dari satu hari.

Menurut konsep dan definisi yang digunakan BPS, batasan penduduk usia kerja adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas. Selanjutnya penduduk yang bekerja adalah mereka yang dalam kurun waktu seminggu yang lalu melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam berturut-turut, termasuk mereka yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak aktif bekerja. Oleh karena itu batasan konsep dan definisi pekerja dengan mobilitas non permanen dalam kajian ini mengacu pada konsep dan definisi yang diterapkan BPS.

Teknik Analisis

Analisis dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data yaitu paket program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 13.0. Terdapat dua jenis teknik analisis yang digunakan dalam penulisan kajian ini, yaitu analisis deskriptif, dan analisis regresi logistik.

  • 1.    Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis paling sederhana namun memiliki kemampuan menerangkan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar

variabelnya (Singarimbun, 1989). Pada kajian ini, analisis deskriptif dilakukan melalui tabulasi silang, sehingga terdapat gambaran hubungan antar variabel.

  • 2.    Analisis Regresi Logistik

Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis data kategorik atau peubah respon (Y) berskala biner dengan peubah-peubah penjelasnya (X) berskala kontinu dan atau kategorik. Pada penulisan kajian ini, analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui bentuk hubungan dan kecenderungan karakteristik penduduk Sarbagita yang bekerja dengan pola mobilitas non permanen di wilayah Sarbagita. Model regresi logistik yang digunakan, dengan sebanyak p buah peubah penjelas adalah:

K = β0 + βlxli + βzx2i + ∙ ■' + βpxpi

dengan

  • = banyaknya faktor penjelas

Probabilitas dari sebaran ini adalah: e β0zx1z xz+-+ βpxp π^ = 7^^^a*Σ+¾*Z+ς^λ^

dengan variable respon berskala biner mengikuti sebaran Binomial, maka:

P(y = Lx>(F = lx) = τr(x)= τr(x) ,

, dan

P(Y = 0x)P(y = 0x) = 1 - π(x)

yang tinggal di kawasan Sarbagita, 446 diantaranya adalah pekerja yang melakukan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita. Kajian ini menggunakan satu variabel respon biner dan enam variabel penjelas yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Variabel dan Kategori Variabel

No. Variabel (Peubah)

Kategori

Keterangan

0 : Pekerja Bukan Mobilitas Non

1

Pekerja di Kab/ Kota Sarbagita

Permanen

1 : Pekerja Mobilitas Non Permanen

Variabel Respon

2

Upah/Gaji

0 : < UMP

1 : >= UMP

Variabel Penjelas

3

Umur

>= 15 tahun (kontinu)

Variabel Penjelas

4

Jenis Kelamin

0 : Perempuan

1 : Laki-laki

Variabel Penjelas

5

Pendidikan

0 : <= SMP

1 : SMA ke atas

Variabel Penjelas

6

Status Kawin

0 : Belum/Tidak Menikah

1 : Menikah

Variabel Penjelas

7

Lapangan Usaha

0 : Non Jasa

1 : Jasa

Variabel Penjelas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Deskriptif

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di Sarbagita, jumlah penduduk usia kerja atau usia 15 tahun ke atas juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini diikuti dengan peningkatan jumlah angkatan kerja. Namun peningkatan jumlah angkatan kerja (mereka yang aktif secara ekonomi) tidak serta merta sejalan dengan peningkatan total penduduk usia kerja. Hal ini berakibat pada perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Angka TPAK merupakan persentase penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Pada tahun 2011, TPAK Sarbagita mencapai 72,85 persen dan meningkat menjadi 74,11 persen di tahun 2012. Namun pada tahun 2013 TPAK Sarbagita mengalami penurunan menjadi 72,73 persen. Pada tahun 2014 TPAK Sarbagita kembali mengalami kenaikan meskipun tidak mampu melampaui pencapaian di tahun 2012, yaitu sebesar 73,16 persen.

Pada periode 2011 hingga 2014, jumlah penduduk Bali yang bekerja terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah angkatan kerja. Sebaliknya, jumlah pengangguran di Bali terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Akibatnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bali menurun dari tahun ke tahun. Angka TPT merupakan persentase jumlah penduduk yang termasuk dalam pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. Angka TPT sebesar 3,10 persen pada Agustus tahun 2011 dan menurun secara berturut-turut sebesar 2,09 persen, 1,75 persen, dan 1,68 persen pada Agustus 2012, 2013, dan 2014.

Tabel 3. Indikator Tenaga Kerja Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas, Sarbagita Tahun 2011-2014

Indikator

2011

2012

2013

2014

Penduduk Usia Kerja

1.731.356

1.761.424

1.790.412

1.823.622

Angkatan Kerja

1.261.225

1.305.473

1.302.084

1.334.253

Bekerja

1.222.169

1.278.203

1.279.309

1.311.841

Penganggur

39.056

27.270

22.775

22.412

Bukan Angkatan Kerja

470.131

455.951

488.328

489.369

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ( %)

72,85

74,11

72,73

73,16

Tingkat Pengangguran

Terbuka (%)

3,10

2,09

1,75

1,68

Persentase Pekerja Mobilitas Non Permanen di Sarbagita

14,77

14,82

14,18

14,56

Sumber: Sakernas 2011-2014

Hal yang menarik dari data ketenagakerjaan di Sarbagita adalah tingginya jumlah pekerja yang melakukan mobilitas non permanen di Sarbagita, yaitu berkisar antara 14 hingga 15 persen dari tahun 2011 hingga 2014. Pola perjalanan dari tempat tinggal menuju tempat kerja menentukan perkembangan dari suatu wilayah. Bentuk dari perjalanan ini adalah perjalanan

yang sifatnya rutin dan dilakukan secara berulang-ulang dalam periode tertentu. Tentunya diperlukan fasilitas pendukung wilayah penghubung antara lokasi tempat tinggal dengan lokasi tempat kerja. Semakin tinggi tingkat mobilitas non permanen para pekerja Sarbagita maka semakin berkualitas fasilitas pendukung wilayah penghubung di Sarbagita.

Sumber: Sakernas 2014

Gambar 1. Pola Lokasi Tujuan Mobilitas Non Permanen Pekerja Antar Kabupaten/Kota di Sarbagita Tahun 2014

Pola lokasi tujuan mobilitas non permanen pekerja Sarbagita yang bekerja di Kab/Kota Sarbagita luar tempat tinggalnya pada tahun 2014 menggambarkan terjadi konsentrasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung (Gambar 1). Tingginya peluang kerja di kedua wilayah ini mengakibatkan banyaknya pekerja Sarbagita yang memilih bekerja di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Namun, tingginya biaya hidup membatasi mobilitas mereka dari permanen menjadi non permanen. Selain itu, dukungan melalui ketersediaan sarana dan prasarana daerah sekitar turut mendorong pola mobilitas para pekerja ini.

Bila ditelaah berdasarkan jarak tempuh, sebagian besar pekerja yang melakukan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita menempuh jarak antara 10 hingga 29 km. Lokasi kabupaten/kota di Sarbagita yang saling berbatasan satu dengan yang lain dan tersedianya fasilitas jalan yang menghubungkan antar Kabupaten/Kota Sarbagita mengakibatkan hanya 12,69 persen pekerja saja yang harus menempuh jarak lebih dari 30 km dari lokasi tempat tinggal ke lokasi kerjanya. Bahkan Kota Denpasar sebagai sentral pemerintahan di Provinsi Bali, 50,66 persen pekerja yang melakukan mobilitas non permanen di Kabupaten Sarbagita lainnya hanya menempuh jarak tidak lebih dari 10 km. Tingginya

persentase pekerja dari Kabupaten Tabanan (31,53 %) dan Gianyar (25,09 %) yang harus menempuh jarak lebih dari 30 km diakibatkan lokasinya yang relatif lebih jauh untuk mencapai Kabupaten/Kota Sarbagita lainnya dibandingkan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Hal ini kemungkinan sebagai penyebab rendahnya pekerja Kabupaten/Kota Sarbagita lain yang bekerja dari kedua kabupaten/kota tersebut. Perbandingan persentase pekerja yang bekerja di kabupaten/kota lain di Sarbagita menurut jarak tempuh dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Sakernas 2014

Gambar 2. Persentase Pekerja yang Melakukan Mobilitas Non Permanen Antar Kabupaten/Kota di Sarbagita Menurut Jarak Tempuh, Tahun 2014

Jauh dekatnya jarak tempuh yang harus dilalui para pekerja akan berakibat pada waktu tempuhnya. Semakin dekat jarak tempuh maka semakin pendek waktu tempunya, dan sebaliknya. Sebanyak 49,19 persen pekerja Sarbagita yang melakukan mobilitas non permanen memerlukan waktu antara 31 hingga 60 menit untuk perjalanan sekali jalan dari tempat tinggal menuju lokasi kerjanya. Hanya 5,22 persen pekerja yang memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sejalan dengan tingginya persentase pekerja yang menempuh jarak lebih dari 30 km di Kabupaten Tabanan dan Gianyar, di kedua kabupaten ini persentase pekerja yang memerlukan waktu tempuh dari tempat tinggal ke tempat kerja lebih dari satu jam juga cukup tinggi. Persentase pekerja dengan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita yang memerlukan waktu tempuh lebih satu jam di Kabupaten Tabanan adalah sebesar 16,24 persen, sedangkan Kabupaten Gianyar sebesar 10,03 persen. Gambar 3 menunjukkan perbandingan waktu tempuh pekerja mobilitas non permanen di Sarbagita.

Tingginya tingkat mobilitas pekerja ternyata tidak didukung dengan penyediaan transportasi umum. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya penggunaan transportasi umum bagi mereka yang bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita di luar tempat tinggalnya. Hanya 1,93 persen pekerja yang menggunakan fasilitas transportasi umum sebagai moda transportasi dari

Sumber: Sakernas 2014

Gambar 3. Persentase Pekerja yang Melakukan Mobilitas Non Permanen Antar Kabupaten/Kota di Sarbagita Menurut Waktu Tempuh, Tahun 2014.

tempat tinggal ke tempat kerja. Hampir seluruh (95,71 %) pekerja memilih menggunakan transportasi pribadi dibandingkan transportasi umum atau bersama (Tabel 4).

Tabel 4. Persentase Pekerja yang Melakukan Mobilitas Non Permanen Antar Kabupaten/Kota di Sarbagita Menurut Moda Transportasi, Tahun 2014

Kab/Kota

Transportasi umum

Transportasi bersama

Transportasi pribadi

Total

Tabanan

2,34

7,69

89,97

100,00

Badung

3,65

1,56

94,79

100,00

Gianyar

1,53

0,00

98,47

100,00

Denpasar

0,75

1,33

97,92

100,00

Sarbagita

1,93

2,36

95,71

100,00

Sumber: Sakernas 2014

Meskipun telah tersedia dukungan dalam bentuk jalan penghubung antar kabupaten/kota di Sarbagita dengan kualitas yang sangat baik, namun jika tidak didukung dengan penyediaan sarana transportasi umum akan memunculkan masalah kedepannya. Rendahnya minat pekerja untuk menggunakan transportasi umum dan memilih menggunakan transportasi pribadi akan meningkatkan volume kendaraan pribadi di jalan raya. Dilain sisi, peningkatan jalan tidak secepat peningkatan jumlah kendaraan pribadi akan mengakibatkan kemacetan, terutama di pusat-pusat ekonomi seperti Sarbagita. Kemacetan akan berakibat pada bertambahnya waktu tempuh yang harus diluangkan oleh para pekerja, yang pada akhirnya justru akan menurunkan manfaat ekonomis dari kegiatan mobilitas non permanen tersebut.

Analisis Regresi Logistik

Pengujian analisis regresi logistik dari data Sakernas 2014 dilakukan dengan menggunakan paket program SPSS versi 13.0. Output hasil pengujian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji simultan diperoleh keputusan bahwa variabel penjelas dikatakan tidak memberikan pengaruh terhadap variabel respon ditolak. Hosmer dan

Lemeshow (2000) mengatakan bahwa nilai koefisien determinasi yang kecil pada regresi logistik merupakan hal yang wajar dan tidak mempengaruhi ketepatan model, sehingga meskipun besaran koefisien determinasi yang diperoleh kecil tidak menjadi penghambat dalam melakukan kajian ini. Sedangkan berdasarkan uji kelayakan model regresi didapatkan hasil bahwa tidak bisa dikatakan terdapat perbedaan antara model dengan nilai observasi secara signifikan, sehingga model dapat dikatakan layak.

Tabel 5. Ringkasan Estimasi Model Regresi Logistik

Variabel

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

CI for EXP (B)

Lower

Upper

Wage

0,595

0,119

24,854

1

0,000

1,812

1,434

2,289

Age

-0,017

0,005

10,271

1

0,001

0,983

0,973

0,993

Sex

0,505

0,118

18,393

1

0,000

1,657

1,315

2,087

Education

0,526

0,151

12,132

1

0,000

1,692

1,259

2,276

FieldJob

0,371

0,142

6,851

1

0,009

1,449

1,098

1,913

Konstanta

-2,101

0,250

70,468

1

0,000

0,122

Lebih lanjut, Output SPSS memberikan gambaran mengenai kelayakan masing-masing variabel penjelas untuk masuk dalam model dan menjelaskan variabel respon (Tabel 5). Kelayakan variabel bebas dijelaskan melalui hasil Wald Test, dengan penjelasan masing-masing variabel yang terakomodasi dalam model sebagai berikut:

  • 1    Besaran upah/gaji yang diperoleh para pekerja menentukan keputusannya untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen dari tempat tinggal ke tempat kerjanya. Hal ini sejalan dengan Tujuh Teori Migrasi Ravenstein yang mengatakan bahwa motif ekonomi merupakan faktor utama penyebab migrasi (dalam hal ini mobilitas). Hubungan antara besaran upah/gaji dengan keputusan pekerja adalah sejalan, dimana semakin tinggi besaran upah gaji maka semakin besar kecenderungan keputusan pekerja untuk melakukan mobilitas non permanen. Upah/gaji pekerja yang bernilai di atas UMP (Rp. 1.542.600,-) akan meningkatkan peluang keputusan pekerja untuk melakukan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita, dengan rasio kecenderungan 1,812 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang memperoleh upah/gaji dibawah UMP.

  • 2    Berbeda dengan upah/gaji, walaupun umur pekerja juga menentukan keputusannya untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita, namun secara rata-rata, pekerja setahun lebih muda mempunyai kecenderungan untuk bekerja antar kabupaten/ kota di Sarbagita dengan pola mobilitas non permanen. Kecenderungan pekerja yang setahun lebih tua untuk bekerja dengan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita

sebesar 0,983 kali dibandingkan pekerja yang berumur satu tahun lebih muda. Semakin muda seseorang, kondisi fisik dan tenaga yang dimiliki pada umumnya lebih baik dibandingkan mereka yang lebih tua. Hal inilah yang menyebabkan pekerja yang lebih muda cenderung lebih siap mengambil resiko untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan pola tersebut.

  • 3    Jenis kelamin pekerja mempengaruhi keputusan pekerja untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita, dengan kecenderungan keputusan pekerja laki-laki lebih besar 1,657 kali dibandingkan pekerja perempuan. Tanggung jawab perempuan dalam kepengurusan rumah tangga kemungkinan turut mempengaruhi rendahnya keputusan pekerja perempuan untuk bekerja di Kabupaten/Kota Sarbagita luar tempat tinggalnya dibandingkan keputusan pekerja laki-laki, selain juga karena upah/gaji yang diterima pekerja perempuan relatif lebih rendah.

4 Semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja, maka semakin besar kecenderungan pekerja tersebut memutuskan untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita. Kecenderungan pekerja yang berpendidikan SMA ke atas untuk melakukan pola kegiatan ekonomi dimaksud adalah 1,692 kali lebih besar dibandingkan pekerja yang hanya menamatkan pendidikan paling tinggi SMP. Pekerja dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan mereka dengan tingkat pendidikan di bawahnya. Daya saing para pekerja inilah yang mendorong keputusan pekerja untuk bekerja di pasar tenaga kerja yang lebih bersaing, yaitu di luar wilayah tempat tinggalnya.

  • 5    Lapangan usaha pekerja mempengaruhi keputusannya untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita, dengan kecenderungan keputusan pekerja yang bekerja di sektor jasa adalah 1,449 kali dibandingkan pekerja yang bekerja di sektor non jasa.

Dari enam variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model, terdapat satu variabel yang dikeluarkan dari model, yaitu variabel status perkawinan. Nilai signifikansi Wald Test untuk variabel status perkawinan yang lebih besar dari α (0,05) berakibat pada dikeluarkannya variabel tersebut dari model. Ternyata, tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka yang telah menikah secara statistik tidak mempengaruhi keputusannya untuk bekerja dengan pola mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita. Secara keseluruhan, model regresi logistik dapat dituliskan dalam bentuk persamaan:

Y = —2,101 + 0,595 H⅛? — 0.017 Age + 0,505 Sex + 0,526 Education + 0.371 Fieldjob

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari penulisan kajian ini adalah sebagai berikut:

  • 1.    Berdasarkan karakteristik wilayah, kawasan Sarbagita tergolong dalam kategori kawasan metropolitan, dengan salah satu cirinya yaitu tingginya tingkat mobilitas penduduk. Mobilitas pekerja sangat berperan dalam tingginya mobilitas penduduk, karena sifatnya yang rutin dan dilakukan secara berulang-ulang dalam periode tertentu. Namun, berdasarkan ulasan sebelumnya hanya 1,89 persen dari pekerja yang melakukan mobilitas non permanen antar kabupaten/kota di Sarbagita yang menggunakan transportasi umum. Tingginya penggunaan kendaraan pribadi justru akan berakibat pada kemacetan. Jika hal ini tidak mendapatkan penanganan lebih lanjut, kedepannya justru akan berakipat pada menurunnya manfaat ekonomis dari pola mobilitas tersebut.

  • 2.    Berbeda dengan pernyataan Ravenstein (1885) yang menyatakan penduduk yang tidak menikah lebih mobile dibandingkan mereka yang berstatus menikah, data Sakernas Agustus 2014 untuk Sarbagita menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan kegiatan mobilitasnya. Kebutuhan ekonomi antara pekerja yang berstatus menikah dan tidak menikah memberikan pengaruh yang tidak berbeda untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan pola mobilitas. Hal ini dapat dimungkinkan oleh jarak antar kabupaten/kota di Sarbagita yang relatif dekat.

Saran

Tingginya mobilitas pekerja non permanen di kawasan Sarbagita memerlukan dukungan dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Kebutuhan tidak hanya berbentuk penyediaan jalan penghubung antar wilayah, namun juga dalam bentuk penyediaan sarana transportasi umum yang layak terjangkau baik biaya maupun tempat tujuan. Bentuk kepedulian Pemerintah Bali dalam penyediaan transportasi umum telah diwujudkan dalam bentuk penyediaan angkutan umum Trans Sarbagita serta angkutan pengumpan (Feeder) dalam satu kesatuan jaringan pelayanan. Namun, penyediaan fasilitas tansportasi umum yang telah digadang-gadang sejak tahun 2011 ini ternyata belum dapat menarik minat para pekerja. Hal ini menjadi tugas rumah bagi Pemerintah

Provinsi Bali dan Sarbagita untuk dapat menurunkan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke fasilitas umum yang telah tersedia dengan mengkaji lebih dalam pemanfaatannya yang lebih efektif dan efisien, terutama dari sisi waktu bagi pengguna.

DAFTAR PUSTAKA

Angotti, T. 1993. Metropolis 2000. London: Routhledge.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Bali Dalam Angka 2014. Bali: BPS Provinsi Bali.

________ 2015. Proyeksi Penduduk Bali 2010-2035. Bali: BPS Provinsi Bali.

________. 2011. Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2010. Jakarta: BPS Republik Indonesia.

________. 2015. Komuter DKI Jakarta Tahun 2014. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi DKI Jakarta No.12/02/31/ Th.XVII, 16 Februari 2015.

________. 2015. Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Bali Agustus 2013. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Bali No. 64/11/51/Th.VII, 6 November 2013.

Burns, Robert. dan Burns, Richard. 2008. Business Research Methods and Statistics Using SPSS. London: SAGE Publications Ltd.

Pusat Komunikasi Publik Dinas PU. 2009. Sarbagita, Metropolitan di Jantung Bali. Diambil dari: http://www. pu.go.id/main/view_pdf/2358. Diakses tanggal: 6 Juli 2015.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sekretariat Negara: Jakarta.

________. 1999. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sekretariat Negara: Jakarta.

Horton, B. Paul dan Hunt, L. Chester. 1987. Sosiologi Jilid I, Jakarta: Erlangga.

Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow, 2000. Applied Logistic Regression. Second Edition. New York: John Willey & Sons.

Jellinek, Lea, 1986, “Sistem Pondok dan Migrasi Sirkuler” dalam Dorodjatun Kuntjoro Jakti (edt), Kemiskinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI). 1981. Dasar-dasar Demografi. Jakarta: LDUI.

Mantra, Ida Bagoes. 1989. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta: PSKK UGM.

________. 2000. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Neter, J., Wasserman, W., dan Kutner, M. 1989. Applied Linear Regression Models. USA: Richard D Irwin Inc.

Tarigan. 2005. Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara.

Singarimbun, Masri. dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES

Todaro, Michael P., dan Smith, Stephen. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Sembilan, Haris Munandar. Jakarta: Erlangga.

Sahara, I. 2010. Pola Waktu Tempuh Pekerja dalam melakukan Mobilitas Ulang-alik di Kota Metropolitan Indonesia Tahun 2008. Tesis. Depok: Program Studi Pasca Sarjana Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Speare, Alden Jr., Goldstein, Sidney., Frey, William H. 1975. Residential Mobility, Migration, and Metropolitan Change. Florida: Ballinger Publishing Company.

Volume XI No. 2 Desember 2015

67