Dinamika Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Kebudayaan Sebagai Proses
on
DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i02.p02
p-ISSN: 2528-4517
Dinamika Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Kebudayaan Sebagai Proses
I Wayan Suwena
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
E-mail: wsuwenas58@yahoo.com
Abstrak
Perkembangan suatu kebudayaan pada hakikatnya bersifat dinamik dan meng-alami perubahan. Dinamika dan perubahan kebudayaan cenderung menunjukkan adanya keteraturan proses dan struktur. Bagaimana dinamika yang terjadi pada masyarakat dan kebudayaan Bali merupakan tujuan penulisan karya tulis ini. Dalam konteks ini, proses perkembangan dan perubahaan kebudayaan Bali mengalami beberapa tahap, antara lain diawali zaman prasejarah dengan tahap zaman batu, zaman logam atau perunggu. Berikutnya, memasuki zaman sejarah dengan melewati tahap-tahap pengaruh dari kebudayaam modern. Fenomena ini menandakan bahwa hampir semua gelombang pengaruh kebudayaan luar pernah mewarnai sejarah kebudayaan Bali. Namun, di antara pengaruh kebudayaan luar itu, kontak dengan agama dan kebudayaan Hindu yang paling besar pengaruhnya. Kebudayaan Bali mulai kontak dengan agama dan kebudayaan Hindu sekitar permulaan tarik Masehi dan berhasil mewujudkan satu bentuk perpaduan yang utuh antara tradisi, agama, peradaban dengan kualitas nilai-nilai religi, estetika dan solidaritas. Jadi, dinamika kebudayaan Bali yang telah menempuh perjalanan panjang dari zaman pra-sejarah sampai di era modern ini menampakkan karakter yang unik. Pola kebudayaan yang unik inilah yang menjadi dasar bagi terbentuknya identitas manusia dan masyarakat Bali.
Kata kunci: Dinamika, Leluhur, Evolusi, Difusi, dan Inovasi.
Di kalangan ilmuwan humaniora berpendapat, keberadaan kebudayaan itu bersifat dinamik dan mengalami perubahan di dalam perkembangannya. Dinamika dan perubahan kebudayaan cenderung menunjukkan adanya keteraturan proses dan struktur sehingga memungkinkan dilaksanakan pengkajian secara ilmiah (Bee, 1974). Dalam hubungan ini, Koentjaraningrat berpendapat, apabila akan menganalisis proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, pada umumnya semua konsep yang diperlukan termasuk
lapangan penelitian ilmu antropologi dan sosiologi yang disebut dinamika sosial (Koentjaraningrat: 1979: 241).
Jacob Vredenbregt (1973: 1) mengemukakan, hubungan antara dinamika sosial dengan perubahan sosial, yaitu dinamika sosial merupakan suatu potensi yang akan mengakibatkan perubahan sosial. Selanjutnya, Geriya menambahkan dinamika sosial dapat dianggap sebagai variable antara bagi terjadinya perubahan sosial. Oleh karena konsep masyarakat dan kebudayaan merupakan dua konsep berkaitan erat satu sama lain maka proses dinamika
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
| 89
sosial sulit dipisahkan dengan proses dinamika kebudayaan sehingga proses tersebut dalam kenyataannya terwujud sebagai dinamika sosial dan kebudayaan (Geriya, 1981: 61-63). Dengan demikian, masyarakat dan kebudayaan Bali pun senantiasa mengalami dinamika dan perubahan sejak dahulu kala sampai sekarang sehingga timbul pertanyaan yaitu bagaimanakah dinamika yang terjadi pada masyarakat dan kebudayaan Bali? Jawaban atas pertanyaan ini akan mengimplikasikan beberapa hal penting, antara lain mengenai asal-muasal leluhur orang Bali dan perjalanan panjang dinamika kebudayaan Bali.
Ada beberapa konsep penting dalam rangka dinamika sosial, yaitu pertama, dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat dikenal beberapa konsep, antara lain evolusi, difusi, dan inovasi. Sedangkan, dalam kategori mengenai kontak masya-rakat dan kebudayaan dikenal beberapa konsep, antara lain akulturasi dan assimilasi. Dalam kategori proses belajar dikenal pula beberapa konsep, antara lain internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Konsep-konsep yang termasuk kategori perkembangan masyarakat, kontak masyarakat dan kebudayaan, serta proses belajar merupakan konsep-konsep yang relevan untuk digunakan menjelaskan dan menganalisis perma-salahan tentang dinamika yang terjadi pada masyarakat dan kebudayaan Bali.
Bronislaw Malinowski dalam bukunya yang berjudul Dynamics of Culture Change, lebih khusus menegaskan bahwa pertama, terjadinya perubahan kebudayaan kemungkinan didorong oleh faktor-faktor dan kekuatan-kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, perubahan kebudayaan mungkin ber-langsung menerusi hubungan dengan
kebudayaan-kebudayaan yang lain yang berasal dari luar masyarakat yang bersangkutan. Perubahan kebudayaan yang terjadi pada cara yang pertama adalah melalui proses evolusi, sedangkan perubahan kebudayaan yang kedua dalam kajian antropologi dinamakan difusi (Malinowski, 1961: 1-2). Sejalan dengan hal ini, Koentjaraningrat berpendapat bahwa proses kebudayaan mencakup faktor-faktor internal melalui proses evolusi kebudayaan, sementara faktor-faktor eksternal melalui proses difusi dan komunikasi kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1985). Malinowski (1961: 1-4) selanjutnya mendefinisikan
perubahan kebudayaan yang dimaksud yaitu suatu proses di mana susunan masyarakat yang terwujud, antara lain peradaban kemasyarakatan, kerohanian dan peradaban kebendaan berubah menjadi suatu susunan masyarakat yang berbeda dari keadaan sebelumnya. Perubahan kebudayaan ialah perubahan yang selalu terjadi pada peradaban manusia, serta perubahan kebudayaan dapat terjadi di mana-mana dan berlaku setiap waktu.
-
II. Asal-Muasal Leluhur Orang Bali dan Bukti-Bukti Peninggalannya
Berdasarkan bukti-bukti penemuan R.P. Soejono pada tahun 1961 di Desa Sembiran Singaraja, yang berupa kapak genggam, kapak perimpas, pahat
genggam, serut dan sebagainya,
membuktikan bahwa manusia tertua yang mendiami Pulau Bali adalah manusia pendukung kebudayaan kapak genggam. Jenis alat-alat seperti yang ditemukan di Desa Sembiran juga ditemukan lebih dahulu di Pacitan Jawa Timur pada tahun 1935 (Soekmono, 1973: 32). Dengan
adanya persamaan itu, kemungkinan alat-alat batu dari Sembiran dan Trunyan
diciptakan oleh manusia Phitecantropus Erectus atau jenis keturunannya, pendukung kebudayaan kapak genggam dari zaman Pleistocen adalah satu juta tahun sebelum Masehi, ketika Bali, Jawa dan Sumatera masih bergabung dengan daratan Asia. Wilayahnya disebut Dataran Sunda.
Dari uraian di atas timbul pertanyaan: apakah mereka langsung menurunkan orang Bali yang ada sekarang ini? Menurut pendapat Wikarman (1998), mereka kemungkinan punah atau sisanya membaur dengan penduduk dari masa berikutnya.
Berikutnya, manusia yang mendiami Pulau Bali adalah manusia yang hidup di goa-goa. Pendapat ini berdasarkan atas hasil penggalian pada tahun 1961 di daerah perbukitan kapur di Pecatu Badung, tepatnya di Goa Selonding yang dilakukan oleh R.P. Soejono. Hasil temuannya berupa alat-alat dari tulang dan kulit-kulit kerang sisa makanan. Alat-alat dari tulang ini merupakan jenis kebudayaan peninggalan masa Mesolithecum yang disebut abris sous roche. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang ini adalah Bangsa Papua Melanesoid, yang pada mulanya mendiami Daerah Tonkin (Soekmono, 1973: 44). Jadi, jenis manusia Papua Melanesoid adalah penduduk Bali dari masa yang kedua. Apakah mereka ini merupakan leluhur yang murni bagi orang Bali yang ada sekarang ? Kemungkinan tidak. Tetapi, kemungkinan mereka berbaur dengan ras baru berikutnya (Wikarman, 1998).
Masa berikutnya, datanglah manusia ras baru lagi, yang telah mencapai tingkat kehidupan lebih baik, yakni bercocok tanam. Peninggalan-peninggalannya berupa alat-alat batu yang telah dihaluskan, yang ditemukan tersebar hampir di seluruh Bali.
Para akhli telah memperkirakan, bahasa yang dipakai di kepulauan pada masa itu adalah Bahasa Austronesia. Menurut Wikarman (1998), bangsa yang menggunakan bahasa itu adalah Bangsa Austronesia, pendukung kebudayaan kapak persegi yang berpusat di Daerah Tonkin pula. Dari Tonkin mereka menyebar mengarungi laut yang sangat luas, dengan menggunakan perahu bercadik. Bangsa pelaut yang datang ke Bali kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.
Kehadiran Bangsa Austronesia yang datang terakhir, alat-alatnya bukan saja dari batu yang diperhalus, tetapi mereka sudah membuat alat-alat dari logam, khususnya dari perunggu, antara lain berupa nekara, tajak, gelang dan lain-lain yang dipakai sebagai bekal kubur. Mereka sudah menguasai teknik yang tinggi, misalnya tata cara pembuatan nekara dari perunggu, yang dilengkapi dengan hiasan-hiasan. Masa pembuatan alat-alat dari perunggu ini disebut masa perundagian.
Bentuk peninggalan yang kedua merupakan alat dari batu, adalah peti mayat yang disebut sarkofagus, yang banyak ditemukan di Daerah Bali, seperti di Gilimanuk ditemukan sebanyak seratus buah yang menunjukkan ciri-ciri Mongoloid seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada tahun dua ribuan ini pun beberapa kali ditemukan sarkofa-gus secara tidak sengaja ketika orang Bali sedang melakukan penggalian tanah.
Sistem kepercayaan orang-orang Austronesia adalah berkaitan dengan pemujaan roh leluhurnya, karena roh-roh leluhurnya akan selalu melindungi meraka. Mereka membuat alat-alat dari batu untuk kepentingan pemujaan roh leluhur, antara lain, pertama, menhir yaitu tiang-tiang atau tugu batu, yang merupakan timbunan tenaga sakti dari pada Hyang-nya. Kedua, bangunan
punden berundag, tiruan daripada gunung, sebagai tempat di mana Hyang mereka ber-sthana. Ketiga, tahta batu (dolmen) adalah altar tempat sajian para pemujanya.
Orang-orang Austronesia dari zaman perundagian ini, ternyata kehidupannya sudah teratur. Mereka tinggal berkelompok yang membentuk suatu persekutuan hukum, yang mereka namakan thani atau dusun, yaitu sebutan terhadap wilayah yang lebih luas, yang terdiri dari beberapa thani. Selanjutnya, persekutuan masyarakat orang-orang keturunan Austronesia ini yang disebut thani atau banua, dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut Sahing 16. Sedangkan, pimpinan tertingginya, sebagai kepala suku atau kelompok disebut dengan nama Jro Gede. Persekutuan kepemimpinan ini sampai sekarang masih tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam bidang adat. Persekutuan hukum inilah menjadi cikal-bakal komunitas desa di Bali.
Orang Austronesia dari zaman Megalithikum yang berasal dari Tonkin Cina Selatan itulah kemudian menjadi leluhur sebagian orang Bali. Orang-orang ketu-runannya disebut orang Bali Mula yang artinya orang Bali asli. Orang-orang Bali Mula ini dalam fase berikutnya akan membaur lagi dengan orang-orang yang baru datang dari luar Bali. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakan dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, umumnya mereka berasal dari Jawa.
Orang Bali Mula melaksanakan upacara kematian dengan cara mendhem atau menanam, yang disebut dengan beya tanem, kalau ketua kelompok mempergunakan peti batu. Tradisi inilah membedakannya dengan orang Bali yang datang belakangan ke Bali, yang
membawa pengaruh ajaran Agama Hindu. Dalam hal ini, orang Bali Mula menerima pelaksanaan upacara ngaben, tetapi terbatas penerimaannya pada upacaranya saja, lalu muncullah istilah beya tanem. Sedangkan, pelaksanaan membakar mayat tidak diterimanya (Wikarman, 1998). Sekarang ini, beberapa desa di Bali, jika warganya melaksanakan upacara ngaben tidak membakar mayat orang yang meninggal.
Pembahasan mengenai perkembangan paradaban manusia akan diawali terle-bih dahulu tentang evolusi teknologi, yang di sini dikonsepsikan sebagai evolusi tekno-logi subsistensi, atau teknologi yang secara langsung berkaitan dengan usaha menopang hidup (Sanderson, 2000: 85). Pada awal mulanya model kehidupan manusia adalah membangun sistem teknologi dan ekonominya supaya dapat bertahan hanya untuk hidup sehari-hari (survival).
Berdasarkan atas bukti-bukti peninggalan zaman pra-sejarah yang telah dite-mukan dapat diketahui manusia tertua yang mendiami Pulau Bali yaitu mulai dari ma-nusia pendukung kebudayaan kapak genggam sampai manusia yang hidup di goa-goa mempunyai mata pencaharian sebagai pemburu dan peramu. Kehidupan mereka pada masa itu sepenuhnya tergantung pada alam. Selanjutnya, pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat dari tulang yang kedua ujungnya diruncingkan, ketika melakukan penggalian di goa Selonding (Soekmono, 1973; Wikarman, 1998).
Kehidupan berburu dan meramu dalam kelompok-kelompok kecil dikenal de-ngan kelompok lokal (lokal bands). Masing-masing kelompok ini berjumlah sekitar 25 sampai 50 orang lelaki, sedangkan perempuan dan anak laki-laki yang bekerja sama dalam upaya menopang kehidupan mereka. Karena pemburu-peramu lebih merupakan pengumpul ketimbang penghasil makanan, maka mereka umumnya nomadik, dan jarang membangun tempat tinggal permanen. Struktur masyarakat pemburu dan peramu paling sederhana dibandingkan dengan semua masyarakat manusia. Solidaritas sosial mereka, dalam hal ini pembagian kerja didasarkan atas umur dan perbedaan jenis kelamin secara ketat (Sanderson, 2000: 85-87). Masyarakat peramu-pemburu tidak begitu terspesialisasi dalam pekerjaan, selain tugas-tugas subsistensi.
Kedatangan manusia ras baru ke Bali yang termasuk gelombang ketiga sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah orang-orang Bangsa Austronesia, yang mempunyai tingkat kehidupannya lebih baik, yakni sudah mulai bercocok tanam. Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang. Dari teori Kern dan teori Von Heine Geldern dapat diketahui bahwa nenek moyang Bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan ini kira-kira 2000 tahun S.M. yaitu pada zaman Neolithik. Pada masa ini, manusia sudah mulai hidup menetap, dalam kelompok-kelompok yang relatif lebih besar daripada masa berburu dan peramu (Wikarman, 1998; Ardana, 200).
Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi meng-hasilkan bahan makanan (food producing). Perubahan ini selanjutnya sangat besar artinya mengingat akibatnya sangat mendalam
serta meluas ke dalam perekonomian dan kebudayaan.
Dalam masa Neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa ber-tempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatan guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keterampilan dalam pembuatan alat-alat dari perunggu disebut masa perundagian. Pada masa ini, kehidupan manusia Bali semakin kompleks karena berbagai kegiatan mulai memperlihatkan kelompok-kelompok kerja, seperti bidang pertanian, peternakan, dan pembuatan gerabah sebagai industri rumah tangga (Ardika, 2008).
Seperti telah dibicarakan di atas, pada masa perundagian ini telah berkembang tradisi penguburan mayat yang unik, yaitu menggunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang keras atau yang lunak. Cara penguburannya dengan menggunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk Jembrana (Wikarman, 1998; Ardana, 2008).
Berdasarkan pengamatan dewasa ini, tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat Bali. Bukti-bukti peninggalan dari kebudayaan megalithik ini terutama berupa bangunan-bangunan dari batu-batu besar yang biasanya dikerjakan tidak secara halus. Temuan yang penting terdapat di Desa Gelgel, tepatnya di Pura Panataran Jro Agung, yaitu sebuah arca menhir yang dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita sebagai
lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
-
IV. Dinamika Kebudayaan Bali pada
Masa Sejarah
Zaman prasejarah berakhir di Indonesia ditandai oleh datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sanskerta dari India. Sesuai dengan hasil studi kepustakaan, dapat diketahui bahwa Maharsi Maharkandya yang pertama kali mengajarkan agama Hindu di kalangan orang Bali Mula yang hidup menyebar di seluruh Bali. Ketika itu, orang-orang Bali Mula hidup berkelompok-kelompok di bawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing dengan solidaritas sosial bersifat mekanik. Kelompok-kelompok ini nantinya yang menjadi cikal bakal komunitas-komunitas desa di Bali.
Ketika Rsi Maharkandya datang ke Bali, orang-orang Bali Mula belum beragama. Mereka cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari pandangan spiritual, mereka masih kosong. Fenomena kekosongan di bidang spiritual seperti itu berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi (Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali, 1987; Wikarman, 1998).
Rsi Maharkandya adalah seorang rsi yang berasal dari garis perguruan Maharkandya di India. Di Jawa beliau mula-mua berasrama di wilayah pegunungan Dieng. Dari sini, Beliau ber-dharmayatra ke Timur, sampailah akhirnya di Gunung Raung di Jawa Timur. Di daerah ini, Beliau membuka asrama, di mana murid-murid-nya berasal dari Wong Aga. Beberapa tahun kemudian, Beliau bersama murid-muridnya yang berjumlah 800 orang pergi ke timur, akhirnya sampai di Bali.
Di Bali, Beliau dan murid-muridnya menyebarkan ajaran agama Hindu dari Sekta Waisnawa. Agama Hindu yang Beliau sebarkan dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Mula. Selain itu, Beliau dan murid-muridnya juga memberi contoh cara-cara bertani yang teratur, cara-cara membuat peralatan dan sarana upacara, dan lain-lain. Berkat keberhasilannya mengajarkan orang Bali Mula bercocok tanam, maka model kehidupan ekonomi orang Bali Mula yang bersifat survival mulai bergeser menjadi subsis-tensi. Ketika itu, aktivitas gotong royong mudah digerakkan, seperti pengerahan tenaga untuk membangun pura-pura besar. Adapun pura yang paling besar yang Beliau bangun, yaitu Pura Besakih, pura termegah di Bali yang terletak di kaki Gunung Agung. Beberapa pura besar lainnya yang Beliau dirikan yang sampai saat ini masih berdiri megah antara lain Pura Gunung Raung, Pura Payogan, dan Pura Murwa (Wikarman, 1998).
Keturunan Maharsi Maharkandya disebut Warga Bujangga Waisnawa, tersebar di seluruh Bali sampai sekarang ini. Sedangkan, keturunan orang-orang Aga yang berasal dari Gunung Raung Jawa Timur telah membaur dan kawin mawin dengan orang Bali Mula penduduk asli pulau Bali, mereka menjadi orang Bali Mula/Bali Aga (Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali, 1987; Wikarman, 1998).
Walaupun orang-orang Bali beragama Hindu, masih tetap sampai sekarang ini mempunyai kepercayaan terhadap pemujaan roh nenek moyang yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan yang terdapat di sanggah-sanggah atau pemerajan-pemerajan dan di pura-pura. Pada zaman Hindu, hal ini terlihat bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak sebagai tempat
pemujaan kepada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelumnya. Fenomena ini menandakan bahwa orang Bali sudah sejak dahulu bersifat sosial-religius.
Pulau Bali memasuki zaman Bali kuno ditandai oleh ditemukannya beberapa buah prasasti yang diperkirakan terjadi abad ke-8 Masehi sampai dengan abad 14 Masehi. Menurut Goris (dalam Geriya, 2000: 74) menjelaskan, sejarah Bali pada masa Bali Kuno baru jelas pada masa pemerintahan Raja Udayana (923 Caka, 1001 Masehi) atau disebut juga Dharmodayana Marwadewa bersama istrinya Gunapriyadharma-patni, mempunyai badan penasehat-penasehat pusat yang disebut pakiran-kiran I jro makabaihan yang anggotanya terdiri dari beberapa orang Senapati dan be-berapa pendeta Siwa dan Budha. Hubungan Bali dengan Jawa Timur berlangsung dengan baik, ini terbukti Raja Udayana mempersunting putri dari Jawa Timur Gunapriadharma-patni yang kemudian melahirkan Airlangga, Marakata, dan Anak Wangcu. Akibat hubungan ini pemakaian bahasa Bali Kuno terdesak dengan bahasa Jawa Kuno. Hubungan antara Jawa dan Bali berlangsung secara damai, ini juga dibuktikan bahwa Ailangga, putra sulung Udayana memegang tapuk pemerintahan di Jawa Timur.
Hubungan yang sangat penting terjalin ketika penaklukan atas Bali pada tahun 1313 oleh expedisi yang dipimpin oleh Gajah Mada, menyebabkan masuknya penga-ruh kebudayaan Majapahit terhadap kebudayaan Bali. Dalam hubungan ini, ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi
Banten dan Patih Kebo Iwa. Dalam pertempuran ini, dimenangkan oleh pasukan Gajah Mada sehingga terjadi kekosongan pemerintah-an di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kepakisan memiliki hubungan da-rah dengan penduduk Bali Aga yang telah berbaur dengan Bali Mula. Dari sinilah ber-awal Wangsa Kepakisan. Selama pemerintahan dinasti Kresna Kepakisan, telah terjadi dua kali perpindahan kraton. Perpindahan dari kraton Samprangan ke Gelgel terjadi dalam tahun 1630-an, dan dari Gelgel ke Klungkung terjadi dalam tahun 1686 M.
Kerajaan Klungkung sebenarnya kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pada zaman Kerajaan Klungkung, wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kera-jaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swaparja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten. Dalam hubungan ini, Berg (1927: 160-167) menjelaskan, situasi politik di Bali antara tahun 1650-1686 memberi-kan kesempatan kepada kerajaan-kerajaan di Bali membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Gelgel (Klungkung), karena situasi di Gelgel pada saat itu mengalami kemerosotan, banyak terjadi pemberontakan sehingga kerajaan Gelgel pindah ke Klungkung. Demikianlah sampai permulaan abad XIX di Bali penuh dengan konflik antar kerajaan sampai datangnya bangsa Belanda ke Bali.
Swellengrebel (1960) menjelaskan ciri-ciri kebudayaan Bali pada zaman Bali Kuno disebut zaman tradisi besar antara lain adanya kekuasaan pusat dipimpin oleh raja yang diyakini oleh rakyatnya keturunan dewa. Adanya tokoh pedanda (pendeta) yang berkewajiban
membimbing umatnya di bidang mentalspiritual dan upacara. Pada zaman sejarah mulai dikenal sistem pelapisan sosial yang disebut wangsa (kasta kas Bali). Di ranah informasi, berkembang sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit dan tarian topeng; serta kesenian dan arsitektur bermotif Hindu dan Budha.
Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali. Orang-orang Bali pun melakukan perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda sehingga meletus berbagai perang di wilayah Bali. Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan penjajah Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, maka pemerintah Belanda membuka beberapa sekolah rendahan di Bali, yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak golongan kaya dan bangsawan.
Tentara Jepang, setelah memenangi pertempuran melawan Belanda maka pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942 mendarat di Pantai Sanur. Dari pantai Sanur, tentara Jepang menuju Kota Denpasar, dan akhirnya menguasai seluruh Bali.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, setelah diproklamasikan hari kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan Ibu Kota Singaraja.
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI
menggunakan sistem gerilya di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Dalam pertempuran yang sengit, pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur melawan Belanda sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan “Puputan” sehingga pasukannya yang berjumlah 96 orang semuanya gugur, termasuk Gusti Ngurah Rai sendiri, sedangkan di pihak pasukan Belanda lebih kurang 400 orang yang gugur. Selanjutnya, dilaksakana beberapa konferensi di Denpasar. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-
V. Dinamika Kebudayaan Bali Mulai Pertengahan Abad Ke-20 Sampai Era Masa Kini
Perkembangan kebudayaan Bali mulai pertengahan abad ke-20 merupakan kesinambungan perkembangan tradisi modern. Tradisi modern sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman penjajah sampai zaman kemerdekaan Indonesia. Dalam hal ini, Geriya (2000: 82)
menjelaskan, ketika memasuki abad ke-21 dinamika masyarakat Bali yang sedang mengalami transisi, yaitu dari masyarakat tradisional (masyarakat yang masih kuat berpegangan pada nilai-nilai lama) ke masyarakat yang lebih maju atau modern. Nilai-nilai lama bersentuhan dengan nilai-nilai baru yang diterapkan di tengah-tengah sistem sosial, membutuhkan suatu proses penyesuaian.
Menurut Mc.Kean, seorang
antropolog yang pernah mengadakan penelitian di Bali menjelaskan,
perkembangan unsur-unsur tradisi modern ditandai dengan ciri-ciri antara
lain sumber tenaga transportasi digerakan dengan mesin, dan tenaga listrik; adanya barang-barang perdagangan dan industri yang diperoleh dari perdagangan impor; sistem agama dirationalisasi, terkoordinasi dan terkomunikasi ke dalam maupun ke luar; kerajinan bersifat produksi massa; administrasi yang heterogen dengan hete-rogennya penduduk menurut etnis, agama, okupasi, dan lain-lain; adanya pasar dalam ekonomi; adanya mass-media dan sarana komunikasi yang bersifat nasional dan international yaitu kaset, radio, televisi, majalah, surat kabar; adanya orientasi ke depan yang diintroduksi oleh berbagai departemen (Mc.Kean, 1973: 21-24).
Berdasarkan pengamatan, dewasa ini di Bali tidak ada lagi daerah yang terasing, karena sarana dan prasarana transportasi sudah masuk ke pelosok-pelosok desa, bahkan semua desa di Bali sudah mendapatkan arus listrik. Hal ini terbukti, sekarang ini sudah ada jalan beraspal yang menuju Desa Trunyan Bangli, bahkan masyarakat di situ sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu mendapat penerangan listrik. Gejala-gejala masyarakat Bali semakin konsumtif terlihat semakin jelas, karena sembako pun sebagian didatangkan dari luar Bali, bahkan sarana sesaji pun banyak didatangkan dari Jawa Timur. Sistem agama dirationalisasi dengan cara mengadakan dialog-dialog dan ceramah-ceramah keagamaan (Hindu) secara rutin, baik melalui media massa maupun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan. Saat ini sudah ba-nyak diterbitkan buku agama Hindu oleh para tokoh agama Hindu.
Visi dan misi merationalisasi ajaran agama Hindu di Bali sangat didukung oleh perkembangan media massa yang sangat pesat, baik media massa cetak maupun elektronik. Secara positif media massa dapat didudukkan dalam peran
sebagai saluran pendidikan massa, sebagai pembangunan kebudayaan tinggi/mulia dan pengembang ilmu pengetahuan (Sedyawati, 2007: vii).
Kelompok Media Massa Bali Post mendominasi kepemilikan media massa di Bali, antara lain BaliTV, Koran BaliPost, Koran DenPost, Koran Bali Travel News, Radio Genta, dan Radio Globa. Hampir semua siaran TV suasta yang populer di Jakarta bisa ditangkap dengan baik di Bali dengan antena biasa. Demikian pula perkembangan kepemilikan HP dan komputer sangat pesat dan sudah merambah sampai ke desa-desa, dan dengan mudah dapat dibeli. Hal ini disebabkan karena jumlah pasar dan ruko di Bali berkembang pesat, bahkan perkembangan mall/pusat-pusat perbelanjaan melemahkan popularitas pasar tradisional.
Pada umumnya, generasi muda Bali kurang menyenangi profesi sebagai petani, sehingga begitu menamatkan pendidikan di desa, meraka langsung merantau ke kota mencari pekerjaan. Akhir-akhir ini relatif banyak orang Bali yang bekerja di kapal pesiar dan di luar negeri.
Berkat keberhasilan program keluarga berencana sistem banjar di Bali, para orang tua memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Orang harus berpendi-dikan untuk dapat mencapai kemajuan teknologi dan ekonomi. Pendidikan membantu memilih dan melatih tokoh-tokoh kebudayaan, orang-orang yang kreatif, dan para penguasa (Anderson, 1983: 17). Di Bali sekarang ini, perkembangan sarana dan pra-sarana pendidikan sedang berkembang pesat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Di era modernisasi ini, rumah-rumah tangga di Bali kebanyakan terbentuk dari
keluarga kecil, dengan jumlah anak pada umumnya antara dua orang sampai tiga orang. Solidaritas sosial yang berkembang di Bali, cenderung dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Hal ini ditandai dengan semakin pesatnya perkembangan pendidikan maka semakin heterogen pula perkembangan keahlian dan keterampilan orang-orang Bali. Mereka pun akhirnya semakin banyak yang merantau ke belbagai daerah di Indonesia, baik atas kemauan sendiri maupun atas penugasan dari suatu instansi di mana mereka bekerja.
Sesuai potensi yang dimiliki oleh Pulau Bali maka pembangunan Daerah Bali memprioritaskan bidang pertanian, industri, dan pariwisata, serta ditunjang oleh bidang-bidang lainnnya. Dalam upaya menyukseskan pembangunan itu, mendapat dukungan yang sangat mantap dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Bali. Khususnya di bidang pertanian telah mengalami transformasi kebudayaan agraris menuju kebudayaan pasca-agraris. Dalam proses transformasi ini, peranan subak sangat besar artinya, baik subak yeh (di lahan basah/sawah) maupun subak abian (di tanah kering/kebun). Subak sebagai “agent of modernization” tampil menjadi piranti yang solid untuk memacu penerapan pengetahuan dan teknologi (menerapkan pola tanam, menggunakan traktor, pupuk, pestisida, bibit unggul dan lain-lian) yang dibutuh-kan petani, mengingat subak adalah organisasi yang terbuka, sehingga produksi perta-nian tetap terjamin. Petani di lahan kering yang terhimpun dalam suatu lembaga tradi-sional yang bernama subak abian juga mulai secara intensif menanam tanaman jangka panjang seperti vanili, jambu mente, jeruk, cengkih, coklat, kopi, dan sebagainya. Fenomena ini menunjukkan terjadinya pertautan antara modernisasi dengan
sosial budaya, terutama menyangkut bidang pertanian di Bali, sehingga menghasilkan petani-petani tekun, penuh dedikasi, tangguh, produktif, serta beriman (Mantra, 1990: 30), dan semakin cerdas dan rasional. Di kalangan kehidupan petani, pengerahan tenaga kerja dengan sistem gotong royong masih mudah digerakan.
Dengan memanfaatkan hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era modernisasi ini, menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan yaitu komersialisasi hasil-hasil pertanian, yang sebelumnya hanya untuk kebutuhan yang bersifat subsitensi, sekarang sudah berorientasi pada pasar. Berbicara masalah modernisasi, memang mencakup pengertian yang sangat luas, termasuk pembangunan dan pengembangan kota secara fisik, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pola-pola okupasi para petani yaitu merubah pola tanam dengan jenis tanaman yang laku di pasar (Astika, 1994; Astika dan Suwena, 1994/1995), dan/atau yang laku di jual ke hotel-hotel di Bali.
Jenis-jenis hasil industri kerajinan masyarakat Bali sangat bervariasi dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Sektor industri dan pertanian inilah sebagai faktor penunjang pengembangan pariwisata budaya, sehingga telah berkembang jenis objek wisata agro dengan jenis souviner yang khas di beberapa daerah di Bali. Misalnya, di Desa Petulu terdapat ribuan burung bangau yang jinak-jinak, maka pematung dan pelukis di desa ini membuat patung dan lukisan burung bangau.
Bali memiliki pengalaman cukup panjang di sektor pariwisata, yakni mulainya pada tahun 1920-an. Hingga tahun 1990-an, daerah Bali menjadi satu daerah tujuan wisata yang paling mantap
di Indonesia sehingga semakin banyak orang Bali di sektor jasa kepariwisataan dan semakin banyak pula jumlah desa yang dibuka sebagai objek wisata. Demikian pula jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali sema-kin bertambah setiap tahunnya. Akan tetapi, akibat meletusnya bom Bali jilid satu, ke-mudian disusul meletusnya bom Bali jilid dua menyebabkan kunjungan wisatawan ke Bali sempat mengalami penurunan secara drastis dalam waktu beberapa bulan. Se-mentara ini kunjungan wisatawan ke Bali sudah kembali normal. Hingga kini pengembangan pariwisata budaya di Bali yang didukung oleh pengembangan di bidang perta-nian dan industri kerajinan dapat meningkatkan tarap hidup masyarakat Bali. Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali berpengaruh terhadap aspek mobilitas sosial yang ditandai oleh meningkatnya mobilitas penduduk, baik perpindahan penduduk dari desa ke kota maupun antar provinsi ikut mengais rejeki di sektor pariwisata.
Berdasarkan pengamatan, hingga kini interaksi kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar yang dibawa oleh wisatawan tetap berlangsung secara luwes dan adaptatif. Kebudayaan Bali selalu bisa menerima kebudayaan dari luar, tetapi proses penerimaannya sangat selektif, yakni sebelum kebudayaan asing itu diterima, terlebih dahulu unsur dan tata nilainya diolah dan disesuaikan dengan taat nilai kebudayaan setempat. Oleh karena itu, pengaruh pariwisata tidak sampai merusak sendi-sendi kebudayaan Bali (Mantra, 1990).
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa di era globalisasi ini perkembangan kepemilikan barang-barang elektronik yang serba modern di bidang informasi dan komunikasi di Bali seperti jumlah pemancar radio, pemancar televisi, pesawat radio, pesawat televisi,
telepon, HP, computer, dan sejenisnya berkembang dengan pesat. Masyarakat Bali memandang penting peranan informasi dan komunikasi di era globalisasi ini dan sudah menjadi kebutuhan hidup. Menurut Geriya (2000: 98-99) bila dihubungkan masalah globalisasi dan kebudayaan di Indonesia, khususnya kebudayaan Bali, maka azas Trikon (konsentrasi, kontinuitas, dan konvergensi) dapat dipakai sebagai media untuk mengetengahi antara kebudayaan daerah dan kebuda-yaan nasional dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing. Dengan azas Trikon dari ajaran Ki Hajar Dewantara ini kebudayaan Bali akan tetap bertahan dan tetap berkembang dalam menghadapi kebudayaan asing, dan tetap berpegang kuat pada akar kebudayaan Bali sehingga identitas kebudayaan Bali bisa, tetap dipertahankan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar yang dominan seperti nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya, 2000: 129; Ardika, 2008: 1-2). Kelima nilai dasar ini ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi tantangan pada era globalisasi ini.
Perkembangan dan perubahaan kebudayaan Bali diawali dari zaman prasejarah dengan tahap zaman batu, zaman logam atau perunggu. Berikutnya, memasuki zaman sejarah dengan melewati tahap-tahap pengaruh dari kebudayaam modern. Fenomena ini menandakan bahwa hampir semua gelombang pengaruh kebudayaan luar pernah mewarnai sejarah kebudayaan Bali. Namun, di antara pengaruh kebudayaan luar itu, kontak dengan
agama dan kebudayaan Hindu yang paling besar pengaruhnya. Kebudayaan Bali mulai kontak dengan agama dan kebudayaan Hindu sekitar permulaan tarik Masehi dan berhasil mewujudkan satu bentuk perpaduan yang utuh antara tradisi, agama, peradaban dengan kualitas nilai-nilai religi, estetika dan solidaritas.
Dengan demikian, dinamika
kebudayaan Bali yang telah menempuh perjalanan panjang dari zaman prasejarah sampai di era modern ini menampakkan karakter yang unik. Pola kebudayaan yang unik inilah yang menjadi dasar bagi terbentuknya identitas manusia dan masyarakat Bali.
Anderson, C. Arnold. 1983.
“Modernisasi Pendidikan”, dalam Modernisasi dan Pertumbuhan. Myron Weiner (Editor).
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hlm. 15-28.
Ardana, I Gusti Gde. 2008. “Kontribusi Budaya Tionghoa pada Budaya Bali (Perspektif Sejarah)”. Seminar Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Ardika, I Wayan. 2008. “Multikultural Kearifan Lokal dengan Warga Tionghoa di Bali”. Seminar
Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Astika, Ketut Sudhana. 1994. “Seka dalam Kehidupan Masyarakat” dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. I Gede Pitana (editor). Denpasar : Bali Post. Hlm. 111-135.
Astika, Ketut Sudhana dan Suwena, I Wayan. 1994/1995. Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Daerah Bali. Denpasar : Depdikbud Kantor Wilayah Provinsi Bali.
Bee, Robert L. 1974. Patterns and Processes. An Introduction to Anthropological Strategies for the Study of Sociocultural Change. New York : The Free Press. A Division of Macmillan Publisking Co. Inc.
Dinas Kebudayaan Provinsi Dati I Bali. 1987. Pura Besakih. Denpasar.
Geriya, I Wayan. 1981. Beberapa Segi tentang Masyarakat dan Sistem Sosial. Denpasar : Jurusan
Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Perusahaan Daerah Provinsi Bali.
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Koentjaraningrat. 1985. “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudaya. Alfian (Editor). Jakarta: Gramedia. Hlm. 99-140.
Malinowski, Bronislaw, 1983. Dinamik Bagi Perubahan Budaya. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran.
Mantra, I.B. 1990. Bali: Masalah Sosial Budaya Modernisasi. Denpasar : Upada Sastra.
McKean, Philip Erick. 1973. Cultural Involution. Tourist, Balinese and the Proses of Modernization in an
Anthropological Perspective. USA : Brown University.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi. Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jalarta : Raja Grafindo Persada.
Sedyawati, Edi. 2007. Indonesia dalam Budaya. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
Soekmono. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Yogyakarta.
Steward, Julian H. 1979. Theory of Culture Change. Urbana Chicago London : University of Illinois Press.
Swellengrebel. 1960. Bali, Studies in Life, Thought and Ritual. Bandung: The Hafucen and Hoere.
Vredenbregt. 1973. “Dinamika Sosial dan Perubahan Sosial di Daerah gayo”, Berita Antropologi Terbitan Khusus No. 3 Jurusan Antropologi FS UI Jakarta.
Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Leluhur Orang Bali. Dari Dunia Babad dan Sejarah. Surabaya : Paramita.
Discussion and feedback