Relevansi Gagasan Antonio Gramsci dalam Antropologi
on
DOI: 10.24843/SP.2018.v2.i02.p01
p-ISSN: 2528-4517
Relevansi Gagasan Antonio Gramsci dalam Antropologi
A.A. Ngr. Anom Kumbara
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Emil: [email protected]
Abstract
The aims of this article is to explain relevance and contribution of Anthonio Gramsci views to Anthropology and cultural studies. Method in this study used liberary research. The result of this study that the cretical views of Anthonio Gramsci as neo-Marxism exponen are very important and relevance of antrophology and cultural studies, especially views of relationship between political, power and cultural, beside economy infrastructure factor as analysis based.
Keywords: Cultural studies, hegemony, neo-Marxism, political power.
Antonio Gramsci adalah salah satu tokoh intektual akademis Italia yang masuk dalam eksponen neo-Marxisme abad ke-20. Dia adalah salah satu pemikir kritis terhadap pemikiran Marx dan Marxisme-Ortodoks yang mengajukan doktrin umum bahwa problem kebudayaan bukan berasal dari dalam dirinya sendiri (karena faktor struktural dan suprastruktur) sebagaimana pandangan dalam analisis materialisme historis, melainkan karena faktor bias material (infrastrutur) dalam hubungan produksi ekonomi kapitalis.
Dengan melakukan kritik terhadap klaim ortodoksi Marxizme, Gamsci sebagai eksponen Marxisme justru mengajukan suatu pandangan kebudayaan dengan ciri profetis yang sama dengan tujuan Marxisme, tetapi dia merumuskan gagasan-gagasannya ke dalam pemikiran alternatif dan sifatnya lebih kompleks. Kesamaam pemikiran ini dapat dilihat dalam usahanya: 1) memahami penjelasan kebudayaan dalam sebuah kerangka kerja Marxian, 2) menjelaskan tidak kunjung-tibanya ramalan keniscayaan revolusi dari Marx
dengan cara yang lebih canggih; serta 3) menunjukkan bahwa dalam tradisi Marxian itu pun terdapat suatu kekuatan-kekuatan humanitis, seperti kesadaran, kebebasan, pengalaman-pengalaman manusia, hak berserikat kolektif, keterasingan, kreativitas dan kesejahteraan subjektif. Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (19291933) Gramsci di samping mematahkan tesis utama Marxisme, bahkan melampaui Marxisme itu sendiri, juga dalam analisis kebudayaan, konsepsi Gramsci lebih menekankan pada budaya tangdingan (counter culture) dari kelompok-kelompok terpinggirkan (subaltern) ketimbang menentukan isi kebudayaan itu sendiri.
Konsepsi dan analisis kebudayaan Gramsci sangat berbeda dengan konsepsi dan analisis kebudayaan yang dilakukan oleh para antroplog konvensional, yang melihat kebudayaan dengan paradigm atau perspektif positivistik-objektif, evolusionis, dan strukturalis, yang acap kali mengabaikan aspek-aspek subjektif aktor-aktor, konteks ruang dan waktu, serta dimensi kekuasaan-politis, dan ekonomi. Padahal menurut Gramsci,
Sunari Penjor: Journal of Anthropology
Prodi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Unud
berdasarkan pengalaman hidupnya masa pemerintahan fasis di Italia, faktor kekuasaan, politik, dan ekonomi menjadi foktor determinan dalam transformasi atau perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut tujuan makalah ini adalah hendak membahas mengenai relevansi gagasan Antonio Gramsci dalam studi kebudayaan, khusunya bagi Antropologi dalam mengkaji fenomena masyarakat dan kebudayaan yang semakin terbuka dan kontemporer.
Clifford Geertz dalam esai ”Thick Description ”, dalam buku The Interpretation of Culture yang diterbitkan pertama tahun 1973, menyatakan bahwa seluruh ahli Antropologi sepakat dan menerima bahwa kebudayaan adalah satu konsep sentral dalam keseluruhan sejarah munculnya disiplin ilmu ini. Tetapi, dalam waktu bersamaan bagaimana kebudayaan didefinisikan, dimaknai, dan digunakan oleh para antropolog sebagai paradigma dalam studi kebudayaan, di samping menunjukkan variasi yang sangat luas, juga mengandung elemen-elemen yang kontradiktif dan konfliktual (Keesing,1974; Crehan,2002).
Kompleksitas dan keragaman definisi dan makna kebudayaan yang berkembang sejalan dengan perkembangan disiplin ini, mendorong dua antropolog Amerika yakni A.L Kroeber dan Clyde Kluckhoh melakukan studi literatur untuk memetakan definisi-definisi kebudayaan yang berkembang, yang kemudian dimuat dalam esai berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Definisitions (1952). Dari hasil pemetaan itu tercatat lebih dari 160 definisi tentang kebudayaan dan terdapat paling tidak enam pokok pemahaman mengenai kebudayaan yaitu: (1)
deskriptif, (2) historis, (3) normatif, (4) psikologi, (5) struktural, dan (6) genetis.
-
(1) Definisi deskriptif: cenderung
melihat budaya sebagai totalitas konprehensif yang menyusun
keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah yang membentuk budaya;
-
(2) Definisi historis: cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya;
-
(3) Definisi normatif: bisa mengambil dua bentuk. Pertama budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkrit. Kedua, menekankan peran/fungsi gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.
-
(4) Definisi psikologis: cenderung
meberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau
memenuhi kebutuhan material maupun emosional;
-
(5) Definisi struktural: merujuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abtraksi yang berbeda dari perilaku kongkrit;
-
(6) Defenisi genetis: melihat asal-usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antarmanusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam konteks pemahaman dan pemaknaan terhadap kebudayaan belakangan ini, dua antropolog yakni Roger Keesing dan Raymond Wiliams (dalam Cerhan, 2002) memberikan pandangan kritis terhadap catatan definisi fundamental kebudayaan, yang
dikembangkan para antropolog
sebelumnya, yang memandang kebudayaan sebagai “suatu cara hidup” (a way of life), dan kebudayaan sebagai peradaban (civilization). Menurut Roger Keesing dalam artikelnya yang berjudul “Current Theories of Culture in Anthropology”, yang termuat dalam Annual Review of Anthropology Survey, Tahun 1974 menyatakan terdapat banyak perbedaan dan konflik dalam pemikiran tentang kebudayaan. Pemikiran tersebut meliputi empat tipe yang luas, yakni: (1) kebudayaan sebagai sistem adaptasi, (2) kebudayaan sebagai sistem kognisi/pengetahuan, (3) kebudayaan sebagai sistem struktur, dan (4) kebudayaan sebagai sistem simbolik. Tanggapan akedemis terhadap pemikiran tersebut, ada yang pro dan ada yang kontra. Para Antropolog yang dianggap sejalan dengan empat arus pemikiran ini, yakni Marvin Harris, David Schneider, Claude Levi-Straus, dan Clifford Geertz.
Menurut Raymond William, (1983) kata kebudayaan merupakan satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris, baik dalam arti konsep/definisi maupun paradigma. Pada awalnya, secara Antropologis “culture” dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation), yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan istilah kultus atau cult). Sejak abad ke 16 hingga 19, istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Selama periode panjang ini pula istilah budaya diterapkan untuk entitas yang lebih luas, yaitu kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan dan merupakan padanan dari kata peradaban (civilization), sebagaimana yang termuat dalam texsbooks Antropologi Edward Tylor’s yang berjudul Primitive Culture (1871). Dalam bentuk aslinya Tylor’s, merumuskan: “Culture or Civilization,
taken in its wide ethnographic sense, culture as “that complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, custom and any other capabilities and habit acquired by man as a members of society”.
Namun, seiring dengan kebangkitan romantisisme selama revolusi industri, budaya juga mulai dipakai untuk menggambarkan perkembangan kerohanian yang dikontraskan dengan perubahan material dan infrastruktur, yang selanjutnya memengaruhi pemaknaan atas budaya dan melahirkan istilah-istilah yang bermakna hegemonic; seperti “budaya rakyat” (popular/folk culture) dihadapkan dengan budaya nasional (national culture), budaya tinggi/unggul dengan budaya jalanan, budaya modern dengan budaya primitive, budaya pusat dengan pinggiran, dstnya.
Raymond Williams, (1983) dan Kate Crehan, (2002) dalam kajian kritisnya terhadap pemikiran kebudayaan mengelompokkan penggunanan istilah budaya ke dalam tiga arus besar pemikiran, yaitu (1) mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari individu, sebuah kelompok atau masyarakat; (2) mengacu pada khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan dalam bentuk (film, benda seni, dan teater), yang dalam konteks ini budaya diartikan sebagai seni (the arts); dan (3) mengacu pada keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, sebuah kelompok atau masyarakat.
Keseluruhan arus besar pemikiran kebudayaan yang telah diidentifikasi oleh Krober dan Kluckhon dan Raymond William tersebut masih dipakai sampai sekarang. Namun, belakang ini pemahaman dan penafsiran terhadap kebudayaan mengalami sejumlah pergeseran beriringan dengan mencairnya batas-batas (bouderless) dan pemaknaan
atas ruang sosial-budaya serta terjadinya trasformasi sosial yang luas dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat akibat kuatnya pengaruh arus globalisasi.
Bergayut dengan transformasi sosial yang semakin luas akibat globalisasi, konsep dan paradigma kebudayaan pun mengalami pergeseran. Dalam Antropologi kovensional, yang berfaham positivistik mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dijadikan milik bersama melalui proses belajar. Menurut Koentjaraningrat (1974), kebudayaan terdiri atas tiga wujud, yaitu: (1) wujud ide-ide atau abstrak berada di benak atau kepala sebagian besar anggota masyarakat, berupa nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, dan hukum. Ini sering disebut sistem nilai budaya (culture system), (2) wujud tindakan, berupa interaksi antar individu sebagai anggota masyarakat dari waktu ke waktu berdasarkan kebudayaan atau tata nilai yang dianut, ini sering disebut sistem sosial (social system), dan (3) wujud benda-benda fisik (artifak), terdiri atas benda-benda produk manusia, dari yang bentuknya kecil dan sederhana hingga yang besar dan kompleks sifatnya. Konsep kebudayaan seperti ini, mengisyaratkan bahwa kebudayaan dipandang secara positivistik sebagai gejala fisika sosial dengan pemaknaan yang bersifat stabil dan objektif, karena tindakan sosial atau pola perilaku individu-individu dalam kelompok tersebut dianggap sebagai representasi dari budaya yang dianutnya.
Sejalan dengan perkembangan konsep kebudayaan dalam Antropologi, Clifford Geertz (1973) mendefinisikan kebudayaan:
---’culture denotates an historiccaly transmitten pattern of meaning embodied in symbols, a system inherited conception expressed in symbol forms by means of wich men
communicate, perpetuated, and develop their knowledge about and their attitudes toward life;…culture is an ordered system of meaning and symbols, in terms of which social interaction takes place”. Culture is a set of shared ideals, values, and stadards of behavior, it is the common denominator that makes the actions of individual inteligible to the group (Geertz,1973).
Dalam konteks ini kebudayaan dipandang bersifat given, generic and structural. Oleh karena mereka umumnya membagi kebudayaan (common shared), dalam perasaan dan makna-makna di antara anggota masyarakat, maka orangorang dapat mengevaluasi dan memprediksi tindakan satu dengan yang lain dalam mengisi dan bereaksi terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, kebudayaan dalam perspektif ini dipahami sebagai jaringan pola makna (webs of meaning) yang diwarisi secara generik dan historis bergenerasi dalam wujud sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem simbol. Dalam konsepsi ini, kebudayaan dianggap sebagai produk yang sudah jadi dan diterima begitu saja dari sananya (given from the beginning). Implikasinya, kebudayaan lah yang dianggap membentuk orang-orang yang hidup di dalam masyarakat, sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan bergantung pada esensi kebudayaan itu, yang dianggap selesai dan tetap. Selain itu, kebudayaan dipandang dengan cara yang relatif apolitis, bias konflik kepentingan, dan kekuasaan. Dengan demikian, paham kebudayaan seperti ini dianggap masih bersifat generik dan esensialis.
Berbeda dengan paradigma kebudayaan sebelumnya, para penganut Antropologi kritis dan cultural studies menggunakan perspektif konstruksionis-dinamis, yang memandang kebudayaan adalah praktek kehidupan individu
individu sehai-hari yang samasekali bukan distruktur atau digariskan begitu saja dari sananya (suigeneris), melainkan dikonstruksi oleh partisipannya sendiri sehingga bergantung pada agennya. Paradigma ini menekankan pada keterlibatan aktif dari agensi (aktor yang bertindak) dalam konstruksi budaya. Kebudayaan dipandang tidak pernah given, tetapi socially constructed (Berger, 1973; Bourdieu, 1977). Dengan demikian, bukan saja kebudayaan yang membentuk partisipan, tetapi individu-individu dalam suatu kelompok secara aktif membentuk kebudayaanya. Kebudayaan tidak dilihat secara empiris semata, tetapi secara historis dengan memperhatikan geneloginya, yaitu proses pembentukannya. Proses pembentukan itu diandaikan tidak terlepas dari usaha berbagai aktor/agensi memperebutkan sumber daya dan capital sehingga selalu mengandung persaingan kekuatan. Dengan kata lain, antara individu dengan kebudayaan (Berger, 1973), antara habitus dan ranah (Bourdieu, 1977, 1991) atau agen dan struktur (Giddens, 2000) terdapat suatu proses interaksi dialektik secara terus-menerus. Menurut Bourdieu, dalam ruang sosial, individu dengan habitusnya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang mengasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya. Manusia sebagai individu mencoba mengembangkan strategi, mengolah, dan mengkonstruksi simbol-simbol budaya atau modalitas yang dimiliki demi kepentingannya dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Usaha-usaha aktor-aktor untuk mengkonstruksi simbol atau budaya seperti ini, oleh Bourdieu disebut praktik (practice).
Lebih lanjut Pierre Bourdieu (1977), menjelaskan praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus, ranah, dan kapital sebagai produk sejarah. Pada
saat bersamaan, habitus dan kapital merupakan medan (field) dari daya-daya yang ada di masyarakat. Habitus adalah disposisi yang dimiliki oleh individu untuk melakukan persepsi dan respons dengan cara tertentu terhadap lingkungan sekitarnya sesuai dengan tuntutan, situasi, dan kondisi aktual yang dihadapinya. Ranah adalah situasi atau kondisi aktual yang dihadapi oleh aktor atau agensi. Dalam suatu ranah, terdapat pertarungan antar kekuatan-kekuatan serta pertarungan antar orang atau kelompok yang memiliki banyak modal dengan orang yang tidak atau kurang memiliki modal. Atau pertarungan antar mereka yang berada dalam posisi dominan dengan yang terdominasi, masing-masing mengembangkan strategi tertentu untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan atau sebaliknya mengubah distribusi bentuk-bentuk capital dan posisi-posisi di dalamnya. Menurut Bourdieu, capital atau modal adalah sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah, yang terdiri atas modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik. Dengan demikian, paradigma kebudayaan sebagai praksis memandang bahwa kebudayaan, baik dalam bentuk simbol-simbol maupun konsepsi-konsepsi senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberdaannya bergantung pada praksis para agensi yang berada dalam konteks ruang sosial atau kepentingan tertentu. Dengan kata lain pespektif kebudayan sebagai praksis, mengandaikan adanya relasi-relasi kekuasaan dalam konstruksi dan reproduksi sebuah wacana.
Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (1929-1933), Antonio Gramsci mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan
tidak selamanya berakar pada kepentingan ekonomi belaka, melainkan juga karena akar-akar kebudayaan dan politik. Teori ini dibangun di atas premis pentingnya ide (superstruktur) di samping kekuatan fisik (infrastruktur) dalam kontrol sosial politik. Gramsci menolak Marxisme ortodoks yang positifistik dan diterministik-ekonomi, lalu mengembangkan neo-Marxisme bahwa dominasi dan hegemoni kelompok sosial terhadap kelompok sosial lainnya tidak dibangun atas basis ekonomi (infrastruktur) semata, tetapi merupakan bentuk saling ketergantungan asimetris dalam hubungan politik-kekuasaan, ekonomi, dan budaya.
Menurut Antonio Gramsci (1971), hegemoni adalah kekuasaan yang terjadi yang merupakan rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus ketimbang melalui kekerasan atau penindasan terhadap kelas sosial lainnya. Hegemoni sejatinya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematik sosial dalam kerangka yang ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Cara yang dipakai untuk memenangkan konsensus adalah menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif (idesional) masyarakat melalui produk-produk hegemoni yang dipandang benar secara moral maupun intelektual, sehingga dominasi ide kompromis itu terjadi secara natural dan tidak dipertanyakan lagi (Simon, 2000; Crehan,2002).
Menurut Gramsci, dalam kekuasaan yang fasistis seperti yang dialaminya pada masa hidupnya, suatu rezim akan menggunakan dua jalan penguasaan. Yang pertama adalah penguasaan kesadaran melalui jalan pemaksaan dan kekerasan (coercive). Kedua adalah penguasaan lewat jalan hegemoni, yaitu kepatuhan dan kesadaran para elemen masyarakat. Menurutnya, keberhasilan
rezim menyebarkan kekuasaan pengaruh yang hegemonik karena didukung oleh organisasi infrastruktur terkait, yaitu yang di dalamnya diandaikan terjadi kepatuhan para intelektual karena faktor kultural dan politis. Para intektual menyerahkan diri, membiarkan, dan patuh terhadap kekuasaan yang merajalela dari rezim, sehingga rezim ini memperoleh dukungan dan legitimasi politis secara menyeluruh. Dalam kondnisi demikian, sangat tidak mungkin menciptakan prakondisi bagi revolusi pembebasan menuju masyarakat tanpa kelas seperti yang dibayangkan oleh para Marxian. Menurut Gramsci, dalam sistem kekuasaan fasis, terdapat dua corak intelektual, yakni intektual tradisional dan intelektual organis. Intelektual tradisional adalah intektual yang tunduk dan patuh terhadap kepentingan rezim kekuasaan. Intelektual dalam kelompok ini sebenarnya secara faktual musuh masyarakat karena dengan posisi dan integritasnya mereka berkerja sama dengan rezim serta memanipulasi sistem sosial dan politik yang menindas.
Intelektual organik adalah para intektual (filusuf, budayawan, akademisi, pendidik, birokrat) yang bergambung dengan masyarakat untuk menjalankan tugas profertisnya serta membangkitkan kesadaran masyarakat yang dimanipulasi oleh kekuatan yang hegemonik untuk menggalang blok solidaritas yang berkesadaran kritis terhadap kondisi sosial, politis, serta kultural dan melakukan perjuangan untuk mendeligitimasi kekuasaan hegemonik tersebut. Blok solidaritas ini diarahkan untuk mengimbangi daya hegemoni dan membentuk budaya tandingan (counter culture) dengan melakukan perang posisi (the war of position) dengan tujuan merebut posisi-posisi vital yang dikuasai oleh rezim, tanpa harus terjebak pada perlawanan terbuka seperti revolusi. Jadi, dalam konsepsi ini Gramsci lebih
menekankan pembentukan budaya perlawanan (counter culture) ketimbang menentukan isi kebudayaan itu sendiri.
Dalam hubungannya dengan peran cendikiawan atau intelektual dalam membangun kesadaran kritis yang melampui kepentingan-kepentingan kelas, Mannheim, sebagai eksponen Sosiologi Pengetahuan berpandangan bahwa terdapat tiga peran yang dapat diambil oleh seseorang cendikiawan atau intelektual (Mannheim,1991). Pertama, seseorang cendikiawan dapat memilih peran sebagai perumus ”ideologi” dan pembela kepentingan-kepentingan kelompok atau kelas penguasa dominan dari tertib sosial yang ada. Kedua, ia juga dapat mengambil posisi dan peran sebagai perumus ”utopia” dan pejuang kepentingan-kepentingan kelompok atau kelas yang tersisih. Mannheim menyebutnya state of mind yang demikian sebagai ”utopia”. Ketiga, cendikiawan yang dapat memilih posisi dan memiliki kemampuan untuk memilih posisi berdiri di atas kepentingan-kepentingan kelas dan karenanya dapat disebut memilih posisi sebagai a free floating intellegentsia.
Seturut dengan itu, Friedrich menyatakan seorang dapat dikatakan sebagai cendikiawan manakala ia tidak hanya mampu mengambil peran kependetaan (prestly roles) akan tetapi juga memikul peranan-peranan ”prophetis atau kenabian” untuk melakukan transformasi peran genetik mereka sebagai juru bicara dan pembela kepentingan kelas tertentu, menjadi eksistensi generik sebagai juru bicara dan pembela kepentingan kemanusiaan. Semuanya ini pada gilirannya hanya dapat diwujudkan manakala mereka memiliki komitmen yang kuat pada nilai-nilai dan pengembangan pengetahuan yang bersifat universal di atas keterikatan-keterikatan kesejarahan demi tercapainya suatu kehidupan bersama
yang lebih adil, bebas dan demokratis. Komitmen ini harus memiliki keberpihakan kepada kelompok marginal dan subaltern karena mereka acap kali menjadi korban perubahan yang cepat dan rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi kelompok hegemonik dan atau elite berkuasa.
Beranjak dari pemaparan diskusi pemikiran para intektual akademis tentang studi kebudayaan di atas, diperoleh gambaran bahwa pemikiran-pemikiran kritis eksponen neo-Marxisme, khususnya Antonio Grmasci sangat berbeda dengan padangan Antropologi pada era sebelumnya, yang memandang kebudayaan bersifat generik dan bounded dari pada konstruktif dan cair, sehingga mereka (peneliti) acap kali lebih fokus pada dimensi struktur (social order), dan mengabaikan peran penting dimensi kekuasaan dan politik, serta kepentingan status quo agensi (apolitis). Padahal menurut Gramsci, dalam pembentukan kebudayaan dominan dan hegemonik, peran dimensi kekuasaan-politik dan kepentingan ekonomi aktor atau agensi sangat dominan. Karena itu dalam studi kebudayaan yang semakin kontemporer dan cair, memperhatikan dialektika aspek kekuasaan-politik, ideologis, kepentingan ekonomi aktor atau agensi, secara timbal balik menjadi keniscayaan. Dengan
demikian, di sini lah arti dan relevansi pemikiran kritis Antonio Gramsci terhadap Antropologi.
Agger, Ben. 1992. Cultural Studies as Cultural Theory. London Falmer Press.
Aur, Alexander,2005.
”Pascastrukturalisme Michel
Foucult dan gerbang menuju dialog antarperadaban”, dalam Teori-
Teori Kebudayaan, Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed), hal.: 145163.
Barnard, Alan, 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge
University Press.
Berger, Peter L., and Thomas Luckmann,1973. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, Garden City New York: Acor.
Bourdieu Pierre,1991. Language and Symbolic Power. Cambridge:
University Press.
Bourdieu, Pierre,1977. Outline Theory of Practice. Cambridge University Press.
Crehan, Kate, 2002. Gramsci, Culture, and Anthropology. Berkeley: University of California Press.
Foucault, M.,1980. Power/Knowledge. New York: Pantheon.
Geertz, Clifford,1973. The Interpretation of Culture. New York : Basic Books.
Giddens, Anthony,1995. The
Constitution of Society The Outline of Structuration. UK: Polity Press Cambridge.
Gramsci, Anthonio,2001. Catatan-Catatan Politik, Surabaya: Pustaka Promethea.
Gramsci, 1971. Selection from the Prison Notebooks, edited and translated by Quintin Hoare and Geofery,
Nowell Smith. London: Lawrence & Wishart.
Hanstrup, Kristen,1995. A Passage to Anthropology between Experience and Theory. London: Routlage.
Harker, C, Mahar, CH, Wilkes, Ch,1990. An Introduction the Work of Pierre
Bourdieu: The Practice Theory. London: Mc Millan Press.
Jenkins, Richard, 2004. Membaca pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kessing, M.R,1974. Current Theories of Culture in Anthropology”, in Annual Review of Anthropology Survey. Th.1974. Australia:
Australian National University.
Kroeber, A.L., and Clyde
Kluckhohn,1952. Culture: A
Critical Review of Concept and Definition. (Piper of the Peabody Museum of American Archeology and Ethnology, vol. 47,No.1). Cambridge, MA: Peabody
Museum.
Lewellen,Ted. C.,2002. The
Anthropology of Globalization. London: Bergin & Garvey.
William, Raymond, 1983. Keyword. London: Fontana.
Discussion and feedback