p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-84444

https://ojs.unud.ac.id/index.php/pastura

DOI: https://doi.org/10.24843/Pastura.2022.v12.i01.p07

pastura Vol. 12 No. 1 : 32 - 39

Level Ragi Tape dalam Proses Biokonversi Tongkol Jagung Mempengaruhi Kandungan Protein Kasar dan Kecernaan In Vitro Serat Kasar

Marthen L. Mullik, Adris Yuliana Sabneno, Marthen Yunus, dan Twen O. Dami Datto

Fakultas Peternakan Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana,

Jl. Adisucipto Penfui, Kupang 8500, Indonesia email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh ragi tape dalam proses biokonversi terhadap kandungan dan kecernaan in vitro protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) produk biokonversi tongkol jagung. Metode eksperimen ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakukan dan tiga ulangan untuk menguji lima level pemberian ragi tape dalam biokonversi tongkol jagung yaitu 2 kg cacahan tongkol jagung ditambah dan ragi tape masing-masing 25 g (RT25), 50 g (RT50), 75 g (RT75), 100 g (RT100) dan 125 g (RT125). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan PK berkisar 10,16-11,74% yang dipengaruhi oleh level ragi tape (P=0.046). Sebaliknya, kandungan SK dan kecernaan PK tidak dipengaruhi oleh level ragi tape. Tingkat kecernaan total SK secara nyata menurun dari 26,35% ke 22,78% seiring peningkatan level ragi tapi. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan ragi tape sebesar 75 g per 2 kg tongkol jagung merupakan level terbaik dalam biokonversi karena menghasilkan kandungan protein tertinggi, sedangkan kandungan serat kasar rendah.

Kata kunci: protein, serat kasar, kecernaan in vitro, ragi tape, tongkol jagung

Levels of Tape Yeast in Corn Cob Bioconversion Affects Crude Protein Content and In Vitro Digestibility of Crude Fiber

ABSRTACT

This study aimed to determine the effect of tape yeast levels on the content and in vitro digestibility of crude protein and crude fiber in the products of corn cob bioconversion. This completely randomized experimental design had five treatments and three replicates. The treatments were mixture of 2 kg copped corn cobs plus additive and addition of tape yeast at a level of 25 g (RT25), or 50 g (RT50), or 75 g (RT75), or 100 g (RT100), or 125 g (RT125). The results showed that crude protein content ranged from 10.16% to 11.74% and significantly affected by the levels of tape yeast. In contrast, total crude fibre content and in vitro digestibility of crude protein were not affected by tape yeast levels (P>0.05). Whereas, in vitro digestibility of crude fibre was significantly reduced from 26.35% to 22.78% when level of tape yeast was increased. It could be concluded that the use of tape yeast at a level 75 g per 2 kg chopped corn cobs is the best level in bioconversion because it has the highest protein content, and low crude fibre digestibility.

Keywords: protein, crude fibre, digestibility, tape yeast, corn cob

PENDAHULUAN

Tongkol jagung merupakan salah satu limbah tanaman pangan yang sangat potensial di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk digunakan sebagai sumber pakan terutama bagi ternak ruminansia. Merujuk pada data BPS NTT (2021), maka dapat diestimasi bahwa setiap tahun petani NTT mampu menghasilkan tidak kurang dari 319,565 ton (asumsi proporsi tongkol jagung adalah 15% dari total bio-

masa jagung; Widiastusi et al., 2019). Pemanfaatan tongkol jagung sebagai pakan alternatif akan memiliki pengaruh langsung yang sangat signifikian terhadap produksi ternak di NTT karena kekurangan pakan merupakan faktor dominan pembatas produksi ternak di wilayah ini akibat dari iklim semi-arid yang sangat eratik.

Tantangannya adalah tongkol jagung memiliki keterbatasan dalam hal penyediaan nutrisi karena

kandungan protein relatif rendah sekitar 3,9% (Mul-lik et al., 2022), kandungan serat kasar cukup tinggi (32,7%) (Murni et al., 2008) dan berada dalam bentuk ikatan kompleks lignoselulosa (Aylianawaty dan Susiani, 1985) sehingga relatif sulit dicerna oleh ternak. Oleh karena itu diperlukan pengolahan awal sebelum dijadikan pakan ternak (Dami Dato dan Mullik, 2019). Salah satu metode pengolahan yang umumnya dipakai adalah penggunaan jamur yang mampu menguraikan ikatan kompleks lignoselulosa tersebut sehingga nutrisi yang terikat dapat dibebaskan dan tersedia bagi ternak.

Ragi tape komersial merupakan salah satu sumber mikroba yang dapat digunakan dalam proses pengolahan pakan karena mengandung berbagai mikroba yang tidak saja sebagai pengurai pati, tetapi juga pengurai serat (Widodo, 2019). Salah satu kelompok penelitian yang menggunakan ragi tape dalam proses biokonversi tongkol jagung adalah Kaleka et al. (2021). Para peneliti tersebut menggunakan jenis mikroba Saccharomyces cerevice dalam biokonversi tepung tongkol jagung pada level 3% dari media. Tepung tongkol jagung yang digunakan oleh Kelaka et al. (2021) dikukus terlebih dahulu sebelum dilakukan biokonversi sehingga cenderung kurang praktis apabila hendak diaplikasikan pada kondisi on farm. Oleh karena itu, penelitian ini dirancang dengan harapan agar lebih praktis diterapkan dan pada skala produksi relatif besar. Atas landasan berpikir tersebut maka, ragi tape digunakan sebagai inokulan yang menyediakan jenis mikroba yang lebih beragam, dan level penggunaannya lebih tinggi yakni berkisar 2,5% - 6,5% dari berat media, serta diberikan pada tongkol jagung yang hanya dicacah saja.

MATERI DAN METODE

Penelitian experimen skala laboratorium ini dilaksanakan mulai dari tanggal 22 Februari hingga 16 Mei 2021 yang mencakap penyiapan bahan, inkubasi hingga analisis sampel. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) berdesain lima perlakuan dan tiga ulangan untuk menguji lima jenis perlakuan dengan level ragi tape (sebagai inokulan) yang berbeda yaitu

RT25 = 2 kg cacahan tongkol jagung + aditif + 25 g ragi tape

RT50 = 2 kg cacahan tongkol jagung + aditif + 50 g ragi tape

RT75 = 2 kg cacahan tongkol jagung + aditif + 75 g ragi tape

RT100 = 2 kg cacahan tongkol jagung + aditif + 100 g ragi tape

RT125 = 2 kg cacahan tongkol jagung + aditif + 125 g ragi tape

Aditif yang digunakan adalah dedak padi sebanyak 250 g (12,5% dari berat bahan) dan 50 g urea (2,5% dari berat bahan). Setiap unit perlakuan ditempatlkan dalam kotak inkubator (bahan tripleks) berukuran 30x40x20 cm yang diletakkan di atas terpal plastik dan ditutupi bagian atasnya dengan karung plastik untuk menghindari kontaminasi.

Cacahan tongkol jagung dibagi menjadi 2 bagian yang sama. Bagian pertama ditebar merata dalam kotak setinggi 10 cm (lapisan pertama), kemudian ditebar merata dengan inokulan (campuran ragi tape dan aditif) di atas permukaan tongkol jagung secara merata. Selanjutnya tongkol jagung bagian kedua ditebar lagi secara merata di atas lapisan pertama, kemudian ditebar pula dengan inokulan seperti pada lapisan pertama. Tahapan terakhir, disemprot perlahan-lahan dengan air menggunakan semprotan sampai kelembaban sekitar 70% (permukaan tongkol basah, hindari air supaya tidak tergenang di bagian bawah kotak inkubator). Selanjutnya kotak inkubator ditutup dengan terpal. Proses inkubasi dihitung mulai sejak kotak ditutup.

Pengamatan dilakukan setiap pagi dan sore hari untuk melihat perkembangan pertumbuhan jamur. Penyemprotan dengan air juga dilakukan setiap hari pada sore hari jika terlihat permukaan tongkol kering, kelembaban tetap dijaga berkisar 70-80%. Pengamatan berakhir ketika jamur sudah tumbuh merata pada permukaan tongkol hingga hari ke-10. Panen dilakukan pada hari ke-11 jamur yang dihasilkan ditimbang beratnya. Tongkol jagung sebagai media tumbuh jamur dikeluarkan dari kotak, ditimbang berat basahnya. Tongkol bersama jamur dicampur, ditimbang lagi, kemudian dijemur, digiling untuk persiapan sampel untuk tujuan analisis laboratorium sesuai variabel yang diamati.

Empat variabel utama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas tongkol jagung diukur dalam penelitian yaitu kandungan protein kasar (PK) dan total serat kasar (SK), serta kecernaan in vitro PK dan total SK. Kandungan PK pada bahan dalam sampel dan residu dianalisis menggunakan metode mikro Kjeld-hal, sedangkan SK dianalisis menurut AOAC (1990).

Kecernaan in vtro merujuk pada Tilley dan Terry (1963). Sebenarnya metode ini paling sesuai untuk penentuan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Namun, dapat pula dimodifikasi untuk penentuan kecernaan protein dan serat dengan menggunakan cairan rumen dan saliva buatan, serta masa inkubasi diperpanjang hingga 5 atau 6 hari, dimana perlu di-

jaga betul agar pH selalu stabil (Jhonson, 1996; Butts et al., 2012). Prosedur in vitro yang digunakan di Laboratorium Kimia Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar dalam menganalisis sampel hanya menggunakan metode Tilley and Terry (1963) tanpa modifikasi untuk SK dan PK.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan pendekatan General Lienar Model (GLM) univariet untuk RAL dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 25 (IBM, 2017). Pengaruh perlakukan dideteksi pada nilai alfa 0,05. Beda antar perlakuan ditentukan menggunakan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar

Pengaruh level ragi tape dalam proses biokonversi tongkol jagung terhadap kandungan PK dan SK tertera secara rinci pada Tabel 1 yang memperlihatkan bahwa kandungan PK tertinggi terdapat pada perlakuan RT75 yaitu 11,74%, sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh perlakuan RT25 yakni 10,16%. Artinya menaikan level ragi tape hingga level 75 g per 2 kg tongkol jagung dalam proses biokonversi cenderung meningkatkan kandungan protein. Namun, menaikan level ragi lebih tinggi lagi cenderung menurunkan kandungan protein dalam produk biokonversi. Hal ini disebabkan karena protein sudah optimum sehingga pada saat menaikkan level ragi lebih tinggi mikroba cenderung berkurang. Hasil penelitian Farliansyah et al. (2020) tentang fermentasi tongkol jagung menggunakan cairan rumen sebagai inokulan pada level 0, 15 dan 30% menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tongkol jagung hasil fermentasi akibat penambahan cairan rumen 15% lebih baik dibanding perlakuan lainnya dengan kandungan protein kasarnya sebesar 3,11% dibanding kontrol (2,78%), pada level 30% tampak mulai menurun (kandungan protein kasar 3,08%). Dibanding dengan penelitian ini walaupun sama-sama pengolahan secara biologis tetapi perbedaan inokulum (ragi vs cairan rumen) bisa mengakibatkan perbedaan hasil (kandungan protein kasar).

Hasill analisis statistik memperlihatkan bahwa menaikan level ragi tape dari 25 g per dua kg bahan

hingga 125 g per 2 kg bahan dalam proses biokon-versi tongkol jagung mempengaruhi secara nyata (P=0,046) kandungan protein kasar produk. Peningkatan ini diduga karena penggunaan ragi tape dalam proses biokonversi tongkol jagung mampu mengurai selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi dan meningkatkan kandungan nutrisi pakan. Selain itu peningkatan nilai protein kasar diduga karena adanya kontribusi dari maggot (larva lalat tentara hitam) yang bertelur pada media sehingga dapat menambah nilai kandungan protein. Rupanya tongkol jagung hasil fermentasi ini baunya spesifik sehingga merangsang BSF untuk datang dan bertelur dalam substrat produk fermentasi.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Klau et al. (2020) tentang efek substitusi jagung giling dengan tepung tongkol jagung hasil fermentasi khamir (Saccharomyces cerevisiae) dalam pakan konsentrat yang sangat nyata (P>0,01) meningkatkan kandungan protein kasar protein dari 12,96% ke 16,86.%. Hasil penelitian Islamiyati et al. (2013) juga menunjukkan bahwa pengaruh Trichoder-ma sp dalam proses inkubasi tongkol jagung berpengaruh nyata terhadap kandungan protein kasar dari 2,99% ke 6,07% Peningkatan ini menandakan Tric-hoderma sp. bekerja optimal pada substrat tongkol jagung yang rendah nilai nutrisinya diubah menjadi sumber pakan yang bernilai nutrisi baik.

Namun penelitian Semaun (2016) yang menggunakan Aspergillus niger, dalam fermentasi tongkol jagung tidak mempengaruhi kandungan protein. Hasil yang berbeda dengan penelitian penulis kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dalam proses fermentasi dan probiotik yang digunakan. Fermentasi tongkol jagung menggunakan Aspergillus niger 1% dengan lama fermentasi 4, 8 dan 12 hari yang baik adalah yang difermentasi selama 8 hari (4,95%) dibanding kontrol (4,35%), pada saat fermentasi 12 hari kandungan protein cenderungan menurun (4,93%). Peningkatan kandungan protein kasar tongkol jagung menggunakan Aspergillus niger dikarenakan Aspergillus niger merupakan protein asal mikroba yang dinamakan protein sel tunggal.

Uji perbedaan antar perlakuan menggunakan Metode Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penggu-

Tabel 1. Kandungan Protein Kasar Dan Serat Kasar Hasil Biokonversi Tongkol Jagung yang Diberi Level Ragi Tape Sebanyak 25 g (RT25), atau 50 g (RT50), atau 75 g (RT75), atau 100 g (RT100), atau 125 g (RT25)

Variabel

Perlakuan

SEM        Nilai P

RT25       RT50       RT75       RT100       RT125

Protein kasar (%)

Serat kasar (%)

10,16a         10,63a         11,74b         10,81ab        10,20a         0,524         0,046

29,49         29,18         29,68         29,57         29,93         1,544         0,098

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata;RT=Tongkol jagung Ragi; SEM = standard error of the treatment means


naan ragi tapi sebesar 75 g per 2 kg tongkol jagung (RT75) dan 100 g per 2 kg tongkol jagung (RT100) adalah yang terbaik karena berbeda secara nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan tiga perlakukan lainnya (RT25, RT50, dan RT125) tidak memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05).

Hal ini berarti bahwa penggunaan ragi tape sebanyak 75g atau 100 g per 2 kg bahan dalam proses biokonversi tongkol jagung menyedikan imbangan jamur dan tongkol jagung yang optimal sehingga proses biokonversi dapat berjalan dengan baik. Pada sisi lain, level ragi tape di bawah 75 g per 2 kg tongkol jagung kurang mendukung proses biokonversi karena jumlah jamur kurang. Sebaliknya, pemberian ragi tape lebih dari 100 g per 2 kg tongkol jagung merupakan level yang berlebihan karena telah melewati titik optimum sehingga proses biokonversi tidak lagi berjalan dengan baik.

Kandungan protein kasar yang diperoleh dalam penelitian ini (10,16 - 11,74%) lebih tinggi dari yang dilaporkan Islamiyati et al. (2013) yang mencatat kandungan protein kasar dari hasil penelitian mereka hanya sebesar 2,99-6,07%. Semaun (2016) juga melaporkan angka protein kasar yang hanya berkisar 4,35-4,95%. Hal ini disebabkan karena level ragi tape digunakan penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian lainnya, yakni penelitian ini menggunakan ragi tape berkisar 25-125 g, sementara peda penelitian Islamiyati et al. (2013) menggunakan 5% Trichoder-ma sp dan Semaun (2016) menggunakan Aspergillus niger sebanyak 1%. Hal inilah yang menyebabkan kandungan protein dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian lainnya.

Tingginya kandungan protein juga disebabkan karena adanya penggunaan ragi tape proses fermentasi yang meningkatkan populasi mikroba sehingga menyumbang jumlah protein dalam tongkol jagung hasil biokonversi (Fajarwati, 2002). Menurut Winarno dan Fardiaz (2003) bahan yang mengalami fermentasi mempunyai nilai gizi lebih tinggi dari bahan asalnya sebab mikroba akan memecah komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-spesies genus Aspergillus, Saccharomyces, Candida, Hansenula, dan bakteri Acetobacter (Dwid-joseputro, 1988) sehingga kandungan protein kasar tongkol jagung biokonversi ini sangat tinggi. Sejalan dengan pendapat Nurhayati et al. (2006) bahwa peningkatan jumlah massa mikroba akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk fermentasi, dimana kandungan protein merupakan refleksi dari jumlah massa sel dan mikroba juga akan mensintesis protein yang merupakan proses protein enrichment yaitu

pengkayaan protein bahan.

Salah satu faktor penghambat dalam pemanfaatan tongkol jagung sebagai pakan adalah kandungan serat kasar yang tidak saja tinggi, tetapi dibarengi juga dengan proses lignifikasi lanjut yang membentuk kristal lignoselulosa yang mendominasi karbohidrat struktural pada dinding sel jaringannya. Hal ini menyebabkan jaringan sel tongkol jagung relatif sulit dicerna karena monomer glukosanya dihubungkan dengan ikatan B-glikosidik (1,4) yang cukup rigid (Rasjid, 2012).

Kandungan serat kasar produk biokonversi tongkol jagung yang diberikan beberapa level ragi tape dalam penelitian ini telah disajikan pada Tabel 1. Data tersebut memperlihatkan bahwa kandungan serat kasar berkisar 29,18%-29,93%. Nilai tertinggi terdapat pada penggunaan ragi tape sebesar 125 g per 2 kg tongkol jagung (RT125) yaitu 29,93%, sedangkan terendah pada penggunaan ragi tape sebesar 50 g per 2 kg tongkol jagung (RT50) yaitu 29,18%.

Uji perbedaan pengaruh level ragi tape terhadap kandungan serat kasar menunjukkan bahwa menaikkan level ragi tapi dari 25g hingga 125 g per 2 kg tongkol jagung tidak menghadirkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan serat kasarnya. Sebenarnya, penambahan ragi yang di dalamnya terdapat beberapa jenis mikroba pencerna serat diharapkan dapat memutuskan berbagai ikatan kimia dalam ligin, selulosa dan hemiselulosa sehingga menurunkan total kandungan serat kasar. Tetapi ternyata tidak terjadi. Tidak berpengaruhnya ragi tape terhadap perubahan kandungan serat kasar dapat dihubungkan dengan tiga faktor yang dijelaskan di bawah ini.

Pertama, jenis mikroba pencerna serat kasar terbatas dalam ragi tape. Widodo (2019) melaporkan bahwa jamur yang berperan dalam ragi tape adalah Candida utilis, Saccharomyces cerevisiae, genus En-domycopsis, genus Hansenula, Amylomyces rouxii, Aspergillus oryzae, dan Acetobacter. Di antara jenis-jenis ini, hanya Candida utilis, Aspergillus ory-zae, Rhizopus oryzae yang memiliki enzim pencerna selulosa yaitu selulase yang menghidrolisis selulosa menjadi glukosa (Sjöström, 1995; Wang et al., 2016). Sedangkan jenis lainnya berperan dalam pencernaan pati menjadi monosakarida dan alkohol (Aspergillus oryzae, Amylomyces rouxii, Saccharomyces cerevisiae, genus Hansenula), dan alkohol menjadi cuka (Acetobacter) (Pelczar dan Chon, 1986). Padahal kandungan serat yang ada dalam tongkol jagung didominasi oleh ikatan lignoselulosa, sehingga lignin tidak dapat dicerna oleh mikroba yang ada dalam ragi tape. Itulah sebabnya, mengapa tidak terdeteksi pengaruh dari level penggunaan ragi tape dalam

proses biokonversi tongkol jagung.

Kemungkinan kedua adalah kandungan lignose-lulosa yang tinggi dalam tongkol jagung. Meskipun jenis-jenis serat tidak dianalisis dalam penelitian ini, tetapi berbagai referensi (Koswara, 1991; Mardawati et al., 2019) melaporkan bahwa kandungan lignin dalam tongkol jagung berkisar 16,3%–18,9%, sedangkan hemiselulosa berkisar 36,2%-41,2%. Lignoselulosa sendiri terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Van Soest, 1996). Hemiselulosa merupakan polimer gula yang tersusun dari monomer xylose dan glukosa (Sjösrtöm, 1995), sedangkan selulosa merupakan sebuah polimer yang tersusun dari monomer glukosa (Fengel dan Wegener, 1995). Sementara itu, lignin merupakan polimer tiga dimensi yang tersusun dari unit-unit fenilpropan yang diikat oleh ikatan ether (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C) sehingga sangat resisten terhadap hidrolisis karena adanya ikatan aryl alkyl dan ether, dan tidak larut dalam air, asam, maupun larutan hidrokarbon (Mardawati et al., 2019). Dengan komposisi serat seperti ini, maka mikroba pencerna selulosa dalam ragi mengalami kesulitan mencerna ikatan-ikatan lignoselulosa dalam tongkol jagung yang digunakan dalam penelitian ini.

Ketiga, lama inkubasi singkat. Lama inkubasi dalam penelitian ini hanya 11 hari, sehingga tidak cukup waktu bagi jamur pencerna selulosa untuk menguraikan selulosa yang terikat erat dengan lignoselulo-sa pada jaringan sel tongkol jagung. Apabila waktu inkubasi diperpanjang, maka akan tumbuh mikroba pencerna serat lain selain dari jenis mikroba yang ada di ragi tape sehingga kandungan serat kasar dalam tongkol jagung dapat diturunkan nilanya.

Kecernaan in vitro

Nilai kecernaan menggambarkan proporsi nutrisi dalam bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Nilai kecernaan yang tinggi menunjukkan bahwa nilai manfasat bahan pakan juga tinggi. Metode in vitro merupakan salah satu prosedur pengukuran nilai kecernaan nutrisi bahan pakan dengan meniru proses kecernaan yang terjadi dalam tubuh ternak, tetapi dilaksanakan di laboratorium.

Data hasil pengukuran kecernaan in vitro protein

dan serat kasar telah disajikan dalam Tabel 2. Nilai kecernaan protein berkisar 8,98%-9,57%. Nilai kecer-naan terendah pada penggunaan ragi tape sebesar 50 g per 2 kg tongkol jagung (RT50) yaitu 8,98% dan tertinggi pada penggunaan ragi tape sebesar 125 g per 2 kg tongkol jagung (RT125).

Analisis varians untuk mengetahui pengaruh penggunaan ragi tape dengan level yang berbeda terhadap kecernaan protein kasar menunjukkan bahwa level ragi tape yang digunakan dalam biokonversi tongkol jagung dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata (P = 0,089). Selain itu, angka kecernaan protein yang diperoleh dalam penelitian ini juga sangat rendah karena berada di bawah 10%. Padahal hasil penelitian para peneliti lain (Hanafi et al., 2014) menunjukkan angka kecernaan in vitro protein kasar tongkol jagung berkisar 56,12%-73,26%.

Tidak adanya pengaruh level ragi tape dan rendahnya nilai kecernaan in vitro protein yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dihubungan dengan tiga faktor berikut. Pertama, jenis mikroba dalam ragi tape terbatas kemampuannya dalam mencerna ikatan kompleks karbohidrat struktural dalam dinding sel jaringan tongkol jagung (Mardawati et al., 2019) sehingga protein yang berikatan dengan senyawa karbohidrat struktural kompleks tersebut tidak dibebaskan untuk dicerna oleh mikroba dari ragi tape selama proses biokonversi berlangsung.

Kedua, waktu inkubasi yang hanya berlangsung selama 11 hari belum memberi kesempatan yang cukup bagi mikroba yang ada dalam ragi maupun jenis mikroba lainnya yang bertumbuh dalam media untuk menghidrolisis jaringan tongkol jagung sehingga dibebaskan nutrisinya (termasuk protein) yang terikat di dalamannya.

Ketiga, kelemahan dalam metode in vitro yang digunakan oleh Laboratorium Kimia Fapet Unhas dalam melakukan analisis. Seperti yang dikemukakan pada Bagian 5.3.2. bahwa Metode in vitro Tilley and Terry (1963) sangat akurat hanya untuk analisis ke-cernaan bahan kering dan bahwa organik. Sedangkan untuk analisis protein dan serat kasar perlu dilakukan modifikasi. Modifikasi dengan menggunakan 2 tahap yaitu tahap pertama adalah fermentasi yang dilaku-

Tabel 2. Kecernaan In Vitro Protein Kasar dan Serat Kasar Hasil Biokonversi Tongkol Jagung yang Diberi Level Ragi Tape Sebanyak 25 g (RT25), atau 50 g (RT50), atau 75 g (RT75), atau 100 g (RT100), atau 125 g (RT25)

Variabel                                     Perlakuan                                 SEM

RT25       RT50       RT75       RT100      RT125

Nilai P

Kecernaan:

Protein kasar (%)               9.31          8.98          9.38          9.03          9.57         0.366

Serat Kasar (%)                26.35b        24.15a        24.07a        22.78a        23.06a        0.940

0.089

0.049

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata; RT=Tongkol jagung Ragi; SEM=Standar errors of the treatment means


kan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam cairan rumen yang diambil dari ternak yang diberi pakan khusus, serta pengendalian pH yang stabil selama 48 jam inkubasi. Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu proses hidrolisis oleh larutan asam dan pepsin, dimana proses hidrolisis ini berlangsung selama 48-72 jam juga (Jhonson, 1996; Butts et al., 2012; Plank, 2017; Palowski et al., 2021). Sementara metode lab yang digunakan dalam penelitian hanya berlangsung selama 48 jam saja.

Lebih rendahnya nilai kecernaan protein pada penelitian ini dibanding dengan yang diperoleh Hanafi et al. (2014) selain disebabkan oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, juga berkaitan dengan media dan metode yang digunakan. Dalam proses fermentasi tongkol jagung, Hanafi et al. (2014) hanya menggunakan 20 g tongkol jagung yang telah dihaluskan dalam tabung reaksi dan ditambah aquades 400 ml, 4 g molases, 4 g urea, dan 2 g Saccharomyces, 2 g Aspergillus niger, 5ml isolat rumen domba, dan 5ml isolat rumen sapi. Sementara itu, dalam penelitian ini, penulis menggunakan cacahan tongkol jagung sebanyak 2 kg dimana ukuran partikelnya masih besar (2-3 cm) sehingga menghalangi penetrasi mikroba untuk mencerna jaringan tongkol jagung. Selain dari materi dan metode yang relatif berbeda dalam proses biokonversi, prosedur in vitro yang digunakan dalam penelitian ini juga tidak menggunakan cairan rumen dan tahap 1 (fermentasi), tapi hanya menggunakan enzim selulosa dan inkubasinya juga hanya berlangsung selama 48 jam. Akibatnya, hanya sebagian kecil protein dalam jaringan tongkol jagung yang mampu dicerna.

Kecernaan in vitro serat kasar tongkol jagung yang diberi berbagai level ragi tape dan inkubasi selama 11 hari disajikan pada Tabel 2. Data tersebut memperlihatkan bahwa kecernaan serat kasar berkisar 22,78% - 26,35%. Menaikkan jumlah ragi tape dari 25 g ke 50 g per 2 kg tongkol jagung mampu meningkatkan nilai kecernaan serat kasar dari 22,78% ke 26,35% tetapi peningkatan ragi tape hingga 125 g per 2 kg tongkol jagung justru menurunkan nilai kecernaan.

Hasil analisis varian untuk deteksi pengaruh level ragi tape dalam proses biokonversi tongkol jagung menunjukkan pengaruh yang nyata (P=0,049). Uji beda perlakuan menggunakan Duncan test memperlihatkan bahwa nilai kecernaan serat pada level penggunaan ragi tape sebesar 50 g per 2 kg tongkol jagung (TR50) adalah yang terbaik (26,35%) karena berbeda nyata dengan semua perlakukan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jika kecernaan serat kasar yang menjadi target maka penggunaan ragi tape sebanyak 50 g per 2 kg tongkol jagung sudah

optimum karena level ragi tape di bawah atau di atas 50 g justru tidak efektif.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Tang et al. (2008) bahwa meningkatkan dosis isolat jamur Candida Utilis, Candida tropicalis dan Saccharom-yces cerevisiae dalam fermentasi jerami jagung dan jerami padi akan menurunkan nilai kecernaan serat kasar. Para peneliti ini berpendapat bahwa peningkatan populasi mikroba pada fermentasi jerami jagung dan pada cenderung meningkatkan persaingan mikroba dalam mendapatkan substrat sehingga tidak efektif dalam pencernaan media fermentasi. Hal ini juga yang mungkin terjadi pada penelitian yang penulis lakukan ini.

Data menarik dalam penelitian saat ini adalah nilai empiris kecernaan in vitro serat kasar pada cacahan tongkol jagung hanya mencapai nilai tertinggi sebesar 26,32% (Tabel 2). Hasil ini jauh berada di bawah nilai kecernaan in vitro yang dilaporkan Hanafi et al. (2014) pada penggunaan probiotik lokal dalam proses fermentasi tongkol jagung yang menghasilkan kecernaan serat kasar berkisar 60,29-76,76%. Faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya nilai kecernaan serat kasar yang diperoleh dalam penelitian ini adalah keragaman mikroba, pendeknya waktu fermentasi, ukuran partikel tongkol jagung yang besar, dan kelemahan dalam metode pengukuran in vitro. Penjelasan detail dari keempat faktor penyebab ini sama seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang kecernaan protein kasar.

SIMPULAN

Merujuk pada hasil penelitian ini, maka disimpulkan bahwa (i) penggunaan ragi tape sebesar 75 g per 2 kg tongkol jagung cacahan merupakan level terbaik dalam biokonversi karena menghasilkan kandungan protein tertinggi, sedangkan kandungan serat kasar tidak dipengaruhi; (ii) nilai kecernaan in vitro serat kasar terbaik diperoleh pada level pemberian ragi tape sebesar 50 g, sedangkan kecernaan protein kasar tidak dipengaruhi oleh level ragi tape, dan (iii) hal yang masih menjadi pertanyaan yang membutuhkan kajian lebih kanjut adalah mengapa kecernaan proten jauh lebih rendah dari umumnya kecernaan protein produk hijauan hasil bionversi.

DAFTAR PUSTAKA

Aylianawaty dan E. Susiani. 1985. Pengaruh berbagai pre-treatment pada limbah tongkol jagung terhadap aktivitas enzim selulase hasil fermentasi substrat padat dengan bantuan Aspergillus niger.

Available at http://www. lppm.wima.ac.id/ailin. pdf.

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th Edition, Association of Official Analytical Chemists, Arlington.

BPS NTT. 2021. NTT Dalam Angka.

Butts, C.A., J. A. Monro, dan P. J. Moughan. 2012. In vitro determination of dietary protein and amino acid digestibility for humans. British Journal of Nutrition, 108, S282–S287. https:// www.cambridge.org/core/journals/british-jour-nal-of-nutrition DOI: https://doi.org/10.1017/ S0007114512002310.

Dami Dato, T. O. dan M. L. Mullik. 2019. Peningkatan Rasio Urea: Urease Dalam Proses Hidrolisis Alkali Menurunkan Komponen Karbohidrat Struktural Pada Rumput Kume (Sorghum Plumosum Var. Timorense) Kering. J. Pastura, 9(1):24-27. DOI : https://doi.org/10.24843/Pastura.2019. v09.i01.p07

Dwidjoseputro, D. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Malang.

Fajarwati, S. 2002. Produksi protein sel tunggal Candida utilis pada media molases dengan penambahan molases dan urea. Laporan Penelitian. FMIPA, Undip.

Farliansyah J, Mustabi, Syahrir S. 2020. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Tongkol Jagung Fermentasi Menggunakan Cairan Rumen Sebagai Inokulan. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak 14 (2) : 28-40. http://repository.unhas.ac.id/id/ eprint/2568

Fengel D, dan Wegener. 1995. Wood: Chemistry, Ultrastructure Reactions. Yogyakarta: UGM Pess;

Hanafi, N. D., M. Tafsin, dan Wulandari. 2014. Penggunaan Probiotik Lokal Terhadap Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Tongkol Jagung In Vitro. Jurnal Peternakan Integratif. 3 (3): 344-354. https://talenta.usu.ac.id/jpi/article/ download/2769/2112

Jhonson, R.R, 1996. Technics and Procedures for In-Vitro and In-Vitro Rumen Studies. New York. IBM. 2017. SPSS Statistics, Version 25.

Islamiyati R, Y. D. A. Suharman, dan Wardayanti. 2013. Kandungan Protein dan Serat Kasar Tongkol Jagung yang Diinokulasi Trichoderma pada lama inkubasi yang berbeda. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 12(2): 59-63. DOI:https://doi. org/10.20956/bnmt.v12i2.1315

Kaleka, A. R., M. M. Kleden, dan G. Oematan. 2021. Penggunaan Tepung Tongkol Jagung Hasil Bi-okonversi Khamir Saccharomyeces cerevisiae Pada Kambing Kacang Betina: Utilization 0f Corn

Cob Meal Bioconverted by Yeast Saccharomyces cerevisiae on Female Kacang Goats. Jurnal Peternakan Lahan Kering. 3(1): 1334–1342. Retrieved from http://publikasi.undana.ac.id/index. php/JPLK/article/view/k589

Klau, R, L. S. Enawati, dan D. Amalo. 2020. Efek substitusi jagung giling dengan tepung tongkol jagung hasil fermentasi khamir Saccharomyces cerevisiae dalam pakan konsentrat terhadap kandungan protein kasar, serat kasar dan lemak. Jurnal Peternakan Lahan Kering. 2(1): 708–716. Retrieved from http://publikasi.undana.ac.id/ index.php/JPLK/article/view/k159

Mardawati, E. R. Andoyo, K. A. Syukra, M. T. A. P. Kresnowati, dan Y. Bindar . 2019. Production of xylitol from corn cob hydrolysate through acid and enzymatic hydrolysis by yeast. OP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 141, 2nd International Conference on Biomass: Toward Sustainable Biomass Utilization for Industrial and Energy Applications 24–25 July 2017, Bogor, Indonesia

Mullik, M. L., T. O. Dami Dato, B. Permana, T. Basuki dan D. Kanahau.. 2022. Kuantifikasi Kontribusi Program Tanam Jagung- Panen Sapi Terhadap Produksi Pakan Dan Ternak Di Provinsi Nusa Tenggara Timur. J. Pastura, 11(2):111-115. DO-I:https://doi.org/10.24843/Pastura.2022.v11. i02.p08.

Murni R, Suparjo, Akmal, B. L. Ginting. 2008. Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Buku Ajar. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi. https:// www.example.edu/paper.pdf

Nurhayati, N., B. Berliana, dan N. Nelwida. 2019. Efisiensi Protein Ayam Broiler yang Diberi Ampas Tahu Fermentasi dengan Saccharomyces cerevi-siae. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 22(2) Edisi Nopember 2019:95-106.

Pelczar, M. J. dan E.C.S Chon. 1986. Elements of Mocrobiology, Terj. Ratna Sri Hadioetomo, Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress),

Rasjid N. 2012. Pengaruh Kombinasi Sedimen Danau Limboto Dengan Tanah Kebun Sebagai Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis Hibrida (Zea mays saccharata Sturt). http://siat.ung.ac.id/files/wisuda/2012-1-84205-431407039-abstraksi-15082012102640. pdf

Semaun R, I. D. Novieta, dan M. Abdullah. 2016. Analisis Kandungan Protein Kasar Dan Serat Kasar Tongkol Jagung Sebagai Pakan Ternak Alternatif Dengan Lama Fermentasi Yang Berbeda. Jurnal

Galung Tropika. 5 (2): 71-79. DOI: https://doi. org/10.31850/jgt.v5i2.164.

Sjöström, E. 1995. Chemical Wood, Fundamentals and Usage. 2nd ed. (Press U, ed.). Yogyakarta.

Tilley, J. M. A. dan R. A. Terry. 1963. A Two Stage Technique for the in vitro digestion of forage crops. Journal Of British Grassland 18(2): 104-111. DOI: https://doi.org/10.1111/j.1365-2494.1963. tb00335.x

Wang Z, He Z, Beauchemin KA, Tang S, Zhou C, Han X, Wang M, Kang J, Odongo NE, Tan Z. 2016. Evaluation of Different Yeast Species for Improving In vitro Fermentation of Cereal Straws. Asian-Australas J Anim Sci., 29(2): 230–240. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC4698703/pdf/ajas-29-2-230.pdf

Van Soest, P.J. 1994. Rumen Ecology of Ruminants. Cornell Press.

Widiastuti, E., B. Tri Ratna Erawati, dan Nurul Agus-tini. 2019. Pengkajian budidaya jagung untuk produksi biomass dan biji di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Vol. 22, No.1, maret 2019:39-51. www.researchgate.net › publication › 341578067_PRODUKSI_BIOMASS

Widodo, W. 2019. mengenal ragi tape untuk pakan ternak. https://www.elinotes.com/2019/05/ mengenal-ragi-tape-untuk-pakan-ternak.html. Acces 10may 2022.

Winarno FG dan Fardiaz. 2003. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia.

39