pastura Vol. 2 No. 2 : 57 - 60

ISSN : 2088-818X

PERBANYAKAN INOKULUM FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR (FMA)

SECARA SEDERHANA

Herryawan K.M

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Penyediaan hijauan makanan ternak yang bermutu dan tersedia sepanjang tahun sangat penting di dalam usaha meningkatkan produksi ternak ruminansia. Akan tetapi, ketersediaan lahan khusus untuk ditanami hijauan pakan sangat terbatas, kalaupun ada merupakan lahan marjinal. Introduksi leguminosa adalah salah satu cara untuk memperbaiki produktivitas lahan marjinal. Pertanaman campuran rumput dan legum berpotensi untuk menyediakan pakan yang berkualitas, terutama apabila dilengkapi dengan teknologi pemupukan yang memperhatikan kesinambungan kualitas tanah seperti pupuk biologis fungi mikoriza arbuskula (FMA). Untuk mendapatkan pupuk biologis FMA yang mudah dan murah perlu dilakukan percobaan pembuatan pupuk biologis melalui perbanyakan inokulum FMA dengan menggunakan starter mycofer yang terdiri atas Gigaspora margarita, Glomus manihotis (Indo-1), Glomus etunicatum dan Acaulospora tuberculata (Indo-2). Media yang digunakan adalah tanah eksplorasi dari lapangan, dan perbanyakan dilakukan pada bantalan polibag dengan inang tanaman jagung. Inokulum FMA hasil perbanyakan ini selanjutnya diberi nama Ifapet. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah spora sebelum dan sesudah perlakuan berbeda nyata. Selanjutnya, Uji-t menunjukkan bahwa pemberian inokulum FMA berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah spora. Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: Inokulum FMA Ifapet yang diproduksi dengan menggunakan metode yang sederhana dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan meningkatkan kesuburan lahan marjinal.

Kata kunci : FMA, Inokulum, Spora, Ifapet, lahan marjinal

ARBUSCULAR MYCORRHIZAL FUNGI (AMF) INOCULUM PROPAGATION

IN SIMPLE METHODE

ABSTRACT

The availability of supplying a high quality forage and fodder throughout years is essential to increase ruminant livestock production. However, special land availability for planting forage is very limited, if any, there is only marginal land. Legume introduction is the only way to improve marginal lands productivity. A high feed quality could be provided by planting mix grasses and legumes, especially when equipped with sustainable fertilizing soil technology as the AMF biological fertilizer. In order to obtain a low price experiments and easy AMF biological fertilizer, propagation of AMF inoculum biological fertilizer could be carried out by using mycofer starter, consists of: Gigaspora margarita, Glomusmanihotis (Indo-1), Glomusetunicatum and Acaulosporatuberculata (Indo-2). The media used were soil exploration taken from field and polybag multiplication with a host bearing of corn crop. And then, results of AMF inoculum multiplication were named as Ifapet. The statistical test showed that significant differences number of spores found in pre and post treatments. Furthermore, t-tests showed that AMF inoculum applied significantly affected to the number of spores. It can be concluded that Ifapet AMF inoculum produced by using simple method to improve crop productivity and increased marginal soil fertility.

Keywords: AMF, inoculum, spores, Ifapet, marginal land

PENDAHULUAN

Inokulum atau propagul FMA terdiri atas hifa, spora, akar dan tanah terinfeksi fungi. Ciri dan kelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah. Pada hutan alami yang belum disentuh manusia dan pada kondisi iklim yang sama, jaringan hifa lebih cocok untuk digunakan sebagai sumber kolonisasi mikoriza arbuskula (Jasper dkk., 1997), sedangkan spora FMA lebih cocok sebagai sumber propagul dari tanah-tanah terdegradasi dan

tanah-tanah dengan iklim yang fluktuaktif, karena pada kondisi demikian, jaringan hifa mengalami kerusakan (Abbot dan Gazey, 1994).

Cara yang paling tua untuk mengintroduksi fungi mikoriza ialah dengan tanah terinfeksi (Mosse, 1981). Inokulum tanah merupakan inokulum alami yang paling murah harganya dan teknologinya juga paling sederhana. Keuntungan dengan menggunakan inokulum tanah ialah kadang-kadang terbawa jasad renik tanah lainnya yang juga dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Inokulum tanah juga berisi spora, akar dan hifa yang semuanya dapat menginfeksi akar tanaman.

Pemanfaatan dan pengumpulan inokulum tanah juga lebih mudah jika dibandingkan dengan inokulum lainnya. Kerugiannya adalah spesies yang ada di dalam tanah menjadi sulit dikontrol serta pengangkutannya dalam jumlah besar akan sulit dan mahal. Inokulum buatan dengan formula substrat campuran pasir, zeolit dan penambahan pupuk N dan P, merupakan media tumbuh yang baik dan terkontrol ketika starter untuk inokulum mikoriza menggunakan spora tunggal (Diederich, 1994).

Menurut Norland (1993) penggunaan spora sebagai starter pada inokulum telah dimulai sejak abad ke-18, karena spora mempunyai bobot yang ringan, sehingga dapat dikumpulkan dan disimpan selama beberapa tahun. Dibandingkan dengan inokulum vegetatif, spora memerlukan waktu 3-4 minggu lebih lama untuk berkecambah dan menginfeksi akar.

Tanaman bermikoriza juga dapat digunakan untuk mengifeksi akar tanaman lain. Tanamn terinfeksi jika dipindahkan ke tempat lain akan menyebarkan miselia mikoriza sampai ke akar tanaman yang dituju (Menge dan Timmer, 1982). Akar dengan mikoriza yang berlimpah harus dipilih dan kemudian digunakan ketika masih segar.

Hambatan utama dalam produksi inokulum FMA yang efisien dan dapat diandalkan terletak pada perilaku simbiotiknya. Sifat obligat dari fungi mengindikasikan bahwa fungi memerlukan tanaman inang untuk pertumbuhannya. Secara tradisional, FMA diperbanyak melalui kultur pot dengan inokulum starter berupa spora dan atau potongan-potongan akar terinfeksi yang dibenamkan ke dalam substrat pertumbuhan di pembibitan (Brundrett dkk., 2002). Fungi akan menyebar di dalam substrat dan mengkolonisasi akar bibit, substrat yang sudah dikolonisasi dan akar bibit terinfeksi kemudian dapat digunakan sebagai inokulum mikoriza.

Tanaman Inang yang Tepat untuk Perbanyakan Inokulum FMA

Kriteria yang paling penting dalam penentuan tanaman inang ialah harus berpotensi tinggi untuk membentuk mikoriza, misalnya kapasistas untuk dikolonisasi oleh strain FMA dan merangsang pertumbuhan serta sporulasi FMA tinggi. Selain itu, juga mampu tumbuh baik dalam ruang pertumbuhan dan kondisi rumah kaca, memiliki sistim perakaran yang ekstensif dan solid tapi kadar ligninnya rendah atau tanpa lignifikasi.

Bawang daun (Allium porrum L), rumput Sudan (Sorghum bicolor (L) Moench), rumput Bahia (Paspalum notatum Flugge), Jagung (Zea mays L) dan Puero (Pueraria javanica L) merupakan tanaman-tanaman yang paling sering digunakan sebagai inang dalam perbanyakan inokulum (Struble dan Skipper, 1988).

Pemilihan tanaman inang yang tepat, perlu diperhatikan karena adanya interaksi antara tanaman inang, jenis FMA, komposisi media dan iklim selama pertumbuhannya. Sebagai contoh, Pueraria javanica lebih tahan terhadap kelembaban dan suhu rendah dibandingkan dengan Sorghum. Selanjutnya, Noertjahyani dkk.

(2003) meneliti kompatibilitas empat cultivar tomat terhadap mycofer yang mengandung Glomus etunicatum, G. Manihotis, Gigaspora margarita dan Acaulospora tuberculata, ternyata infektifitasnya kurang memuaskan karena kurang dari 70%.

Komposisi hara yang tidak lengkap dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan fungi mikori-za. Faktor-faktor lainnya seperti pH, suhu media, intensitas cahaya, kelembaban relatif udara dan sanitasi lingkungan juga harus diawasi dan dikendalikan agar pertumbuhan dan perbanyakan FMA menjadi optimal. Kadangkala harus diperhatikan terjadinya kompetisi antara FMA indigenus dengan FMA yang diinokulasikan.

Baku Mutu Inokulum Fma

Tujuan akhir dari perbanyakan inokulum FMA adalah memproduksi inokulum yang bermutu tinggi dan konsisten hasilnya bagi pengguna. Bermutu tinggi bermakna bahwa inokulum dengan cepat menghasilkan kolonisasi akar yang tinggi, bebas atau hanya sedikit mengandung jasad renik lainnya khususnya yang bersifat patogen serta efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman inang (Feldman dan Idczak, 1992).

Permasalahan baku mutu inokulum FMA adalah belum adanya kriteria dan indikator inokulum FMA di Indonesia maupun di dunia internasional (Simanungkalit, 2003 dan Douds dkk., 2005 ). Standarisasi mutu inoku-lum merupakan masalah yang paling sulit dipenuhi, hal tersebut karena belum majunya teknologi produksi inokulum secara aksenik dan karena masih beragamnya bentuk dan formulasi inokulum yang dipakai sehingga akibatnya sulit untuk membandingkan efektivitas suatu jenis FMA tertentu. Indikatornya juga dapat bermacam-macam seperti: kolonisasi akar, jumlah propagul infektif atau infektivitas inokulum, panjang dan massa hifa, alih tempat hara, dan efektivitas inokulum. Infektivitas merupakan ukuran seberapa cepat dan seberapa banyak propagul FMA menginfeksi akar tanaman inang tertentu pada kondisi tertentu. Efektif tidaknya inokulum dapat dinilai berdasarkan kemampuan inokulum menghasilkan efek atau pengaruh tertentu pada tanaman inangnya (Mansur, 2007). Pupuk biologis Fungi Mikoriza Ar-buskula dapat diproduksi melalui perbanyakan inoku-lum dengan cara yang sederhana serta dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan lahan marjinal.

Pembuatan pupuk biologis FMA atau perbanyakan inokulum dapat dilakukan di tempat yang bersih dan terlindung dan membutuhkan waktu 75 hari. Perbanyakan inokulum dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode Diederichs (1995)

Inokulan FMA starter yang digunakan adalah “Mycofer” Produksi Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Media tanam yang digunakan adalah tanah dari lokasi percobaan sebanyak 100 kg, dengan tanaman inang Jagung (Zea may. sp).

Alat yang digunakan adalah polibag hitam ukuran 25 x 40 cm, lakban, pisau, alat pasteurisasi sederhana, plastik tahan panas, serta peralatan laboratorium seperti mikroskop, saringan bertingkat, cawan petri dan jara.

Pelaksanaan Perbanyakan Inokulum

Tanah dari lapangan dibersihkan dan dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian ditumbuk sehingga partikel-partikel tanah menjadi seragam dan disaring dengan saringan kawat berdiameter 20 mm. Tanah hasil saringan dimasukan ke dalam plastik tahan panas berpori dan dipasteurisasi secara sederhana dengan menggunakan drum pada temperatur 70oC selama 24 jam.

Tanah hasil pasteurisasi dimasukan ke dalam polibag hitam yang bagian dalam dari polibag tersebut sebelumnya dibasuh dengan alkohol 70%. Pada salah satu permukaan setiap polibag dibuat 6 sobekan dan lubang sedalam 2-3 cm (Lampiran 4, Gambar a). Media ini selanjutnya disebut bantal inokulum. Pada setiap lubang pada bantal inokulum kemudian dimasukan 10 gram Mycofer dan 2 butir benih jagung. Setelah tanaman berumur 7 hari dilakukan pencabutan tanaman sehingga yang tersisa hanya satu tanaman.

Bantal inokulum yang telah ditanami ditempatkan pada bench yang aman dan cukup cahaya. Tanaman tidak diberi pupuk anorganik, sedangkan penyiraman diberikan sesuai dengan kapasitas lapang dengan menggunakan air mineral. Setelah umur tanaman 60 hari, penyiraman dihentikan dan tanaman dibiarkan sampai kering untuk merangsang pertumbuhan spora FMA. Sesudah kering, bagian atas tanaman jagung di potong sebatas permukaan bantal inokulum. Inokulum hasil perbanyakan ini selanjutnya diberi nama Ifapet.

Ifapet merupakan propagul yang terdiri atas potongan-potongan akar tanaman jagung, spora FMA (Gigaspora margarita, Glomus manihotis (Indo-1), Glomus etunicatum dan Acaulospora tuberculata (Indo-2), dan tanah Ultisols Jatinangor. Untuk mengetahui keberadaan FMA dalam Ifapet dilakukan penghitungan spora sebelum dan sesudah tanam.

Perbanyakan Inokulum

Perbanyakan Inokulum FMA dilakukan dengan menggunakan metode modifikasi Diederichs dan Moawad (1995). Rangkaian percobaannya dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1a memperlihatkan media inoku-lum yang sudah ditambahkan inokulum FMA starter (mycofer) dan bibit tanaman jagung sebagai tanaman inang. Gambar 1b, c dan d menunjukkan tanaman inang jagung pada fase pertumbuhan mulai umur 9 sampai dengan 50 hari. Setelah berumur 50 hari tanaman jagung dipotong pada pangkal batang di atas permukaan tanah (Gambar 1e) dan inokulum yang selanjutnya dinamai ”Ifapet” siap digunakan (Gambar 1f). Inokulum Ifapet ini mengandung spora, tanah, potongan akar.

Baku Mutu Inokulum

Untuk menguji efektivitas inokulum, diambil sampel inokulum dari tiap pak untuk dihitung sporanya dan dibandingkan dengan jumlah spora sebelum inokulasi. Perbedaan jumlah spora sebelum inokulasi dengan sesudah inokulasi FMA memberikan gambaran bahwa telah terjadi infeksi FMA pada sistim perakaran tanaman Jagung sebagai tanaman inang. Jumlah spora ini pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan FMA

a                   b                    c

d                   e                    f

Gambar 1. Perbanyakan Inokulum FMA (Ifapet)

pada akar tanaman dan banyaknya hifa yang tumbuh. Hasil pengamatan perbedaan jumlah spora sebelum dan sesudah proses pembuatan inokulum dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah spora fma dari contoh tanah sebelum dan sesudah menjadi inokulum FMA (Ifapet)

No

Contoh Tanah

Jumlah spora per gam inokulum

Peningkatan jumlah spora (%)

sebelum

sesudah

1

A

6

17

283

2

B

11

21

190

3

C

9

26

288

4

D

7

19

271

5

E

13

20

153

6

F

10

23

230

7

G

6

15

250

8

H

11

16

145

9

I

9

20

222

10

J

8

22

275

Jumlah

90

199

-

Rataan

9

19.9

-

Untuk mengetahui perbandingan antara jumlah spora pada tanah sebelum menjadi inokulum dan setelah menjadi inokulum Ifapet, dilakukan uji T seperti terlihat pada Tabel 2

Tabel 2.Uji T Sampel Berpasangan Jumlah Spora

Rataan

N

Std. Dev

Korelasi

Sig.        t

korelasi

Sig.t

sebelum sesudah

9

10

2.30940

0.302

0.039 -10.001

0.000

19.9

10

3.34830

Tabel 2 menampilkan data rata-rata jumlah spora sebelum perlakuan adalah 9 ± 2.30 dan jumlah spora sesudah perlakuan adalah 19.9 ± 3.35, sedangkan nilai korelasi sebesar 0.30 dengan probabilitas (Sig 0.04) lebih kecil dari 0.05, artinya jumlah spora sebelum dan sesudah perlakuan berpengaruh nyata. Kemudian T-test menunjukkan bahwa hasil uji t sebesar -10.001 dengan probabilitas Sig. 0.000 lebih kecil dari 0.05, artinya pemberian inokulum FMA berpengaruh nyata dalam peningkatan jumlah spora.

Jumlah spora yang meningkat disebabkan terjadinya infeksi FMA pada akar tanaman jagung sebagai tanaman inang dan melalui perkecambahan spora yang pada umumnya memerlukan waktu 3-4 minggu (Nusantara,

2007). Jumlah spora yang ditambahkan kedalam proses pertumbuhan tanaman jagung diduga mempunyai tingkat aktivitas yang baik (tidak mati), oleh karena itu ketika biji jagung mulai berkecambah sudah mulai terjadi reaksi antara akar yang tumbuh dengan spora mikoriza. Keadaan ini sesuai dengan penjelasan dari Bonfante dan Bianciotto (1995) menjelaskan bahwa pada keadaan tidak ada tanaman inang, hifa yang terbentuk dari spora sebelum simbiosis (presymbiotic) berhenti tumbuh dan akhirnya mati. Adanya akar tanaman inang, jamur melalui hifanya akan kontak dengan tanaman inang dan mulai proses simbiotik. Fase kontak didahului dengan kejadian seperti pertentangan pertumbuhan jamur dengan akar tanaman, pola percabangan akar baru dan pada akhirnya akan terbentuk apresorium. Apresorium merupakan struktur penting dalam siklus hidup FMA hal ini diinterpretasikan sebagai kejadian kunci bagi pengenalan interaksi yang berhasil dengan calon tanaman inang. Fase kontak akan diikuti dengan fase simbiotik. Sejak fase itu jamur menyempurnakan proses morfogenesis kompleks dengan memproduksi hifa inter dan itraseluler, vesikula dan arbuskula. Aspek morfologis itu dapat dilacak dengan menggunakan kombinasi mikroskop sinar dan elektron, perbanyakan FMA berlangsung melalui diferensiasi tanah dan akar.

SIMPULAN

Berdasarkan penelaahan hasil percobaan dan kajian hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Inokulum FMA Ifapet yang diproduksi dengan menggunakan metode yang sederhana dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman yang ditanam pada lahan marjinal

DAFTAR PUSTAKA

Abbot LK dan Gazey, 1994. An ecological view of information of VA mycorrhizas. Plant Soil 159 :69-78

Bonfante,P and V Bianciotto 1995.Presymbiotic and symbiotic phase in arbuscular endomycorrhizal fungi. Morpholo and sytology . p 229 – 247 in L.A Varma and B Hock (eds) Mycorrhizal : Structure, Function, Molecilar Biology and Biotechnology. Sprynger-Verlag, New York

Diederichs, C (1995) Influence of different P source on the Efficiency of several Tropical endomycorrhizal fungi in promoting the growth of Zea Mays.L. Fertilizer Research 30:39-46. 1991. Kluwe Academic Publishers. Printed in Netherland.

Douds DD Jr, Nagahashi G, Pfeffer PE, Kayser WM, Reider C . 2005. On-farm production and utilization of arbuscular mycorrhizal fungus inoculum . Can. J Plant Sci. 85 : 15-21 al, 2005

Feldman F and Idczak E. 1992 Inoculum production of vesicular arbuscula mycorrhizal fungi for use tropical nurseries. Methode in Microbiol. 24 : 339-357

Jasper DA, Abbot LK, Johnson NC, Wedin DA, 1997 . Soil carbon, nutrients and mycorrhiza during convertion of dry tropical forest to grassland. Ecol. Appl. 7 : 171-182

Menge JA, Timmer L. 1982. Procedur for inoculation of plants with vesicular arbuscular mycorrhizae in the laboratory, greenhouse and field. Pages 59-68 in N.C. Schenk (ed). Methods and Principle of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Soc.

Mosse B. 1981 . Ecology of mycorrhizae and mycorrhizal fungi. Advances in Microbial Ecology 5 : 137-210

Norland,M. 1993. Soil Factor Affecting Mycorrhizal use in Surface Mine Reclamation. Bureau of Mines Information Circular. United States Departement on The interior.

Struble JE and Skipper HD, 1988. Vesicular arbuscular mycorrhizal fungal spore production as influenced by plant species. Plant Soil 109 :1194-1196

60