TEKNIK AKLIMATISASI PADA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala) DENGAN PERBEDAAN MEDIA TANAM DAN SIFAT TUMBUH
on
pastura Vol. 10 No. 1 : 46 - 52
p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-8444
TEKNIK AKLIMATISASI PADA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala) DENGAN PERBEDAAN MEDIA TANAM DAN SIFAT TUMBUH
Panca Dewi Manu Hara Karti, Indah Wijayanti, dan Sabrina Dianovi Pramadi
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
e-mail: [email protected] [email protected]
ABSTRAK
Penyediaan bibit lamtoro (Leucaena leucocephala) yang berkualitas dan cepat dapat dilakukan melalui pembiakkan in vitro atau kultur jaringan. Aklimatisasi merupakan tahapan akhir dari perbanyakan tanaman pada teknik kultur jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan tanaman lamtoro berakar dan tidak berakar serta mengetahui pengaruh berbagai komposisi media tanam terhadap pertumbuhan tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala). Rancangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu rancangan acak lengkap faktorial 2 × 4. Faktor pertama adalah T1 (berakar) dan T2 (tidak berakar). Faktor kedua adalah M1(zeolit), M2 (zeolit, arang sekam, pupuk kandang), M3 (pasir, arang sekam, pupuk kandang), M4 (tanah, pasir, arang sekam, pupuk kandang). Berdasarkan hasil percobaan, sifat tumbuh tanaman berakar dengan media tanam zeolit (T1M1) memberikan respon terbaik terhadap viabilitas, adaptasi daun, warna daun, pertambahan tinggi tanaman, serta jumlah daun dan ranting.
Kata kunci: aklimatisasi, kultur jaringan, lamtoro, media tanam, sifat tumbuh perakaran
ACCLIMATIZATION TECHNIQUE OF LAMTORO (Leucaena leucocephala) USING DIFFERENT PLANTING MEDIA AND ROOT GROWING CHARACTERISTIC.
ABSTRACT
The provision of high quality and expeditious lamtoro (Leucaena leucocephala) seeds can be done through in vitro or tissue culture. Acclimatization is the final stage of plant propagation in tissue culture techniques. This study aims to compare the growth of rooted and non-rooted lamtoro plants and to know the effect of various composition of planting media on the growth of lamtoro (Leucaena leucocephala) plants. The design used in this study was a factorial completely randomized design 2 × 4. The first factor such as T1 (rooted) and T2 (rootles).The second factor such us M1 (zeolite), M2 (zeolite, husk charcoal, manure), M3 (sand, husk charcoal, manure), M4 (soil, sand, husk charcoal, manure). The results were the growth characteristics of rooted plants with zeolite planting media (T1M1) had the best response to viability, leaf adaptation, leaf color, increase in plant height, and number of leaves and twigs
Keywords: acclimatization, Leucaena leucocephala, planting media, root growing characteristic, tissue culture
PENDAHULUAN
Ternak ruminansia membutuhkan hijauan sebagai sumber pakan utama. Hijauan akan dibedakan menjadi graminae dan leguminosae. Salah satu jenis hijauan leguminosae dengan protein tinggi adalah lamtoro (Leucaena leucocephala) yang merupakan tanaman pohon. Pertumbuhan tanaman ini mampu mencapai tinggi 5 – 15 m, dengan perakaran yang dalam serta dapat beradaptasi pada tanah yang berdrainase pada daerah dengan iklim sedang dan curah hujan tahunan diatas 760 mm (Hoult dan Briant, 1974). Lamtoro merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk makanan ternak dan
mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena lamtoro mudah ditanam, cepat tumbuh, memiliki produksi yang tinggi serta kandungan komposisi asam amino yang seimbang (Muelen et al., 1979). Tanaman lamtoro memiliki kandungan protein kasar sebesar 23,7 – 34% dan mempunyai palatabilitas tinggi (Yumiarty dan Suradi 2010).
Tanaman lamtoro dalam pengembangan dan perbanyakannya memerlukan penyediaan bibit unggul yang merupakan salah satu aspek penting dalam keberhasilan tanaman. Permasalahan di Indonesia adalah terbatasnya bibit unggul yang tersedia. Upaya penyediaan bibit yang berkualitas dapat dilakukan
melalui pembiakan in vitro atau kultur jaringan. Teknik kultur jaringan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk mengisolasi bagian dari tanaman dan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Kultur jaringan memiliki keunggulan dalam perbanyakannya karena dapat dilakukan dengan bahan tanaman yang sedikit, tanaman dihasilkan dengan kondisi bebas penyakit, faktor lingkungan yang dapat disesuaikan, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh faktor iklim. Metode kultur jaringan dapat menghasilkan bibit yang banyak dalam waktu yang cepat (Santoso dan Nursandi, 2004).
Aklimatisasi planlet merupakan tahapan akhir dari perbanyakan tanaman pada teknik kultur jaringan. Aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan planlet ke media aklimatisasi dengan kondisi lapang. Tahapan aklimatisasi merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca maupun lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur (Yusnita, 2003). Perbedaan kondisi lingkungan in vivo dengan kondisi in vitro menyebabkan terjadinya persentase tumbuh tanaman yang rendah jika pada tahapan aklimatisasi tidak dilakukan dengan baik. Proses aklimatisasi dapat menentukan hasil akhir keberhasilan teknik kultur jaringan. Kondisi non aseptik dan tidak terkontrol seperti suhu, cahaya serta kelembaban, menyebabkan tanaman harus mampu bertahan hidup dalam kondisi autotrof. Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat keberhasilan saat aklimatisasi (Handini, 2012).
Selama ini belum ada penelitian terkait yang membandingkan pertumbuhan tanaman lamtoro berakar dan tidak berakar yang dikembangkan dari hasil kultur jaringan. Perlu dilakukan penelitian mengenai pertumbuhan tanaman lamtoro yang dikembangkan dari hasil kultur jaringan melalui teknik aklimatisasi yang disertai dengan pengaruh media tanam yang digunakan.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan tanaman lamtoro berakar dan tidak berakar yang dikembangkan dari hasil kultur jaringan melalui teknik aklimatisasi serta mengetahui pengaruh berbagai komposisi media tanam terhadap pertumbuhan tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agrostologi, Divisi Ilmu dan Teknologi Tumbuhan Pakan dan Pastura, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu jangka sorong CALIPER 150 mm, plastic cup, plastik, karet gelang, pinset, gelas piala, gunting, label, autoklaf, munsell color chart, thermohygrometer, time programmer, botol semprot, bak plastik, lampu neon dan rak penyimpanan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanaman lamtoro hasil kultur jaringan, tanah, pasir, pupuk kandang, arang sekam, zeolit, fungisida dithane M-45, pupuk daun hyponex, aquadest dan zat pengatur tumbuh IBA. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu. Tanaman lamtoro hasil kultur jaringan yang akan digunakan dipilih berdasarkan sifat tumbuh perakaran.
Sterilisasi Media
Media tanam yang telah dimasukkan ke dalam plastik tahan panas kemudian dimasukkan kedalam autoklaf dengan suhu 1210C dengan tekanan 1 atm. Sterilisasi dilakukan selama 25 menit, setelah suhu autoklaf turun, media dapat diambil dan disimpan dalam lemari penyimpanan. Media tanam yang sudah disterilisasi dimasukkan kedalam plastic cup sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan dan ditandai dengan pemberian label perlakuan. Media diberikan aquadest dan penyemprotan pupuk daun hyponex.
Aklimatisasi
Tanaman hasil kultur jaringan yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Tumbuhan Pakan Divisi Ilmu dan Teknologi Tumbuhan Pakan dan Pastura, Fakultas Peternakan dipindahkan ke Laboratorium Tanah dan disimpan selama 7 hari agar tanaman dapat beradaptasi sebelum dilakukan aklimatisasi. Setelah itu, berdasarkan sifat tumbuhnya, tanaman dikeluarkan dari botol kultur menggunakan pinset dan dibersihkan dari media kultur di bawah air yang mengalir. Tanaman kemudian direndam dalam larutan aquades 1 liter dengan 1 gram pupuk daun hyponex dan 1 gram fungisida dithane M-45, sementara bagi tanaman yang tidak berakar larutan tersebut ditambahkan ZPT IBA sebanyak 1 ml dan direndam selama 15 menit.
Tanaman kemudian dipindahkan pada bak yang dilapisi tissue. Tanaman berakar diukur panjang akarnya terlebih dahulu. Kemudian tanaman dipindahkan pada media tanam yang telah diberikan aquadest. Setelah itu, tanaman disiram dan disungkup menggunakan plastik yang sudah diberikan aquadest. Tanaman diletakkan di atas bak berisi air dan kemudian dipindahkan pada rak dengan pencahayaan lampu neon yang sudah diatur menggunakan time programmer. Pengamatan dilakukan selama 3 hari sekali dan penyiraman dilakukan selama 2 hari sekali.
Pengamatan dan Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting, warna tanaman, panjang akar, dan persentase kerontokan daun.
-
1. Suhu dan kelembaban
Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan pada pukul 08.00, 13.00, 16.00 dan 18.30 WIB menggunakan alat thermohygrometer yang disimpan di rak penyimpanan tanaman.
-
2. Persentase viabilitas
Persentase viabilitas dihitung berdasarkan rumus berikut :
∑tanaman yang hidup di awal penelitian
×100%” ∑tanaman yang ditanam
-
3. Persentase kerontokan daun
Persentase kerontokan daun dihitung berdasarkan rumus berikut :
∑ daun rontok
×100%” ∑daun bertambah + daun awal
-
4. Tinggi tanaman (mm)
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan jangka sorong CALIPER 150 mm, pengukuran dimulai dari tanaman yang berada di atas permukaan tanah hingga pucuk tertinggi. Pengukuran dilakukan selama 3 hari sekali hingga 42 HST.
-
5. Jumlah daun dan ranting
Pengamatan jumlah daun dan ranting dilakukan selama 42 hari setelah tanam (HST) pengambilan data selama 3 hari sekali.
Rancangan Percobaan
Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap faktorial (RALF) dengan faktor pertama yaitu sifat tumbuh perakaran dan faktor kedua yaitu media tanam. Sifat tumbuh terdiri atas 2 perlakuan yaitu tanaman berakar dan tidak berakar. Media tanam terdiri atas 4 perlakuan, yaitu pasir, kompos, dan arang aktif.
Faktor sifat tumbuh perakaran :
T1 = Berakar
T2 = Tidak berakar
Faktor media tanam :
M1 = Zeolit
M2 = Zeolit : pupuk kandang : arang sekam (1:1:1)
M3 = Pasir : pupuk kandang : arang sekam (1:1:1)
M4 = Tanah : pasir : pupuk kandang : arang sekam (1:1:1:1)
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Apabila terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey. Program yang digunakan ialah Minitab 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban
Parameter suhu dan kelembaban diamati pada berbagai waktu yaitu pagi, siang, sore dan malam hari. Suhu dan kelembaban diamati selama 42 HST. Hasil pengamatan pada suhu dan kelembaban selama tahap aklimatisasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Selama Tahap Aklimatisasi
Pagi Siang Sore Malam
Suhu (°C) 28,78 ± 0.81 28,94 ± 0.70 28,65 ± 0.51 28,55 ± 0.52
RH (%) 69,94 ± 2,26 69,81 ± 2,88 71,00 ± 2,53 72,56 ± 1,71
Tanaman yang dipelihara dalam keadaan steril dengan suhu dan kelembaban optimal, memiliki sifat yang sangat rentan terhadap lingkungan eksternal. Tanaman yang tumbuh dalam kultur jaringan di laboratorium memiliki karakteristik stomata daun yang lebih terbuka dan sering tidak memiliki lapisan lilin pada permukaan daun. Hal tersebut menyebabkan tanaman sangat rentan terhadap kelembaban rendah. Berdasarkan hal tersebut, tanaman perlu mengalami tahap aklimatisasi sebelum ditanam pada kondisi lapang (Mariska dan Sukmadjaja, 2003).
Tahap aklimatisasi merupakan tahapan yang sangat penting dan sebagai tahap kritis karena dapat menentukan keberhasilan pada teknik kultur jaringan. Kondisi non aseptik dan tidak terkontrol baik suhu, cahaya, dan kelembaban, memaksa tanaman harus dapat hidup dalam kondisi autotrof.
Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat keberhasilan saat aklimatisasi (Handini, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, suhu berada pada kisaran 28,55 hingga 28,94°C, hal ini sesuai dengan kondisi lingkungan yang cocok untuk tanaman lamtoro (L. leucocephala) yang berada pada iklim tropis dengan suhu 25 - 30 °C (Sarwono, 1987). Sementara data kelembaban selama tahap aklimatisasi yaitu berkisar antara 69,94 hingga 72,56%. Menurut Yusnita (2010), kelembaban pada kisaran 50 hingga 70% dapat merangsang penebalan lapisan lilin kutikula dan membuat bibit lebih kuat.
Pengamatan suhu dan kelembaban dilakukan karena kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi proses fisiologis tanaman. Menurut Soedjianto (1982),
suhu yang rendah dapat menyebabkan penyerapan air dan unsur hara oleh akar tanaman sedikit. Sebaliknya jika suhu tinggi tetapi masih sesuai untuk pertumbuhan tanaman maka akan meningkatkan penyerapan air dan unsur hara oleh akar dan meningkatkan hasil fotosintesis.
Kelembaban mempengaruhi proses transpirasi karena berperan dalam membantu penyerapan air dan translokasi unsur hara ke seluruh bagian tanaman, serta mencegah terjadinya cekaman air. Kelembaban udara yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman karena dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Tinggi rendahnya suhu memiliki pengaruh terhadap tinggi rendahnya kelembaban. Pada kondisi dengan suhu yang tinggi, akan terjadi penurunan kelembaban, begitu pula pada suhu yang rendah maka akan terjadi kenaikan pada kelembaban.
Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena kelembaban udara dapat mempengaruhi laju transpirasi. Kelembaban yang rendah dapat meningkatkan laju transpirasi sehingga penyerapan air serta zat-zat mineral juga dapat meningkat. Jika kelembaban tinggi, maka laju transpirasi menjadi rendah sehingga rendahnya penyerapan zat-zat nutrisi dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Sigit, 2008). Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembaban daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara (Ayu, 2011).
Persentase Viabilitas
Kondisi lingkungan in vivo yang berbeda dengan kondisi in vitro dapat menyebabkan rendahnya persentase viabilitas tanaman pada tahap aklimatisasi. Perlakuan yang tepat dan terkontrol pada planlet akan menentukan tingkat keberhasilan saat aklimatisasi (Handini, 2012). Berikut disajikan dalam Tabel 2, tingkat viabilitas tanaman (L. leucocephala) pada tahap aklimatisasi yang dilakukan selama 42 HST dan 56 HST.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perlakuan dengan persentase viabilitas tanaman tertinggi selama tahap aklimatisasi 42 HST adalah pada M1T1 dan M1T2 dengan nilai 86,67%, sementara persentase viabilitas tanaman terendah adalah pada perlakuan M2T3 dengan nilai 20%. Setelah 42 HST tahap aklimatisasi, sungkup dibuka dan kemudian diadaptasikan selama dua minggu sebelum tanaman dipindahkan pada kondisi lapang. Selama 56 HST, terdapat penurunan persentase viabilitas tanaman dengan nilai tertinggi pada perlakuan M1T1 yaitu 8,07% dan nilai terendah pada perlakuan M2T2 dan M2T3.
Tingkat viabilitas tanaman dipengaruhi oleh
perbedaan sifat tumbuh perakaran dan media tanam. Pada sifat tumbuh perakaran, nilai terendah didapatkan pada perlakuan tanaman tidak berakar. Hal ini disebabkan oleh kondisi anatomi tanaman yang belum sempurna sehingga dapat menyebabkan rendahnya persentase viabilitas tumbuh tanaman dalam keberhasilan aklimatisasi. Kecenderungan pada sistem perakaran yang mudah rusak dan tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan pertumbuhan tanaman pada kondisi in vivo sangat tertekan (Zulkarnain, 2009).
Tabel 2. Persentase Viabilitas Tanaman Lamtoro (L. leuco-cephala) pada Tahap Aklimatisasi Selama 42 HST
Sifat Perakaran |
Media Tanam | |||
M1 |
M2 |
M3 |
M4 | |
42 HST | ||||
T1 |
86,67 % |
86,67 % |
26,67 % |
53,34 % |
T2 |
66,67 % |
40,00 % |
20,00 % |
66,67 % |
56 HST | ||||
T1 |
8,07 % |
6,92 % |
3,75 % |
3,75 % |
T2 |
3,00 % |
0,00 % |
0,00 % |
1,50 % |
Keterangan:
T1 (berakar); T2 (tidak berakar); M1 (zeolit); M2 (zeolit:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M3 (pasir:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M4 (tanah:pasir:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1:1)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, media tanam dengan persentase viabilitas tanaman yang tinggi adalah pada media tanam dengan perlakuan zeolit (M1) dan perlakuan zeolit: arang sekam: pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1 (M2). Hal ini dapat disebabkan karena zeolit merupakan media tanam yang mampu mengikat air dan unsur hara pada tanaman. Media tanam zeolit memiliki mineral dengan kapasitas tukar kation (KTK) dan daya retensi air yang tinggi yaitu penukar ion, absorpsi, dan penyaring molekul (Maharani et al., 2018). Sementara media tanam dengan persentase viabilitas terendah adalah pada perlakuan pasir:arang sekam:pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1 (M3) hal ini dikarenakan secara kimia pasir termasuk dalam media yang tidak bereaksi. Selain porositas yang tinggi, pasir memiliki kapasitas tukar kation yang rendah sehingga pasir sangat cepat dalam melepaskan unsur hara. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariyono (2005) pada tanaman Corynanthera flava dengan perlakuan campuran pasir, arang sekam, dan kompos (1:1:1) pada proses aklimatisasi memiliki nilai viabilitas terendah yang disebabkan oleh hilangnya fungsi stomata dan menipisnya kutikula daun. Penyebab kematian pada tanaman dapat diakibatkan oleh terjadinya kemunduran fungsi organ pada planlet.
Persentase Kerontokan Daun
Kerontokan daun disebabkan oleh adanya proses fisiologis tanaman dan model toleransi tanaman terhadap lingkungan maupun media tanam selama tahap aklimatisasi. Tingkat kerontokan daun tanaman lamtoro (L. leucocephala) selama tahap aklimatisasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Persentase kerontokan daun selama 42 HST pada tahap aklimatisasi
Keterangan: T1 (berakar); T2 (tidak berakar); M1 (zeolit); M2 (zeolit: arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M3 (pasir: arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M4 (tanah:pasir: arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1:1)
Berdasarkan analisis ragam, hasil menunjukkan bahwa sifat tumbuh perakaran dan perbedaan media tanam berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase kerontokan daun tanaman lamtoro (L. leucocephala). Pengaruh paling nyata terdapat pada perlakuan M2T2 dan M2T4 dengan nilai persentase kerontokan daun yang tinggi masing-masing adalah 59,44% dan 55,37%. Kerontokan daun atau mekanisme pengguguran daun merupakan suatu reaksi penyelamatan terhadap tekanan lingkungan. Berbagai faktor baik sifat tumbuh perakaran maupun perbedaan media tanam menunjukkan nilai yang berbeda terhadap persentase kerontokan daun. Ketahanan terhadap kondisi lingkungan dapat menyebabkan respon kerontokan daun yang berbeda sesuai dengan faktor-faktor yang mendukungnya. Ketahanan terhadap lingkungan khususnya kekeringan berkaitan dengan cara tanaman mempertahankan kelembaban dalam tubuh tanaman pada situasi yang mengharuskannya untuk bertranspirasi (Santoso dan Prayudyaningsih 2006). Kerontokan daun majemuk memiliki hubungan yang berlawanan arah dengan pertambahan jumlah daun majemuk. Hal tersebut menjadi indikator bahwa terdapat interaksi negatif yang disebabkan oleh tanaman (Manpaki, 2016).
Pertambahan Tinggi Tanaman
Tabel 3 disajikan hasil rataan pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah ranting tanaman lamtoro selama tahap aklimatisasi yang dilakukan selama 42 HST. Berdasarkan hasil analisis ragam, faktor sifat perakaran dan perbedaan media tanam memiliki berbeda secara signifikan terhadap pertambahan tinggi tanaman (P<0,05). Uji lanjut
dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan T1M1, T1M2 dan T1M4 berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman dengan nilai pertambahan tinggi tanaman secara berturut-turut yaitu 0,65, 0,60, dan 0,58 mm. Perlakuan T2M2, T2M3 dan T2M4 secara berturut-turun menghasilkan nilai pertambahan tinggi yang negatif yaitu -0,43, -0,85 dan -0,28 mm, hal ini dikarenakan tidak terdapat peningkatan tinggi tanaman, melainkan penurunan ukuran tinggi seperti tanaman yang perlahan-lahan merunduk maupun tanaman yang mengalami kerontokan daun dan ranting.
Tabel 3. Pertambahan Tinggi Tanaman Lamtoro (L. leuco-cephala) pada Tahap Aklimatisasi Selama 42 HST
Sifat Perakaran |
Media Tanam |
Rataan | |||
M1 |
M2 |
M3 |
M4 | ||
T1 |
0,65a±0,63 |
0,60a±0,28 |
-0,43bc±0,54 |
0,58a±0,56 |
0,35a |
T2 |
0,48ab±0,39 |
-0,43c±0,53 |
-0,85c±0,64 |
-0,33c±0,51 |
-0,28b |
Rataan |
0,56a |
0,08b |
-0,64c |
0,12b |
Keterangan:
T1 (berakar); T2 (tidak berakar); M1 (zeolit); M2 (zeolit: arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M3 (pasir: arang sekam: pupuk kandang:1:1:1); M4 (tanah:pasir: arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1:1)
Menurut Zulkarnain (2009), sistem perakaran yang cenderung mudah rusak dan tidak berfungsi dengan baik akan membuat pertumbuhan tanaman pada kondisi in vivo sangat tertekan. Kondisi anatomi tanaman yang belum sempurna menyebabkan rendahnya tingkat tumbuh tanaman dan keberhasilan aklimatisasi. Dalam proses aklimatisasi, akar belum berfungsi secara optimal dalam proses penyerapan unsur hara, sedangkan stomata daun dalam proses adaptasi menghindari transpirasi yang berlebihan. Sementara pada faktor pengaruh media tanam, Ismail (2013) menyatakan bahwa media tanam pasir memiliki luas permukaan kumulatif yang relatif kecil sehingga kemampuan menyimpan air sangat rendah atau tanahnya lebih cepat kering. Kelebihan media zeolit dari arang sekam yaitu dapat menyimpan unsur hara dan menyuplai unsur hara ke tanaman tersebut. Rendahnya nilai pertambahan tinggi tanaman pada media M3 diduga karena pada media arang sekam bersifat mudah kering sedangkan pasir bersifat padat jika terkena larutan hara sehingga tanaman tidak mampu menyerap unsur hara secara maksimal.
Jumlah Daun dan Ranting
Jumlah daun dan ranting dihitung berdasarkan rataan daun dan ranting pada hari ke-42 HST. Pertumbuhan daun dan ranting merupakan dapat menunjukkan respon tanaman pada tahap aklimatisasi. Hasil penelitian terhadap jumlah daun dan ranting ditunjukkan pada Tabel 6 dan Tabel 7 berikut.
Tabel 6. Jumlah Daun Tanaman Lamtoro (L. leucocephala) pada Tahap Aklimatisasi Selama 42 HST
Sifat Perakaran |
Media Tanam |
Rata-an | |||
M1 |
M2 |
M3 |
M4 | ||
T1 |
2,57a±0,99 |
2,10ab±1,23 |
0,89ab±0,35 |
2,32ab±1,03 |
1,97a |
T2 |
1,73ab±1,23 |
0,71b±0,00 |
0,71ab±0,00 |
1,06b±0,69 |
1,05b |
Rataan |
2,15a |
1,40ab |
0,80b |
1,70ab | |
Tabel 7. Jumlah Ranting Tanaman Lamtoro (L. leuco- | |||||
cephala) pada Tahap Aklimatisasi Selama 42 HST | |||||
Sifat |
Media Tanam |
Rata- | |||
Pera- | |||||
karan |
M1 |
M2 |
M3 |
M4 |
an |
T1 |
2,23a±0,60 |
1,84ab±0,78 |
1,00b±0,00 |
2,16ab±0,71 |
1,81a |
T2 |
1,75ab±0,69 |
1,43ab±0,40 |
1,00b±0,00 |
1,39b±0,42 |
1,40b |
Rataan |
1,99a |
1,63ab |
1,00b |
1,78a |
Keterangan:
T1 (berakar); T2 (tidak berakar); M1 (zeolit); M2 (zeolit:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M3 (pasir:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1); M4 (tanah:pasir:arang sekam: pupuk kandang: 1:1:1:1)
Berdasarkan hasil uji analisis ragam terhadap jumlah daun dan ranting, terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) dari pengaruh sifat perakaran dengan perbedaan media tanam yang diberikan. Jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan T1M1 dengan nilai 2,57 dan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun. Sementara nilai terendah terdapat pada perlakuan T2M2 dengan nilai 0,70. Berdasarkan faktor perbedaan media tanam, media M1 berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun dengan nilai 1,99.
Jumlah ranting tertinggi terdapat pada perlakuan T1M1 dengan nilai 2,23, sementara nilai jumlah ranting terendah terdapat pada perlakuan T1M3 dan T2M3 dengan nilai 1,00. Berdasarkan faktor sifat perakaran, tanaman berakar berpengaruh sangat nyata sebesar 1,81 dibandingkan tanaman tidak berakar dengan nilai 1,40. Berdasarkan faktor perbedaan media tanam, media M1 dan M4 berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun dengan masing-masing bernilai 1,99 dan 1,78, sementara perlakuan M3 merupakan perlakuan dengan nilai terendah sebesar 1,00 dengan standar deviasi 0,00, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat ranting yang tersisa hingga pengamatan ke-42 HST.
SIMPULAN DAN SAAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tanaman lamtoro (L. leucocephala) hasil kultur jaringan pada tahap aklimatisasi memberikan respon adaptasi yang baik pada sifat tumbuh tanaman berakar (T1) dan pada media tanam zeolit (M1). Sementara respon yang kurang baik ditunjukkan pada tanaman tidak berakar (T2) dengan media tanam pasir: arang sekam: pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1 (M3). Respon
tersebut ditunjukkan dari tingkat viabilitas tanaman, tingkat kerontokan daun, warna daun, pertambahan tinggi tanaman serta jumlah daun dan ranting.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait respon fisiologis tanaman lamtoro (L. leucocephala) setelah tahap aklimatisasi untuk mengetahui daya tahan tanaman pada kondisi lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, D. 2011. Kajian Komposisi Bahan Dasar Dan Kepekatan Larutan Nutrisi Organik Untuk Budidaya Baby Kailan (Brassica Oleraceae Var. Alboglabra) Dengan Sistem Hidroponik Substrat. [Skripsi]. Surakarta (ID) : Universitas Sebelas Maret.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud. 1991. Sumber Pertumbuhan Padi dan Kedelai. Potensi dan Peluang. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.
Gani, A. 2006. Bagan Warna Daun. Jakarta: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Handini, A. S. 2012. Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium lasianthera pada Tahap Aklimatisasi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hariyono, K. 2005. Effect of Calcium and Sugar Concentration in Micropropagation of Corynan-thera Flava. Department of Enviromental Biology. Curtin University or Technology. Perth, Western Australia.
Hoult, E. H. and P. P. Briant. 1974. Practise experiments and demonstration. In : Whiteman, P.C., L.R. Humpreys and N.H. Monteith. A Course Manual in Tropical Pasture Science. Australia Vice Chancerllors Committee. Brisbane
Ismail, F. 2013. Media tanam sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Jurnal Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya
Maharani. A., Suwirmen, dan Zozy, A. N. 2018. Pengaruh konsentrasi Giberelin (GA3) terhadap pertumbuhan Kailan (Brassica oleracea L. Var alboglabra) pada berbagai media tanam dengan Hidroponik Wick System. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 6(2) : 63-70.
Manpaki, S. J. 2016. Respon Pertumbuhan Eksplan Tanaman Lamtoro (Leucaena leucocephala cv. Teramba) Terhadap Cekaman Kemasaman Media dengan Level Pemberian Aluminium Melalui Kultur Jaringan. Skripsi. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Nutrisi Dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Mariska, I., dan Sukmadjaja, D., 2003. Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan.Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Bogor
Santoso, B. dan Prayudyaningsih, R. Tingkat kerontokan dan produksi daun beberapa jenis Murbei (Morus multicaulis Perr., Morus nigra Linn., dan Morus indica S-54) di daerah berlahan kering. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 3(2) : 119 – 126.
Santoso, U. dan Nursandi, F. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Malang (ID) : UMM Pres.
Sarwono, B. 1987. Pengelompokan Hijauan Makanan Ternak, Trubus, Jakarta.
Sigit, Y. 2008. Kajian elongasi dan aklimatisasi pada kultu In Vitro Aquilaria beccariana van Tiegh. Skripsi. Bogor (ID) : Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Soedjianto. 1982. Bercocok Tanam Jilid III. Yasagura : Jakarta.
Yumiarty, H. dan Suradi, K. 2010. Utilization of lamtoro leaf in diet on pet production and the lose of hair rabbit’s pelt. Jurnal ilmu ternak.7(1): 73-77.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.
Yusnita. 2010. Perbanyakan In Vitro Tanaman Anggrek. Penerbit Universittas Lampung. Bandar Lampung. 55, 81, dan 91 hlm.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Jaka
52
Discussion and feedback