pastura Vol. 8 No. 1 : 29 - 32

p-ISSN 2088-818X e-ISSN 2549-8444

KECERNAAN IN-VITRO, VOLLATYLE FATTY ACID, DAN AMONIA SILASE JERAMI JAGUNG DENGAN LAMA WAKTU PENYIMPANAN BERBEDA

A. A. A. S. Trisnadewi, I G. L. Oka Cakra, Dan T. G. B. Yadnya

Fakultas Peternakan Universitas Udayana

e-mail: aaas_trisnadewi@unud.ac.id

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui kecernaan invitro silase jerami jagung dengan lama waktu penyimpanan yang berbeda. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang lima kali, sehingga terdapat 20 unit percobaan. Keempat perlakuan tersebut adalah W1 = lama penyimpanan 14 hari, W2 = lama penyimpanan 21 hari, W3 = lama penyimpanan 28 hari, dan W4 = lama penyimpanan 35 hari. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah kecernaan bahan kering dan bahan organik, Vollatile Fatty Acid (VFA) dan amonia (NH3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering (KCBK) menunjukkan perbedaan yang nyata, sebaliknya kecernaan bahan organik (KCBO), VFA, dan NH3 berbeda tidak nyata, dan terdapat kecenderungan menurunnya nilai KCBK, KCBO, VFA, dan NH3 dengan semakin lama waktu penyimpanan silase jerami jagung. Dapat disimpulkan KCBK, KCBO VFA, dan NH3.silase jerami jagung tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan berbeda.

Kata kunci: jerami jagung, silase, lama penyimpanan, kecernaan in vitro, VFA, NH3

IN-VITRO DIGESTIBILITY, VOLLATYLE FATTY ACID, AND AMMONIA OF CORN STRAW SILAGE WITH DIFFERENT STORAGE PERIODE

ABSTRACT

The study aimed to determine invitro digestibility, volattyle fatty acid (VFA) and ammonia (NH3) of corn straw silage with different storage periode. The experiments use a completely randomized design (CRD) with four treatments and each treatment was repeated five times, so there are 20 experimental units. The fourth treatments are W1 = storage time of 14 days, W2 = storage time of 21 days, W3 = storage time of 28 days, and W4 = storage time of 35 days. The parameters observed in this study in-vitro digestibility including dry matter and organic matter digestibility, VFA, and NH3. Results of the experiment showed that dry matter digestibility showed significant differences, otherwise organic matter digestibility, VFA, and NH3 were not significantly different, and there was a tendency to decrease the value of dry matter and organic matter digestibility, VFA, and NH3 with longer duration of storage of corn straw silage. It can be concluded that dry matter, organic matter digestibility VFA, and NH3, are not significant different.

Keywords: corn straw, silage, storage periode, invitro digestibility, VFA, NH3

PENDAHULUAN

Ternak ruminansia tergolong ternak herbivora dimana pakan utamanya berupa hijauan yang digunakan sebagai sumber energi maupun sumber protein utama, disamping konsentrat sebagai pakan tambahan. Hijauan yang diberikan pada ternak ruminansia bisa berupa hijauan segar maupun hijauan yang diawetkan. Petani peternak umumnya memberikan rumput baik rumput lokal maupun unggul, serta dedaunan. Pada musim kemarau ketersediaan hijauan umumnya terbatas sehingga perlu dicari alternatif sehingga hijauan tetap dapat tersedia sepanjang tahun.

Limbah tanaman pertanian merupakan salah satu alternatif yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan terutama pada saat produksinya melimpah. Jerami jagung merupakan salah satu limbah yang potensial sebagai sumber serat pada ternak ruminansia. Limbah tanaman jagung yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah bagian daun, batang, tongkol dan kulit tongkol.

Jerami jagung merupakan hasil ikutan bertanam jagung dengan tingkat produksi mencapai 4-5 ton/ha. Kandungan nutrisi jerami jagung diantaranya protein 5,56%, serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25, abu 7,28 dan BETN 52,32%. Dengan demikian, karakterisitik jerami jagung sebagai pakan ternak tergolong hijauan

bermutu rendah dan penggunaannya dalam bentuk segar tidak menguntungkan secara ekonomis. Selain itu, jerami jagung memiliki kandungan serat kasar tinggi sehingga daya cernanya rendah (BPTP Sumatera Barat, 2011).

Kendala utama penggunaan limbah tanaman pertanian termasuk jagung sebagai pakan adalah nilai nutrisi yang rendah terutama tingginya kandungan serat kasar dan kandungan protein yang rendah. Kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan rendahnya kecernaan limbah tanaman jagung. Upaya untuk mengatasi keterbatasan limbah tanaman jagung adalah dengan memberi perlakuan sebelum diberikan pada ternak atau melalui proses pengawetan sehingga kandungan nutrisinya dapat ditingkatkan. Yuniarsih dan Nappu (2013) menyatakan kualitas jerami jagung sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan dengan teknologi silase yaitu proses fermentasi yang dibantu jasad renik dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen).

Silase yang terbentuk karena proses fermentasi ini dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama tanpa banyak mengurangi kandungan nutrisi dari bahan bakunya. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk memaksimumkan pengawetan kandungan nutrisi yang terdapat pada hijauan atau bahan pakan ternak lainnya, agar bisa disimpan dalam kurun waktu yang lama, untuk kemudian diberikan sebagai pakan bagi ternak terutama untuk mengatasi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan pada musim kemarau (Yusriani, 2015).

Teknologi silase dapat mengubah jerami jagung dari sumber pakan berkualitas rendah menjadi pakan berkualitas tinggi serta sumber energi bagi ternak. Hasil penelitian Jaelani et al. (2014) mendapatkan lama penyimpanan silase daun kelapa sawit dapat mempengaruhi kandungan serat kasar, namun tidak berpengaruh terhadap kadar protein kasar, dan penyimpanan silase setelah 35 hari dapat menurunkan kandungan serat kasar.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang kualitas nutrisi silase jerami jagung dengan lama waktu penyimpanan berbeda sebagai pakan ternak ruminansia.

MATERI DAN METODA

Materi

Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase jerami jagung adalah jerami jagung dan bahan aditif yaitu pollard dan molases dengan komposisi bahan 100% jerami jagung + 10% pollard + 10% molases.

Metode

Silase dibuat pada waktu yang bersamaan sedangkan pengamatan silase jerami jagung

dilaksanakan sesuai dengan perlakuan yaitu 14 hari, 21 hari, 28 hari, dan 35 hari setelah penyimpanan. Analisis laboratorium silase jerami jagung dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Pembuatan silase

Jerami jagung dipotong-potong dengan ukuran 3-5 cm dan di atasnya ditaburkan 10% pollard dan 10% molases dari total berat jerami jagung. Campur potongan jerami jagung dengan pollard dan molases secara merata, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik, ditekan dan dimampatkan sampai tidak ada udara di dalam kantong plastik sehingga tercipta keadaan anaerob dan selanjutnya plastik diikat erat.

Analisa laboratorium dilakukan sesuai perlakuan yaitu setelah lama penyimpanan (pemeraman) berlangsung selama 14, 21, 28, dan 35 hari.

Rancangan percobaan

Rancangan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima ulangan, sehingga terdapat 20 unit percobaan. Keempat perlakuan adalah W1 = lama penyimpanan 14 hari, W2 = lama penyimpanan 21 hari, W3 = lama penyimpanan 28 hari, dan W4 = lama penyimpanan 35 hari.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kecernaan bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), VFA (Vollatile Fatty Acid) dan NH3.

Analisis data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, apabila nilai rataan perlakuan berpengaruh nyata pada peubah dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai pH (derajat keasaman) tertinggi terdapat pada silase perlakuan lama penyimpanan 2 minggu (W1) yaitu 4,022 dan nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan W2, W3, dan W4 masing-masing 5,87%, 11,04%, dan 7,68% (Tabel 1). Nilai pH silase jerami jagung antara perlakuan W2 dan W4 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05), sedangkan W2 5,54% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan W3. Nilai pH (derajat keasaman) tertinggi terdapat pada silase perlakuan W1 yaitu 4,022 dan nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan W2, W3, dan W4

masing-masing 5,87%, 11,04%, dan 7,68%. Menurut Departemen Pertanian (1980) skor penilaian pH silase yaitu 1 = 3,2 – 4,2; 2 = 4,2 – 4,5; 3 = 4,5 – 4,8; dan 4 = >4,48. Nilai pH silase jerami jagung berkisar 3,58-4,02 dan termasuk kriteria baik sekali (3,5-4,2). Secara umum dari hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan nilai pH bila dibandingkan dengan lama penyimpanan 2 minggu (W1) dengan bertambah lamanya masa penyimpanan silasi baik pada perlakuan W2, W3, maupun W4. Silase adalah proses pengawetan hijauan pakan segar dalam kondisi anaerob dengan pembentukan atau penambahan asam. Asam yang terbentuk yaitu asam-asam organik antara lain laktat, asetat, dan butirat sebagai hasil fermentasi karbohidrat terlarut oleh bakteri sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan derajat keasaman (pH). Turunnya nilai pH, maka pertumbuhan mikroorganisme pembusuk akan terhambat (Elferink et al., 2000).

Kecernaan bahan kering (KCBK) in-vitro tertinggi pada perlakuan W1 yaitu 66,62% sedangkan perlakuan W2 dan W4 masing-masing 6,59%, dan 10,31% lebih rendah (P<0,05) dan perlakuan W3 3,21% lebih rendah (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan W1 (Tabel 1). Antara perlakuan W2 dan W3 serta perlakuan W2 dan W4 menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Kecernaan bahan organik (KCBO) in-vitro tertinggi pada perlakuan W1 yaitu 69,26% sedangkan perlakuan W2, W3, dan W4 masing-masing 5,21%, 0,81%, dan 4,75% tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan perlakuan W1. Kecernaan bahan kering (KCBK) cenderung menunjukkan penurunan dimana pada perlakuan W2 menurun, meningkat kembali pada W3 dan kembali menurun pada perlakuan W4. Penurunan KCBK terlihat nyata antara perlakuan W1dengan W4. Silase jerami jagung yang digunakan dalam penelitian menggunakan aditif pollard dan molases yang merupaka makanan bagi mikroorganisme selama proses fermentasi baik sebagai sumber energi maupun nitrogen seperti pollard dan molases sebagai sumber energi Adanya pollard dan molases menyebabkan mikroba tumbuh sehingga dapat menghasilkan enzim untuk fermentasi in-vitro. Meningkatnya lama penyimpanan mengakibatkan kecernaan bahan kering cenderung menurun.

Kecernaan bahan organik (KCBO) in-vitro tertinggi pada perlakuan W1 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan W2, W3, dan W4 Kecernaan bahan organik terjadi kecenderungan yang hampir sama dengan kecernaan bahan kering. Sedangkan penelitian Muhtaruddin (2007) pada perlakuan menggunakan silase terjadi peningkatan kecernaan bahan organik. Pada proses ensilse terjadi aktivitas bakteri pembentuk asam laktat sampai pH mencapai

4-5. Aktivitas mikroba ini kemungkinan menyebabkan merenggangnya ikatan lignosellulosa dan lignoprotein pada pucuk tebu. Kondisi ini, menyebabkan kecernaan bahan organik akan meningkat.

Tabel 1. Kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), VFA (Vollatyle Fatty Acid), NH3 dan pH silase jerami jagung dengan lama penyimpanan ber, beda

Peubah

W1

Perlakuan1)

W2    W3

W4

SEM3)

pH

4,02a

3,79 b

3,58c

3,71b

0,037

Kecernaan bahan

66,62 a2)

62,23 bc

64,48 ab

59,75 c

1,170

kering (KCBK) (%) Kecernaan bahan organik (KCBO) (%)

69,26 a

65,65 a

68,70 a

65,97 a

1,093

Vollatile Fatty Acid (mMol)

29,32 a

29,00 a

33,20 a

41,78 a

6,116

NH3 (mMol)

6,08 a

5,59 a

6,28 a

5,16 a

0,445

Keterangan:

1) Perlakuan: W1 = lama penyimpanan 14 hari, W2 = lama penyimpanan 21 hari, W3 = lama penyimpanan 28 hari, dan W4 = lama penyimpanan 35 hari

2) Nilai dengan superskript yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05) 3) SEM = Standard Error of the Treatment Means

Vollatile Fatty Acid (VFA) tertinggi pada perlakuan W4 yaitu 41,78 mMol dan masing-masing 29,82%, 30,59%, 20,54% tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan W1, W2, dan W3 (Tabel 1). NH3 silase jerami jagung menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada seluruh perlakuan W1, W2, W3, dan W4 (Tabel 1). Nilai NH3 tertinggi pada perlakuan W3 yaitu 6,28 sedangkan perlakuan W1, W2 dan W4 masing-masing 3,18%, 10,99%, dan 17,83% lebih rendah (P>0,05). Pengaruh perlakuan terhadap kandungan amonia (NH3) dari silase pada perlakuan W1, W2, W3, dan W4, berbeda tidak nyata Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mikroba dalam prosess ensilase pada semua perlakuan berbeda tidak nyata. Aktivitas mikroba dalam ensilase lebih dipengaruhi oleh adanya karbohidrat sebagai aditif dalam pembuatan silase. Hal ini juga dapat dilihat dari produk yang dihasilkan dalam proses ensilase seperti VFA dimana keempat perlakuan menghasilkan VFA yang berbeda tidak nyata. Menurut McDonald et al. (1991), kandungan gizi silase dapat dipertahankan dengan penambahan aditif seperti kultur bakteri (bakteri asam laktat), sumber karbohidrat mudah larut dalam air, asam organik, enzim, dan nutrien (urea, amonia, mineral-mineral). Hasil penelitian Hidayat (2014) menunjukkan bahwa perbedaan antara perlakuan aditif katul dengan onggok disebabkan karena kandungan protein dari katul ± 12% dibanding onggok yang hanya ± 2%, sedangkan antara tetes dengan onggok disebabkan karena kandungan karbohidrat fermentabel tetes lebih tinggi dibanding onggok.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pH silase jerami jagung cenderung menurun dengan bertambahnya jangka waktu fermentasi, KCBK menunjukkan perbedaan yang nyata, sebaliknya KCBO, VFA, dan NH3 berbeda tidak nyata, dan terdapat kecenderungan menurunnya nilai KCBK, KCBO, VFA, dan NH3 dengan semakin lama waktu penyipmanan silase jerami jagung.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayanan dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana melalui Hibah Unggulan Program Studi yang bersumber dari dana DIPA PNBP Universitas Udayana Tahun 2017 sehingga penelitian dan tulisan ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

BPTP Sumatera Barat. 2011. Teknologi Pembuatan Silase Jagung untuk Pakan Sapi Potong. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Sumber: http//sumbar. litbang.pertanian.go.id. Diakses 15 Maret 2015.

Departemen Pertanian, 1980. Silase sebagai Makanan Ternak. Balai Informasi Pertanian. Ciawi Bogor.

Elferink, S. J. W. H. O., F. Driehuis, J. C. Gottschal, and S. F. Spoelstra. 2000. Silage fermentation processes and their manipulation. Food and Agriculture Organization in Fao Plant Production and Protection Papers; 17-30; FAO electronic conference on tropical silage; Silage making in the tropics with particular emphasis on smallholders.

Hidayat, N. 2014. Karakteristik dan Kualitas Silase Rumput Raja Menggunakan Berbagai Sumber dan Tingkat Penambahan Karbohidrat Fermentable. Agripet Vol 14, No. 1, April 2014.

Jaelani, A., A. Gunawan, dan I. Asriani. 2014. Pengaruh Lama Penyimpanan Silase Daun Kelapa Sawit Terhadap Kadar Protein dan Serat Kasar. Ziraa’ah, Volume 39 Nomor 1. Halm 8-16. ISSN 1412-1468

McDonald P., A. R. Henderson, and S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd edition. Chalcombe Publications, Marlow, Bucks, UK

Muhtaruddin. 2007. Kecernaan Pucuk Tebu Terolah Secara In Vitro. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yuniarsih, E. T. dan M. B. Nappu 2013. Pemanfaatan Limbah Jagung sebagai Pakan Ternak di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia, halm 329-338.

Yusriani, Y. 2015. Pengawetan Hijauan dengan Cara Silase untuk Pakan Ternak Ruminansia. Sumber: nad.litbang.pertanian.go.id/.../714-pengawetan-hijauan-dengan-cara-silase-untuk-pak.

32