UJI IN VIVO SILASE HIJAUAN PAKAN YANG DIPUPUK AIR BELERANG DAN PUPUK KANDANG PADA DOMBA
on
pastura Vol. 1 No. 1 : 19 - 23
ISSN : 2088-818X
UJI IN VIVO SILASE HIJAUAN PAKAN YANG DIPUPUK AIR BELERANG DAN PUPUK KANDANG PADA DOMBA
Charles L. Kaunang dan Endang Pudjiastuti
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado
Charleslodewijkaunang@yahoo.com
ABSTRACT
This research was aimed to investigate biological value of silage forage (panicium maximum CV. Riversdale + Centrocema pubescens) without fertilization and manure 25 ton/ha + sulfuric water 50%. The experiment used 12 sheep (average liveweight 34 kg) during 28 days laters. The result showed that forage silage treatment (P. maximum CV. Riversdale + C. pubescens) with manure 25 ton/ha and sulfuric water 50% positive respons to sheep performance.
Keyword : In vivo, forage silage, sulfuric water, sheep
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai Biologi Hijauan Silase (Panicium maximum CV Riversdale + Centrocema pubescens) tanpa pemupukan dan pupuk kandang 25 ton/ha + air belerang 50%. Pemeliharaan ini menggunakan 12 ekor Domba (bobot badan 34 kg) selama 28 hari. Hasil penelitian menunjukan Perlakuan Hijauan Silase dengan pupuk kandang 25 ton/ha dan memberikan respon positif pada performan domba.
Kata kunci: In vivo, silase, air belerang, dan domba
I. PENDAHULUAN
Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas ternak adalah rendahnya kualitas bahan pakan yang lazim terdapat di daerah tropis pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya (Parakkasi, 1999). Rendahnya nilai nutrisi tersebut ditunjukkan dengan rendahnya kandungan protein dan tingginya kandungan serat (Kaunang, 2004). Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksitivitas ternak adalah dengan meningkatkan kualitas hijauan pakan. Meningkatkan kualitas hijauan pakan dapat dilakukan dengan pemupukan air belerang dan pupuk kandang (Kaunang dan Parakkasi, 2001). Dari hasil penelitian tahap pertama dan kualitas yang optimal di hasilkan pada rumput Panicum maximum cv. Riversdale dan leguminosa Centrocema pubescens yang di pupuk air belerang 50% dan pupuk kandang 25 ton/ha (Kaunang, 2006).
Hijauan pakan yang mendapat kombinasi perlakuan pemupukan air belerang 50% dan pupuk kandang 25 ton/ha diproses untuk dijadikan silase dan diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhuan dan perkembangan mikroba rumen. Pemberian hijauan pakan silase yang mendapat perlakuan diharapkan dapat berdampak positif terhadap pakan serta performans domba yang mengkonsumsinya.
III. METODE PENELITIAN
Respon hijauan tropis hasil penelitian tahap kedua, yang terbaik dari perlakuan (pupuk kandang 25 ton/ha dan pemberian air belerang 50%) dan tanpa perlakuan pada masing-masing tanaman pakan (Panicum
maximum cv. Riversdale dan Centrocema pubescens) ditanam pada petak-petak percobaan berukuran 10 x 12 m, dengan jarak antara petak 1 meter. Jarak penanaman rumput adalah 30 x 30 cm dan leguminosa 20 x 20 cm. pemotongan rumput dan leguminosa dilakukan setiap 35 hari. Agar mendapatkan kualitas potongan hijauan yang seragam, maka hijauan (rumput dan legominosa) setelah panen dibuat silase. Sebelum diproses, hijauan dicacah dan diberi dedak 5% di campur merata untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik, dipadatkan kemudian diikat agar kedap udara untuk menghindari kebocoran plastik yang digunakan dua lapis. Proses pemeraman dilakukan selama 21 hari. Hijauan rumput dan leguminosa dari masing-nasing perlakuan dicampur secara merata kemudian diambil sampel untuk dianalisis kandungan nutriennya (Table 1). Komponen silase (rumput:leguminosa) yang diberikan ke domba yaitu 60%:40%. Untuk mempelajari nilai biologis hijauan silase (rumput + leguminosa), sejumlah 12 ekor domba Garut (berat rata-rata 34 kg). digunakan pada kegiatan ini selama 28 hari, dengan tahapan adaptasi 3 minggu dan koleksi data selama 7 hari terakhir. Selama fase koleksi pemberian, sisa pemberian hijauan silase, feses dan urine diukur setiap hari. Pengambilan sampel cairan rumen dilakukan pada akhir masa koleksi. Parameter yang diukur pada penelitian tahap ketiga (in vivo) terdiri dari: konsumsi bahan kering, protein, Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF); kecernaan bahan kering, protein, NDF dan ACF; retensi belerang, retensi nitrogen; produksi bulu; dan efisiensi penggunaan ransum (EPR). Pengolahan data in vivo menggunakan t-test.
Tabel 1. Komposisi Nutrien Pakan Hijauan Silase (P. maximum cv. Riversdale + C. pubescens)
Hijauan Silase (Riversdale dan centro) |
Bahan Kering (%) |
Protein (% BK) |
NDF (% BK) |
ADF (% BK) |
Energi (KJ/g) |
Silase perlakuan |
25,60 |
15.8 |
47.2 |
38,80 |
15.85 |
Silase tanpa perlakuan |
20,35 |
12.3 |
51.1 |
39,0 |
15.21 |
Variabel yang diamati Konsumsi Ransum
Ditentukan dengan cara mengurangi jumlah makanan yang diberikan dengan sisa makanan selama masa koleksi data.
Kecernaan Zat-zat Makanan
Ditentukan dengan cara mengurangi jumlah zat-zat makanan yang terdapat dalam feses. Kecernaan zat-zat makanan dihitung sebagai berikut :
(A - B)
Kecernaan = x 100%
A
A= Zat yang dikonsumsi B= Zat dalam feses
Kadar Asam Lemak Volatil (VFA) Individual
Analisis konsentrasi VFA individual dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi gas. Cairan rumen yang diambil dengan stomach tube segera disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit untuk diambil supernatannya. Sebanyak 2 ml supernatan dipipet kedalam tabung plastik kecil yang tertutup. Kedalam tabung tersebut di tambahkan sebanyak 30 mg 5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)SO3H.2H2O) lalu dikocok. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm (2660 ref x gravitasi) selama 10 menit dalam suhu 4o C lalu disaring dengan milipore dan diperoleh cairan jernih sebanyak 1µl cairan jernih diinjeksikan ke gas kromatografi. Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu diinjeksikan larutan VFA standar. Perhitungan kosentrasi dalam sampel dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:
Tinggi sampel
C(mM) = x Tinggi standar
Konsentrasi standar
Retensi Belerang dan Nitrogen
Retensi belerang dan nitrogen dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Retensi Belerang = Konsumsi S – (S Feses+ S Urine)
Retense Nitrogen = Konsumsi N- (N Feses- N Urine)
Efisiensi Penggunaan Ransum
Efisiensi penggunaan ransum dihitung dengan membagi pertambahan bobot hidup dengan konsumsi bahan kering yang diperoleh selama penelitian.
Produksi Bulu
Produksi bulu dapat diketahui dengan cara menimbang produksi bulu selama penelitian seluas 5×5 cm, pada rusuk ke-7 sebelah kiri.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi merupakan tolak ukur menilai palatabilitas suatu bahan pakan. Suatu pakan cukup palatabel bagi ternak akan terlihat dari tinggi rendahnya konsumsi pakan tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi mengkonsumsi hijauan silase secara maksimal 10 hari. Cepatnya periode adaptasi, dikarenakan domba yang dipergunakan telah terbiasa mengkonsumsi silase.
Rataan konsumsi bahan kering hijauan silase perlakuan (P. maximum cv. Riversdale + C. pubescens) berbeda nyata disbanding hijauan silase kontrol (P. maximum CV. Riversdale + C. pubescens tanpa perlakuan) dengan nilai masing-masing sejumlah 741,20 g/ekor/hari dan 609,64 g/ekor/hari (Table 2). Nilai konsumsi bahan kering tersebut hampir sama dengan nilai yang dilaporkan Mathius et al, (1997) yaitu sebesar 640.0 dan 703 g/hari/ekor dari pemberian silase rumput raja ditambah 400 gram konsentrat dan 5-10 % CaCO3. Selanjutnya Parakkasi (1991) menyatakan bahwa jumlah bahan kering yang dikonsumsi di pengaruhi oleh beberapa factor yaitu, (a) sifat fisik atau kimia pakan, (b) permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan, (c) bobot hidup yang berhubungan dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak. Hijauan pakan di daerah tropis memiliki tingkat kandungan serat (NDF dan ADF) yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui merupakan faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan hijauan dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan hijauan.
Dibandingkan dengan pakan hijauan silase kontrol terjadi peningkatan konsumsi zat-zat makanan (protein, NDF dan ADF) pada hijauan silase perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan hijauan dapat meningkatkan konsumsi ransum/ nutrient.
Faktor yang mempengaruhi konsumsi (intake) adalah ransum itu sendiri, status fisiologi ternak, spesies dan umur ternak, komposisi dan ketersediaan zat makanan, struktur dan ukuran partikel ransum (Duran dan Komizarezuuk, 1989). Meningkatnya konsumsi bahan kering juga menyebabkan meningkatnya konsumsi zat makanan yang tersedia untuk ternak. Konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat kecernaan dan proses fermentasi dalam rumen. Konsumsi akan meningkat jika kecernaan meningkat serta proses fermentasi dalam rumen berjalan optimum. Meningkatnya konsumsi zat-zat makanan pada domba yang mendapat hijauan silase perlakuan disebabkan oleh kombinasi pupuk kandang 25 ton/ha dan pemberian air belerang 50% yang mampu meningkatkan kecernaan hijauan silase perlakuan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Leng (1991) yang menyatakan tingkat konsumsi dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen, serta status fisiologi ternak. Kualitas pakan ditentukan oleh tingkat kecernaan zat-zat makanan yang terkandung
pada pakan tersebut. Zat makanan yang terkandung dalam ransum tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian akan dikeluarkan lagi melalui feses. Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannnya dengan jumlah microba dalam rumen. Van Soest (1994) melaporkan bahwa kandungan NDF sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk mengkonsumsi pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan NDF ransum yang lebih besar dari 50% akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Sturktur dinding sel tanaman (NDF) dengan kandungan lignin bervariasi menurut spesies tanaman serta umur fisiologisnya juga menentukan nilai kecernaan microbial rumen. Kandungan lignin yang meningkat dengan meningkatnya umur tanaman menyebabkan kecernaan selulosa menurun.
Table 2. Nilai rataan beberapa peubah yang diukur pada penelitian (in vivo)
Variabel Pengamatan |
Rataan Pemberian Hijauan Silase | |
Perlakuan |
Kontrol | |
Konsumsi bahan kering (g/ekor) |
741,20 a ± 24.46 |
609,64 b ± 7.97 |
Konsumsi Protein (g/ekor) |
111,25 a ± 3.75 |
73,13 b ± 0.97 |
Konsumsi Netral Detergent Fiber (NDF) (g/ekor) |
348,36 a ± 11.50 |
310,91 b ± 4.07 |
Konsumsi Acid Detergent Fiber (ADF) (g/ekor) |
259,41 a ± 8.55 |
237,23 b ± 308 |
Kecernaan Bahan Kering (%) |
61,35 a ± 0.72 |
57,48 b ± 0.73 |
Kecernaan Bahan Organik (%) |
64,52 a ± 0.97 |
60,84 b ± 0.69 |
Kecernaan Protein (%) |
59,02 a ± 2.41 |
54,41 b ± 1.64 |
Kecernaan NDF (%) |
46,35 a ± 1.39 |
42,35 b ± 1.25 |
Kecernaan ADF (%) |
32,22 a ± 0.87 |
29,87 b ± 0.64 |
Retensi (Nitrogen) (g/h) |
27,13 a ± 1.30 |
16,25 b ± 1.00 |
Retensi (Sulfur) (g/h) |
8,51 a ± 0.84 |
5,21 b ± 0.69 |
Efisiensi penggunaan Ransum (EPR) |
0,08 a ± 0.00 |
0,07 b ± 0.00 |
Produksi Bulu (mg/25 cm2) |
0,28 a ± 0.01 |
0,28 b ± 0.01 |
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak beda nyata pada taraf uji 5%
Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan zat-zat makanan di sajikan pada Table 2. Pakan hijauan silase perlakuan memiliki tingkat kecernaan bahan kering, protein, NDF, dan ADF yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh domba yang mendapat pakan hijauan perlakuan memiliki jumlah cacahan bakteri, protoza dan fungsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan domba yang mendapat pakan hijauan silase kontrol. Suplementasi belerang dapat memacu laju pertumbuhan bakteri rumen (Slyter et al. 1986) dan meningkatkan aktivitas fungi rumen melalui aktivitas fibrolitik yang tinggi dan juga dikenal sebagai pelopor dalam pencernaan fraksi serat pakan (Gulati et al. 1985). Selanjutnya Qi et al. (1992) menyatakan bahwa pemberian belerang meningkatkan kecernaan serat detergen asam (ADF). Dengan adanya belerang, memungkinkan rhizoid pada fungi dapat menembus dinding partikel pakan, sehingga dapat menciptakan akses bagi bakteri rumen.
Retensi Nitrogen
Rataan retensi N yang dihasilkan pada penelitian ini nyata lebih tinggi pada domba yang mendapat hijauan silase perlakuan, yaitu 20,13 g/hari dibandingkan pakan
hijauan kontrol yang sebesar 16,25 g/hari (Tabel 2). Hal ini terjadi karena konsumsi dan kecernaan pada perlakuan ini lebih tinggi sehingga pasokan protein asal mikroba diduga tinggi.
Retensi Belerang
Retensi belerang nyata lebih tinggi pada domba yang mendapat silase hijauan perlakuan yaitu 8,51 g/hari dibandingkan pakan silase hijauan kontrol yaitu 5,21 g/hari. Penelitian Suhartati (1997) dengan perlakuan (air belerang + rumput + konsentrat) dan rumput mendapatkan retensi belerangnya berturut-turut adalah 19,86 g/hari dan 4,89 g/hari. Retensi belerang yang tinggi pada domba yang mendapat silase perlakuan diduga karena meningkatnya kandungan zat-zat makanan (asam amino yang mengandung sulfur) dari silase tersebut, dan diduga menjadi lebih tersedia bagi perkembangan microba rumen.
Efisiensi Pengunaan Ransum (EPR)
Nilai EPR memiliki arti penting dari segi manajemen produksi ternak, dan sering dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan. Efisiensi pengunaan ransum sebesar 0,085 untuk perlakuan hijauan silase perlakuan. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Suharti (1997) yaitu 0,167 dengan perlakuan (rumput + konsentrat + air belerang). Pemberian hijauan silase perlakuan (yang mengandung belerang) dapat digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan asam – asam amino belerang, sehingga diharapkan akan meningkatkan produksi ternak (pertumbuhan bobot hidup). Hal ini juga didukung oleh hasil yang sama pada kecernaan, konsumsi dan retensi zat makanan yang meningkat pada pakan hijauan silase perlakuan.
Produksi Bulu
Rataan produksi bulu adalah 0,28 mg/25 cm2 untuk domba yang mendapat hijauan silase perlakuan dan 0,28 mg/25 cm2 untuk domba yang diberi hijauan silase control (Tabel 2). Produksi bulu tidak berbeda diduga karena waktu penelitian untuk pengamatan produksi bulu terlalu singkat, sehingga belum dapat mencerminkan hasil yang sesungguhnya. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan penelitian Suharti (1997), yaitu 0,35 mg/25 cm2 dengan perlakuan (rumput + konsentrat + air belerang).
Produksi Asam Lemak Atsiri (VFA) total dan Partial
Asam lemak volatile (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan dihasilkan dari proses frementasi pakan dalam rumen (Orskov dan Ryle, 1990). Oleh sebab itu, konsentrasi VFA dalam rumen mencerminkan fermentabilitas dari pakan. Rataan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA total dan VFA individual tersaji pada Table 3.
Rataan konsentrasi VFA total yaitu 115,70 mM pada perlakuan hijauan silase perlakuan dan 105,85 mM pada perlakuan kontrol. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suharti (1997) yaitu 87,47 mM-96,10
mM. Penelitian ini masih berada pada kisaran yang dikemukakan oleh Franse dan Siddon (1993) yaitu 70-130 mM. Adanya peningkatan mikroba rumen dapat meningkatkan aktivitas fermentasi rumen yang tercermin dari meningkatnya produksi VFA total. Mikroba rumen yang sangat dominan dalam proses fermentasi tersebut adalah bakteri. Adanya kandungan belerang dapat memacu pertumbuhan bakteri sehingga secara tidak langsung dapat memacu proses fermentasi dalam meningkatkan produksi total VFA. Hvelplund (1991) menyatakan konsentrasi VFA berkorelasi dengan efektivitas fermentasi dalam rumen.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap produksi VFA total dan VFA individual
Variabel Pengamatan |
Rataan Pemberian Hijauan Silase | |
Perlakuan |
Kontrol | |
Asetat (mM) |
74,91a ± 0.48 |
67,77 b ± 0.33 |
Butitrat (mM) |
6,43a ± 0.30 |
7,35 b ± 0.27 |
Propionat (mM) |
16,38a ± 0.36 |
15,07 b ± 0.63 |
Isobutirat (mM) |
1,56a ± 0.08 |
1,47 b ± 0.05 |
Valerat (mM) |
0,92a ± 0.06 |
1,59 b ± 0.05 |
Isoacids (mM) |
8,70a ± 0.51 |
7,21 b ± 0.37 |
Asesat/Propionat |
4,75a ± 0.13 |
4,49 b ± 0.18 |
VFA total (mM) |
115,70a ± 0.98 |
105,83 b ± 1.00 |
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak beda nyata pada taraf uji 5%
Pemberian hijauan silase perlakuan menujukkan adanya peningkatan produksi asam asetat yang dikuti oleh asam propionat. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian air belerang menguntungkan bakteri selulitik. Rataan konsentrasi asam asetat adalah 74,91 mM untuk perlakuan hijauan silase kontrol. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suharti (sistein, sistin dan metionin), yang merupakan bagian penting dari protein bakteri rumen (Huntage, 1966). Adanya kandungan belerang pakan menyebabkan semakin berkembangnya bakteri rumen sehingga fermentasi serat berlangsung lebih baik dan asetat yang dihasilkan lebih banyak. Pada Tabel 3, juga terlihat asam propionate juga meningkat pada perlakuan hijauan perlakuan sejalan meningkatnya asam asetat.
Asam propionate merupakan salah satu sumber utama pembentukan glukosa pada ruminansia. Rataan asam propinat cairan rumen domba yang mendapat hijauan silase perlakuan adalah 16,37 mM dan yang mendapat hijauan silase kontrol adalah 15,07 mM. Adanya peningkatan ini dimungkinkan karena pasokan belerang yang menyebabkan mikroba rumen semakin berkembang selanjutnya asam propinat yang dihasilkan juga meningkat.
Rataan konsentrasi asam butirat berkisar 6,48 mM untuk hijauan silase perlakuan, dan 7,35 mM untuk hijauan silase control (Tabel 3). Adanya perbedaaan konsentrasi asam butirat pada kedua pakan tersebut dikarenakan tingkat ketersediaan belerang pada kedua hijauan. Asam butirat banyak digunakan didalam epitel rumen, dalam jaringan tersebut butirat diubah menjadi asam β-hidroksi butirat. Senyawa ini masuk kedalam peredaran darah dalam bentuk badan-badan keton
(Mc Donald et al 1988). Tingginya badan-badan keton tidak diharapkan pada hewan ruminansia karena dapat menimbulkan penyakit, yamg dikenal dengan aketosis.
Pada Table 3 tersaji kadar isoacids meningkat dengan pemberian hijau silase perlakuan. Peningkatan pasokan kerangka karbon bercabang tersebut dapat meningkatkan populasi bakteri rumen. Isoacids yang terdiri dari asam lemak bercabang (Isobutirat, 2 metilbutirat dan isovalerat) bersama dengan n valerat merupakan hasil dekarbosilasi dari deaminasi asam amino bercabang (valin, isoleusin, dan leusin) sedangkan n valerat adalah produksi dari karbohidrat.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian pakan hijauan silase perlakuan (Panikum maximum cv. Riversdale + Centrosema pubescens) yang mendapat pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50% memberikan respon positif pada performans domba.
DAFTAR PUSTAKA
Durand M, S. Komisarczuuk. 1988. Influence of major mineral on rumen microbiota J. Nutr.118.249-260
France J, R.C Siddon. 1993. Volatile Fatty acid Production. In. Forbes JM and France J. Editors. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. Wallingford: C.A.B.International.
Gulati S.K, J.K. Ashes, G.R.L Gordon, M.W. Philips. 1985. Po-sibble contribution of rumen fungsi to fiber digestion in sheep. Proc. Nutr. Soc. Aust.10.
Hungate R.E. 1966. The rumen and its microbes. New York Academis Press.
Hvelplund T.1991. Volatile fatty acids and protein production in the rumen. In. Jouany JP editor. Rumen microbial metabolism and Ruminant Digestion. Paris: INRA.p. 68-70.
Kaunang, C.L dan A. Parakkasi. 2001. Pemberian air belerang dan air kran pada P. maximum cv. Gotton, P. maximum. Cv Riversdale, B. humidicola, C pubescens, Siratro dan S. hamata. Panduan seminar dan abstrak pengembangan peternakan bebasis sumberdaya local. Fakultas Peternakan IPB Bogor, 8-9 Agustus 2001. Hlm 171-172
Kaunag, C.L. 2004. Nilai nutrisi P. maximum cv Riversdale yang dpupuk dengan air belerang dan pupuk kandang
Kaunang, C.L. Nilai nutrisi P. maximum cv. Riversdale yang dipupuk dengan air belerang dan pupuk kandang. J. Zootek. Vol. 18 hal 11-17
Kaunang C.L. 2006. Respons hijauan pakan yang dipupuk air belerang dan pupuk kandang. J. Eugenia Vol 12 no 1. Hlm. 13-18
Leng E.A. 1991. Aplication of Biotechnologi in Developing Countries. Rome: FAO.
Mathius I W., D. Lubis, E. Wina, D.P. Nurhayati, I.G.M Bu-diarsana. 1997. Penambahan kalsium karbonat dalam konsentrat untuk domba yang mendapat silase rumput raja sebagai pakan dasar. J. Ilmu Ternak Vet. 2:164-169.
McDonald P, P.A. Edwards, J.F.D Greenhalg. 1988. Animal Nutrion.4th Edition. Network: Elseiver Appl, Sci
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. Jakarta:UI. Press. Indonesia.
Pasaribu E.J. B. Tangendjaja, E. Wina. 1995. Silase kulit jagung manis (zeamays var sacharata) sebgai pakan domba. Di dalam : Pengelolaan dan komunikasi Hasil Penelitian.
Prosiding seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan Ciawi 25-26 Januari 1955. Bogor Puslibangnak. Balit-bangtan.hlm 170-175
Piwonka E.J, J.L. Firkins. 1996. Effectof glucose fermentation on fiber disgestion by ruminal microorganism in vitro. J. Dairy Sci. 79:2196-2206.
Qi. K, C.D Wu, F. N. Owen. 1992. Sulphate supplementation of alpine goast, effects on milk yield and composition, metabolism, nutrient digestibilities, and acid base balance. J. Anim. Sci. 70:35-41.
Slyter W, R. Chalupa, R. Oltjen, J. M. Weater. 1986. Sulphur influence on ruminant microorganisms in vitro and in sheep and calves. J. Anim. Sci. 63:1949-1959.
Suharti F. M. 1997. Manfaat ait belerang dalam ransum domba muda [disertai] Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pascasarjana.
Van Soest P. J. 1994. Nutrional Ecology of the Ruminant. Ed ke - . Cornel Ithaka and London : University Press.
23
Discussion and feedback