PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L.) MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT (HASIL MUTASI INDUKSI EMS)
on
pastura Vol. 3 No. 2 : 61 - 64
ISSN : 2088-818X
PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L.) MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT (HASIL MUTASI INDUKSI EMS)
Widyati-Slamet, Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan manajemen pemupukan fosfat untuk pertumbuhan generatif alfalfa yang ditanam pada ketinggian tempat tertentu. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), terdiri dari 5 perlakuan (0, 50, 100, 150, 200 kg P2O5/ha) dan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemupukan fosfat tidak berpengaruh terhadap jumlah tanaman yang berbunga dan berpolong pada umur 14 minggu. Pemupukan fosfat tidak nyata meningkatkan persen tanaman alfalfa yang berbunga dan berpolong, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Alfalfa mutan membutuhkan pemupukan fosfat 122,50 kg P2O5/ha untuk mendapatkan berat per 100 biji yang maksimum.
Kata kunci: alfalfa, pemupukan P, pertumbuhan generatif
ABSTRACT
The research was aimed to obtain management of Phosphat fertilization for the growth generative of alfalfa at a certain altitude. The research completely randomized block design with 5 treatments (0, 50, 100, 150, 200 kg P2O5 /ha) and 4 replicated. The variable observed growth generative of alfalfa (number of flowering plants, the number of pods plants and weight per 100 seeds). The result of research showed P fertilization had no effect on the number of flowering plants and pod plants at the age of 14 weeks. P fertilization did not increase the percent of alfalfa plants were flowering and pods. Fertilizing of mutan alfalfa with 122.50 kg P2O5/ha of P-fertilizer provided the maksimum weight of 100 seeds.
Keywords: alfalfa, P fertilization, generative growth
PENDAHULUAN
Alfalfa (Medicago sativa L.) dikenal juga dengan nama Queen of Forages, palatabel dan bergizi, kaya protein, vitamin dan mineral dapat dipakai sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak karena mempunyai serat kasar dan protein kasar yang tinggi (Orloff, 1997). Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate dan merupakan tanaman hari panjang (Hoy et al., 2002). Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Menurut laporan Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service (1998) alfalfa memerlukan drainase yang baik, pH 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik.
Kelebihan tanaman alfalfa dapat hidup 3 hingga 12 tahun, tergantung varietas dan iklim di mana tanaman itu hidup. Tingginya dapat mencapai satu meter, memiliki akar yang sangat panjang hingga mencapai 4,5 meter. Keunggulan itulah yang menyebabkan alfalfa mampu bertahan hidup, walaupun pada musim kering.
Alfalfa adalah tanaman tahunan berupa herba
berakar dalam, bercabang dan membentuk rhizom. Mempunyai batang mendatar, menanjak sampai tegak, berkayu di bagian dasar, cabang-cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi 30-120 cm, satu tangkai berdaun tiga (trifoliat), panjang daun 5-15 mm, dan berbulu pada permukaan bawah. Tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat berisi 10-35 bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (Mannetje dan Jones, 2000). Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa tersaji pada Gambar 1.
Karakteristik alfalfa di daerah temperate antara lain: kapasitas produksi tinggi (40-150 ton bahan segar/ha/th), kualitas hijauan tinggi (PK 18-24%), nilai kemampuan tumbuh tinggi yang dipengaruhi tekanan musim dan resistensi terhadap penyakit daun dan tunas serta penyakit akar, kecepatan tumbuh setelah pemotongan, penghasil biji yang baik (Smith et al., 1986). Alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan merupakan hasil perbaikan dari alfalfa subtropis yang dilakukan para ahli pertanian di Taiwan, dapat beradaptasi dan tumbuh baik di daerah tropis di Propinsi Taiwan sebagai penghasil hijauan. Perbaikan alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan telah dilakukan agar dapat beradaptasi secara alami sebagai penghasil
Tanaman Alfalfa
Daun Alfalfa
Bunga Alfalfa
Polong Alfalfa
Gambar 1. Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa
biji. Alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji. Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (Sajimin, 2011).
Perbaikan tanaman dapat dilakukan antara lain dengan melakukan mutasi induksi yang dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga benih yang dihasilkan dapat dipakai sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan tanaman yang dikehendaki. Keragaman yang tinggi merupakan salah satu faktor untuk merakit varietas unggul baru (Hutami et al., 2006).
Unsur posfat (P) pada dosis tinggi lebih diperlukan oleh legum untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004; Liani et al., 2011). Penelitian Yu et al. (2007) menunjukkan bahwa alfalfa sangat sensitif terhadap P tersedia, dan terdapat korelasi positif antara penurunan P tanah tersedia dengan hasil hijauan alfalfa setelah berumur 3 tahun. Pemupukan P sampai 100 kg P2O5/ha dan interval defoliasi yang berbeda tidak mempengaruhi produksi bahan kering (BK), protein kasar (PK) maupun serat kasar (SK) hijauan alfalfa (Widyati-Slamet et al., 2008). Liani et al. (2011), mendapatkan produksi bahan kering tertinggi dengan pemupukan TSP dengan dosis 125 mg P2O5/kg tanah.
MATERI DAN METODA
Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian +400 m di atas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P potensial 499,39 ppm dengan pH 6,57. Temperatur selama penelitian berkisar antara 23-350C dengan kelembaban berkisar antara 3180%. Masa adaptasi tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah hujan tidak terukur. Data yang diperoleh dari Balai Meteorologi dan Geofisika bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm
(4 hari hujan) lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Oktober 137 mm (10 hari hujan) lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Nopember 217 mm (19 hari hujan) lainnya tidak terukur. Pengamatan pada tanaman alfalfa dilakukan selama 16 minggu (Agustus-Nopember 2011) setelah benih ditanam ke dalam lahan, karena pengaruh cuaca, beberapa tanaman belum berbiji, hal tersebut disebabkan karena alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat.
Materi penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk urea (45%N), SP-36 (36% P2O5), KCl (52%K2O), dan insektisida. Penelitian dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang dengan ketinggian + 400 m dpl.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5 perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200 kg P2O5/ha) dengan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji.
Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik, dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx2, selanjutnya untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum diperoleh dengan rumus:
a – b
TP =
2c
di mana
a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Generatif Alfalfa
Jumlah tanaman berbunga
Jumlah tanaman yang berbunga diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berbunga. Jumlah tanaman yang berbunga (dalam persen) pada pemupukan P yang beda tersaji pada Tabel 1.
Pemupukan P tidak mempengaruhi jumlah tanaman yang berbunga. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa P2O5 total 323,43 ppm melebihi yang dibutuhkan legum yaitu berkisar 21-40 ppm (Hardjowigeno, 1987), tetapi P yang ada pada tanah bukan P tersedia, sehingga pemupukan P dengan berbagai level belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa. Alfalfa sangat sensitif dengan P tersedia (Yu et al., 2007), sehingga jika kandungan P pada media tanam cukup
tinggi, pemberian P tidak efektif. Kemungkinan P yang ada pada media tanam dalam bentuk mineral yang kompleks, biasanya sangat lambat tersedia dan sulit diserap oleh tanaman (Agustina, 2004). Unsur P pada dosis tinggi lebih diinginkan legum untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004). Alfalfa pada umur 10 minggu setelah tanam sudah memasuki akhir fase vegetatif, karena beberapa tanaman dalam petak sudah mulai berkuncup dan tinggi tanaman lebih dari 30 cm. Fase reproduktif alfalfa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap terakhir vegetatif dengan ditandai belum terdapat kuncup bunga dengan tinggi tanaman lebih dari 30 cm, tahap kuncup bunga, tahap berbunga pertama, berbunga semuanya dan pembungaan terakhir (Bagg, 2003).
Tabel 1. Jumlah tanaman yang berbunga (14 mg) pada pemupukan P yang berbeda
Perlakuan Pemupukan |
Jumlah tanaman yang berbunga | ||
Ulangan |
Rerata | ||
Fosfat |
1 |
2 34 |
........................... |
.. %/petak ............................. | ||||
P1 (0kg P2O5/ha) |
31,25 |
56,25 |
37,5 |
93,75 |
54,69 |
P2 (50kg P2O5/ha) |
43,75 |
31,25 |
68,75 |
18,75 |
40,63 |
P3 (100kg P2O5/ha) |
43,75 |
81,25 |
37,50 |
87,50 |
62,50 |
P4 (150kg P2O5/ha) |
81,25 |
81,25 |
56,25 |
43,75 |
65,63 |
P5 (200kg P2O5/ha) |
81,25 |
81,25 |
87,25 |
62,5 |
78,06 |
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Tanah lokasi penelitian pada waktu hujan tergenang air tetapi pada waktu kering tanahnya padat sehingga aerasi kurang baik. Aerasi yang kurang baik penyerapan P dan unsur-unsur lainnya akan terganggu. Selama penelitian hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah hujan tidak terukur. Hujan yang turun hampir sepanjang penelitian menyebabkan tanaman bagian bawah busuk karena tergenang air. Kisaran pH 4-9 secara normal. Kelarutan P paling tinggi pada pH yang rendah, tetapi pada kenyataannya seringkali ion ini tidak banyak tersedia dalam larutan tanah, karena adanya ion Fe, Al atau Ca yang bereaksi dengan ion orthofosfat menjadi bentuk tambahan yang tidak tersedia dan sebagian besar fosfor yang mudah larut diambil mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya yang diubah menjadi humus (Agustina, 2004). Fungsi P dalam tanaman antara lain adalah mempercepat pembungaan.
Jumlah Tanaman yang Berpolong
Jumlah tanaman yang berpolong diamati pada umur tanaman 14 minggu . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berpolong. Persen jumlah tanaman yang berpolong tersaji pada Tabel 2.
Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yang cukup sampai berbunga.
Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (“slow-growing”). Tambahan air akan memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa membusuk karena kelembaban cukup tinggi 75-85. Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998).
Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada pemupukan P yang berbeda
Perlakuan Pemupukan Fosfat |
Jumlah tanaman yang berpolong |
Rerata | |||
Ulangan | |||||
1 |
2 |
3 |
4 | ||
------------- |
- %/petak -- |
------------ |
------------- | ||
P1 (0kg P2O5/ha) |
12.50 |
31,25 |
12,50 |
37,50 |
23,44 |
P2 (50kg P2O5/ha) |
25,50 |
18,75 |
37,50 |
6,25 |
21,88 |
P3 (100kg P2O5/ha) |
37,50 |
68,70 |
25,00 |
62,25 |
48,36 |
P4 (150kg P2O5/ha) |
56,25 |
68,75 |
6,25 |
6,25 |
34,38 |
P5 (200kg P2O5/ha) |
37,5 |
37,5 |
12,50 |
50.00 |
34,38 |
Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun dengan curah hujan yang masih rendah.
Alfalfa berbunga kira-kira 7 minggu tiap periode, jika terjadi penyerbukan, menghasilkan polong biji dan masak 3 sampai 5 minggu. Pada kondisi yang bagus tiap polong mengandung 3 sampai 5 biji. Dibawah kondisi tekanan serangga yang tinggi, beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009).
Berat per 100 biji
Bulan Nopember curah hujan merata sepanjang hari sehingga polong yang telah terbentuk tidak mengandung biji. Beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup, hal tersebut disebabkan tanaman dibawah kondisi tekanan serangga yang tinggi (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yang cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan menunda periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan hasil biji
lebih rendah. Waktu alfalfa berbunga yang ideal untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, dan biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat per 100 biji alfalfa. Berat per 100 biji alfalfa pada pemupukan P yang berbeda tersaji pada Tabel 3.
Hasil uji Duncan menunjukkan berat per 100 biji pada pemupukan P dosis 50 kg P2O5/ha lebih tinggi dari semua perlakuan pemupukan. Pemupukan sampai 50 kg P2O5/ha meningkatkan berat per 100 biji pada alfalfa mutan kemudian menurun pada perlakuan 100, 150, dan 200 kg P2O5/ha.
Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada pemupukan P yang berbeda
Perlakuan |
Berat per 100 biji | ||||
Pemupukan |
Ulangan |
Rerata | |||
Fosfat |
1 |
2 |
3 |
4 | |
P1 (0kg P2O5/ha) |
0,5580 |
0,5520 |
0,6920 |
0,9460 |
O,6945b |
P2 (50kg P2O5/ha) |
1,3520 |
1,4100 |
1,3120 |
1,3100 |
1,3460a |
P3 (100kg P2O5/ha) |
0,8940 |
0,8460 |
0,7640 |
1,3720 |
0,9690b |
P4 (150kg P2O5/ha) |
0,7920 |
0,9860 |
1,1060 |
0,7520 |
0,9090b |
P5 (200kg P2O5/ha) |
1,3900 |
0,9240 |
0,8500 |
0,8700 |
1,0085b |
*Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut menunjukkan besarnya nilai koefisien regresi pada persamaan alfalfa mutan Y = 0,8348 + 0,0049 X - 0,00002 X2 (R2 = 0,13) yang mempunyai titik puncak 122,50 kg P2O5/ha. Pemupukan alfalfa mutan 122,50 kg P2O5/ha memberikan berat per 100 biji yang optimum walaupun hanya dipengaruhi 13% oleh pemupukan P. Hal tersebut disebabkan kandungan P pada media tanam (499,39 ppm) melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), sehingga pemupukan P dengan berbagai level tidak akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa secara nyata.
Perubahan asam amino pada rantai DNA akan mempengaruhi metabolisme tanaman. disebabkan alfalfa mutan mengandung asam amino yang kaya AT dan GC, sehingga beberapa asam amino berubah karena komposisinya berubah (Yuwono, 2006). Perubahan asam amino akan mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Proses metabolisme tanaman akan mempengaruhi produksi tanaman (biji). Pemakaian mutagen EMS dengan konsentrasi yang tepat menunjukkan mutasi yang positif (Chopde, 2006). Mutasi dengan EMS akan menunjukkan peningkatan perubahan genetik (Jabeen dan Mirza, 2002). Perubahan genetik pada organisme yang tercermin dari perubahan ekspresinya mungkin dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Berdasarkan variabel genetik, alfalfa memiliki kemampuan beradaptasi yang baik untuk kondisi lingkungan yang berbeda (Radovic et al., 2009).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil adalah, bahwa pada kondisi tempat penelitian, tanaman alfalfa mutan kurang responsif terhadap pemupukan P. Pemupukan P tidak meningkatkan persen tanaman berbunga dan berpolong alfalfa mutan, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Pemupukan 122,50 kg P2O5/ha cukup memberikan berat per 100 biji yang maksimum.
Saran
Dapat disarankan bahwa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa mutan ini untuk produksi biji pada kondisi yang lebih mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998.Alfalfa Production Handbook.Kansas StateUniversity, Manhattan, Kansas.
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Bagg, J. 2003. Cutting Management of Alfalfa.Government of Ontario.Ontaria
Hoy. D. M., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa Yield and Quality as Influenced by Establishment Method. Agron J. 94: 65-71.
Hutami, S., I. Mariska dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Keragaman So-maklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88.
Liani, Y., H. H. Qing, Sumarsono, D. W. Widjajanto and J. Guan-jie. 2011. Phosphate rock application on alfalfa (Medicago sativa L) production and macronutrient in latosol soil. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4): 290-296.
Mannetje, L dan R. M. Jones. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT. Balai Pustaka, Bogor.
Mikkelsen, R. 2004. Managing phosphorus for maximum alfalfa yield and quality. Dalam: Proccedings National Alfalfa Symposium, San Diego 13-15 December 2004. CA, CU Cooperative Extension, University of California, Davis. Pp 617-622.
Oklahoma Cooperative Extension Service. 2009. Alfalfa Production Guide for the Southern Great Plains. Division of Agricultural Sciences and Natural Resources.Oklahoma State University, Stillwater, Oklahoma.
Sajimin. 2011. Medicago sativa L (alfalfa) sebagai tanaman pakan ternak harapan di Indonesia. Wartazoa Vol 21(2): 91-98.
Smith D, Raymond J. B and Richard P. W. 1986. Forage Management. 5th Edition.Kendall/Hunt. Publishing Company. Dubuque. Iowa.
Steel, R. G. D and J. H Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics. Mc. GrawHill Book Company, Inc. New York.
Widyati-Slamet, F. Kusmiyati dan E. D. Purbayanti. 2008. Produksi Alfalfa (Medicago sativa) dengan Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang Berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2): 158-163.
Yuwono, T. W. 2008. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta
Yu Jia, Xu Bingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling. 2007. Availability and Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in semiarid Loess Plateau. Acta Ecologica Sinica. 2007, 27(1): 42-47.
64
Discussion and feedback