INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP KEJADIAN LBP NON SPESIFIK PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA YANG MEMILIKI AKTIVITAS FISIK RENDAH
on
![](https://jurnal.harianregional.com/media/87455-1.jpg)
INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP KEJADIAN LBP NON SPESIFIK PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA YANG MEMILIKI AKTIVITAS FISIK RENDAH
Nilam Sari1*, Made Widnyana2, I Made Krisna Dinata3, I Putu Adiartha Griadhi4
1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 3,4Departemen FAAL,
Fakultas Kedokteran, Universitas Udyana, Denpsar, Bali
*Koresponden: [email protected]
Diajukan: 11 Juni 2022 | Diterima: 14 Juli 2022 | Diterbitkan: 15 September 2023
DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2023.v11.i03.p06
ABSTRAK
Pendahuluan: Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah perhitungan numerik dari berat dan tinggi badan seseorang. IMT adalah ukuran berat badan relatif terhadap tinggi badan. Seseorang dengan obesitas atau overweight dengan aktivitas fisik rendah lebih besar kemungkinan akan mengalami LBP (low back Pain). LBP adalah nyeri yang dirasakan pada punggung bagian bawah dan dapat terlokalisir, radikuler, atau keduanya. Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka dan membutuhkan konsumsi energi. Aktivitas fisik yang rendah membuat lemak menumpuk karena tidak diolah menjadi energi sehingga penumpukan lemak tersebut mempengaruhi tingkat IMT seseorang. Saat berat badan bertambah, tulang belakang ditekan untuk mengakomodasi beban, menyebabkan kerusakan sederhana dan bahaya pada struktur tulang belakang.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari tahun 2022 dengan desain analitik cross setional. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling. Sampel terdiri dari 77 orang, 20 di antaranya adalah laki-laki dan 57 di antaranya adalah perempuan. Kriteria pengambilan sampel didasarkan pada aktivitas fisik yang rendah.
Hasil: Berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji chi-square untuk menganalisis IMT dan risiko LBP non spesifik pada mahasiswa dengan tingkat aktivitas fisik rendah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, ditemukan signifikan secara statistik pada p-value 0,000 atau p<0,05. Selain itu, rasio odds prevalensi (POR) digunakan untuk membandingkan risiko LBP non spesifik. Hasil IMT tinggi dan rendah adalah 2,782 [95% CI 2.2.371-2.744].
Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ditemukan hubungan yang signifikan antara IMT terhadap risiko terjadinya LBP non spesifik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memliki aktivitas fisik rendah.
Kata Kunci: aktivitas fisik, Indeks massa tubuh, LBP
PENDAHULUAN
Usia produktif manusia berawal sejak umur 15 sampai dengan 64 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2019, jumlah masyarakat produktif di Indonesia mencapai 183,4 juta jiwa.1 Salah satu yang tergolong dalam usia produktif adalah mahasiswa. Mahasiswa sering memiliki kegiatan perkuliahan yang sangat padat setiap harinya. Posisi duduk dengan durasi yang lama ketika melakukan kegiatan perkuliahan merupakan aktivitas berulang dan monoton yang terjadi pada mahasiswa setiap harinya yang dapat menyebabkan mahasiswa memiliki aktivitas fisik yang rendah.
Aktivitas fisik yang rendah berkolerasi kuat dengan terjadinya peningkatan persentase lemak tubuh seseorang sehingga IMTjuga meningkat. Semakin rendah tingkat aktivitas fisik maka semakin tinggi indeks massa tubuhnya. Kegiatan perkuliahan mahasiswa yang sangat padat setiap harinya memungkinkan mahasiswa akan ada pada posisi duduk, sehingga menyebabkan mahasiswa memiliki aktivitas fisik yang rendah dimana sebesar 60% mahasiswa memiliki aktivitas fisik yang rendah. Aktivitas fisik yang rendah sangat berpengaruh dalam peningkatan persentase lemak tubuh yang juga meningkatkan IMT seseorang, semakin rendah tingkat aktivitas fisik maka semakin tinggi persentase lemak tubuhnya.2
Tingginya tingkat keaktifan mahasiswa juga menyebabkan perubahan kebiasaan makan mahasiswa. Makan fast food menjadi pilihan praktis bagi mahasiswa. Terlalu banyak makan makanan cepat saji menyebabkan akumulasi lemak menjadi naik dan karenanya meningkatkan IMT.3 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kis W dkk. (2013), remaja yang mengonsumsi makanan cepat saji cenderung mengonsumsi makanan yang tidak sehat dan memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang kurang mengonsumsi makanan cepat saji. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Jeffery RW dkk. (2013) yang menemukan bahwa makan makanan cepat saji di restoran juga berhubungan positif dengan indeks obesitas dan lemak makanan.4 IMT yang tinggi juga dapat meningkatkan stres pada tubuh, karena lemak yang tertimbun di perut menekan tulang belakang dan membuat tulang belakang tidak stabil. Kondisi tulang belakang yang tidak stabil dapat merusak struktur tulang dengan sangat mudah dan bisa sangat berbahaya pada tulang belakang lumbar. Ada 15.974 orang dengan nyeri punggung bawah, dan sekitar 47,2% memiliki IMT di atas 30,0 atau mengalami obesitas.5
LBP adalah nyeri yang dirasakan pada punggung bagian bawah dan dapat terlokalisir, radikuler, atau keduanya. Bahkan, seringkali menimbulkan kebingungan dalam aktivitas sehari-hari, kecacatan, dan produktivitas pasien.LBP merupakan nyeri punggung bawah yang sering terjadi akibattgangguan pada tulang vertebra lumbosacral yang dapat bersifat akut maupun kronis. LBP biasa didefinisikan sebagai suatu perasaan nyeri pada lumbosacral dan juga di sakroiliakal yang sering disertai dengan nyeri menjalar ke tungka sampai kaki.6
Menurut perjalanan klinisnya, LBP dapat dibagi menjadi dua jenis: nyeri punggung bawah akut dan nyeri punggung bawah kronis. Nyeri punggung bawah akut biasanya ditandai dengan adanya nyeri yang tiba-tiba dalam jangka waktu yang singkat berhari-hari hingga berminggu-minggu sampai nyeri tersebut mereda, sedangkan nyeri punggung bawah kronis biasanya ditandai dengan nyeri yang cukup lama yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri tumpul, intensitas variabel nyeri LBP sering kronis dan dapat terlokalisasi atau menyebar dekat dengan otot gluteal. Namun, sebagian besar keluhan nyeri punggung bawah biasanya dapat sembuh dalam waktu singkat dan seringkali dianggap kurang serius. Pada fase kronis ini, biasanya ada serangan yang sangat berbahaya yang sembuh dalam waktu yang sangat lama.7
Nyeri punggung bawah merupakan penyebab tertinggi terjadinya disabilitas. Berdasarkan total 291 kondisi yang diteliti oleh Global Burden of Disease, kondisi nyeri punggung bawah terjadi 83 juta kasus setiap tahunnya yang mengakibatkan seseorang hidup dengan disabilitas. Satu dari sepuluh orang menderita LBP di seluruh dunia kapan saja dan 70-85% orang mengalami episode LBP pada suatu waktu dalam hidup mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggiat dkk. (2018), sebanyak 74,6% mahasiswa mengalami nyeri punggung bawah. Nyeri yang terjadi pada mahasiswa dapat sangat mengganggu kegiatan perkuliahan yang berlangsung, misalnya saja saat duduk lama. Nyeri yang terjadi akan mempengaruhi kenyamanan belajar dalam kelas sehingga kualitas belajar akan berkurang akibat LBP yang dirasakan. 8
Berdasakan pemaparan diatas, diketahui IMTdapat mempengaruhi terjadinya nyeri pungung bawah non spesifik. Nyeri punggung bawah yang terjadi akan mempengaruhi produktivitas pada mahasiswa. Sehingga penting untuk mengetahui dan membuktikan bahwa IMTberhubungan dengan risiko terjadinya nyeri punggung bawah non spesifik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang aktivitas fisiknya rendah.
METODE
Penlitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain analisis cross sectional yang dilaksanakan pada bulan februari 2022 pada mahasiswa Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memiliki aktivitas fisik rendah, bertempat di Laboratorium Fisioterapi Lantai II, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Subjek yang dipilih mengunakan metode random sampling. Sampel berjumlah 77 orang, yang terdiri dari 20 laki-laki dan 57 perempuan. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu mahasiswa aktif, berusia 18-22 tahun yang diketahui memalui wawancara dan pengsian data diri, memiliki aktivitas fisik yang rendah yang diukur dengan menggunakan kuesioner GPPAQ (General Practice Physical Activity Questionnaire) yang telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu memiliki riwayat trauma pada vertebra, memiliki kelainan postural, dalam keadaan hamil, dan memiliki kebiasaan merokok yang datanya diperoleh dari wawancara. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen berupa IMT dan variabel dependen yakni LBP. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah umur, aktivitas fisik, sedangkan variabel rancu adalah persentase lemak tubuh, kebiasaan merokok, dan jenis kelamin.
Penelitian dilakukan selama 4 hari terhitung mulai tanggal 4 Februari 2022. Pada tanggal 5 sampai 7 februari 2022 di Laboraturium Fisioterapi Gedung Fisioterapi Lantai II Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dilakukan pemeriksan spesifik dari LBP non spesifik berupa straight leg raising, valsava manuever, slumpt test, patrick test, contra patrick test dan bragard test dan pengukuran IMT yang dilakukan oleh fisioterapis, didapatkan responden drop out sebanyak 2 responden karena tidak mengikuti instruksi dengan benar. Pada penelitian ini dari keseluruhan total 107 populasi terjangkau, dipilih 79 mahasiswa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian berdasarkan metode random sampling, sehingga jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 79 mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa angkatan 2018, 2019, 2020 dan 2021 Program Studi Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memiliki aktivitas fisik rendah. Responden yang memenuhi kriteria inklusi mengkuti penelitian sesuai dengan prosedur penelitian. Hasil data yang diperoleh berupa data usia, jenis k elamin, aktivitas fisik, IMT (tinggi badan dan berat badan), dan kejadian LBP non spesifik dari penelitian kemudian diolah dan dilakukan analisis univariat dan bivariat. Subjek yang telah menuhi kriteria penelitian kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan subjektif (keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan penyerta, riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial dan ekonomi), pemeriksaan objektif (vital sign, inspeksi, palpasi), pengukuran IMT dengan menggukur tinggi badan dan berat badan setelah itu dihitung menggunakan rumus IMT menurut DEPKES RI 2003. Subjek kemudian dilakukan pengukuran LBP non spesifik menggunakan formulir pemeriksaan LBP non spesifik oleh fisioterapis yang bernama Ferdi Alkindi . Fisioterapis melakukan pemeriksaan tes spesifik LBP non spesifik pada semua subjek penelitian.
Hasil pemeriksaan dikategorikan kedalam kelompok yang mengalami LBP non spesifik dan kelompok yang tidak mengalami LBP non spesifik sesuai dengan hasil diagnosis fisioterapis. Hasil pengukuran IMT kemudian akan dikategorikan menjadi 4 tingkatan yaitu kurus, normal, kegemukan,dan obesitas. Dimana kategori IMT untuk pria kurus <17, normal 17-23, kegemukan 23-27, dan obesitas >27, untuk perempuan kurus <18, normal 18-25, kegemukan 2527, dan obesitas >27. Informasi tersebut dapat dianalisis secara univariat ntuk mengetahui gambaran keseluruhan sampel dan menganalisis secara bivariat menggunakan Uji Chi Square untuk menentukan hubungan antara IMT dan LBP non spesifik.
Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Ethical clearance/keterangan kelaikan etik dengan nomor 159/UN14.2.2.VII.14/LT/2022. Informed consent telah diperoleh dari sampel penelitian sebelum melakukan penelitian.
Tabel 1. Distribusi FrekuensiKarakteristikResponden | ||
Variabel |
Frekuensi (n) |
Persentase (%) |
Usia 18 |
3 |
3,8 |
19 |
30 |
38,9 |
20 |
34 |
44,2 |
21 |
9 |
11,7 |
22 |
1 |
1,3 |
Jenis Kelamin Laki-laki |
20 |
25,9 |
Perempuan |
57 |
74,1 |
Indeks Massa Tubuh Kurus |
6 |
7,8 |
Normal |
33 |
42,9 |
Kegemukan |
27 |
35,1 |
Obesitas |
11 |
14,3 |
LBP non spesifik Tidak |
37 |
48,1 |
Iya |
40 |
51,9 |
Aktifitas Fisik Rendah |
77 |
100 |
Tinggi |
0 |
0 |
Berdasarkan Tabel 1. diatas bisa dilihat bahwa dari 77 responden dengan tingkat aktivitas fisik yang rendah didapatkan lebih banyak responden yang mengalami kejadian LBP non spesifik spesifik yaitu sebanyak 40 orang (51,9%) daripada yang tidak mengalami LBP non spesifik (48,1%), responden lebih dominan berjenis kelamin perempuan ( 74,1%) dibanding laki-laki (25,9).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kejadian LBP non spesifik Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin |
LBP non spesifik Total Ya Tidak |
Laki-laki Perempuan Total |
14 (35%) 6 (16,3%) 20 (26%) 26 (65%) 31 (83,7%) 57 (74%) 40 (100%) 37 (100%) 77 (100%) |
Berdasarkan Tabel 2. diatas, data kejadian LBP non spesifik lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Tabel 3. Distribus Frekuensi IMT Berdasarkan Jenis Kelamin
Variabel |
Jenis Kelamin |
Total | |
Laki-laki |
Perempuan | ||
Kurus |
0 |
6 |
6 |
Normal Indeks Massa Tubuh |
6 |
27 |
33 |
Kegemukan |
12 |
15 |
27 |
Obesitas |
2 |
9 |
11 |
Total |
20 |
57 |
77 |
Berdasarkan Tabel 3. diatas, diperoleh data IMT pada laki laki dan perempuan dengan total laki-laki sebanyak 20 perempuan 57.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi IMTBerdasarkan Usia
Variabel |
Usia |
Total | ||||
18 |
19 |
20 |
21 |
22 | ||
Kurus |
0 |
3 |
2 |
1 |
0 |
6 |
Nor al |
2 |
9 |
16 |
6 |
0 |
33 |
Indeks Massa Tubuh m Kegemukan |
1 |
12 |
13 |
1 |
0 |
27 |
Obesitas |
0 |
6 |
3 |
1 |
1 |
11 |
Total |
3 |
30 |
34 |
9 |
1 |
77 |
Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa pada usia 18 terdapat 2 sampel kategori normal dan 1 sampel kategori kegemukan, usia 19 terdapat 3 sampel kurus, 9 normal, 12 kegemukan dan 6 obesitas, usia 20 terdapat 2 sampel kurus, 16 normal, 13 kegemukan, dan 3 obesitas, usia 21 terdapat 1 sampel kurus, 6 normal, 1 kegemukan dan 1 obesits, usia 22 hanya terdapat 1 sampel ketgori obesitas.
Tabel 5. Hubungan IMTterhadap Kejadian LBP non spesifik
Indeks Massa Tubuh |
LBP non spesifik | |||
Ya |
Tidak |
Total |
P | |
Kurus |
1 (14,30%) |
6 (85,7%) |
7 (100%) | |
Normal |
1 (3%) |
32 (97%) |
33 (100%) | |
Kegemukan |
27 (100%) |
0 (0%) |
27 (100%) |
0,000 |
Obesitas |
11 (100%) |
0 (0%) |
11 (100%) | |
-100% |
0% |
-100% |
Berdasarkan Tabel 5. hasil penelitian mendapatkan nilai p-value sebesar 0,000 setelah dilakukan uji chisquare, sehingga nilai p-value < 0,05. Berdasarkan uji statistik, mahasiswa Program studi fisioterapi dan Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara IMT dengan risiko LBP non spesifik. Perbandingan antara risiko LBP non spesifik dan klasifikasi IMT dapat ditentukan dengan menghitung rasio odds prevalensi (POR) untuk mengetahui faktor risiko dengan kejadian LBP. Penelitian ini membandingkan IMT dengan LBP non spesifik. Sebuah analisis komparatif dari IMT dan risiko terjadinya LBP non spesifik menunjukkan rasio odds prevalensi 2,782. Artinya, orang dengan IMT tinggi 2,782 kali lebih mungkin mengalami LBP non spesifik dibandingkan orang dengan IMT rendah.
DISKUSI
Karakteristik Sampel
Penelitian ini melibatkan 77 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa aktif program studi Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Berdasarkan usia, sampel terbanyak pada usia 20 tahun sebanyak 34 sampel (44,2%). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan paling tinggi yaitu 57 (74,1%) dibandingkan laki-laki. Distribusi responden berdasarkan kategori IMT adalah 6 sampel kurus, 33 sampel normal, 27 sampel kegemukan, dan 11 sampel obesitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 40 sampel (51,9%) mengalami LBP non spesifik dan 37 sampel (48,1%) tidak mengalami LBP non spesifik setelah dievaluasi oleh fisioterapis. Sedangkan untuk kategori aktivitas fisik diambil sampel yang memiliki aktivitas fisik rendah sebanyak 77 sampel (100%) dengan mnggunakan kuesioner GPPAQ.
LBP non spesifik umumnya mulai dirasakan oleh mereka yang memasuki tahun ke-20 kehidupan, paling sering terjadi pada tahun ke-50 kehidupan, bahkan keluhan nyeri ini meningkat pada usia 55 tahun. Namun menurut Sukmajaya 2020, nyeri punggung bawah non spesifik dapat terjadi pada semua kelompok umur, termasuk anak usia sekolah dan lansia. Sekitar sepertiga orang dewasa pasti pernah menderita sakit punggung yang tidak spesifik, karena setiap orang pasti pernah mengalaminya seiring bertambahnya usia..9
Ditinjau dari jenis kelamin, kejadian LBP non spesifik pada penelitian ini adalah wanita dengan LBP non spesifik lebih banyak daripada pria. Hal ini sesuai dengan penelitian Andini sebelumnya pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa wanita lebih rentan mengalami LBP non spesifik dibandingkan pria. Secara fisiologis, wanita memiliki kekuatan otot yang lebih rendah daripada pria sehingga mempengaruhi kejadian LBP non spesifik.10
Dilihat dari aktivitas fisik, seluruh responden sebanyak 77 orang (100%) memiliki tingkat aktivitas fisik yang rendah sesuai dengan kriteria inklusi. Aktivitas fisik yang rendah digunakan untuk menghindari faktor perancu yang dapat menyebabkan angka kejadian LBP non spesifik menjadi tidak akurat. Dimana aktivitas fisik yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya LBP non spesifik. Berdasarkan penelitian Heneweer tahun 2011 jumlah aktivitas fisik yang intens seperti mengangkat dan membawa beban, mendorong ataupun menarik, serta membungkuk dan memutar akan meningkatkan risiko terjadinya LBP non spesifik.11
Hubungan IMTterhadap Risiko Terjadinya LBP non spesifik
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan antara IMT mahasiswa program fisioterapi dan Profesi Fisioterapi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan risiko terjadinya LBP non spesifik. Lemak tubuh viseral yang berlebih meyebabkan nilai IMT meningkat, sehingga akan berpengaruh pada peningkatan lingkar pinggang. Ukuran lingkar pinggang atau perut yang meningkat pada seseorang dengan IMT yang tinggi apabila dilihat dari segi biomekanis akan menyebabkan pembebaan pada diskus intervertebralis. Adanya beban pada diskus intervertebralis akan menyebabkan perubahan kurva pada tulang belakang yang dapat memberikan tekanan pada otot punggung yang dipaksa untuk menahan kelebihan berat badan.12
Terlalu banyak lemak perut pada orang dengan klasifikasi IMT dapat membatasi gerakan tubuh bagian atas, memendekkan otot dan jaringan, mengurangi fleksibilitas, mengurangi mobilitas sendi, dan meningkatkan risiko rasa nyeri, strain, dan sprain. Oleh karena itu, peningkatan massa jaringan lemak pada area perut ini tidak hanya dapat menyebabkan kekuatan otot yang menurun, tetapi juga faktor-faktor lain, seperti aktivasi neuromuskuler yang tidak tepat dan kelelahan otot yang dapat berkontribusi pada penurunan stabilitas tulang belakang. Ketidakstabilan ini dapat dipicu karena terjadinya kerja otot yang tidak seimbang antara otot bagian depan dan bagian belakang punggung bawah akbiat penambahan ukuran perut.
Ukuran perut dan gravitasi dapat mempengaruhi lordosis lumbal dan mobilitasnya selama fleksi ke depan atau lateral blending. Lingkar perut yang berlebih akibat peningkatan jaringan lemak pada seseorang dengan IMT yang tinggi dapat mengganggu fungsi dinamis dari beberapa otot, khususnya otot erector spine, sehingga gaya lawan terhadap gaya geser anterior pada tulang belakang dapat menyebabkan cedera. Massa lemak yang tinggi terutama pada area perut akan menyebabkan pergeseran center of gravity, normal terletak sekitar 2,5 cm di depan segmen tulang belakang sakral kedua, bergeser menjadi lebih ke depan. Pergeseran ini akan memaksa tubuh untuk mempertahankan postur normal dengan cara meregangkan ligamen ataupun otot pada punggung bawah secara terus menerus yang menyebabkan terjadinya strain atau
penegangan pada otot punggung bawah, dimana saat seseorang dengan ukuran perut yang lebar melakukan aktivitas berupa membungkukkan badan saat mengangkat sesuatu atau menuruni tangga akan membutuhkan gaya reaktif yang lebih besar untuk melawan gravitasi massa lemak untuk mencapai keseimbangan, hal ini akan meningkatkan strain pada punggung bawah mereka.13
Strain pada otot punggung bawah merupakan salah satu mekanisme terjadinya LBP non spesifik. Strain pada punggung bawah ini terjadi akibat cedera pergangan yang berlebih dan robekan baik pada otot maupun tendon pada punggung bawah yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri. Peradangan terjadi ketika otot dan tendon yang rusak sehingga menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan pada jaringan. Strain dapat menyebabkan robekan mikroskopis sederhana dengan perdarahan jaringan dan dapat menyebabkan nyeri tiba-tiba atau nyeri tekan dengan nyeri tekan lokal pada gerakan otot dan kontraksi isometrik.14 Pada strain, otot mengalami gaya tarik yang berlebihan yang menyebabkan penegangan berlebih dari myofiber yang menyebabkan terjadinya ruptur di dekat myotendinous junction. Strain pada lumbal terjadi pada otot erector spinae (otot iliocostales, otot longissimus, otot spinalis), otot semispinalis, otot multifidi, otot rotatores, otot quadratus lumborum, dan otot serratus posterior. Strain pada otot-otot ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau berulang-ulang karena penggunaan yang berlebihan atau ketegangan yang berulang, yang menyebabkan tendinitis.
Adanya kerusakan atau inflamasi menyebabkan pelepasan stimulan seperti prostaglandin, bradikinin, dan histamin, sehingga merangsang serabut saraf tipe Aδ dan C (bermylein tipis). Impuls ini dihantarkan ke ganglion akar dorsal, masuk ke medula spinalis melalui kornu posterior, dan ditransmisikan ke tingkat yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat melalui traktus spinotalamikus dan traktus spinotalamikus. Adanya rangsangan ganglion akar dorsal menyebabkan produksi zat "P". Produksi zat "P" merangsang respon inflamasi.15
Respon inflamasi menghasilkan pelepasan mediator inflamasi yang dapat menyebabkan nyeri. Nyeri yang dirasakan menyebabkan reaksi reflekstorik pada otot-otot lumbo dorsal terutama otot erector spine sehingga terjadi peningkatan tonus yang terlokalisir (spasme) sebagai “guarding” (penjagaan) terhadap adanya gerakan. Jika spasme otot berlangsung lama maka otot akan cenderung menjadi tightness. Keadaan tightness pada otot-otot erector spine akan memperberat LBP yang dirasakan.15
IMT yang tinggi tidak hanya dapat berdampak pada terjadinya LBP non spesifik akibat peningkatan ukuran pinggang yang menyebabkan adanya strain pada otot punggung bawah, namun juga dapat mempengaruhi LBP non spesifik melalui proses inflamasi sistemik di dalam tubuh dimana peningkatan persentase lamak berlebih yang menyebabkan seseorang mangalami overweight atau obesitas berhubungan dengan peningkatan produksi sitokin dan reaktan fase akut dan dengan aktivasi jalur inflamasi yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri. Sel inflamasi yang berperan dalam proses nyeri adalah sel mast, neutrofil, makrofag, limfosit T, dan sel glial seperti mikroglia dan astrosit. Selama proses inflamasi, sel mast pertama kali diaktifkan untuk melepaskan histamin, TNF- α, Chemokine dan Leukotriene yang membuat menjadi sensitif dan berkontribusi pada perekrutan neutrofil dan makrofag.16
Mediator yang dilepaskan oleh neutrofil termasuk MIP-1α (protein inflamasi makrofag) dan IL-1β, yang membantu merekrut makrofag. Dalam sel saraf, baik neutrofil maupun makrofag memproduksi dan mensekresikan mediator inflamasi seperti TNF-α, prostaglandin E2 (PGE2), bradikinin, serotonin, dan histamin. Mediator inflamasi ini secara langsung mengaktifkan nosiseptor atau menyebabkan sensitivitas nosiseptor menyebabkan nyeri inflamasi. Individu dengan massa lemak yang lebih besar cenderung mengalami sensitisasi perifer atau sentral dalam kaitannya dengan peningkatan tingkat peradangan sistemik, sehingga menyebabkan perluasan daerah nyeri.17
Jaringan lemak aktif secara metabolik, melepaskan banyak sitokin proinflamasi dan mediator utama metabolisme yang disebut "adipokin". Faktor yang dilepaskan dari jaringan adiposa dapat meningkatkan perubahan inflamasi di sekitar tulang belakang, selanjutnya meningkatkan nyeri dan kecacatan yang terkait. Selain itu, proses inflamasi sistemik ini dapat menyebabkan proses penghancuran jaringan di sekitar tulang belakang yang berdampak pada perkembangan kondisi nyeri kronis. Maka dari itu perlu diperhatikan mengenai kesadaran terhadap pencegahan LBP non spesifik salah satunya dengan mengetahui faktor penyebabnya sehingga dapat diatasi dengan baik. 18
Perbandingan Risiko IMTSeseorang terhadap Kejadian LBP non spesifik
Perbandingan risiko LBP non spesifik berdasarkan IMT pada mahasiswa. Jika IMT rendah dan IMT tinggi, nilai POR adalah 2,782 [95% CI 2,371-2,744]. Artinya, orang dengan IMT tinggi berisiko 2,782 kali lebih besar menderita LBP non spesifik . Orang dengan IMT yang tinggi memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan orang yang memiliki IMT rendah. Hal ini terjadi karena IMT yang tinggi menyebabkan tekanan gravitasi yang meningkat akibat dari penambahan massa lemak terutama pada bagian atas yang akan menyebabkan seseorang membungkukkan tubuh bagian atasnya lebih ke depan.12
Membungkukan tubuh ke depan merupakan salah satu fungsi dari otot paraspinal atau yang sering disebut dengan erector spinae. Otot paraspinal atau erector spinae terdiri atas 3 grup otot diantaranya otot iliocostalis, otot longissimus dan otot vertebra, dimana otot ini berfungsi dalam gerakan membungkuk ke depan, memutar tubuh, dan melengkungkan punggung. Membungkuk dalam waktu yang lama dapat meningkatkan stress postural. Ketegangan postural ini menyebabkan peregangan ligamen dan jaringan lunak lain yang berlebihan yang menopang tulang belakang. Nyeri terjadi ketika sendi antara kedua tulang berada pada posisi yang menyebabkan peregangan berlebihan dan kelelahan pada jaringan lunak di sekitar sendi.4
Penggunaan otot yang berlebihan juga menyebabkan iskemia atau inflamasi, yang meningkatkan berbagai mediator inflamasi seperti histamin, bradikinin, serotonin atau 5-hydroxytryptamine (5-HT) dan prostaglandin (PGE 2). Mediator inflamasi ini mensensitisasi nosiseptor di otot, membuatnya lebih sensitif, dan gerakan otot menyebabkan rasa sakit dan meningkatkan kejang otot. Oleh karena itu, meningkatkan IMT meningkatkan beban pada otot paraspinal dan vertebral, yang menyebabkan LBP non spesifik.20,19,21
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan risiko terjadinya LBP non spesifik pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan tingkat aktivitas fisik yang rendah. IMT yang tinggi meningkatkan risiko sebesar 2,782 kali lebih banyak mengalami nyeri punggung bawah non spesifik dibandingkan dengan IMT rendah. Kelemahan penelitian ini adalah pengukuran IMT tidak diikuti dengan pengukuran lingkar perut. Penelitian ini berimplikasi pada reaksi responden setelah mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara IMT dengan risiko terjadinya LBP non spesifik, sehingga responden yang memiliki IMT yang tinggi dapat melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga, menjaga pola makan dan gaya hidup yang sehat, supaya IMT dapat menurun dan masuk kategori yang normal, sehingga mengurangi risiko terjadinya LBP non spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Badan Pusat Statistik. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Published 2019. https://www.bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_Indonesia_2010-2035.pdf
-
2. Kukic, F., Dopsaj, M., Dawes, J., Orr, R. M., & Cvorovic, A. (2018). Use of Human Body Morphology as an Indication of Physical Fitness: Implications for Police Officers. International Journal of Morphology, 36(4), 14071412. https://doi.org/10.4067/S0717-95022018000401407
-
3. Kalkan, I. (2019). The impact of nutrition literacy on the food habits among young adults in Turkey. Nutrition Research and Practice, 13(4), 352. doi:10.4162/nrp.2019.13.4.352 Jeffery RW, Baxter J, McGuire M, Linde J. Are fast food restaurants an environmental risk factor for obesity?Int J Behav Nutr Phys Act. 2013;3:1-6. doi:10.1186/1479-5868-3-2
-
4. Meliala L PR. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri Pinggang Bawah. Towar Mech Based Treat. Published online 2013.
-
5. Sinha, Ayushi and Chauhan, Neha and Jyoti Dash, Pragnya and Koshle, Himanshu and Fatima, Ambreen, Prevalence of Non-Specific Low Back Pain in Sedentary Lifestyle: A Literature Review (October 24, 2021). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=3948836 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3948836
-
6. Stevans JM, Delitto A, Khoja SS, et al. Risk Factors Associated With Transition From Acute to Chronic Low Back Pain in US Patients Seeking Primary Care. JAMA Netw Open. 2021;4(2):e2037371. doi:10.1001/jamanetworkopen.2020.37371
-
7. Anggiat L HW. The incidence of low back pain among university students. Pro-Life. 2018;5(3):677–.
-
8. Sukmajaya WP, Alkaff FF, Oen A, Sukmajaya AC. Williams Flexion Exercise for Low Back Pain: A Possible
Implementation in Rural Areas. 2020;8:1-5.
-
9. Andini F. Risk Factors of Low Back Pain in Workers. Work J Major. 2015;4(1):12.
-
10. Heneweer H, Staes F, Aufdemkampe G, Van Rijn M, Vanhees L. Physical activity and low back pain: A systematic review of recent literature. Eur Spine J. 2011;20(6):826-845. doi:10.1007/s00586-010-1680-7
-
11. Hashimoto Y, Matsudaira K, Sawada SS, et al. Obesity and low back pain: A retrospective cohort study of Japanese males. J Phys Ther Sci. 2017;29(6):978-983. doi:10.1589/jpts.29.978
-
12. Choi, Eun Young (2018). The Association of Low Back Pain with Obesity and Abdominal Obesity among Koreans Aged 50 Years or More. Korean Journal of Health Promotion, 18(3), 119. doi:10.15384/kjhp.2018.18.3.119
-
13. Ra Pati Tiala MEA, Tanudjaja GN, Kalangi SJR. Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dengan Lingkar Pinggang Pada Siswa Obes Sentral. J e-Biomedik. 2013;1(1):455-460. doi:10.35790/ebm.1.1.2013.4581
-
14. Lahastri BR. Pengaruh Mc.Kenzie Exercise Kombinasi Kinesio Taping Terhadap Penurunan Nyeri Pada Kasus Low Back Pain Non Spesifik Pada Pegawai Perempuan Di Universitas Hamzanwadi. ISSN 2502-3632 ISSN 2356-0304 J Online Int Nas Vol 7 No1, Januari – Juni 2019 Univ 17 Agustus 1945 Jakarta. 2019;53(9):1689-1699. www.journal.uta45jakarta.ac.id
-
15. Siddiqui A, Javed S, Abbasi S, et al. (March 30, 2022) Association Between Low Back Pain and Body Mass Index in Pakistani Population: Analysis of the Software Bank Data. Cureus 14(3): e23645. doi:10.7759/cureus.23645
-
16. Pan F, Laslett L, Blizzard L, et al. Associations Between Fat Mass and Multisite Pain: A Five-Year Longitudinal Study. Arthritis Care Res. 2017;69(4):509-516. doi:10.1002/acr.22963
-
17. Hussain, S. M., Urquhart, D. M., Wang, Y., Shaw, J. E., Magliano, D. J., Wluka, A. E., & Cicuttini, F. M. (2017). Fat mass and fat distribution are associated with low back pain intensity and disability: results from a cohort study. Arthritis Research & Therapy, 19(1). doi:10.1186/s13075-017-1242-z
-
18. Ma, Y., de Groot, S., Weijs, P.J.M. et al. Accuracy of bioelectrical impedance analysis and skinfold thickness in the assessment of body composition in people with chronic spinal cord injury. Spinal Cord 60, 228–236 (2022). https://doi.org/10.1038/s41393-021-00682-w
-
19. Wankhar S, Kota AA, Selvaraj D. A versatile stretch sensor for measuring physiological movement using a centre loaded, end-supported load cell. J Med Eng Technol. 2017;41(5):406-414. doi:10.1080/03091902.2017.1313327 20. Chou L, Brady SRE, Urquhart DM, et al. The Association between Obesity and Low Back Pain and Disability Is Affected by Mood Disorders. Med (United States). 2016;95(15):1-7. doi:10.1097/MD.0000000000003367
Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 11, Nomor 3 (2023), Halaman 256-261, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |261|
Discussion and feedback