THE PERBANDINGAN SUPINE DIAPHRAGMATIC BREATHING DENGAN SITTING DIAPHRAGMATIC BREATHING TERHADAP PENINGKATAN INSPIRATORY CAPACITY PADA MAHASISWI PADUAN SUARA UNIVERSITAS UDAYANA
on
PERBANDINGAN SUPINE DIAPHRAGMATIC BREATHING DENGAN SITTING DIAPHRAGMATIC BREATHING TERHADAP PENINGKATAN INSPIRATORY CAPACITY PADA MAHASISWI PADUAN SUARA UNIVERSITAS UDAYANA
1) Siti Aminah Rihandayani, 2) Sugijanto, 3) Ari Wibawa
-
1. Mahasiswi Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Udayana Denpasar
-
2. Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul Jakarta
-
3. Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Udayana Denpasar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan supine diaphragmatic breathing dengan sitting diaphragmatic breathing dalam meningkatkan inspiratory capacity pada mahasiswi paduan suara Universitas Udayana. Penelitian dilakukan dengan desain penelitian eksperimental Pre and Post Control Group, dimana didapatkan jumlah sampel untuk kelompok perlakuan 1 dengan intervensi supine diaphragmatic breathing sebanyak 11 orang dan pada kelompok perlakuan 2 dengan intervensi sitting diaphragmatic breathing sebanyak 11 orang. Dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Paired Samples T-test pada kelompok perlakuan 1, didapatkan nilai p = 0.0001. Hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata peningkatan inspiratory capacity sebelum dan setelah perlakuan. Sedangkan pada kelompok perlakuan 2 diperoleh nilai p = 0,001. Nilai ini juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah perlakuan. Selanjutnya berdasarkan pengujian hipotesis menggunakan Independent Samples T-test, nilai yang diperoleh adalah p = 0.483. Kesimpulan : tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan) pada hasil perlakuan supine diaphragmatic breathing dibandingkan perlakuan sitting diaphragmatic breathing dalam meningkatkan inspiratory capacity pada mahasiswi Paduan Suara Universitas Udayana.
Kata kunci : inspiratory capacity, supine diaphragmatic breathing, sitting diaphragmatic breathing, paduan suara
ABSTRACT
The research aimed to determine comparison the supine diaphragmatic breathing with sitting diaphragmatic breathing to increase inspiratory capacity student choir of Udayana University. The study was conducted with an experimental research design Pre and Post Test Control Group, which found the number of samples for the first treatment group with supine diaphragmatic breathing intervention by 11 people and in the second treatment group with sitting diaphragmatic breathing interventions as many as 11 people. The results of hypothesis testing using Paired Sample T-test in the first treatment group obtained p = 0.0001. This indicates there is a significant difference between the average increase in inspiratory capacity before and after treatment. While the second groups obtained p value = 0.001. This value also indicates that there is a significant difference before and after treatment. Further based on hypothesis testing using the Independent Samples T-test, value obtained was p = 0.483. In conclusion there is no significant difference between supine diaphragmatic breathing treatment
compared sitting diaphragmatic breathing treatment in increasing inspiratory capacity student choir of Udayana University.
Keywords : inspiratory capacity, supine diaphragmatic breathing, sitting diaphragmatic breathing, choir
PENDAHULUAN
Paduan suara berasal dari bahasa Yunani choros, (dalam bahasa Inggris disebut choir), yang berarti gabungan sejumlah penyanyi dimana mereka mengkombinasikan berbagai suara mereka ke dalam suatu harmoni. Salah satu unsur penting dalam bernyanyi adalah pernapasan. Fungsi utama pernapasan adalah masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru (Guyton, 2008).
Bernapas dalam bernyanyi membutuhkan latihan pernapasan agar koordinasi otot-otot pernapasan menjadi semakin baik. Hal ini penting untuk terwujudnya efisiensi manajemen napas (Michael, 2004).
Fisioterapi dalam hal promotif meningkatkan kemampuan fungsional pernapasan pada paduan suara dengan teknik latihan diaphragmatic breathing. Diaphragmatic breathing adalah latihan pernapasan yang bertujuan untuk menurunkan kerja otot pernapasan dengan mengaktifkan otot diafragma untuk berkontraksi (Basuki, 2008).
Diafragma adalah otot utama inspirasi. Latihan diaphragmatic breathing akan meningkatkan kekuatan, daya tahan otot-otot pernapasan, serta kapasitas fungsional paru. Karena diafragma adalah otot rangka, maka tidak akan cepat mengalami kondisi kelelahan apabila telah terlatih. Dengan otot diafragma yang baik, maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal atau inspiratory capacity (Frownfelter, 1996).
Selama diaphragmatic breathing, dinding perut dikontraksikan saat
inspirasi untuk mengurangi pergerakan otot pernapasan dada. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan distribusi ventilasi, mengurangi energi pernapasan dan kontribusi otot interkostal. Pernapasan inspirasi yang dalam saat latihan akan membuka saluran udara distal, mencegah subsegmental paru kolaps dan dengan demikian meningkatkan compliance paru-paru. Compliance yang baik akan meningkatkan kapasitas vital dan kapasitas inspirasi maksimal paru (inspiratory capacity).
Inspiratory capacity adalah volume tidal ditambah volume cadangan inspirasi, atau jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang mulai pada tingkat normal dan mengembangkan paru-parunya sampai maksimum (Guyton & Hall, 2008). Inspiratory capacity dapat ditingkatkan dengan latihan diaphragmatic breathing. Aplikasi teknik latihan diaphragmatic breathing bisa dilakukan dengan posisi duduk (sitting position), dan posisi berbaring terlentang (supine position). Teknik latihan diaphragmatic breathing yang lebih sering digunakan dalam paduan suara adalah posisi tegak (duduk atau berdiri). Teori menyatakan bahwa supine position memerlukan daya kerja otot diafragma yang lebih maksimal daripada sitting position (Frownfelter, 1996).
Pada posisi supine, latihan diaphragma breathing dapat dikombinasikan dengan pemberian beban yang diletakkan di atas dinding perut. Adaptasi struktural yang terjadi adalah bertambahnya panjang jaringan otot. Dampak utama yang tampak pada bertambahnya panjang otot adalah meningkatnya elasticity jaringan dan reflek regang. Refleks regang ini
berguna ketika seorang vokalis mengontrol tekanan udara di paru-paru, seberapa banyak dan seberapa cepat udara keluar masuk, serta bisa mempertahankan konsistensinya dengan menggunakan otot diafragma.
Latihan supine diaphragmatic breathing yang dilakukan dengan prinsip resistance akan menyebabkan terjadinya proses adaptasi fisiologis yang mengarah pada peningkatan kekuatan otot. Perbaikan koordinasi intra-muskuler meningkatkan kerja sama serabut otot untuk meningkatkan produksi tenaga (strength). Bertambahnya ukuran myofibril, jumlah elemen kontraktil, serta densitas kapiler otot juga akan membuat daya tahan otot meningkat. Dengan posisi terlentang, berat organ perut mendorong diafragma ke tingkat yang lebih tinggi sehingga menghasilkan perjalanan kontraksi lebih besar (Pryor et al, 2001).
Pada saat diaphragmatic breathing dilakukan dengan posisi duduk atau sitting, kerja otot diafragma tidak berat karena ketika inspirasi tidak harus mendorong isi abdomen ke bawah (Basuki, 2008). Pada posisi tegak lurus, kubah diafragma ditarik ke bawah oleh organ perut sehingga volume paru-paru lebih besar. Inspirasi membutuhkan usaha yang lebih mudah dalam posisi tegak karena isi perut yang condong ke bawah oleh gravitasi.
Mekanisme kerja otot diafragma tersebut, membuat penulis tertarik ingin meneliti lebih lanjut. Peneliti ingin membandingkan teori bahwa latihan diaphragmatic breathing untuk meningkatkan inspiratory capacity paru dapat dicapai secara optimal dengan menggunakan supine position daripada sitting position.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi eksperimental dengan rancangan
Pre and Post Test Control Group Design.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan aplikasi teknik supine diaphragmatic breathing dengan sitting diaphragmatic breathing dalam meningkatkan inspiratory capacity pada mahasiswi paduan suara Universitas Udayana.
Inspiratory capacity dapat diukur dengan alat incentive spirometry. Incentive spirometry adalah alat mekanis yang didesain untuk menstimulasi inpirasi maksimal melalui penggunaan umpan balik (feedback).
Adapun prosedur pengukurannya:
-
1. Incentive spirometry dalam keadaan steril, siapkan kasa dan alkohol untuk membersihkan alat setelah pengukuran selesai (tiap pergantian subjek).
-
2. Subjek yang akan diukur tidak melakukan aktivitas olahraga berat 4 jam sebelum pemeriksaan, tidak menggunakan pakaian ketat sehingga membatasi pergerakan rongga dada dan abdomen, serta tidak makan dalam jumlah besar 2 jam
sebelumnya.
-
3. Jelaskan tujuan dan prosedur
pengukuran. Posisi subjek yang akan diteliti adalah posisi duduk tegak.
-
4. Fisioterapis memberikan contoh terlebih dahulu cara menggunakan incentive spirometry, dan subjek memperhatikan cara pemakaiannya.
-
5. Masukkan mouthpiece ke dalam mulut. Tarik napas dalam dan hisap perlahan menggunakan mouthpiece. Tahan selama tiga detik. Catat nilai yang terlihat pada tanda di samping alat. Ulang sebanyak tiga kali dan hasil terbaik yang akan digunakan. Nilai dihari pertama pertemuan adalah nilai pengukuran pertama sebelum dilakuakn intervensi.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswi paduan suara Universitas Udayana, dari Program
Studi Fisioterapi angkatan 2011 - 2012 sebanyak 22 orang.
Pemilihan sampel dengan teknik purposive sampling yakni merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampel diambil dari anggota populasi paduan suara Universitas Udayana dengan memperhatikan kriteria inklusi (Sugiyono,2011).
Setelah dilakukan seleksi, maka didapatkan jumlah sampel 22 orang yang bersedia mengikuti penelitian. Setelah sampel terpilih, sampel dibagi menjadi dua kelompok menggunakan random alokasi. Kelompok perlakuan 1 sampel dengan pemberian supine diaphragmatic breathing dan Kelompok perlakuan 2 sampel dengan pemberian sitting diaphragmatic breathing.
Penelitian dilakukan di Gedung Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana selama bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 (2 bulan). Frekuensi latihan sebanyak tiga kali seminggu pada jam latihan paduan suara.
INSTRUMEN PENELITIAN
Alat Ukur
-
1. Incentive spirometry merk Leventon. Incentive spirometry adalah alat mekanis yang didesain untuk menstimulasi inpirasi maksimal melalui penggunaan umpan balik (feedback). Selama tarik napas, subjek dianjurkan untuk tarik napas dalam pelan-pelan dengan bibir menempel di mouthpiece, kemudian ditahan 2-3 detik pada saat maksimal inspirasi (Basuki, 2008).
-
2. Sand Bag 0, 5 kg merk Body Sculpture untuk beban di atas dinding perut.
-
3. Timbangan berat badan dan midline untuk menentukan BMI.
-
4. Kasa dan alkohol untuk membersihkan alat setiap pergantian subjek.
-
5. Ruangan besar untuk tempat latihan.
-
6. Kamera digital untuk
mendokumentasikan kegiatan.
-
7. Buku dan alat tulis untuk mencatat data penelitian.
-
8. Komputer untuk menyimpan dan mengolah hasil penelitian.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan uji statistik, antara lain : distribusi karakteristik sampel untuk mengetahui rerata data karakteristik, Shapiro-Wilk test untuk uji distribusi normal, Levene test untuk homogenitas varian, Uji T-Berpasangan (Paired Samples T-test) untuk mengetahui perbedaan yang bermakna pada nilai rerata masing-masing kelompok sebelum dan sesudah perlakuan, Independent Samples T-test untuk mengetaui apakah hipotesis penelitian ada perbedaan yang bermakna atau tidak.
HASIL PENELITIAN
Untuk memaparkan hasil penelitian yang lebih lengkap dan memperkuat interpretasi pengujian hipotesis, dipaparkan deskripsi data berupa karakteristik sampel penelitian dalam bentuk tabel frekuensi, nilai rerata dan simpangan baku. Berikut ini deskripsi data sampel yang terdiri atas karakteristik sampel berdasarkan umur dan BMI (Body Mass Index).
Tabel 1. Distribusi Data Sampel
Berdasarkan Umur dan BMI (Body Mass Index)
Karakteristik |
Nilai Rerata dan Simpangan Baku | |
Kel. 1 |
Kel. 2 | |
19,09 ± |
19,36 ± | |
Umur |
0.539 |
0,674 |
BMI (Body |
20,127 ± |
19,682 ± |
Mass Index) |
1,7867 |
1,4682 |
Dari Tabel 1. diatas menunjukkan bahwa karakteristik sampel antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok
perlakuan 2 tidak terlalu berbeda. Nilai rerata umur kelompok perlakuan 1 (19,09 ± 0.539) tahun dan pada kelompok perlakuan 2 (19,36 ± 0,674) tahun. Nilai rerata BMI (Body Mass Index) kelompok perlakuan 1 (20,127 ± 1,7867) dan kelompok perlakuan 2 (19,682 ± 1,4682).
Tabel 2. Hasil Uji T-Berpasangan (Paired Samples T-test) Sebelum dan Sesudah Perlakuan
test untuk membandingkan beda rerata peningkatan inspiratory capacity sebelum dan setelah perlakuan antar kelompok diperoleh nilai p = 0.483 (p>0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ditolak atau tidak ada perbedaan yang bermakna (signifikan) pada hasil perlakuan supine diaphragmatic breathing dibandingkan perlakuan sitting diaphragmatic breathing dalam meningkatkan inspiratory capacity.
Sebelum |
Sesudah |
Selisih |
P | |
Kel | ||||
. 1 |
2068.18 |
3059.09 |
990.91 |
0,0001 |
Kel | ||||
. 2 |
1631.82 |
2463.64 |
831.82 |
0,001 |
Tabel 2 memperlihatkan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji beda rerata t-berpasangan (Paired Samples T-test) didapatkan nilai kelompok perlakuan 1, p = 0.0001 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata inspiratory capacity sebelum dan sesudah perlakuan supine diaphragmatic breathing.
Pada kelompok perlakuan 2 didapatkan nilai p = 0.001 (p < 0,05) yang juga berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata inspiratory capacity sebelum dan sesudah perlakuan sitting diaphragmatic breathing. Hal ini menunjukkan bahwa baik perlakuan pada kelompok 1 maupun kelompok 2 memberikan peningkatan yang bermakna terhadap inspiratory capacity.
Tabel 3. Hasil Uji Independent Samples
T- |
test | |||
Kel. |
N |
RerataSD |
P | |
Selisih |
Kel. |
990.91 ± | ||
1 |
11 |
415.823 |
0.483 | |
Kel. 1 dan 2 |
Kel. |
831.82 ± | ||
2 |
11 |
610.439 |
Dari Tabel 3. dapat dilihat hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Independent Samples T-
Gambar 1. Grafik Kelompok 1 Supine Diaphragmatic Breathing
Gambar 2. Grafik Kelompok 2 Sitting Diaphragmatic Breathing
Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Kelompok 1 Supine Diaphragmatic Breathing dengan Kelompok 2 Sitting Diaphragmatic Breathing
PEMBAHASAN
Karakteristik Sampel
Deskripsi sampel pada penelitian ini terdiri atas kelompok 1 memiliki rerata umur (19,09 ± 0.539), dan pada kelompok 2 (19.36 ± 0.674). Karakteristik tersebut menunjukkan jumlah rerata umur sampel relatif sama antara kelompok 1 dan 2. Penelitian Madina (2007) menyatakan bahwa umur yang berkisar 19-21 tahun merupakan puncak umur yang baik untuk daya tahan kardiorespirasi.
Berdasarkan karakteristik BMI (Body Mass Index) diperoleh nilai kelompok 1 (20.127 ± 1.7867), dan pada kelompok 2 (19.682 ± 1.4682). Selisih nilai rerata BMI antara kelompok 1 dan 2 tidak terlalu jauh (± 0.445), serta masih memenuhi standar normal yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) yakni 18,50-24,99. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam penelitian ini, umur dan BMI tidak memiliki kecenderungan tertentu yang dapat mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian.
Peningkatan Inspiratory Capacity Pada Perlakuan Supine Diaphragmatic Breathing
Uji statistik menggunakan uji beda rerata t-berpasangan (paired sample t-test) pada kelompok 1 dengan perlakuan supine diaphragmatic breathing. Hasilnya p = 0.0001 (p<0.05) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata inspiratory capacity sebelum dan sesudah perlakuan.
Artinya, perlakuan supine diaphragmatic breathing memberikan peningkatan yang bermakna terhadap inspiratory capacity. Pengaruh peningkatan inspiratory capacity dikarenakan latihan pernapasan akan meningkatkan kekuatan, daya tahan otot-otot pernapasan, serta kapasitas fungsional paru. Dengan latihan pada otot diaphragm yang baik, maka akan terjadi peningkatan volume tidal,
penurunan kapasitas residu fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal (inspiratory capacity) (Frownfelter, 1996).
Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya seperti Donner et al, (2005) yang menyatakan bahwa pernapasan didominasi oleh fungsi kontraksi diafragma pada saat posisi terlentang atau supine. Pada penelitian tersebut, latihan pernapasan dengan pembebanan dilakukan sebanyak 3 seri 8 repetisi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Percobaan randomized controlled trial pada pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) menemukan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan dalam kinerja otot, kapasitas daya tahan dan kualitas hidup. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi adaptasi alami diafragma di tingkat seluler (peningkatan proporsi serabut otot tipe I) dan tingkat subselular (pemendekan sarkomer dan peningkatan konsentrasi mitokondria). Ini memberikan kontribusi terhadap resistensi lebih besar untuk kelelahan dan fungsional yang lebih baik bagi otot diafragma. Kontraksi diafragma memindahkan organ perut tanpa secara signifikan memperluas sangkar thorak, sehingga pergerakan abdomen menghasilkan compliance yang lebih besar dari pada sangkar thorak. Dengan posisi terlentang, berat organ perut mendorong diafragma ke tingkat yang lebih tinggi sehingga menghasilkan perjalanan kontraksi lebih besar (Pryor et al, 2001).
Peningkatan Inspiratory Capacity Pada Perlakuan Sitting Diaphragmatic Breathing
Dari hasil penelitian kelompok perlakuan 2 dengan menggunakan uji beda rerata t-berpasangan (Paired Samples T-test) didapatkan nilai p = 0.001 (p<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata inspiratory capacity sebelum dan
sesudah perlakuan berupa sitting diaphragmatic breathing. Dengan demikian hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan pada kelompok 2 juga memberikan peningkatan yang bermakna terhadap inspiratory capacity.
Secara fisiologi diaphragmatic breathing dengan posisi duduk atau sitting akan mencegah terjadinya penurunan functional residual capacity, mencegah tertutupnya saluran napas pada daerah dependen paru dan penurunan oksigenisasi arteri. Kerja dari otot diafragma tidak berat, karena ketika inspirasi tidak harus mendorong isi abdomen kebawah (Basuki, 2008).
Karena diafragma adalah otot rangka, maka tidak akan cepat mengalami kondisi kelelahan karena telah terlatih. Peningkatan kekuatan dan daya tahan otot-otot inspirasi melalui latihan memiliki efek ganda untuk meningkatkan ketahanan terhadap kelelahan otot inspirasi dan meningkatkan fungsi ventilasi. Kerja pernapasan berkurang dan cadangan pernapasan meningkat (Donner et al, 2005).
Pada posisi tegak lurus, kubah diafragma ditarik kebawah oleh organ perut sehingga volume paru-paru lebih besar. Inspirasi membutuhkan usaha yang lebih mudah dalam posisi tegak karena isi perut yang condong ke bawah oleh gravitasi. Berdasarkan alasan yang sudah dijelaskan tersebut, individu yang mengalami sesak napas lebih nyaman duduk daripada berbaring (Frownfelter, 1996).
Sitting diaphragmatic breathing adalah teknik yang tepat untuk pasien dengan penyakit paru-paru dan peningkatan kerja pernapasan karena lebih nyaman di posisi tegak dibandingkan dengan posisi terlentang. Ini berlaku juga untuk pasien dengan obesitas besar, dengan asumsi posisi terlentang dapat memicu pernapasan yang terperangkap karena diafragma tidak dapat mengatasi beban tak
tertahankan oleh berat isi perut (Pryor et al, 2001).
Perbandingan Peningkatan Inspiratory Capacity Antara Supine Diaphragmatic Breathing Dan Sitting Diaphragmatic Breathing
Pada analisis perhitungan antara kelompok perlakuan 1 dan kelompok perlakuan 2 dengan uji beda Independent Samples T- test didapatkan nilai p = 0.483 (p>0.05). Ini menunjukkan bahwa ada tidak ada perbedaan yang bermakna antara peningkatan inspiratory capacity kelompok perlakuan 1 dengan kelompok perlakuan 2.
Nilai rerata peningkatan inspiratory capacity kelompok 1 setelah perlakuan adalah 3059.09 ml, sedangkan nilai rerata pada kelompok 2 adalah 2463.64 ml. Selisih diantara kedua nilai rerata tersebut adalah 595.45 ml. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai inspiratory capacity pada perlakuan kelompok 1 (supine diaphragmatic breathing) dibandingkan dengan perlakuan kelompok 2 (sitting diaphragmatic breathing), namun tidak terlalu signifikan. Hal ini antara lain disebabkan karena :
-
1. Beban
Untuk pengembangan penelitian yang lebih lanjut, pemberian beban pada supine diaphragmatic breathing dapat ditingkatkan dengan prinsip tahanan yang progesif. Dalam penelitian ini beban yang diberikan adalah seberat 0,5 kg. Latihan pembebanan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot, maka harus bersifat progresif. Menurut Amrohit (2010), beban yang diletakkan di atas dinding perut pada supine diaphragmatic breathing dapat ditingkatkan sampai dengan 2,5 kg. Sejak otot diberikan beban, maka otot akan mengalami adaptasi fisiologis dimana akan terjadi proses peningkatan kekuatan otot. Bila
proses adaptasi ini telah dicapai, maka kerja otot yang tadinya melebihi beban kemampuannya akan tidak lagi overload. Dengan alasan tersebut maka program latihan yang menggunakan beban harus juga didasari prinsip progresivitas.
-
2. Repetisi
Sesuai dengan prinsip progresivitas, selain menambah jumlah berat beban yang diberikan, juga dapat menambah jumlah pengulangan latihan. Pada penelitian ini, penentuan dosis latihan didasarkan pada penelitian randomized controlled trial pasien dengan kondisi PPOK. Pada penelitian tersebut, latihan pernapasan dengan pembebanan dilakukan sebanyak 3 seri 8 repetisi dengan frekuensi 3 kali seminggu (Donner et al, 2005). Untuk penelitian pada subjek sehat, dosis latihan tentunya dapat ditingkatkan secara bertahap seiring dengan kondisi tubuh yang dalam keadaan baik.
-
3. Periode
Latihan pembebanan akan menimbulkan adaptasi struktural pada otot. Adaptasi ini merupakan restrukturisasi jaringan otot sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Otot menambahkan elemen kontraktil dan meningkatkan integritas struktural. Penambahan jaringan konektif ini meningkatkan ketahanan jaringan. Adaptasi ini terjadi pada 2 bulan setelah adaptasi awal latihan. Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 2 bulan, sehingga adaptasi yang terjadi belum maksimal. Periode penelitian yang lebih lanjut sebaiknya dilakukan dalam rentang waktu lebih dari 2 bulan sehingga diharapkan dapat mencapai hasil yang maksimal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
Pemberian supine diaphragmatic breathing tidak memiliki perbedaan yang bermakna (signifikan) dibandingkan dengan sitting diaphragmatic breathing dalam meningkatkan inspiratory capacity paru pada mahasiswi Paduan Suara Fisioterapi Universitas Udayana.
Saran
-
1. Sampel diberikan edukasi mengenai hasil penelitian yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan program latihan paduan suara agar mendapatkan hasil lebih optimal.
-
2. Untuk pengembangan penelitian selanjutnya dapat dilakukan
pemilihan sampel dengan
karakteristik yang berbeda, misalnya dari jenis kelamin laki – laki atau dari segi umur yang lebih bervariasi.
-
3. Penelitian ini dapat dijadikan dasar pengembangan ilmu fisioterapi kardiopulmonal yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Amrohit G. 2010. The Pocket Of Chest Physiotherapy. India; Jaypee Brothers Medical publishers
-
2. Basuki N. 2008. Fisioterapi Kardiopulmonal. Surakarta
-
3. Donner C, Ambrosino N, Goldstein R. 2005. Pulmonary Rehabilitation. Hodder Education, Great Britain
-
4. Frownfelter D, Dean E. 1996. Principles And Practice Of Cardiopulmonary Physical Therapy 3rd ed. USA; Times Mirror Higher Education
-
5. Guyton AC and Hall, JE. 2008. Textbook of Medical Physiology.
11th ed. Philadelphia, United States of America; Elsevier Saunders
-
6. Madina DS. 2007. Nilai Kapasitas Vital Paru dan Hubungannya dengan Karakteristik Fisik Pada Atlet Berbagai Cabang Olahraga. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
-
7. Michael DT. 2004. Pedagogical Implications of The respiratory Effects of Asthma in Singers. A Dissertation Faculty of Musical Art. University of Georgia
-
8. Pryor, Jennifer and Webber, Barbara. 2001. Physiotherapy For Respiratory And Cardiac Problems. Churcilll Livingstone, United Kingdom
-
9. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Alfabet. Bandung
Discussion and feedback