THE PEMBERIAN TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS) DAPAT MENINGKATKAN KETAJAMAN VISUAL PADA KONDISI KELELAHAN MATA
on
PEMBERIAN TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION (TENS) DAPAT MENINGKATKAN KETAJAMAN VISUAL PADA KONDISI KELELAHAN MATA
-
1) Arga Khariyono, 2) Muhammad Irfan, 3) I Made Niko Winaya
-
1. Mahasiswa Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar
-
2. Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul Jakarta
-
3. Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar
ABSTRAK
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh pemberian TENS terhadap peningkatan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata.
Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar selama kurun waktu bulan Juli – Agustus 2013. Secara keseluruhan sampel berjumlah 15 orang yang memenuhi kriteria inklusif untuk dilibatkan dalam studi eksperimental satu kelompok perlakuan (pre test – post test one group). Aplikasi TENS dengan frekuensi rendah (20 Hz), burst mode, durasi 30 menit, diberikan selama 6 sesi dalam 6 hari berturut – turut. Elektroda positif di dekat telinga, dan elektroda negatif ditempat sepanjang perjalanan saraf, yakni di sebelah lateral mata. Ukuran elektroda yang digunakan adalah 2,5 cm berbentuk bulat. Evaluasi pengukuran ketajaman visual menggunakan Snellen Chart.
Pada pengujian hipotesis untuk mengetahui perbedaan ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan, dilakukan uji beda rerata Paired Samples t-test. Hasilnya didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan. Nilai rerata ketajaman visual sebelum perlakuan adalah 18.40 letter, sedangkan nilai rerata sesudah perlakuan adalah 30.40 letter. Hal tersebut berarti bahwa TENS memberikan peningkatan yang bermakna terhadap ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata.
Pemberian TENS dapat meningkatkan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata. Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis penelitian diterima.
Kata kunci : TENS, ketajaman visual, kelelahan mata
Giving Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) Can Improve Visual Acuity In Eye Strain Condition
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of TENS on visual acuity improvement in the condition of eye strain.
The experiment was conducted on students of Visual Communication Design Indonesian Arts Institute Denpasar during the period July - August 2013.
Overall sample was 15 people who meet the criteria for an inclusive to be involved in the experimental study one treatment group (pre test - post test one group). TENS applications with low frequency (20 Hz), burst mode, duration 30 minutes, given for 6 sessions in 6 days straight - participated. Positive electrode at the ear, and negative electrodes in place throughout the course of the nerve, which is on the lateral eyes. Electrode size used was 2.5 cm round. Evaluation of measurement of visual acuity using the Snellen Chart.
On hypothesis testing to determine differences in visual acuity before and after treatment, performed Paired Samples t-test. The result shows the value of p = 0.000 (p <0.005) which means that there are significant differences in the mean visual acuity before and after treatment. The mean visual acuity before treatment was 18.40 letter, whereas the mean value after treatment was 30.40 letter. This means that TENS provides a significantly increased visual acuity in the eye strain conditions.
Giving TENS can improve visual acuity in eyes strain conditions. It can be concluded that the hypothesis is accepted.
Keywords : TENS, visual acuity, eye strain
PENDAHULUAN
Otot teraktif di tubuh bukanlah otot pada kaki, lengan, atau punggung, melainkan otot mata (Zapino, 2011). Diperkirakan rata - rata dalam satu hari mata bergerak sekitar 100.000 kali untuk memfokuskan dan mempertajam penglihatan. Untuk ukuran beban pekerjaan yang sama bagi otot kaki, seseorang perlu berjalan sepanjang kurang lebih 75 kilometer (Hutapea, 2005).
Namun banyak masyarakat yang kurang memperhatikan kesehatan mata seiiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tubuh manusia tidak dirancang untuk statis dalam waktu lama. Tetap berada dalam satu posisi selama berjam - jam adalah gejala yang relatif baru dalam sejarah manusia. Revolusi elektronik menunjukkan bertambahnya jumlah orang yang harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan duduk diam, bekerja dengan komputer, dan masalah yang mengikutinya juga semakin bertambah (Anderson, 2010).
Bausch dan Lomb melaporkan bahwa hampir 60 juta orang menderita masalah mata atau penglihatan karena pekerjaan yang menggunakan komputer (Affandi, 2005). Secara luas memang dikenal beberapa gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pemakaian komputer, diantaranya adalah kelelahan mata. Banyak istilah lain dari kelelahan mata, yaitu asthenopia, eye strain, dan computer vision syndrome.
Kelelahan mata adalah stres yang terjadi pada fungsi penglihatan. Stres atau spasme pada otot akomodasi mata terjadi pada saat seseorang berupaya untuk melihat pada jarak yang dekat dalam waktu yang lama (Ilyas, 2008). Perlu diketahui bahwa kelelahan mata dapat juga memicu terjadinya kelainan refraksi seperti miopia (mata minus), hipermetropia (mata plus), astigmat (mata silinder). Tak dapat dipungkiri konsentrasi atau usaha memfokuskan penglihatan dalam periode panjang, membuat otot - otot yang berpartisipasi menjadi menegang, mengeras dan kehilangan kelenturannya sehingga ketajaman visual menjadi berkurang (Oktavianto, 2010).
TENS dengan mekanismenya dapat diberikan dalam upaya penanganan masalah tersebut. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) merupakan suatu cara penggunaan elektroterapeutik untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. Menurut Vrbova et al. (2008), TENS dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu High TENS – Gate TENS dan Low TENS – Endhorphine TENS. Selama ini TENS dikenal sebagai modalitas yang efektif mengurangi nyeri. Namun demikian, efek TENS tidak hanya terbatas pada mengurangi nyeri saja. Dengan frekuensi dan intensitas yang tepat, TENS dapat memberikan stimulasi dari mulai tingkat seluler sampai dengan ke tingkat sistemik.
Kelelahan mata adalah sebuah contoh nyata gangguan sistemik penglihatan akibat dari hubungan yang tidak harmonis antara manusia, aktivitas, dan lingkungannya. Penelitian mengenai kelelahan mata di Indonesia belum banyak dilakukan oleh fisioterapi. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian TENS terhadap peningkatan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental dengan pre test-post test one group design.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Karena kompetensinya menuntut keahlian dalam bidang desain menggunakan komputer, hal ini membuat populasi tersebut rentan untuk mengalami kondisi kelelahan mata.
Penentuan besar sampel menggunakan teknik accidental atau consecutive sampling. Semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian selama rentang waktu yang ditentukan (Sastroasmoro, 2010). Kriteria inklusif : mengeluhkan adanya minimal 3 gejala dari 4 gejala utama, yakni mata lelah atau tegang, mata kering teriritasi, penglihatan kabur, dan nyeri kepala. Kriteria eksklusi : memiliki kondisi kontraindikasi terhadap pemberian perlakuan. Secara keseluruhan sampel berjumlah 15 orang yang memenuhi kriteria untuk dilibatkan dalam penelitian.
Jenis aplikasi TENS yang dipilih adalah Low TENS – Endorphine TENS, dengan frekuensi 20 hz, burst mode, durasi 30 menit, dan intensitas sesuai toleransi. Perlakuan diberikan selama 6 sesi dalam 6 hari berturut – turut. Elektroda dipasang bilateral pada kedua mata. Elektroda positif di dekat telinga, dan elektroda negatif di tempat sepanjang perjalanan saraf, yakni di sebelah lateral mata. Ukuran elektroda yang digunakan adalah 2,5 cm berbentuk bulat. Evaluasi pengukuran ketajaman visual menggunakan Snellen Chart.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit TENS, Snellen Chart, bantal, meteran, jam tangan, alat tulis dan dokumentasi
Gambar 1 Aplikasi TENS Sumber : dokumen pribadi

Gambar 2 Snellen Chart Sumber : dokumen pribadi
Deskripsi Karakteristik Sampel
Tabel 1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Frekuensi Persen
(%)
Jenis Laki-laki 11 73.3
kelamin Perempuan 4 26.7
Total 15 100
Teknik Analisis Data
-
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskriptifkan data yang dikumpulkan melalui sampel yang diobservasi. Analisis deskriptif
dilakukan pada karakteristik sampel, seperti : umur, jenis kelamin,
penggunaan kacamata, dan intensitas TENS
-
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel. Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan program SPSS 16. Untuk menentukan uji hipotesis yang akan digunakan, maka memerlukan hasil uji persyaratan analisis berupa uji normalitas dan homogenitas.
-
a. Uji normalitas yang digunakan adalah Shapiro-Wilk test, karena besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 15 orang (< 30).
-
b. Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Levene’s test
-
c. Uji hipotesis disesuaikan dengan hasil uji persyaratan analisis. Karena data dinyatakan berdistribusi normal, maka uji hipotesis menggunakan Paired Samples t-test.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Tabel 2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur
Frekuensi |
Persen (%) | |
Umur 21 |
4 |
26.7 |
22 |
4 |
26.7 |
23 |
7 |
46.7 |
Total |
15 |
100 |
Perbedaan fisiologis antara laki -laki dan perempuan antara lain adalah sekresi air mata, perbedaan ukuran massa tubuh, fungsi hormon, serta tingkat stres. Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa kejadian kelelahan mata pada perempuan lebih banyak dari pada laki - laki, namun demikian tidak berbeda secara bermakna (Azkadina, 2010). Hal ini karena faktor tersebut juga berkaitan dengan bertambahnya umur.
Daya akomodasi mata menurun pada umur 40 - 50 tahun (Nurmianto, 2008). Dalam penelitian ini, sampel memiliki umur berkisar antara 21 - 23 tahun yang termasuk kategori muda. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam penelitian ini, jenis kelamin dan umur bukanlah salah satu pertimbangan yang mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian serta tidak memiliki kecenderungan tertentu.
Tabel 3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Penggunaan Kacamata
Frekuensi |
Persen (%) | |
Penggunaan Tidak |
8 |
53.3 |
Kacamata Ya |
7 |
46.7 |
Total |
15 |
100 |
Penelitian dilakukan oleh Edema (2010), untuk mengetahui kejadian asthenopia pada pengguna komputer yang menggunakan kacamata. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pengguna komputer yang memakai kacamata dengan kejadian kelelahan mata dibandingkan dengan pengguna komputer yang tidak memakai kacamata. Kacamata digunakan untuk mengoreksi kelainan refraksi. Namun koreksi yang tidak tepat merupakan salah satu resiko terjadinya mata lelah.
Tabel 4 Karakteristik Sampel Berdasarkan Intensitas TENS
Karakteristik |
Nilai Rerata dan Simpangan Baku |
Intensitas 1 Intensitas 6 | |
Intensitas TENS |
19.93±2.086 21.60±2.694 |
Pemberian intensitas TENS pada sesi awal sampai sesi akhir memiliki rerata antara 19.93 mA - 21.60 mA. TENS hanya efektif ketika pasien merasakan adanya stimulus, sehingga intensitas perlu dimodifikasi apabila pasien tidak merasakan stimulus lagi. Jaringan tubuh termasuk saraf bila menerima rangsang akan menyesuaikan diri sehingga bangkitan impuls menjadi lebih kecil atau terhenti sama sekali (reaksi akomodasi stimulus).
Untuk menghindari terjadinya reaksi akomodasi yang berujung pada kurang berhasilnya tujuan stimulus, maka amplitudo atau intensitas arus dapat diubah - ubah (Parjoto, 2006). Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam menentukan dosis intensitas pemberian TENS pada kondisi kelelahan mata.
Pengujian Hipotesis
Pada pengujian hipotesis untuk mengetahui nilai ketajaman visual, dilakukan uji beda rerata Paired Samples t-test. Hasilnya didapatkan nilai p = 0.000 (p < 0.005) yang berarti ada perbedaan yang bermakna pada nilai rerata ketajaman visual sebelum dan sesudah perlakuan. Nilai rerata ketajaman visual sebelum perlakuan adalah 18.40 letter, sedangkan sesudah perlakuan adalah 30.40 letter, atau meningkat dengan persentase sebesar 65,2 %.
Tabel 5 Hasil Paired Samples t-test
____________Sebelum Sesudah t______p Nilai
SIMPULAN DAN SARAN -6.1480.000
Simpangan
Hal ini sejalan dengan penelitian studi stimulasi elektris yang dilakukan pada 20 responden dengan penglihatan normal bekerja sama dengan Pusat Pelatihan Kosmonot Gagarin. Hasil penelitian menyimpulkan metode dan perangkat stimulasi elektris efektif untuk asthenopia dalam mengurangi ketegangan mata, pencegahan penyakit pada orang yang bekerja sebagai operator (bekerja dengan komputer sepanjang hari), dan pekerja di fasilitas dengan resiko ketegangan mata tinggi.
Metode ini tidak hanya dapat digunakan pada kondisi patologis. Akan tetapi juga untuk mengkoreksi status fungsional dari sistem visual pada kondisi normal, dalam rangka meningkatkan kualitas penglihatan selama pekerjaan yang berkaitan dengan beban kerja visual yang besar. Fakta-fakta ini membuka kemungkinan baru untuk pencegahan asthenopia (kelelahan mata). Penggunaan stimulasi elektris dalam kombinasi dengan obat dan fisioterapi secara relevan mengarah ke efek yang positif (Kompaneets, 2003).
Untuk melihat dekat dan dalam jangka waktu yang lama, diperlukan usaha yang besar dari otot siliaris Hal ini menempatkan otot siliaris berada dalam suatu keadaan stres atau spasme. Spasme adalah ketegangan otot sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi lokal dan perubahan metabolik yang terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi terus - menerus. Spasme menyebabkan gangguan vaskularisasi yang memberi makanan pada retina.
Retina adalah tempat cahaya difokuskan, maka cahaya yang masuk melalui lensa mata tersebut akan membentuk bayangan kabur. Gambar bayangan kabur itulah yang akan dikirim ke otak, sehingga tidak dapat diterjemahkan dengan sempurna, dan ketajaman visual menjadi menurun. Kondisi ini akan diperburuk lagi dengan adanya iskemia lokal pada otot ekstraokuler.
Otot - otot ekstraokuler mata memiliki karakteristik unik karena serabut ototnya merupakan dari tipe slow twitch dan fast twitch. Otot ekstraokuler mata memiliki dua fungsi : optostatik untuk mempertahankan keadaan tonus postural otot dan optokinetik untuk melakukan gerakan kontraksi yang cepat. Kedua fungsi yang berbeda ini biasanya dilakukan
oleh dua serabut otot yang berbeda dalam sistem otot rangka. Akan tetapi, serabut otot ekstraokuler mata melakukan kedua fungsi tersebut sekaligus. Rehms menyatakan bahwa otot mata membutuhkan dan menerima lebih banyak oksigen daripada otot rangka lainnya (Noorden dan Campos, 2002).
Mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai akibat dari disregulasi sistem simpatik berkurang sehingga menyebabkan terjadinya kelelahan. Manifestasi dari kelelahan tersebut adalah kurangnya suplai nutrisi dan oksigen ke organ, yang dalam hal ini adalah otak dan mata. Kurangnya suplai darah ke otak menyebabkan rasa sakit pada kepala, serta terjadi ketidakmampuan otot mata untuk berkontraksi dan bermetabolisme karena dalam serabut otot kekurangan nutrisi dan oksigen (Guyton, 2008).
Mekanisme pemberian TENS dapat menimbulkan tanggap rangsang fisiologis. Eksitasi sel saraf tepi akan menstimulasi vasodilatator pembuluh darah perifer sehingga akan terjadi perbaikan sistem vaskularisasi. Hal ini dapat meningkatkan aliran darah secara tidak langsung ke jaringan otot yang mengalami gangguan.
Selain itu efek pumping action pada TENS akan merangsang endorphine-dependent system yang memicu diproduksinya endorfin oleh tubuh sehingga meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi rasa sakit, serta mengurangi stres.
Kita terkadang menganggap sepele dan mengabaikan ketika mata terasa lelah. Tidur saat mengalami kelelahan mata akan membantu mengistirahatkan mata, akan tetapi hal tersebut akan sulit dilakukan apabila masih dalam waktu aktif kerja. Selain itu tidak adanya upaya penanganan pada sumber masalah yang terjadi.
Jika terakumulasi akan muncul efek samping yang tidak terelakkan. Tidak hanya materi, tetapi juga benturan terbesar efek sosial yang diakibatkan oleh keadaan tersebut. Seperti nilai kualitas kehidupan menjadi berkurang dikarenakan kerja fungsi penglihatan harus dibantu dengan kacamata atau bahkan gangguan yang lebih lanjut. Apabila kondisi seperti diatas dibiarkan berlarut juga, maka kualitas kerja akan menjadi berkurang, banyak terjadi kesalahan kerja, bahkan meningkatkan kecelakaan kerja.
Perkembangan saat ini
memungkinkan manusia untuk lebih sering menggunakan teknologi dalam kehidupannya, sehingga dapat dikatakan penggunaan komputer akan meningkat seiring berjalannya waktu. Hal tersebut dapat meningkatkan insidensi kelelahan mata, terutama jika faktor resiko yang ada tidak dideteksi dan dicegah lebih awal. Dengan kata lain diperlukan manajemen penangananan untuk mengantisipasi timbulnya resiko tersebut, termasuk yang memiliki peranan strategis salah satunya adalah fisioterapi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : “Pemberian TENS dapat meningkatkan ketajaman visual pada kondisi kelelahan mata”.
Saran
-
1. Sampel diberikan edukasi mengenai hasil penelitian yang dapat dijadikan masukan guna meningkatkan derajat kesehatan, khususnya kesehatan mata sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas sebagai sumber daya manusia.
-
2. Untuk pengembangan penelitian selanjutnya dapat dilakukan
pemilihan sampel dengan
karakteristik yang berbeda, misalnya variasi umur (anak-anak, dewasa, lanjut usia), tipe aktivitas (membaca, menonton, menjahit), dsb. Penentuan besar sampel dan instrumen pengukuran kelelahan mata juga dapat menggunakan pilihan metode yang lain.
-
3. Dibutuhkan jalinan komunikasi dan koordinasi yang baik dengan manajemen profesional kesehatan lain, utamanya dokter spesialis mata (oftalmologis). Dengan demikian dapat tercapai hasil yang bisa dipertanggungjawabkan, kompeten, etis, dan berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Zapino, Tomi. 2011. 350 Pertanyaan Terpopuler Seputar Biologi Untuk Pelajar Dan Guru. Andi Publisher : Yogyakarta
-
2. Hutapea, Albert M. 2005. Keajaiban - Keajaiban Dalam Tubuh Manusia. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
-
3. Anderson, Bob. 2010. Stretching in The Office. PT Serambi Ilmu Semesta : Jakarta
-
4. Affandi, Edi S. 2005. Sindrom Penglihatan Komputer. Majalah Kedokteran Indonesia. Jakarta; 55(3): 297-300
-
5. Oktavianto, Denny. 2010. Mata Perlu Istirahat Juga. Opini Kompasiana. Diunduh dari : www.
kesehatan.kompasiana.com/medis/20 10/12/07/mata-perlu-istirahat-juga-323715.html
-
6. Vrbová, Gerta; Hudlicka, Olga; SC, Kristin. 2008. Application of Muscle Nerve Stimulation in Health and Disease. JKC Research Partnership, London, UK; Springer Science+ Business Media B.V
-
7. Sastroasmoro, Sudigdo. 2010. Dasar - Dasar Metodologi Penelitian Klinis. CV Sagung Seto : Jakarta
-
8. Azkadina, Amira. 2010.
Hubungan Antara Faktor Resiko Individual dan Komputer
Terhadap Kejadian Computer
Vision Syndrome. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Univeritas Diponegoro
-
9. Nurmianto, Eko. 2008.
Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Cetakan Kedua
-
10. Edema OT, Akwukwuma VVN. Asthenopia and Use of Glasses Among Video Display Terminal (VDT) Users. Ind J Trop Med. 2010; 5(2): 16-19
-
11. Parjoto, Slamet. 2006. Terapi Listrik Untuk Modulasi Nyeri. Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Semarang
-
12. Kompaneets, EB. 2003. Results of The Application of The Method of Transcutaneous Electrostimulation of The Visual System in Ophthalmology. A.B. Kogan Research Institute Of Neurocybernetics, Rostov State University, Rostov-on-Don,
Russia
-
13. Noorden, Gunter K. von MD, Campos, Emilio C. MD. 2002. Binocular Vision and Ocular Motility Theory and
Management of Strasbismus. Mosby, Inc. A Harcourt Health Sciences Company. United States of America.
-
14. Guyton, AC, Hall, JE. 2008. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia, United States of America; Elsevier Saunders
8
Discussion and feedback