HUBUNGAN BESAR Q-ANGLE DENGAN KEJADIAN PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME PADA KOMUNITAS PELARI REKREASIONAL DI KABUPATEN BADUNG DAN KOTA DENPASAR

I Gede Puspa Anom1*, Sayu Aryantari Putri Thanaya2, Nila Wahyuni3, Ni Luh Nopi Andayani4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

3 Departemen Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali *Koresponden: puspaanom@gmail.com

Diajukan: 24 Juni 2021 | Diterima: 1 Juli 2021 | Diterbitkan: 25 Januari 2022

DOI: https://doi.org/10.24843/MIFI.2022.v10.i01.p11

ABSTRAK

Pendahuluan: Salah satu problematika lutut yang sering dijumpai pada pelari adalah patellofemoral pain syndrome (PFPS). Penelitian menyebutkan bahwa cedera yang paling banyak dialami pelari adalah PFPS dengan prevalensi kejadian sebesar 13,4%. Penyebab dari PFPS sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Peningkatan Quadriceps angle (Q-angle) dianggap sebagai salah satu faktor risiko dari kejadian PFPS. Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS, namun hasil dari penelitian masih bersifat kontradiktif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS pada komunitas pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Metode: Metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional dan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 45 sampel yang disesuaikan dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur besar Q-angle menggunakan goniometer dan pemeriksaan PFPS menggunakan serangkaian wawancara dan pemeriksaan fisik.

Hasil: Berdasarkan hasil penelitian dan uji Chi-square yang dilakukan, didapatkan hasil p=0,031 pada lutut sisi kanan serta p=0,032 (p<0,05) pada lutut sisi kiri.

Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara besar Q-angle dengan kejadian patellofemoral pain syndrome pada lutut sisi kanan dan kiri pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Kata Kunci: q-angle, patellofemoral pain syndrome, pelari rekreasional

PENDAHULUAN

Dalam kegiatan sehari-hari, lutut membawa sebagian besar beban dari berat tubuh manusia. Sendi lutut memegang peranan penting sebagai sendi terbesar dan paling banyak menahan beban tubuh manusia. Aktivitas fisik terutama gerakan-gerakan pada anggota tubuh gerak bawah dari seseorang setiap harinya tentu saja tidak luput dari peran sendi lutut. Salah satu kegiatan yang banyak memberikan beban kepada sendi lutut adalah berlari.

Berlari dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan berpindah tempat dengan cara melangkah dengan cepat dan terdapat fase melayang di udara (floating phase/aerial phase), saat tidak ada anggota tubuh yang menyentuh tanah.1 Berlari merupakan kegiatan yang murah dan mudah dilakukan oleh semua orang. Berlari tidak hanya menjadi sebuah kegiatan sehari-hari, namun berlari juga merupakan sebuah kegiatan olahraga. Tercatat terdapat hampir 60 juta orang yang rutin berlari dan berpartisipasi dalam kegiatan lari sepanjang tahun 2017 di Amerika Serikat.2 Di Indonesia sendiri belum ada data yang menyatakan jumlah pelari setiap tahunnya. Di Bali, olahraga berlari sedang menjadi tren saat ini Sejumlah komunitas lari pun hadir untuk menampung hobi dari masyarakat yang gemar berlari. Di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, jumlah pelari yang tergabung dalam komunitas lari yaitu sebanyak kurang lebih 800 orang dari belasan komunitas yang ada.

Berlari dapat memberikan banyak efek positif bagi kesehatan, akan tetapi apabila dilakukan berlebihan juga dapat memberikan efek negatif bagi tubuh khususnya pada sendi lutut. Bagi orang yang rutin berlari, intensitas dan frekuensi kegiatan berlari mereka tentu akan lebih besar jika dibandingkan dengan masyarakat yang jarang berlari. Pelari-pelari rekreasional pada umumnya biasa menyisihkan waktu mereka untuk berlari setiap minggunya. Rata-rata seorang pelari rekreasional yang tergabung pada suatu komunitas memiliki intensitas berlari sejauh 30-60 km.3 Para pelari rekreasional biasa berlari untuk mempersiapkan diri mengikuti ajang maraton. Dengan aktivitas berlari yang berlebih tersebut tentu akan menambah beban yang diterima sendi lutut. Pembebanan yang berlebihan pada lutut dapat berdampak dengan munculnya berbagai keluhan di area lutut.4 Salah satu problematika lutut yang sering dialami oleh pelari adalah patellofemoral pain syndrome (PFPS).5

PFPS didefinisikan sebagai rasa sakit yang terjadi di sekitar atau di belakang patela yang diperburuk oleh setidaknya satu aktivitas yang menumpu patela selama weight-bearing pada lutut yang terfleksi.6 Aktivitas yang berkontribusi meliputi berlari, menaiki tangga, melompat, dan berjongkok. PFPS juga disebut runner’s knee atau juga

anterior knee pain syndrome.6 PFPS dapat menyerang semua kalangan, baik pria maupun wanita, remaja hingga dewasa. Sebuah penelitian dengan sampel 196 pelari menyebutkan bahwa cedera yang paling banyak dialami pelari adalah PFPS dengan prevalensi kejadian sebesar 13,4%.5 Jumlah tersebut menempatkan PFPS sebagai cedera yang paling umum terjadi pada seorang pelari. Efek negatif dari PFPS pun dampak berdampak terhadap aktivitas sehari-hari dari seseorang. Bagi pelari rekreasional dengan pekerjaan utama bukan pelari dan berlari hanya menjadi hobi, PFPS tentu saja akan mengganggu kegiatan sehari-hari mereka.7

Selain pada pelari, PFPS juga dapat menyerang atlet lainnya yang dalam kegiatannya juga membutuhkan lari. Dalam sebuah penelitian observasional terhadap 810 pemain bola basket remaja, prevalensi keseluruhan PFPS adalah 25%, dengan sekitar 26% pemain wanita dan 18% pemain pria yang terkena.8 Rathleff pada tahun 2016 menyatakan bahwa dua pertiga dari remaja dengan PFPS sangat aktif dan terlibat dalam olahraga, rata-rata lima kali per minggu.9 Tingginya prevalensi PFPS pada olahragawan menunjukkan bahwa PFPS merupakan suatu masalah serius yang perlu diteliti lebih dalam. Hasil penelitian yang ada saat ini belum berhasil menyimpulkan faktor risiko utama penyebab PFPS. Namun, dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa salah satu penyebab dari PFPS adalah peningkatan dari besar sudut Quadriceps angle (Q-angle).

Q-angle merupakan pengukuran mekanika sendi patellofemoral yang sering digunakan dalam pengukuran muskuloskeletal. Q-angle sering dikaitkan sebagai faktor risiko dari kejadian PFPS. Peningkatan Q-angle dikaitkan dengan maltracking patela di mana kejadian ini kerap dijumpai pada para penderita PFPS. Semakin besar Q-angle, semakin besar gaya lateralisasi pada patela, yang meningkatkan tekanan retropatellar antara sisi lateral patela dan kondilus femoralis lateral. Gaya tekan terus menerus antara struktur ini dapat menimbulkan PFPS dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan degenerasi tulang rawan sendi patela. Almeida, et al. pada tahun 2015 melaporkan bahwa peningkatan 10% pada Q-angle meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral sebesar 45%.10 Namun, studi-studi yang ada sekarang banyak yang menunjukkan hasil kontradiktif terkait apakah Q-angle memiliki hubungan yang signifikan dengan PFPS. Contohnya, pada penelitian dengan sampel 22 wanita usia 19-45 tahun, terdapat hasil di mana pasien dengan Q-angle yang berlebihan tidak berisiko PFPS.10 Ketidakjelasan dalam hubungan antara Q-angle dengan PFPS ini mungkin dapat disebabkan oleh hasil dari pengukuran kedua variabel tersebut. Ukuran subjek dan populasi spesifik yang berbeda, seperti ukuran usia, ras, dan jenis kelamin, serta metode pengukuran yang belum terstandar antar penelitian dapat menjadi faktor pembeda hasil pada setiap penelitian.11 Berangkat dari permasalahan tersebut, studi ini dibuat untuk mengetahui bagaimana hubungan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS khususnya pada pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian dilaksanakan di basecamp komunitas pelari di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2021. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 45 orang yang merupakan pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Kriteria inklusi pada penelitian ini yakni 1) Subjek yang berusia 18-45 tahun; 2) Memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) normal menurut Kemenkes RI dengan nilai 18,5-25 kg/m2; 3) Melalukan lari minimal 40 km per minggu dalam 2 minggu terakhir; 4) Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian. Sementara untuk kriteria ekslusi pada penilitian ini antara lain 1) Subjek yang merupakan atlet lari profesional; 2) Subjek dengan riwayat operasi pada ekstremitas bawah; 3) Subjek dengan riwayat dislokasi dan/atau subluksasi patela; 4) Subjek dengan riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan/atau gout arthritis di area lutut; 5) Subjek dengan gangguan ligamen, meniskus, dan/atau bursa pada lutut.

Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria ekslusi selanjutnya diwawancara untuk mengisi identitas diri, kemudian dilakukan pengukuran besar Q-angle dan pemeriksaan PFPS. Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat pada masing-masing variabel dilakukan untuk mendeskripsikan variabel secara umum meliputi variabel usia, jenis kelamin, volume berlari dalam seminggu, besar Q-angle pada sisi kiri dan kanan, serta ada tidaknya PFPS pada lutut sisi kiri dan kanan, sedangkan analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dari besar Q-angle dan kejadian PFPS. Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square. Komisi Etik Penelitian (KEP) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar telah menyatakan bahwa penelitian ini laik etik dengan No: 2019/UN14.2.2.Vll.14/LT/2020.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, berlari dalam seminggu, besar Q-angle pada sisi kiri dan kanan, serta ada tidaknya PFPS pada lutut sisi kiri dan kanan:

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia

Usia (tahun)

Frekuensi

Persentase (%)

18-24

7

15,6

25-31

12

26,7

32-38

7

15,6

39-45

19

42,2

Total

45

100

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa rentang usia dengan subjek paling banyak terdapat pada rentang 3945 tahun dengan jumlah 19 orang (42,2%).

Tabel 2. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki

39

86,7

Perempuan

6

13,3

Total

45

100

Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa jenis kelamin didominasi oleh laki-laki sebanyak 39 orang (86,7%) sedangkan perempuan sebanyak 6 orang (13,3%).

Tabel 3. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan volume lari dalam seminggu Volume lari (km/minggu) Frekuensi Persentase (%)

Volume lari ringan (<40)

30

66,7

Volume lari sedang (40-65)

11

24,4

Volume lari berat (>65)

4

8,9

Total

45

100

Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa volume lari dengan subjek paling banyak terdapat pada volume lari ringan dengan jumlah 30 orang (66,7%).

Tabel 4. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan besar Q-angle pada lutut sisi kanan dan kiri Q-angle        Frekuensi Persentase (%)

Kanan

Normal

12

26,7

Berlebih

33

73,3

Kiri

Normal

16

35,6

Berlebih

29

64,4

Kedua sisi

Normal kedua sisi

6

13,3

Berlebih kedua sisi

23

51,1

Berlebih salah satu sisi

16

35,6

Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki Q-angle yang berlebih pada lutut sisi kanan dengan jumlah 33 orang (73,3%) dan pada lutut sisi kiri sebanyak 29 orang (64,4%).

Tabel 5. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan ada tidaknya PFPS pada lutut sisi kanan dan kiri PFPS          Frekuensi Persentase (%)

Kanan

Ya

10

22,2

Tidak

35

77,8

Kiri

Ya

7

15,6

Tidak

38

84,4

Kedua sisi

Ya

3

6,7

Tidak

31

68,9

PFPS salah satu sisi

11

24,4

PFPS: Patellofemoral Pain Syndrome

Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa terdapat 10 orang (22,2%) yang mengalami PFPS pada lutut sisi kanan dan 7 orang (15,6%) mengalami PFPS pada lutut sisi kiri.

Tabel 6. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square pada lutut sisi kanan

PFPS Kanan

Total

P

Normal

PFPS

Q-angle Kanan

Normal 12 (26,7%)

Berlebih 23 (51,1%)

0 (0,0%) 10 (22,2%)

12 (26,7%)

33 (73,3%)

0,031

Total

35 (77,8%)

10 (22,2%)

45 (100%)

Tabel 7. Hasil analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square pada lutut sisi kiri

PFPS Kanan

Total      P

Normal     PFPS

Q-angle Kiri

Normal   16 (35,6%)  0 (0,0%) 16 (35,6%)

Berlebih 22 (48,9%) 7 (15,6%) 29 (64,4%) 0,032

Total

38 (84,4%) 7 (15,6%) 45 (100%)

Berdasarkan uji Chi-square pada Tabel 6., nilai p yang diperoleh sebesar 0,031 (p<0,05), maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS pada lutut sisi kanan pada pelari rekreasional

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 1 (2022), Halaman 53-58, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi | 55 |

di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Berdasarkan uji Chi-square pada Tabel 7., nilai p yang diperoleh sebesar 0,032 (p<0,05), maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS pada lutut sisi kiri pada pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 45 orang Peserta pada penelitian ini adalah pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar yang telah memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria ekslusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang usia dengan subjek penelitian terbanyak terdapat pada rentang 39-45 tahun dengan jumlah subjek sebanyak 19 orang (42,2%). Hal ini serupa dengan hasil dari sebuah studi yang mencatat umur dari 3,5 juta pelari rekreasional dari seluruh dunia pada tahun 2014-2017 di mana usia terbanyak yang berpartisipasi pada olahraga lari ada pada rentang 30-49 tahun yakni sebanyak 60,18%.12 Usia dapat menjadi salah satu faktor dari penurunan performa berlari serta peningkatan risiko cedera. Pelari rekreasional dengan usia di atas 45 tahun cenderung memiliki risiko cedera lebih tinggi karena penurunan kekuatan otot, fleksibilitas, dan perubahan biomekanik gaya berjalan.13 Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini subjek didominasi oleh pelari laki-laki dengan jumlah 39 orang (86,7%). Hanson, et al. juga menjelaskan pada studinya bahwa jumlah pelari laki-laki lebih banyak (65,44%) dibandingkan dengan pelari perempuan (34,56%).12

Data lain yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan dari 45 subjek penelitian, pelari-pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar cenderung memiliki tingkat volume lari yang ringan, di mana 30 orang memiliki tingkat volume lari kurang dari 40 km dalam seminggu. Latihan lari yang lebih berfokus pada volume lari dikatakan meningkatkan risiko cedera seperti PFPS jika dibandingkan dengan latihan yang lebih berfokus pada kecepatan.14 Hal ini dikarenakan latihan yang berfokus pada volume menilai progres latihan dari jarak yang semakin bertambah tiap minggunya. Peningkatan jarak lari akan meningkatkan jumlah gerakan fleksi pada lutut. Gerakan fleksi berulang akan memberikan tekanan yang lebih besar pada sendi patellofemoral dan memperburuk kondisi PFPS.15 Latihan yang berlebih juga dapat menjadi faktor pemicu cedera pada olahraga lari. Peningkatan frekuensi, jarak, serta durasi latihan yang drastis dalam waktu singkat dipercaya sebagai pencetus cedera pada ekstremitas bawah.8

Hasil pengukuran besar Q-angle menunjukkan bahwa lebih banyak subjek penelitian yang memiliki besar Q-angle yang berlebih baik pada lutut sisi kanan dengan jumlah 33 orang (73,3%) serta pada lutut sisi kiri dengan jumlah 29 orang (64,4%). Peningkatan besar Q-angle dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi antara lain genu valgum, peningkatan anteversi femoralis, peningkatan torsi tibialis eksternal, tuberositas tibia yang tergeser ke arah lateral, serta penegangan retinakulum lateral.16 Peningkatan besar Q-angle akan cenderung mengarah pada peningkatan risiko cedera.

Salah satu cedera yang sering dikaitkan dengan peningkatan Q-angle adalah PFPS. PFPS merupakan salah satu cedera yang paling umum terjadi pada pelari.5 Pada penelitian ini, 10 dari 45 orang (22,2%) memiliki PFPS pada lutut sisi kanan sedangkan 7 dari 45 orang (15,6%) memiliki PFPS pada lutut sisi kiri. Penelitian lain menyebutkan prevalensi kejadian PFPS berada pada rentang 3-25%.8

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Chi-Square (Tabel 6. dan Tabel 7.) didapatkan hasil p=0,031 pada lutut sisi kanan serta p=0,032 pada lutut sisi kiri. Kedua nilai p yang diperoleh menandakan bahwa p<0,05, yang memiliki arti bahwa terdapat hubungan signifikan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS pada lutut sisi kanan dan kiri pada pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Kaya pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa pasien dengan PFPS rata-rata menunjukkan penurunan lateral distal femoral angle (LDFA) dan peningkatan Q-angle di sisi yang terkena.17 LDFA merupakan sudut lateral antara sumbu mekanis femur dan garis sendi femur distal, yang ditentukan oleh hubungan dari titik terendah kondilus femoralis medial dan lateral.18 Penurunan dari LDFA menandakan adanya peningkatan valgus dari lutut.19

Peningkatan valgus lutut dapat disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan otot-otot quadriceps. Q-angle diketahui mencerminkan tingkat gaya translasi valgus yang diberikan pada patela akibat mekanisme grup otot quadriceps.17 Kelemahan otot Vastus Medialis Oblique (VMO) disertai dengan penegangan dari otot Vastus Lateralis (VL) dan Iliotibial Band (ITB) dapat mempengaruhi gaya vektor dari lutut dengan membuat gaya diarahkan ke sisi lateral yang kemudian mengarah ke maltracking patela ke arah lateral.20 Sehingga, dapat dikatakan bahwa peningkatan dari Q-angle akan memperbesar maltracking patela ke arah lateral dan menyebabkan malalignment pada lutut.21

Faktor lain yang dapat memengaruhi malalignment lutut adalah faktor jenis kelamin. Penelitian dari Meira dan Brumitt pada tahun 2011 menunjukkan bahwa wanita dengan PFPS menunjukkan rotasi internal hip yang lebih besar dibandingkan pria.22 Hasil ini menyoroti adanya subkelompok pasien dengan PFPS memiliki malalignment valgus dinamis yang disebabkan oleh rotasi internal femur dan tibia. Penelitian telah menunjukkan bahwa malalignment valgus dinamis lebih sering diamati pada atlet wanita daripada atlet pria. Hal ini mungkin menjelaskan prevalensi PFPS yang lebih tinggi pada atlet wanita muda.23

Malalignment pada lutut akibat maltracking dari patela ke arah lateral akan mengubah lokasi kontak dan tekanan pada sendi patellofemoral, mengakibatkan area yang mengalami tekanan berlebihan yang tidak dapat dikelola secara fisiologis. Tekanan yang meningkat ini dapat mempengaruhi individu terhadap perubahan patologis degeneratif.24 Peningkatan tekanan yang dihasilkan antara punggungan troklea lateral dan patela dapat menyebabkan nyeri yang dikenal sebagai PFPS.25 Tekanan tersebut dapat meningkat dengan posisi menahan beban pada lutut fleksi, seperti pada aktivitas jongkok, naik turun tangga, serta berlari.6

Berlari dengan kondisi Q-angle yang berlebih dapat meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Pelari rekreasional dengan intensitas lari rata-rata 40-80 km tiap minggu akan cenderung memberikan pembebanan yang besar pada sendi patellofemoral. Dengan aktivitas berlari tersebut, risiko dari kejadian cedera khususnya PFPS tentu akan lebih tinggi.15 Hasil Q-angle yang tinggi dalam komponen dinamis maltracking lateral patela dapat ditangani

dengan meregangkan struktur lateral yang tegang (vastus lateralis, iliotibial band), memperkuat struktur medial (vastus medialis oblique), orthosis lutut untuk stabilisasi patela, dan kaki orthoses untuk mengoreksi pronasi subtalar yang berlebihan.26

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uji Chi-square yang dilakukan, didapatkan hasil p=0,031 pada lutut sisi kanan serta p=0,032 pada lutut sisi kiri, dimana p<0,05 memiliki arti terdapat hubungan yang signifikan antara besar Q-angle dengan kejadian PFPS pada lutut sisi kanan dan kiri pelari rekreasional di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

SARAN

Beberapa hal yang dapat disarankan oleh peneliti terkait dengan penelitian ini yakni disarankan kepada pelari rekreasional untuk mengatur pola latihan dan menjaga kondisi tubuh terutama lutut untuk mencegah terjadinya PFPS. Jenis latihan yang dapat dilakukan antara lain peregangan struktur lateral otot quadriceps yang tegang (vastus lateralis, iliotibial band) serta latihan memperkuat struktur medial otot quadriceps (vastus medialis blique). Selain itu, disarankan kepada peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian serupa untuk menggunakan alat ukur yang memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi seperti menggunakan pemeriksaan penunjang berupa MRI.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Nicola TL, Jewison DJ. The Anatomy and Biomechanics of Running. Clin Sports Med. 2012;31(2):187–201.

  • 2.    Gough C. Running & Jogging - Statistics & Facts. 2018.

  • 3.    Knechtle B, Tanous DR, Wirnitzer G, Leitzmann C, Rosemann T, Scheer V, et al. Training and Racing Behavior of Recreational Runners by Race Distance—Results From the NURMI Study (Step 1). Front Physiol. 2021;12(February):1–10.

  • 4.    Rachmat HH. Towards a subject-specific knee model to optimize ACL reconstruction. Rijksuniversiteit. 2015;

  • 5.    Benca E, Listabarth S, Flock FKJ, Pablik E, Fischer C, Walzer SM, et al. Analysis of Running-Related Injuries:

The Vienna Study. J Clin Med. 2020;9(2):438.

  • 6.    Gaitonde DY, Ericksen A, Robbins RC. Patellofemoral Pain Syndrome. Am Fam Physician. 2019;99(2):88–94.

  • 7.    Smith, B.E., Selfe, J., Thacker, D., Hendrick, P., Bateman, M., Moffatt, F., Rathleff, M.S., Smith, T.O. & Logan P. Incidence and prevalence of patellofemoral pain: A systematic review and meta-analysis. PLoS One. 2018;17(1).

  • 8.    Halabchi F, Abolhasani M, Mirshahi M, Alizadeh Z. Patellofemoral pain in athletes: clinical perspectives. Open Access J Sport Med. 2017;Volume 8:189–203.

  • 9.    Rathleff MS. Patellofemoral pain during adolescence: Much more prevalent than appreciated. Br J Sports Med. 2016;50(14):831–2.

  • 10.    Almeida GPL, França FJR, Magalhães MO, Burke TN, Marques AP. Q-angle in patellofemoral pain: relationship with dynamic knee valgus, hip abductor torque, pain and function. Rev Bras Ortop (English Ed. 2016;51(2):181–

  • 6.

  • 11.    Foss KDB, Hornsby M, Edwards NM, Myer GD, Hewett TE. Is Body Composition Associated with an Increased Risk of Developing Anterior Knee Pain in Adolescent Female Athletes? Phys Sportsmed. 2012 Feb 13;40(1):13– 9.

  • 12.    Hanson, M., Iatsenko, N. & Luck P. World’s Largest & Most Recent Marathon Study. 2017.

  • 13.    DeVita P, Fellin RE, Seay JF, Ip E, Stavro N, Messier SP. The relationships between age and running biomechanics. Med Sci Sports Exerc. 2016;48(1):98–106.

  • 14.    Ramskov D, Nielsen RO, Sørensen H, Parner E, Lind M, Rasmussen S. The design of the run Clever randomized trial: Running volume, intensity and running-related injuries. BMC Musculoskelet Disord. 2016;17(1):1–11.

  • 15.    Park SK, Stefanyshyn DJ. Greater Q angle may not be a risk factor of Patellofemoral Pain Syndrome. Clin Biomech. 2011;26(4):392–6.

  • 16.    Khasawneh RR, Allouh MZ, Abu-El-rub E. Measurement of the quadriceps(Q)angle with respect to various body parameters in young Arab population. PLoS One. 2019;14(6).

  • 17.    Kaya D, Doral MN. Is there any relationship between Q-angle and lower extremity malalignment? Acta Orthop Traumatol Turc. 2012;46(6):416–9.

  • 18.    Lin YH, Chang FS, Chen KH, Huang KC, Su KC. Mismatch between femur and tibia coronal alignment in the knee joint: Classification of five lower limb types according to femoral and tibial mechanical alignment. BMC Musculoskelet Disord. 2018;19(1):1–9.

  • 19.    Yazdi H, Nazarian A, Wu JS, Amiri A, Hafezi P, Babikian M, et al. Different references for valgus cut angle in Total Knee Arthroplasty. Arch Bone Jt Surg. 2018;6(4):289–93.

  • 20.    Kim EK. The effect of gluteus medius strengthening on the knee joint function score and pain in meniscal surgery patients. J Phys Ther Sci. 2016;28(10):2751–3.

  • 21.    Petersen W, Ellermann A, Gösele-Koppenburg A, Best R, Rembitzki IV, Brüggemann GP, et al. Patellofemoral pain syndrome. Knee Surgery, Sport Traumatol Arthrosc. 2014;22(10):2264–74.

  • 22.    Meira EP, Brumitt J. Influence of the hip on patients with patellofemoral pain syndrome: A systematic review. Sports Health. 2011;3(5):455–65.

  • 23.    Petersen W, Rembitzki I, Liebau C. Patellofemoral pain in athletes. Open Access J Sport Med. 2017;Volume 8:143–54.

  • 24.    Myer GD, Ford KR, Di Stasi SL, Barber Foss KD, Micheli LJ, Hewett TE. High knee abduction moments are common risk factors for patellofemoral pain (PFP) and anterior cruciate ligament (ACL) injury in girls: Is PFP itself a predictor for subsequent ACL injury? Br J Sports Med. 2015;49(2):118–22.

  • 25.    Smith TO, Hunt NJ, Donell ST. The reliability and validity of the Q-angle: A systematic review. Knee Surgery, Sport Traumatol Arthrosc. 2008;16(12):1068–79.

  • 26.    Kumar C, Thapa SS, Lamichhane AP. The relationship of quadriceps angle and anterior knee pain. J Clin Diagnostic Res. 2018;12(12):RC13–6.


Karya ini dilisensikan dibawah: Creative Commons Attribution 4.0 International License

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 10, Nomor 1 (2022), Halaman 53-58, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi | 58 |