PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POSISI BERDIRI DAN DUDUK PADA PEROKOK USIA 18-22 TAHUN DI DESA BEBALANG
on
PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POSISI BERDIRI DAN DUDUK PADA PEROKOK USIA 18-22 TAHUN DI DESA BEBALANG
I Gusti Ayu Mitha Aristya Dewi1, Ni Komang Ayu Juni Antari2, Indira Vidiari Juhanna3, I Dewa Ayu Inten Dwi Primayanti4 1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,Denpasar,Bali 2Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,Denpasar,Bali 3,4Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,Denpasar,Bali mithaaristya18@gmail.com
ABSTRAK
Paparan asap rokok yang terjadi secara terus menerus pada perokok dapat mempercepat penurunan fungsi paru. Penurunan fungsi paru dapat diketahui melalui pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE). APE dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah posisi tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan nilai APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok usia 18-22 tahun. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional analitik yang dilakukan pada bulan Maret-April 2019. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 58 orang remaja laki-laki yang merupakan perokok aktif dengan rentang usia 18-22 tahun. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil uji hipotesis Paired Sample T Test menghasilkan nilai p sebesar 0,000 (P<0,05) dengan nilai rerata APE antara posisi berdiri dan duduk masing-masing 452,93±106,98 L/menit dan 428,62±144,19 L/menit. Simpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan signifikan nilai APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok usia 18-22 tahun di Desa Bebalang.
Kata Kunci: arus puncak ekspirasi, posisi berdiri, posisi duduk, perokok
THE DIFFERENCE OF PEAK EXPIRATORY FLOW RATE BETWEEN STANDING AND SITTING POSITIONS IN SMOKER AGED 18-22 YEARS OLD IN BEBALANG VILLAGE
ABSTRACT
Exposure to cigarette smoke that occurs continuously in smokers can accelerate the decline in lung function. The decrease in pulmonary function can be seen through an examination of Peak Expiratory Flow Rate (PEFR). Body position is one of the factors that can affect PEFR. The purpose of this study is to know the difference PEFR between standing and sitting positions in smokers aged 18-22 years. This study used an analytical cross-sectional study design that was held on March-April 2019. The sample of this study was 58 young men aged 18-22 years old who were active smokers. The sampling technique is done by consecutive sampling. The result of Paired Sample T Test was 0,000 (p<0,05) with a mean PEFR standing and sitting positions 452.93±106.98 L/minute and 428.62±144.19 L/minute. Based on the results of these studies it can be concluded that there is a significant difference PEFR between standing and sitting positions in smokers aged 18-22 years in Bebalang Village.
Keywords: peak expiratory flow, standing position, sitting position, smoker
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, yang erat kaitannya dengan sikap eksploratif dan cenderung ambisius. Tindakan yang bersifat eksploratif membuat remaja selalu ingin mencoba dan mencari pengalaman-pengalaman baru meskipun terkadang eksplorasi yang dilakukan tersebut bersifat menyimpang. Tindakan menyimpang yang dilakukan remaja salah satunya adalah perilaku merokok.
Perilaku merokok di Provinsi Bali berdasarkan data Riskesdas Provinsi Bali (2013) menunjukkan proporsi penduduk umur lebih dari 10 tahun memiliki perilaku merokok tiap hari sebesar 18,0%. Proporsi perilaku merokok apabila dilihat dari kabupaten, Bangli merupakan kabupaten dengan proporsi tertinggi kedua yaitu sebesar 19,9% setelah Jembrana, dengan rerata jumlah batang rokok yang dikonsumsi per hari sebesar 10,2%. Proporsi merokok pada remaja di Kabupaten Bangli apabila dilihat berdasarkan rentang usia, pada rentang usia 10-14 tahun sebesar 9,2%, rentang usia 15-19 tahun sebesar 42,0% dan rentang usia 20-24 tahun sebesar 27,5%.1
Rokok merupakan produk industri tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya.2 Rokok berbentuk silinder dari kertas berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah, dengan diameter 1 cm dan berukuran panjang antara 7 cm sampai 12 cm.3 Komponen utama penyusun rokok adalah nikotin, tar dan karbon monoksida. Zat kimia yang terkandung dalam rokok tentunya berdampak buruk bagi orang yang ada disekitar (perokok pasif) dan pada diri perokok (perokok aktif).4
Perokok aktif adalah seseorang yang memiliki kebiasaan merokok dan menghirup asap rokok secara langsung.5 Tahun 2014 sebesar 69% remaja di Indonesia menjadi perokok aktif.6 Perilaku merokok pada remaja semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya, ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok sehingga mengakibatkan ketergantungan dan sulit dihentikan. Kondisi tersebut apabila terjadi
secara terus menerus dapat mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas yang berakibat pada penurunan fungsi pernapasan.5
Pusat Promkes Kemkes RI stahun 2013 dalam Rochayati dan Hidayat (2015) menyatakan bahwa perilaku merokok merupakan penyebab bagi hampir 90% kanker paru, 75% penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan 25% penyebab serangan jantung.7 Perokok memiliki resiko lebih tinggi terkena PPOK dibandingkan dengan bukan perokok, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya penurunan fungsi pernapasan remaja yang memiliki kebiasaan merokok.8 Penurunan fungsi pernapasan akibat penyempitan atau obstruksi saluran pernapasan dapat diketahui melalui pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE).9
APE adalah kecepatan aliran maksimal selama ekspirasi paksa yang dimulai dari kapasitas paru total.7 Nilai APE menggambarkan keadaan saluran pernapasan, jika nilainya menurun menandakan terjadinya obstruksi pada aliran udara di saluran pernapasan terutama saluran napas berkaliber besar.10 Pemeriksaan APE juga digunakan untuk menilai kekuatan manuver ekspirasi berupa batuk dan huffing yang digunakan untuk membantu pengeluaran sekret. Nilai APE bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, riwayat penyakit pernapasan, perilaku merokok, aktivitas fisik serta pekerjaan. Posisi tubuh yang dipengaruhi gravitasi juga mempengaruhi nilai APE.11 Posisi tubuh yang dipengaruhi oleh gravitasi akan mengakibatkan perbedaan pada rekoil paru, alignment diafragma, tekanan intrathorakal dan tekanan abdomen.12
Penelitian mengenai pengaruh perbedaan posisi tubuh terhadap nilai APE, dilakukan oleh Shinde dan KJ pada tahun 2012 meliabatkan pasien PPOK dan orang normal sebagai subjek penelitian. Penelitian tersebut menyatakan bahwa posisi tubuh memiliki pengaruh signifikan terhadap APE.13 Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nascimento et al (2018) melibatkan subjek obesitas dengan fungsi paru normal. Penelitian tersebut menyatakan tidak terdapat perbedaan APE pada posisi vertikal namun terjadi penurunan APE pada posisi lying terutama pada posisi lateral decubitus.14
Dasar melakukan penelitian ini adalah penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Megan dan Pawar (2016) terkait dengan pengaruh perbedaan posisi tubuh terhadap nilai APE pada pasien PPOK, menyatakan bahwa perbedaan posisi tubuh juga menentukan pengeluaran udara, sehingga untuk pelaksanaan intervensi yang melibatkan manuver ekspirasi berupa batuk dan huffing disarankan pada posisi tubuh dengan nilai APE tertinggi saat dilakukan pemeriksaan.15 Fisioterapi sebagai tenaga kesehatan yang bekerja dalam bidang kemampuan fungsional, pemahaman terhadap kerja pernapasan menjadi dasar dalam melakukan praktik fisioterapi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin mengehatuhi apakah terdapat perbedaan nilai APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok usia 18-22 tahun di Desa Bebalang.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitic, dilaksanakan di Desa Bebalang, Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli pada bulan Maret sampai dengan April 2019. Penelitian ini melibatkan remaja laki-laki yang merupakan perokok aktif berusia 18-22 tahun berjumlah 58 orang dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Subjek yang terlibat dalam penelitian telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diantaranya mengkonsumsi 11-24 batang rokok per hari, memiliki kebiasaan merokok lebih dari 2 tahun, IMT normal (IMT≥18,5-<24,9), bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent dan tidak memiliki riwayat penyakit pernapasan.
Variabel independen peneliian ini adalah posisi tubuh, variabel dependen penelitian ini adalah nilai APE. APE diukur dengan peak flow meter. Pengukuran APE dilakukan dalam dua posisi yaitu pengukuran dalam posisi berdiri sesuai posisi anatomi dilanjutkan dengan pengukuran dalam posisi duduk tegak dan rileks diatas kursi tanpa sandaran punggung dan sandaran tangan. Nilai APE yang dibandingkan adalah nilai tertinggi yang dicapai subjek pada masing-masing posisi pengukuran.
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan software SPSS. Usia, IMT, jumlah konsumsi batang rokok per hari, lama merokok, status pendidikan atau pekerjaan, persentase APE dan aktivitas fisik dianalisis dengan statistik deskriptif. Kenormalan persebaran data diuji dengan Kolmogorov-Smirnov Test dan uji hipotesis untuk mengetahui perbedaan APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok menggunakan Paired Sample T Test.
HASIL
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Usia
18 |
14 |
24,1 |
19 |
5 |
8,6 |
20 |
10 |
17,2 |
21 |
13 |
22,4 |
22 |
16 |
27,6 |
Status | ||
Pelajar |
8 |
13,8 |
Mahasiswa |
38 |
65,5 |
Pekerja kantoran |
12 |
20,7 |
Persentase APE Posisi Berdiri | ||
<50 |
5 |
8,6 |
50-79 |
33 |
56,9 |
80-100 |
20 |
34,5 |
Persentase APE Posisi Duduk
<50 |
11 |
19,0 |
50-79 |
32 |
55,2 |
80-100 |
15 |
25,9 |
Aktivitas Fisik | ||
Ringan |
1 |
1,7 |
Sedang |
19 |
32,8 |
Berat |
38 |
65,5 |
Tabel 1. menunjukkan bahwa sebagian besar subjek berusia 22 tahun yang berjumlah 16 orang (27,6%) dan mayoritas memiliki status sebagai mahasiswa berjumlah 38 orang (65,5%). Berdasarkan persentase APE dalam posisi berdiri maupun duduk, mayoritas subjek memiliki persentase APE 50-79%, dalam posisi berdiri sebanyak 33 orang (56,9%) dan posisi duduk sebanyak 32 orang (55,2%). Berdasarkan tingkat aktivitas fisik, sebagian besar subjek memiliki aktivitas fisik kategori berat berjumlah 38 orang (65,5%).
Tabel 2. Nilai Rerata dan Simpang Baku Subjek Berdasarkan Usia, IMT, Konsumsi Rokok, Lama Merokok, Persentase APE, Aktivitas Fisik
Variabel |
Rerata±SB |
Usia IMT Konsumsi rokok per hari Lama merokok Persentase APE posisi berdiri Persentase APE posisi duduk Aktivitas Fisik |
20,21 ± 1,54 22,21 ± 2,03 16,66 ± 4,84 4,33 ± 1,74 72,27 ± 17,14 68,29±17,69 7603,75 ± 7309,66 |
Tabel 2. menunjukkan rerata usia subjek dalam penelitian ini adalah 20,21±1,54 tahun. Semua subjek memiliki IMT normal dengan rerata 22,21±2,03 kg/m2. Rerata jumlah batang rokok yang dikonsumsi subjek per hari sebesar 16,66±4,84 batang dengan rerata lama merokok 4,33±1,74 tahun. Rerata persentase APE posisi berdiri sebesar 72,27±17,14%, sedangkan rerata persentase APE pada posisi duduk sebesar 68,29±17,69%. Rerata aktivitas fisik subjek 7603,75±7309,66 MET yang termasuk aktivitas fisik kategori berat.
Tabel 3. Uji Normalitas Data
APE posisi berdiri 452,93±106,980,200
APE posisi duduk 428,62±114,190,200
Hasil uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test menghasilkan nilai p>0,05 yang menunjukkan bahwa data berdistribusi normal.
Tabel 4. Uji Hipotesis Hasil Rerata dan Simpang Baku Nilai APE Antara Posisi Berdiri dan Duduk
APE posisi berdiri 452,93 ± 106,98
APE posisi duduk 428,62 ± 114,19
Hasil uji hipotesis menggunakan Paired Sample T Test menghasilkan nilai p=0,000 (p<0,05). Hasil ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa rerata APE pada posisi berdiri lebih tinggi dibandingkan dengan rerata APE pada posisi duduk.
DISKUSI
Karakteristik Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki yang merupakan perokok aktif di Desa Bebalang, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli dengan rentang usia 18-22 tahun. Mayoritas subjek berusia 22 tahun dengan nilai rerata usia subjek adalah 20,21 tahun. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi APE, mulai dari usia anak-anak sampai umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga nilai faal paru semakin besar seiring dengan pertambahan usia. Nilai faal paru akan menetap selama beberapa waktu kemudian menurun secara gradual, biasanya mulai mengalami penurunan pada usia 30 tahun.16
Berdasarkan status pendidikan atau pekerjaan, subjek yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari pelajar, mahasiswa dan pekerja kantoran, sebagian besar subjek memiliki status sebagai mahasiswa yaitu sebanyak 38 orang. Seluruh subjek pada penelitian ini tidak terlibat dalam pekerjaan yang dapat mempengaruhi sitem pernapasan. Penelitian yang dilakukan oleh Rahma et al (2014) menyatakan bahwa buruh bagian administrasi memiliki persentase APE lebih tinggi dibandingkan dengan buruh bagian produksi, hal tersebut terjadi oleh karena buruh bagian produksi ketika melakukan pekerjannya terpapar polusi secara terus menerus sehingga mempengaruhi fungsi pernapasan.17
Berdasarkan IMT, seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki IMT kategori normal dengan nilai rerata 22,21±2,03 kg/m2. IMT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas paru, IMT kategori obesitas memiliki kapasitas vital paru lebih rendah dibandingkan dengan IMT kategori normal,18 seseorang yang tergolong obesitas akan mengalami akumulasi lemak disekitar costae, abdomen dan rongga visceral yang mengisi dinding toraks, hal tersebut mengakibatkan tekanan intraabdominal meningkat, volume paru dan komplain dinding toraks menurun
serta kinerja pernapasan meningkat.19 Akumulasi lemak tersebut membatasi ekspansi toraks mengakibatkan efisiensi kerja otot-otot pernapasan menjadi menurun.20
Berdasarkan kebiasaan merokok, semua subjek dalam penelitian ini tergolong perokok sedang yang mengkonsumsi 11-24 batang rokok per hari. Nilai rerata jumlah batang rokok yang dikonsumsi subjek per hari dalam penelitian ini adalah 16,66 batang dengan nilai rerata lama merokok 4,33 tahun. Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi APE. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Perubahan patologis pada saluran napas akibat rokok mengakibatkan terjadinya penyempitan pada saluran napas dan obstruksi pada saluran napas besar maupun kecil. Penyempitan saluran napas mengakibatkan aliran udara yang melewati akan berkurang, hal tersebut yang menyebabkan penurunan APE.21
Persentase APE merupakan hasil perbandingan APE tertinggi subjek dengan APE prediksi dikali 100%. Hasil persentase APE tersebut diinterpretasikan dalam zona traffic light yang terdiri dari zona merah, zona kuning dan zona hijau. Zona merah (persentase APE <50%) menunjukkan telah terjadi penyempitan pada saluran napas besar. Zona kuning (persentase APE 50-79%) menunjukan bahwa mulai terjadi penyempitan pada saluran pernapasan besar. Zona hijau (persentase APE 80-100%) menunjukkan bahwa saluran pernapasan subjek dalam keadaan normal.22 Berdasarkan persentase APE posisi berdiri, sebanyak 5 orang memiliki persentase APE <50%, 33 orang memiliki persentase APE 50-79% dan sebanyak 20 orang memiliki persentase APE 80-100%. Bedasarkan persentase APE subjek dalam posisi duduk, sebanyak 11 orang memiliki persentase APE < 50%, 32 orang memiliki persentase APE 50-79% dan sebanyak 15 orang memiliki persentase APE 80-100%.
Berdasarkan analisis univariat seperti pada Tabel 2 menunjukkan nilai rerata persentase APE posisi berdiri sebesar 72,27±17,14% dan nilai rerata persentase APE posisi duduk sebesar 68,29±17,69%. Nilai rerata jumlah batang rokok yang dikonsumsi subjek per hari dalam penelitian ini adalah 16,66 batang. Semua subjek dalam penelitian ini memiliki lama merokok lebih dari 2 tahun, dengan rerata lama merokok 4,33 tahun. Hasil pemeriksaan APE dalam dua posisi tersebut menunjukkan bahwa subjek yang merupakan perokok aktif memiliki persentase APE yang termasuk zona kuning, hal tersebut menunjukkan bahwa sudah mulai terjadi penyempitan pada saluran pernapasan besar. Penelitian yang sejalan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Abdulrahman (2011) menyatakan bahwa setelah 2 tahun merokok maka baru mulai terjadi perubahan histopatologi saluran napas.23 Kebiasaan merokok akan mempengaruhi kapasitas paru dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Asap rokok mengandung ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang dapat merugikan kesehatan, bahan iritan masuk ke dalam saluran napas selanjutnya menempel dan membakar silia (rambut getar). Bahan iritan lambat laun akan menumpuk yang mengakibatkan terjadinya infeksi,12 apabila kondisi ini berlanjut maka akan terjadi radang dan penyempitan saluran napas serta berkurangnya elastisitas paru. Penyempitan saluran napas mengakibatkan aliran udara yang melewati akan berkurang, hal tersebut yang menyebabkan terjadinya penurunan pada nilai APE.21
Berdasarkan aktivitas fisik, mayoits subjek memiliki tingkat aktivitas fisik kategori berat yaitu sebanyak 38 orang dengan nilai rerata aktivitas fisik 7603,75 MET. Subjek dalam penelitian ini merupakan remaja dengan rentang usia 1822 tahun yang merupakan perokok aktif, mayoritas sebagai mahasiswa. Nilai rerata persentase APE posisi berdiri dan duduk masing-masing 72,27±17,14% dan 68,29±17,69%. APE yang dihasilkan berdasarkan zona traffic light termasuk zona kuning namun persentase tersebut sudah mendekati batas normal (zona hijau). Secara anatomi dan fisiologi ketika melakukan aktivitas fisik secara rutin dapat mengontrol berat badan, pembentukan otot, postur tubuh dan meningkatkan fungsi organ dalam tubuh seperti kardiorespirasi.18 Penelitian yang dilakukan oleh Bata et al (2016) menyatakan bahwa adanya aktivitas fisik berat seperti olahraga yang dijalani oleh subjek secara rutin mengakibatkan nilai fungsi parunya meningkat. Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat mempengruhi fungsi selama latihan karena saat melakukan latihan terjadi peningkatan penggunaan oksigen dalam darah. Olahraga secara teratur dapat meningkatkan kekuatan otot termasuk otot pernapasan. Peningkatan kekuatan otot pernapasan menghasilkan tekanan inspirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimal sehingga fungsi pernapasan akan meningkat.24
Perbedaan APE antara Posisi Berdiri dan Duduk
Berdasarkan hasil uji hipotesis Paired Sample T Test diketahui bahwa nilai rerata APE pada posisi berdiri 452,93±106,98 L/menit sedangkan nilai rerata APE pada posisi duduk 428,62±114,19 L/menit. Hasil uji hipotesis menghasilkan nilai p=0,000 (p<0,05) dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan APE antara posisi berdiri dan duduk. Penelitian ini menunjukkan APE dalam posisi berdiri lebih tinggi dibandingkan dengan APE dalam posisi duduk.
Penelitian yang selaras dengan hasil penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Shinde dan KJ pada tahun 2012. Penelitian tersebut menyertakan pasien PPOK dan orang normal sebagai subjek penelitian. Posisi pemeriksaan dalam penelitian tersebut terdiri dari posisi berdiri, forward bend sitting, duduk di kursi, recline sitting, supinasi, lying, side lying (kanan dan kiri) dan head down. Nilai rerata APE posisi berdiri pada orang normal sebesar 436,7±16 L/menit sedangkan nilai rerata APE posisi duduk sebesar 422,10 L/menit. Nilai rerata APE posisi berdiri tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rerata APE pada posisi pemeriksaan lain. Penelitian tersebut menyatakan bahwa posisi tubuh memiliki pengaruh signifikan terhadap APE.25
Penelitian sebelumnya oleh Yugesh dan Kumar (2013) juga mendapatkan hasil serupa dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menggunakan orang sehat yang tidak memiliki riwayat penyakit paru sebanyak 50 orang. Posisi pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian tersebut terdiri dari posisi berdiri, duduk, duduk vertikal, supinasi, duduk 450, pronasi dan side lying. Penelitian tersebut menyatakan bahwa posisi tubuh memiliki pengaruh terhadap APE, secara umum, posisi yang lebih tegak akan menghasilkan APE yang lebih tinggi. Nilai rerata APE posisi berdiri sebesar
363,18±164,03 L/menit dengan p<0.001, nilai rerata APE pada posisi berdiri tersebut lebih tingggi dibandingkan dengan nilai rerata APE pada posisi pemeriksaan lain.12
Penelitian serupa yang juga mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Jayapal (2016). Penelitian tesebut melibatkan pelajar dan mahasiswa perempuan usia 18-23 tahun, posisi pemeriksaan APE pada penelitian tersebut adalah posisi berdiri dan lying, dilakukn pemeriksan sebanyak 5 kali masing-masing pada pukul 07.00-08.00, 10.00-11.00, 13.00-14.00, 16.00-17.00, dan 19.00-20.00. Hasil dari 5 kali pemeriksaan dalam posisi berdiri dan lying tersebut adalah terjadi penurunan APE pada posisi lying. Penelitian tersebut menghasilkan p<0,05 yang artinya terdapat perbedaan signifikan pemeriksaan APE antara posisi berdiri dan lying pada pelajar dan mahasiswa perempuan usia 18-23 tahun.26
Posisi tubuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi APE. Perubahan posisi tubuh ketika melakukan pernapasan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi berdampak pada volume paru.11 Peningkatan volume paru pada posisi berdiri berkaitan dengan peningkatan volume rongga toraks, meningkatnya volume paru akan meningkatkan kemampuan elastik rekoil paru. Energi potensial ketika melakukan deep inspiration disimpan dalam jaringan yang ada pada dinding dada. Diafragma yang berkontaksi akan meningkatkan tekanan pada abdominal contents sehingga abdominal contents tersebut akan terdorong ke depan dan meregangkan rongga abdomen.26
Gaya gravitasi bermanfaat untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma.27 Otot diafragma yang berada pada posisi 450 menyebabkan gaya gravitasi bekerja cukup adekuat dibandingkan dengan posisi duduk dan setengah duduk. Gaya gravitasi yang bekerja pada otot diafragma memudahkan otot tersebut berkontraksi bergerak ke bawah memperbesar volume rongga toraks dengan menambah panjang vertikalnya. Gaya gravitasi juga bekerja pada otot intercosta eksterna, gaya gravitasi yang bekerja pada otot tersebut memudahkan costa terangkat kearah keluar sehingga semkin memperbesar rongga toraks dalam dimensi anteroposterior. Rongga toraks yang membesar menyebabkan tekanan di dalam rongga toraks meningkat dan memaksa paru untuk mengembang dengan demikian tekanan intraalveolus akan menurun. Tekanan intraalveolus yang lebih rendah dari tekanan atmosfer menyebabkan udara mengalir masuk ke pleura. Posisi tersebut mempermudah pasien yang mengalami obstruksi jalan napas melakukan inspirasi tanpa banyak mengeluarkan energi.28
Manuver APE yang dilakukan dalam posisi berdiri menyebabkan tingginya elastik rekoil paru dan dinding dada. Posisi berdiri mengakibatkan kekuatan otot-otot abdomen yang diperlukan ketika melakukan ekspirasi menjadi optimal sehingga tekanan yang dihasilkan juga optimal. Kombinasi dari tingginya elastik rekoil paru dan dinding dada serta tingginya tekanan yang dihasilkan dalam posisi berdiri akan mendorong udara untuk melewati saluran pernapasan yang sempit dengan kecepatan tinggi sehingga menghasilkan Maximum Expiratory Pressure (MEP) dan APE lebih tinggi.26
Posisi tubuh mempengaruhi volume paru dan kapasitas paru. Volume paru dan kapasitas paru mengalami peningkatan ketika berdiri dan menurunan ketika berbaring. Posisi berbaring mengakibatkan penurunan volume paru dan kapasitas paru disebabkan oleh dua faktor yaitu kecenderungan abdomen content menekan ke atas melawan diafragma dan peningkatan volume darah paru yang berhubungan dengan pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru.29 Posisi tubuh mempengaruhi jumlah udara yang dapat dihirup. Posisi berbaring mengakibatkan seseorang mengalami dua proses fisiologi yang dapat menekan pernapasan yaitu peningkatan volume toraks dan kompresi dada, akibatnya proses pertukaran udara pada posisi terlentang tidak berlangsung secara maksimal.30
SIMPULAN
Terdapat perbedaan nilai APE antara posisi berdiri dan duduk pada perokok usia 18-22 tahun di Desa Bebalang.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Pranata S, Fauziah Y, Budisuari MA. Riset kesehatan dasar dalam angka 2013 provinsi bali. 2013.
-
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 109. Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2012.
-
3. Wulandari CI, Santoso A. Pengalaman menghentikan kebiasaan merokok pada mantan perokok. Jurnal Nursing Studies. 2012; 1(1): 36–42.
-
4. Efendi M. Epidemi perilaku merokok di kalangan remaja dan implikasinya dalam pendidikan. Edcomtech. 2016; 1(1): 69–82.
-
5. Yuliarti R, Karim D, Sabrian F. Hubungan perilaku merokok dengan prestasi belajar pada mahasiswa program studi ilmu keperawatan universitas riau. Jurnal Online Mahasiswa. 2015; 2(1): 812–819
-
6. Dhae A. Remaja dominasi perokok aktif di indonesia. Tobacco Control Support Centre Indonesia. 2014. Available at: http://www.tcsc-indonesia.org/remaja-dominasi-perokok-aktif-di-indonesia/ [Accessed 20 Desember 2018].
-
7. Rochayati AS, Hidayat E. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok remaja di sekolah menengah kejuruan kabupaten kuningan. Jurnal Keperawatan Soedirman. 2015; 10(1): 1–11.
-
8. Terzikhan N, Verhamme KMC, Hofman A, Stricker BH, Brusselle GG, Lahousse L. Prevalence and incidence of COPD in smokers and non-smokers: the rotterdam study. European Journal of Epidemiology. 2016; 31(8): 785– 792.
-
9. Hueston WJ. 20 common problem in respiratory disease. Mc-graw-Hill, 2003. 40–41.
-
10. Darmawan R, Yunus F, Antariksa B. Uji diagnostik rasio tetap terhadap batas bawah normal vep 1/kvp untuk menilai obstruksi saluran napas. Jurnal Respirologi Indonesia. 2013; 33(4): 210-220.
-
11. Jyothi NS, Kumar GY. Effect of different postures on peak expiratory flow rate and peak inspiratory flow rate on healthy individuals. IJPESH. 2015; 1(13): 42–45.
-
12. Yugesh K, Kumar SS. Effect of peak expiratory flow rate in different postures. Biomedicine. 2013; 33(3): 331–334.
-
13. Shinde N, KJ S. Peak expiratory flow rate : effect of body positions in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Indian Journal of Basic & Applied Medical Research. 2012; 1(4): 357–362.
-
14. Nascimento JP, Perossi L, Holtz M, Martinez JAB, Souza CDD, Dutra HC, Gastaldi AC. Peak expiratory flow in obese subjects in different positions. An International Journal of Physical Therapy. 2018; 1–8.
-
15. Megan M, Pawar K. To find out the effect of various body positions on peak expiratory flow rate (pefr) in copd patients. International Journal of Physiotherapy. 2016; 3(3): 291–296.
-
16. Nisa K, Sidharti L, Adityo MF. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap fungsi paru pada pegawai pria di gedung rektorat universitas lampung. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung. 2015; 5(9): 38–42.
-
17. Rahma AN, Harsini, Muthmainah. Perbedaan nilai arus puncak ekspirasi (ape) antara buruhproses pencelupan dengan buruh administrasi industri batik. Nexus Kedokteran Komunitas. 2014; 3(1): 81–91.
-
18. Kinasih A, Puspita D, Kristnanda NE. Hubungan aktivitas fisik dan obesitas terhadap peak expiratory flow pada siswa sman 1 candiroto temanggung jawa tengah. IJMS. 2018; 5(1): 12–17.
-
19. Satriyani, Pandelaki K, Wongkar MCP. Hubungan obesitas dengan faal paru pada mahasiswa fakultas kedokeran sam ratulangi manado. Jurnal e-Clinic. 2015; 3(1): 113–117.
-
20. Wahyu I, Mourisa C. Hubungan nilai arus puncak ekspirasi dengan indeks massa tubuh pada mahasiswi fakultas kedokteran universitas muhammadiyah sumatera utara. Ibnu Sina Biomedik. 2017; 1(1): 57–68.
-
21. Sukreni NPS, Wibawa A, Dinata IMK. Hubungan jumlah kosumsi batang rokok terhadap nilai arus puncak ekspirasi pada laki-laki dewasa muda. MIFI. 2017; 5(3): 49-52.
-
22. McCoy EK, Thomas JL, Sowell RS, George C, Finch CK, Tolley EA, Self TH. An evaluation of peak expiratory flow monitoring: a comparison of sitting versus standing measurements. The Journal of the American Board of Family Medicine. 2010; 23(2): 166–170.
-
23. Abdulrahman WF. Effect of smooking on peak ekspiratory flow rate in tikrit university. Tirkit Medical Journal. 2011; 17(2): 11–18.
-
24. Bata MF, Wongkar MCP, Sedli BP. Perbandingan fev 1 antara subjek perokok dan non perokok pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas sam ratulangi manado. Jurnal e-Clinic. 2016; 4(2).
-
25. Shinde N, KJ S. Peak expiratory flow rate : effect of body positions in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Indian Journal of Basic & Applied Medical Research. 2012; 1(4): 357–362.
-
26. Jayapal J. A study of diurnal variation in peak expiratory flow rates in healthy adult female subjects in south india. The Nigerian Journal of General Practice. 2016; 4(1): 11–13.
-
27. Istiyani D, Kristiyawati SP, Supriyadi. Perbedaan posisi tripod dan posisi semi fowler terhadap peningkatan saturasi oksigen pada pasien asma di rs paru dr. ario wirawan salatiga. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan. 2013; 1– 10.
-
28. Purwanti AMD, Hartoyo M, M W. Efektifitas tehnik relaksasi nafas dalam dan posisi tripod terhadap laju pernafasan pasien ppok di rs h. soewondo kendal. Stikes Telogorejo Semarang. 2016; 1–13.
-
29. Yunani, Puspitasari D, Sulistiyawati E. Perbedaan kapasitas vital paru sebelum dan sesudah berenang pada wisatawan di kolam renang taman rekreasi kartini rembang. Keperawatan Medikal Bedah. 2013; 1(2): 127–1.
-
30. Annisa R, Utomo W, Utami S. Pengaruh perubahan posisi terhadap pola nafas pada pasien gangguan pernapasan. Jurnal Online Mahasiswa. 2018; 5: 292–303.
Open Access Journal : https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index | 17 |
Discussion and feedback