ORIGINAL ARTICLE

Vol 7 No 1 (2019), P-ISSN 2303-1921

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA

HUBUNGAN POSTUR DAN DURASI POSISI KERJA DUDUK

TERHADAP RISIKO TERJADINYA DISABILITAS LEHER PADA PEKERJA DI KOTA DENPASAR

Ni Putu Nirarya Putri1, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi2, Indira Vidiari Juhanna3,

I Wayan Gede Sutadarma4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2,3Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 4Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana niraryap@gmail.com

ABSTRAK

Disabilitas leher yang diawali oleh nyeri leher merupakan gangguan yang paling sering terjadi pada pekerja. Faktor pemicu utamanya yaitu postur dan durasi posisi kerja duduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan postur dan durasi posisi kerja duduk terhadap risiko terjadinya disabilitas leher pada pekerja di Kota Denpasar. Desain penelitian ini yaitu analitik dengan pendekatan potong lintang. Jumlah sampel sebanyak 65 orang pekerja perempuan berusia 32 – 50 tahun. Variabel bebas yang diukur adalah postur kerja dan durasi posisi kerja sedangkan variabel terikatnya yaitu disabilitas leher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa postur dan durasi posisi kerja duduk memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko terjadinya disabilitas leher (p<0,05). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu semakin tinggi risiko postur kerja dan semakin lama durasi posisi kerja duduk maka semakin tinggi risiko terjadinya disabilitas leher pada pekerja di Kota Denpasar.

Kata Kunci: postur kerja, durasi duduk, disabilitas leher

THE CORRELATION BETWEEN WORK POSTURE AND WORK SITTING DURATION WITH RISK OF NECK DISABILITY IN DENPASAR CITY WORKERS

ABSTRACT

Neck disability that begins with neck pain is common disorder among workers. The main factors that trigger neck disability are work posture and work sitting duration. This research aimed to identify the correlation between work posture and work sitting duration with risk of neck disability in Denpasar City workers. Design of this research is a cross sectional analytical study. The amount of sample is 65 female workers aged 32-50 years old. The independent variables are work posture and work sitting duration while the dependent variable is neck disability. The result of this research showed that work posture and work sitting duration have a significant correlation with risk of neck disability. The conclusion is the higher risk of work posture and the longer of sitting duration is affected to the higher risk of neck disability in Denpasar City workers.

Keywords: work posture, work sitting duration and neck disability

PENDAHULUAN

Bekerja merupakan aktivitas yang dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidupnya. Setiap pekerjaan menuntut adanya interaksi yang baik antara pekerja dengan lingkungan kerjanya. Lingkungan kerja yang baik akan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Hal ini telah diatur dalam sebuah sistem yang disebut Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). K3 sangat penting untuk menjaga produktifitas pekerja dan perusahaan serta merupakan hak bagi setiap pekerja. K3 dalam penerapannya di lapangan menunjukkan hasil yang tidak maksimal karena masih banyak terdapat pekerja yang tidak memiliki interaksi yang baik dengan lingkungan kerjanya. Kondisi ini dibuktikan dengan masih banyaknya pekerja yang mengalami gangguan kesehatan seperti nyeri leher akibat kerja atau sering disebut dengan Work Related Neck Pain (WRNP).

Work Related Neck Pain merupakan gangguan kesehatan yang umum dialami oleh seorang pekerja khususnya pekerja yang berada dalam posisi statis dalam waktu lama sehingga memiliki prevalensi yang tinggi di kalangan pekerja.1 Penelitian yang dilakukan pada 778 pegawai industri garmen menunjukkan sebanyak 75,7% pekerja mengalami keluhan musculoskeletal pada neck dan upper extremity.2 Keluhan muskuloskeletal pada leher juga menempati urutan tertinggi dengan persentase 68.7% berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 200 pekerja di tujuh perusahaan nasional di Bandung dan Yogyakarta.3

Faktor risiko terjadinya WRNP yang berkaitan dengan tempat kerja yaitu kondisi psikososial tempat kerja, paparan fisik tempat kerja, dan individu.4 Paparan fisik tempat kerja yang menjadi faktor risiko utama yaitu postur dan durasi posisi kerja duduk. Postur kerja yang membuat leher dalam kondisi fleksi secara konsisten menjadi faktor risiko terbesar terjadinya nyeri leher.5 Faktor risiko selanjutnya yaitu durasi posisi kerja duduk yang berarti jumlah waktu atau lama pekerja untuk bekerja dan terpapar faktor fisik maupun psikis dalam posisi kerja duduk setiap harinya. WRNP dapat berkembang menjadi disabilitas leher apabila nyeri yang dialami tidak ditangani dengan baik.

Work Related Neck Pain yang umum dialami oleh pekerja tidak menutup kemungkinan dapat dialami oleh pekerja di Kota Denpasar. Oleh karena itu diperlukan tindakan antisipasi untuk mencegah berkembangnya WRNP di kalangan pekerja. Tindakan antisipasi yang dapat dilakukan yaitu dengan meneliti lebih lanjut hubungan faktor risiko postur dan durasi posisi kerja duduk terhadap risiko terjadinya disabilitas leher pada pekerja di Kota Denpasar.

METODE

Desain penelitian ini menggunakan rancangan analitik dengan pendekatan potong lintang. Salah satu perusahaan garmen di Kota Denpasar dipilih menjadi lokasi penelitian. Penelitian dilakukan pada 10 Maret 2018. Jumlah sampel pada penelitian ini yaitu 65 orang pekerja. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel total sampling dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diantaranya berusia dewasa produktif maksimal 50 tahun, bekerja dalam posisi duduk, tidak pernah mengalami trauma atau gangguan leher dan belum mengalami menopause.

Postur dan durasi posisi kerja duduk merupakan variabel bebas sedangkan disabilitas leher merupakan variabel terikat. Metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) digunakan untuk mengukur risiko postur kerja dengan interpretasi postur kerja aman (skor RULA 1 – 2), beresiko ringan (skor RULA 3 – 4), sedang (skor RULA 5 – 6) dan berat (skor RULA 7). Durasi posisi kerja duduk diukur menggunakan kuisioner dan dibagi menjadi 2 yaitu >75% atau durasi duduk panjang dan ≤75% atau durasi duduk pendek. Persentase ini ditentukan dari total jam kerja dalam satu hari. Disabilitas leher diukur menggunakan Neck Disability Index (NDI) dengan interpretasi tidak disabilitas, disabilitas ringan, sedang, komplit, dan tak terdefinisi.

Data yang telah dikumpulkan kemudian diuji kenormalan persebarannya menggunakan uji Kolmogorov – Smirnov. Uji Spearman’s Rho digunakan untuk mengetahui signifikansi, kekuatan dan arah hubungan antara postur dan durasi posisi kerja duduk dengan risiko terjadinya disabilitas leher.

HASIL

Karakteristik sampel berdasarkan, postur dan durasi posisi kerja duduk serta disabilitas leher adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Karakteristik Sampel

Karakteristik Sampel

N

%

Ringan

2

3,1

Risiko Postur Kerja

Sedang

42

64,6

Berat

21

32,3

Durasi Duduk (jam)

Pendek

27

41,5

Panjang

38

58,5

Tidak

1

1,5

Tingkat Disabilitas Leher

Ringan

42

64,6

Sedang

22

33,8

Tabel 1. menunjukkan bahwa risiko postur kerja dengan frekuensi tertinggi yaitu risiko postur kerja sedang dan terendah pada risiko postur kerja ringan. Durasi duduk yang memiliki frekuensi terbanyak yaitu durasi duduk panjang. Sampel yang mengalami disabilitas ringan memiliki frekuensi terbanyak dan yang tidak mengalami disabilitas memiliki frekuensi terendah.

Tabel 2. Uji Normalitas Data

Variabel         p    Koefisien Korelasi

Risiko Postur Kerja  0,000         0,891

Durasi Duduk    0,001         0,418

Berdasarkan hasil di atas, maka dapat dinyatakan bahwa persebaran data tidak normal karena tidak semua variabel memiliki nilai p>0,05.

Data kemudian dianalisis menggunakan uji non parametrik yaitu uji Spearman’s Rho. Berikut merupakan hasil uji tersebut dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Spearman’s Rho

Variabelp

Postur Kerja0,001

Durasi Duduk0,000

Disabilitas Leher0,360

Tabel 3. menunjukkan nilai p dari variabel risiko postur kerja p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat dinyatakan bahwa postur kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko terjadinya disabilitas leher. Nilai koefisien korelasi dari postur kerja yaitu 0,891 yang berarti arah hubungan positif dan kekuatan hubungan yang sangat kuat. Variabel durasi duduk memiliki nilai p=0,001 (p<0,05) yang berarti durasi duduk memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko disabilitas leher. Nilai koefisien korelasi dari durasi duduk yaitu 0,418 yang berarti arah hubungan positif dan kekuatan hubungan yang sedang.

DISKUSI

Karakteristik Sampel Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan sampel berjumlah 65 orang pekerja yang berjenis kelamin perempuan dengan persebaran usia 32 – 50 tahun. Distribusi disabilitas leher berdasakan lama jam kerja menunjukkan bahwa sampel yang bekeja dalam durasi duduk panjang lebih banyak mengalami disabilitas leher dibandingkan sampel yang bekerja dalam durasi duduk pendek. Pekerja yang duduk dengan durasi pendek merupakan pekerja di bagian finishing dan yang duduk dalam durasi panjang merupakan pekerja di bagian jahit. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Ronny dalam penelitiannya bahwa divisi jahit pada perusahaan garmen sepanjang satu hari kerja akan banyak menghabiskan waktunya hanya dalam posisi duduk di mesin jahit.6 Grooten dalam penelitiannya menyampaikan pekerja yang memiliki durasi duduk panjang (>75% dari total 1 hari jam kerja) akan lebih cenderung mengalami gangguan leher dibandingkan yang duduk dalam durasi pendek (≤ 75% dari total 1 hari jam kerja).7

Hasil penelitian tekait variabel risiko postur kerja menunjukkan bahwa risiko postur sampel berada pada rentang skor RULA 3 – 7. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Pradana dan Erlinda dalam penelitiannya bahwa skor RULA pekerja garmen di bagian jahit dan finishing berada pada rentang 4 – 7.8,9 Hal ini dikarenakan anggota gerak atas sampel mengalami kontraksi yang repetitif dan punggung serta leher cenderung statis sehinga menyebabkan risiko postur kerja berada pada rentang ringan – berat. Distribusi disabilitas leher pada skor RULA 5 – 6 secara umum memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan skor RULA 7. Apabila dilihat lebih detail, sampel dengan skor RULA 7 lebih banyak mengalami disabilitas leher sedang dibandingkan sampel pada skor RULA 5 – 6. Kondisi ini menunjukkan semakin berisiko postur kerja sampel maka semakin tinggi tingkat disabilitas leher yang dialami.

Hubungan Durasi Posisi Kerja Duduk dengan Risiko Terjadinya Disabilitas Leher

Hasil analisis data menunjukkan bahwa durasi posisi kerja duduk memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko terjadinya disabilitas leher (p<0,05) Nilai koefisien korelasi dari durasi posisi kerja duduk sebesar 0,418 dengan interpretasi antara durasi duduk dengan risiko disabilitas leher memiliki kekuatan hubungan yang sedang. Nilai ini juga menunjukkan arah hubungan positif yang artinya semakin lama sampel duduk saat bekerja maka akan semakin berisiko mengalami disabilitas leher.

Durasi posisi kerja duduk berkaitan dengan beban statis yang diterima oleh otot-otot leher. Beban statis pada leher akan memicu terjadinya peningkatan tonus otot yang dalam jangka waktu panjang akan memicu nyeri leher.10 Kontraksi otot-otot leher secara terus menerus akan mengakibatkan ketidakseimbangan otot. Ketidakseimbangan ini diakibatkan karena tidak meratanya kerja antara otot-otot ekstensor yang berfungsi mengekstensikan leher dan otot-otot fleksor yang berfungsi memfleksikan leher. Postur kerja fleksi yang dilakukan dalam durasi panjang akan memberikan beban kerja sepihak terhadap otot-otot ekstensor. Otot-otot ekstensor akan bekerja secara eksentrik untuk mempertahankan posisi leher sehingga kepala tidak jatuh ke depan. Kontraksi yang terus-menerus akan membuat otot tersebut akan mengalami kelelahan dan memicu terjadinya WRNP.11

Nyeri leher yang dibiarkan terus menerus tanpa ditangani dengan baik atau sampai nyeri tersebut tidak muncul lagi akan memicu terjadinya disabilitas leher. Beberapa penelitian dengan jenis penelitian eksperimen yang menangani disabilitas leher, akan memberikan sebuah penanganan yang bertujuan untuk mengurangi nyeri lehernya. Salah satunya terdapat penelitan yang membandingkan dua intervensi untuk mengurangi disabilitas leher pada tension type headache. Kedua intervensi ini diberikan dengan tujuan menurunkan rasa nyeri yang dialami pasien sehingga diharapkan dapat menurunkan disabilitas leher yang dialami.12

Hubungan Postur Kerja dengan Risiko Terjadinya Disabilitas Leher

Berdasarkan hasil analisis data, dapat dinyatakan bahwa postur kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko terjadinya disabilitas leher. Nilai koefisien korelasi dari postur kerja sebesar 0,891 yang berarti antara postur kerja dengan risiko disabilitas leher memiliki kekuatan hubungan yang sangat kuat. Nilai ini juga menunjukkan arah hubungan positif yang artinya semakin berisiko postur kerja sampel maka sampel akan semakin berisiko mengalami disabilitas leher. Apabila dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi durasi duduk, maka postur kerja memiliki kekuatan hubungan yang lebih kuat terhadap risiko terjadinya disabilitas leher.

Asali dalam penelitiannya menemukan hasil yang sama bahwa postur kerja memliki hubungan yang signifikan dengan keluhan nyeri leher yang dialami oleh pekerja garmen di Salatiga.13 Hasil penelitian ini menunjukkan 63 dari 65 sampel memiliki nilai RULA ≥5. Dianat dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa pekerja dengan nilai postur RULA ≥5 memiliki risiko 3,89 kali lebih tinggi mengalami nyeri leher dibandingkan dengan pekerja yang memiliki postur baik atau skor RULA di bawahnya.14

Postur kerja yang tidak normal atau tidak alamiah merupakan postur kerja yang memposisikan tubuh menjauhi posisi normal seperti punggung dan leher yang yang terlalu fleksi, tangan dan bahu dalam posisi terangkat, serta posisi badan memuntir. Postur kerja yang tidak normal ini umumnya disebabkan karena ketidaksesuaian stasiun kerja dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja serta karakteristik tuntutan tugas dan peralatan kerja.15

Bekerja dalam posisi leher dan punggung fleksi dalam waktu yang lama dapat meningkakan risiko terjadinya WRNP. Ariens menyatakan bahwa risiko nyeri leher akan meningkat apabila seseorang memiliki postur leher fleksi minimum 20o dan mempertahankannya selama >70% dari waktu kerjanya.10 Peningkatan risiko ini terjadi karena posisi fleksi akan memberikan stress pada otot-otot ekstensor leher. Posisi anatomis membuat otot-otot ekstensor bekerja secara eksentrik untuk mempertahankan posisi tubuh dalam posisi tegak dan tidak jatuh ke depan, namun dengan posisi leher dan punggung yang fleksi, maka otot-otot ekstensor akan bekerja lebih berat dan berkontraksi lebih maksimal dibandingkan posisi tegak untuk mempertahankan posis kepala.16

Kontraksi otot yang berlebihan dan berlangsung dalam durasi yang lama akan membuat otot kehabisan energi sehingga otot akan mengalami kelelahan dan akan memicu terjadinya metabolisme anaerobik. Metabolisme anaerobik akan merangsang chemonociceptive melepaskan mediator kimiawi seperti bradikinin, histamin, dan serotonin yang nantinya akan berikatan dengan reseptor nyeri. Rangsangan ini akan diteruskan sampai ke otak dan dipersepsikan menjadi nyeri leher.17

Belum terdapat penelitian yang meneliti lebih spesifik terhadap hubungan postur kerja dengan disabilitas leher, namun menurut Faizah (2011), WRNP merupakan penyebab utama disabilitas leher. Nyeri leher akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menggerakan persendian di cervikal khususnya sehingga memicu terjadinya imobilisasi. Imobilisasi akan mengurangi aliran darah yang mengandung nutrisi dan oksigen ke otot sehingga dapat menimbulkan kontraktur. Kontraktur pada jaringan akan menurunkan elastisitas dan fleksibilitasnya untuk melakukan gerakan sehingga terjadilah penurunan kemampuan leher untuk melakukan aktivitas sesuai fungsinya atau dapat disebut dengan disabilitas leher.18

SIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil dan diskusi yang telah dibahas yaitu semakin tinggi risiko postur kerja dan semakin lama durasi posisi kerja duduk maka semakin tinggi risiko terjadinya disabilitas leher pada pekerja di Kota Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Carroll, L dkk. 2008. Course and Prognostic Factors for Neck Pain in Workers. European Spine Journal, 33(4S): S93 – S100.

  • 2.    Tana, Lusianawaty, Delima, dan Sulistyowati, Tuminah. 2009. Hubungan Lama Kerja dan Posisi Kerja dengan Keluhan Otot Rangka Leher dan Ekstremitas Atas pada Pekerja Garmen Perempuan di Jakarta Utara. Buletin Penelitian Kesehatan, 37(1): 12 – 22.

  • 3.    Rahadini. 2010. Studi Prevalensi Keluhan musculoskeletal pada Pekerja kantor Pengguna Komputer dan Analisis Faktor Risiko Kerja yang Terkait [Skripsi]. Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung.

  • 4.  Cote, P., Van der Velde, J, Cassidy dkk. 2008. The Burden and Determinants of Neck Pain in Workers. Europe

Spine Journal, 33(4s): S60 – S74.

  • 5.  Sterud, T., H. Johannessen, dan T. Tynes. 2014. Work-Related Psychososial and Mechanical Risk factors for

Neck/Shoulder Pain: A 3-Year Follow-up Study of The General Working Population in Norway. International Archieves of Occupational and Environmental Health, 87(5): 471 – 481.

  • 6.    Anggriawan, Ronny. 2016. Pengaruh Pemberiakn Peregangan otot (Stretching) Terhadap Keluhan Muskuloskeletal dan Kejenuhan pada Pekerja Bagian Menjahit Divisi Garment di PT. Tyfountex Indonesia Sukoharjo Tahun 2016 [Skripsi]. Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu kesehatan, Universitas Muhammadyah Surakarta.

  • 7.    Grooten, Wilhelmus, Marie Mulder, Malin Josephon, Lars Alfredsson, dan Christina Wiktorin. 2007. The influence of work-related exposures on the prognosis of neck/shoulder pain. Eur Spine Journal, 16: 2083 – 2091.

  • 8.    Erlinda, Muslim. 2011. Analisis Ergonomi Industri Garmen dengan Posture Evaluation Index pada Virtual Environment. Makara Teknologi, 15(1) : 75 – 81.

  • 9.    Pradana, I Nyoman Adi. 2009. Analisis Postur Kerja dan Usulan Perbaikan Stasiun Kerja di Divisi Sewing Industri Garmen dengan Menggunakan Posture Evaluation Index (PEI) pada Virtual Environment Modeling [Skripsi]. Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

  • 10.    Ariens, G., P. Bongers, M. Douwes dkk. 2001. Are Neck Flexion, Neck Rotation, and Stting at Work Risk Factors for Neck Pain? Results of a Prospective Cohort Study. Occupational and Environmental Medicine, 58(3): 200 -207.

  • 11.    Berkowitz,     Bonnie     dan     Patterson     Clark,     2014.      The     Health     Hazard     of

Sitting.https://www.washingtonpost.com/apps/g/page/national/the-health-hazards-of-sitting/750/ diakses pada 9

April 2018 pukul 06.00 WITA.

  • 12.    Mirawati, Komang Sri. 2017. Kombinasi Infrared Dan Contract Relax Stretching Sama Baik Dengan Infrared Dan Deep Transverse Friction Terhadap Penurunan Disabilitas Leher Kondisi Tension-Type Headache pada Aparatur Sipil Negara Perempuan di Kantor Gubernur Bali [Skripsi]. Pogram Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

  • 13.    Asali, Alberto, Baju Widjasena, dan Bina Kurniawan. 2017. Hubungan Tingkat Pencahayaan dan Postur Kerja dengan Keluhan Nyeri Leher Operator Jahit PO. Seventeen Glory Salatiga. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(5) : 10 – 20.

  • 14.    Dianat, Iman dan Moh Ali Karimi. 2016. Musculoskeletal symptoms among handicraft workers engaged in hand sewing tasks. Journal of Occupational Health, 58: 644 – 652.

  • 15.    Iscal, Muhammad, Yusuf Sabilu, dan Arum Dian. 2016. Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Penjahit Wilayah Pasar Panjang Kota Kendari Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 1(2): 1 – 8.

  • 16.    Neumann, Donald A. 2010. Kinesiology of the Musculoskeletal System. United States : Elsevier : 251 – 285.

  • 17.    Rao, R. 2003. Neck Pain, Cervical Radiculopathy, and Cervical Myelopathy Pathophysiology, Natural History, and Clinical Evaluation. The Journal of Bone & Joint Surgery Am, 84-A(10): 1872 – 1881.

  • 18.    Faizah, Z. 2011. Penambahan Contract Relax Stretching Pada Intervensi Ifc Dan Ultrasonik Dapat Mengurangi Nyeri Lebih Baik Pada Sindroma Miofasial Otot Supraspinatus [Skripsi]. Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

Open Access Journal : https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi/index | 5 |