INTERVENSI INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITATION TECHNIQUE (INIT) DAN INFRARED LEBIH BAIK DALAM MENURUNKAN NYERI MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOTUPPER TRAPEZIUS

DIBANDINGKANINTERVENSI MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE (MRT) DAN INFRARED PADA MAHASISWA FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

  • 1    Ketut Laksmi Puspa Dewi , 2 Ni Luh Nopi Andayani, 3 I Made Krisna Dinata 1,2 Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali

  • 3    Bagian Faal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali

ABSTRAK

Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya trigger point pada tautband otot skeletal. Faktor yang memicu timbulnya myofascial yaitu beban berlebihan pada jaringan myofascial, repetitif mikrotrauma, dan kebiasaan postur yang jelek. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan intervensi antara integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared dengan intervensi myofascial release technique dan infrared pada penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius. Penelitian ini menggunakan rancangan randomized pre test and post test control group design terhadap 20 orang yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok 1 diberikan integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared kemudian kelompok 2 diberikan intervensi myofascial release technique dan infrared. Hasil analisis data dengan paired sample t-test pada Kelompok 1 dengan beda rerata 3,330±1,711 dan p=0,000, sedangkan untuk Kelompok 2 dengan beda rerata 0,820±1,840 dan p=0,000. Dari hasil analisis tersebut dikatakan bahwa pada tiap kelompok terdapat penurunan nyeri yang bermakna. Berdasarkan uji independent samples t-test antara kelompok 1 dan 2 diperoleh nilai p=0,036 (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared lebih baik dalam menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius daripada intervensi myofascial release technique dan infrared.

Kata Kunci : Myofascial pain syndrome, integrated neuromuscular inhibitation technique, myofascial release technique, infrared.

THE INTERVENTION OF INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITATION TECHNIQUE (INIT) AND INFRARED BETTER IN REDUCING PAIN IN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME UPPER TRAPEZIUS MUSCLE COMPARED TO THE INTERVENTION OF MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE (MRT) AND INFRARED TO THE PHYSICAL THERAPY STUDENTS FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY

ABSTR ACT

Myofascial pain syndrome is characterized by the presence of trigger points in skeletal muscle tautband. Myofascial trigger factor is the excessive burden of acute myofascial tissue, repetitive micro-trauma, and poor posture habits. The purpose of this study was to compare the intervention of integrated neuromuscular inhibitation technique and infrared with a combination of myofascial release technique and infrared towards reducing myofascial pain syndrome pain upper trapezius muscle. This study is a randomized design with pretest and posttest control groupdesign for 20 people who were divided into two groups. Group 1 was given the intervention of integrated neuromuscular inhibition technique and infrared while the second group was given the intervention myofascial release technique and infrared. Mean difference before and after treatment in each group by using a paired sample t-test showed p = 0.000 for group 1 with a mean difference 3,330±1,711 and p=0,000 with a mean difference 0,820±1,840 for the second group. These results indicate that in each group there was a significant decline in pain. From the difference between different test group 1 with group 2 by using independent samples t-test was obtained p = 0.036 where p <0.05. From these results it can be concluded that the intervention of integrated neuromuscular inhibitation technique and infrared better in reducing myofascial pain syndrome upper trapezius muscle rather than the intervention of myofascial release technique and infrared.

Keywords: Myofascial pain syndrome, integrated neuromuscular inhibitation technique, myofascial release technique, infrared

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 2, Nomor 1 • 34

PENDAHULUAN

Pada hakekatnya manusia harus melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Melakukan aktivitas fisik dengan membiarkan tubuh bergerak secara aktif tentunya dapat memberikan dampak yang positif bagi manusia seperti tubuh yang sehat, dan juga dapat menghindarkan dari berbagai penyakit kronis. Namun aktivitas fisik juga tidak selamanya memberikan dampak yang positif bagi kesehatan manusia. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti komputer, gadget, internet menyebabkan manusia cenderung untuk melakukan aktivitas fisik yang pasif. Perkembangan teknologi tersebut dapat dinikmati oleh berbagai kalangan terutama mahasiswa. Mahasiswa memanfaatkan teknologi tersebut untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan hanya dengan melakukan searching di internet. Saat ini kebanyakan tugas-tugas dari kampus yang diberikan oleh dosen juga tak lepas dari peran teknologi tersebut untuk mempermudah dalam proses penyelesaiannya. Terlalu lama beraktivitas di depan komputer dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Dalam wawancara yang telah dilakukan kepada mahasiswa, didapatkan hasil bahwa rata-rata mereka menggunakan komputer selama 5 jam dalam sehari. Aktivitas tersebut dapat menyebabkan manusia kurang melakukan gerak (hypokinetik).

Ketika menggunakan komputer seringkali kita tidak menyadari melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan ergonomi seperti duduk statis ketika bekerja, tempat kerja yang didesain tidak secara ergonomis, seperti contoh posisi layar monitor yang terlalu tinggi atau terlalu rendah sehingga menyebabkan forward head position, kursi yang tidak menopang tubuh untuk duduk tegak, bahu terlalu tinggi atau rendah dan sebagainya. Apabila kebiasaan tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan secara berulang (repetitive) maka dapat menimbulkan keluhan musculosceletal yang bisa menurunkan kinerja seseorang. Myofascial pain syndrome merupakan salah satu keluhan nyeri musculosceletal yang dapat terjadi akibat adanya myofascial trigger point. Adanya nyeri menjalar atau reffered pain, tightness, stiffness, spasme, keterbatasan gerak merupakan keluhan yang sering dialami oleh pasien. Myofascial pain syndrome ini timbul akibat aktivitas sehari-hari yang dilakukan secara terus-menerus, kerja otot yang berlebihan dan sering memberikan pembebanan pada otot upper trapezius. Sehingga dapat menyebabkan otot menjadi spasme, tegang, tightness dan stiffness. Otot yang mengalami ketegangan terus-menerus dapat menurunkan mikrosirkulasi sehingga dapat terjadi iskemik dalam jaringan. Pada serabut otot terdapat ikatan tali yang abnormal sehingga membentuk taut band pada otot skeletal kemudian mencetuskan nyeri.1

Faktor pencetus terjadinya myofascial pain syndrome adalah beban berlebihan yang akut pada jaringan myofascial, repetitif mikrotrauma, kebiasaan postur yang jelek, menurunnya aktivitas, dan stress emosional yang tinggi.2 Salah satu penelitian melaporkan bahwa myofascial pain syndrome yang memiliki trigger point menjadi penyebab utama nyeri pada 85% pasien yang mengunjungi klinik-klinik nyeri di Amerika. Kemudian

penelitian yang lainnya menunjukkan bahwa myofascial pain berkaitan dengan beberapa kondisi nyeri, diantaranya neck-shoulder pain sekitar 10%.3 Penelitian yang membahas mengenai trigger point menyatakan bahwa dari 13 orang sample dengan pemeriksaan pada 8 otot menunjukkan hanya 1 orang yang tidak memiliki trigger point tersebut, dua belas orang lainnya mempunyai trigger point pada 8 ototnya dengan penyebaran yang berbeda. Hal ini dapat menunjukkan bahwa di antara kita sesungguhnya banyak yang mempunyai trigger point, hanya saja karena berupa pasif trigger point maka tidak begitu terasakan.4

Di Thailand terdapat penelitian mengenai muskuloskeletal dan memperoleh hasil yaitu myofascial pain syndrome merupakan diagnosis yang paling sering terjadi pada 36% dari 431 pasien dengan intensitas nyeri yang muncul dalam kurun waktu kurang dari seminggu.5 Ketika pasien merasakan adanya nyeri, mereka cenderung untuk mengurangi gerakan yang bisa menimbulkan atau meningkatkan timbulnya nyeri sehingga pasien seringkali malah melakukan static position yang justru akan meningkatkan nyeri yang disebabkan oleh myofascial tersebut. Masalah lain yang dapat ditimbulkan adalah penurunan aktivitas leher, yaitu kesulitan dalam menggerakkan leher dan menekuk leher ke sisi yang lainnya, hal itu akan menyebabkan adanya gangguan saat melakukan aktivitas sehari-hari.

Otot Upper Trapezius merupakan jenis otot tipe I (slow twitch) yang berfungsi sebagai stabilitator scapula ketika lengan beraktivitas dan sebagai stabilitator leher, termasuk untuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan semakin meningkat apabila otot mengalami trauma, degenerasi otot dan faktor mekanik yang meliputi poor body mechanics, penggunaan otot dalam posisi statis yang lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibatnya, otot tersebut sering mengalami gangguan berupa spasme, pemendekan otot, tightness, terjadinya sistem sirkulasi darah yang tidak lancar sehingga dapat menyebabkan timbulnya trigger points yang nantinya dapat menmbulkan myofascial pain syndrome .6

Pada kasus myofascial pain syndrome ini dapat ditangani dengan melakukan fisioterapi. Adapun intervensi fisioterapi yang dapat diberikan yaitu dengan teknik Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT), Myofascial Release Technique (MRT) dan Infrared. Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique dapat digunakan untuk memanjangkan soft tissue seperti otot, fasia, tendon, dan ligamen yang mengalami pemendekan dengan patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan menurunkan nyeri akibat adanya spasme, pemendekan otot dan akibat adanya fibrosis.7 Myofascial release technique (MRT) merupakan teknik manual yang menerapkan prinsip-prinsip biomekanik dalam pemuatan jaringan lunak dan modifikasi refleks saraf oleh stimulasi mechanoreceptors di fascia. Aplikasi MRT ini berupa tekanan yang diterapkan ke arah yang dituju, berperan untuk meregangkan struktur fascia (myofascial) dan otot dengan tujuan memulihkan kualitas cairan/pelumas dari jaringan fascia, mobilitas jaringan dan fungsi normal

sendi.8 Efek yang dapat ditimbulkan dari myofascial release yaitu mengurangi nyeri, peningkatan kinerja atletik, meningkatkan fleksibilitas dan untuk mendapatkan postur yang lebih baik.9 Infrared dapat memberikan efek thermal bagi tubuh yang bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi/ suplai darah pada daerah nyeri,mengurangi kekakuan sendi, mengurangi dan menghilangkan spasme otot, meningkatkan efek viskoelastik jaringan kolagen.10 Dengan adanya pelebaran dari pembuluh darah tersebut maka dapat meningkatkan sirkulasi darah dan membuang sisa-sisa hasil metabolisme sehingga daapat mengurangi rasa nyeri.11

Dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) dan Infrared Lebih Baik Dalam MenurunkanNyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius DibandingkanIntervensi Myofascial Release Technique (MRT) dan Infrared pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan randomized pre test and post test control group design.Pemberian intervensi dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga April tahun 2015. Populasi yang ditargetkan yaitu semua mahasiswa program studi Fisioterapi FK Unud yang mengalami myofascial pain syndrome pada otot upper trapezius. Dalam pengambilan sampel didasarkan atas adanya kriteria inklusi, kriteria eksklusi dan melalui pemeriksaan fisioterapi dengan sampel sebanyak 20 orang dan nantinya akan dibagi secara acak dan sama rata menjadi 2 kelompok. Pada kelompok intervensi 1 akan diberikan integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared sedangkan kelompok 2 dengan perlakuan myofascial release technique dan infrared.

Instrumen Penelitian

Visual Analogue Scale) merupakan sebuah parameter yang dapat digunakan    dalam suatu

pengukuran nyeri dan merupakan alat  ukur yang

dianggap efisien dalam melakukan sebuah penelitian.

VAS disajikan dalam bentuk garis horisontal yang diberikan angka 0-10 yang masing-masing nomor dapat menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Pada ujung kiri VAS terdapat tanda “tidak adanya nyeri” kemudian pada ujung kanan terdapat tanda “nyeri tidak tertahankan”. Pasien diminta untuk memberi tanda pada garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Sebelum dan sesudah dilakukan intervensi maka akan dilakukan pengukuran nyeri Ketika peneliti sudah melakukan intervensi sebanyak 6 kali dan telah memperoleh data yang diperlukan secara lengkap, kemudian dilakukan uji komparasi data dengan uji paired sample t-test yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat penurunan nyeri sebelumdan sesudah intervensi pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan independent sample t-test yang bertujuan untuk

membandingkan kelompok mana yang lebih baik dalam menurunkan nyeri.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini merupakan deskripsi karakteristik sampel yang terdiri atas jenis kelamin dan umur.

Tabel 1. Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Frekwensi

Persen

Kel. 1

Kel. 2

Kel. 1

Kel. 2

Laki-Laki

2

4

20,0

40,0

Perempuan

8

6

80,0

60,0

Total

10

10

100,0

100,0

Dari Tabel 1 disebutkan bahwa sampel laki-laki pada Kelompok sebanyak 2 orang (20,0%) dan sampel perempuan sebanyak 8 orang (80,0%). Pada Kelompok 2 sampel laki-laki sebanyak 4 orang (4o,O%) dan sampel perempuan sebanyak 6 orang (60,0%).

Tabel 2. Data Sampel Berdasarkan Umur

Karakteristik

Nilai Rerata dan Simpang Baku

Kel. 1

Kel. 2

Usia

19,20±1,135

18,70±0,949

Dari Tabel 2 disebutkan bahwa sampel penelitian Kelompok 1 memiliki rerata umur (19,20±1,135) tahun dan Kelompok 2 memiliki rerata umur (18,70±0,949) tahun.

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas

Uji Normalitas

Uji

dengan Shapiro Wilk

Homogenita

Kelompok Data

Test

s

Klp 1

Klp 2

(Levene’s

p

p

Test)

Sebelum

0,755

0,082

0,206

Sesudah

0,137

0,536

0,089

Selisih

0,346

0,813

0,179

Dari Tabel 3 didapatkan hasil bahwa data berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05)).

Tabel 4. Hasil Uji Paired Sample T Test

Beda Rerata

p

Kelompok 1

3,330±1,711

0

Kelompok 2

1.910±0.996

0

Dari Tabel 4, pengujian hipotesis yang dianalisis dengan menggunakan paired sample t-test didapatkan hasil pada Kelompok 1 p=0,000(p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan penurunan nyeri ketika sebelum dan sesudah pemberian intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius. Pada kelompok 2 diperoleh nilai p=0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat perbedaan penurunan nyeri ketika sebelum dan sesudah

Tabel 5. Hasil Uji Independent T-test

Kelompok

n

Rerata±SB

p

Si p I i q i h es

Kelompok 1

10

3,330±1,711

0036

Kelompok 2

10

1,910±0,996

Berdasarkan Tabel 5 diatas disebutkan bahwa selisih antara sebelum dan sesudah pemberian intervensi didapatkan nilai p=0,036 (p < 0,05) yang berarti terdapat perbedaan antara intervensi pada Kelompok 1 dan Kelompok 2.

Tabel 6. Persentase Penurunan Keluhan Nyeri

Kelompok

Hasil Analisis

Keluhan Nyeri Awal

Keluhan Nyeri Akhir

Beda Keluhan

Nyeri

Persentase Keluhan Nyeri (%)

Kelompok 1

5,780

2,450

3,330

57,61 %

Kelompok

2

4,980

3,070

1,910

22,09 %

Berdasarkan

persentase

rerata

penurunan

pemberian intervensi myofascial release technique dan dan infrared. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi infrared pada myofascial pain syndrome otot upper integrated neuromuscular inhibitation technique dan


trapezius.


keluhan nyeri kasus myofascial pain syndrome otot upper trapezius pada Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase rerata penurunan keluhan nyeri pada Kelompok 1 lebih besar daripada Kelompok 2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan Kelompok 1 yaitu integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared lebih baik dibandingkan dengan perlakuan Kelompok 2yakni dengan intervensi myofascial release technique dan infrared.

PEMBAHASAN

Karakteristrik Sampel

Karakteristik sampel pada penelitian ini yaitu pada Kelompok 1 subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 2 orang (20,0%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang (80,0%), sedangkan pada Kelompok 2 subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 4 orang (40,0%) dan perempuan sebanyak 6 orang (60,0%). Berdasarkan data di atas, disebutkan jika wanita sebanyak 54% lebih banyak yang mengalami myofascial pain syndrome daripada pria hanya 45%.12 Pada Kelompok 1 memiliki rerata umur 19,20±1,135 dan Kelompok 2 memiliki rerata umur 18,70±0,949. Pada umur tersebut kebanyakan mahasiswa melakukan aktivitas di depan komputer dalam jangka waktu lama dan berulang-ulang.

Kombinasi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique dan Infrared Dapat Menurunkan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Dari hasil uji paired sample t-test pada Kelompok 1 rerata sebelum pemberian intervensi sebesar 5,780 dan sesudah pemberian intervensi sebesar 2,450 dengan nilai p= 0,000 (p < 0,05) yang artinya terdapat suatu perbedaan nyeri sebelum dan sesudah pemberian intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique

infrared dapat menurunkan nyeri pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius.

Intervensi dengan INIT mengkombinasikan dari 3 intervensi yaitu ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang memiliki pengaruh terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome.Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Simons pada tahun 2002 yang menyatakan bahwa dengan adanya penekanan pada otot dapat memanjangkan sarkomer otot dan adanya pengurangan nyeri yang disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa sakit. Ketika nyeri mengalami penurunan, maka dilanjutkan dengan pemberian strain counter strain yang dapat menyebabkan otot upper trapezius menjadi rileks. Dan tindakan terakhir yang dilakukan yaitu dengan metode muscle energy technique. Metode ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang terkena dengan memproduksi relaksasi pasca-isometrik melalui pengaruh golgi tendon organ sehingga ketegangan otot bisa teratasi dan fleksibilitas otot meningkat.13 Menurut pernyataan Gerwin et al., (2004) stretching adalah cara yang sering digunakan untuk mengatasi ketegangan otot dan meningkatkan fleksibilitas otot dengan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam myofibril untuk memanjang. Pengurangan dari derajat overlapping antara thick and thin myofilamen dalam sarkomer terjadi karena adanya pemanjangan dari sarko-mer dan menyebabkan pemanjangan daro otot sehingga otot akan relaksasi. Dengan adanya pengurangan dari derajat overlapping tersebut akan melebarkan pembuluh darah sehingga sirkulasi darah akan lancar sehingga nantinya akan mencegah kelelahan otot, meningkatkan suplai oksigen pada sel otot dan mengurangi penumpukan sampah metabolisme.

Penelitian mengenai infrared yang dilakukan oleh Wahyu Putra (2013) menyatakan pemberian sinar infrared dapat meningkatkan nilai ambang nyeri karena adanya efek sedatif yaitu stimulasi yang dihasilkan akan mengakibatkan adanya vasodilatasi dari pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah menjadi lancar, peningkatan suplai oksigen dan nyeri akan berkurang.14 Dan juga menurut penelitian yang dilakukan oleh Schug SA (2002) yang menyatakan bahwa pemberian infrared dapat merileksasikan otot karena rilekssasi otot akan mudah dicapai ketika suatu jaringan dalam keadaan hangat dan tidak nyeri.10 Selain itu, infrared juga dapat menaikkan suhu jaringan sehingga terjadi vasodilatasi dari pembuluh darah dan terjadi pengaktifan kelenjar sudoifera dan terjadinya peningkatan pembuangan zat-zat metabolisme melalui keringat.

Kombinasi Myofascial Release Technique dan Infrared Dapat Menurunkan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Dari hasil uji paired sample t-test pada Kelompok 2 rerata sebelum pemberian intervensi sebesar 4,980 dan sesudah pemberian intervensi sebesar 3,070 dengan nilai p= 0,000 (p < 0,05) yang artinya terdapat suatu perbedaan nyeri sebelum dan sesudah pemberian intervensi intervensi myofascial release technique dan infrared. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi

myofascial release technique dan infrared dapat

menurunkan nyeri pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius..

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Werenski (2011) menyatakan bahwa myofascial release technique dapat digunakan untuk mengurangi nyeri akibat keluhan

dari musculosceletal. Teori yang mendukung pernyataan itu yaitu gate control theory yang menyatakan ketika tubuh manusia diberikan suatu rangsangan sensorik

seperti tekanan maka jalur sistem saraf akan mengalami perubahan dalam gerakan yaitu gerakan akan lebih cepat daripada sistem saraf daripada stimulasi nyeri. Stimulasi dari adanya rangsangan sensorik ini akan mempengaruhi pengirim dan penerima rasa nyeri yang

nantinya akan menuju otak sehingga akan terjadi penutupan pintu gerbang yang menuju pada reseptor rasa nyeri di otak.15 Penelitian yang dilakukan oleh Paloni

(2009) mengemukakan ketika pasien mendapatkan suatu pijatan seringkali akan memperoleh suatu efek yang menyenangkan dan mampu untuk menurunkan persepsi

nyeri karena berkaitan dengan respon parasimpatis yang dapat melepaskan hormon stress, kecemasan dan rasa sakit.16

Penelitian mengenai infrared yang dilakukan oleh Wahyu Putra (2013) menyatakan pemberian sinar infrared dapat meningkatkan nilai ambang nyeri karena adanya efek sedatif yaitu stimulasi yang dihasilkan akan mengakibatkan adanya vasodilatasi dari pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah menjadi lancar, peningkatan suplai oksigen dan nyeri akan berkurang.14 Dan juga menurut penelitian yang dilakukan oleh Schug SA (2002) yang menyatakan bahwa pemberian infrared dapat merileksasikan otot karena akan terjadi fase rileksasi otot ketika suatu jaringan diberikan modalitas panas tersebut. Infrared juga dapat menaikkan suhu jaringan sehingga terjadi vasodilatasi dari pembuluh darah dan terjadi pengaktifan kelenjar sudoifera dan terjadinya peningkatan pembuangan zat-zat metabolisme melalui keringat.10

Kombinasi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique dan Infrared Lebih Baik Daripada Myofascial Release Technique dan Infrared Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Dari uji independent t-test pada Kelompok 1 diperoleh rerata selisih antara hasil sebelum dan sesudah pemberian intervensi sebesar 3,330±1,711 dan Kelompok Perlakuan 2 memiliki rerata selisih antara nilai sebelum dan sesudah intervensi 1.910±0.996 sedangkan selisih p = 0,036 (p <0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) pada kombinasi intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared dengan myofascial release technique dan infrared terhadap penurunan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius.

INIT merupakan metode yang seringkali digunakan untuk menangani kasus myofascial pain syndrome. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2012) menyatakan bahwa dengan pemberian INIT maka otot akan dilatih untuk memanjang sehingga dapat mengurangi ketegangan otot.17 Menurut Nagrale et al., (2000) ketika INIT diberikan pada otot maka komponen

actin dan myosin dan tegangan otot akan mengalami peningkatan ketegangan, sarkomer memanjang. Sarkomer berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot mengalami suatu kontraksi, maka filamen actin dan myosin akan berhimpit dan otot akan memendek. Sedangkan ketika otot mengalami fase relaksaasi maka otot akan mengalami pemanjangan. Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu dalam posisi normal yang dihasilkan oleh sarcomer. Ketika penguluran terjadi, serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur akan diubah posisinya sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Adanya penguluran pada serabut otot dapat memulihkan jaringan parut untuk dapat kembali normal.18

Dalam penelitian Witri (2013) disebutkan bahwa myofascial relase technique dapat merangsang struktur-struktur pada jaringan konektif yang nantinya akan menghasilkan histamin yang mempunyai peranan sebagai vasodilatator. Adanya vasodilatasi tersebut akan melancarkan dan meningkatkan aliran darah ke area yang dilakukan terapi diobati. Selain itu dengan meningkatnya permeabilitas kapiler dan venule akan menghasilkan diffusi yang lebih cepat dan bertugas untuk membuang sisa-sisa metabolisme.19

Penelitian mengenai infrared yang dilakukan oleh Wahyu Putra (2013) menyatakan pemberian sinar infrared dapat meningkatkan nilai ambang nyeri karena adanya efek sedatif yaitu stimulasi yang dihasilkan akan mengakibatkan adanya vasodilatasi dari pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah menjadi lancar, peningkatan suplai oksigen dan nyeri akan berkurang. Dan juga menurut penelitian yang dilakukan oleh Schug SA (2002) yang menyatakan bahwa pemberian infrared dapat merileksasikan otot karena rilekssasi otot akan mudah dicapai ketika suatu jaringan dalam keadaan hangat dan tidak nyeri. Selain itu, infrared juga dapat menaikkan suhu jaringan sehingga terjadi vasodilatasi dari pembuluh darah dan terjadi pengaktifan kelenjar sudoifera dan terjadinya peningkatan pembuangan zat-zat metabolisme melalui keringat.10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dari hasil penelitian ini yaitu:

  • 1.    Intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared dapat menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius sebesar 57,61%.

  • 2.    Intervensi myofascial release technique dan infrared dapat menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius sebesar 22,09%.

  • 3.    Intervensi integrated neuromuscular inhibitation technique dan infrared lebih baik dalam menurunkan nyeri myofascial pain syndrome otot upper trapezius daripadaintervensi myofascial release technique dan infrared

Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan kajian dalam penelitian ini adalah:

  • 1.    Dari hasil yang didapatkan pada penelitian ini, baik integrated neuromuscular inhibitation technique,

myofascial release technique dan infrared dapat digunakan sebagai intervensi fisioterapi dalam menangani nyeri yang diakibatkan oleh myofascial pain syndrome otot upper trapezius

  • 2.    Perlunya diberikan penjelasan baik kepada sampel tentang hal-hal yang dapat meningkatkan kondisi myofascial pain syndrome otot upper trapezius guna mendapatkan hasil penelitian yang lebih optimal.

  • 3.    Diharapkan penelitian selanjutnya menambah waktu penelitian    sehingga dapat memberikan pengaruh

terhadap intervensi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Hurtling-Randolph M. Kessler, Lippin Cort Willians and Wikins. 2005. Management of Common Musculoskeletal Disorder, Physical Therapy Principles and Methodes, 4th edition, hlm.152 Seattle, Washington

  • 2.    Tammy Lee. 2009. Myofascial Pain Syndrome,

Lippincott Williams and Wilkins.

  • 3.    International Association for The Study of Pain, 2009. Myofascial Pain.

  • 4.    David G Simons. 2003. Enigmatic Trigger Points Often Caused Enigmatic Musculoskeletal Pain, STAR Symposium, Columbus.

  • 5.    Fernandez DPC, Fernandez J, Miangolarra JC. 2005. Musculoskeletal disorders in mechanical neck pain: myofascial trigger points versus cervical joint dysfunctions: A clinical study. Journal of Musculoskeletal Pain; 13(1):27-35.

  • 6.    Widodo A. 2011. Penambahan Ischemic Pressure, Sustained Stretching,  dan Koreksi Posture ber

manfaat pada intevensi kasus myofascial trigger point syndrome otot trapezius bagian atas [Thesis]. Denpasar: Universitas Udayana.

  • 7.    Sara, T. 1992. Massage For Common Ailments. Gaia Book Limited, London

  • 8.    Riggs, A and Grant, K.E. 2008. Myofascial Release. In:   Modalities for Massage and  Bodywork.

USA:Elsevier Health Scienses; h. 149-161.

  • 9.    Barnes , Michael R. 1998. Review Management of Spasticity, age and ageing; 27: 239-245.

  • 10.    Schug Sa. 2002. Principles of pain management. Dalam : 1st National Congress Indonesian Pain Society. Makasar.

  • 11.    Porter, S.B. 2013. Tidy’s Physiotherapy. 15th ed.

USA: Elsevier.

  • 12.    Eduardo, V.D., Romero, J.C. and Escoda, C.G. 2009. Myofascial Pain Syndrome Associated With Trigger Points: A literature Review. (I) Epidemiology, Clinical Treatment and Etiopathogeny. Oral Medicine and Pathology. Barcelona. Vol.14 (10): 494-498 EGC; h.

387.

  • 13.    Simons, D. 2002. Understanding effective treatments of myofascial trigger points. J Bodywork Mov Ther.

  • 14.    Wahyu P.Y. 2013. Efektifitas Jarak Infra Merah Terhadap Ambang Nyeri. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

  • 15.    Werenski, J. 2011. The Effectiveness of Myofascial Release Technique In The Treatment Of Myofascial Pain: A Literature Review. Journal of Musculoskeletal Pain: Vol 23:27-35

  • 16.    Paloni, John. 2009. "Review of Myofascial Release as

an Effective Massage Therapy Technique." Athletic Therapy Today 14.5; 30-34. Print.

  • 17.    Fatmawati V. 2012. Penurunan Nyeri dan disabilitas dengan Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) dan massage efflurage pada myofascial trigger point syndrome otot trapesius bagian atas [Thesis]. Denpasar: Universitas Udayana.

  • 18.    Nagrale, A: Glyn, P; Joshi, A. 2000. The efficacy Of INIT On Upper Trapezius Trigger Point in neck Pain. Escorts Physical Therapy Collage.USA.

  • 19.    Witri, O.M. 2013. Perbandingan Myofascial Release Technique Dengan Contract Relax Stretching Terhadap Penurunan Nyeri Pada Sindrom Myofascial Otot Upper Trapezius [Skripsi]. Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.