Kualitas Tidur Berhubungan dengan Fungsi Kognitif pada Lansia di Desa Guwang: Studi Obervasional

Ni Wayan Bintang Mida Suputri1*, Ari Wibawa2, I Putu Yudi Pramana Putra3, Putu Ayu Sita Saraswati4

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2,3,4Departemen Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

*Koresponden: [email protected]

Diajukan: 5 Mei 2023 | Diterima: 17 Mei 2023 | Diterbitkan: 15 Januari 2024

DOI: https://doi.org/10.24843/mifi.id.100 25

ABSTRAK

Pendahuluan: Menua merupakan kondisi yang tak terelakkan dalam perjalanan kehidupan manusia. Seseorang yang memasuki usia lansia menjadi rentan terhadap permasalahan kesehatan. Menurut sebuah studi komunitas, prevalensi permasalahan fungsi kognitif pada lansia mencapai 17-34%. Fungsi kognitif merujuk pada proses mental yang terlibat dalam perolehan pengetahuan, manipulasi informasi, dan pemikiran. Berbagai aspek, termasuk kualitas tidur, dapat memengaruhi fungsi kognitif. Kualitas tidur didefinisikan sebagai tingkat kesulitan seseorang dalam memulai dan mempertahankan tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia di Perkumpulan Lansia Desa Guwang, Sukawati, Gianyar.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 66 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data penelitian terdiri dari skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan MiniMental State Examination (MMSE).

Hasil: Setelah dilakukan analisis data, diketahui bahwa mayoritas subjek penelitian merupakan lansia dengan kualitas tidur baik, sebanyak 56,1% (n=37), dan fungsi kognitif baik, sebanyak 66,7% (n=44). Uji hipotesis menggunakan spearman’s rho menghasilkan nilai p = 0,001 (p<0,05) dengan koefisien korelasi sebesar 0,406.

Simpulan: Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan dan korelasi sedang secara searah antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia di Perkumpulan Lansia Desa Guwang, Sukawati, Gianyar.

Kata Kunci: kualitas tidur, fungsi kognitif, lansia

PENDAHULUAN

Menua merupakan suatu kondisi yang tak terhindarkan dalam perjalanan kehidupan manusia. Saat ini, Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua, dengan populasi lansia (usia >60 tahun) mencapai lebih dari 7% dari total penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022, persentase lansia di Indonesia mencapai 10,48%, dengan Bali memiliki persentase penduduk lansia sebesar 13,53%. Kabupaten Gianyar sendiri memiliki jumlah penduduk sekitar 515.344 jiwa, atau 11,94% dari total penduduk Provinsi Bali, dengan persentase lansia mencapai 13,87%.1

Lansia mengalami berbagai perubahan fisik dan psikologis sebagai akibat dari proses degeneratif dalam sistem tubuh manusia. Perubahan ini mencakup atrofi serebral pada sistem saraf, yang dapat memengaruhi respons intelektual, persepsi, dan analisis, serta berpotensi memengaruhi fungsi kognitif. Fungsi kognitif, yang mencakup proses berpikir dalam interaksi dengan manusia dan lingkungan, rentan terhadap permasalahan pada lansia, dengan prevalensi mencapai 17-34% menurut sebuah studi komunitas.2 Dua aspek yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif lansia melibatkan faktor eksternal seperti aktivitas sosial, aktivitas fisik, dan tingkat pendidikan, serta faktor internal seperti usia, jenis kelamin, ras, tekanan darah, genetik, indeks massa tubuh (IMT), kebiasaan minum alkohol, kebiasaan merokok, trauma, dan kualitas tidur.3

Tidur merupakan seperangkat keadaan perilaku dan fisiologis yang dinamis dan teratur, di mana banyak proses penting untuk kesehatan dan kesejahteraan berlangsung. Pada tahun 2010, angka kejadian gangguan tidur pada lansia mencapai 67%. Kualitas tidur diukur oleh kemudahan memulai tidur, kemampuan mempertahankan tidur, dan perasaan rileks setelah terbangun. Pada lansia, terjadi peningkatan tidur non-rapid eye movement (NREM) tingkat 1 dan 2, sementara tidur slow wave sleep (SWS) dan rapid eye movement (REM) cenderung menurun. Tidur REM penting dalam menjaga fungsi kognitif karena memperlancar aliran darah ke otak dan meningkatkan aktivitas korteks serta konsumsi oksigen.4

Kualitas tidur yang kurang baik dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Penurunan ini dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, menyebabkan penurunan massa otak dan peredaran darah otak. Hal ini dapat menyebabkan proliferasi astrosit, mengubah neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin, meningkatkan aktivitas enzim monoamine oksidase (MAO), serta menyebabkan penurunan kemampuan sosial dan pekerjaan lansia.

Dampaknya, lansia menjadi memerlukan bantuan untuk aktivitas yang sebelumnya dapat mereka lakukan sendiri, berpotensi menurunkan kualitas hidup mereka.5

Dengan Indonesia masuk ke era ageing population, yang ditandai oleh peningkatan jumlah lansia, perhatian terhadap masalah kesejahteraan lansia perlu ditingkatkan. Problematisasi kognitif pada lansia, disebabkan oleh penurunan kualitas tidur, menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Permasalahan ini dapat mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dan pada akhirnya memengaruhi kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, penelitian dengan judul "Hubungan antara Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif pada Lansia di Perkumpulan Lansia Desa Guwang, Sukawati, Gianyar" dipilih untuk membahas topik ini.

METODE

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan crosssectional. Penelitian dilaksanakan di Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, pada bulan April-Mei 2022. Populasi penelitian ini adalah lansia yang tergabung dalam Perkumpulan Lansia di Desa Guwang, Sukawati, Gianyar. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 66 orang. Upaya pengendalian bias dilakukan dengan mengontrol variabel usia, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat pendidikan subjek, serta melakukan pemilihan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi untuk sampel melibatkan lansia dengan usia di atas 60 tahun, dapat berkomunikasi secara verbal dan kooperatif, memiliki nilai IMT dalam rentang normal (18,5-25,0), memiliki setidaknya pendidikan minimal SD, dan bersedia menjadi subjek penelitian dengan mengisi informed consent sebagai tanda persetujuan. Kriteria eksklusi melibatkan lansia dengan gangguan penglihatan yang signifikan (seperti katarak, glaukoma, ablasio, bufthalmus, blefaritis, dakrisistitis, tunanetra), kecuali presbiopi, hipermetropi, dan miopi yang dapat menggunakan kacamata. Gangguan penglihatan diidentifikasi melalui pemeriksaan catatan medis subjek. Lansia dengan gangguan sistem saraf dan riwayat trauma kepala juga dikecualikan dari penelitian ini. Drop out didefinisikan sebagai subjek yang mengundurkan diri atau tidak mengikuti penelitian hingga selesai.

Kualitas tidur diukur menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang terdiri dari 19 pertanyaan melibatkan 7 aspek, dan skor totalnya berkisar 0-21. Skor PSQI >5 menunjukkan kualitas tidur buruk, sedangkan skor 0-5 menunjukkan kualitas tidur baik. Reliabilitas PSQI diukur dengan koefisien reliabilitas Cronbach’s α sebesar 0,839. Fungsi kognitif diukur menggunakan Mini-Mental State Examination (MMSE) yang mencakup 5 kategori pertanyaan. Total skor MMSE dikategorikan sebagai fungsi kognitif baik (skor 21-30), sedang (skor 11-20), dan buruk (skor 0-10). Reliabilitas MMSE diukur dengan alpha cronbach sebesar 0,82.

Penelitian dimulai dengan pembuatan informed consent dan surat izin penelitian, serta izin dari Dinas Kesehatan Gianyar dan Kantor Desa Guwang. Setiap subjek dijelaskan mengenai informed consent sebelum melakukan pengisian. Kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa pada hari penelitian, dan 66 orang dipilih sesuai syarat. Setelah penjelasan mengenai prosedur penelitian, dilakukan pemeriksaan kualitas tidur dan fungsi kognitif pada setiap subjek.

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan aplikasi SPSS. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dengan nomor surat 306/UN14.2.2.VII.14/LT/2022 dan nomor ethical clearance/Kelaikan Etik 283/UN14.2.2.VII.14/LT/2022.

HASIL

Subjek penelitian terdiri dari lansia yang berasal dari Desa Guwang, Kecamatan Gianyar, yang telah memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling, dengan total subjek sebanyak 66 orang. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik subjek berdasarkan variabel usia, jenis kelamin, kualitas tidur, dan fungsi kognitif, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Penelitian

Variabel Karakteristik

N

Rerata±SD

%

Usia (tahun)

61-65

33

67,72±6,382

50,0%

66-70

20

30,3%

>70

13

19,7%

Jenis Kelamin

Laki-Laki

35

-

53,0%

Perempuan

31

47,0%

Kualitas Tidur (Skor Total)

Baik

37

5,59±2,424

56,1%

Buruk

29

43,9%

Fungsi Kognitif (Skor Total)

Baik

44

21,34±6,893

66,7%

Sedang

12

18,2%

Buruk

10

15,1%

Total

66

Berdasarkan Tabel 1, ditemukan bahwa sebagian besar subjek memiliki rentang usia antara 61-65 tahun, dengan usia tertinggi mencapai 93 tahun. Rata-rata usia subjek adalah 67,72 dengan standar deviasi 6,382. Mayoritas

subjek adalah laki-laki, mencakup 53,0% dari total sampel (n=35). Secara keseluruhan, kualitas tidur subjek memiliki nilai rata-rata sebesar 5,59 dengan standar deviasi 2,424, yang dikategorikan sebagai kualitas tidur baik.

Pada aspek fungsi kognitif, mayoritas subjek menunjukkan fungsi kognitif baik, mencapai 66,7% dari tota sampel (n=44). Rata-rata skor fungsi kognitif subjek adalah 21,34 dengan standar deviasi 6,893, yang juga dikategorikan sebagai fungsi kognitif baik.

Hasil analisis distribusi frekuensi karakteristik sampel penelitian berdasarkan kualitas tidur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Kualitas Tidur

Variabel Kualitas Tidur

N

Rerata±SD

%

Kualitas Tidur

Subjektif

Baik

52

78,8%

Buruk

8

12,1%

Sangat Baik

4

6,1%

Sangat Buruk

2

3,0%

Durasi Tidur

6,08±1,57

<5 Jam

8

12,2%

5-6 Jam

29

43,9%

>6 Jam

29

43,9%

Latensi Tidur

22,74±21,46

0-15 Menit

35

53,0%

16-30 Menit

21

31,8%

31-60 Menit

9

13,6%

>60 Menit

1

1,6%

Konsumsi Obat

Tidur

Ya

3

4,5%

Tidak

63

95,5%

Gangguan Tidur

-

Merasa kepanasan

44

66,0%

Pergi ke kamar mandi di malam hari

40

60,6%

Tidak dapat tidur selama 30 menit

35

53,0%

Ada nyeri di badan

34

51,5%

Batuk atau mendengkur keras

32

48,4%

Bangun tidur di tengah malam atau bangun pagi

2

43,%

terlalu cepat

Merasa kedinginan

29

43,9%

Mengalami mimpi buruk

22

33,3%

Sulit bernapas secara nyaman

7

10,6%

Lainnya

4

6,0%

Total

66

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 78,8% (n=52) subjek mengklaim memiliki kualitas tidur subjektif yang baik. Mayoritas dari subjek, sebanyak 53% (n=35), melaporkan bahwa mereka dapat tertidur dalam waktu ≤15 menit sebelum tidur. Terkait dengan konsumsi obat tidur, dari total 66 subjek, hanya 4,5% (n=3) yang mengonsumsi obat tidur. Gangguan tidur terjadi pada sejumlah subjek, dan penyebab tertinggi adalah merasa kepanasan, mencapai 66% (n=44).

Hasil analisis distribusi karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia dan fungsi kognitif dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Usia dan Fungsi Kognitif

Usia (tahun)

Fungsi Kognitif

Baik

Sedang

Buruk

Total

n

%

n

%

n

%

n

%

61-65

19

28,8%

7

10,6%

7

10,6%

33

50,0%

66-70

17

25,8%

3

4,6%

0

0,0%

20

30,3%

>70

8

12,1%

2

3,0%

3

4,6%

13

19,7%

Total

44

66,7%

12

18,2%

10

15,2%

66

100,0%

Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa persentase jumlah sampel dengan fungsi kognitif baik pada masing-masing kelompok usia adalah sebagai berikut: 28,8% (n=19) pada usia 61-65 tahun, 25,8% (n=17) pada usia 66-70 tahun, dan 12,1% (n=8) pada usia >70 tahun.

Analisis hubungan antara kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Spearman’s rho

Variabel p r

PSQI     0,001  0,406

MMSE

Tabel 4 menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia, dengan nilai p sebesar 0,001 (p<0,05). Hasil uji statistik menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,406, yang mengartikan bahwa kualitas tidur memiliki hubungan dengan kekuatan sedang terhadap fungsi kognitif.

DISKUSI

Penelitian dilaksanakan pada bulan April dan Mei tahun 2022 dengan mengumpulkan lansia sebagai subjek penelitian di Wantilan Pura Desa Guwang, Sukawati, Gianyar. Penentuan subjek dilakukan menggunakan teknik consecutive sampling. Setelah disesuaikan dengan kriteria, diperoleh jumlah subjek sebanyak 66 orang.

Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok lansia usia 61-65 tahun memiliki jumlah subjek penelitian terbanyak (n=33). Usia memengaruhi kualitas tidur seseorang, dan semakin bertambahnya usia, kualitas tidur cenderung menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Kim dan rekan-rekan, saat membandingkan skor rata-rata PSQI dari enam kelompok usia, yaitu ≤29 tahun sampai dengan ≥70 tahun, menunjukkan bahwa skor cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.6 Hal ini mengindikasikan adanya penurunan kualitas tidur seiring dengan penuaan. Faktor perubahan jam internal tubuh, seperti suprachiasmatic nucleus (SCN) yang mengatur ritme sirkadian, juga berkontribusi pada perubahan ini. SCN yang mengalami penuaan akibat bertambahnya usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur, membuat lansia cenderung mengantuk lebih awal dan terbangun lebih pagi dari yang diinginkan. Perubahan dalam produksi hormon, termasuk penurunan produksi growth hormone yang dapat mengurangi tidur SWS pada lansia, serta penurunan produksi melatonin, dapat juga meningkatkan gangguan tidur pada populasi lansia.7

Pada penelitian ini, jumlah subjek laki-laki (n=35) lebih banyak dibandingkan subjek perempuan (n=31). Penelitian sebelumnya telah menemukan adanya korelasi antara perempuan dengan nilai PSQI yang tinggi pada subjek orang dewasa yang tinggal di komunitas. Peningkatan insomia pada perimenopause, yang kemudian sedikit menurun pada postmenopause, namun tetap di atas tingkat premenopause, dapat dihubungkan dengan kemungkinan ini. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan hormonal yang terkait dengan gejala menopause, yang memengaruhi aspek fisik, fisiologis, dan psikologis, serta berkontribusi pada munculnya masalah tidur pada lansia perempuan.8

Kualitas tidur dapat dilihat pada Tabel 1, di mana mayoritas subjek menunjukkan kualitas tidur yang baik, yaitu sebanyak 56,1% (n=37). Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Faydali dan Çetinkaya pada tahun 2018, yang mencatat bahwa sebanyak 60% (n=18) lansia memiliki kualitas tidur baik, bahkan sebelum mendapatkan aromaterapi lavender.9 Pentingnya tidur yang berkualitas termanifestasi dalam kemampuannya untuk memfasilitasi pelepasan growth hormone, yang diperlukan untuk perbaikan dan pembaruan sel epitel serta sel-sel otak. Penurunan kualitas tidur dapat mengakibatkan penurunan efektivitas proses perbaikan sel tersebut, sehingga berpotensi mengganggu proses pemulihan kognitif.10

Fungsi kognitif subjek didominasi oleh tingkat baik, mencapai 66,7% (n=44). Pendidikan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam pencapaian tingkat kognitif baik ini, dengan seluruh subjek penelitian memiliki riwayat pendidikan tingkat sekolah dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Riskiana dan Mandagi menegaskan adanya korelasi antara tingkat pendidikan seseorang dan fungsi kognitif. Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Yogyakarta, dengan sampel berusia 70-80 tahun yang telah menjalani pendidikan minimal selama 6 tahun. Pendidikan memiliki peran penting dalam memberikan rangsangan rutin dan konsisten terhadap perkembangan fungsi kognitif, termasuk penalaran logika, ide abstrak, serta mampu mencegah putusnya dan memperkuat hubungan antar neuron.11

Lansia dengan pendidikan rendah cenderung memiliki kemampuan berpikir yang terbatas, yang dapat menyebabkan jaringan otak lebih cepat mengalami penurunan fungsi kognitif hingga mencapai 65%. Di sisi lain, lansia dengan pendidikan tinggi memiliki kemampuan memproses tugas lebih efisien, yang berdampak pada penggunaan jaringan otak yang lebih efisien pula. Hal ini menghasilkan jumlah kerusakan kognitif yang lebih rendah, sehingga penurunan fungsi kognitif pada mereka yang berpendidikan tinggi cenderung lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah.11

Hubungan Kualitas Tidur dengan Fungsi Kognitif

Berdasarkan analisis statistik menggunakan uji Spearman’s Rho pada Tabel 4, ditemukan nilai p sebesar 0,001, yang menunjukkan bahwa nilai p < 0,05. Hal ini menandakan adanya korelasi yang signifikan antara kualitas tidur dengan fungsi kognitif pada lansia di Perkumpulan Lansia di Desa Guwang, Gianyar. Selain itu, nilai r antara kualitas tidur dan fungsi kognitif sebesar 0,406, dengan tanda positif (+) pada koefisien korelasi. Tanda positif ini memiliki makna bahwa terdapat hubungan searah, di mana semakin baik kualitas tidur, maka semakin baik pula fungsi kognitif pada lansia, dan sebaliknya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan dari penelitian Alpiah dan rekan-rekannya, yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia. Alpiah mengemukakan bahwa gangguan tidur yang semakin berat akan menyebabkan semakin terganggunya fungsi kognitif. Temuan ini didukung oleh hasil penelitiannya, di mana lansia dengan gangguan tidur berat menunjukkan proporsi gangguan kognitif sebesar 57%, sementara lansia dengan gangguan tidur ringan tidak mengalami gangguan kognitif.12

Penelitian yang dilakukan oleh Paramadiva dan kolega juga mengindikasikan hal serupa, yakni adanya korelasi antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia. Dalam penelitian tersebut, dari 50 responden, 48% (n=24) di antaranya memiliki kualitas tidur baik dengan fungsi kognitif yang normal. Sebaliknya, 26% (n=13) dari responden dengan kualitas tidur ringan menunjukkan kemungkinan adanya gangguan kognitif, sementara 2% (n=1) dengan kualitas tidur sedang menunjukkan gangguan kognitif yang lebih pasti.13

Fisiologi tidur yang optimal melibatkan peningkatan tingkat melatonin, disertai penurunan kortisol, interleukin-6 (IL-6), dan orexin, yang berperan dalam perbaikan fungsi kognitif. Kurangnya waktu tidur dapat menyebabkan

peningkatan aktivitas simpatis, yang pada gilirannya meningkatkan kadar kortisol dan IL-6, serta mengalami kegagalan orexin. Kegagalan pelepasan orexin dapat mengakibatkan timbulnya kantuk dan penurunan konsentrasi, yang dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi kognitif 13

Kualitas tidur yang menurun juga memiliki keterkaitan dengan peningkatan beban amyloid-β. Mander dan rekan-rekannya mengimplikasikan bahwa gangguan tidur merupakan jalur di mana amyloid-β dapat berkontribusi pada penurunan fungsi kognitif pada lansia. Kualitas tidur yang buruk dapat mengakibatkan penumpukan amyloid-β, yang pada gilirannya berkontribusi pada penurunan fungsi kognitif.14

Selama fase SWS, kelebihan protein amyloid-β biasanya dibersihkan oleh otak. Namun, tanpa tidur yang cukup atau dengan kualitas tidur yang buruk, otak menjadi kurang efektif dalam membersihkan protein amyloid-β. Ketidakmampuan membersihkan protein ini dapat menyebabkan penumpukan yang pada akhirnya menghasilkan plak. Akumulasi plak tersebut dapat menimbulkan peradangan dan penurunan fungsi sel saraf di otak secara progresif, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Temuan ini mencorakkan pentingnya keteraturan dan kualitas tidur dalam menjaga kesehatan kognitif lansia.15

Penelitian yang dilakukan oleh Alfarisi juga memberikan dukungan terhadap adanya korelasi antara kualitas tidur dan fungsi kognitif. Melalui hasil analisis dari 64 subjek, ditemukan bahwa dari 36 subjek yang memiliki kualitas tidur baik, sebanyak 63,9% (n=23) diantaranya tidak mengalami gangguan kognitif, sementara 36,1% (n=13) mengalami gangguan kognitif. Di sisi lain, pada 28 subjek dengan kualitas tidur buruk, tercatat bahwa 21,4% (n=6) tidak mengalami gangguan kognitif, sedangkan 78,6% (n=22) terdapat gangguan kognitif. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,002, mengindikasikan adanya korelasi yang signifikan antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia.16

Kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat disebabkan oleh kebutuhan waktu yang lebih lama untuk jatuh tertidur dan memiliki durasi tidur yang lebih pendek. Temuan ini mencerminkan urgensi pemahaman dan penanganan terhadap faktor-faktor yang memengaruhi kualitas tidur pada populasi lansia, dengan harapan dapat memberikan dampak positif terhadap fungsi kognitif mereka.16

Penurunan kognitif pada lansia ternyata dua hingga empat kali lebih tinggi pada mereka yang mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami gangguan tidur. Beberapa mekanisme telah diidentifikasi untuk menjelaskan bagaimana kualitas tidur pada lansia dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif. Mekanisme ini mencakup penurunan tidur SWS dan REM, peningkatan wake after sleep onset (WASO), serta pengaruh aktivitas suprachiasmatic nucleus (SCN).17

Menurunnya tidur SWS pada lansia dapat mengakibatkan ketidakmampuan pelepasan growth hormone yang memiliki peran penting dalam perbaikan dan pembaruan sel epitel otak. Selain itu, durasi tidur SWS yang singkat pada lansia juga dapat menghambat kemampuan tubuh untuk membersihkan sisa metabolisme, termasuk protein amyloid-β. Akibatnya, terjadi penumpukan protein amyloid-β yang dapat membentuk plak, menimbulkan peradangan, dan mengurangi fungsi sel saraf secara progresif.17

Tak hanya itu, lansia juga cenderung mengalami peningkatan WASO, yang menyebabkan mereka sering terbangun di tengah malam. Fenomena ini dapat memperburuk kualitas tidur secara keseluruhan dan berkontribusi pada gangguan fungsi kognitif pada populasi lansia. Oleh karena itu, pemahaman mendalam terhadap mekanisme-mekanisme ini menjadi kunci untuk merancang strategi intervensi yang tepat guna meningkatkan kualitas tidur dan, pada gilirannya, melindungi fungsi kognitif lansia 17

SCN, sebagai pacemaker endogen utama dalam siklus tidur-bangun, merangsang kelenjar pineal untuk mengeluarkan melatonin. Melatonin memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas tidur dan melindungi sistem saraf. Pada lansia, SCN mengalami proses penuaan, yang juga berdampak pada perubahan produksi melatonin.18

Selain penuaan SCN, perubahan lain yang terjadi adalah penurunan tidur REM. Tidur REM memiliki peran vital dalam melindungi jaringan otak dan mendukung perbaikan kognitif. Hal ini terkait dengan sirkulasi darah otak, peningkatan aktivitas korteks, konsumsi oksigen yang meningkat, dan pelepasan epinefrin. Penurunan dalam durasi tidur REM dapat mengakibatkan penurunan kemampuan seseorang dalam penyimpanan memori dan proses belajar.18

Fisioterapis memiliki peran yang signifikan dalam memberikan tindakan preventif untuk menjaga kualitas tidur lansia. Ini dapat dicapai melalui penerapan program olahraga, Progressive Muscle Relaxation (PMR), dan slow stroke back massage. Olahraga teratur, misalnya, dapat meningkatkan kadar adenosin dalam tubuh dan menyebabkan perubahan positif dalam ritme sirkadian. Perubahan ini memiliki dampak positif dalam pengaturan tidur dan menjaga energi tubuh.19

Sebuah penelitian oleh Palop-Montoro menunjukkan bahwa pemberian pemanasan, aerobik, strength exercise, dan flexibility exercise sebanyak 2 kali per minggu dengan durasi 60-80 menit selama 12 minggu menghasilkan perubahan yang signifikan dalam kualitas tidur (p=0,001) .19

Progressive Muscle Relaxation (PMR) dapat mengontrol aktivitas dari sistem saraf otonom dan suprachiasmatic nucleus, membantu memfasilitasi proses tertidur. Penelitian oleh Kareri, Manafe, dan Payong menunjukkan bahwa pemberian PMR meningkatkan kepuasan subjek terhadap kualitas tidur sebesar 73,68%, dengan persentase subjek yang mengalami kualitas tidur baik meningkat menjadi 78,95%.20

Terapi slow stroke back massage dapat memengaruhi sistem saraf parasimpatis, menginduksi sensasi relaksasi, dan menyebabkan peningkatan hormon endorfin sambil mengurangi kortisol. Hal ini berkontribusi pada stabilitas emosional dan peningkatan kualitas tidur. Penelitian oleh Ainun menunjukkan peningkatan signifikan dalam kualitas tidur setelah intervensi slow stroke back massage, dengan nilai p<0,05.21

Fisioterapis juga dapat melibatkan tindakan preventif dengan memberikan brain gym exercise dan latihan jalan tandem. Gerakan pada brain gym exercise memberikan stimulus ke otak, yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Penelitian oleh Irawani dan Nuryawati menunjukkan bahwa setelah melakukan brain gym exercise sebanyak 4

kali seminggu selama 2 minggu pada lansia, persentase mereka yang mengalami penurunan fungsi kognitif menurun dari 64,7% menjadi 29,4%.22

Latihan jalan tandem juga dapat berpengaruh positif terhadap fungsi kognitif dengan merangsang beberapa sistem yang berperan di otak, seperti Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). BDNF memiliki peran dalam peningkatan ketahanan dan perkembangan beberapa jenis neuron yang terlibat dalam plastisitas sel saraf. Penelitian oleh Putri, Dewi, dan Purnawati menunjukkan peningkatan fungsi kognitif sebesar 22,4% setelah pemberian latihan jalan tandem.23

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Salah satunya adalah peneliti tidak mengontrol faktor-faktor lain, seperti tidak mengukur aktivitas fisik dan aktivitas sosial, yang juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Fokus pada subjek penelitian hanya dari Desa Guwang juga dapat membatasi generalisasi hasil, karena faktor-faktor spesifik lokal seperti pendidikan lansia di daerah tersebut dapat berpengaruh pada hasil penelitian. Sebaiknya penelitian selanjutnya memperluas cakupan lokasi untuk mendapatkan gambaran yang lebih representatif.

Selain itu, penggunaan IMT sebagai kriteria untuk menilai tingkat aktivitas fisik subjek mungkin tidak cukup akurat. Aktivitas fisik yang tinggi pada lansia telah terbukti berhubungan dengan risiko kerusakan kognitif yang lebih rendah dan pemeliharaan memori serta fungsi eksekutif yang lebih baik. Menilai aktivitas fisik dengan lebih teliti, mungkin dengan menggunakan alat pemantau aktivitas atau kuesioner aktivitas fisik, dapat memberikan informasi yang lebih akurat.

Penting juga untuk menyadari bahwa aktivitas fisik memiliki dampak signifikan pada fungsi kognitif. Otak yang terstimulasi selama aktivitas fisik dapat meningkatkan produksi protein BDNF, yang memiliki peran penting dalam pengembangan tugas saraf seperti pertumbuhan dendritik, neurogenesis, dan potensiasi neuron jangka panjang. Lansia yang terlibat dalam aktivitas fisik secara teratur, dengan durasi dan intensitas tertentu, dapat mengalami peningkatan kemampuan kognitif sebesar 20%.24

Aktivitas sosial telah terbukti memiliki pengaruh yang signifikan pada fungsi kognitif, dan lansia di Desa Guwang mayoritas aktif bersosialisasi melalui kegiatan desa dan persiapan upacara adat. Untuk mengukur aktivitas sosial lansia secara lebih objektif, perlu dilakukan pendekatan yang lebih terstruktur. Lansia yang terlibat dalam aktivitas sosial sebanyak 0-1 kali per minggu memiliki risiko gangguan kognitif sebesar 45,8%. Oleh karena itu, penting untuk merinci dan mengukur jenis aktivitas sosial secara lebih rinci agar dapat memahami dampaknya pada kognisi.25

Partisipasi dalam kelompok hobi dapat memberikan manfaat tambahan, seperti pengembangan pemikiran yang lebih kompleks, yang dapat membantu mencegah penurunan kognitif pada lansia. Selain itu, memiliki jaringan sosial yang luas memberikan kesempatan lebih banyak bagi lansia untuk mengakses berbagai sumber daya material dan informasi seputar kesehatan, yang dapat berkontribusi dalam mencegah penurunan kognitif.25

Lansia yang tidak aktif secara sosial juga berisiko mengalami stres, yang dapat diawali dengan peningkatan produksi glukokortikoid. Produksi ini dapat mempengaruhi hipotalamus dan akhirnya memengaruhi fungsi kognitif. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa aspek sosial memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan kognitif lansia.25

Penelitian ini menemukan adanya hubungan antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia, oleh karena itu disarankan kepada lansia untuk menjaga kualitas tidurnya dengan menerapkan beberapa langkah preventif. Salah satu cara yang dianjurkan adalah meminimalisir gangguan tidur yang memungkinkan dengan menambah fasilitas yang dapat meningkatkan kualitas tidur, seperti pemberian kipas angin, selimut, dan lainnya. Selain itu, lansia disarankan untuk rutin melakukan olahraga, yang dapat membantu meningkatkan kualitas tidur.

Diharapkan pula Dinas Kesehatan dan puskesmas setempat dapat memberikan informasi kepada lansia mengenai pentingnya menjaga kualitas tidur yang baik, dengan harapan dapat memperlambat terjadinya penurunan kognitif pada lansia. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan populasi yang lebih luas agar hasil yang didapatkan dapat lebih bervariasi dan juga untuk menambahkan data tingkat pendidikan sebagai variabel tambahan. Penelitian berikutnya juga dapat mempertimbangkan penambahan kontrol terhadap variabel-variabel lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini, seperti pengukuran aktivitas fisik secara objektif dan tingkat aktivitas sosial.

Implikasi dari penelitian ini mencakup potensi pengembangan intervensi untuk meningkatkan kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia. Program-program kesehatan dapat difokuskan pada penerapan strategi pencegahan, seperti pengelolaan tidur yang lebih baik, promosi aktivitas fisik, dan upaya untuk meningkatkan interaksi sosial dalam komunitas lansia. Fisioterapis dan tenaga kesehatan lainnya dapat memainkan peran penting dalam memberikan edukasi dan bimbingan kepada lansia mengenai pentingnya perawatan tidur yang baik.

Generabilitas hasil penelitian ini perlu diinterpretasikan dengan berhati-hati. Meskipun temuan menunjukkan korelasi yang signifikan antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia Desa Guwang, hasil tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan situasi di komunitas lansia lain atau di wilayah geografis yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut yang melibatkan sampel yang lebih besar dan beragam secara geografis untuk mengonfirmasi dan memperluas generalisasi temuan ini. Kesadaran terhadap karakteristik unik setiap populasi lansia dan perbedaan konteks budaya serta lingkungan sangat penting untuk memahami sejauh mana hasil penelitian dapat digeneralkan ke populasi yang lebih luas.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas tidur dan fungsi kognitif pada lansia di Perkumpulan Lansia di Desa Guwang, Sukawati, Gianyar. Temuan ini menunjukkan bahwa kualitas tidur memainkan peran penting dalam menjaga fungsi kognitif pada populasi lansia tersebut. Selain itu, hasil analisis menunjukkan adanya hubungan searah antara kualitas tidur dan fungsi kognitif, di mana semakin baik kualitas tidur, semakin baik pula fungsi kognitif pada lansia. Tingkat korelasi yang sedang antara variabel tersebut memberikan indikasi bahwa perubahan dalam kualitas tidur dapat memengaruhi secara positif fungsi kognitif pada lansia di desa

tersebut. Implikasinya, upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas tidur pada lansia dapat dianggap sebagai strategi yang potensial untuk mendukung kesehatan kognitif mereka.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.     Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia 0 . Vol 1101001. Badan Pusat Statistik; 2022.

  • 2.     Qotifah I. Hubungan Antara Fungsi Kongnitif dengan Kualitas Hidup Pada Nogosari. Published online 2017.

  • 3.    Ramli R, Fadhillah MN. Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif pada Lansia. Wind Nurs J. 2020;01(01):22– 30. doi:10.33096/won.v1i1.21

  • 4.    Reza RR, Berawi K, Karima N, Budiarto A. Fungsi Tidur dalam Manajemen Kesehatan. Majority. 2019;8(2):247– 253.

  • 5.    Lestari YI, Utami I, Budiarsa I, Widyadharma E. Poor Quality of Sleep Correlated With Elderly Cognitive. Present Natl Congr Indones Neurol Assoc. 2015;(August).

  • 6.    Kim M, Um YH, Kim TW, et al. Association Between Age and Sleep Quality:Findings From a Community Health Survey. Sleep Med Res. 2021;12(2):155–160. doi:10.17241/SMR.2021.01158

  • 7.    Li J, Vitiello M V., Gooneratne NS. Sleep in Normal Aging. Sleep Med Clin. 2018;13(1):1–11. doi:10.1016/j.jsmc.2017.09.001

  • 8.    Madrid-Valero JJ, Martínez-Selva JM, Ribeiro do Couto B, Sánchez-Romera JF, Ordoñana JR. Age and gender effects on the prevalence of poor sleep quality in the adult population. Gac Sanit. 2017;31(1):18–22. doi:10.1016/j.gaceta.2016.05.013

  • 9.    Faydali S, Çetinkaya F. The Effect of Aromatherapy on Sleep Quality of Elderly People Residing in a Nursing Home. Holist Nurs Pract. 2018;32(1):8–16. doi:10.1097/HNP.0000000000000244

  • 10.    Pótári A, Ujma PP, Konrad BN, et al. Age-related changes in sleep EEG are attenuated in highly intelligent individuals. Neuroimage. 2017;146:554–560. doi:10.1016/j.neuroimage.2016.09.039

  • 11.    Kuswati A, Sumedi T, Wahyudi. Elderly Empowerment Through The Activities Of Brain Function Cognitive Stimulation Elderly In Mersi Village District Banyumas. Kaos GL Derg. 2020;8(75):147–154. https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798

  • 12.    Alpiah DN, Amallia FR, Kurniati N. Kualitas Tidur dan Fungsi Kognitif pada Lansia. Tunas-Tunas Ris Kesehat. 2022;12(2):311–314. doi:http://dx.doi.org/10.33846/2trik12318

  • 13.    Paramadiva IGY, Suadnyana IAA, Mayun IGN. The Relationship Between Quality of Sleep with Cognitive Function in The Elderly Group of Dharma Sentana in Batubulan. J Kesehat palembang. 2022;17(1):30–36. doi:https://doi.org/10.36086/jpp.v17il

  • 14.    Mander BA, Marks SM, Vogel JW, et al. β-amyloid disrupts human NREM slow waves and related hippocampusdependent memory consolidation. Nat Neurosci. 2015;18(7):1051–1057. doi:10.1038/nn.4035

  • 15.    Pramana IDBKW, Harahap HS. Manfaat kualitas tidur yang baik dalam mencegah demensia pada lansia. Lomb Med J. 2020;1(1):49–52.

  • 16.    Alfarisi R, Artini I, Hermawan D, Febiyola A. Hubungan Kualitas Tidur dan Aktivitas Fisik dengan Fungsi Kognitif pada Lansia di UPTD PSLU Tresna Werdh Natar Lampung Selatan. MAHESA Malahayati Heal Student J. 2022;2(1):144–152. doi:10.33024/mahesa.v2i1.4075

  • 17.    Taillard J, Sagaspe P, Berthomier C, et al. Non-REM sleep characteristics predict early cognitive impairment in an aging population. Front Neurol. 2019;10(March):1–13. doi:10.3389/fneur.2019.00197

  • 18.    Liao H, Liao S, Gao YJ, Mu JP, Wang X, Chen D Sen. Correlation between Sleep Time, Sleep Quality, and Emotional and Cognitive Function in the Elderly. Biomed Res Int. 2022;2022. doi:10.1155/2022/9709536

  • 19.    Palop-Montoro M, Lozano-aguilera E, Arteaga-checa M, Serrano-Huete V, Parraga-Montilla J, Manzano-Sanchez D. Sleep Quality in Older Women: Effects of a Vibration Training Program. Appl Sci. 2020;10:1–14. doi:10.3390/app10238391

  • 20.    Kareri D, Manafe D, Payong M. The Effect of Jacobson’s Progressive Muscular Relaxation on Sleep Quality in Elderly at Budi Agung Social Institution. Indones J Phys Med Rehabil. 2020;9(1):12–18. doi:10.36803/ijpmr.v9i1.252

  • 21.    Ainun H, Ndruru GB, Baeha KY, Sunarti. Pengaruh Terapi Massage Punggung Terhadap Peningkatan Kualitas Tidur Pada Lansia Di Panti Jompo Yayasan Guna Budi Bakti Medan Tahun 2020. J Ilm Keperawatan Imelda. 2020;6(2):93–98. doi:10.52943/jikeperawatan.v6i2.388

  • 22.    Irawani A, Nuryawati L. Pengaruh Brain Gym Lanjut Usia terhadap Fungsi Kognitif pada Lanjut Usia di UPTD Puskesmas Majalengka Kecamatan Majalengka Wetan Kabupaten Majalengka Tahun 2019. J Ilm Indones. 2019;4(10).

  • 23.    Putri P, Dewi T, Purnawati S. Pengaruh Latihan Jalan Tandem Terhadap Fungsi Kognitif Lansia Di Kelompok Lansia Ranting Sukawati. Maj Ilm Fisioter Indones.      2019;7(2):20–23.

doi:https://doi.org/10.24843/MIFI.2019.v07.i02.p05

  • 24.    Janaris SF, Gondodiputro S, Arisanti N. Risk Factors of Dementia in Elderly of Bandung City, Indonesia: A Community-Dwelling Study. Althea Med J. 2020;7(4):216–222. doi:10.15850/amj.v7n4.2150

  • 25.    Hutasuhut AF, Anggraini M, Angnesti R. Analisis Fungsi Kognitif Pada Lansia Ditinjau Dari Jenis Kelamin, Riwayat Pendidikan, Riwayat Penyakit, Aktivitas Fisik, Aktivitas Kognitif, Dan Keterlibatan Sosial. J Psikol Malahayati. 2020;2(1):60–75. doi:10.33024/jpm.v2i1.2428


Karya ini dilisensikan dibawah Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 12, Nomor 1 (2024), Halaman 15-21, Open Access Journal: https://ojs.unud.ac.id/index.php/mifi |21|