E-Jurnal Manajemen, Vol. 10, No. 12, 2021 : 1367-1387         ISSN : 2302-8912

DOI: https://doi.org/10.24843/EJMUNUD.2021.v10.i12.p06

BAGAIMANA HARGA GANJIL MEMBANTU ANDA MEMANFAATKAN KEKUATAN PSIKOLOGI

Rosadalima Tisu1

Selfiana Goetha2

Maria Augustin Lopes Amaral3

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang1,2,3 email: [email protected]

ABSTRAK

Harga adalah satu dari sekian poin penting di pemasaran serta dalam menciptakan nilai pelanggan. Harga Ganjil menjadi satu dari sekian strategi yang dibuat oleh perusahaan untuk membentuk kesan harga murah di benak konsumen. Dilakukannya penelitian ini untuk menyelami relasi antara harga ganjil maupun keterlibatan konsumen tehadap niat untuk beli. Metode pengambilan sampel non-random yaitu convenience sampling digunakan di dalam penelituan ini untuk pengumpulan data. Responden berjumlah 1 12 orang yang berada di Kupang. Kuesioner disebarkan kepada pelanggan yang menggunakan shopee (produk Flash sale) di Kupang. Metode penelitian adalah survei dan data dianalisis dan diinterpretasikan dengan menggunakan Structure Equation Modeling (SEM). Hubungan antara harga ganjil, keterlibatan pelanggan menunjukkan pengaruh positif satu sama lain.

Kata kunci: Harga ganjil, keterlibatan konsumen, niat beli

ABSTRACT

Price is one of the important points in marketing as well as in creating customer value. Odd prices.are..one of the strategies made by companies to form the impression of low prices in the minds of consumers. The goal of this study is to understand the relationship between odd prices and consumer involvement in purchase intentions. Non-random sampling (convenience sampling) was used in this study for data collection. The respondents numbered 1 1 2 people who were in Kupang. Questionnaires were disseminated to customers who used shopee (Flash sale product) in Kupang. The research method is a survey and outcome were analyzed and interpreted using Structure Equation Modeling (SEM). The relationship between odd prices, customer involvement shows positive influence on each other.

Keywords: Odd price, consumer involvement, purchase intention

PENDAHULUAN

Strategi penetapan harga memberikan penggambaran sistematis elemen-elemen yang perlu dikelola bisnis untuk mencapai kinerja yang menguntungkan (Fraccaro & Macé, 2020). Saat membuat keputusan penetapan harga, manajer biasanya menentukan tingkat harga yang memungkinkan mereka menutupi biaya dan mewujudkan margin yang diinginkan (Kienzler & Kowalkowski, 2017). Ketika mereka menentukan harga, mereka secara implisit menetapkan harga akhir, yaitu digit paling kanan dari harga. Digit paling kanan ini penting karena berkontribusi pada margin dan memiliki dampak yang lebih lemah pada tingkat harga daripada digit paling kiri, yang malah dibatasi oleh faktor biaya (Simmons & Schindler, 2003), dan juga memiliki dampak kuat pada volume penjualan (Anderson & Simester, 2003).

Sejak dahulu, harga merupakan salah satu faktor penting dalam menjamin keberlangsungan bisnis suatu produk, antara lain produk berupa barang dan produk berupa jasa. Strategi harga yang tepat, digunakan oleh para pebisnis sebagai salah satu kekuatan persaingan dalam menjual barang yang sejenis. Pelanggan menjadi sensitif atau peka pada harga barang paling sering dibeli, sebaliknya mereka tidak sensitif atapun peka pada harga barang yang paling jarang dibeli (Kotler & Keller, 2012).

Menurut Grewal & Borin (1998) harga menjadi proses keseluruhan pengorbanan keseluruhan yang dibuat konsumen demi mendapatkan produk/jasa tertentu. Pengorbanan bisa berupa uang yang dikeluarkan untuk pemasar agar bisa memperoleh produk tersebut, serta pengorbanan lain berupa biaya untuk transportasi, pajak, biaya pengiriman produk/jasa, dan lain sebagainya.

Penentuan harga psikologi atau dengan menggunakan harga ganjil seperti Rp. 2.999, dengan harga sebenarnya yang ingin ditetapkan perusahaan adalah Rp. 3.000. Hal tersebut karena harga Rp. 2.999 berada pada rentang harga 2000, sehingga menciptakan kesan murah, atau kesan bahwa barang tersebut sedang mendapat diskon.

Literatur melaporkan tiga praktik akhir harga utama (Ngobo et al., 2010): penetapan harga ganjil (misalnya Rp1999 atau Rp1285), penetapan harga genap (misalnya Rp2000 atau Rp40.000), dan akhiran “lainnya” (misalnya Rp 2100 atau Rp37000). Penetapan harga ganjil, biasanya didefinisikan sebagai "praktik menyatakan harga sehingga akhirnya (yaitu angka paling kanannya) menyebabkannya jatuh tepat di bawah angka bulatan" (Schindler, 2001), sebagian besar telah diperiksa khusus produk/jasa konsumen yang cepat perputarannya dengan harga di bawah Rp1.000.000 (Schindler & Kirby, 1997; Harris & Bray, 2007; Ngobo et al. 2010; ) Teknik penetapan harga ganjil terdiri dari praktik harga ganjil atau angka sembilan seperti 1999 atau 199.999 sembilan akhir tetapi tidak secara eksklusif, karena harga yang berakhiran 90 atau 95 (misalnya 195.000 atau 190.000) dapat juga dianggap sebagai harga ganjil..

Selain perusahaan retail, marketplace di Indonesia juga menggunakan harga psikologis sebagai strategi dalam menarik minat pembeli salah satunya adalah Shopee. Shopee di Indonesia berdiri sejak tahun 2015 dengan pusat perusahaannya berada pada Singapura, sejak berdirinya sampai sekarang shopee

merupakan satu dari banyak marketplace di Indonesia dengan pengembangan pasar terbesar di Indonesia. Terlebih pada situasi pandemi Covid - 19 masyarakat lebih merasa aman apabila membeli produk melalui marketplace daripada pergi langsung ke toko, supermarket dan ritel- ritel.

Penelitian kami bertujuan agar memberikan pengertian dan pemahaman yang baik tentang kekuatan persuasif dari harga ganjil dengan mengidentifikasi faktor-faktor individu (Harris & Bray, 2007) kami mengusulkan bahwa konsumen dapat secara sadar atau tidak sadar menggunakan harga akhir 99 dalam memepengaruhi proses keputusan mereka untuk membeli atau tidak produk tersebut.

Ketika konsumen mencari informasi tentang sebuah produk, beberapa konsumen akan tertarik untuk mengetahui sebanyak mungkin dan sangat memperhatikan beberapa jenis, kualitas, manfaat dan merek produk yang sejenis. Informasi bisa diperoleh dari berbagai sumber yang ada. Dari yang jual produk tersebut, mencari tahu dari mesin pencarian, atau bahkan dari pengalaman orang yang pernah menggunakan produk tersebut. Hal ini terkait dengan keterlibatan konsumen dimana konsumen yang mempersepsikan suatu produk dikatakan lebih penting terlibat secara pribadi (Sridhar, 2007). Konsumen yang memiliki keterlibatan tinggi akan termotivasi untuk mengambil keputusan yang tepat, meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan. Seperti membeli baju kekinian, ketika konsumen mencari informasi terkait baju kekinian, dilihat dari segi harga, kualitas, manfaat, risiko, layak atau tidaknya baju tersebut dengan diri mereka, bahkan mereka menelaah dari aspek psikologis, budaya, gaya hidup serta sistem sosial. Jika sesuai dengan persepsi mereka maka tentu mereka akan yakin untuk membeli produk tersebut. Namun produk dan layanan yang sama belum tentu semua individu melihat keterlibatan konsumen memiliki level yang sama, tidak semua konsumen menganggap produk misalkan kategori makanan, pakaian memiliki keterlibatan yang rendah, ada beberapa konsumen yang menganggap pemilihan kategori Makanan dan pakaian merupakan keterlibatan yang tinggi.

Gore et al. (1995) melakukan penelitian tentang keterlibatan konsumen dalam pembelian produk tanpa tahu informasi terkait produk, dimana hasil penelitiannya menggambarkan tingginya keterlibatan konsumen dalam pencarian informasi dan evaluasi terhadap merek atau kualitas dari produk yang mereka butuhkan. Konsumen beralih ke berbagai sumber informasi untuk membantu memecahkan masalah yang terkait dengan penggunaan produk tertentu (contoh konsumen mencari tahu penggunaan skincare abal-abal, bahan-bahan apa yang digunakan untuk membuat skincare tersebut) Jika ditemukan risiko penggunaan skincare tersebut besar maka mereka memutuskan untuk tidak membeli produk tersebut. Hal ini berlaku untuk produk lain. Untuk menentukan produk yang paling sesuai dengan kondisinya, konsumen bergantung pada sumber informasi berikut (Gore et al. 1995) seperti iklan, sumber umum dan sumber orang. Secara umum, sebagian besar konsumen mendapatkan informasi tentang suatu produk dari sumber komersial, sumber semacam itu didominasi oleh pemasar. Namun informasi yang paling efektif diperoleh dari sumber tersebut karena kelebihannya dibandingkan dengan sumber informasi lainnya adalah membantu konsumen memahami informasi yang berkaitan dengan produk dengan penjelasan biasa,

evaluasi dan individualisasi informasi yang bersangkutan (Gore et al. 1995; Kotler et al. 2007)

Pada masa pandemi covid-19, masyarakat Kota Kupang lebih merasa aman membeli produk pada marketplace, selain untuk menghindari kerumunan karena sistem belanja berbasis online, berbelanja pada marketplace juga lebih menghemat tenaga dan transportasi. Salah satu marketplace yang menjadi kepercayaan masyarakat Kota Kupang adalah Shopee. Pada penelitian ini, tim peneliti mengangkat beberapa faktor yang membuat konsumen melakukan pembelian pada flash shale shoppe terkhususnya faktor harga psikologis (odd price) dan consumer involvement.

Berdasarkan penguraian yang dibuat di atas maka tim peneliti tergiring untuk membuat penelitian terkait akan pengaruh odd price dan consumer involvement terhadap purchase intention produk Flash Sale Shopee.

Harga ganjil didefinisikan sebagai Akhiran angka ganjil yang menyampaikan kesan diskon atau harga murah (Ghali-Zinoubi & Toukabri, 2019). Tingkat harga ganjil atau harga dengan akhiran 99 membuat konsumen peka terhadap pembelian produk tersebut (Breton, 2011). Penelitian sebelumnya menunjukkan informasi baru bahwa harga dengan akhiran ganjil meningkatkan penjualan bagi perusahaan. Namun untuk merek premium konsumen cenderung tidak telalu peka terhadap harga ganjil (Macé, 2012; Ngobo et al. 2010). Konsumen menganggap bahwa angka dengan akhiran ganjil seperti contoh 99 cenderung murah daripada harga dengan akhiran 0. Konsumen cenderung membulatkan angka ke kiri daripada ke kanan (Thomas & Morwitz, 2005). Jika konsumen yang sangat sadar harga cenderung memilih akhiran 99, efek ini akan lebih tinggi saat mereka dihadapkan pada harga Rp 11 .999 daripada dalam kasus harga Rp 11.099. Memang, harga dengan beberapa angka "9" harus menyampaikan citra “penawaran bagus” yang lebih kuat daripada barang yang menampilkan lebih sedikit angka "9" (Schindler, 2001). Peneliti meengasumsikan bahwa semakin ganjil harga sebuah produk yang ditawarkan oleh pemasar kepada konsumen maka akan mempengaruhi konsumen untuk membeli produk tersebut. Karena persepsi konsumen tentang harga ganjil menawarkan harga yang lebih murah, pembulatan yang dibuat oleh konsumen adalah ke kiri. Semakin banyak angka 9 di dalam harga semakin tinggi juga niat konsumen untuk membeli, hal ini dikarenakan persepsi yang dibentuk tentang harga ganjil adalah harga yang murah. Pemasar menggunakan konsep ini untuk menarik niat beli konsumen terhadap produk tersebut. Harga ganjil juga diberlakukan pada produk luxury dan niat beli menjadi tinggi (Aiello et al. 2018)

H1: Ood Price berpengaruh positif signifikan terhadap Purchase Intention

Consumer Involvement atau Keterlibatan secara sederhana diartikan sebagai jumlah banyaknya durasi dan energi yang diperlukan oleh konsumen untuk mencarian penjelasan, ulasan dalam reaksi keputusan (Kautsar et al. 2012). Melihat definisi tersebut maka peneliti mengasumsikan bahwa semakin tinggi keterlibatan konsumen akan mempengaruhi niat untuk membeli. Artinya konsumen mencari tahu sebelum melakukan pembelian dari segi harga, kualitas, tampilan dan kegunaan produk tersebut. Keterlibatan konsumen terkait terhadap perilaku konsumen, salah satunya adalah proses purchase intention. Keterlibatan

dalam proses membawa niat untuk membeli konsumen pada pencarian penjelasan dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendapatkan hak pilihan (Tirmizi, 2009; Bloch et al. 2009; Kautsar et al. 2012). Pengukuran keterlibatan konsumen merupakan ukuran dari keterlibatan tinggi dan rendah. Konsumen dengan keterlibatan tinggi harus lebih tertarik untuk mendapatkan informasi tentang produk daripada konsumen dengan keterlibatan rendah. Selain mengevaluasi alternatif untuk produk kompetitif karena konsumen sangat terlibat dalam pencarian informasi yang relevan. Konsumen dengan keterlibatan yang tinggi juga akan merasakan perbedaan antar merek lebih besar dari pada konsumen dengan keterlibatan rendah, yang dapat dianggap memiliki merek yang paling disukai dalam kategori produk(Nia & Zaichkowsky, 2000; Gore et al. 1995).

H2: Consumer Involvement berpengaruh positif signifikan atas Purchase Intention

Gambar 1. Model dalam Penelitian

Sumber: Tjiptodjojo (2012) dan Kautsar et al. (2012)

Hipotesis:

H1: Odd price berpengaruh positif signifikan terhadap Purchase Intention

H2: Consumer involvement berpengaruh positif signifikan terhadap Purchase Intention

METODE PENELITIAN

Deskriptif kuantitatif menjadi jenis ulasan yang dipasangkan dalam penelitian ini dan hendak tergarap saat satu periode waktu (cross sectional design). Bukti dikumpulkan oleh tim peneliti lewat teknik peninjauan kuesioner yang dibagikan untuk responden yang terekam melalui pernyataan terstruktur dengan balasan yang sederhana dan dimengerti. Hasil yang diperoleh dari survei kuesioner kemudian tergarap dengan menggunakan metode statistik menggunakan teknik penyelidikan Structural Equation Model (SEM) menggunakan software

AMOS 24. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kupang dengan banyaknya penduduk kurang lebih 446.193 orang di tahun 2020 menurut bukti Badan Pusat Statistik Kupang. Penelitian ini memiliki variabel eksogen yaitu ood price (X1) serta consumer involvement (X2), untuk penelitian ini yang menjadi variabel endogen ialah purchase intention (Y). Seluruh masyarakat kota Kupang yang menggunakan aplikasi Shopee merupakan populasi penelitian. Convenience sampling adalah teknik pemilihan sampel yang dipakai. Banyaknya sampel yang akan diaplikasikan dan dipilih di penelitian ini mengikuti arahan Hair et al. (2019), paling sedikit untuk sampel mempunyai sekurang-kurangnya lima kali lebih dari perhitungan sebagai jumlah variabel yang menjadi analisi tim peneliti, dan untuk kelebihan sampel yang ada dapat diperoleh. Dalam penelitian ini diperoleh 3 variabel antara lain yang ada dalam 14 indikator. Proses perhitungan sebagai berikut.

Besaran sampel = 14 indikator x 8

Besaran sampel = 112 orang

Sampel yang diperhitungkan jumlahnya sebanyak 112 orang, SEM (structural equation modeling) menjadi model dalam penelitian ini, dan menggunakan estimasi Maximum Likelihood Estimation (MLE) sarannya adalah sampel potensial di bawah 300.

Data diolah menggunakan SEM, perangkat lunak komputer yang dibutuhkan dalam SEM dimana dalam penelitian ini, peneliti menggunakan AMOS versi 24. Diperoleh dua irisan utama pada model SEM adalah model struktural serta model pengukuran. Pengukuran model atau Measurement model adalah fragmen dari SEM dimana melukiskan pengaruh dan tautan diantara variabel tidak terukur dengan semua variabel terukurnya. Sementara itu model persamaan struktural atau structural model melukiskan tautan antara semua variabel tidak terukur atau antara variabel yang memberikan anak panah serta variabel laten (Wijanto, 2008).

Ada tiga variabel laten dalam penelitian ini yaitu ood price, consumer involvement, purchase intention. Dalam model terdapat variabel eksogen atau sebagai variabel bebas (independent) pada pertepatan atau persamaan dalam model. Variabel eksogen di dalam penelitian ini yaitu odd price dan consumer involvement. Selanjutnya variabel endogen ialah variabel dependent, sekurang-kurangnya satu persamaan di model. Variabel endogen penelitian ini adalah purchase intention.

Berikutnya observed variabel atau disebut dengan variabel-variabel yang bisa diamati diartikan sebagai indikator atau indeks. Ukuran dari variabel laten disebut variabel teramati. Survei menggunakan angket, semua pertanyaan pada angket menunjukkan variabel teramati sehingga di penelitian ini diperoleh 14 variabel teramati dikarenakan ada 14 pertanyaan terukur.

Model struktural melukiskan hubungan antar sesama variabel laten. Akan halnya structural model dalam penelitian ini yaitu

Gambar 2. Model Persamaan Struktural

Sumber: Dikembangkan oleh peneliti

Penelitian ini mempunyai tiga model pengukuran mengikuti variabel yang dihitung (diukur) antara lain model pengukuran odd price, consumer involvement dan purchase intention.

Model odd price mencakup empat pernyataan yang mewujudkan model first confirmatory factor analysis (1st CFA), dengan satu variabel laten yakni odd price. Empat indikator pernyataan Variabel laten OP terdapat dalam penelitian ini. Sesuai dengan definisi operasional variabel di Tabel 1. sehingga dibikin model pengukuran odd price sebagai halnya.

Gambar 3. Structural Model Odd Price

Sumber: Diluaskan oleh peneliti

Empat pernyataan dalam model consumer involvement ialah model first confirmatory factor analysis (1st CFA), diperoleh satu variabel laten antara lain

consumer involvement. Variabel laten CI terdapat empat indikator pernyataan. Sejalan dengan definisi operasional variabel pada tabel 1 sehingga model pengukuran consumer involvement yang dibuat adalah sebagai berikut.

Gambar 4. Structural Model Consumer Involvemet

Sumber: Diluaskan oleh peneliti

Purchase intention model mempunyai enam pernyataan yang menjadi model first confirmatory factor analysis (1st CFA), terdapat satu variabel laten antara lain purchase intention. Variabel laten PI memperoleh empat indikator pernyataan. Menurut definisi operasional variabel di tabel 1. Sehingga dibuatkan structural model purchase intention sebagai berikut.

Gambar 5. Structural Model Purchase Intention

Sumber: Diluaskan oleh peneliti

Tabel 1.

Operasional Variabel

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Skala

Odd Price (OP)

Akhiran angka ganjil yang menyampaikan kesan diskon atau harga murah (Ghali-Zinoubi &

Toukabri, 2019)

OP1: Saya melihat harga dari kiri ke kanan

OP2: Saya merasa punya keterbatasan dalam mengingat harga ganjil

Likert 1-7

OP3: harga ganjil menunjukkan kualitas yang sedang

OP4: Menurut saya harga ganjil sebagai pengurangan, diskon atau harga yang rendah

(Monroe, 2007)

Consumer

Keuntungan

CI1: Saya tertarik

Likert

Involvement (CI)

perseorangan yang dinikmati individu atau minat yang ditumbuhkan oleh rangsangan di dalam kondisi khusus sehingga mendorong pengambilan keputusan (Nurtjahjanti, 2012)

menggunakan produk dari shopee

CI2: Saya menemukan produk shopee yang menyenangkan CI3: Produk yang saya beli menggambarkan selera saya

CI4: Bukan masalah besar jika saya melakukan kesalahan dalam memilih produk shopee (Nurtjahjanti, 2012)

1-7

Lanjutan Tabel 1.

Variabel             Definisi

Alat Ukur            Skala

Purchase     Keputusan pembelian

Intention (PI)    merupakan masa atau

tahapan penetapan keputusan dan perilaku individu yang terjun dalam pembelanjaan dan menggunakan produk (Sangadji & Sopiah, 2013)

PI1:  saya merasa         Likert

yakin memilih produk          1-7

Shopee      untuk

berbelanja

PI2:   saya   yakin

dengan    manfaat

layanan      yang

diberikan oleh Shopee PI3:   saya  sudah

terbiasa menggunakan Shopee ketika ingin membeli produk

PI4:   Saya   telah

merasakan kualitas pelayanan Shopee sebelumnya

PI5:           saya

merekomendasikan

Shopee agar orang lain juga  merasakakan

kepuasan yang sama PI6: saya selalu menggunakan Shopee karena keinginan saya dapat dipenuhi.(Sangadji &

Sopiah, 2013)

Sumber: Penelitian Sebelumnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berbagai profil responden akan mewakili secara menyeluruh menuruti gender, umur, tingkat pendidikan terakhir, dan lain sebagainya.

Menuruti hasil dari analisis karakteristik responden menurut jenis kelamin, hasil dijabarkan sebagai berikut.

Tabel 2.

Profil Responden

Uraian

Jumlah

Presentase (%)

Jenis Kelamin

Pria

31

27,7%

Wanita

81

72,3%

Usia

17-24 tahun

79

70,6%

25-30 tahun

25

22,3%

> 30

8

7,1%

Pendidikan Terakhir

Diploma

3

2,7%

S1

27

24,1%

Bersambung…

Lanjutan Tabel 2.

Uraian

Jumlah

Presentase (%)

S2/S3

18

16%

Lainnya

Lama Waktu Menggunakan Shopee

4

3,6%

< 1 tahun

34

30,3%

1-5 tahun

62

55,4%

> 5 tahun

Belanja dalam Sebulan di

Shopee

16

14,3%

< 2 kali

4

3,6%

2-5 kali

85

75,9%

> 5

23

20,5%

Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2021

Data pada Tabel 2. menggambarkan jenis kelamin perempuan lebih banyak dengan jumlah 81 orang atau 72,3%, sementara itu responden gender laki-laki terdata 31 orang atau 27,7%. Artinya bahwa responden yang ikut serta dalam pengisian kuesioner menurut jenis kelamin didominasi perempuan. Responden dengan rentang usia 17-24 tahun yang paling banyak yaitu 79 orang atau 70,6%, Hal ini menentukan bahwa responden yang ikut serta dalam pengisian kuesioner menurut umur yaitu kebanyakan dari umur 17-24 tahun. Responden dengan pendidikan formal terakhir SMA/SMK/Sederajat yang ditunjukkan pada tabel 2. paling didominasi diantara pendidikan formal lainnya yaitu sebanyak 60 orang atau 53,6%, urutan berikutnya adalah pendidikan formal terakhir S1 yaitu sejumlah 27 orang atau sejumlah 24,1%, lalu per tingkat pendidikan terakhir S2/S3 responden terdata 18 orang atau sejumlah 16%, selanjutnya adalah Lainnya (bisa terdiri dari tamatan SD,SMP, dan lain sebagainya) sebanyak 4 orang atau sejumlah 3,6% sementara itu, responden yang paling sedikit adalah responden dengan pendidikan formal terakhir diploma yakni 3 orang atau 2,7%. Hal ini menunjukan bahwa responden yang ikut serta dalam pengisisian kuesioner berdasarkan pendidikan formal terakhir yaitu SMA/SMK/Sederajat. Responden dengan lama waktu menggunakan Shopee yang ditunjukkan di Tabel 5. terbanyak adalah dari range 1 sampai 5 tahun yaitu sebanyak 62 orang atau 55,4%, melainkan, responden yang setidak-tidaknya adalah responden dengan lama waktu lebih dari lima tahun sejumlah 16 orang atau 14,3%. Hal ini menunjukan bahwa responden yang ikut serta dalam pengisisian kuesioner menurut lama waktu menggunakan Shopee yaitu dari penggunakan Shopee 1-5 tahun. Artinya bahwa sudah banyak orang yang menggunakan marketplace Shopee untuk berlanja. Dari 112 orang responden yang menjawab kuesioner yang sudah dibagikan sebanyak 78 orang yang sudah menggunakan lebih dari dua tahun. Responden dengan banyaknya belanja dalam sebulan di Shopee yang paling mendominasi adalah dari range 2 sampai 5 kali yaitu sebanyak 85 orang atau 75,9%, selanjutnya dari range lebih besar dari 5 kali dengan jumlah 23 orang atau sebesar 20,5%. Sementara itu, responden sekurang-kurangnya adalah responden dengan lama waktu kurang dari 2 kali yakni 4 orang atau 3,6%. Hal ini menunjukan bahwa responden yang berpartisipasi dalam pengisisian kuesioner berdasarkan belanja dalam sebulan di Shopee yaitu dari penggunakan Shopee 2-5 kali. Hal ini menunjukkan bahwa

konsumen Shopee mulai menyukai belanja online yang diterapkan oleh Shopee bisa terlihat dalam sebulan responden melakukan belanja antara range 2-5 kali. Bisa diperkirakan dalam setahun bisa melakukan pembelian kurang lebih ratusan bahkan ribuan kali. Karena dari data sudah menunjukkan 85 orang melakukan pembelian sebanyak 2-5 kali.

Tabel 3.

Pre-test Uji.Validitas

Unobserved

Variable

Indikator

.KMO .

.SIG .

.MSA .

Factor

.

loadin g

Cronbach’ s alpha

Keteranga n

.Syarat.Nilai.

<0,0

>0,6

>0,5

5

>0,5

≥0,5

Terbukti

Odd Price       OP1

0,791

0,702

Terbukti

OP2

0,792

0,853

Terbukti

(OP)            OP3

0,763

0,000

0,751

0,810

0,796

Terbukti

OP4

0,801

0,780

Terbukti

Consumer       CI1

0,775

0,000

0,824

0,783

Terbukti

Involvement (CI)  CI2

0,752

0,825

Terbukti

CI3

0,740

0,851

0,822

Terbukti

CI4

0,805

0,778

Terbukti

Purchase.Intentio PI1

0,926

0,865

Terbukti

n                PI2

0,923

.0,000

0,920

0,886

Terbukti

(PI)                PI3

0,905

0,905

Terbukti

PI4

0,948

0,839

0,939

Terbukti

PI5

0,923

0,886

Terbukti

PI6

0,919

0,879

Terbukti

Sumber: Hasil data Primer yang diolah, 2021

Uji Validitas pada 30 responden di Tabel 3. menggunakan uji validitas melalui pengkajian aspek pada pandangan pre-test dengan menguraikan taksir keiser meyer olkin (KMO), signifikansi, anti image matrices (MSA) dan factor loading. Akhirnya bisa dikatakan bahwa semua item pernyataan dalam angket dari 3 variabel tersebut mampu menafsirkan dari masing-masing variabel laten, data yang terkumpul untuk pre-test adalah sebanyak 30 dari 112 responden.

Pada Tabel 3. menunjukkan uji realibilitas pre-test sebanyak 30 responden. Uji reliabilitas dijalankan untuk menakar kesesuaian dan reliabilitas variabel terukur semua ungkapan dalam angket akan variabelnya. Hasil tim peneliti peroleh melalui patokan hasil cronbach’s alpha ≥ 0,60 lalu, pernyataan dalam angket diakui terbukti, konsitan, dan bermakna atas variabel (Maholtra, 2010).

Cronbach’s alpha ≥ 0.60 yang dimiliki oleh variabel odd price, purchase intention dan consumer involvement. Hasil ini menunjukkan bahwa elemen pernyataan dalam angket dikasih ke responden yang homogeny dan heterogen, hasil yang diperoleh condong pasti dan konstan. Konstan artinya jika diberikan

kepada responden akan konsisten menjawab ketika berhadapan dengan variabel tersebut.

Tabel 4.

Hasil Validitas dan Reliabilitas

Variabel

Factor Loading

CR

AVE

Odd Price

(OD)

OD1

0,588

OD2

0,797

OD3

0,740

0,801

0,504

OD4

0,699

Consumer

.Involvement.

(CI)

CI1

0,639

CI2

0,804

0,824

0,542

CI3

0,812

CI4

0,673

Purchase Intention

(PI)

PI1

0,836

PI2

0,856

PI3

0,896

0,940

0,723

PI4

0,790

PI5

0,863

PI6

0,856

Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2021 dengan AMOS 24

Hair et al. (2010) menyampaikan bahwa reabilitas yang dipakai saat pengukuran untuk SEM dapat dibuat dengan menggunakan construct reliability measure serta variance extract measure. Untuk SEM saat menghitung construct reliability dan variance extracted bisa dilaksanakan dengan melihat besaran factor loading (nilai standart loading) serta menghitung mengikuti instruktur sesuai dengan rumus berikut:

(εStandard Loading)2

Construct Reability =                    ………………..(1)

(εStandard Loading)2+εEj

(εStandard Loading)2

(εStandard Loading)2+εEJ


(2)


Variance Extract =

Keterangan:

Setiap Standard Loading pada rumus diatas diperoleh dari standardized loading untuk setiap indikator yang didapat dari hasil perhitungan AMOS.

Penjelasan untuk Ej adalah measurement error dari setiap indikator.

Measurement error dapat diperoleh dari perhitungan (1 – standard loading).

Sesuai ketentuan untuk memperoleh Standard loading diperoleh standardize loading bagi setiap variabel terukur yang diperoleh dari hasil akumulasi menggunakan AMOS. Measurement error berperan dari setiap indikator disebut Ej. Measurement error didapatkan dari taksiran (1 dikurangkan dengan standard loading).

Dari Tabel 4. menentukan hasil validitas dan reliabilitas memastikan bahwa hampir semua variabel kriterianya terpenuhi sesuai dengan yang ditetapkan Factor Loading ≥ 0,50; Construct Realibility ≥ 0,70; Variance Extracted ≥ 0,50.

SEM memastikan bahwa statistik perputaran.normal.atau bisa diibaratkan data perputaran.normal. Jika data perputarannya abnormal, sehingga perolehan analisis ditakutkan mengalami distorsi.

Tabel 5.

Normalitas.Data

Variabel

Min

Max

Skew

c.r

Kurtosis

c.r.

PI1

2,000

7,000

-0,954

-4,122

0,320

0,691

PI2

3,000

7,000

-0,767

-3,314

-0,523

-1,130

PI4

2,000

7,000

-1,246

-5,381

1,304

2,818

PI5

2,000

7,000

-1,091

-4,713

0,860

1,859

PI6

2,000

7,000

-1,165

-5,035

0,795

1,718

CI1

4,000

7,000

-0,815

-3,521

0,020

0,044

CI2

4,000

7,000

-0,945

-4,081

-0,161

-0,347

CI3

3,000

7,000

-0,624

-2,696

-0,643

-1,389

CI4

4,000

7,000

-0,537

-2,319

-0,934

-2,019

OP1

4,000

7,000

-1,072

-4,633

-0,058

-0,125

OP2

4,000

7,000

-0,220

-0,949

-1,236

-2,669

OP3

4,000

7,000

0,024

0,102

-1,196

-2,583

OP4

4,000

7,000

-0,220

-0,949

-1,236

-2,669

Multivariate

38,168

9,542

Sumber: Hasil pengolahan data primer dengan AMOS 24

Pendapat Santoso (2012) mengatakan bahwa perputaran disebut normal bilamana angka cr..skewness posisinya sela-sela -2,58 hingga +2,58, namun bilamana angka tersebut berada di atas maupun di bawah angka yang ditentukan maka data ditafsirkan tidak normal.

Pada tabel 5, terlihat secara per variabel data dianggap tidak normal karena nilai cr skewness berada diantara -5,381 sampai 0,102 sedangkan nilai cr kurtosis berada diantara -1,236 sampai 1,3044. Secara menyelurut (multivariate) data ditafsirkan tidak normal karena nilai multivariate 9,542.

Percobaan ini dibuat dengan melihat taksiran dari selisih mahalanobis. Bilamana d-squared lebih kecil lalu belum tersampainya outlier. Penilaian akut dari tabel Chi-Square dimana probabilitas 14 dan α menunjukkan angka 0,01 maka jumlahnya sebesar 29,141. Semua nilai mahalanobis d-squared pada penelitian ini menampakkan nilai belum mencapai dari nilai chi-squared 122,710, hasilnya, multivarite outlier belum dibuktikan di data penelitian ini.

Uji Kecocokan didefinisikan sebagai tata cara perkiraan Maximum likelihood untuk tahu bahwa kerangka efektif perkiraan, untuk berikutnya dibuat perbandingan matriks varian kovarians sampel bersama dengan matriks kovarians estimasi, tes perbandingan ini disebutkan dengan tes kesesuaian. Tampak tiga ukuran goodness of fit yaitu Absolut fit indicates, indeks kesesuaian relatif, dan parsimonious fit indicates. Berikut ini menggambarkan hasil goodness of fit yang sudah diolah menggunakan SEM dengan memakai perangkat AMOS 24.

Tabel 6.

Hasil Penelitian Indeks Goodness of Fit

Uji Kelayakan

Kriteria

Hasil

Kesimpulan.

Absolute.Fit.Measure

Statistk Chi Square

Nilai.yang.kecil (lebih

122,720

Tidak Cocok

(X2)P

kecil dari X2)

P> 0,05.

RMSEA

RMSEA.≤.0,08

0,076

Cocok

Good.fit

CMIN/df

CMIN/df ≤5,00

1,636

Cocok

Good.fit

Incremental.Fit.Measure

CFI

Good fit bilamana

.0,951.

Cocok

CFI≥.0.90

0,80 ≤ CFI ≤ 0,90

(Marginal..fit)

Poor fit jika

CFI ≤.0,80

TLI

TLI >0,90..(Good fit)

.0,940.

Cocok

Sumber: Hasil.data.primer diolah dengan.AMOS.24

Tabel 6. Memberi gambaran bahwa 5 patokan goodness of fit antara lain Chi Square, RMSEA, CMIN/df, CFI, TLI menentukan satu ukuran dengan tolak ukur poor fit dan empat lainnya menunjukkan kecocokan. Pendapat Hair et al. (2010) bila terdapat beberapa ukuran yang sudah cocok maka model dinyatakan cocok, kemudian model dalam penelitian ini dinyatakan fit.

Tujuan analisis Chi Square adalah memajukan dan membuktikan sebuah model cocok sama data atau tidak cocok. Chi Square sangat peka jika berhadapan dengan sampel yang berjumlah sedikit dan yang berjumlah banyak. Maka dari itu tes ini hendaklah ditelusuri dengan alat uji yang tersedia lainnya. nilai peluang Chi-squares ≥ 0.05 menggambarkan data tinjau sejenis disamakan dengan teori atau model. Berdasarkan hasil yang diperoleh di tabel 6. Chi square menunjukkan tidak fit.

RMSEA merupakan barometer yang berusaha untuk membenarkan kebenaran statistik chi ssquare saat model ditolak dengan ukuran responden penelian yang banyak. Nilai RMSEA sela-sela 0,05 dan 0,08 mencatat indeks yang baik dapat menerima persamaan model. Pada tabel 6. Menunjukkan RMSEA yang goodfit sebesar 0,076.

CMIN/df yang ditunjukkan pada tabel 6. sebesar 1,636 artinya good fit. Nilai X2 dapat dianalogikan dengan degrees of freedom (df) dalam penerimaan

nilai X2 relatif hingga nilai X2 relatif tinggi menggambarkan terdapat jenis yang signifikan antara matriks kovarians yang diamati serta diperkirakan.

CFI merupakan indikator persamaan inkremental. Ukuran indikator merupakan rentang 0 hingga 1 dan nilai yang mengarah 1 membuktikan bahwa model punya persamaan yang bagus. Indikator ini tidak peka dengan banyaknya sampel dan tidak terlalu dikaitkan dengan kesulitan model. Nilai penerimaan yang diusulkan adalah CFI lebih kecil dari 0,90. CFI dalam penelitian ini adalah 0,95 1 dinilai good fit.

TLI merupakan indikator persamaan inkremental perbandingan antara model yang dites dengan model dasar acuan. TLI dipakai sebagai penyeimbang keadaan yang muncul karena kerumitan model. Nilai yang diterima sesuai dengan usulan yaitu nilai TLI lebih besar dari 0,90. TLI menjadi indikator yang tidak terlalu ditentukan oleh besaran sampel. TLI di penelitian adalah 0,940 dinilai good fit atau cocok dengan model.

Perbandingan indeks dalam penelitian ini sudah sesuai dengan nilai-nilai yang diusulkan (Bagozzi & Yi, 1988) menunjukkan model yang sama dengan ketentuan (CFI= 0,951, Cmin/df= 1,636, RMSEA= 0,076) menggambarkan good fit. Sehingga dinilai fit model menurut hasil penelitian.

Structural Model yang dikenakan menunjukkan hubungan hipotesis dalam model penelitian yang direkomendasikan dites dan dianalisis. Seperti terlihat pada gambar 2, model struktural menghasilkan nilai Chi-square 122,720 dengan 75 derajat kebebasan (p/0,000).

Gambar 6. Stuktural Model

Sumber: data diolah dengan AMOS 24

Tabel 7.

Kajian Hubungan Antar Konstruk

Hipotesis Estimasi S.E C.R     P.     Kesimpulan

PI <--- OP      0,056   0,126   0,434   0,058   Hipotesis 1 diterima

PI <--- CI       1,558   0,232   6,712   0,000   Hipotesis 2.diterima

Sumber: Hasil pengolahan data primer dengan AMOS 24

Sesuai dengan hasil olah data, odd price secara positif terkait dengan purchase intention. H1 diperoleh nilai estimasi 0,056 dan nilai P lebih kecil dari 0,05 dengan demikian pengaruh antara ood price dan purchase intention positif signifikan dan hipotesis diterima. H1 mempunyai hasil yaitu dengan menggunakan harga ganjil (odd price) merupakan satu dari banyak gaya yang benar secara kognitif merajai pelanggan untuk berkeinginan bahwa price yang diajukan lebih kecil dari harga sebenarnya. Penelitian ini didominasi oleh responden wanita sebanyak 81 orang dan berusia 17-24 tahun sebanyak 79 orang menunjukkan bahwa niat beli mereka bertambah ketika berhadapan dengan harga ganjil. Responden wanita cenderung peka terhadap harga. Wanita membulatkan harga ke kiri sehingga harga ganjil dianggap murah dibandingkan dengan harga sebenarnya. Berdasarkan hasil dari pengujian data untuk hipotesis kedua diperoleh nilai estimasi 1,558 dan probabilitas lebih kecil dari 0,05 dengan demikian pengaruh antara consumer involvement terhadap purchase intention positif signifikan dan hipotesis dua diterima. Dalam penelitian ini, produk yang paling sering di beli pada saat flash sale Shopee adalah produk fashion dengan presentase sebesar 78,6%. Pengambilan keputusan pembelian produk flash sale di marketplace Shopee dapat dipengaruhi oleh keterlibatan konsumen. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumen pada dalam penelitian ini rata-rata didominasi oleh konsumen yang sudah lebih dari 1 tahun menggunakan marketplace Shopee artinya mereka terlibat dengan setiap produk yang ada di dalam marketplace tersebut. Tertarik untuk menggunakan produk, merasa senang dengan produk flash sale, produk flash sale menggambarkan selera konsumen dan tentu konsumen tidak mempermasalahkan jika salah dalam memilik produk flash sale.. Menurut (Kotler & Keller, 2016) salah satu tahapan dalam keputusan pembelian adalah pencarian informasi. Dimana seiring dengan meningkatnya partisipasi, konsumen memproses informasi lebih jauh dan dengan melambungnya keterlibatan, konsumen memiliki dorongan yang lebih tinggi untuk mengamati, mengerti, dan menggeraikan informasi yang diperlukan terkait produk (Ngobo et al. 2010; Rahman, 2018), sehingga meminimalkan risiko efek samping yang tidak diinginkan dari produk yang memiliki harga miring seperti harga ganjil apalagi dalam penelitian ini didominasi oleh generasi Y dan generasi Z yang konon peka terhadap pencarian informasi terkait produk, harga dan kualitas. Motivasi yang terbentuk ini akan sejalan dengan keinginan konsumen untuk memutuskan membeli suatu produk apalagi di bidang fashion. Jika ditelaah dari segi pekerjaan responden mayoritas adalah pelajar dimana seperti yang kita tahu bahwa usia pelajar cenderung memiliki tingkat keterlibatan produk yang tinggi, artinya bahwa mereka sering mencari tahu sesuatu terlebih dahulu dan merasa menjadi bagian dari diri konsumen otomatis akan meningkatkan niat beli termasuk dalam membeli produk dengan harga ganjil.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menjelaskan tentang fenomena munculnya niat beli produk dengan harga ganjil dan keterlibatan pelanggan. Setelah dilakukan analisis data menggunakan Structural Equation Model-AMOS, diketahui bahwa adanya hubungan positif dan signifikan pada setiap variabel dalam..penelitian..ini. Oleh sebab itu, bisa diambil kesimpulan bahwa, ood price terpengaruhi positif signifikan atas purchase intention, dan secara positif signifikan, consumer involvement berpengaruh terhadap purchase intention. Untuk itu, disarankan pada para produsen, agar melalui manajemen pemasaran untuk mempromosikan menggunakan harga ganjil pada musim tertentu saja dan pada jenis, kualitas dan memiliki ukuran beragam di toko. Misalkan di bidang fashion, pakaian yang pada masa tertentu karena model tersebut muncul sebagai tren lagi maka sebaiknya berikan harga ganjil hal ini dikarenakan keterlibatan konsumen sangat tinggi pada produk yang diciptakan produsen pada saat menentukan harga ganjil. Pada penelitian ini lebih berfokus pada bidang fashion karena responden lebih banyak memilih dibandingkan dengan produk makanan dan minuman. Saran untuk peneliti lain yang ini melanjutkan topik dan ide penelitian ini adalah mengadakan penelitian yang sejenis dengan responden yang divergen sehingga memanifestasikan reaksi yang berbeda, dan status middle low sama statusnya dengan pelajar, selain itu bisa diuji cobakan lintas generasi membuat perbandingan antara niat beli generasi X, Y dan Z. Agar bisa menemukan hal baru bagi produsen dan produsen jadi tepat memberikan promosi dan lain sebagainya. Hal ini perlu diuji kembali, apakah sesuai atau tidak dengan penelitian ini.

REFERENSI

Aiello, G., Donvito, R., Vannucci, V., Wagner, B., & Wilson, J. (2018). The Paradox of Odd-Even Price in Fashion Luxury Sector: Empirical Evidence from An International Direct Observation of Luxury Stores. Journal of Global       Fashion       Marketing,       9(3),       205–222.

https://doi.org/10.1080/20932685.2018.1463860

Anderson, E., & Simester, D. (2003). Effects of $9 Price Endings on Retail Sales: Evidence from Field Experiments. Quantitative Marketing and Economics, 1(1), 93–110. https://doi.org/10.1023/A:1023581927405

Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1988). Journal of the Academy of Marketing Science On the Evaluation of Structural. Journal of the Academy of Marketing Science, 16, 74–94. https://doi.org/10.1177/009207038801600107

Bloch, P. H., Commuri, S., & Arnold, T. J. (2009). Exploring the origins of enduring product involvement. Qualitative Market Research, 12(1), 49–69. https://doi.org/10.1108/13522750910927214

Breton, C. G. (2011). Consumer Preferences for 99-Ending Prices: The Mediating Role of Price Consciousness. Bisnis Economicconomic, (April), 1–39. Retrieved from Working paper.

Fraccaro, A., & Macé, S. (2020). Never too Rich to Care about Prices: Effects of Price Endings on Customer Perceptions of Luxury. Recherche et Applications        En        Marketing,        35(3),        7–28.

https://doi.org/10.1177/2051570720908036

Ghali-Zinoubi, Z., & Toukabri, M. (2019). The Antecedents of the Consumer Purchase Intention: Sensitivity to Price and Involvement in Organic Product: Moderating Role of Product Regional Identity. Trends in Food Science and Technology, 90, 175–179. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2019.02.028

Gore, P., S. Madhavan, G. McClung, and D. R. (1995). Consumer Involvement in Nonprescription Medicine Purchase Decisions. Journal of Health Care Marketing, 14(2).

Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J., & Borin, N. (1998). The effect of store name, brand name and price discounts on consumers’ evaluations and purchase intentions.      Journal     of     Retailing,      74(3),     331–352.

https://doi.org/10.1016/S0022-4359(99)80099-2

Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., & Anderson, R. E. (2010). Multivariate Data Analysis (7th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hair, J. F., Risher, J. J., Sarstedt, M., & Ringle, C. M. (2019). When to Use and How to Report The Results of PLS-SEM. European Business Review, 31(1), 2–24. https://doi.org/10.1108/EBR-11-2018-0203

Harris, C., & Bray, J. (2007). Price Endings and Consumer Segmentation. Journal of Product and Brand Management,   16(3),   200–205.

https://doi.org/10.1108/10610420710751573

Kautsar, A. P., Widianto, S., Abdulah, R., & Amalia, H. (2012). Relationship of Consumer Involvement, Credibility of the Source of Information and Consumer Satisfaction on Purchase Decision of Non-Prescription Drugs. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 65(ICIBSoS), 449–454.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.11.147

Kienzler, M., & Kowalkowski, C. (2017). Pricing strategy: A review of 22 years of marketing research. Journal of Business Research, 78(May), 101–110. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2017.05.005

Kotler, P and Keller, K. L. (2012). Marketing Management. 14th Edition. New Jersey: Published by Prentice Hall.

Kotler, P. &, & Keller. (2016). Marketing Management. New Jersey: Pearson.

Kotler, P., & Keller Kevin Lane. (2007). Manajemen Pemasaran (12th ed.). Jakarta: PT Indeks.

Macé, S. (2012). The Impact and Determinants of Nine-Ending Pricing in Grocery

Retailing.      Journal     of     Retailing,      88(1),      115–130.

https://doi.org/10.1016/j.jretai.2011.07.002

Maholtra, N. K. (2010). Marketing Research. United Stated of America: Prentice Hall, Inc.

Monroe, K. B. (2007). Pricing: Making Profitable Decisions (3rd ed.). https://doi.org/10.2307/1250041

Ngobo, P. V., Legohérel, P., & Guéguen, N. (2010). A Cross-Category

Investigation Into the Effects of Nine-Ending Pricing on Brand Choice. Journal of Retailing and Consumer Services,  17(5),  374–385.

https://doi.org/10.1016/j.jretconser.2010.03.018

Nia, A., & Zaichkowsky, J. L. (2000). Do counterfeits devalue the ownership of luxury brands? Journal of Product & Brand Management, 9(7), 485–497. https://doi.org/10.1108/10610420010351402

Nurtjahjanti, H. (2012). Hubungan Antara Keterlibatan Konsumen dengan Kesadaran Merek Produk Shampo X pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Psychology & Marketing, 12.

Rahman, I. (2018). The Interplay of Product Involvement and Sustainable Consumption: An Empirical Analysis of Behavioral Intentions Related to Green Hotels, Organic Wines and Green Cars. Sustainable Development, 26(4), 399–414. https://doi.org/10.1002/sd.1713

Sangadji & Sopiah. (2013). Perilaku Konsumen. Penerbit Andi Yogyakarta.

Santoso, S. (2012). Analisis SEM Menggunakan AMOS. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Schindler, R. M. (2001). Relative Price Level of 99-Ending Prices: Image Versus Reality.        Marketing        Letters,        12(3),        239–247.

https://doi.org/10.1023/A:1011116827790

Schindler, R. M., & Kirby, P. N. (1997). Patterns of Rightmost Digits Used in Advertised Prices: Implications for Nine-Ending Effects. Journal of Consumer Research, 24(2), 192–201. https://doi.org/10.1086/209504

Simmons, L. C., & Schindler, R. M. (2003). Cultural Superstitions and the Price Lee C . Simmons and. Journal of International Marketing, 11(2), 101–111.

Sridhar, G. (2007). Consumer Involvement in Product Choice. Researching Marketing Decisions, XI, 49–67. https://doi.org/10.4324/9780429203558-5

Thomas, M., & Morwitz, V. (2005). Penny Wise and Pound Foolish: The LeftDigit Effect in Price Cognition. Journal of Consumer Research , 32(1 ), 54– 64. https://doi.org/10.1086/429600

Tirmizi, M. A. (2009). An Empirical Study of Consumer Impulse Buying Behavior in Local Markets. European Journal of Scientific Research, 28(4), 522–532.

Tjiptodjojo, K. I. (2012). Odd Price: Harga, Psikologi dan Perilaku Konsumen dalam Purchase Decision Making. Jurnal Manajemen Maranatha, 7(2009), 1–25.

Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8.

Evaluation      of     Mathematical     Models,     Vol.     46.

https://doi.org/10.1198/tech.2006.s369

1387