E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. 7, No. 8, 2018: 4267-4296         ISSN: 2302-8912

DOI: https://doi.org/10.24843/EJMUNUD.2018.v7.i08.p9

ANALISIS POTENSI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA KABUPATEN DI BALI DI LUAR WILAYAH SARBAGITA

Ni Putu Ari Kusumayanti1 Nyoman Triaryati2

1,2Fakultas Ekonomi dan Bisnis UniversitasvUdayana, Bali, Indonesia

Email: arikusumayanti96@gmail.com

ABSTRAK

Kebijakan otonomi daerah mendorong daerah untuk menjadi mandiri salah satunya dengan meningkatkan kemampuan finansialnya dengan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan yang terbesar dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis potensi PAD pada 5 kabupaten yang memiliki PAD yang rendah dalam pendapatan daerahnya. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan statistik deskriptif, serta menggunakan analisis Tipologi Klassen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bangli memiliki empat sektor unggulan, dua sektor potensial, sepuluh sektor berkembang dan satu sektor yang masih terbelakang. Kabupaten Kabupaten Jembrana memiliki empat sektor unggulan, dua sektor potensial, tujuh sektor berkembang dan empat sektor terbelakang. Kabupaten Klungkung memiliki enam sektor unggulan, satu sektor potensial, tujuh sektor berkembang dan tiga sektor terbelakang. Kabupaten Buleleng memiliki empat sektor unggulan, tiga sektor potensial, lima sektor berkembang dan lima sektor yang masih terbelakang. Kabupaten Karangasem memiliki dua sektor unggulan, tiga sektor potensial, sepuluh sektor berkembang dan dua sektor yang masih terbelakang.

Kata kunci : kemandirian daerah, pendapatan asli daerah, tipologi klassen

ABSTRACT

Regional autonomy policy encourages the regions to become independent by increasing their financial capability and optimizing PAD as the biggest source for funding the government's implementation and regional development. The purpose of this research is to discover kind of potential of PAD in 5 regency that have low PAD in their regional income. This study used descriptive quantitative analysis techniques and used Klassen Tipology analysis. The result of the research shows that Bangli Regency has four leading sectors, two potential sectors, ten developing sectors and one sector that is still underdeveloped. Jembrana Regency has four leading sectors, two potential sectors, seven developing sectors and four underdeveloped sectors. Klungkung Regency has six leading sectors, one potential sector, seven developing sectors and three underdeveloped sectors. Buleleng Regency has four leading sectors, three potential sectors, five developing sectors and five sectors that are still underdeveloped. Karangasem Regency has two leading sectors, three potential sectors, ten developing sectors and two underdeveloped sectors.

Keyword : regional autonomy, regional own revenue (PAD), klassen tipology

PENDAHULUAN

Adanya kebijakan otonomi daerah memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerahnya sendiri sesuai dengan ketentuan perundang – undangan. Desentralisasi oleh pemerintah kepada daerah otonom memberikan kesempatan bagi suatu daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, mengatur, membenahi dan menggali potensi daerah tersebut untuk kepentingan masyarakatnya. Daerah memiliki kewenangan atas kebijakan lokal dan menjadi ruang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki (Pepinsky dan Wihardja, 2011; Anazodo et al., 2016). Melalui hal tersebut diharapkan agar pemerintah daerah mampu untuk menggali potensi sumber – sumber pendapatan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna mencapai kemandirian daerah. Salah satu bentuk dari adanya otonomi dalam hal fiskal adalah masing-masing daerah pasti memiliki anggaran tersendiri yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sesuai dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah (Hartoyo, 2014). Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pendapatan dalam APBD bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain – lain Pendapatan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan lahan bagi daerah untuk memperoleh dana dalam membiayai kegiatan publiknya, tapi yang terjadi saat ini PAD masih merupakan penyumbang terkecil dalam hal pendanaan

daerah (Halim dan Iqbal, 2012:279). Peranan PAD di dalam pemerintah daerah di seluruh Indonesia relatif sangat kecil untuk dapat membiayai pembangunan daerah (Julastiana dan Suartana, 2013). Kemandirian pembangunan daerah akan terealisasi apabila pemerintah daerah meningkatkan kemampuan finansialnya dengan menggali sumber – sumber pendapatan daerah dan mengoptimalkan PAD sebagai sumber pembiayaan yang terbesar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan asli daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain – lain PAD yang sah. Pajak daerah dan retribusi daerah biasanya menjadi sumber yang paling berpotensi untuk menambah perolehan PAD suatu daerah.

Rotimi (2013) menyatakan bahwa pajak adalah salah satu pilihan tangguh untuk menghasilkan pendapatan. Olatunji et al. (2009) serta Feld et al. (2010) juga menyatakan bahwa pendapatan pemerintah daerah paling utama berasal dari pajak. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riduansyah (2003) serta Kusuma dan Wirawati (2013), yang menyatakan bahwa kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh signifikan terhadap peningkatan PAD suatu daerah, yang kemudian akan berpengaruh juga terhadap besarnya penerimaan di dalam APBD. Berdasarkan hasil penelitian Wardhono, dkk. (2012); Samad dan Iyan (2013); serta Adenugba dan Ogechi (2013) juga menyatakan bahwa bahwa peningkatan sumber PAD atau penerimaan PAD dapat diperoleh dari hasil pajak dan retribusi daerah yang kemudian digunakan untuk membiayai pembangunan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk merealisasikan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus meningkatkan kemampuan finansialnya dengan menggali sumber-sumber pendapatan daerah. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badrudin dan Siregar (2015) serta Sijabat (2016) menunjukkan bahwa pemerintah daerah di Indonesia cenderung masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus berusaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah terutama dari segi pendapatan asli daerahnya (Rosmeli, 2010). PAD selalu dijadikan salah satu kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat (Rinaldi, 2012). Semakin tinggi nilai rasio PAD terhadap total pendapatan, maka semakin kecil ketergantungan daerah terhadap dana dari pusat (Taras dan Artini, 2017). Analisis potensi PAD diperlukan untuk memetakan potensi yang dimiliki oleh daerah yang nantinya akan dapat meningkatkan penerimaan daerah. Pemerintah daerah yang memiliki proporsi PAD yang tinggi dalam pendapatan daerahnya diharapkan mampu mengelolanya secara optimal untuk membiayai pembangunan daerah dan menyediakan pelayanan publik untuk masyarakatnya (Osakede et al., 2016; Sijabat, 2016)

Beberapa kabupaten di Provinsi Bali memiliki pendapatan daerah yang tinggi. Kabupaten Badung menjadi kabupaten dengan pendapatan daerah tertinggi yaitu sebesar 4,3 triliun rupiah pada tahun 2016 seperti yang terlihat pada Tabel 1. Kemudian disusul oleh Kabupaten Buleleng dengan pendapatan daerah sebesar 2 triliun rupiah. Kota Denpasar memiliki pendapatan daerah sebesar 1,9 triliun rupiah. Kabupaten Tabanan sebesar 1,7 triliun rupiah. Pendapatan daerah

Kabupaten Gianyar sebesar 1,6 triliun rupiah. Kabupaten Karangasem sebesar 1,4 triliun rupiah. Terakhir Kabupaten Jembrana, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Bangli dengan pendapatan masing-masing sekitar 1 triliun rupiah. Bartle et al. (2011), menyatakan bahwa perolehan pendapatan pemerintah daerah dapat dipengaruhi oleh perubahan ekonomi, teknologi dan demografi suatu daerah.

Tabel 1.

Perolehan Pendapatan Daerah dan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2016

No

Kab/Kota

Pendapatan Daerah (000 Rp)

Pendapatan Asli Daerah

(000 Rp)

% PAD dari Pendapatan Daerah

1

Badung

Rp

4.328.245.676

Rp

3.563.589.483

82,33%

2

Buleleng

Rp

2.066.173.156

Rp

282.113.900

13,65%

3

Denpasar

Rp

1.943.172.688

Rp

807.050.192

41,53%

4

Tabanan

Rp

1.794.601.450

Rp

318.083.799

17,72%

5

Gianyar

Rp

1.682.778.978

Rp

529.864.618

31,49%

6

Karangasem

Rp

1.462.024.349

Rp

232.644.013

15,91%

7

Jembrana

Rp

1.090.625.089

Rp

114.533.487

10,50%

8

Klungkung

Rp

1.062.218.238

Rp

134.142.054

12,63%

9

Bangli

Rp

1.040.303.804

Rp

104.829.402

10,08%

Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Bali 2012-2016

Sebagian besar daerah kabupaten/kota di Bali memiliki pendapatan daerah yang cukup tinggi, namun hanya sebagian kecil pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah. Kabupaten Buleleng misalnya yang memiliki pendapatan daerah sekitar 2 triliun rupiah tetapi PAD-nya hanya 13,65 persen dari pendapatan daerah. Begitu pula dengan Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Bangli yang persentase PAD-nya termasuk kecil di dalam pendapatan daerah. Berdasarkan Tabel 1 tersebut juga terlihat

adanya kesenjangan yang cukup besar dalam perolehan PAD antar kabupaten/kota. Kabupaten Badung yang berada di urutan teratas perolehan PAD tertinggi memiliki selisih mencapai sekitar 2,4 triliun rupiah dengan Kota Denpasar yang berada di urutan kedua PAD tertinggi. Dibandingkan dengan Kabupaten Bangli yang memiliki perolehan PAD terendah di Provinsi Bali, selisihnya dengan perolehan PAD Kabupaten Badung mencapai sekitar 3 triliun rupiah. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakmerataan pembangunan di beberapa kabupaten karena ketidaksesuaian pendapatan yang diperoleh.

Kecilnya proporsi PAD dalam pendapatan daerah di beberapa kabupaten juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah kabupaten tersebut belum maksimal dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki daerahnya. Sesuai dengan yang tercantum di dalam Undang - Undang Pemerintah Daerah yang memuat tentang otonomi daerah, dijelaskan bahwa daerah otonom (kabupaten) dapat mengatur dan mengelola sendiri urusan pemerintahannya termasuk di dalamnya masalah kekayaan daerah yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Otonomi daerah menginginkan daerah otonom agar dapat mandiri dengan kekayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Oleh karena itu, daerah yang dalam hal ini kabupaten – kabupaten yang ada di Bali ini perlu meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya agar mengurangi ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Ajayi (2016) juga menyatakan bahwa pemerintah daerah harus mengintensifkan usahanya pada peningkatan pendapatan. Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah adalah menghitung potensi pendapatan asli daerah yang riil dimiliki oleh daerah

sehingga diperlukan metode perhitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional (Mardiasmo, 2004 : 146). Untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh masing – masing kabupaten tersebut dapat menggunakan beberapa metode analisis potensi pendapatan seperti Analisis Tipologi Klassen, Analisis Location Quontient (LQ), Analisis Shift-share atau Analisis Potensi Pendapatan Berbasis Mikro.

Pujiati (2009), Erawati dan Mahaendra (2010), serta Chadhiq, dkk. (2010), menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat melihat atau memetakan sektor – sektor yang berpotensi sebagai sumber pendapatan dengan menggunakan metode analisis seperti Tipologi Klassen ataupun analisis Location Quontient (LQ). Penelitian yang dilakukan Hariyanti & Utha (2016) mengenai sektor basis di 33 provinsi di Indonesia pada rentang tahun 2008-2012, menunjukkan hasil bahwa berdasarkan perhitungan Tipologi Klassen dan LQ, sektor unggulan di Provinsi Bali adalah sektor jasa. Sektor yang termasuk sektor potensial dan berkembang yaitu ada sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor pertambangan dan penggalian; dan sektor bangunan. Sektor yang termasuk tertinggal di Provinsi Bali, yaitu sektor listrik, air dan gas; sektor industri pengolahan; sektor transportasi dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

Nur Ayu dan Wiagustini (2016) yang meneliti mengenai potensi ekonomi Provinsi Bali dengan menggunakan Tipologi Klassen memperoleh hasil potensi ekonomi daerah yang sama pada sektor unggulan adalah sektor konstruksi, sektor berkembang adalah sektor kesehatan dan kegiatan sosial. Sektor potensial adalah

sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Sektor terbelakang adalah sektor pengadaan listrik dan gas; sektor pengadaan air, pengelolaan limbah, sampah dan daur ulang.

Suwandi (2016) melakukan penelitian pada tahun 2009-2014, memperoleh hasil hasil bahwa perhitungan menggunakan tipologi Klassen, LQ dan Shift-share mampu memetakan sektor unggulan, berkembang, potensial dan tertinggal di Jayapura. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Dearlinasinaga (2015) yang menunjukkan hasil bahwa perhitungan Tipologi Klassen dan LQ mampu menunjukkan sektor basis dan sektor unggulan di Simalungun pada rentang tahun 2005-2011. Hasil penelitian Mahmud (2015) pada tahun 2010-2014 juga menunjukkan bahwa Tipologi Klassen juga mampu menunjukkan sektor yang maju dan tumbuh cepat di Kabupaten Nganjuk.

Dalam penelitian ini akan menggunakan analisis Tipologi Klassen untuk mengetahui sektor – sektor unggulan sampai sektor – sektor tertinggal yang dimiliki oleh masing – masing kabupaten. Melalui hal ini nantinya dapat diamati sektor – sektor mana saja yang berpotensi untuk dijadikan sumber pendapatan asli daerah oleh masing – masing kabupaten. Berdasarkan hasil – hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya, analisis Tipologi Klassen ini mampu menunjukkan kondisi potensi pendapatan suatu daerah secara sektoral dan memiliki hasil yang serupa dengan metode analisis lainnya. Tipologi Klassen ini juga mampu memberikan gambaran mengenai pola dan struktur perekonomian suatu wilayah apabila menggunakan pendekatan wilayah. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pujiati (2009); Raswita dan Utama (2009); serta Erawati dan

Mahaendra (2012) yang menggunakan analisis Tipologi Klassen untuk mengelompokkan daerah – daerah ke dalam 4 klasifikasi kelompok.

Dilihat dari fenomena yang terjadi di lapangan, beberapa kabupaten di Bali memiliki proporsi PAD yang rendah di dalam pendapatan daerahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota masih cukup bergantung pada dana pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi. Bali yang terdiri dari 9 kabupaten/kota, memiliki 4 daerah kabupaten/kota yang dapat dikategorikan sebagai “daerah metropolitan-nya Bali” atau daerah yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Bali, yang kemudian disebut dengan kawasan SARBAGITA (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan). Daerah – daerah tersebut merupakan kabupaten/kota dengan pendapatan asli daerah tertinggi di Bali. Sebaliknya 5 kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli dan Kabupaten Jembrana, perolehan pendapatan asli daerahnya masih lebih rendah dibandingkan yang lain. Oleh karena itu diperlukan analisis untuk mengetahui potensi apa saja yang masih bisa dijadikan sumber pendapatan oleh pemerintah daerah kabupaten, sehingga dapat memiliki kemandirian dalam keuangannya dan tidak lagi terlalu bergantung pada dana dari pemerintah pusat ataupun provinsi.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka pemasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Apa saja potensi sumber pendapatan asli daerah yang dimiliki masing – masing kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita ? dan (2) Bagaimana kondisi potensi sumber pendapatan asli daerah masing – masing kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita ?

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu (1) untuk mengetahui jenis potensi pendapatan asli daerah yang dimiliki oleh masing – masing kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita dan (2) untuk mengetahui seberapa besar potensi sumber pendapatan asli daerah masing – masing kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita. Manfaat teoretis penelitian ini, yaitu diharapkan penelitian ini mampu menjadi bukti empiris serta sumber referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai Manajemen Pendapatan Daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi kepada pemerintah masing – masing kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita mengenai potensi daerah yang masih bisa dioptimalkan untuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna mencapai otonomi daerah.

Penelitian ini menggunakan beberapa landasan teori, dan yang pertama, yaitu manajemen pendapatan daerah. Manajemen pendapatan daerah ini merupakan salah satu bagian atau aktivitas dari manajemen keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah didefinisikan sebagai pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut (Halim dan Iqbal, 2012:281). Penting bagi pemerintah daerah untuk memiliki pengetahuan dan keahlian dalam manajemen pendapatan karena akan berpengaruh pada kualitas pelayanan kepada masyarakat dan keberhasilan pelaksanaan program pembangunan. Pemerintah daerah harus berinovasi dalam menghasilkan sumber-sumber pendapatan dan

mampu mengelolanya secara efektif dan efisien untuk kemandirian keuangan daerah sesuai dengan tujuan dari otonomi daerah (Mahmudi, 2010:14).

Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Oleh karena itu daerah otonom harus mempunyai kemampuan sendiri untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri melalui sumber – sumber pendapatan yang dimiliki. Pemerintah daerah perlu diberikan otonomi dan otoritas salah satunya dalam hal fiskal sehingga daerah menghasilkan lebih banyak sumber daya yang kemudian akan mengurangi tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat (Faridi, 2011). Wenny (2012) menyatakan bahwa otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi perekonomian daerah karena akan mendorong daerah untuk menggerakkan berbagai sumber daya yang dimiliki.

Kedua, landasan teori yang digunakan adalah manajemen pendapatan asli daerah. Dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah tentu berkaitan dengan kemampuan daerah dalam mengelola PAD. Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, semakin besar pula kebebasan pemerintah daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah (Mahmudi, 2010:18). PAD merupakan salah satu komponen pendapatan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 dan PP No. 58 Tahun 2005, APBD adalah sebuah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan asli daerah dapat diartikan sebagai penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sesuai UU No 28 Tahun 2008, PAD dikelompokkan menjadi 4 jenis pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Selanjutnya ada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan nilai tambah bruto seluruh barang dan jasa yang tercipta atau dihasilkan di wilayah domestik suatu negara yang timbul akibat berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu (BPS, 2017). Data PDRB juga dapat menunjukkan sumber – sumber utama pendapatan suatu daerah secara umum yang dirinci ke dalam 17 sektor. Adapun PDRB sektoral untuk menentukan nilai PDRB suatu daerah (Mahmudi, 2010:50; BPS, 2017), yaitu (1) Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; (2) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (3) Sektor Industri Pengolahan; (4) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas; (5) Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah dan Daur Ulang; (6) Sektor Konstruksi; (7) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (8) Sektor Transportasi dan Pergudangan; (9) Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (10) Sektor Informasi dan Komunikasi; (11) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (12) Sektor Real Estat; (13) Sektor Jasa Perusahaan; (14) Sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib; (15) Sektor Jasa

Pendidikan; (16) Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; dan (17) Sektor Jasa Lainnya.

Suatu daerah pasti memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena perbedaan beberapa hal seperti demografi, ekonomi, sosiologi, budaya dan lingkungan. Di sisi lain, terkadang suatu potensi tidak dapat diolah akibat keterbatasan sumber daya manusia, modal dan batasan peraturan perundangan. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis potensi suatu daerah. Pertama ada analisis Tipologi Klassen yang mengelompokan suatu sektor dengan melihat pertumbuhan dan kontribusi sektor tertentu terhadap total PDRB suatu daerah ke dalam empat kategori, yaitu sektor unggulan, sektor potensial, sektor berkembang dan sektor terbelakang (Mahmudi, 2010:52). Kedua ada metode Location Quotients (LQ) yang digunakan untuk menguji atau menunjukkan sektor – sektor yang termasuk kategori sektor unggulan di daerah tersebut (Arsyad, 2015:390). Ketiga, Analisis Shift-share bertujuan untuk menentukan kinerja perekonomian daerah yang kemudian dibandingkan dengan daerah yang lebih besar (regional/nasional) (Arsyad,2015:389).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan statistik deskriptif. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai potensi sumber – sumber pendapatan yang dimiliki oleh 5 (lima) Kabupaten di Bali di luar wilayah Sarbagita, yang masih belum tergali atau belum dioptimalkan untuk memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Adapun kelima kabupaten yang menjadi lokasi penelitian

adalah Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Bangli.

Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sumber – sumber pendapatan asli daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Sumber-sumber PAD tersebut dilihat dari perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada masing-masing kabupaten. Sumber PAD tersebut diidentifikasi dalam 17 (tujuh belas) sektor atau lapangan usaha yang terdapat dalam PDRB masing-masing kabupaten pada rentang tahun 2012 – 2016.

Jenis data di dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Bali dalam rentang tahun 2012 – 2016 dan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha kelima kabupaten pada rentang tahun 2012 – 2016. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali dan masing-masing kabupaten/kota di Bali melalui website resmi www.bps.go.id. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi non-partisipan.

Teknik analisis data yang digunakan yaitu kuantitatif deskriptif, dengan menggunakan Tipologi Klassen untuk memetakan potensi daerah yang dikelompok – kelompokkan berdasarkan masing – masing sektor. Adapun langkah – langkahnya adalah (Mahmudi, 2010:55-56), pertama, menghitung rata-rata PDRB total ( Ypdrb) dengan menjumlahkan total PDRB dan setelah

mendapatkan hasil, dibagi dengan n tahun (jumlah tahun penelitian) seperti pada rumus berikut.

1   PDRB1+PDRB2 +

Rata - rata PDRB Total =                   ................................ (1)

n

Ket :

PDRB1 = PDRB tahun ke-1

PDRB2 = PDRB tahun ke-2

PDRBn = PDRB tahun ke-n

n      = banyaknya tahun penelitian

Kemudian hasil rata – rata PDRB tersebut dibagi dengan n sektor (jumlah sektor yang akan diteliti), dalam penelitian ini yaitu berjumlah 17 sektor.

Langkah kedua, yaitu menghitung rata-rata sektor ( SEKTOR ) dengan menjumlahkan total PDRB masing-masing sektor, kemudian dibagi n tahun (jumlah tahun penelitian). Langkah ketiga, yaitu menghitung laju pertumbuhan PDRB ( rPDRB ) dan laju pertumbuhan masing – masing sektor ( rSEKTOR ) dengan rumus sebagai berikut.

i ■ ri      11       PDRBn-PDRBn-I dΛ∏Λ∕                        ∕a∖

Laju Pertumbuhan =              × 100% ....................................... (2)

PDRBn

Ket :

PDRBn     = PDRB tahun n

PDRBn-1     = PDRB tahun sebelumnya

Langkah keempat adalah mengklasifikasikan masing – masing sektor ke dalam matriks Tipologi Klassen, yang dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) sektor unggulan, apabila suatu sektor memiliki rata-rata kontribusi sektoral

terhadap PDRB (Ysektor) lebih besar atau sama dengan rata-rata PDRB ^^^™

( Y PDRBd dan perolehan rata-rata laju pertumbuhan sektoral (tsektor) lebih besar atau sama dengan rata-rata laju pertumbuhan PDRB (rPDBB). (2) sektor potensial, apabila suatu sector memiliki rata-rata kontribusi sektoral terhadap PDRB ^^^™                                                                                                                                                              ^^^™

(Ysektor) lebih besar atau sama dengan rata-rata PDRB (Ypdrb), namun perolehan rata-rata laju pertumbuhan sektoral (tsektor') lebih kecil dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB (rPDRB). (3) sektor berkembang, apabila suatu sektor memiliki rata-rata kontribusi sektoral terhadap PDRB (Ysektor) lebih kecil dari rata-rata PDRB (Ypdrb), namun memiliki perolehan rata-rata laju pertumbuhan sektoral (psektor) lebih besar atau sama dengan rata-rata laju pertumbuhan PDRB (rPDRB). (4) sektor terbelakang, apabila suatu sektor memiliki rata-rata kontribusi sektoral terhadap PDRB (Ysektor) lebih kecil dari rata-rata PDRB ^^^™

( P Ddrb)  dan memiliki perolehan rata-rata laju pertumbuhan sektoral

(r sEKToR) lebih kecil dari rata-rata laju pertumbuhan PDRB (rPDRB).

Adapun kriteria pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 2.

Kategori Sektor Berdasarkan Tipologi Klassen

rata – rata kontribusi sektor terhadap PDRB

_ _

^SEKTOR ≥ D PDRB

_ _

^SEKTOR < D PDRB

rata-rata laju pertumbuhan sektoral

rSEKTorPdrbb

Sektor Unggulan

Sektor Berkembang

rSEKT0RP DRBB

Sektor Potensial

Sektor Terbelakang

Keterangan :

^^^^ Ysektor

^^^^ YpDRB

rSEKTOR

rPDRB

= rata – rata sektor i

= rata – rata PDRB

= laju pertumbuhan sektor i

= laju pertumbuhan PDRB

Sumber: Mahmudi, 2010:53

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Bangli

Perhitungan dengan Tipologi Klassen memperoleh hasil rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bangli ( PDRB) adalah sebesar 205.371,92 juta rupiah dan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bangli ( rPDRB) yakni sebesar 6,05 persen. Berdasarkan hal tersebut yang termasuk sektor unggulan dengan SEKTORPDRB sebesar 205.371,92 juta rupiah dan rSEKTORrPDRB sebesar 6,05 persen ada 4 (empat) sektor. Adapun sektor- sektor tersebut antara lain, (1) Sektor Industri Pengolahan, (2) Sektor Konstruksi, (3) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, dan (4) Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Sektor potensial di Kabupaten Bangli terdiri dari 2 (dua) sektor dengan SEKTOR PDRB sebesar 205.371,92 juta rupiah dan rSEKTORrPDRB sebesar 6,05 persen. Adapun sektor-sektornya, yaitu : (1) Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; (2) Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.

Sektor berkembang yang dimiliki Kabupaten Bangli ada 10 (sepuluh) dengan SEKTORPDRB sebesar 205.371,92 juta rupiah dan rSEKTORrPDRB sebesar 6,05 persen. Sepuluh sektor tersebut antara lain : (1) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas; (2) Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (3) Sektor Transportasi dan Pergudangan; (4) Sektor Informasi dan

Komunikasi; (5) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (6) Sektor Real Estat; (7) Sektor Jasa Perusahaan; (8) Sektor Jasa Pendidikan; (9) Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (10) Sektor Jasa Lainnya. Sektor berkembang memungkinkan untuk ditingkatkan agar menjadi sektor unggulan dan menjadi potensi pendapatan bagi daerah (Mahmudi, 2010:52). Sektor dalam kategori ini memiliki kontribusi yang rendah di dalam PDRB akan tetapi memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tinggi. Kabupaten Bangli memiliki 10 (sepuluh) sektor yang dikategorikan sektor berkembang yang apabila dikelola dengan baik akan dapat menjadi potensi pendapatan asli daerah bagi Kabupaten Bangli. Potensi pendapatan tersebut dapat berupa pajak ataupun retribusi yang dihasilkan dari sektor – sektor berkembang tersebut. Terakhir, Kabupaten Bangli memiliki 1 (satu) sektor terbelakang dengan SEKTORPDRB sebesar 205.371,92 juta rupiah dan rSEKTORrPDRB sebesar 6,05 persen, yaitu Sektor Pertambangan dan Penggalian.

Kabupaten Jembrana

Perhitungan dengan Tipologi Klassen memperoleh hasil rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jembrana ( PDRB) adalah sebesar 421.641,91 juta rupiah dan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jembrana ( rPDRB) yakni sebesar 5,98 persen. Berdasarkan hal tersebut yang termasuk sektor unggulan dengan SEKTORY PDRB sebesar 421.641,91 juta rupiah dan rSEKTORrPDRB sebesar 5,98 persen berjumlah 4 (empat) sektor. Adapun sektor-sektor tersebut antara lain : (1) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (2) Sektor

Transportasi dan Pergudangan; (3) Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (4) Sektor Informasi dan Komunikasi. Sektor potensial di Kabupaten Jembrana terdiri dari 2 (dua) sektor dengan ≥ sebesar 421.641,91 juta rupiah dan tsekt0rpdrbb sebesar 5,98 persen. Kedua sektor tersebut adalah (1) Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; (2) Sektor Konstruksi.

Sektor berkembang yang dimiliki Kabupaten Jembrana ada 7 (tujuh), dengan YsektoRPddrb sebesar 421.641,91 juta rupiah dan TsetoorPdrbb sebesar 5,98 persen. Ketujuh sektor tersebut terdiri dari : (1) Sektor Industri Pengolahan; (2) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (3) Sektor Real Estat; (4) Sektor Jasa Perusahaan; (5) Sektor Jasa Pendidikan; (6) Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (7) Sektor Jasa Lainnya. sektor berkembang adalah sektor yang memiliki kontribusi yang rendah di dalam PDRB akan tetapi memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tinggi. Pemerintah daerah perlu melakukan optimalisasi terhadap sektor ini sehingga dapat ditingkatkan menjadi sektor unggulan dan menjadi potensi pendapatan bagi daerah (Mahmudi, 2010:52). Kabupaten Jembrana memiliki 7 (tujuh) sektor yang dikategorikan sektor berkembang yang dapat menjadi potensi pendapatan asli daerah bagi Kabupaten Jembrana berupa pajak dan retribusi daerah.

Kabupaten Jembrana memiliki 4 (empat) sektor terbelakang dengan YsektorPddrb sebesar 421.641,91 juta rupiah dan settorrddrrb sebesar 5,98 persen. Sektor tersebut adalah (1) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (2) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas; (3) Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan

Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (4) Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.

Kabupaten Klungkung

Perhitungan dengan Tipologi Klassen memperoleh hasil rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Klungkung (Ypdrb) adalah sebesar 268.013,88 juta rupiah dan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Klungkung (tprrb) yakni sebesar 6,10 persen. Berdasarkan hal tersebut yang termasuk sektor unggulan dengan ( Ysektor)(Ypdbb) sebesar 268.013,88 juta rupiah dan (VsEKTOR:)(rPRRB) sebesar 6,10 persen berjumlah 6 (enam) sektor. Adapun sektor unggulan tersebut, yaitu : (1) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (2) Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (3) Sektor Informasi dan Komunikasi; (4) Sektor Konstruksi; (5) Sektor Industri Pengolahan; (6) Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib. Sektor Potensial di Kabupaten Klungkung ada 1 (satu) dengan (Ysektor)(Ypdrb) sebesar 268.013,88 juta rupiah dan (tsektor)(tprrb) sebesar 6,10 persen, yaitu Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan.

Sektor Berkembang di Kabupaten Klungkung terdiri atas 7 (tujuh) sektor dengan (Y sektor)(Ypdrb) sebesar 268.013,88 juta rupiah dan (Tsektor)(rPRbb) sebesar 6,10 persen. Sektor-sektor tersebut di antaranya : (1) Sektor Transportasi dan Pergudangan; (2) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (3) Sektor

Real Estat; (4) Sektor Jasa Perusahaan; (5) Sektor Jasa Pendidikan; (6) Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (7) Sektor Jasa Lainnya. Sektor berkembang tersebut dapat ditingkatkan agar menjadi sektor unggulan dan menjadi potensi pendapatan bagi daerah dengan upaya optimalisasi (Mahmudi, 2010:52). Sektor berkembang memiliki kontribusi yang rendah di dalam PDRB akan tetapi memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tinggi. Kabupaten Klungkung memiliki 7 (tujuh) sektor yang dikategorikan sektor berkembang yang apabila dikelola dengan baik akan dapat menjadi potensi pendapatan asli daerah melalui hasil pajak dan retribusi daerah dari aktivitas ketujuh sektor tersebut. Sektor Terbelakang di Kabupaten Klungkung ada 3 (tiga) dengan (Ysektor) < (Y PDbb) sebesar 268.013,88 juta rupiah dan (i"sektor)(rPDRB) sebesar 6,10 persen. Terdiri dari (1) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (2) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas; (3) Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang.

Kabupaten Buleleng

Perhitungan dengan Tipologi Klassen memperoleh hasil rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Buleleng (Ypdbb) adalah sebesar 1.042.319,73 juta rupiah dan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Buleleng (tpdbb) yakni sebesar 6,56 persen. Berdasarkan hal tersebut yang termasuk sektor unggulan dengan (Ysektor)(Y DDRb) sebesar 1.042.319,73 juta rupiah dan (tsektob)(rPDBB) sebesar 6,56 persen berjumlah 4 (empat) sektor. Sektor unggulan ini terdiri dari : (1) Sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (2) Sektor

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; (3) Sektor Informasi dan Komunikasi; (4) Sektor Jasa Pendidikan. Sektor Potensial di Kabupaten Buleleng ada 3 (tiga) dengan (Ysekto r)( Ypd r b) sebesar 1.042.319,73 juta rupiah dan (rSEKTOr)(r pd r b) sebesar 6,56 persen. Ketiga sektor tersebut adalah (1) Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; (2) Sektor Konstruksi; (3) Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.

Sektor Berkembang di Kabupaten Buleleng terdiri atas 5 (lima) sektor dengan (YsEKT0R)(Yddrb^ sebesar 1.042.319,73 juta rupiah dan (r sektor}(r pdbb~) sebesar 6,56 persen. Sektor yang termasuk sektor berkembang, yaitu: (1) Sektor Industri Pengolahan; (2) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (3) Sektor Jasa Perusahaan; (4) Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; (5) Sektor Jasa Lainnya. Sektor berkembang tersebut dapat ditingkatkan menjadi sektor unggulan dan menjadi potensi pendapatan bagi daerah dengan upaya optimalisasi (Mahmudi, 2010:52). Sektor berkembang memiliki kontribusi yang rendah di dalam PDRB akan tetapi memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tinggi. Kabupaten Buleleng memiliki 5 (lima) sektor kategori berkembang yang apabila dikelola dengan baik akan dapat menjadi potensi pendapatan asli daerah.

Sektor Terbelakang di Kabupaten Buleleng ada 5 (lima) dengan (Ysektor) (Ypdrb) sebesar 1.042.319,73 juta rupiah dan (rSEKTOR)(r P d r b) sebesar 6,56 persen. Kelima sektor tersebut, yaitu : (1) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (2) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas; (3) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (4) Transportasi dan Pergudangan; (5) Real Estat.

Kabupaten Karangasem

Perhitungan dengan Tipologi Klassen memperoleh hasil rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Karangasem (Ypdrb) adalah sebesar 500.470,72 juta rupiah dan rata-rata laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Karangasem (tpdrb) yakni sebesar 6,02 persen. Berdasarkan hal tersebut yang termasuk sektor unggulan dengan (Xsektor)( Yddrb) sebesar 500.470,72 juta rupiah dan (^sektor)(rPDRB) sebesar 6,02 persen, yang terdiri dari (1) Sektor Transportasi dan Pergudangan; (2) Sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Sektor Potensial di Kabupaten Karangasem ada 3 (tiga) dengan (Ysektor)(Ypd bb) sebesar 500.470,72 juta rupiah dan sektor)(rPDRB) sebesar 6,02 persen. Ketiga sektor tersebut, yaitu: (1) Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; (2) Sektor Konstruksi; (3) Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib.

Sektor Berkembang di Kabupaten Karangasem terdiri atas 10 (sepuluh) sektor dengan (YsektoiR)(Xpdrb) sebesar 500.470,72 juta rupiah dan (r se ktoR)(r pdbb) sebesar 6,02 persen. Sepuluh sektor tersebut adalah (1) Sektor Industri Pengolahan; (2) Sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; (3) Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; (4) Sektor Informasi dan Komunikasi; (5) Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; (6) Sektor Real Estat; (7) Sektor Jasa Perusahaan; (8) Sektor Jasa Pendidikan; (9) Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; dan (10) Sektor Jasa Lainnya. Sektor – sektor tersebut memungkinkan untuk ditingkatkan agar menjadi

sektor unggulan dan menjadi potensi pendapatan bagi daerah (Mahmudi, 2010:52). Sektor dalam kategori ini memiliki kontribusi yang rendah di dalam PDRB akan tetapi memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tinggi. Kabupaten Karangasem memiliki 10 (sepuluh) sektor yang dikategorikan sektor berkembang yang apabila dikelola dengan baik akan dapat menjadi potensi pendapatan asli daerah yang berupa hasil pajak dan retribusi daerah. Sektor Terbelakang di Kabupaten Buleleng ada 2 (dua) dengan (Ysektor) < (Y PD bb) sebesar 500.470,72 juta rupiah dan (Tsektor)(r PDbb) sebesar 6,02 persen, yaitu : (1) Sektor Pertambangan dan Penggalian; (2) Sektor Pengadaan Listrik dan Gas.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dijelaskan tentang analisis potensi sumber pendapatan asli daerah pada kabupaten di Bali di liar wilayah Sarbagita, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut : (1) Kabupaten Bangli memiliki empat sektor unggulan, dua sektor potensial, sepuluh sektor berkembang dan satu sektor yang masih terbelakang; (2) Kabupaten Kabupaten Jembrana memiliki empat sektor unggulan, dua sektor potensial, tujuh sektor berkembang dan empat sektor terbelakang; (3) Kabupaten Klungkung memiliki enam sektor unggulan, satu sektor potensial, tujuh sektor berkembang dan tiga sektor terbelakang; (4) Kabupaten Buleleng memiliki empat sektor unggulan, tiga sektor potensial, lima sektor berkembang dan lima sektor yang masih terbelakang; (5) Kabupaten Karangasem memiliki dua sektor unggulan, tiga sektor potensial, sepuluh sektor berkembang dan dua sektor yang masih terbelakang.

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan, penelitian ini hanya menganalisis potensi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara makro berdasarkan pendapatan dari sektor-sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang kemudian dapat memengaruhi penerimaan PAD. Oleh karena itu, bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk menganalisis menggunakan analisis yang berbasis mikro. Analisis berbasis mikro dapat lebih mempertegas pembahasan hasil penelitian mengenai potensi yang sebenarnya dimiliki oleh suatu daerah.

Bagi pemerintah daerah khususnya dalam penelitian ini pemerintah daerah Kabupaten Bangli, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem, berikut beberapa saran yang dapat diberikan. Pertama, pemerintah daerah hendaknya memprioritaskan sektor-sektor kategori unggulan dan potensial yang memiliki kontribusi besar dalam penghasilan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan tentunya tanpa mengabaikan sektor-sektor berkembang dan terbelakang. Kedua sektor tersebut juga perlu mendapat perhatian lebih agar dapat meningkatkan kontribusinya dalam PDRB dan dapat bergeser menjadi sektor unggulan atau sektor potensial sehingga dapat menambah penerimaan PAD. Kedua, pemerintah daerah diharapkan dapat mempertahankan dan menjaga stabilitas pertumbuhan sektor unggulan agar tetap menjadi sumber utama penerimaan daerah. Sektor potensial biasanya memberikan kontribusi yang besar dalam PDRB, namun laju pertumbuhannya lambat dan apabila tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah sektor ini bisa saja berubah menjadi tertinggal. Ketiga, pemerintah daerah dapat

menjadikan sektor berkembang sebagai potensi atau sumber pendapatan baru bagi daerah karena dengan laju pertumbuhan sektor yang tinggi, kontribusi sektor berkembang masih dapat ditingkatkan lagi. Pemerintah daerah sebisa mungkin terus mengarahkan sektor terbelakang agar kontribusinya bertambah dan bergeser menjadi sektor potensial. Pemerintah daerah perlu meminimalkan adanya sektor terbelakang atau setidaknya menjaga agar sektor ini tidak bertambah jumlahnya.

REFERENSI

Adenugba, Adesoji Adetunji and Chike Faith Ogechi. 2013. The Effect of Internal Revenue Generation on Infrastructural Development. A study of Lagos State Internal Revenue Service. Journal of Educational and Social Research, 3 (2), 419-436.

Adhitama, Rifky. 2012. Pengembangan Sektor-Sektor Ekonomi di Tiap Kecamatan di Kabupaten Magelang. Economics Development Analysis Journal, 1 (2), 1-9.

Anazodo, Rosemary O., Chinyeaka Justine I., and Barisua Barry N. 2016. Local Government Financial Autonomy: A Comparative Analysis of Nigeria and Brazil. Arabian Journal of Business and Management Review (OMAN Chapter), 5 (10), 38-54.

Ajayi, Adeola. 2016. An Empirical Study of the Financial Mismanagement of Internally Generated Revenue in Ife South Local Government of Osun State, Nigeria. International Journal of Business Ethics in Developing Economies, 5 (1), 1-9

Arsyad, Lincolin. 2015. Ekonomi Pembangunan, Edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Keuangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Bali Tahun 2011-2015. Denpasar: BPS Provinsi Bali.

________. 2017. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jakarta: BPS Nasional Republik Indonesia.

Badrudin, Rudy and Baldric Siregar. 2015. The Evaluation of The Implementation of Regional Autonomy in Indonesia. Economic Journal of Emerging Markets, 7 (1), 1-11.

Bank Indonesia. 2015. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Diunduh tanggal             20             November             2017.

http://www.bi.go.id/id/statistik/metadata/sekda/ Documents/Produk_Domestik_Regional_Bruto_(PDRB)_rev160615.pdf.

Bartle, John R., Kenneth A. Kriz, and Boris Morozov. 2011. Local Government Revenue Structure: Trends and Challenges. Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, 23 (2), 268-287.

Chadhiq, Umar, Ismiyatun, dan Nanang Yusoni. 2010. Analisis Penerapan Metode Basis dan Shift-share Dalam Mengatasi Tingkat Disparitas Pendapatan Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Diunduh tanggal 17 Maret 2017. http://jurnal.unimus.ac.id.

Dearlinasinaga. 2015. Determination Analysis of Leading Economic Sector Against Forming Region GDP in Simalungun. International Journal of Innovative Research in Management, 4 (3), 1-12.

Emilia dan Imelia. 2006. Modul Ekonomi Regional. Diktat Kuliah pada Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Jambi.

Erawati, Ni Komang dan I Nyoman Mahaendra Yasa. 2010. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Potensial Kabupaten Klungkung. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan, 1(1), 41-61.

Faridi, Muhammad Zahir. 2011. Contribution of Fiscal Decentralization to Economic Growth: Evidence from Pakistan. Pakistan Journal of Social Sciences, 31 (1), 1-13.

Feld, Lars P., Gebhard Kirchgässner and Christoph A. Schaltegger. 2010. Decentralized Taxation and Size of Government: Evidence krom Swiss State and Local Governments. Southern Economic Journal, 77(1), 27-48.

Halim, Abdul dan Muhammad Iqbal. 2012. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuagan Daerah : Pengelolaan Keuangan Daerah, Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik : Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (APBN/D). Jakarta: Salemba Empat.

Hariyanti, Dini and Maria A. Utha. 2016. Analysis of Determinants Sectors Regional Development at 33 Provinces in Indonesia. Ontario International Development Agency (OIDA) International Journal of Sustainable Development, 9 (3), 11-36.

Hartoyo, Nafsi. 2014. Optimalisasi PAD untuk Peningkatan Kinerja Pemda. Kajian Ekonomi Keuangan, Kementrian Keuangan RI.

Julastiana, Yaneka dan I Wayan Suartana. 2013. Analisis Efesiensi dan Efektivitas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Klungkung. E-Jurnal Akuntansi, 2(1), 1-17.

Kusuma, Made Krisna Arta Anggar dan Ni Gusti Putu Wirawati. 2013. Analisis Pengaruh Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Peningkatan PAD se-Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 5 (3), 574 – 585.

Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Erlangga.

Mahmud, Wildan M. 2015. Analisis Struktur Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Diunduh tanggal 17 Maret 2017. http://jimfeb.ub.ac.id/ index.php/jimfeb/article/view/2225.

Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Edisi II. Yogyakarta: ANDI.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Nur Ayu, Luh Nyoman Fajar dan Ni Luh Putu Wiagustini. 2016. Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Bali. E-Jurnal Manajemen Unud, 5 (12), 7528-7554.

Olatunji, O.C., O. Asaolu Taiwo and J.O. Adewoye. 2009. A Review of Revenue Generation in Nigeria Local Government: A Case Study of Ekiti State. Medwell Journal International Business Management, 3(3), 54-60.

Osakede, Kehinde O., Samuel O. Ijimakinwa, and Taiwo O. Adesanya. 2016. Local Government Financial Autonomy in Nigeria: An Empirical Analysis. Arabian Journal of Business and Management Review, 5 (11), 24-37.

Pepinsky, Thomas B. and Maria M. Wihardja. 2011. Decentralization and Economic Performance in Indonesia. Journal of East Asian Studies, 11(3), 337-371.

Pujiati, Amin. 2009. Analisis Kawasan Andalan Di Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, 11 (2), 117-128.

Raswita, Ngakan Putu Mahesa Eka dan Made Suyana Utama. 2009. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan antar Kecamatan di Kabupaten Gianyar. E-Jurnal Ekonomi Pembanguna Unud, 2 (3), 119128.

Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

_________. 2003. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

_________. 2004. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

_________. 2004. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

_________. 2009. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Riduansyah, Mohammad. 2003. Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor). Makara, Sosial Humaniora, 7 (2), 49-57.

Rinaldi, Udin. 2012. Kemandirian Keuangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal EKSOS, 8 (2), 105-113.

Rosmeli. 2010. Analisis Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jambi Tahun 2000 – 2008. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 12 (2), 5762.

Rotimi, Oladele, Dr. Uduma Samuel Aka Udu, and Aderemi Adetunji Abdul-Azeez. 2013. Revenue Generation and Engagement of Tax Consultants in Lagos State Nigeria Continous Tax Evasion and Irregularities. European Journal of Business and Social Sciences, 1(1), 25-36.

Samad, R. Putra dan Rita Yani Iyan. 2013. Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Kabupaten Rokan Hilir. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun III No. 8, 103-122.

Sijabat, Rosdiana. 2016. Fiscal Desentralisation and Sustainable Development: Lesson from Local Government Levels in Indonesia. Ontario International Development Agency (OIDA) International Journal of Sustainable Development, 9 (3), 39-75.

Suwandi. 2016. Structure and Economic Development Pattern in Jayapura Through Other and Towns in Papua. European Journal of Social Sciences, 52 (1), 5-13.

Taras, Tyasani dan Luh Gede Sri Artini. 2017. Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. E-Jurnal Manajemen Unud, 6 (5), 2360-2387.

Tarigan, Robinson. 2012. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Wardhono, Adhitya, Yulia Indrawati dan Ciplis Gema Qori’ah. 2012. Kajian Pemetaan dan Optimalisasi Potensi Pajak dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Jember. J@TI Undip, 7 (2), 69-76.

Wenny, Cherrya Dhia. 2012. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah STIE MDP, 2 (1), 39 – 51.

4296