1

GAYA RETORIS DALAM BAHASA MADURA DAN FUNGSINYA DALAM KOMUNIKASI SEBAGAI ANTISIPASI KONFLIK

Akhmad Haryono

Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Jember

Jl. Kalimantan, 37 Tegalboto

Ponsel 081559648347/082228137236 h.akhmad@yahoo.com

ASTRAK

Penggunaan bahasa, jika tidak didasari dengan setrategi komunkasi yang memadai dapat menimbulkan persoalan dalam komunikasi―lebih-lebih dalam komunikasi antarbudaya. Bahasa bisa berdampak positif dan menjadi perekat dalam hidup berbangsa dan bernegara, jika masyarakat pemakai bahasa tidak salah dalam menggunakan dan memahami bahasa dan budaya sebagai alat komunikasi. Kesalahan dalam pengunaan dan pemahaman bahasa, akan menimbulkan konflik baik antarsesama maupun lain etnik. Gaya bahasa merupakan salah satu bentuk strategi komunikasi, agar tujuan komunikasi dapat diterima dengan baik, tanpa menimbulkan konflik. Mangingat begitu banyaknya jenis dan bentuk gaya bahasa, artikel ini hanya menfokuskan pada penggunaan dan fungsi gaya retoris dalam bahasa Madura.

Kata kunci: bahasa, retoris, kultur, komunikasi, konflik, Madura

ABSTRACT

The use of language, if not based on personal communication with adequate strategy can cause problems in communication, especially in intercultural communication. Language could be positive and be adhesive in life of nation and state, if the language user community is not wrong in using and understanding language and culture as a mean of communication. Errors in the use and understanding of both languages will lead to conflict amongst ethnic or other. stylistic is a form of communication strategies, for the purpose of communication can be received well, without causing conflict. Because so many types and forms of style, this article only focuses on the use and function of rhetorical style in Madurese

Key Words: language, rhetoric, culture, communication, conflict, Madurese

PENDAHULUAN

Dalam melaksanakan pembangunan bangsa tidak dapat mengabaikan keberadaan bahasa dan budaya sekelompok masyarakat tertentu sebagai jembatan dalam komunikasi. Sebab, keduanya mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukung bahasa dan kebudayaan tersebut. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa bahasa dan budaya tidak selalu berdampak posisitif terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa. Bahasa dan budaya dapat berdampak positif, jika masyarakat yang terlibat dalam pemakaian bahasa tersebut tidak salah dalam memahami dan menggunakan bahasa dan budaya sebagai alat komunikasi. Tetapi sebaliknya jika pemakai bahasa dan pelaku budaya salah dalam memahami makna bahasa dan budaya yang merupakan alat dan jembatan komunikasi, maka bahasa dan budaya akan menjadi sumber persoalan dan konflik di masyarakat.

Bahasa dan Budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena melalui pemahaman terhadap budaya masyarakat tertentu dapat tercermin unsur-unsur komunikasi yang tercermin dalam pemakaian bahasa yaitu, siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, apa makna yang terkandung dalam pesan, dalam konteks apa seseorang berpesan, dan bagaimana menafsirkan pesan (Haryono, 2011). Kesalahan dalam menempatkan unsur-unsur komunikasi dalam budaya masyarakat tertentu dapat mengakibatkan hambatan/kegagalan komunikasi, bahkan akan menyulut timbulnya konflik dan kekerasan antarkelompok penganut budaya tersebut. Tidak jarang masalah-masalah kecil (spele) telah menjadi masalah besar seperti pembunuhan, karena disebabkan kegagalan komunikasi.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan membentuk pikiran.

Masalah utama dalam komunikasi antarmanusia adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi proses pemahaman terhadap bentuk-bentuk pemakaian gaya bahasa dan norma yang dilakukan orang lain. Pemberian makna terhadap suatu pesan sangat dipengaruhi oleh budaya pengirim mapun penerima pesan. Kesalahan-kesalahan fatal dalam memahami makna dapat menyebabkan persepsi yang salah terhadap maksud dan tujuan komunikasi (Mulyana & Rahmat, 2000).

Gaya bahasa diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995: 119). Sebutan gaya bahasa tersebut tidak dirujukkan pada keseluruhan wujud penggunaan bahasa sebagai wacana, melainkan pada kata dan satuan ujaran yang dianggap mengandung keindahan (estetika). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gaya bahasa (stylistic) merupakan penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Sehingga apa yang akan disampaikan oleh pembicara, pengarang, maupun penulis dapat diterima oleh para pendengar atau pembaca.

Gaya pada dasarnya merupakan cara yang digunakan penutur, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan dan motif yang melatar belakanginya (Haryono, 2007). Gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa, sedangkan retoris menurut kamus bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 2008), berasal dari kata retorika yang berarti keterampilan berbahasa secara efekif. Gaya retoris dalam artikel ini, merupakan bentuk keterampilan berbahasa secara efekif dengan menggunakan pola kosakode tertentu, agar maksud dan tujuan penutur dapat diterima dengan baik tanpa adanya konflik.

Berdasarkan paparan di atas, permasalahan yang akan didiskusikan adalah sebagai berikut: ”Bagaimana penggunaan gaya retoris dalam bahasa Madura dan fungsinya dalam komunikasi sebagai antisipasi konflik?”

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan & Taylor (1975), pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Observasi partisipasi digunakan untuk memperoleh data primer secara langsung tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa sebagai bagian kearifan lokal. Sedangkan wawancara dilakukan untuk memperoleh data pendukung yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap informan pangkal, informan utama, dan informan penunjang. Wawancara menurut (Amber dan Amber, 1984) (periksa Subaharianto dkk, 2004) merupakan teknik untuk mendapat keterangan yang tidak dapat diamati secara langsung karena terdapat dalam pikiran manusia. Dalam kegiatan ini, digunakan alat rekam untuk mengantisipasi keterbatasan peneliti dalam mencatat data yang dikumpulkan. Data hasil rekaman tersebut kemudian ditranskripsi ke data tertulis.

Adapun kegiatan pencatatan dilakukan untuk mencatat data-data yang diperoleh dari lapangan secara langsung, dalam artian semua data dan informasi yang didapat di lapangan dicatat secara cermat pada hari yang sama. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari kemungkinan terlupakan atau tumpang tindih data dan informasi yang diperoleh, baik melalui observasi partisipasi maupun dari informan penelitian.

Data yang berhasil digali dan dikumpulkan, kemudian diklasifikasi dan selanjutnya diadakan interpretasi dalam wujud analisis deskriptif-kualitatif. Dengan model analisis semacam ini, diperoleh paparan dan analisis secara rinci dan mendalam data-data yang diperoleh sesuai permasalahan penelitian.

PEMBAHASAN

Dalam masyarakat Madura terdapat dua gaya retoris, yaitu: (1) gaya retoris langsung, dan (2) gaya retoris tidak langsung. Gaya retoris langsung ialah gaya untuk menyatakan maksud yang diinginkan secara langsung (tanpa basa-basi) dengan menggunakan kata-kata yang bersifat diadik dan tidak memiliki makna bias. Gaya retoris tidak langsung ialah cara mengungkapkan maksud dengan menggunakan bentuk-bentuk linguistis tertentu yang struktur bunyinya hampir mirip dengan makna kata-kata yang dimaksudkan dalam tuturan tersebut.

Gaya Retoris Langsung

Gaya retoris langsung dalam bahasa Madura (BM) yang digunakan sebagai sarana peredam konfliks adalah penanda negatif imperatif. Konstituen yang digunakan sebagai penanda negatif imperatif adalah jhâ’, ella, dan ajjhâ’.

Dilihat dari segi penggunaannya pada sebuah kalimat, penanda negatif imperatif jhâ’ hanya dapat digunakan pada kalimat mayor, ella dapat digunakan pada kalimat mayor maupun kalimat minor, sedangkan ajjhâ’ hanya digunakan pada kalimat minor. Dalam penggunaannya pada kalimat mayor, penanda jhâ’ dan ella sering digunakan secara bersama-sama. Penanda negatif imperatif ajjhâ’ dan ella pada kalimat minor, biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan atau permintaan ijin dari mitra wicara.

Dilihat dari penanda negatif yang digunakan, penyampaian larangan dalam BM dibedakan atas: (a) sangat sopan, (b) sopan, (c) tidak sopan, dan (c) sangat tidak sopan. Perbedaan cara penyampaian larangan tersebut disebabkan oleh sikap mitra wicara dalam melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara (Sofyan, 2004).

Pembicara akan menyampaikan larangannya secara sangat sopan, apabila mitra wicara belum melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara―tetapi ada kemungkinan untuk melakukan. Penanda negatif yang digunakan untuk melarang secara sangat sopan adalah jhâ’…yâ. Penyampaian larangan secara sopan pada kalimat mayor digunakan penanda negatif ella atau

jhâ’, sedangkan untuk kalimat minor digunakan ella atau ajjhâ’. Penyampaian larangan secara sopan dilakukan apabila pembicara melihat bahwa mitra wicara akan atau ada gejala untuk melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara.

Larangan secara tidak sopan disampaikan dengan menggunakan penanda negatif jhâ’…ra, sedangkan untuk larangan secara sangat tidak sopan digunakan penanda negatif jhâ’…ko. Larangan secara tidak sopan dilakukan apabila pembicara melihat mitra wicara melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara, tetapi sebelumnya pembicara belum pernah melarang perbuatan itu. Larangan secara sangat tidak sopan dilakukan, apabila mitra wicara tidak mengindahkan larangan yang dikemukakan oleh pembicara atau mengulangi lagi perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara.

Berikut ini ditampilkan contoh-contoh data kalimat yang mencerminkan cara masyarakat Madura melakukan tindak bahasa yang bertujuan untuk melarang.

  • (1)    Jhâ’ atokar, !

'Jangan bertengkar, ya'

  • (2)    Jhâ’ atokar!

'Jangan bertengkar'

  • (3)    Jhâ’ atokar, ra!

'Jangan bertengkar'

  • (4)    Jhâ’ atokar, ko!

'Jangan bertengkar'

Dari keempat contah kalimat di atas, kalimat (1) yang menggunakan penanda negatif imperatif jhâ’…yâ merupakan cara penyampaian larangan yang sangat sopan. Kalimat (2) merupakan cara penyampaian larangan secara sopan. Penggunaan penanda negatif jhâ’…ra pada kalimat (3) dalam BM dianggap sebagai bentuk larangan yang tidak sopan. Hal itu dilakukan apabila pembicara melihat mitra wicara melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara, tetapi perbuatan tersebut baru pertama kali dilakukan dan pembicara belum pernah melakukan tindakan pelarangan. Kalimat (4) oleh masyarakat Madura dianggap sebagai larangan yang sangat keras atau sangat tidak sopan.

Penanda negatif imperatif jhâ’…ko digunakan apabila mitra wicara mengulangi lagi perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembicara atau mitra wicara tidak mengindahkan larangan yang dikemukakan oleh pembicara.

Untuk semua jenis ragam bahasa, penanda negatif imperatif yang digunakan adalah jhâ’. Penanda negatif imperatif yang penggunaannya berbeda untuk masing-masing ragam bahasa adalah ella dan ajjhâ’, yaitu: untuk ragam engghi-enten digunakan empon, sedangkan untuk ragam èngghi-bhunten digunakan ampon.

Karena penanda negatif merupakan unsur utama dari kalimat negatif, maka penggunaan penanda negatif sangat menentukan tingkat kesopanan pembicara dalam melakukan pengingkaran, penyangkalan, penolakan, atau pelarangan terhadap pernyataan atau sikap mitra wicaranya. Penggunaan penanda negatif yang dianggap paling sopan dalam BM adalah penanda negatif yang dikombinasikan dengan penanda negatif lain, sedangkan yang dianggap paling tidak sopan adalah penanda negatif yang dikombinasikan dengan partikel ko.

Variasi penanda negatif yang dipilih oleh pembicara—apakah yang paling sopan, sopan, ataukah yang paling tidak sopan—lebih dipengaruhi oleh sikap mitra wicara daripada status sosial mitra wicara (Sofyan, 2004). Dalam menggunakan penanda negatif, penutur BM lebih mempertimbangkan pernyataan atau sikap yang ditunjukkan oleh mitra wicara daripada status sosialnya. Pembicara akan menggunakan penanda negatif yang sangat sopan apabila mitra wicaranya menunjukkan pernyataan atau sikap yang sangat sopan. Sebaliknya, kalau mitra wicaranya menunjukkan pernyataan atau sikap yang sangat tidak sopan—seperti tidak mempercayai, menuduh, dan tidak mengindahkan larangan—pembicara akan menggunakan penanda negatif yang sangat tidak sopan.

Gaya Retoris Tidak Langsung

Di samping terdapat gaya retoris langsung, dalam masyarakat Madura juga terdapat gaya retoris tidak langsung. Dalam fenomena bertutur, etnis Madura di Pulau Madura sering kali menggunakan gaya retoris tidak langsung. Artinya,

dalam mengungkapkan maksud yang diinginkan, yang dirasakan, atau yang dipikirkan, dilakukan secara tidak langsung. Dalam mengemukakan sesuatu mereka menggunakan bentuk-bentuk linguistis tertentu yang struktur bunyinya hampir mirip dengan makna kata-kata yang dimaksud dalam tuturan tersebut. Misalnya, menggunakan gaya perbandingan, gaya analogi, atau gaya-gaya bahasa yang lain. Lebih-lebih, jika orang Madura ingin mengemukakan sesuatu yang dirasa dapat menyakiti perasaan pendengar, dianggap tabu, jorok, kasar, atau berkeinginan merahasiakan maksud yang diinginkan. Bentuk kebahasaan yang biasa digunakan sebagai sarana merealisasikan gaya retoris tidak langsung dalam BM adalah bângsalan dan paparèghân.

Bângsalan sebagai fenomena kebahasaan yang biasa digunakan sebagai pengungkap maksud secara tidak langsung sering digunakan oleh orang Madura– di Pulau Madura—dalam bertutur. Bângsalan adalah tuturan yang di dalamnya terdapat satu kata yang memiliki persamaan bunyi dengan kata yang dimaksudkan oleh penutur. Definisi bângsalan menurut Imran (1992: 9) adalah okara sè èangghit nombuwâghi sèttong oca' sè aghândhu' keccap padâ moso keccabbâ oca' sè aghândhu' maksod otabâ karep sè ètombuâghi dâri okara bângsalan jârèya ènyamaè karebbhâ. Maksudnya, bângsalan yaitu kalimat yang di dalamnya terdapat sebuah kata, yang kata tersebut memiliki tata bunyi hampir sama dengan kata yang dimaksud atau yang diinginkan oleh pembicara kalimat tersebut. Bângsalan biasa digunakan oleh orang Madura—di Pulau Madura— untuk bertutur kepada orang, agar orang yang mendengarkan tidak tertusuk perasaannya.

Paparèghân adalah sejenis pantun yang terdiri dari dua baris yang biasa digunakan untuk menyindir mitra wicara atau pihak ketiga secara tidak langsung. Dikatakan sejenis pantun, karena dalam gaya retoris ini terdapat pola persajakan tertentu dan pola struktur kata dengan jumlah kata yang tertentu pula. Secara pragmatik gaya retoris ini dituturkan dengan maksud agar pihak yang disindir tidak merasa sakit hati atau dendam.

Fungsi Penggunaan Gaya Retoris Tidak Langsung

Dalam masyarakat Madura, gaya retoris tidak langsung—yang dilakukan dalam bentuk bângsalan dan paparèghân—digunakan sebagai sarana untuk menasihati, menyindir, melarang dengan cara halus, dan untuk memperlihatkan rasa rendah hati, hormat, sopan, meminta maaf, dan mengolok-olok.

  • a.    Menasehati

Jika penceramah agama (da’i) memberikan ceramah kepada khalayaknya, dan ceramah yang diberikan tersebut berupa nasihat, para dai sering menggunakan kalimat bângsalan dan paparèghân. Demikian pula yang dilakukan oleh kiai pada saat memberikan pelajaran agama kepada para santrinya. Pada saat yang demikian, mereka sering menggunakan paparèghân dan bângsalan sebagai sarana bertutur. Paparèghân dan bângsalan yang lazim dipakai sebagai sarana bertutur oleh para dai dan kiai antara lain seperti terlihat dalam kutipan data berikut. Hal ini dimaksudkan agar nasihat atau perintah ang dikemukakan terasa lebih halus, indah, dan menyentuh perasaan.

Renna atè, nyopprè odi’ ma’ samporna.

’Prihatin, agar hidup lebih sempurna’

(Konteks: Kalimat bângsalan ini dikemukakan oleh seorang da’i. Tuturan ini ditujukan kepada peserta pengajian. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pengajian pada Bulan Puasa)

Referen yang diacu oleh kata renna atè adalah kèdi’. Adapun makna bias atau makna triadik yang dimaksudkan adalah odi’. Tujuan penutur menggunakan bângsalan tersebut adalah agar nasihat yang diberikan terasa lebih halus dan menyentuh perasaan mitra tutur sehingga nasihat tersebut lebih berkesan. Proses penafsiran bângsalan tersebut diawali dari kata renna atè, kemudian kèdi’, lalu sampai pada kata odi’. Bângsalan lain yang biasa diutarakan oleh para da’i ketika memberikan ceramah agama berbunyi sebagai berikut.

Aèng ghâli, para kanca ngèstowana

’Air padat (batu), wahai teman perhatikan’

(Konteks: Kalimat bângsalan ini dikemukakan oleh seorang da’i atau kiai.

Tuturan ini ditujukan kepada peserta pengajian atau para santri. Situasi

cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pengajian atau pada saat santri mendengarkan ceramah dari kiai.)

Referen yang diacu oleh kata aèng ghâli ‘air padat’ adalah bâto ‘batu’. Adapun makna bias atau makna triadik yang dimaksudkan adalah èsto ‘memperhatikan’ atau ngèstowana ’memperhatikan’. Tujuan penutur menggunakan bângsalan tersebut adalah agar nasihat yang diberikan terasa lebih halus dan menyentuh perasaan mitra tutur, sehingga nasihat tersebut lebih berkesan. Proses penafsiran bângsalan tersebut diawali dari kata aèng ghâli, kemudian èsto, lalu sampai pada kata èstowana. Bângsalan sejenis ini yang juga biasa diutarakan oleh para dai atau kiai ketika memberikan ceramah agama berbunyi sebagai berikut.

Obi paè’, nyarè èlmo sè aghuna.

’Ubi pahit (temmo), mencari ilmu yang berguna’

(Konteks: Kalimat bângsalan ini dikemukakan oleh seorang dai atau kiai. Tuturan ini ditujukan kepada peserta pengajian atau para santri. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pengajian atau pada saat santri mendengarkan ceramah dari kiai)

Referen yang diacu oleh kata obi paè’ ‘ubi pahit’ adalah temmo ‘temu/ temu lawak’. Adapun makna bias atau makna triadik yang dimaksudkan adalah èlmo ‘ilmu’. Tujuan penutur menggunakan bângsalan tersebut adalah agar nasihat yang diberikan terasa lebih halus dan menyentuh perasaan mitra tutur sehingga nasihat tersebut lebih berkesan. Proses penafsiran bângsalan tersebut diawali dari kata obi paè’, kemudian temmo, lalu pada akhirnya sampai pada kata èlmo. Bângsalan lain yang juga sering dituturkan oleh kiai kepada santrinya adalah berbunyi sebagai berikut.

Ranca’ perrèng, jhâ’ rang-korang nyarè èlmo.

’Ranting bambu (carang), jangan kurang-kurang mencari ilmu’

(Konteks: Kalimat bângsalan ini dikemukakan oleh seorang dai atau kiai. Tuturan ini ditujukan kepada peserta pengajian atau para santri. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pengajian atau pada saat santri mendengarkan ceramah dari kiai)

Referen yang diacu oleh kata ranca’ perrèng ‘ranting bambu’ adalah carang ‘carang’. Adapun makna bias atau makna triadik yang dimaksudkan

adalah korang ‘kurang’. Tujuan penutur menggunakan bângsalan tersebut adalah agar nasihat yang diberikan terasa lebih halus dan menyentuh perasaan mitra tutur, sehingga nasihat tersebut lebih berkesan. Proses penafsiran bângsalan tersebut diawali dari kata ranca’ perrèng, kemudian menjadi carang, lalu pada akhirnya sampai pada kata korang atau rang-korang.

Ghâman jhâlu, jhâlu neccek dâ’ ka nangka

Lopot jhâjhi, akkal trèka jhâ’ paajhi

’Senjata jalu – taji – menancap ke buah nangka

Tidak tepat janji, pikiran culas jangan dihargai’

Referen yang diacu oleh kata ghâman jhâlu ‘senjata jalu’ adalah tajhi ‘taji’. Adapun makna bias atau makna triadik yang dimaksudkan adalah ajhi ‘berharga’ lalu menjadi paajhi ‘berarti’. Tujuan penutur menggunakan tuturan bângsalan tersebut adalah agar nasihat yang diberikan terasa lebih halus dan menyentuh perasaan mitra tutur, sehingga nasihat tersebut lebih berkesan. Proses penafsiran bângsalan tersebut diawali dari kata ghâman jhâlu, kemudian menjadi ajhi, lalu diasosiakan menjadi kata paajhi.

Di samping menggunakan bângsalan, orang Madura sering menggunakan paparèghân untuk keperluan menasihati mitra wicara. Yang biasa menggunakan paparèghân untuk keperluan menasihati adalah para da’i atau kiai, apakah pada saat mereka memberikan ceramah agama atau mengajar para santri. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kutipan data berikut.

  • (1)    Dhâghing olor palèng powa

Rang-rang ongghu ra’-ora’na

Soka norot ka rèng towa

Bhâghus tèngka sooca’na

’Daging olor paling lunak

Sangat jarang urat-uratnya

Suka menurut ke orang tua

Baik tingkah dan ucapannya’

  • (2)    Sè aghâjâr mondhu rampa’

Nompa’ krèta ka pasar sore

Bilâ ajhâr kodhu teppa’

Ma’ ta’ kasta budi arè

’Yang melempar mundu rindang

Naik kereta ke pasar sore

Bila belajar harus mantap

Agar tak menyesal di kemudian hari’

  • (3)    Namen maghi’ tombu sokon

Ngagghâ pètè’ ngarkar abu

Orèng odi’ kodu rokon

Ajjhâ’ sampè’ tokar padhu

’Menanam asam tumbuh sukun

Mengusir anak ayam (yang) mengais abu

Orang hidup harus rukun

Jangan sampai saling bertengkar’

(Konteks: Kalimat paparèghân tersebut dikemukakan oleh seorang dai atau kiai. Tuturan ini ditujukan kepada peserta pengajian atau para santri. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pengajian atau pada saat santri mendengarkan ceramah dari kiai)

  • b.    Menyindir

Jika orang Madura akan menyindir mitra wicara yang dianggap berstatus sosial lebih tinggi atau yang dihormati, mereka tidak menyindirnya secara langsung, melainkan dengan cara tidak berterus-terang. Menyindir secara tidak langsung dilakukan dengan cara menggunakan bângsalan atau paparèghân sebagai sarana melakukan sindirannya. Hal ini sebagaimana terlihat pada bângsalan yang berbunyi seperti berikut.

Ongguh, ampon ngembhâng pènang gih Pak Guru?

(Sungguh, jangan lupa ya Pak Guru)

(Konteks: Kalimat bângsalan ini dikemukakan oleh seorang murid. Tuturan ini ditujukan kepada guru mengaji atau ustadz. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pada saat pengajian atau ceramah berlangsung atau usai.)

Di dalam bahasa Madura kembhâng pènang (bunga pinang) disebut palopa. Arti secara harafiah bângsalan tersebut ‘jangan lupa’. Dengan demikian, secara triadik, jika orang Madura mengemukakan kata kembhâng pènang yang dimaksudkan atau berarti palopa atau ‘lupa’. Dari kembhâng pènang menjadi palopa lalu bermakna ‘lupa’. Untuk mengingatkan kepada Pak Guru agar tidak lupa terhadap sesuatu yang dipesan oleh penutur, penutur (siswa) tidak

mengemukakannya secara berterus terang, melainkan mengemukakannya dengan cara demikian. Ia tidak mengemukakannya dengan kalimat perintah atau peringatan secara wajar (harafiah) melainkan mengemukakannya dengan katakata yang bersifat triadik dalam bentuk bângsalan.

Kembhâng geddhâng, sabhârâng tèngka ajjhâ’ nongkol.

’Bunga pisang –tongkol – tingkah laku jangan sombong’

Di dalam bahasa Madura kembhâng geddhâng (bunga pisang) disebut tongkol. Arti harafiah bângsalan tersebut ‘jangan sombong’. Dengan demikian, secara triadik, jika orang Madura mengemukakan kata kembhâng geddhâng yang dimaksudkan tongkol berarti ‘sombong’. Dari kembhâng geddhâng menjadi tongkol lalu bermakna ‘sombong’. Untuk mengingatkan kepada peserta pengajian dengan sikap hormat atau sopan dai mengemukakannya tidak secara berterus terang, melainkan mengemukakannya dengan cara tidak langsung, yaitu dengan bângsalan itu. Ia tidak mengemukakannya dengan kalimat perintah atau peringatan secara wajar (harafiah) melainkan mengemukakannya dengan katakata yang bersifat triadik dalam bentuk bângsalan.

Conglèt ghântong, matèngghi tadâ’ ghunana.

’Lampu gantung – sengghi – tinggi omongan tidak ada gunanya’

Di dalam bahasa Madura conglèt ghântong (lampu gantung) disebut sengghi. Arti harafiah bângsalan tersebut ‘tinggi omongan tidak ada gunanya’. Dengan demikian, secara triadik, jika orang Madura mengemukakan kata conglèt ghântong yang dimaksudkan sengghi berarti ‘tinggi/ sombong’. Dari conglèt ghântong menjadi sengghi lalu bermakna ‘tinggi atau sombong’. Untuk mengingatkan kepada peserta pengajian dengan sikap hormat atau sopan dai menasihatinya tidak secara berterus terang, melainkan mengemukakannya dengan cara tidak langsung, yaitu dengan bângsalan itu. Ia tidak mengemukakannya dengan kalimat perintah atau peringatan secara wajar (harafiah) melainkan mengemukakannya dengan kata-kata yang bersifat triadik dalam bentuk bângsalan.

Di samping menggunakan bângsalan, orang Madura sering menggunakan paparèghân untuk keperluan menyindir mitra wicara. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kutipan data berikut.

Tembhâng pangkor nyang-kornyangan

Orèng dâpor nyang-kenyangan

’Tembang pangkor, mengalun bertalu-talu

Orang dapur, paling kenyang’

(Konteks: paparèghân ini dikemukakan oleh seorang yang sedang membantu mengerjakan terop pada sebuah keluarga yang akan mempunyai hajad (mengkhitankan anaknya). Tuturan ini ditujukan kepada orang dapur yang sedang memasak makanan atau kue. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pada saat persiapan hajadan pada sebuah keluarga.)

Paparèghân ini biasa digunakan untuk menyindir orang dapur pada saat ada hajadan atau ada pesta. Dalam acara itu biasanya ada yang bekerja di dapur memasak atau membuat kue dan ada pula yang bekerja di dalam rumah atau di halaman rumah mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan dalam acara hajadan tersebut.

Orang yang bekerja di dapur dekat dengan makanan, karena dapur adalah tempat menyimpan dan atau membuat makanan, sedangkan orang yang ada di dalam rumah atau di halaman rumah tidak dapat mengambil makanan seenaknya. Menurut orang yang bekerja dalam rumah, bekerja di dapur lebih enak daripada di dalam rumah atau di halaman, karena jika lapar dan haus langsung dapat mengambil makanan atau minuman.

Sementara itu, mereka yang bekerja di dalam rumah atau di luar rumah tidak dapat berbuat demikian. Jika haus dan lapar, misalnya, mereka harus pergi ke dapur. Sebagai sarana menyindir orang di dapur supaya tidak seenaknya mengambil makanan untuk keperluan dia sendiri tetapi juga memikirkan mereka yang bekerja di luar dapur, mereka menyindirnya dengan paparèghân yang berbunyi seperti itu.

Hal ini disebabkan, jika pernyataan tersebut tidak dikemukakan dengan menggunakan paparèghân kemungkinan dapat membuat mereka yang bekerja di dapur merasa tersinggung. Jika hal ini terjadi, tentu hubungan antarmereka dapat

menjadi tidak akrab. Demi menjaga keharmonisan hubungan yang telah mereka jalin sebelumnya, mereka lalu melakukan gaya retoris semacam itu dalam berkomunikasi. Sindiran semacam itu tidak saja terjadi dalam hubungannya dengan masalah tersebut, tetapi dalam ranah hubungan sosial yang lain sering terjadi fenomena komunikasi semacam itu. Hal ini sebagaimana terlihat pada data paparèghân berikut.

Ca’na Jippang, tapè Nippon

Ca’na ghâmpang, tapè magippon

’Katanya Jepang, tetapi Nipon

Katanya ghâmpang, tetapi bingung’

  • c.    Memperlihatkan Rasa Rendah Hati, Hormat, dan Sopan

Orang Madura jika ingin menunjukkan rasa hormat, menunjukkan rasa rendah hati, dan menunjukkan sikap sopan kepada mitra wicara sering menggunakan bângsalan sebagai sarana merealisasikan sikap itu. Hal ini sebagaimana terlihat pada kutipan data berikut.

Eatorè pondhut dâ’ârrâ, bighi accem pangghina.

’Dipersilakan mengambil makan atau mengambil hidangan, seadanya’

(Konteks: bângsalan ini dikemukakan oleh seorang yang sedang mempersilakan tamunya memakan makanan yang dihidangkan. Status sosial yang mempunyai rumah lebih rendah daripada orang yang bertamu. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pada saat ada seseorang bertamu ke rumah seseorang)

Kata bighina accem (biji asam) pada bângsalan ini dalam bahasa Madura biasa disebut maghi’, yang dimaksudkan atau panebhussâ (penebusnya) adalah saghi-pangghina ‘seadanya’. Bângsalan ini biasa dikemukakan oleh orang Madura ketika mempersilakan tamu pada saat jamuan makan. Untuk menunjukkan sikap merendah, dan menunjukkan sikap hormat, mereka mempersilakan tamu mereka untuk menikmati hidangan yang telah disediakan dengan mengemukakan bângsalan seperti ini. Bângsalan ini biasa dikemukakan kepada orang yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi daripada si penutur. Misalnya, ketika penutur berbicara kepada mitra wicara yang berstatus sebagai guru (ustadz), pejabat, atau kiai.

  • d.    Melarang dengan Halus

Orang Madura di samping menggunakan bângsalan sebagai sarana menyindir, mereka kadang-kadang menggunakannya sebagai sarana melarang dengan cara halus. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara pembicara dengan mitra wicara, melarang tidak dilakukan secara terus terang, melainkan disampaikan dengan cara mengemukakan bângsalan dan paparèghân yang bernada melarang. Hal ini sebagaimana terlihat pada kutipan data berikut.

Manabi ghâpanèka, panjhennengngan tamaso’ jhârum rajâ neng è kaju.

’Kalau begitu, Anda termasuk jarum besar di dalam kayu’

Frase jhârum rajâ neng è kaju (jarum besar yang di kayu) adalah pako, yang dimaksud oleh pembicara atau panebbhussâ adalah kokoh atau kuat. Secara triadik—berdasarkan interpretasi lokal dan interpretasi analogis—diperoleh keterangan begini, agar suatu benda dapat masuk ke dalam kayu, benda tersebut harus kuat dan tajam, jika tidak memiliki sifat demikian, benda tersebut pasti akan patah dan tidak dapat menembusnya. Demikian pula, jika orang akan melakukan sesuatu, lebih-lebih jika hendak menentang arus atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak orang banyak. Meskipun bertujuan mulia, orang yang melakukan tersebut harus memiliki kekuatan lebih daripada kekuatan lawan. Jika tidak demikian, tidak ada gunanya melakukan pekerjaan itu.

Untuk melarang mitra wicara dengan cara halus agar mitra wicara tidak melakukan tindakan tertentu—karena menurut pertimbangannya tidak cukup kuat dan jika terpaksa dilakukan akan membuatnya mati konyol—penutur melarangnya dengan bângsalan seperti yang telah dicontohkan. Di samping dengan bângsalan seperti itu, orang Madura di Sumenep—khususnya muda-mudi—menggunakan paparèghân sebagai sarana melarang dengan sikap halus dan hormat. Paparèghân itu antara lain berbunyi sebagai berikut.

Jhuko’ jhubit rajhâmèna

Ngala’ terrong ka lembâna

Jhâ’ bit-abit bulâ èdhina

Lako kerrong ka robâna

’Ikan jubit raja laut

Mengmabil terong ke lembah

Jangan terlalu lama saya ditinggalkan

Selalu rindu ke wajahnya’

(Konteks: paparèghân ini dikemukakan oleh seorang pegantin baru yang akan ditinggal pergi oleh suaminya. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pada saat sepasang suami istri sedang makan siang di rumah)

  • e.    Meminta Maaf

Orang Madura di samping menggunakan paparèghân sebagai sarana menyindir, mereka kadang-kadang menggunakannya sebagai sarana meminta maaf dengan setengah bergurau. Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara pembicara dengan mitra wicara, meminta maaf tidak dilakukan secara terus terang, melainkan disampaikan dengan cara mengemukakan paparèghân yang berisi sampiran dan isi. Hal ini sebagaimana terlihat pada kutipan data berikut.

Kacèpot ghulâna mèra

Sala lopot nyo’on sapora

’Keciput bergula merah

Jika ada salah mhon dimaafkan’

(Konteks: paparèghân ini dikemukakan oleh seorang penceramah ketika akan mengakhir ceramahnya. Situasi cakapan yang melingkupi tuturan tersebut adalah pada saat pengajian atau ceramah peringatan hari besar agama di desa)

  • f.    Mengolok-olok Sambil Bergurau

Orang Madura di samping menggunakan paparèghân sebagai sarana menyindir, melarang, dan sejenisnya, mereka kadang-kadang menggunakannya sebagai sarana mengolok-olok dengan sikap bergurau (co-ngoco: Madura). Untuk menjaga keharmonisan hubungan antara pembicara dengan mitra wicara, mengolok-olok tidak dilakukan secara terus terang, melainkan disampaikan dengan cara mengemukakan paparèghân yang terdiri dari sampiran dan isi. Hal ini sebagaimana terlihat pada kutipan data berikut.

Pa’lèmpong, padi ghâghâ rè-serrèan

Eppa’ labu nèngkong, bu’ odâ rè-sarèan

’Pa’lempong, padi gaga sere-serean

Bapak jatuh jongkok, ibu muda mencari-cari’

Secara linguistis bângsalan dalam bahasa Madura berciri terdapat satu kata yang memiliki persamaan bunyi dengan kata yang dimaksudkan oleh penutur. Ciri bângsalan yaitu dalam kalimat yang dibuat ada kata yang sama dengan kata yang dimaksudkan sesungguhnya oleh penutur (Haryono & Sofyan, 2009). Gaya retoris ini biasa digunakan oleh orang Madura untuk bertutur kepada orang, agar orang yang dituju tidak tertusuk perasaannya, meskipun tuturan tersebut untuk mengkritik atau menyindir, melarang, memerintah, mengolok-olok atau mencaci maki, dan merendah.

Orang yang mendengarkan kalimat bângsalan tidak dapat secara langsung memahami maksud tuturan yang dikemukakan oleh penuturnya jika tdak melakukan interpretasi lokal dan interpretasi analogis. Agar orang yang mendengarkan tahu maksud yang diinginkan harus mencari kata-kata penebusan (panebbhussâ) yang ada di belakang kalimat bângsalan tersebut.

Ciri-ciri paparèghân sebagai salah satu sarana merealisasikan gaya retoris tidak langsung dalam bahasa Madura adalah seperti pantun yang terdiri dari dua baris. Secara pragmatis tuturan ini biasa digunakan untuk menyindir mitra wicara atau pihak ketiga secara tidak langsung.

Dikatakan seperti pantun, karen dalam gaya retoris ini terdapat pola persajakan (parikan: JW) tertentu dan pola struktur kata (guru wilangan: JW) dengan jumlah yang tertentu pula. Secara pragmatik gaya retoris ini dituturkan dengan maksud agar pihak yang disindir tidak merasa sakit hati atau dendam. Dilihat dari strukturnya, baris pertama dalam paparèghân biasanya berisi sampiran, sedangkan baris kedua berisi makna yang dimaksudkan oleh penutur. Di samping digunakan untuk menyindir, gaya retoris ini biasa juga digunakan sebagai sarana pasemon (menyampaikan sesuatu secara samar-samar).

Dalam memahami paparèghân tidak diperlukan interpretasi lokal dan interpretasi analogis. Pemahaman akan paparèghân hanya memerlukan

pemahaman sesuatu yang bersifat linguistis dengan sedikit pengetahuan tentang konteks, baik yang menyangkut konteks pemakai maupun konteks pemakaian bahasa. Dengan demikian dapat ditentukan bahwa pemahaman akan paparèghân dalam bahasa Madura lebih bersifat linguistis daripada pragmatis.

Sebaliknya, pemahaman akan bângsalan lebih bersifat pragmatis daripada linguistis. Dengan demikian diperlukan pemahaman akan kemampuan pragmatik, misalnya kemampuan melakukan interpretasi lokal dan interpretasi analogis. Untuk dapat melakukan interpretasi lokal dan interpretasi analogis secara tepat diperlukan pemahaman akan persoalan presuposisi atau pranggapan.

Orang Madura biasa menggunakan paparèghân dan bângsalan sebagai sarana untuk: (1) menasihati, (2) menyindir, (3) memperlihatkan rasa rendah hati, hormat, dan sopan, (4) melarang dengan cara halus, (5) meminta maaf, dan (6) mengolok-olok sambil bergurau.

Menurut informasi dari para budayawan dan praktisi BM, pada saat ini paparèghân dan bângsalan jarang sekali digunakan dalam tuturan sehari-hari; bahkan banyak yang tidak memahami maksud dari gaya retoris tidak langsung yang terdapat dalam BM. Oleh karena itu, sebagai sarana peredam konflik, kedua jenis gaya retoris tersebut perlu direvitalisasi dengan cara mengajarkannya di sekolah-sekolah.

SIMPULAN

Gaya retoris langsung yang digunakan sebagai sarana antisipasi konflik adalah penanda negatif imperatif. Penyampaian larangan dalam BM dibedakan atas: (1) sangat sopan, (2) sopan, (3) tidak sopan, dan (4) sangat tidak sopan. Penanda negatif yang dianggap paling sopan dalam BM adalah penanda negatif yang dikombinasikan dengan penanda negatif lain, sedangkan yang dianggap paling tidak sopan adalah penanda negatif yang dikombinasikan dengan partikel ko.

Dalam budaya Madura, untuk mengemukakan sesuatu yang bertujuan untuk mengkritik atau menyindir, melarang, memerintah, mengolok-olok atau mencaci

maki, dan merendahkan digunakan gaya retoris tidak langsung. Bentuk kebahasaan yang biasa digunakan sebagai sarana merealisasikan gaya retoris tidak langsung dalam BM adalah bângsalan dan paparèghân. Bângsalan dan paparèghân digunakan agar orang yang dituju tidak tersinggung perasaannya karena disampaikan secara jenaka.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1995. STLISTIKA: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, Semarang: IKIP Semarang Press

Bogdan R. & Taylor I. S. 1975. Introduction to Qualitative Research to the Social Sciences. New York: John & Sons, Inc.

De jonge, H. (ed).1989. Madura dalam Empat Jaman (Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi). Jakarta: Rajawali.

Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Haryono, A. 2007. “Lagu ‘Du’ Karya Orlov Kunze: Kajian Stilistika”. Dalam Jurnal Semiotika (Jurnal Ilmu Bahasa dan sastra).Vol. 8 (2) Juli-Desember / 2007. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.

Haryono, A . 2011. “Pola Komunikasi Warga NU Etnis Madura sebagai Refleksi Budaya Paternalistik”. dalam Humaniora Jurnal terakreditasi no. 110/Dikti/ Kep/2009. Volume 23, Nomor 2, Juni 2011. Yogyakarta: FIB UGM.

Haryono, A dan Ahmad Sofyan. 2010. “Penggunaan Bahasa dan Gaya Bahasa Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Madura Yang Berfungsi Sebagai Resolusi Konflik”. dalam Jurnal Sawerigading terakreditasi no. 150-LIPI/P2MBI/2009. Vol.16 no.3 Desember/2010. Ujung Pandang: BB Ujung Pandang.

Imran, M. 1992. “Bângsalan tor paparèghân Madurâ” dalam buletin Konkonan Pamertè Bâsa Madhurâ II (22). Sumenep: Tim Nabara.

Mulyana, D. dan Jalaluddin Rahmat. 2000. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Alwi, Hasan, dkk., 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa. 1826 hlm.

Sofyan, Akhmad. 2004. “Tinjauan Sosio-Etnolinguistik terhadap Penggunaan Penanda Negatif dalam Bahasa Madura (Sebagai Upaya untuk Memahami Karakteristik Masyarakat Etnis Madura)” Laporan Penelitian Didanai DP4M Dikti. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

Subaharianto, Andang dkk. 2004. Madura bicara PLTN. Jember: UPT Penerbitan Universitas Jember.