WACANA SERAT HARDAMUDHA (KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA JAWA)

Kamidjan

FBS-Unesa Surabaya

Jalan Ketintang, Surabaya, Jawa Timur, Telepon (031)8280383 [email protected]

ABSTRAK

Serat Hardamudha merupakan salah sastu naskah sastra Jawa Klasik yang di dalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut sebaiknya dipertahankan dan dilestarikan agar dapat dipakai sebagai pegangan hidup masyarakat. Nilai-nilai tersebut diujudkan dalam kepercayaan masyarakat dan berbagai tradisi. Kepercayaan yang dituangkan dalam karya tersebut berupa kepercayaan terhadap benda-benda bertuah yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan kepercayaan adanya paranormal, yang berperan sebagai penolong masyarakat yang sedang menghadapi masalah dan cobaan. Di samping itu di dalamnya juga terdapat tradisi slametan, untuk tolak bala dan mohon keselamatan. Slametan tolak bala dilakukan untuk penyembuhan penyakit nonmedis. Slametan mohon keselamatan diujudkan dalam siklus kehidupan manusia, yaitu pernikahan. Slametan tersebut dilengkapi dengan acara tirakatan. Selain tirakatan dalam karya tersebut juga terdapat tradisi tirakat dan ziarah kubur.

Kata kunci: wacana, sastra Jawa Klasik, tradisi slametan, tirakatan, dan pernikahan.

ABSTRACT

Serat Hardamudha is one of the classical Javanese manuscript that contain local values. The values need to be maintained and preserved to be used as the life guidance of the local community. The values are presented in the form of belief and various traditions. The belief maintained in the work is a belief on the magical objects and belief on magicians who have graet role in society to help people facing various problems in their life. Besides, it also contains tradition of thanks giving for tolak bala (evil denying) and mohon keselamatan (health begging). Thanks giving for tolak bala is done to heal namedical disease, but thanks giving for mohon keselamatan is done in human;s life time, namely, wedding time which is completes with an activity called tirakatan. In addition to tirakatan of tirakat and ziarah kubur are also mentioned in the work.

Keywords” discourse, classical literature, slametan tradition, tirakatan, and wedding

PENDAHULUAN

Rassers (1922) menyatakan bahwa masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sebelum orang Hindu mempengaruinya, tetapi baru terungkap dalam Cerita Panji. Sebuah karya sastra monumental yang mengangkat sumber pribumi. Pendapat itu berdasarkan penelitiannya, bahwa mereka telah mengenal eksogam atau conflick duality ide. Dua hal yang bertentangan tetapi saling melengkapi.

Masyarakat Jawa mengenal sistem kebudayaan terbuka. Mereka menerima berbagai kebudayaan asalkan tidak bertentangan dengan pandangan hidup jati dirinya. Dengan sikap tersebut terjadi akulturasi budaya yang sangat kompleks. Akulturasi itu menambah khasanah kekayaan budaya bangsa. Pernyataan itu menjelaskan bahwa walau mendapat pengaruh budaya asing, tetapi masih ada upaya untuk mempertahankan budaya sendiri. Kebudayaan setempat berbaur dengan pengaruh asing menimbulkan perpaduan, keduanya berhubungan disebut kearifan lokal, (Rosidi,2010:1). Sejak zaman kuna masyarakat Jawa menampakkan kemampuan mempertahankan kearifan lokal dalam menghadapi pengaruh asing merupakan sebuah tantangan. Kearifan lokal atau cultural identity, merupakan identitas/kepribadian bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai karakternya.

Sejalan dengan pendapat tersebut, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki budaya yang sangat tinggi. Budaya itu hingga kini sebagian masih bisa dipertahankan tetapi mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan alam pikir dan pengetahuan masyarakat. Sebagai bukti bahwa kebudayaan bangsa sebagai penanda identitas tetap bekerja dan secara kreatif berkembang. Masuknya berbagai agama dan budaya asing, menambah kekayaan budaya bangsa. Namun demikian sebagian budaya asli bisa diselamatkan sebagai nilai kearifan lokal.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan yang berdasar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dan melembaga (Sartini.2009:6). Ia sebaiknya dijaga, dikembangkan mengikuti arus perkembangan, mampu mempertahankan identitas dan dapat berkolaborasi dengan aneka perkembangan budaya tetapi tidak larut dan hilang dari identitasnya. Kondisi sosial budaya masyarakat Jawa dewasa ini kurang mendukung. Selain generasi muda yang kurang tertarik juga munculnya kelompok Islam moderat yang mempercepat tergesernya kearifan lokal, yang berfungsi memperkuat jati diri bangsa.

Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, tradisi, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Ia memiliki bermacam-macam fungsi. Salah satunya adalah mengatur kehidupan masyarakat, dengan memanfaatkan nilai-nilai yang berkandung di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual, maupun sosial ekonomi.

Kearifan lokal mencuat dalam wacana nilai-nilai budaya lokal yang mulai tergeser oleh modernisasi. Berbagai diskusi digelar untuk mengangkat nilai-nilai tersebut untuk mengantisipasi pengaruh global sebagai filter masuknya budaya asing, yang lebih mengutamakan nilai-nilai material daripada nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual itulah yang sering diangkat dalam rangka membentuk pribadi atau pembinaan karakter bangsa. Pelaksanaannya selain dalam keluarga juga melalui jalur pendidikan yang kini sedang digalakkan. Dalam keluarga orang tua menjadi panutan, pendidik pertama dan utama bagi anak. Tingkah laku dan tindakannya pantas diteladani oleh anak.

Kearifan lokal merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Ia merupakan sekumpulan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat untuk bertahan hidup yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos. Proses regenerasinya dilakukan melalui berbagai tradisi dan tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya sastra seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontara dan lain sebagainya (Gunawan, 2010 :1). Lebih tepat bila digunakan karya-karya sastra didaktis moralistis atau sastra piwulang yang memang diprioritaskan untuk membina karakter bangsa. Walaupun demikian fiksi pun bisa memberikan sumbangan yang cukup signifikan karena karya sastra merupakan dokumen sosiobudaya masyarakat yang mengangkat berbagai peristiwa dan kondisi sosial budaya.

PEMBAHASAN

Serat Hardamudha dan Kearifan Lokal

Karya sastra terutama sastra Jawa Klasik, sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang menyangkut keharmonisan kehidupan manusia dan lingkungannya. Nilai-nilai tersebut dapat disosialisasikan kepada generasi muda, sehingga transformasi budaya dari generasi ke generasi yang berkesinambungan tidak terputus. Nilai-nilai tersebut jika tidak dijaga dan dipelihara, dikhawatirkan secara berangsur akan punah. Oleh sebab itu, pengkajian terhadap sastra daerah khususnya sastra Jawa klasik dapat membantu penyebarluasan nilia-nilai yang layak dipertahankan dan dimanfaatkan.

Serat Hardamudha, sebagai hasil karya pujangga Jawa banyak mengungkapkan budaya Jawa yang berkembang pada zamannya. Budaya yang tertuang di dalamnya mampu bertahan walau mendapat pengaruh budaya asing. Karya yang digubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda itu menunjukkan adanya pengaruh budaya Barat khususnya Belanda dan Cina. Sikap Jaka Sudra terpengaruh asing karena bergaul dengan bangsa Belanda dalam perdagangan. Selain budaya asli yang tetap bertahan, di dalamnya justru banyak menunjukkan adanya pengaruh Islam. Kedua budaya itu akhirnya menyatu menimbulkan akulturasi. Namun demikian budaya asli masih dipegang teguh dan bertahan hingga kini, berupa kearifan lokal, yang tertuang dalam nilai-nilai dan norma, yang bersifat universal. Ia produk budaya masa lalu yang hingga kini patut dijadikan pegangan hidup dan bisa dimanfaatkan sebagai salah satu pembangunan karakter bangsa.

Kajian kearifan lokal dalam Serat Hardamudha difokuskan pada kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan Agami Jawi, yang banyak mengupas tentang ma lima dan akibatnya yang hubungannya dengan norma dan agama. Di dalam karya tersebut pengarang menyelipkan kepercayaan masyarakat yang hingga kini masih dipegang teguh, terangkum dalam agami jawi, meliputi percaya pada benda-benda pusaka bertuah, paranormal dan pelaksanaan tradisi. Kajiannya sebagai berikut.

Kepercayaan Masyarakat

Sejak zaman prasejarah masyarakat Jawa telah mengenal Tuhan. Pengenalan itu direalisasikan lewat kepercayaan animisme dan dinamisme. Walaupun dewasa ini era global telah mewabah di masyarakat kepercayaan itu masih tetap hidup. Hal itu tampak pada perilaku sehari-hari masyarakat Jawa seperti berpuasa versi masyarakat dengan jangka waktu tertentu, bersemadi, sesaji, slametan, dan sebagainya. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa masyarakat merasa sangat dekat dengan Tuhan. Dalam situasi tertentu mereka mengadakan ritual memohon kepada Tuhan. Mereka percaya bahwa untuk mencapai tujuan selain usaha dan doa juga dilandasi tawakal dan tirakat. Masyarakat lebih percaya pada dongeng-dongeng yang bersifat sakral, yang mempengaruhi pola berfikir yang bersandar pada nasib. Mereka menyerah pada nasib, narima ing pandum, setelah usaha dan doanya belum terkabul

Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Tuhan dilakukan dengan berbagai cara. Di samping itu, meraka juga percaya terhadap keberadaan makhluk halus. Hal itu dinyatakan oleh Cliford Geerzt (1983:35) bahwa masyarakat Jawa percaya terhadap makhluk halus seperti: (1) memedi, yaitu roh halus yang menakut-nakuti, (2) lelembut, yaitu roh yang menyebabkan kesurupan, (3) thuyul, yaitu makhluk halus yang karib, (4) dhemit, yaitu makhluk halus yang menghuni suatu tempat, dan (5) danyang, yaitu roh pelindung.

Walaupun masyarakat sebagian besar memeluk agama Islam, tetapi mereka masih percaya pada konsep-konsep keagamaan lain, pada makhluk gaib dan kekuatan sakti, melakukan ritual keagamaan yang tidak ada kaitannya dengan ketentuan Islam yang resmi. Sebab mereka menganut varian dari agama Islam Jawa atau Agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:301). Agami Jawi selain terdapat dalam tradidi juga tampak dalam karya sastra. Agami Jawi sebenarnya merupakan kepercayaan masyarakat yang ada di daerah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Herusatoto (1984:27-28) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib dalam masyarakat termasuk salah satu bagian religi. Unsur religi direalisasikan dalam bentuk (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius, (2) sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, hakikat hidup dan maut, dan/serta?

makhluk halus lainnya, (3) sistem upacara religius yang bertujuan untuk mencari hubungan manusia dengan Tuhan, (4) kelompok-kelompok religius atau kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan.

Karya sastra bukan fiktif dan imajinatif, karena di dalamnya memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat (Suwarni, 1996). Salah satu di antaranya adalah kepercayaan masyarakat, yang timbul sejak zaman prasejarah. Pengaruh Hindu dan Islam hidup berdampingan sehingga mudah diterima dan menimbulkan sinkritisme. Hingga kini kepercayaan itu masih dipegang teguh. Mereka percaya kepada benda-benda pusaka, paranormal, ritual keagamaan yang bersandar pada Agami Jawi. Kepercayaan masyarakat yang menggabungkan dua yaitu agama Islam dan Hindu. Unsur tersebut terdapat dalam karya sastra, salah satu di antaranya Serat Hardamudha. Gambaran kepercayaan di dalamnya bersifat sederhana. Misalnya percaya terhadap pusaka bertuah, paranormal, pelaksanaan berbagai tradisi, dan ziarah kubur.

Percaya terhadap Pusaka

Dojosantosa (1986:5-9) menyatakan bahwa masyarakat Jawa memandang benda di sekelilingnya mempunyai kekuatan yang berpengaruh kehidupannya. Demikian pula dengan roh nenek moyang tetap bersemayam di sekitarnya dan masih aktif mengayomi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, timbul sikap hidup yang selalu berusaha untuk mengikatkan diri dengan segala kekuatan yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari.

Serat Hardamudha, menyajikan beberapa informasi tentang adanya kepercayaan terhadap benda-benda pusaka bertuah. Di antara lain: Kyai Jimat, kereta kencana, pusaka kraton Kasultanan Ngayogyakarta peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwana V, keris pusaka milik ayah dari Jaka Sudra, cincin akik milik Haji Asrar, dan cundrik atau keris pusaka milik Abu Kasan. Eksistensi ketiga pusaka itu dituangkan melalui tokoh Jaka Sudra Muda, tokoh utama cerita.

Diceritakan bahwa Jaka Sudra terkena walat Kyai Jimat, ketika mengikuti pameran perdagangan di Pasar Malem di Semarang. Ia melampiaskan nafsunya dengan seorang pelacur di

dekat kereta pusaka itu. Akibatnya alat vitalnya bengkak sebesar buah waluh, berisi nanah. Ia sedih, lemah lunglai, tak berdaya, kesakitan dan tidak dapat berjalan. Dokter dan dukun tidak bisa mengobati, (P.vi. 31-32). Hanya Kyai Sidik Sasmita, dari padepokan Girisonya, yang mampu. Ia membakar kemenyan, membaca mantra tulak bilahi dan mengadakan selamatan di Gedhong Kreta di ratawijayan, mengundang kusir andhong dan dhokar (P.vii.8-13).

. Tradisi semacam itu hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama oleh paranormal ketika mengobati pasiennya. Hal itu merupakan salah satu syarat bila ingin penyakitnya sembuh, sebab penyakit semacam itu tidak melibatkan tenaga medis, melainkan paranormal. Hingga kini masyarakat Jawa masih percaya kepada paranormal. Bahkan tidak terbatas untuk pengobatan melainkan untuk mencari sesuatu yang hilang, perlindungan diri, agar lebih percaya diri dan sebagainya. Dalam Serat Hardamudha terdapat empat macam paranormal, yaitu pendeta, suhu, kyai Islam, dan kyai dari kejawen. Kesemuanya menjadi sasaran pelarian Jaka Sudra Mudha untuk mengatasi dan mencari solusi dalam berbagai masalah yang dihadapi.

Selain kereta kencana Kyai Jimat, dalam Serat Hardamudha terdapat tiga benda pusaka bertuah, yaitu keris pusaka milik ayah Jaka Sudra, cincin bermata akik milik Haji Asrar di Krapyak, dan keris milik Abu Kasan di Gunung Kidul. Keduanya diburu oleh Jaka Sudra Mudha untuk dijual kembali kepada warga Cina di Cirebon dan di Solo. Jaka Sudra sebagai makelar, ingin meraup keuntungan yang sangat banyak, tetapi nasib berkata lain keduanya gagal. Mau untung malah buntung. Di depan pemiliknya pusaka itu menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Jaka Sudra percaya bahwa benda- benda itu bertuah. Ia mau membeli dengan harga tinggi. Dengan harapan mendapat keuntungan sangat besar. Tetapi di depan calon pembeli, kekuatan tersebut sirna. Ia kecewa, Ia pulang dengan tangan hampa. Bayangan keuntungan melimpah pun ikut sirna.

Setelah menjadi pedagang sukses, Jaka Sudra banyak berkenalan dan relasi. Salah satu di antaranya Li Tyong Bin dari Cirebon. Seorang kolektor benda-benda pusaka bertuah. Suatu hari Li Tyong Bin berpesan bila ada benda bertuah,akan dibeli dengan harga tinggi. Jaka Sudra sanggup. Salah satu kawannya memberitahukan bahwa Haji Asrar memiliki sebuah cincin bertuah. Jaka

Sudra membujuk agar cincin itu dijual. Bila memang bertuah ia mau membeli dengan harga tinggi. Sebelumnya ia mencoba kesaktiannya. Cincin dikalungkan pada leher seekor ayam jantan. Ayam ditembak, tidak terluka. Untuk meyakinkan dicoba lagi. Cincin dipegang oleh seseorang. Kuku dan rambutnya tidak bisa dipotong dengan senjata apa pun. Jaka Sudra yakin bahwa cincin itu bertuah (P.x.35).

Masyarakat Jawa percaya terhadap benda-benda pusaka yang bersifat mistis. Benda itu sebagai mascot yang memiliki kekuatan supranatural. Padahal dalam Islam benda-benda itu tidak memiliki kekuatan, karena segala kekuatan hanya milik Allah. Hal itu sejalan dengan pernyataan Haji Asrar pemilik cincin akik. Ia menjelaskan kepada Jaka Sudra, (P.x. 43).

Orang yang percaya kepada kekuatan terhadap suatu benda termasuk orang bodoh (tetep wong cupet budi), tidak percaya akan kekuasaan Allah, dan imannya lemah. Mereka menghamba kepada benda, dia orang kafir. Benda-benda itu hanya sebagai sarana memohon kepada Tuhan (sadaya amung piranti, kangge sarana, nenuwun ing Hyang Widi.(P. xv)

Pada pupuh xvii. 19-22, dijelaskan bahwa seorang kolektor benda pusaka, di Solo menginginkan benda pusaka apa pun bentuknya. Seorang kawan Jaka Sudra Mudha memberitahukan bahwa Abu Kasan seorang petani di desa Poncol, Gunung Kidul, memiliki cundrik (keris kecil) bertuah. Jaka Sudra Mudha ingin mengetahui kekuatan benda itu. Ia mencoba keris pada seekor cicak, diletakkan di bawahnya seketika kering dan gosong. Ia percaya bahwa pusaka itu memiliki kekuatan gaib, (P.xvii.20-21). Untuk membuktikan dan meyakinkan Jaka Sudra, Abu Kasan menceritakan seekor kerbau yang tanpa sengaja menyentuh keris, seketika itu mati kaku dan kering. Pak Abu ditahan, karena tanpa bukti kuat, dia dibebaskan.

Keris pusaka tersebut dianggap benda pusaka bertuah. Namun, Jaka Sudra belum percaya sebelum membuktikan. Seekor cicak diikat benang, lantas disentuh dengan keris. Cicak itu mati dan kering. Belum puas dengan seekor cicak, secara diam-diam ia keluar, keris itu digoreskan pada sebatang pohon jambu di depan rumah Abu Kasan. Seketika itu layu dan kering, (P.xvii.33). Abu Kasan tidak tahu bahwa Jaka Sudra seorang makelar. Seandainya tahu ia tidak meungkin menjual

keris itu. Ia tahu bahwa pada umumnya seorang maklar atau blantik, mereka penipu. Ia tidak percaya bahwa bendaitu memiliki kekuatan gaib. Sebab kekuatan itu hanya milik Allah semata. Tidak ada umat yang mampu menyamai. Mereka yang percaya akan kekuatan gaib suatu benda, tidak percaya akan keberadaan-Nya dan lebih percaya kepada benda-benda pusaka dianggap orang musrik, dan tidak mengakui keagungan Tuhan, Gatra lamun janma angandel marang kahanan, tetep wong cupet budi, (P.x. 43.1-2). Di era global dan kemajuan teknologi yang semakin mendunia, masih banyak kolektor benda-benda pusaka bertuah. Sebagian dari mereka adalah WNI keturunan Cina. Tujuannya ada yang sekedar mengoleksi tetapi ada pula yang memujanya sebagai sipat kandel (perisai diri). Ada pula yang sebagai prestise. Tetapi kepercayaan itu melekat di hati masyarakat.

Percaya kepada Paranormal

Pigeaud (1924) menjelaskan bahwa masyarakat Jawa banyak mendapat pengaruh Hindu. Pendapat itu dibantah oleh Kern, bahwa pengaruh itu hanya sebatas kulit luar atau hanya labelnya saja. Isinya kebudayaan Jawa asli, misalnya: wayang, gamelan, paranormal, primbon, pawukon, dan sebagainya. Dari pernyataan Pigeaud dan Kern itu, ternyata sejak zaman pra Islam orang Jawa telah mengenal paranormal. Di era global, keberadaan paranormal semakin jelas. Mereka membantu masyarakat memecahkan berbagai masalah. Mereka dibutuhkan masyarakat, terutama yang kurang percaya diri.

Serat Hardamudha sebagai dokumen sosiobudaya, di dalamnya menyajikan keberadaan paranormal. Pengarang menghadirkan empat tokoh Paranormal. Mereka adalah Kyai Secadarma di Padepokan Karangnangka, Kyai Sidik Sasmita di padepokan Sunyapringga, Seh Suhu di Pare, dan Ki Irentrih di Kediri. Paranormal itu mempunyai latar belakang dan profil berbeda. Kyai Secadarma paranormal versi Jawa, Kyai Sidik Sasmita versi Islam dan kejawen, Seh Suhu WNI keturunan versi Cina, dan Ki Irentrih versi modern. Mereka menolong menyelesaikan berbagai masalah tanpa pamrih.

Kyai Secadarma paranormal yang pertama kali dikunjungi Jaka Sudra ketika pikirannya kalut setelah kalah berjudi, karena uangnya habis. Ia putus asa. Dalam hati ia ingin bunuh diri karena hidupnya tiada arti lagi. Namun, ia belum siap dan sadar bahwa bunuh diri tidak menyelesaikan masalah dan dosa besar. Ia memilih berkelana barangkali berjumpa dengan teman lama yang bisa membantu memecahkan masalahnya. Ia mengembara tanpa tujuan, hingga larut malam, (P.i.13). Padepokan Karangnangka, diasuh Ki Secadarma. Desa tersebut terkenal sebagai sarang penjahat. Ki Secadarma adalah orang baik. Iaa membina para penjahat seperti kecu, maling, begal, dan rampok (P. i.14). Ia sangat bijak, tetapi kadang kurang tanggap. Ia terlena oleh kebohongan Jaka Sudra. Ia berusaha membantu sesama manusia. Jaka Sudra mulai membual. Menceritakan kisah, yang mengharukan. Ia tertipu sebesar Rp 300,00, (P.i.18-19).

Sebagai seorang pendeta KI Secadarma berkewajiban memberikan nasihat kepada orang yang sesat. Ia merasa bertanggung jawab atas kebaikan muridnya. Jaka Sudra, yang saat itu kilaf, sebelum pulang, diwejang, tentang hakikat hidup manusia. Mencapai keutamaan hidup tidak mudah, karena banyak rintangan yang harus dihadapi. Mereka yang tidak tahu jalan akan tersesat. Misalnya orang yang ingin menikmati hidup tanpa bekerja dan tidak memikirkan masa depan. Mereka mengikuti bujukan dan ajakan setan, karena hanya ingin bahagia di dunia. Ia menempuh jalan sesat seperti berjudi, main perempuan, minuman keras, dan makan enak. Sikap seperti itu sebaiknya dihindari. Ma-lima bertentangan dengan norma masyarakat dan agama. Sebaiknya dihindari. Seandainya melanggarpun harus waspada dan eling. Agar selamat di dunia dan akhirat. Seorang penjudi bagaikan sampah, tidak berharga. Apa lagi hidup di lingkungan istana, lebih teratur dan terhormat.

Nasihat itu ibarat mutiara di tengah sawah, yang dianggap sangat bernilai bagi kehidupan masyarakat (P.i.28). Tetapi Bagi Jaka Sudra tidak ada manfaatnya. Setelah menerima uang ia langsung ke perjudian. Berjudi merupakan penyakit masyarakat, yang harus diberantas. Mereka tidak mempedulikan orang lain hanya memuaskan nafsunya. Mereka hanya memikirkan kepuasan sesaat. Itulah yang harus dipikirkan demi masa depan. Sebab masa depan lebih penting. Perjudian

tidak akan membawa kebahagiaan, melainkan kesengsaraan, (P.i.29). Kehidupan di alam baka juga perlu dipikirkan. Menjalankan kewajiban memang berat, karena tanggung jawab yang harus dipikul. Hidup di masyarakat harus bisa membawa diri, empan papan.

Kyai Sidik Sasmita, seorang kyai yang menjadi pimpinan pondok pesantren di Sunyagiri. Ia menjadi sasaran kedua Jaka Sudra setelah mengalami berbagai cobaan hidup. Setelah anaknya meninggal tanpa sebab, sadar bahwa telah mejalani hidup sesat. Ia putus asa dan pergi tanpa tujuan. Pengembaraannya tiba di Padepokan Sunyopringga (nama lain Sunyagiri). Ia menguasai berbagai macam ilmu, terutama agama, ilmu sufi nujum dan pengobatan tradisonal. Muridnya sangat banyak. Ia tidak pernah menolak cantrik yang ingin belajar. Syaratnya taat menjalankan syariat Islam. Saat beliau sedang memberikan wejangan, Sudra Mudha datang ke padepokan. Ia ingin menjadi muridnya dan belajar agama. Kondisinya sangat memprihatinkan. Penampilannya seperti seorang pengemis. Sebagai muslim dan pimpinan pesantren Kyai Sidik sangat arif. Dalam mengajarkan agama tanpa pandang bulu, siapa pun yang ingin belajar diterima (P.v.1-2).

Sikap bijak seorang kyai tampak pada diri Kyai Sidik Sasmita. Jaka Sudra disambut dengan lemah lembut. Ia sabar dan banyak ilmu, tampak pada kebijakannya. Dia memandang seseorang bukan dari penampilan melainkan dengan mata hati. Jaka Sudra saat itu membutuhkan pertolongan, berupa siraman rokhani yang selama ini diabaikan. Ia menyadari bahwa wejangan Ki Secadarma saat menyerahkan uang adalah benar. Kenikmatan sesaat yang didambakan ternyata membawa petaka. Ia mendapat teguran dari Tuhan. Setelah menyadari kesalahan ia berguru kepada Kyai Sidik Sasmita. Di depan sang kyai, ia ingin berguru dan bertobat. Dengan rendah hati ia akan mengemis, tetapi bukan harta benda melainkan ilmu sejati. Dengan harta benda, ia menderita lahir dan batin. Penderitaan itu dibawa ke padepokan (P.v.3-4).

Sudra sangat berharap bisa memehami dan mendalami ilmu sejati, ilmu tentang Ketuhanan. Dia akan menjalankan sekuat tenaga. Bahkan sampai mati pun ia rela. Jaka Sudra Mudha percaya bahwa Kyai Sidik telah mengetahui maksud kedatangannya, (P.v.5). Kyai Sidik Sasmita menyanggupi akan memberikan ajaran keutamaan ’kawruh sejati’ syariat Jeng Rasul (syariat Nabi

Muhamad, SAW). Di antaranya menjalankan salat lima waktu, menjalankan puasa Ramadhan, membayar zakat, dan menghindari zina apa lagi dengan perempuan bersuami. Walau tidak ada yang mengetahui Allah tahu segalanya. Perbuatan lain yang dilarang agama adalah berjudi, fitnah, madad minuman keras, dan sebagainya, (P.v.6-10).

Selain mengajarkan ilmu agama, Kyai Sidik juga dapat mengobati penyakit penyakit nonmedis. Misalnya ketika Jaka Sudra Mudha terkena walat kereta kencana Kyai Jimat, diobati oleh Kyai. (P.vii.2-4). Sebagai penganut Islam yang taat ternyata ia masih menjalankan tradisi Jawa. Dalam pengobatan ptu ia ngobong menyan, dan membaca mantra (P.vii.7) dan mengadakan selamatan dengan hidangan sega wuduk liwet pitik (P.vii.11).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa masyarakat sebagai menganut Islam, masih percaya kepada hal-hal yang bersifat mistis. Percaya kepada kekuatan di luar diri manusia, yang tinggal di sekitarnya. Tokoh Kyai Sidik mewakili masyarakat Jawa pada zamannya. Bahkan hingga saat ini pengobatan semacam itu masih dilakukan. Kyai Sidik berperan sebagai dhukun, penyembuh penyakit non medis dan sebagai guru spiritual Jaka Sudra Mudha.

Ki Irentrih, seorang paranormal modern. Ia memiliki pekerjaan pokok yang telah mapan. Ia menjabat Asisten Residen Kediri, (P.xiv.15). Sebagai paranormal, ia hanya bermaksud menolong sesama tanpa pamrih. Dia tidak menerima imbalan apalagi pasang tarif. Tamunya disediakan penginapan dan akomodasi. Realita dalam masyarakat, pada umumnya PNS mencari paranormal untuk mempertahankan jabatan dan sebagai guru spiritual tetapi dalam Serat Hardamudha, seorang PNS menjadi paranormal. Ia tidak memungut biaya.

Ki Irentrih menjadi sasaran Jaka Sudra berikutnya. Berkat usahanya yang pantang menyerah, Jaka Sudra menjadi pedagang batik yang berhasil. Dia mempunyai banyak karyawan. Salah satu di antaranya adalah Pak Sukartak, berasal dari Bandung, tinggal di Surabaya. Ia dipercaya untuk menjual barang dagangan hingga ke luar pulau. Pertama, di Surabaya dan Bandung. Di Surabaya ia berhasil menjual barang dagangan hingga habis. Ia menawarkan diri untuk mengikuti pasar malam di Sumbawa. Awalnya pembayarannya lancar. Bulan berikutnya Sukartak mulai ingkar janji.

Selama tiga bulan tidak ada kabarnya. Jaka Sudra curiga. Untuk mengetahui keberadaan Pak Sukartak, ia menjumpai Ki Irentrih.

Tuan Irentrih bijak sabar dan rendah hati dalam menghadapi para tamu. Ia mengatakan bahwa Jaka Sudra salah alamat. Ia tidak bisa memberikan jalan keluar. Ia hanya manusia biasa. Manusia harus berusaha dan mohon kepada Tuhan, agar mendapat rahmat dan hidayah. Jaka Sudra tetap berharap, agar tuan Irentrih bersedia membatunya untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya, (P.xiv.19). Ia memberikan nasihat bahwa sebagai manusia, ia wajib menolong sesama. Tetapi juga wajib memohon kepada Tuhan. Karena segala yang ada di dunia atas kehendaknya. Manusia tidak berhak memiliki, (P. xiv.20-21).

Jaka Sudra dipanggil oleh Tuan Irentrih. Ia memberikan informasi tentang keberadaan Sukartak. Ia masih hidup tetapi takut pulang karena uang hasil penjualannya habis untuk ke pelacuran. Jaka Sudra disarankan untuk menanyakan kepada Seh Suhu di Gunung Trugena, Pare, Kediri. Seorang paranormal kondang keturunan Cina.

Seh Suhu, menjadi sasaran selanjutnya setelah Jaka Sudra mendapatkan titik terang keberadaan Sukartak. Atas sasran Ki Irentrih ia berusaha Seh Suhu di Gunung Trugena di Pare Kediri. Di sana ada seorang pertapa Cina. Semula beliau seorang pedagang kaya raya bangkrut karena tertipu oleh mitra bisnisnya. Karena kecewa ia menenangkan diri, bertapa, (P.xiv. 29). Ia bertapa di gua Gunung Trugena, yang sangat sepi, tak pernah terjamah manusia. Tujuannya ingin mati daripada menanggung malu. Sebulan tinggal gua tak makan dan tak minum, tak seorang pun mengetahuinya. Pada suatu hari bertepatan malam Jumat, Kramadangsa sedang kalut hatinya. Ia berjalan-jalan, tiba di sebuah gua yang terjal, (P.xiv.31). Kramadangsa, seorang pembuat gula jawa. Setiap hari ia dan isterinya memberikan minum. Ia tidak mau makan, kecuali sebuah pisang. Karena ketelatenan Kramadangsa Seh Suhu sehat kembali. Kehidupan Kramadangsa semakin baik ia menjadi pedagang gula yang cukup berhasil dan terkenal. Keberhasilan itu dihubungkan dengan keberadaan Seh Suhu. Masyarakat ingin menyaksikan keberadaannya dan minta barokah(P.xiv.35).

Di gua itu setiap hari banyak orang datang membawa gula, kopi teh dan berbagai macam makanan. Mereka minta barokah kepada pendeta Seh Suhu. Dia tidak mau berhadapan dengan para tamu yang minta barokah. Ia menyediakan kertas dan tinta. Sebab dia tahu bahwa manusia banyak yang serakah. Sesuatu yang dilarang justru dikejar (P.xv.11-13). Semakin hari semakin banyak warga yang datang, bahkan ratusan orang antri untuk dilayani. Sekh Suhu hanya menerima tamu pada hari Jumat. Ia tidak mau menampakkan diri atau berhadapan dengan warga. Permohonan disampaikan secara tertulis.

Jaka Sudra tidak bisa menulis aksara Latin. Ia menuliskan maksud dan tujuannya dengan aksara Jawa, yang intinya mohon barokah, agar selamat, tercapai yang dicita-citakan, dan terhindar dari mara bahaya. Surat dijawab dengan huruf Jawa, yang intinya bahwa dia, Seh Suhu hanya menjadi saksi, Tuhan yang menentukan, sebagai umat tidak bisa memberi sesuatu, semua umat sama, memohon kepada-Nya. Mendapat jawaban itu Jaka Sudra kecewa, karena tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini di Jawa Timur terdapat paranormal yang menamakan dirinya dhukun lintrik. Dia membuka praktik, dengan memberikan pertolongan kepada umat manusia yang membutuhkan. Mungkin kata irentrih berubah menjadi lintrik, karena salah baca atau salah tafsir.

Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa masyarakat Jawa bila mendapat masalah dan tidak bisa menyelesaikan, mereka minta tolong kepada paranormal. Sesuai dengan hasil analisis, dalam Serat Hardamudha terdapat empat jenis paranormal. Mereka berbeda pandangan. Mereka tetap berpegang pada kekuasaan Tuhan. Manusia diwajibkan berusaha tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Dalam hal ini, sesama umat hanya bisa membantu, Tuhan juga yang maha penentu.

Uraian di atas jelaslah para paranormal menyadari bahwa dirinya hanya sebagai perantara. Semua kepastian dan takdir di tangan Tuhan. Manusia hanya diwajibkan berusaha, tetapi Tuhan Yang Maha Penentu. Baik Kyai Sidik, Tuan Irentrih maupun Seh Suhu, memiliki pendapat yang

sama tentang kekuasaan Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha tetapi keputusan tetap di tangan Tuhan. Hal itu menyadarkan Jaka Sudra Mudha, bahwa Tuhan memang maha segalanya. Jaka Sudra menyadari bahwa usahanya belum berhasil, tetapi berkeyakinan bahwa Tuhan akan menunjukkan jalan kebenaran.

Tradisi Masyarakat

Dalam masyarakat Jawa terjadi sinkritisme antara agami jawi dengan Hindu, Bhuda dan Islam. Berdasarkan pengamatan, masyarakat semakin tebal keyakinannya, terutama bagi mereka yang memeluk agama Islam moderat. Namun masih ada sebagian masyarakat yang tetap mempertahankan tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan. Tradisi tersebut direalisasikan dalam bentuk slametan dan tirakat. Slametan dilakukan sebagian berkaitan dengan siklus hidup manusia sejak dalam kandungan hingga di liang lahat. Selain itu juga terdapat tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan. Misalnya nyadran atau megengan untuk menyambut bulan Ramadhan. Pelaksananya bukan hanya masyarakat pedesaan, melainkan juga di kota.

Dalam teks Serat Hardamudha terdapat tradisi berupa upacara selamatan dengan sesaji beberapa makanan. Ritual itu ditujukan kepada roh penunggu Kyai Jimat, untuk meminta maaf atas kesalahan Jaka Sudra, (P.vii.11). Ritual selamatan itu berupa nasi wuduk dengan bumbu lembangan. Nasi wuduk dan perlengkapannya itu disajikan di dalam kereta kencana Kyai Jimat di Ratawijayan Ngayogyakarta, dihadiri oleh supir, kernet, dan kusir andhong, dengan pembacaan doa adalah tulak bilahi, artinya doa menolak bencana. Setelah dibacakan doa, Kyai Sidik Sasmita mengambil sekepal nasi dioleskan ke bagian yang sakit. Seketika itu penyakitnya sembuh, mengeluarkan nanah cukup banyak dengan bau menyengat (P.vii.13-15). Seketika itu penyakitnya sembuh total. Ia berterima kasih kepada Kyai Sidik yang menyembuhkan penyakitnya. Pengobatan semacam itu hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat untuk tolak bala.

Tradisi Selamatan dan Tirakatan

Konsep selamatan dan tirakatan adalah memohon kepada Tuhan agar memberikan keselamatan terhadap penyelenggara. Yang berbeda pelaksanaan kedua tradisi tersebut. Selamatan memerlukan ritual, sedangkan tirakatan tidak perlu ritual (Geerzt,1983)

Tradisi Selamatan

Masyarakat Jawa memiliki berbagai tradisi yang hingga kini masih dilestarikan. Tradisi itu sebagian besar direalisasikan dalam bentuk slametan. Adapun tujuannya adalah mohon agar setiap langkah dijauhkan dari berbagai rintangan dan aral. Sejak masih dalam kandungan hingga di alam kubur ritual slametan selalu menyertainya.

Slametan atau wilujengan adalah upacara pokok atau unsur penting dari semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa dan penganut agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:344). Agama Jawi merupakan perwujudan keluhuran budi manusia kepada Tuhan, yang berintikan pada prinsip utama yang disebut sangkan paraning dumadi (asal-usul, siapa dan tujuan hidup manusia). Prinsip tersebut menyangkut konsep tentang eksistensi dan tempat manusia, di alam semesta beserta isinya, dan konsep sebagai wadah dan isi (Geertz,1983:xii). Hakikat dari tindakan keagamaan dalam bentuk upacara untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Esensi agami Jawi adalah pemujaan pada arwah nenek moyang atau leluhu, yang diwujudkan melalui slametan. Meskipun secara lahiriah memuja pada roh atau kekuatan lain, tetapi esensinya tetap berpusat pada Tuhan. Tuhan sebagai sumber anugerah, sedangkan ruh atau kekuatan lain hanya sebagai perantara, (Endraswara, 2006:75). Titik sentral agama Jawi dimanifestasikan pada ritualritual slametan yang dioplos dengan adat-istiadat. Slametan dipandang sebagai representasi harapan yang penuh pengorbanan secara ikhlas.

Berkaitan dengan tradisi selamatan tersebut dalam Serat Hardamudha oleh pengarang ditampilkan saat Jaka Sudra Mudha mengalami musibah. Untuk menyembuhkan keluarga memanggil Kyai Sidik Sasmita. Sebagai penganut Islam yang taat ternyata ia masih menjalankan

tradisi Jawa. Dalam mengobati Jaka Sudra ia ngobong dupa atau membakar kemenyan, slametan

sega wuduk iwak pitik dan donga tolak bilahi, (P.vii.7-8)

Dalam budaya Jawa slametan dan ’ngobong menyan’ merupakan salah satu rangkaian pemujaan terhadap arwah nenek moyang atau ’sing mbaureksa’ suatu tempat dengan maksud caos dhahar agar mendapatkan keselamatan. Rangkaian itu biasanya dilengkapi dengan sesaji atau sajen dan kembang boreh.

Sistem pengobatan di atas mengacu pada peran paranormal sebagai tabib. Karena dalam masyarakat Jawa paranormal juga dikenal sebagai tabib atau dhukun. Sejalan dengan istilah tersebut Geertz (1983: 129) menjelaskan bahwa mereka umumnya tidak mau disebut dhukun. Mereka hanya menolong. Seorang dhukun biasanya mengatakan penyebab penyakit yang diderita oleh pasien, tetapi oleh dhukun lain yang beraliran Islam disangkal bahwa itu kurang bijaksana. Hal itu juga dilakukan oleh Kyai Sidik Sasmita. Ia menjelaskan bahwa penyakit Jaka Sudra Mudha disebabkan oleh ulahnya sendiri. Ia berbuat mesum dengan pelacur di sebelah kreta kencana. Ia kena walat.

Teknik pengobatan yang dilakukan oleh Kyai Sidik Sasmita kepada Jaka Sudra, dalam Serat Hardamudha mirip dengan yang terdapat di Majakutha Geertz (1984). Sang dhukun mengatakan bahwa sang pasien kena walat. Untuk menyembuhkannya disarankan untuk membuat sesaji atau selamatan kecil, berupa sega wuduk liwet pitik yang ikut selamatan para kernet dan kusir di Ratawijayan, tempat penyimpanan benda pusaka tersebut (P.vii.12-13). Untuk menyembuhkan penyakit nonmedis masyarakat lebih percaya kepada paranormal. Keempat paranormal menyatakan bahwa kedudukan mereka hanya sebagai perantara. Semua yang terjadi aats kehendak Tuhan. segala kekuatanhsnys milik Tuhan. Sedikitpun tidak menunjukkan unsur musrik.

Slametan dalam rangka penyembuhan penyakit Jaka Sudra Mudha merupakan representasi pemujaan kepada kekuatan gaib pada Kyai Jimat, yang dipuja oleh masyarakat. Kepercayaan itu hingga kini masih dipegang teguh, yang tampak pada setiap bulan Sura, diadakan siraman pusaka kraton, pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Pada acara itu masyarakat hadir ’ngalab

berkah’. Mereka berebut air cucian untuk tumbal. Sebagain air itu dituang ke dalam sumur, sebagian lagi di pematang sawah dengan harapan hasil panen mendatang melimpah.

Uraian di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1984:413), yang berkaitan dengan upacara-upacara ilmu gaib, memiliki empat fungsi, yaitu untuk: menghasilkan sesuatu, melindungi suatu komunitas, menyakiti atau menghancurkan saingan dan meramal. Fungsi-fungsi tersebut dijabarkan menjadi (1) ilmu gaib produktif, (2) ilmu gaib protektif, (3) ilmu gaib destruktif dan (4) ilmu gaib meramal. Berdasarkan fungsi tersebut slametan dalam Serat Hardamudha termasuk kelompok yang kedua yaitu ilmu gaib protektif. Hal itu sesuai dengan fungsi bahwa ilmu gaib protektif untuk menghalau penyakit dan wabah. Slametan yang dilakukan oleh keluarga Jaka Sudra bertujuan untuk menyembuhkan penyakit nonmedis, yang berkaitan dengan walat.

Tradisi Tirakatan

Selain slametan yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit atau tolak bala, dalam Serat Hardamudha juga terdapat selamatan yang berkaitan dengan siklus hidup manusia, yaitu upacara pernikahan. Upacara tersebut juga berkaitan dengan fungsi kedua yaitu ilmu gaib protektif. Dengan tujuan mohon perlindungan agar kehidupan pengantin di kemudian hari selalu bahagia. Selain selamatan, dalam acara itu juga diadakan tirakatan. Tirakatan melekan, atau wungon adalah sebuah acara yang dilaksanakan pada berbagai ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Misalnya pada acara kelahiran, khitanan dan pernikahan. Acara dilaksanakan pada malam hari, bahkan sampai larut, dalam suasana santai. Mereka bercengkrama, ngobrol, untuk mencegah kantuk. Ada kalanya diselingi perjudian, remi, ceki, atau gaple. Di Yogyakarta tirakatan merupakan tradisi dalam setiap hajatan. Bahkan dalam menyambut kelahiran seorang bayi, tirakatan dilakukan lebih dari 10 hari. Tujuannya mohon doa restu kepada tetangga, kaluarga dan handaitolan.

Dalam Serat Hardamudha, tirakatan dilakukan oleh seorang warga yang menikahkan anaknya. Seusai selamatan warga sekitar dan keluarga diundang untuk tirakatan. Ia mohon doa restu

agar kedua temanten hidup bahagya tanpa aral selama menjalani dan membina rumah tangga. Kala itu Jaka Sudra, mendirikan kelompk perjudian dengan nama Mardi Arta. Ia ditunjuk menjadi ketua. Kelompok MardiArta telah terkenal di Yogyakarta dans ekitarnya.Setiap malam kelompok tersebut mencari tempat perjudian. Sasarannya warga yang mempunyai hajat (P.iv.10-11)

Jaka Sudra setelah mendirikan perkumpulan perjudian ’Mardi Arta’, semakin giat dan bersemangat dalam berjudi. Nasihat Raden Warsita dipraktikkan. Setiap kali ada orang punya hajad walau tidak kenal, ia datang sambil memberikan sumbangan berupa uang dan beberapa orang yang siap membantu pelaksanaan hajatan itu. Saat itu ia menghadiri hajatan pernikahan.

Dalam upacara adat pernikahan, sebelum akad nikah dilaksanakan tuan rumah mengadakan selamatan, malam tirakatan, dan midadreni. Pada awalnya tirakatan (melekan, tuguran) bertujuan minta doa restu kepada warga yang hadir pada acara itu. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi ajang perjudian. Berjudi merupakan mata pencaharian bagi orang-orang tertentu. Bagi Jaka Sudra dan kelompoknya tirakatan menjadi ajang perjudian, mengadu nasib.

Tirakatan yang semula bertujuan mohon doa restu agar kedua mempelai selalu mendapatkan kebahagiaan dan selalu dalam lindungan Allah SWT berubah fungsi (fungsi laten) menjadi tempat berjudi. Hal itu tampak pada saat tuan rumah menawarkan acara bejudi kepada Jaka Sudra Mudha, pada frase ”punapa ta mas Sudra ngersakken main ”, apakah Mas Sudra menghendaki berjudi’. Tawaran itu sudah ditunggu oleh Jaka Sudra. Di situ para penjudi siap bertaruh semalam suntuk. Tirakatan dilakukan oleh sekelompok orang atas permintaan seseorang, sedangkan tirakat dilakukan oleh seseorang yang ingin mencapai tujuan tertentu.

Tradisi Tirakat

Tirakat adalah adat berpuasa pada hari-hari tertentu, selain puasa Ramadan Sejalan dengan adat tirakat, masyarakat Jawa senagaja mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk maksud-maksud keagamaan yang berakar pada pendapat bahwa usaha semacam itu dapat mempertebal iman dan mampu mengatasi berbagai kesulitan (Koentjaraningrat, 1984:371). Mereka melakukan tirakat

untuk mencapai suatu tujuan, dengan jalan spiritual. Orang Jawa melakukan tirakat dengan berbagai cara. Selain pantang terhadap berbagai macam makanan, juga melakukan ritual seperti pasa ngebleng, patigeni, nyenen-kemis, dsb. Kesemuanya itu merupakan usaha yang bersifat spiritual, yang disebut nglakoni.

Dalam Serat Hardamudha, terdapat ritual tirakat dan semadi. Suatu tindakan yang dilakukan untuk mencari petunjuk-Nya. Tirakat itu dilakukan oleh Jaka Sudra ketika kalah berjudi. Ia berpuasa ’patigeni’ dengan harapan dapat menang dalam perjudian berikutnya. Ia memohon agar Tuhan memberikan petunjuk. Setelah empat hari empat malam menyepi di kamar menjelang fajar ia mendapatkan petunjuk seolah dijumpai oleh seorang kakek tua renta, bertopi putih memberikan sesuatu kepadanya. Kakek itu membawa ’obor’ tak sepatah katapun bicara. Jaka Sudra menerima pemberian itu, sang kakek segera pergi, tanpa pamit. Ia terbangun. Pertemuan itu dimaknai sebuah wangsit, atau simbol.. Jaka Sudra mohon kepada ayahnya agar diizinkan meminjam keris pusaka dengan alasan untuk melindungi diri, (P.i.7-9). Ia yakin menang dalam perjudian, ia perlu modal. Keris itu digadaikan di Gandamanan.

Perilaku Jaka Sudra menjalankan ’pasa pati geni’ merupakan salah satu usaha untuk mencapai tujuan. Keberhasilan bukan hanya didukung usaha secara lahiriah melainkan secara spiritual dan doa, yang disingkat dengan duit (doa, usaha, ikhtiar dan tindakan). Hingga kini usaha semacam itu masih dilakukan oleh masyarakat, disebut nglakoni. Berbagai macam puasa dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang mulia, misalnya pasa weton, pasa mutih, pasa ngrowot, pasa nglawa, pasa ngidang, pati geni, dan sebagainya. Sedangkan yang berkaitan dengan ajaran Islam selain puasa Ramadan, juga puasa sunah, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa ala Nabi Daud, Puasa Nyawal, berbagai salat sunah. Bahkan ada yang mencapainya dengan jalan pergi ke dhukun atau paranormal, yang oleh pengarang dituangkan dalam Serat Hardamudha.

Tradisi Ziarah Kubur

Selain slametan atau wilujengan masyarakat Jawa juga mengadakan ziarah kubur. Tradisi tersebut merupakan sinkritisme antara kepercayaan Jawa asli dengan budaya Islam, yang muncul sejak zaman animisme, yaitu pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Setelah Islam masuk acara ziarah kubur, diselaarskan dengan ajaarn Islam, dilakukan untuk menyambut puasa Ramadhan. Dalam perkembangan selanjutnya dikaitkan dengan upacara Sraddha (nyadran). Peringatan 12 tahun wafatnya nenek Hayam Wuruk, Tri Buanatunggadewi paad tahun 1263 M. Tradisi yang pada awalnya dilaksanakan pada bulan Badra itu setelah Islam masuk disesuaikan dengan tradisi nyadran atau megengan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (Kamidjan, 2007:5). Masyarakat nyekar di makam, dan slametan dengan tujuan kirim doa kepada arwah leluhur. Selain kirim doa dan nyekar masyarakat Jawa penganut Islam ortodox juga melakukan ziarah kubur ke makam tokoh-tokoh penyebar agama Islam (Wali Sanga). Makam itu terdapat di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Karena letaknya berjauhan maka ziarah itu kadang hanya dilakukan sesuai dengan kemampuan, misalnya: wali lima atau hanya seorang wali.

Pengarang Serat Hardamudha, merepresentasikan ziarah kubur ke makam tokoh suci yang hingga kini masih dipercaya. Tokoh Jaka Sudra pergi ke makam Sunan Giri di Gresik. Tujuan awalnya hanya rekreasi. Di makam itu disambut oleh juru kunci makam, dengan penuh rasa hormat dan sanjungan. Mendapat sanjungan itu hati Jaka Sudra berbunga. Dengan senang hati ia memberikan sedekah cukup banyak. Ia mengaku trah raja Mataram, (P.xiii. 33-37). Serat Hardamudha merekomendasikan bahwa Jaka Sudra masih melestarikan tradisi ziarah kubur, untuk melestarikan tradisi leluhur.

Ziarah kubur yang semula sebagai tradisi menghormati arwah leluhur untuk mengenang jasa tokoh agama, dewasa ini mulai berubah fungsi. Pemerintah Daerah memfungsikan untuk wisata budaya dan religi, untuk menunjang PAD dan pemberdayaan usaha kecil menengah, atau ekonomi kerakyatan dan mengurangi pengangguran. Masyarakat sekitar makam diberikan kesempatan untuk mencari nafkah, sebagai padagang asongan, menyediakan kuliner, tukang parkir, pemandu wisata (guide) maupun menjual cindera mata, dengan syarat tidak mengganggu ketertiban.

SIMPULAN

Sebagai penutup, uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam Serat Hardamudha, terdapat kearifan lokal, berupa kepercayaan masyarakat dan berbagai tradisi yang masih dilaksanakan. Kepercayaaan itu berkaitan dengan keberadaan benda-benda pusaka bertuah. Di antaranya keris pusaka milik ayah Jaka Sudra, cincin akik milik Haji Asrar di Krapyak, cundrik, milik Abu Kasan di Gunung Kidul, dan Kyai Jimat. Kereta kencana milik Kraton Kasultanan Ngayogyakarya Hadiningrat, peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Benda-benda antik yang bertuah itu sering diburu oleh para kolektor melalui blantik.

Selain percaya pada benda-benda bertuah masyarakat Jawa, di Yogyakarta juga banyak yeng percaya kepada paranormal. Dalam Serat Hardamudha ditampilkan 4 orang paranormal yang memiliki latar belakang berbeda. Mereka adalah Ki Secadarma tinggal di Padepokan Karangnangka, membina para penjahat. Kyai Sidik Sasmita, seorang paranormal dari pesantren Girisonya. Ia membina para santri, menerima murid dari berbagai kalangan. Pengetahuannya sangat luas. Selain menguasai bidang agama Islam, ia juga melakukan pengobatan alternatif, menyembuhkan penyakit nonmedis. Pengobatan yang dilakukan masih menggunakan ilmu kejawen. Dengan jalan mengadakan selamatan, pembacaan mantra dan membakar kemenyan. Ki Irentrih, seorang paranormal Kediri. Ia memangku jabatan Asisten Residen. Ia menjadi paranormal, hanya ingin menolong, meringankan beban masalah sesama umat. Tokoh terakhir adalah Seh Suhu. Seorang warga keturunan Cina. Ia menjadi paranormal tanpa sengaja. Awalnya ia seorang pengusaha kaya raya. Usahanya bangkrut karena ulah kawan bisnis. Karena merasa malu, ia mengasingkan diri di Gunung Trugena, Pare, Kediri. Semula ia ingin bunuh diri karena tidak kuat menahan derita. Akhirnya, ia bertapa, ditemukan oleh seorang penduduk bernama Kramadangsa. Berkat pertolongan itu Sekh Suhu terkenal. Kramadangsa mendapat rahmad dari Tuhan. Setelah merawatnya. Ia seorang pembuat gula Jawa. Akhirnya ia menjadi pengusaha yang sukses.

Kesuksesan itu diketahui oleh warga masyarakat. Mereka ingin minta pertolongan kepada Seh Suhu. Keempat paranormal itu tak satupun menampakkan sifat komersial. Ia membantu sesama umat dengan tulus, tanpa pamrih.

Keempat paranormal itu menyatakan bahwa kedudukan mereka hanya sebagai perantara. Karena segala kekuatan berasal dari Tuhan. Sedikit pun tidak menunjukkan unsur musrik. Dalam perkembangan selanjutnya peran paranormal dalam masyarakat dewasa ini, bersifat komersial dan menjadi mata pencaharian. Bahkan promosi dengan berbagai cara, melalui media masa tertulis dan elektronik, dan gethok tular. Masyarakat memanfaatkan sebagai usaha untuk berobat, guru spiritual yang dianggap bisa menaikan pamor, dan kadang-kadang sebagai tenung.

Selain percaya pada paranormal, masyarakat juga melaksanakan berbagai tradisi, seperti tirakat, slametan baik sebagai sarana penyembuhan maupun dalam ritual pernikahan yang kadang disertai tirakatan, sesaji (sajen) ziarah kubur dan ngobong dupa (membakar kemenyan), sebagai ritual yang berkaitan dengan kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Cliford, Geerzt. 1983. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Endraswara, 2004. Metodologi Penelitian Sastra: Epitemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Gunawan, Restu.2010. ”Kerifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan karya Sastra”. http,//www.docstoc.com.

Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogya-karta: PT. Hanidita.

Kamidjan, 2007. Peran Perempuan dalam Tradisi Nyadran di Kabupaten Sidoarjo. Laporan Penelitian DPKM. Surabaya.

Pigeaud, Th. G. .1924. De Tantu Panggelaran. The Hague: Matinus Nijhoff.

Rassers, W.H. 1922. De Panji Roman. Disertasi Leiden.Antwerpen.

Rosidi, Ajip, 2010. ”Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Bangsa ”. Konferensi Internasional Kebudayaan Daerah dan Penyerahan Hadiah Rancage 2010. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sartini. 2009. ”Menggali kearifan Lokal Nusantara” http//www.wacana.nusantara

Suwarni. 1991. “Sejarah dalam Karya Sastra” Media Pendididkan. IKIP Surabaaya Tahun 1991.

24