BENTUK KEMASAN WACANA KRITIK SOSIAL PERTUNJUKAN WAYANG KULIT CENK BLONK LAKON DIAH GAGAR MAYANG
on
BENTUK KEMASAN WACANA KRITIK SOSIAL PERTUNJUKAN WAYANG KULIT CENK BLONK LAKON DIAH GAGAR MAYANG
I Nyoman Suwija
IKIP PGRI BALI
Jalan Seroja, Tonja, Denpasar Timur.
Telepon 0361-431434
ABSTRAK
Pada sekitar tahun 1990-an mulai terkenal nama sebuah pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk yang digagas oleh I Wayan Nardayana, dalang muda dari Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Dia berhasil membuat wayang kulit Bali diminati kembali oleh penontonnya akibat kepiawaiannya melakukan inovasi dalam teatrikal pertunjukannya dan juga dalam menata wacana lelucon yang dapat menghibur serta penuh dengan tuntunan dan kritik sosial. Sampai saat ini wayang Cenk Blonk masih sangat eksis dan laris di Bali dengan bayaran pementasan yang cukup tinggi dan setiap pementasannya selalu dipadati penonton. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mendeskripsikan, bagaimana sang dalang mengemas wacana kritik sosial dalam pementasannya, khususnya dalam pementasan Lakon Diah Gagar Mayang yang merupakan lakon terlaris pada puncak kejayaannya. Berdasarkan pengamatan yang cermat terhadap wacana-wacana kritik sosial yang dikomunikasikan terutama lewat tokoh-tokoh punakawannya, dapat diketahui bahwa wacana kritik sosial dikemas dalam bentuk (1) perumpamaan, (2) plesetan berbentuk singkatan, dan (3) berbentuk paribasa Bali (sesenggakan, sloka, bebladbadan).
Kata kunci: pertujukan wayang kulit, wacana lelucon, wacana kritik sosial.
ABSTRACT
Around 1990s, a leather puppet show performance named Cenk Blonk was famous and initiated by I Wayan Nardayana, a young puppet player from Belayu Village, Marga Sub-District, Tabanan Regency. He is successful to make Balinese Leather Puppet demanded by audience. The success is due to his expertise to perform innovation in theatrical performance and also in composing joke discourse which may entertain as well as contain full guide and social critics. Up to now, Cenk Blonk puppet show exists very much and is sold out in Bali with sufficiently high performance fees and every performance is always crowded by the audience. This research is aimed to describe how the puppet player packs the social critic discourse in his performance, especially in the performance of the story Diah Gagar Mayang as the most sold out story in her fame. Based on accurate observation to the social critic discourse communicated, especially through the characters of royal servants, it is known that social critic discourse is pack in the form of (1) exemplification, (2) puns in the form of abbreviation, and (3) Balinese proverb (sesenggakan, sloka, bladbadan).
Key words: leather puppet show, joke discourse, sosial critic discourse.
PENDAHULUAN
Pulau Bali yang dikenal sebagai pulau seni budaya cukup kaya dengan seni pertunjukan tradisional. Salah satu pertunjukan tradisional Bali yang masih eksis hingga saat ini adalah pertunjukan wayang kulit. Pada beberapa puluh tahun yang lalu, pertunjukan wayang kulit yang hanya disebut wayang, masih sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Bali karena wayang kulit merupakan pertunjukan tradisi yang setiap saat diperlukan sebagai pelengkap upacara keagamaan.
Pertunjukan wayang kulit Bali memiliki dharma pewayangan yang memuat norma-norma baku sehingga terkesan merupakan seni perttunjukan yang kurang variatif. Hal inilah yang menyebabkan pada era tahun 80-an pertunjukan wayang kulit Bali hampir ditinggalkan oleh
penontonnya, di samping juga akibat munculnya berbagai seni pertunjukan modern pada media elektronik yang menjadi pilihan utama masyarakat.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat memberikan sentuhan lain terhadap pemenuhan keinginan para penonton agar tidak merasa jenuh atau bosan dalam menikmati pertunjukan wayang kulit Bali. Upaya tersebut lebih banyak dilakukan oleh dalang, baik secara individual maupun berkolaborasi sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.
Sejak sekitar tahun 1990-an, dengan adanya daya kreasi yang khas oleh I Wayan Nardayana dari Banjar Batan Nyuh, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, muncullah pertunjukan wayang kulit Bali yang lebih inovatif dengan nama Wayang Gita Loka yang konon mengandung arti ‘nyanyian alam’.
Pada awal tahun 1995 Nardayana mengganti nama pertunjukannya menjadi Wayang Cénk Blonk. Nama Cénk Blonk diambil dari nama dua orang punakawan yaitu I Klencéng dan I Céblong. Bunyi nk pada kata cénk dan blonk dikatakannya bermakna modern, gaul, keren, dan intelek. Wayang Cénk Blonk memiliki tampilan aspek dramatis yang berbeda dengan pakem-pakem wayang kulit Bali sebelumnya. Sang dalang telah mengemas pertunjukan wayang kulit dengan meniru gaya wayang Jawa dan gaya pementasan sendratari.
Pemilihan Wayang Cénk Blonk sebagai topik tulisan ini karena sampai dengan saat ini pertunjukan wayang tersebut selalu menyedot banyak penonton pada setiap kali pementasannya. Walaupun sebelumnya telah ada dalang inovatif, namun perubahan yang dilakukan tidak sehebat dalang Cénk Blonk. Popularitas Cénk Blonk ini telah berhasil menepis tantangan era global, bahwa ternyata pertunjukan wayang kulit Bali masih diminati oleh masyarakat.
Di samping perubahan fisik yang dilakukan, ia juga mampu mempertahankan wayang kulit sebagai seni tradisi yang bermutu tinggi karena setiap dialog yang dikomunikasikan selalu menarik untuk disimak sebagai tambahan informasi tentang sosial kemasyarakatan, sekaligus sebagai tuntunan masyarakat. Setiap dialog yang dituturkan penuh dengan tema yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Memperhatikan judul penelitian ini dan berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah bentuk kemasan wacana kritik sosial lakon Diah Gagar Mayang pertunjukan wayang kulit Cénk Blonk?
METODE PENELITIAN
Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan sosiologis atas wacana naratif dalam kajian bentuk dan fungsi kritik sosial. Di dalam merealisasikan paradigma tersebut digunakan pendekatan etik dan emik. Etik artinya menganalisis berdasarkan apa yang telah ada dalam pikiran peneliti, sedangkan emik berarti analisis yang didasarkan pada pemahaman mayarakat luas.
Objek penelitian ini adalah sebuah dokumen hasil rekaman pementasan Wayang Kulit Cénk Blonk dengan lakon Diah Gagar Mayang yang pernah merupakan lakon terlaris atau yang paling banyak diminta oleh para penanggap. Lakon puncak tersebut dianggap cukup mewakili lakon-lakon lainnya untuk tujuan pengungkapan eksistensi wacana kritik sosial wayang kulit Cénk Blonk.
Dalam pengumpulan data digunakan merode observasi. Sebagai metode ilmiah, observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik. Observasi dilakukan dengan menyetel hasil rekaman pertunjukan wayang kulir Cénk Blonk lakon Diah Gagar Mayang serta mengamati secara saksama berulang kali sampai akhirnya menghasilkan teks tertulis yang manjadi sumber perolehan data wacana kritik sosial. Hasil pengamatan tersebut kemudian dikumpulkan dengan teknik pencatatan.
Sebelum melakukan analisis, kegiatan penelitian didahului dengan transkripsi dari teks dalam bentuk lisan kedua menjadi teks tulis. Sesuai dengan sifat datanya yaitu data kualitatif, maka dalam penelitian ini digunakan deskriptif analitis karena data lebih
banyak berbentuk kata-kata, kalimat, dan wacana dan tidak berbentuk angka-angka. Analisis data kualitatif dilakukan dengan metode interpretatif atau penafsiran terhadap kehidupan antara hakikat rekaan dan kenyataan (Moleong, 1996:14).
PEMBAHASAN
Pengertian Wacana Kritik Sosial
Ricouer (1996:2) mengatakan, wacana merupakan tuturan yang lengkap, yang mengandung kohesi dan koherensi yang bersinambungan serta mempunyai awal dan akhir. Wacana merupakan satuan gramatikal yang tertinggi dan dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh berupa novel, buku, ensiklopedia, paragraph, kalimat, dan sebagainya.
Wacana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rekaman kebahasaan yang utuh atau naratif verbal, wacana cerita dan penceritaan yang membangun kesatuan makna sebagai akibat adanya tindak komunikasi antara tokoh-tokoh dalam lakon yang diko-munikasikan oleh dalang untuk dapat diresepsi oleh penonton.
Berkenaan dengan istilah kritik, Esten (1987:32) mengatakan bahwa kritik adalah perimbangan baik buruk sebuah cipta sastra. Ada dua segi yang dapat dilakukan oleh sebuah kritik sastra, yaitu (1) menjelaskan dan menafsirkan cipta sastra yang sedang dibicarakan; (2) memberikan penilaian terhadap cipta sastra tersebut. Kritik adalah memiliki nilai dasar eksistensi kemanusiaan. Tidak akan ada suatu kemajuan kalau seseorang menutup diri terhadap suatu kririk.
Berpijak dari uraian tersebut, maka yang dimaksud wacana kritik sosial dalam penelitian ini adalah dialog sosial yang diungkap oleh dalang dalam pementasannya dan dipandang penuh dengan nuansa kritik. Melalui pementasannya, sang dalang memiliki kesempatan dan kebebasan melancarkan kritik untuk dapat dikonsumsi oleh penonton.
Pengertian Wayang Kulit
Istilah wayang mengandung makna ‘bayang’ atau ‘bayangan’. Berkaitan dengan kata wayang, Mulyono (1978:9) berpendapat bahwa kata wayang dalam bahasa Jawa berarti ‘bayangan’, dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Selanjutnya, di dalam bahasa Aceh disebut bayang, dan dalam bahasa Bikol kata bayang berarti ‘barang’ yaitu segala apa yang dapat dilihat dengan nyata.
Dari konsep wayang tadi muncullah istilah wayang golék, wayang orang, dan wayang kulit. Sugriwa (1995:19-20) mengatakan bahwa wayang kulit adalah jenis wayang yang dibuat dari kulit sapi atau yang lainnya yang dipahat atau ditatah yang merupakan bentuk khayalan dari dewa-dewa, raksasa, binatang, pohon-pohonan, dan lain-lain. Wayang kulit yang berkembang di Bali disebut wayang kulit Bali.
Teori Wacana Naratif
Teori wacana (teks) naratif juga disebut teori strukturalisme naratologi. Kata naratologi berasal dari kata narratio dan logos. Kata Narratio berarti (cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan kata logos berarti ilmu. Menurut Ratna (2004:128) naratologi dan wacana naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan.
Dalam penelitian ini peneliti mengikuti pendapat Todorov yang menyarankan agar analisis wacana naratif melalui tiga dimensi, yaitu kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Objek forma puitika bukan interpretasi atas makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung di dalam suatu tutur atau wacana. Analisis wacana mesti mempertimbangkan tiga aspek, yaitu a) aspek sintaksis, b) aspek semantik, dan c) aspek verbal (Fokkema, 1977:69).
Teori Resepsi Sastra
Secara etimologis resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) yang dapat diartikan sebagai penerimaan, tanggapan atau penyambutan dari pembaca. Dalam pengertian yang luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap suatu karya sehingga dapat memberikan berbagai respons terhadapnya (Ratna, 2004:165).
Dalam konteks penelitian ini, teori resepsi yang digunakan adalah resepsi eksperimental Teeuw (1984:2008-217), yaitu penelitian resepsi yang bersifat sinkronis, yang hanya dapat dilakukan untuk resepsi masa kini saja karena apa yang dirasakan indah atau bagus oleh penonton sekarang belum tentu akan indah atau bagus pada kurun waktu sebelum atau sesudahnya.
Wayang C enk Blonk yang masih sangat populer dewasa ini merupakan suatu pertunjukan yang segar dan merindukan. Hal ini disebabkan wayang tersebut tidak pernah kekeringan bahan lelucon. Lelucon yang disuguhkan memiliki amanat tertentu yang dikemas dan disajikan dengan bahasa Bali yang lugas. Setiap materi yang dikomunikasikan, menarik untuk disimak karena rata-rata bernuansa lelucon dan penuh dengan nilai-nilai ajaran agama, etika, moral, seni, dan sosial budaya.
Pembahasan wacana kritik sosial wayang Cénk Blonk dalam penelitian ini hanya bersumber pada satu lakon yang berjudul Diah Gagar Mayang. Pemilihan lakon tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa menurut penuturan sang dalang, lakon tersebut merupakan puncak popularitasnya sehingga lakon itu pula yang paling banyak diminati oleh para penanggap.
Dalam pementasan lakon Diah Gagar Mayang, dalang banyak memunculkan tokoh punakawan yang dapat melontarkan berbagai kritikan melalui dialognya. Dialog-dialog wacana kritik sosial yang terdapat di dalam pementasan lakon tersebut dikemas dalam bentuk: (1) perumpamaan, (2) plesetan berbentuk singkatan, dan (3) paribasa Bali (sesenggakan, sloka, dan bebladbadan).
Perumpamaan
Sebagai seorang komunikator, dalang wayang kulit Cénk Blonk memiliki kemampuan berbahasa yang sangat baik dan lugas. Ia memiliki cara-cara tersendiri di dalam mengungkap isi hatinya untuk dapat menarik perhatian penonton. Dalang Cénk Blonk memiliki daya komunikasi yang cukup bagus dengan gaya khasnya sendiri. Salah satu bentuk pilihan gayanya, menggunakan jenis perumpamaan seperti yang tampak di dalam dialog berikut.
047. Tualén |
: Pemimpiné to madan tedung jagat. Yen ada pemimpin ané setata manes-manesin rakyat. |
048. Merdah 049. Tualén |
: Kéngkén? : Tan bina kadi angganing kidang mangop soring taru ageng inéng ngamangguhaken sukanikang mangun. |
050. Merdah 051. Tualén |
: Kéngkén artiné to? : Pang da cara kidangé ngetis di betén bongkol kayuné gedeé Gedé jaa punyané sakewala lacur kayuné sing madon. Dija ya i kidang lakar nepukin émbon? |
Tokoh Tualén mengatakan “Pemimpiné to madan tedung jagat” yang artinya ‘Pemimpin itu bagaikan payung bumi’. Oleh karena menjadi payung bumi, pemimpin memiliki peranan untuk melindungi atau mengayomi rakyatnya. Keliru jika seorang pemimpin tidak sanggup mengayomi rakyatnya bahkan malahan mereka terkesan membuat kehidupan rakyatnya panas atau dipanas-panasi sehingga mereka menjadi kurang aman dan nyaman.
Kemudian Tualén menambahkan nasihatnya dengan perumpamaan berbahasa Kawi “Tan bina kadi angganing kidang mangop soring taru ageng, inéng ngamang-guhaken sukanikang mangun” yang artinya ‘Tidak obahnya bagaikan seekor kijang yang berteduh di bawah pohon besar, tetapi kayu itu tidak berdaun, kapan si kijang menemui kebahagiaan?’.
Melalui dialog Tualén nomor (099), dalang mengeluarkan perumpamaan lagi yang bunyinya “Apa buin cara jani gumié gumi langsé” yang artinya ‘Apalagi zaman sekarang ini zaman langsé atau gorden’. (pada dialog berikut).
099. Tualén : Apa buin cara jani gumié, gumi langsé.
-
100. Merdah
-
101. Tualen
: Gumi langse e to?
: Asal lebihan pipisné galir kerékané, yen bedik pipisné, seket suba kerékané.
Makna yang terkandung di dalam dialog (099) diungkap pada dialog (101) yang berbunyi “Asal lebihan pipisné galir kerékané, yen bedik pipisné seket kerékané”. Perumpamaan tersebut mengandung arti “Kalau banyak uangnya pelayanannya akan cepat, kalau sedikit uangnya tidak akan mendapat pelayanan yang baik’.
Pelesetan Berbentuk Singkatan
Di dalam KBBI (2002:845) disebutkan bahwa “pelesetan” berasal dari kata “peleset” yang artinya tidak mengenai sasaran atau tidak mengenai yang dituju. “Memelesetkan” berarti membuat sesuatu di luar yang sebenarnya. Kendatipun secara teoretis pelesetan dimaknai sebagai sesuatu yang menyimpang dari sasaran, namun secara empirik substansi yang dikemukakan dalam pelesetan tersebut sesungguhnya cukup menukik pada substansinya.
Patut diakui bahwa dalang Cénk Blonk cukup piawai memilih dan menciptakan wacana-wacana yang menarik dikomunikasikan untuk tujuan meningkatkan perhatian penonton pada dialog-dialog yang disampaikan. Di samping menggunakan banyak perumpamaan, dalam menciptakan atau memilih sejumlah pelesetan dipilih bentuk singkatan atau akronim sebagai bumbu dialognya. Dalam pementasannya lakon Diah Gagar Mayang, dikemukakan lima buah singkatan, yaitu (1) AIDS, (2) MPP, (3) SARS, (4) DKI, dan (5) SPG.
Ketika tokoh punakawan Tualén menasihati anaknya agar menjadi anak yang baik-baik, ia menyarankan supaya tidak main perempuan sembarangan agar tidak terkena penyakit kelamin yaitu AIDS. Perhatikan dialog berikut!
-
224. Tualen : Da ci ngawag-ngawag ngalih nak luh. Yen nak luh jegeg, bisa penyakitan barangné. Bisa kal kena AIDS nas cié.
-
225. Merdah : AIDS é to?
-
226. Tualen : A I D S. AIDS é to artiné ‘Akibat Itunya dimasukkan sembarangan’ Yen ci kena AIDS ci bisa lakar MPP alias (mati pelan-pelan).
Tokoh Tualén mengatakan kepada anaknya (Merdah) bahwa AIDS itu singkatan dari ‘Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan’. Singkatan AIDS itu memiliki nilai petuah dan sekaligus menjadi bahan banyolan atau lawakan karena diberi makna lain dari yang sesungguhnya namun dapat membuat penonton tertawa.
Selanjutnya singkatan MPP yang disampaikan pun menarik untuk disimak karena MPP yang dikenal masyarakat berarti masa persiapan pensiun bagi seorang pegawai negeri, sedangkan MPP yang dikemukakan dalang diberi arti mati pelan-pelan ‘meninggal perlahan-lahan’.
Pada dialog selanjutnya dia menyinggung jenis penyakit lainnya yaitu penyakit SARS. Perhatikan dialog berikut.
-
237. Merdah : SARS é to?
-
238. Tualen : Selingkuh Antar Rekan Sekantor. Jeg SARS suba to. Nanang jejeh lantas ci kena flu burung. Flu burung dadi, pang da burung cie gen jaa nyen flu, keweh ben Nanang kal ngurusang.
Sebutan SARS yang selama ini dikenal sebagai penyakit fisik manusia dipelesetkan maknanya menjadi penyakit kebiasaan selingkuh bagi sejumlah pasangan suami isteri. Pada dialog (238), tokoh Tualén mengatakan bahwa SARS adalah singkatan dari ‘Selingkuh Antar Rekan Sekantor’. Jika direnungkan, memang benar selingkuh itu tergolong penyakit masyarakat yang dapat menyebabkan kehidupan rumah tangga hancur bilamana kedok mereka mulai terbongkar.
Singkatan yang ketiga digunakan oleh sang dalang adalah DKI pada dialog (772-774) sebagai berikut.
-
772. Cénk : Yen saya to, penting sing gending-gending ngajak kurenan
Ci terlalu DKI ci …
-
773. Blonk: DKI éngkén ?
-
774. Cenk : Di bawah kaki isteri ci. Bisa kiladanga lengar cié kén kurenan cié lakara.
Pada dialog (772) di atas I Klencénk mengatakan temannya (I Céblong) terlalu DKI terhadap isterinya. Dikatakan bahwa DKI singkatan dari di bawah kaki isteri. Ungkapan dalam bentuk singkatan tersebut bermakna bahwa I Céblong terlalu tunduk dengan perintah sang isteri, terlalu diatur dan takut terhadap isteri, tidak memiliki keberanian mengatasi isterinya. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa sebagai kepala keluarga, seorang laki-laki harus memiliki prinsip yang tegas dalam membina rumah tangga. Pada saat menyampaikan prinsip yang tegas tersebut, melalui dialog (780) I Klencéng mengatakan bahwa prinsip membina seorang isteri yang cerewet adalah SPG. Perhatikan kutipan berikut!
-
779. Blonk: Prinsip apa?
-
780. Cénk : SPG.
-
780. Blonk: SPG e to?
-
781. Cenk : Sipta, peta, gebug.
I Klencéng mengatakan bahwa SPG singkatan dari sipta peta gebug. Sipta itu berarti isyarat, Peta berarti ‘bicara’, dan Gebug itu berarti ‘pukul’. Maksudnya adalah seorang suami dapat menggunakan tiga cara membina isteri, yaitu sipta, peta, dan gebug. Tindakan yang pertama cukup dengan sipta atau ‘isyarat-isyarat’. Jika dengan isyarat tidak berhasil, perlu ditingkatkan dengan peta ‘bicara’ yaitu dapat berbentuk nasihat, omelan, cercaan atau kritikan yang agak kasar. Jika dengan sipta ‘isyarat’ dan peta ‘bicara’ itu juga tidak berhasil, barulah perlu cara yang ketiga yaitu gebug ‘pukul’ atau dengan cara kekerasan.
Paribasa Bali
Paribasa Bali adalah variasi bentuk tata ungkapan berbahasa Bali yang dipakai untuk membumbui suatu pembicaraan sehingga akan tampak lebih menarik untuk disimak. Bentuk-bentuk ungkapan Bali yang termasuk di dalam paribasa Bali tersebut menggunakan perumpamaan yang menyampaikan perimbangan atau membandingkan keadaan atau perilaku manusia dengan keadaan atau perilaku binatang atau benda. Dengan ungkapan-ungkapan tersebut seseorang dapat dibuat senang, gembira, bangga, sadar atau ingat pada dirinya dan juga bisa jengkel, dendam, atau bersedih.
Simpen (1980:1) menyebut paribasa Bali dengan istilah bhasita paribasa yaitu bicara atau kata-kata, ajakan, teguran, celaan, hardikan, dan hukuman. Ia membedakan bhasita paribasa Bali atas enam belas jenis, yaitu: (1) sesonggan, (2) sesenggakan, (3) wewangsalan, (4) sloka, (5) bebladbadan, (6) peparikan, (7) pepindan, (8) sesawangan, (9) cecimpedan, (10) cecangkriman, (11) cecangkikan, (12) raos ngempelin, (13) sesimbing, sesemon, (15) sipta, dan (16) sesapan.
Berdasarkan hasil observasi penulis, dari enambelas jenis paribasa Bali di atas, hanya tiga jenis yang dipakai dalam wacana kritik sosial oleh dalang Cénk Blonk dalam pementasan lakon Diah Gagar Mayang. Tiga jenis paribasa yang digunakannya yaitu (1) sesenggakan, (2) sloka, dan (3) bebladbadan.
Sesenggakan
Sesenggakan adalah jenis Paribasa Bali yang berbentuk ungkapan-ungkapan panjang atau berbentuk kalimat yang mengungkap keadaan atau tingkah laku manusia dengan cara memperbandingkannya dengan keadaan atau perilaku benda atau binatang. Perhatikan dialog berikut.
-
141. Tualén : Anggon ngamenangang to. Nanang baanga ja cap menang
kala carik nanangé ilang. Nyak cara senggak anaké ngubuh bangkung. Bangkung bangka dagdage telah, abian benyah.
-
142. Merdah : Ane mokoh?
143. Tualen
: Ane ngurusin ja a mokoh.
Tualén mengatakan bahwa perbuatannya berperkara di pengadilan sampai ke tingkat kasasi “Cara senggak anaké ngubuh bangkung, bangkung bangka, dagdag telah, abian benyah” yang mengandung arti ‘Bagaikan orang memelihara induk babi, babinya mati, pakan babinya habis, dan tanaman di kebunnya juga rusak/hancur’. Makna ungkapan itu adalah “Kalau punya perkara hendaknya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, jangan sampai berperkara ke pengadilan”. Jika sampai ke pengadilan, bisa jadi tanah yang dimiliki akan habis untuk membiayai perkara tersebut.
Selanjutnya diwacanakan bahwa yang dapat menarik untung dari berperkara tersebut adalah pengacara yang memberi bantuan hukum. Baik yang menang maupun yang kalah samasama kena ongkos bantuan hukum tersebut. Keuntungan yang diterima pengacara pun diungkapnya dengan sesenggakan seperti pada dialog berikut.
-
145. Tualen : Aa. Ané ngurusin nyak cara meju di tukadé,
-
146. Merdah : Meju di tukadé?
-
147. Tualen : Yen meju di tukade, basang tis, jit kedas, tai joh anyud.
Dialog Tualen (145) “Ané ngurusin nyak cara meju di tukadé”, adalah sebuah sesenggakan yang berarti ‘Yang mengurusi atau membantu bagaikan orang yang berak di sungai’, Makna sesenggakan tersebut diungkap pada dialog (147) “Yen meju ditukadé, basang tis, jit kedas, tai joh anyud” artinya ‘Kalau berak di sungai, perut terasa nyaman, pantat bersih, dan kotoran hanyut jauh’.
Monolog punakawan yang bernama I Sangut terhadap Sang Anoman berikut ini juga mengandung sesenggakan. Perhatikan dialog 721.
-
721. Sangut : Beh … Dong yen Ratu mademang titiang, tulya kadi macan
ngematiang semut. Ten ratu ngantem titiang ba pejah. Wénten nak bangga?, wénten nak bengong? Pih, Sang Anoman nyidang ngematiang I Sangut. Wénten nak kagum?
I Sangut berkata kepada Sang Anoman “Yen Ratu mademang titiang, tulya kadi macan ngematiang semut” artinya ‘Jika Anda membunuh hamba, tak obahnya seekor macan membunuh semut’. Hal ini beralasan karena Sangut adalah seorang abdi yang hina dan tidak memiliki kekuatan berperang, sedangkan Sang Anoman adalah seorang mahapatih Ayodya yang gagah berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Oleh karena itu tidak akan ada kebanggaan jika dia bisa membunuh I Sangut yang hina itu.
Perhatikan pula sesenggakan pada dialog (806) berikut. I Klencéng berkata kepada temannya (I Céblong) demikian.
-
806. Cénk : Bungut ci ja kéto. Ngorin saya ada. Ci cara babakan polé ci.
Baang ci waké ada, anggon ci di awak cié padidi sing ja ada.
Pada dialog (806) di atas I Klencénk berkata “Ci cara babakan polé, baang ci waké ada, anggon ci di awak cié sing ada” artinya ‘Kamu bagaikan kulit pohon pule, kamu kasi aku ada, tapi untuk dirimu sendiri tidak ada’. Jadi makna sesenggakan tersebut adalah nasihat yang diberikan temannya ada, namun untuk dirinya sendiri tidak ada. Orang yang kelebihan hidupnya banyak digunakan untuk orang lain namun untuk dirinya sendiri tidak ada sering disebut bagai pohon pule.
Sloka
Sloka adalah salah satu jenis ungkapan atau paribasa Bali yang sering dipakai untuk membumbui perbincangan dalam berbahasa Bali agar apa yang dibicarakan lebih manis dan menarik untuk disimak. Menurut Ginarsa (1984:81), yang dimaksud dengan Sloka adalah istilah ungkapan kalimat yang terdiri atas beberapa baris dan tiap-tiap baris terdiri dari delapan suku kata. Tetapi pengertian sekarang walaupun hanya sebaris, juga disebut sloka seperti yang banyak didapatkan di dalam parwa-parwa.
Berdasarkan pengertian di atas dan setelah dilakukan pengamatan yang cermat terhadap wacana kritik sosial dalam pementasan lakon Diah Gagar Mayang, dapatlah disajikan beberapa kutipan yang mengandung Sloka. Perhatikan dialog berikut.
159. Tualén
: Kudang kerat amah ci bir naké? Nget mai ci mabuk. Ngraosng
rerama tua congkod, pecéh lédég, pipi maplui, mabojog Jawa suba kera. Laguta layah sing matulang, cadik tan pacantel, bani-baniang awaké! Nyungkling nasé di kadituané.
Pada dialog di atas Tualén memarahi dan menasihati anaknya dengan sebuah sloka berbahasa Bali yang berbunyi “Layah tan patulang, cadik tan pacantél”. Arti sloka tersebut adalah seseorang bebas ngomongin apa saja semaunya karena mulut tak kena pajak, namun isi bicaranya itu belum tentu benar. Arah pembicaraan itu, seorang anak tidak boleh ngomong sembarangan kepada orang tua. Patut menghormatinya dengan prinsip angawé sukanikang wong atuha ‘membuat senang hati orang tua’.
Dialog berikutnya yang juga mengandung jenis sloka adalah dialog (264) yaitu ucapan tokoh Tualén kepada para kera sebagai berikut.
264. Tualen : Cang ngidih ken cai, apin cai pawakan bojog, Pang nyidang s.fate cara manusa! Pang da bungkulan
dogen manusa s.fate cara bojog. Pang da timpal ngamah arak di Jawa benya mabuk di Bali. Timpal suba masalaman ngedum bati, iraga nu puik. Pang bisa medanin cen politik, cen adat, cen agama. Pang sing madukan taine ajak polone!
Pada dialog ini Tualén menyelipkan sebuah Sloka berbahasa Bali yang berbunyi “Pang sing madukan tainé ajak poloné” artinya ‘Agar tidak bercampur kotoran (berak) itu dengan otak (pikiran) kita’. Makna wacana tersebut adalah bahwa sebagai manusia hendaknya mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan juga sanggup menempatkan diri di masyarakat. Kapan kita berada di ranah budaya, kapan ada di ranah politik, serta kapan dan bagaimana jika ada di ranah agama.
Sloka berikutnya disajikan pada dialog (171) ketika Tualen menyatakan dirinya dalam keadaan marah kepada ulah anaknya. Perhatikan kutipan dialog berikut!
171. Tualén : Nget mauled baana basangé. Kewala da ci sebet ningeh
172. Merdah
173. Tualén
munyin nanangé! “Nora hana sih angluwihaken sih ikang tenaya” : Artiné?
: Sing ada tresnanan tekén tresnan i rerama mapianak.
Pada dialog (171) tersurat sebuah sloka berbahasa Kawi yang berbunyi “Nora hana sih angluwihaken sih ikang tenaya” artinya dalam bahasa Bali tersurat pada dialog (173) “Sing koné ada tresnanan kapining tresnan i rerama mapianak” yang terjemahannya ‘Tidak ada kasih sayang yang lebih dalam daripada kasih sayang seorang tua terhadap anaknya’. Oleh karena itu seorang anak hendaknya selalu hormat atau berbakti terhadap orang tuanya.
Bebladbadan
Simpen (1984:15) mengatakan bebladbadan itu setara dengan metafora dalam sastra Indonesia. Ginarsa (1985:65) mengatakan, bladbadan berasal dari kata badbad yang berarti ulur atau mulur, kemudian mendapat sisipan el dan akhiran –an hingga menjadi bladbadan yang oleh Simpen disebut bebladbadan yang berarti permuluran atau pemanjangan.
Di dalam pementasan lakon Diah Gagar Mayang, dalang Cénk Blonk mengungkap sebuah bladbadan pada dialog (159) berikut ini.
159. Tualén
: Kudang kerat amah ci bir naké? Mai ci mabuk. Ngraosang
rerama tua congkod, pecéh lédég, pipi maplui. Mabojog Jawa suba kera. Laguta layah sing matulang, cadik sing macantél, bani-baniang awak! Majungkling nas cié di kadituané.
Ungkapan “Mabojog Jawa” pada dialog (159) di atas adalah ungkapan yang termasuk jenis bladbadan yang artinya ‘kera’ (bahasa Indonesia) dan kera bahasa Bali mengandung arti
sudah tua, tenaga lemah, atau juga berarti kemampuan ekonominya lemah. Pada dialog tersebut disebut bladbadannya mabojog jawa yang sekaligus diungkap artinya ‘suba kera’ yang berarti ‘sudah tua, sudah reot, sudah tidak punya apa-apa atau ekonominya lemah.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis data di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa pertunjukan wayang kulit Cénk Blonk merupakan karya langkah maju dalam upaya pelestarian kesenian Bali, khususnya wayang kulit Bali. Kreasi dan inovasi yang dilakukan dalang Nardayana telah sanggup menepis tudingan bahwa wayang kulit Bali telah termarjinal dan ternyata masih eksis sampai saat ini.
Di samping inovasi fisik penampilan yang tekah dilakukan Nardayana, ia juga cukup cerdas mengemas wacana atau dialog-dialog pementasannya sehingga menjadi tontonan yang penuh dengan tuntunan. Yang lebih menarik lagi dalam pementasan lakon Diah Gagar Mayang dan juga lakon lainnya yang belum diteliti cukup banyak sang dalang melontarkan kritik sosial yang dikemas dalam bentuk (1) perumpamaan, (2) plesetan berbentuk singkatan, (3) paribasa Bali (sesenggakan, sloka, dan bebladbadan).
DAFTAR PUSTAKA
Balai Bahasa Denpasar. 2008. Kamus Bali–Indonesia, Edisi Ke-2, Denpasar: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Bandem, I Made dan I Nyoman Sedana. 1993. “Pertunjukan Wayang Kulit Bali :
Antara Tradisi dan Inovasi” dalam Makalah Sarasehan Wayang Kulit Nasional.
Denpasar, 3 Juli.
Alwi Hasan, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Diah Purnamawati, Ni Putu. 2005. “Pertunjukan Wayang Cenk Blonk Lakon Diah Gagar
Mayang”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana Budaya, Universitas Udayana.
Esten, Mursal. 1987. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Singaraja: CV Kayumas.
Kwant, R.C. 1975. Manusia dan Kritik. Diindonesiakan oleh A. Soedarminta dari
Mens en Kritiek. Yogyakarta: Kanisius.
Moleong, M.A. Lexy.1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda.
Mulyono, Sri.1978.Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung
Agung.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Struk
turalisme Hingga Posstrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Yogjakarta: Pustaka Pelajaran.
Ricouer, Paul. 1996. Teori Penafafsiran Wacana dan Makna Tambah. Terjemahan
Hami’ah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
9
Discussion and feedback