SISTEM BILANGAN POKOK TRADISIONAL DALAM MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR Sebuah Kajian Etnografis

Felysianus Sanga Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK

Setiap komunitas spesis manusia, seprimitif apapun, pasti memiliki bahasa. Dalam bahasa itu pasti terdapat kata bilangan. Berdasarkan kata bilangan tersebut muncul sisem bilangan pokok dan bilangan turunan sebagai dasar membilang dalam aritmatik. Dengan demikian bahasa dan bilangan pokok merupakan aspek dasar yang dimiliki oleh setiap kelompok etnis. Kedua aspek ini pula menjadi dasar pertumbuhan budaya kelompok etnis tersebut.

Mengacu kepada konsep ini maka dipertanyakan, bagaimana variasi sistem bilangan pokok dalam masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tersebar dan menetap sejak dahulu kala di atas 42 buah pulau. Setiap warga kelompok sosial yang berasal dari Nusa Tenggara Timur merasakan ada perbedaan sikap dan perilaku. Namun sulit atau belum diketahui apa, mengapa dan bagaimana persamaan dan perbedaan tersebut. Menjawab kebingungan masyarakat tersebut, termasuk pemerintah daerah setempat, perlu ada penelitian ilmiah yang mendasar dan profesional.

Laporan ini merupakan suatu hasil studi etik-emik dengan pendekatan etnografi baru ala Spradley yakni “Alur Penelitian Maju Bertahap (Development Research Sequence). Penelitian ini dilaksanakan secara individual, bukan paket proyek. Dan masih bersifat pendahuluan, karena belum sampai pada tahap penentuan etnisitas bersama unsur etik dan emiknya.

Hasil temuan menunjukkan bahwa dalam wilayah Nusa Tenggara Timur terdapat 37 kelompok sosial tradisional berdasarkan sistem penamaan bilangan. Kelompok ini dibagi lagi dalam 6 rumpun kelompok berdasarkan jumlah bilangan pokok yang dimiliki.

Kata kunci: bilangan pokok, etik-emik, etnografi, etnisitas, kelompok sosial,

ABSTRACT

Every human species community has language. No matter whether they are primitive or not. A language certainly has numeral that covers primary numeral and derivative numeral. These two kinds of numeral as the basic aspect in arithmathic. The culture development of the ethnic group really depends on the language and the primary numeral.

Based on the concept above. There was a question to be answered. “How is the variety system of the primary numeral formerly in East Nusa Tenggara spreads on more than 42 island. Every member of social group from East Nusa Tenggara knew the difference of this attitude and behavior. Although, it was difficult to know why and how there were difference and similarity. To answer the confusion, the society and the government really need a scientific research to be conducted professionally.

This report was the result of the ethic and emic study with an ethnography approach by Spradley, “A development research sequence”. This research was conducted individually and it was known as the beginning research that covers only the way how to determine the ethic with its ethic and enmic.

The finding shows that East Nusa Tenggara has 37 traditional social groups based on the way how to name the numeral. Furthermore, the groups were divided again into six groups based on the number of primary nmeral obtained

Key Words: Primary Numeral, Ethic-Emic, Ethnography, Ethnic, Social Group.

1.Pendahuluan

1.1    Latar belakang

Masyarakat multietnis dalam negara aneka bangsa seperti Indonesia ini, tak dapat dihindari terjadinya pembauran antara persamaan dan perbedaan berbagai aspek budaya, bahasa, agama, ideologi, norma-norma dasar, dan sebagainya. Pembauran ini dapat menimbulkan sejumlah gejala seperti: (1) terjadi interferensi atau kontaminasi; (2) fanatisme etnis dan konflik, (3) dominasi dan hegemoni; (4) pengkhianatan kelompok etnis sendiri; (5) perubahan budaya dasar yang mengaburkan kepribadian etnis tanpa disadari; (6) sulit memprediksi pesan-pesan simbolik dalam perencanaan pembangunan pada suatu wilayah; dan sebagainya.

Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai suatu wilayah provinsi dalam wilayah NKRI berdiri sejak tahun 1958 berdasarkan UU no. 64/1958. Luas wilayah ini tercatat; daratan seluas: 49.879, 98 km2 (2,6 % dari luas Indonesia) sedangkan perairan seluas: 200.000 km2. Daratan itu terdiri atas 566 buah pulau (besar dan kecil). Pulau yang sudah mempunyai nama sebanyak 266 buah sedangkan 300 buah yang lain belum mempunyai nama. Dari 266 buah yang sudah bernama itu, hanya 42 buah yang sudah dihuni, sedangkan 224 yang lain belum dihuni oleh manusia. Di antara 42 pulau yang sudah berpenghuni itu, terdapat empat pulau besar yakni Flores, Sumba, Timor, dan Alor yang sering disingkat dengan akronim untuk mencitrakan kesatuan wilayah yakni “Flobamora”. Penduduk yang menghuni 42 pulau itu berjumlah 4.679.316 jiwa (Badan Pusat Statistik NTT, melalui sensus penduduk tahun 2010). Sebarannya dipetakan dalam wilayah pemerintahan terdiri atas 20 buah Kabupaten dan sebuah kotamadya.

Pihak pemerintah daerah, budayawan, dan para ilmuwan telah menyadari pada tataran permukaan bahwa di NTT terdapat masyarakat multietnis dan multibudaya. Disadari pula bahwa provinsi ini belum pernah memiliki peta budaya dan kepastian jumlah etnis sebagai media utama, baik untuk perencanaan maupun proses pelaksanaan pembangunan dalam wilayah multidimensi seperti ini. Sesungguhnya kondisi ini bukanlah merupakan suatu ketinggalan apabila dibandingkan dengan kondisi “kebhinekaan” yang menjadi bagian dari semboyan pembentukan NKRI tercinta ini. Namun sekecil apapun, perlu segera ada upaya menemukan unsur-unsur dasar budaya tradisi yang telah menjadi alat pembentuk kepribadian suatu komunitas masyarakat lokal.

Sehubungan dengan gambaran umum di atas, penulis nenawarkan sebuah hasil kajian etnografis tentang sistem bilang pokok yang dimiliki oleh masing-masing kelompok sosial tradisional (bukan etnis) yang tersebar di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur. Aspek kajian ini bernada sangat sederhana namun sesungguhnya menempati posisi yang sangat mendasar. Anggapan ini dilandasi oleh beberapa prediksi rasional, antara lain: 1. Setiap kelompok masyarakat tradisional pasti memiliki bahasa sebagai alat interaksi sosial; dalam bahasa tersebut pasti terdapat bilangan basis bersama sistem pengembangannya; 2. Bilangan basis dalam bahasa bersama sistem pelambangannya merupakan dasar aritmatik dan berhitung tradisional;

  • 3.Bahasa dan berhitung merupakan alat utama pembentukan berbagai sistem budaya dasar yang dapat digambar dalam tiga lapis norma dasar yakni: (1) lapis pertama adalah ideologi; (2) lapis kedua adalah teknologi; dan (3) lapis ketiga adalah sosiologi.

  • 1.2    Masalah dan Rumusannya

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas maka research problem-nya dirumuskan sebagai berikut: ”setiap kelompok masyarakat tradisional memiliki sistem bilangan sebagai komponen bahasa lokal dalam interaksi sosial mereka”. Rumusan ini diberikan judul “Sistem Bilangan Pokok dalam Masyarakat Nusa Tenggara Timur: Sebuah Kajian Etnografis.” Judul dan masalah penelitian ini dipilah tiga pertanyaan penelitian (Research quetions) sebagai berikut: 1. Apakah terdapat persamaan dan perbedaan sistem bilangan pokok antara kelompok-kelompok sosial tradisional dalam masyarakat di NTT ?

  • 2.    Bagaimanakah memahami persamaan dan perbedaan bilangan pokok antara kelompok sosial tradisional dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur ?

  • 3.    Apakah persamaan dan perbedaan itu mempunyai hubungan baik dengan program maupun proses pembangunan di daerah ?

  • 1.3    Tujuan Pengkajian

Tujuan penelitian dapat dirumuskan secara sederhana berikut ini

  • 1.    Memperoleh deskripsi tentang persamaan dan perbedaan sistem bilangan pokok antara kelompok masyarakat tradisi dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur;

  • 2.    Memperoleh pemahaman tentang pola persamaan dan perbedaan bilangan pokok antara kelompok sosial tradisional dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur.

  • 3.    Menemukan hubungan antara persamaan dan perbedaan bilangan pokok antarkelompok sosial dengan sistem perubahan terencana (program pembangunan) oleh pemerintah daerah.

  • 1.4    Manfaat Hasil Kajian

Apabila tujuan penelitian sederhana seperti yang telah dirumuskan di atas ini dapat tercapai secara maksimal maka hasilnya diharapkan dapat bermanfaat:

  • 1.4.1    Sebagai informasi awal bagi pemerintah daerah maupun para pelaku pembaruan di desa bahwa persamaan dan perbedaan budaya dasar dalam masyarakat multietnis membutuhkan perhatian dan penyikapan secara khusus;

  • 1.4.2    Sebagai perangsang bagi budayawan, terutama ilmuwan dan pemerintah daerah untuk memulai penelitian atau pengkajian secara saksama tentang Etik dan Emik dalam wilayah pemerintahan yang multietnis dan multidimensi. Orientasi hasil penelitian dan pengkajian itu diarahkan kepada:

  • a.    penentuan etnis secara pasti;

  • b.    menghasilkan peta budaya sebagai acuan perencanaan pembangunan; dan

  • c.    penyusunan berbagai jenis peraturan yang berbasis budaya lokal

  • 1.4.3    Bagi pihak pengelola pendidikan dapat menangkap bahan ajar yang berbasis muatan lokal, termasuk matematika dan teknologi pedesaan.

  • 1.4.4    Pelestarian dan pemeliharaan budaya dasar setiap etnis dapat terprogram secara sistematis karena banyak kandungan bernilai tinggi yang sedang terancam punah.

  • 2.    Tinjauan pustaka

    2.1    Etnografi

Makna konsep dari istilah etnografi mempunyai perjalanan yang cukup panjang yang diawali oleh istilah etnologi sebagai nama lembaga yang mempelajari etnografika atau materi budaya yang dihimpun dari berbagai bangsa. Lembaga itu didirikan oleh M. Edwards thanu 1939 di Paris kemudian disusul oleh T. Hodgkin tahun 1843 di Amerika. Istilah ini memasuki dunia perguruan tinggi sejak 1884 oleh F.B. Tylor di Universitas Oxford. Kemudian pada tahun 1888 James Farzer dan I.H. Morgan mendirikan Jurusan Arkeologi dan Etnologi di Universitas Harvard Amerika. Pada masa itu etnologi/etnografi diartikan sebagai “pengetahuan atau ilmu tentang bangsa-bangsa” yang dipelajari secara langsung. Tuntutan studi lapangan ini diawali oleh dua orang tokoh pemula ialah W.H.R. Rivers dari Inggeris dan Frans Boas dari Amerika. Hingga di sini, perjalanan etnografi sebagai suatu pengetahuan ilmiah baru mencapai periode pertama. (Koentjaraningrat,1987:8–28; Amri Marzali dalam Spradley, 1997;).

Berdasarkan tuntutan periode pertama ini maka muncullah etnografi periode kedua pada tahun 1920-an yang bertujuan lebih operasional yakni; “mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya masyarakat”. Periode ini dipelopori oleh A.R. Redcliffe-Brown dan

Brinislaw Malinowski (budayawan Inggeris). Dipahami secara mendasar bahwa etnografi, antropologi, budaya, dan sosiologi adalah ilmu-ilmu sosial yang berhubungan secara timbal-balik dan sulit dipisahkan. Perkembangan konsep itu sehingga etnografi pada periode ini dinamakan “Etnografi Modern”. Pada waktu itu muncul definisi tentang budaya sangat beragam karena dari sisi pandang yang berbeda. Salah satu konsep budaya sebagai suatu isi gagasan seperti dikemukakan oleh Ward H. Goodenough (1957):

‘budaya suatu masyarakat terdiri atas segala bentuk hal-ihwal yang harus diketahui dalam pikiran atau dipercayai dalam batin seseorang agar dia dapat membangun model untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan menginterpretasi sehingga berperilaku sesuai dengan cara yang diterima oleh masyarakat dalam komunitasnya”. (Lih. Keesing, 1999: 67-76).

Konsep ini mempunyai pengaruh besar terhadap gerak maju etnografi menuju ke periode ketiga yang sering pula dinamakan ‘Etnografi Baru’ atau ‘Etniscience’ atau dinamakan pula ‘Antropologi Kognitif’. Studi kebudayaan yang berorientesi kepada pemahaman isi informasi atau kognisi ini telah membawa beberapa perubahan pandangan terhadap studi tentang manusia. Perubahan termaksud antara lain dalam bidang antropologi, khususnya etnografi; bidang sosiologi interpretatif, khususnya interaksi simbolik; dan bahasa dan budaya sebagai suatu kesatuan, khususnya etik dan emik yang mencerminkan pola budaya dan watak suatu bangsa. Khusus dalam bidang etnografi, Spradley mengembangkan sebuah batasan tentang kebudayaan seperti:

‘Kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar yang mereka gunakan untuk menginterpretasi dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka’. (Spradley, 1997: xx)

Konsep ini telah menggiring Spradley sendiri dalam mengembangkan ‘Etnografi Baru’ dengan versi lain sehingga dinamakan “Etnografi Baru ala Spradley” yang memasuki periode keempat dari etnografi atau disebut pula ‘Antropologi Kognitif – Periode Kedua’. Penanda utama dari Etnografi Baru ala Spradley ini terletak pada metodologinya yang dinamakan ‘Development Research Sequence = Alur Penelitian Maju Bertahap’. Konsep etnografi pada periode keempat ini telah menjadi kompas dalam proses kegiatan pengkajian ini.

  • 2.2    Etnisitas

Istilah etnis atau itnik mempunyai hubungan erat dengan bidang ilmu Antropologi Budaya, sedangkan istilah antropologi baru muncul sebagai suatu disiplin ilmu sesudah pertengahan abab ke-20 yang dipelopori oleh F.B. Tylor, James Frazer, dan L.H. Morgan seperti telah diuraikan di atas. Perkembangan persepsi tentang etnografi, antropologi, sosiologi, dan kebudayaan telah menimbulkan konsep baru tentang etnis atau etnik.

Konsep tentang Etnik itu berhubungan erat dengan suatu komunitas yang dibatasi oleh suatu sistem budaya yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu berdasarkan keturunan, adat, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya. Sejalan dengan konsep ini, Kuper & Kuper (2000: 310) mencatat batasan yang dikemukakan oleh John Stone.

“Etnisitas ialah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaannya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah dan yang dapat meliputi kesamaan budaya, agama, dan atau bahasa.”

Konsep ini yang akan diacu dalam kegiatan pengkajian ini meskipun hasilo kajian ini tidak sampai pada hasil akhir pembuktian dan pemetaan etnis di wilayah Nusa Tenggara Timur. Latar belakang memilih konsep ini sebagai acuan penelitian, didasari oleh persepsi bahwa:

“suatu komunitas sosial yang dilandasi oleh kesamaan faktor bahasa, budaya, sejarah, dan agama tradisi dapat dipastikan bahwa masyarakat tersebut adalah sebuah etnis/etnik”.

Kesamaan yang terdapat pada komunitas-komunitas sosial dalam suatu wilayah tidak harus mencakup semua aspek seperti termaksud. Suatu komunitas yang memiliki kesamaan bahasa, sejarah, dan budaya belum tentu memiliki agama tradisi yang sama, demikian sebaliknya.

Di pihak lain, Max Weber (1968) yang mengacu kepada ekonomi dan sosial, memberikan batasan tentang etnisitas sebagai baerikut:

etnistias atau ras adalah kelompok manusia (selain kelompok kesukuan) yang menghormati pandangan serta memegang kepercayaan bahwa asal usul yang sama yang menjadi alasan kuat untuk penciptaan suatu komunitas tersendiri dinamakan etnis” Pendapat ini mengisyaratkan bahwa Weber menyamakan konsep etnisitas dengan ras. Penyamaan konsep ini dapat menggiring pemahaman lebih jauh untuk menghubungkan konsep ras dengan suku dan antara suku dengan bangsa. Dapat pula dihubungkan dengan terminologi asimilasi dan akulturasi. Menghubungkan konsep etnis dengan ras seperti bukan merupakan suatu kesalahan tetapi kiranya tak dapat diterima begitu saja sebagai salah satu kriteria pokok untuk membangun konsep etnisitas. Etnisitas berbeda dengan kesukuan karena kesukuan lebih mengarah kepada warisan biologis. Sedangkan ras (yang dihubungkan dengan tipologi kesukuan) yang mempunyai konotasi kepada tipe biologis. Etnisitas tidak hanya berdasarkan warisan biologis, kesejarahan, atau agama saja.

  • 2.3    Pola Budaya

Setiap kelompok masyarakat tradisional, hampir dapat dipastikan memiliki tiga aspek dasar yakni: (1) ritus dan ritual, (2) adat-istiadat, serta (3) watak dan perilaku kelompok. Proses memiliki ketiga aspek budaya ini memakan waktu yang lama. Konsep ritus dan ritual menurut Geertz (1992:191); Imam Muhni,(1994:128); dan Susanto (1987: 57-59) mempunyai hubungan erat dengan konsep dasar mitos seperti dikemukakan oleh Mircea Eliade (lih. Sastrapratedja, 1982: 37, 38, dan 43). Hal ini berpijak pada agama primitif seperti dikemukakan oleh Baker (1866), Jevons (1896), dan Hocart (1914). Dengan demikian, ritus dan ritual merupakan tindakan refleksif dari kepercayaan terhadap penguasa kekuatan tertinggi. Persepsi dan perilaku religius ini tidak diwujudkan dalam situasi dan kondisi yang profan. Oleh sebab itu, sejumlah hal dasar yang dipandang mempunyai hubungan langsung dengan kedisiplinan dalam kehidupan sosial yang dianut sebagai aturan umum dan harus dipatuhi serta diwariskan.

Aturan-aturan umum yang harus dipatuhi dan diwariskan inilah dinamakan adat-istiadat. Dengan demikian, adat-istiadat merupakan undang-undang konvensional dalam masyarakat suatu kelompok etnis, suku, atau bangsa. Berbagai ketentuan normatif dalam adat-istiadat itu diaplikasikan atau diekspresikan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi yang ekspresif berbagai ketentuan normatif itu dapat terlihat melalui perilaku kelompok etnis. Dengan demikian, ciri dasar perilaku kelompok etnis akan mencerminkan watak kelompok etnis bersangkutan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ketiga hal pokok di atas ini menentukan warna atau karakteristik dasar peradaban masing-masing kelompok baik etnis, suku, maupun bangsa.

Mengacu kepada pendapat Marvin Harris (1968:16) mengatakan bahwa kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup bermasyarakat. Kebudayaan dipandang sebagai pengetahuan milik bersama berarti tidak terlepas dari adat, obyek budaya, emosi, persepsi, dan tingkah laku suatu komunitas yang memiliki kebudayaan yang sama.

Berbicara tentang pola budaya, Edward Sapir (1927), yang dilatari pemikiran tentang ‘etik dan emik’ yang berusaha mempertemukan kutub linguistik dan budaya, telah memberikan bayangan bahwa dalam masyarakat terdapat konfigurasi kebudayaan yang perlu dipelajari. Kemudian, Ruth Fulton Benedict, (1934) dengan berpijak pada ‘struktur kepribadian dasar’, telah berupaya merumuskan konsep tentang “Pola Kebudayaan” . Ringkasan rumusan termaksud dapat dicatat sebagai berikut:

Di dalam setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetik) dan faktor kebutuhan (konstitusi), yang timbul secara berulang-ulang dan universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan sejumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut berkembang. Tipe-tipe temperamen tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari orang-orang dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai terhadap tipe dominan dari masyarakatnya. Hal itu disebabkan oleh temperamen mereka cukup plastis untuk dibentuk tenaga pencetak dari masyarakat. Hal itu dikenal dengan istilah tipe kepribadian normal. Di samping itu ada sejumlah penduduk yang merupakan minoritas dalam setiap masyarakat, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam tipe dominan ini. Baik disebabkan tipe temperamen tersebut terlalu menyimpang (devite) dari tipe dominan (ruling type), maupun karena mereka tidak cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan diri dengan tipe dominan. Golongan minoritas ini adalah para penyimpang dan abnormal. (Danandjaja, 1988:41).

Ringkasan di atas ini mengisyaratkan enam hal pokok sebagai pola suatu budaya etnis yakni: (1) kepemilikan budaya; (2) cara pemilikan; (3) wujud budaya; (4) taraf pemilikan; (5) landasan kebudayaan; dan (6) watak kelompok.

Watak dan Kepribadian Kelompok

Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis akan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok etnis lain. Ciri khas kebudayaan itu merupakan watak kebudayaan itu sendiri. Margaret Mead (1953) mendefinisikan watak kebudayaan sebagai berikut:

Watak kebudayaan adalah kesamaan (regularities) sifat di dalam intra-psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu, yang diperoleh karena mengalami cara pengasuhan anak yang sama, di dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan. (Danandajaja, 1988: 70). Konsep tentang watak kebudayaan seperti dikemukakan Mead di atas ini tentu tidak akan terlepas dari pemilik atau pendukungnya. Oleh sebab itu, dengan logika sederhana dapat dikatakan bahwa watak kebudayaan mencerminkan watak kelompok etnis, suku, atau bangsa. Bateson dalam Danandjaja (1988:73) mengatakan bahwa “watak bangsa sebagai seperangkat tema dari pola kebudayaan timbul berulang kali dalam hubungan antarperorangan”. Dengan kata lain, pola kebudayaan yang bersifat permanent yang diekspresikan antarperson dalam kehidupan sosial merupakan watak bangsa.

  • 2.4    Sistem Bilangan

Catatan Singkat Sejarah Bilangan:

  • 1.    Peristiwa membilang dalam arti menghitung, mengukur, dan menakar dalam kehidupan umat manusia sudah sangat lama dan sulit diketahui secara pasti sejak kapan, oleh siapa, dan bagaimana cara awalnya. Peristiwa itu mungkin bersamaan muncul dengan bahasa umat manusia sejak praperadaban.

  • 2.    Berdasarkan peninggalan kuno dan perkiraan para ahli mengatakan bahwa proses pertumbuhan membilang dan menghitung terjadi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  • (1)    mula-mula mengetahui adanya berkurang dan bertambah dari suatu benda yang ada di dekatnya atau yang akrab dengan mereka;

  • (2)    mulai membilang sebelum dan sesudah bertambah atau berkurangnya sesuatu itu; waktu itu bilangan dan wujud benda masih menyatu;

  • (3)    memberikan tanda dari yang dibilang dengan jari-jari tangan, kaki, atau anggota tubuhyang lain;

  • (4)    mengkreasikan tanda dari anggota tubuh dengan benda-benda alam, seperti batu, kayu, dan sebagainya;

  • (5)    mengkreasikan kembali tanda dengan benda alam menjadi coretan-coretan, takikan, simpul-simpul pada tali, dan sebagainya. Waktu itu mulai awal manusia membuat tulisan atau gambar-gambar. Pada tahap ini bilangan (kata bilangan) dengan lambang-lambang bilangan mulai mempunyai peninggalan yang bisa dipelajari.

  • 3.    Masa berikutnya mulai muncul sistematika penandaan dan pelambangan bilangan karena manusia mulai dapat membuat perhitungan yang luas. Pada waktu itu muncullah bilangan-bilangan basis = dasar = radix = skala dengan pemberian nama-nama. Misalnya: satu, dua, tiga, dst = 1, 2, 3; one, two, three, dst = 1, 2, 3, dan sterusnya.

Pada setiap bahasa dan etnis berbeda-beda bilangan basis dan penamaannya. Bilangan basis itu muncul/dimunculkan sebagai suatu skala patokan dalam perhitungan, pengukuran, dan penakaran terhadap ruang (termasuk benda) dan waktu. Ada petunjuk yang menginformasikan bahwa umat manusia mengenal bilangan basis itu antara 1 s.d. 12 (satu sampai dengan dua belas). Di sinilah letaknya variasi skala bagi etnis.

Sistem Berhitung dalam Masyarakat Tradisi

Berhitung adalah melakukan pekerjaan menghitung. Menghitung itu terjadi karena “sesuatu” (berwujud: benda, gerak, atau keadaan) itu terdiri dari “lebih dari satu”. Mengatakan (menamakan) yang satu untuk membedakan dengan yang lain adalah membilang.

Misalnya: sebuah mangga diletakan dekat sebuah mangga lagi = mangga-mangga; tetapi Kalau diletakkan lagi sebuah mangga maka akan menjadi mangga-mangga-mangga.

Pada suatu ketika akan terjadi kesulitan membilang atau mengatakannya. Oleh sebab itu mangga dibilang “satu mangga”; mangga-mangga dibilang “dua mangga”; dan mangga-mangga-mangga dibilang “tiga mangga” dan seterusnya.

Dengan demikian konsep Bilang = berbilang (mengarah kepada menghitung) sedangkan membilang (mengarah kepada mengatakan).

Peristiwa dasar telah menghasilkan kata baru dalam bahasa yang dinamakan bilangan yang berarti: (1) banyaknya atau jumlah; (2) satuan jumlah. Konsep ini yang menjadi cikal-bakal satuan bilangan dalam sistem matematis yang abstrak karena dapat diunitkan.

Setiap suku bangsa mempunyai rentang satuan jumlah dasar yang berbeda-beda. Satuan jumlah dasar itu dinamakan Bilangan Asli = Bilangan Basis = Bilangan Cacah = Bilangan Pokok:

adalah nama-nama dari bilangan utama (kardinal) yang bersifat bilangan penuh dan disusun berdasarkan urutan atau ordinal. Jumlah bilangan pokok itu berbeda-beda antara satu etnis dengan etnis yang lain. Selain sistem penamaan, perbedaan jumlah kata bilangan pokok itu menjadi penanda perbedaan antar kelompok etnis.

Secara rinci dapat dilihat makna konseptualnya:

Bilangan asli = bilangan yang dihitung mulai dari bilangan satu, dua, tiga ... sampai seterusnya;

Bilangan cacah = bilangan yang dihitung mulai dari bilangan nol, satu, dua, tiga, sampai seterusnya.

Bilangan pokok = bilangan-bilangan yang berfungsi sebagai dasar yang belum menunjukkan himpunan atau pecahan. Dengan kata lain, bilangan bulat dan asli yang dimiliki oleh suatu suku bangsa atau suatu kelompok etnis.

Bilangan Basis atau Basis Bilangan ÷ Bilangan pokok.

Sesungguhnya bilangan itu adalah sebuah tanda tanda berupa nama, nama adalah kata, dan kata adalah bahasa. Oleh sebab itu, berbicara tentang bilangan adalah berbicara tentang bahasa. Tanda, nama, kata berupa bilangan itu pada suatu ketika diberikan tanda baru atau lambang baru yang dinamakan Angka, sehingga terjadi pembedaan antara Kata Bilangan dan Angka.

Perlu disimpulkan di sini bahwa semua etnis di jagad ini pasti memiliki bilangan dan sistem pembilangan yang sesederhana apapun, tetapi tidak semua memiliki lambang bilangan

atau angka dan sistem pengangkaan seperti yang kita pelajari dewasa ini. Khusus di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, ditemukan bilangan dan sistem bilangan namun belum ditemukan angka dan sistem pengangkaan.

Tentang sistem pengangkaan awal perlu kita pelajari sejarah kuno yang diwariskan oleh bangsa Mesir, Yunani, Romawi, Sumeria, Atik, Brahmi, Kharasti, Tamil di India, Cina, Jepang, Arab, dan Jawa.

  • 3.    Teknik Penelitian

    3.1    Gambaran Singkat Sumber Data

Kondisi geografis dan sebaran etnik dan penduduk di wilayah Provinsi NTT seperti digambarkan di atas mengisyaratkan bahwa penentuan lokasi penelitian dan nara sumber bukan merupakan suatu hal yang mudah. Teknik penentuan lokasi ditempuh sebagai berikut: (1) Mengacu kepada kabupaten dan kecamatan pada masing-masing daratan yang dihuni, peneliti menemukan kelompok desa tradisi yang menamakan dirinya satu suku atau klen;

  • (2)    Peneliti menguji komunikasi kebahasaan antara satu klen dengan klen lain. Apabila terjadi komunikasi yang lancar dan sukses maka meraka masih merupakan satu kesatuan sehingga disatukan;

  • (3)    Berdasarkan proses ini ditemukan 45 buah komunitas sosial yang dapat dibagi lagi atas dua kelompok lagi, yakni: a. Kelompok yang benar-benar tidak dapat berkomunikasi; dan b. Kelompok yang tidak dapat berkomunikasi namun dapat saling memahami maksud karena ada kesamaan sejumlah kata.

  • (4)    Ke 45 kelompok sosial ini dijadikan lokasi sumber data dalam penelitian ini. Apabila mengacu kepada akronim nama “Flobamora = Flores, Sumba, Timor, Alor) maka sebarannya: Daerah Flores terdapat 12 kelompok sosial; Sumba terdapat 5 kelompok sosial; Timor terdapat 8 kelompok etnis, sedangkan Alor terdapat 20 kelompok sosial. Secara rinci dapat dilihat melalui tabel berikut ini.

DAFTAR NAMA KELOMPOK ETNIS MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR BERDASARKAN PENGAKUAN KELOMPOK MASYARAKAT LOKAL

NO

NAMA ETNIS

KABUPATEN

PULAU/DARATAN

1

Buna

Belu

Timor

2

Tetun

Belu

Timor

3

Marae

Belu

Timor

4

Dawan

TTU, TTS, dan Kupang

Timor

5

Melayu Kupang

Kota Madya Kupang

Timor

6

Sabu

Sabu

Sabu

7

Rote

Rote

Rote

8

Helong

Kupang

Semau

9

Pura

Alor

Pura

10

Lobanghur

Alor

Kepulauan Alor

11

Aho’o Kawai

Alor

Kepulauan Alor

12

Kamaifui

Alor

Kepulauan Alor

13

Abui

Alor

Kepulauan Alor

14

Padang Alang

Alor

Kepulauan Alor

15

Kiraman

Alor

Kepulauan Alor

16

Reta/Hur Naga2

Alor

Kepulauan Alor

17

Hamab

Alor

Kepulauan Alor

18

Wersina

Alor

Kepulauan Alor

19

Kamengmi

Alor

Kepulauan Alor

20

Langkuru

Alor

Kepulauan Alor

21

Nelik

Alor

Kepulauan Alor

22

Lalamana

Alor

Kepulauan Alor

23

Kula/Tanglapui

Alor

Kepulauan Alor

24

Klon

Alor

Kepulauan Alor

25

Masin

Alor

Kepulauan Alor

26

Kalong

Alor

Kepulauan Alor

27

Kabola

Alor

Kepulauan Alor

28

Blagar/Lamma

Alor

Pantar

29

Lamaholot

Flores Timur, Lembata

Flotim, Adonara, Kembata, Solor

30

Kedang

Lembata

Lembata

31

Malayu Larantuka

Flores Timur (Kota Larantuka)

Flores Timur

32

Sikka

Sikka

Flores

33

Ende-Lio

Ende

Flores

34

Nagakeo

Nagekeo

Flores

35

Golewa

Ngada

Flores

36

Wangka

Ngada

Flores

37

Keja

Ngada

Flores

38

Ri’a

Ngada

Flores

39

Manggarai

Manggarai Timur, Tengah, Barat

Flores

40

Komodo

Manggarai Barat

Komodo

41

Kanbera

Sumba Timur

Sumba

42

Lamboya

Sumba Barat

Sumba

43

Kodi

Sumba Barat

Sumba

44

Waijewa

Sumba Barat

Sumba

45

Anakalang

Sumba Barat

Sumba

  • 3.2    Teknik Memperoleh Data

Peneliti mengunjungi masing-masing kelompok sosial dengan sasaran utama ialah klen atau desa yang dipandang oleh kelompok mereka sebagai klen atau desa tertinggi kerena memegang kendali norma adat budaya di wilayah mereka. Dari semua wilayah yang dikunjungi, desa atau klen mengakui secara jujur, malahan menawarkan diri untuk mengantar ke lokasi.

Pada masing-masing lokasi sasaran, peneliti mewawancari sejumlah pemuka masyarakat secara kelompok. Sejumlah lokasi sasaran peneliti terpaksa menggunakan juru bicara karena nara sumber kurang berbahasa Indonesia, sebaliknya peneliti sendiri tidak mampu memahami bahasa mereka.

Data yang menjadi sasaran utama peneliti pada masing-masing lokasi sasaran adalah: (1) cara mereka membilang dari satu sampai sepuluh; (2) cara mereka menghitung barang/benda yang dimiliki; (3) cara mereka mengukur; (4) cara mereka menakar; (5) cara mereka membuat perkiraan berat, jauh, lama, panjang, tinggi; dan (6) penandaan dalam perhitungan waktu hari, bulan, dan tahun.

Dalam tulisan ini hanya dimuat data pertama yakni cara mereka membilang dari satu sampai sepuluh. Data itu dianalisis hanya untuk mengetahui bilangan pokok yang dimiliki oleh masing-masing kelompok sosial.

  • 3.3    Teknik Pengolahan Data

Data lapangan berupa kata bilangan pokok dari 45 kelompok sosial diolah dalam tabel. Teknik pengolahannya melalui tiga tahap tabulasi.

  • (1)    Tabulasi tahap pertama: memasukan semua data bilangan “satu ÷ sepuluh ke dalam tabel berdasarkan nama kelompok dan nama bilangan yang mengacu kepada bahasa indonesia;

  • (2)    Tabulasi tahap kedua: dengan bentuk tabel yang sama tetapi muatannya adalah hasil analisis penamaan untuk mengetahui yang man bilangan pokok dan yang mana saja bukan bilangan pokok pada masing-masing kelompok sosial;

  • (3)    Tabulasi tahap ketiga: dengan menggunakan bentuk tabel yang sama tetapi muatannya adalah hasil pengelompokan sosial berdasarkan jumlah bilangan pokok.

Teknik pengolahan ini akan lebih mudah dipahami melalui melalui pengamatan langsung tahapan tabel yang terdapat pada butir 4. yakni hasil analisis.

  • 4.    Hasil Analisis dan Pembahasan

    4.1 .1 Hasil Analisis

    4.1    Tabulasi Tahap 1

DAFTAR NAMA-NAMA BILANGAN

KELOMPOK MASYARAKAT LOKAL DI NUSA TENGGARA TIMUR

Angka & nama

NAMA-NAMA BILANGAN POKOK ETNIS & LAMB

Indonesia

1

2

3

4

5

6

7

Nama Klmpk             satu     dua     tiga empat     lima       enam        tujuh

& Nama Bilangan

1

Buna

ida

rua

tolu

hat

lima

nen

hitu

2

Tetun

ida

rua

tolu

haat

lima

nem

hitu

3

Marae

uwen

nilo’o

goni’o

goni’il

gone’et

tomok

hitu

4

Dawan

mese

nua

tenu

ha

nim

ne

hitu

5

Melayu Kupang

satu

dua

tiga

ampa

lima

anam

tuju

6

Sabu

ahe

due

telu

epa

lemi

ena

pidu

7

Rote

esa

dua

telu

ha

linia

ne

hitu

8

Helong

mesa

dua

tilu

at

lima’

eneng

itu

9

Pura

nu

aru

rue

buto

ihing

taling

titu

10

Lobanghur

nu

aru

tie

buti

ising

taling

bititu

11

Aho’o Kawai

nole

ole

su

biat

iwising

iwisingnok

isingole

12

Kamaifui

nuki

ayoki

suae

buti

tsating

talamae

tsatingayoki

13

Abui

nuku

oki

sua

buti

yeting

talang

yetingoki

14

Padang Alang

nuku

ayuku

sua

busi

jizing

tama

jizingayuku

15

Kiraman

nuku

ayoku

sua

usa

yesan

talama

yesaraku

16

Reta/Hur Naga2

anu

alo

atoga

buta

afehang

talaung

bititoga

17

Hamab

nu

alo

tof

ut

ifehing

talang

itito

18

Wersina

no

yoku

tu

arayoku

weting

wetinum

wetingyoku

19

Kamengmi

nok

ok

su

biat

iwising

iwisingnok

iwisingok

20

Langkuru

nok

ok

su

bu’at

iwising

tama

iwisingok

21

Nelik

nuk

aik

su

buat

wising

ta’ma

wisingaik

22

Lalamana

suno

yoku

tua

arasiku

yotine

yotinsuno

yotinyaku

23

Kula/Tanglapui

sona

yaku

rua

arasiku

yawatinnu

yawatinsona

yawatinyaku

24

Klon

nuk

orok

tong

ut

ewek

taelan

usong

25

Masin

nuku

aroku

siwa

usa

jesen

talama

jeseroku

26

Kalong

nuku

aku

suway

butai

iweheng

talama

bisau

27

Kabola

niu

alo

tolu

ut

iking

talang

itito

28

Blagar/Lamma

tou

rua

telo

paa

lema

nemu

pito

29

Lamaholot

to’u

rua

telo

paat

lema

nemu

pito

30

Kedang

ude’

sue’

telu

apa

leme

ene

pitu

31

Malayu Larantuka

hatu

dua

tida

empa

lima

ena

tujo

32

Sikka

ha

rua

tellu

hutu

lima

ena

pitu

33

Ende-Lio

esa

rua

telu

sutu

lima

limaesa

limarua

34

Nagakeo

esa

zua

telu

wutu

lima

limaesa

limazua

35

Golewa

esa

zua

telu

wutu

lema

lemasa

lemazua

36

Wangka

ca

sua

telu

pat

lima

nong

pitu

37

Keja

ca

sue

telu

pat

lema

nong

pitu

38

Ri’a

sa

tua

telu

pat

lema

non

pitu

39

Manggarai

ca

zua

telu

paat

lima

enam

pitu

40

Komodo

sa

rua

telu

paat

lima

enam

pitu

41

Kanbera

diha

dambu

telu

patu

lima

nomu

pihu

42

Lamboya

diha

duda

tauda

pata

limma

anni

pitu

43 Kodi                i’ha duyo     tallu     poto      limma     nommo

pitu

44 Waijewa            iya     ndumda toumda pata     limma     enne

pitu

45 anakalang           haing duada tailu     vattu     lima       damu

vittu

\

  • 4.2    Tabulasi Rahap 2

HASIL ANALISIS BILANGAN POKOK BERDASARKAN SISTEM PENAMAAN DALAM KELOMPOK MASYARAKAT LOKAL DI NUSA TENGGARA TIMUR

Angka & nama

NAMA-NAMA BILANGAN POKOK ETNIS & LAMB

Indonesia

1

2

3

4

5

6

7

Nama Klmpk             satu     dua     tiga empat     lima

enam

tujuh

& Nama Bilangan

1

Buna

ida

rua

tolu

hat

lima

nen

hitu

1

2

3

4

5

6

7

2

Tetun

ida

rua

tolu

haat

lima

nem

hitu

1

2

3

4

5

6

7

3

Marae

uwen

nilo’o

goni’o

goni’il

gone’et

tomok

hitu

1

2

3

4

5

6

7

4

Dawan

mese

nua

tenu

ha

nim

ne

hitu

1

2

3

4

5

6

7

5

Melayu Kupang

satu

dua

tiga

ampa

lima

anam

tuju

1

2

3

4

5

6

7

6

Sabu

ahe

due

telu

epa

lemi

ena

pidu

1

2

3

4

5

6

7

7

Rote

esa

dua

telu

ha

linia

ne

hitu

1

2

3

4

5

6

7

8

Helong

mesa

dua

tilu

at

lima’

eneng

itu

1

2

3

4

5

6

7

9

Pura

nu

aru

rue

buto

ihing

taling

titu

1

2

3

4

5

6

7

10

lobanghur

nu

aru

tie

buti

ising

taling

bititu

1

2

3

4

5

6

4 3

11

Aho’o Kawai

nole

ole

su

biat

iwising

iwisingnok

isingole

1

2

3

4

5

5   1

5 2

12

Kamaifui

nuki

ayoki

suae

buti

tsating

talamae

tsatingayoki

1

2

3

4

5

6

5   2

13

Abui

nuku

oki

sua

buti

yeting

talang

yetingoki

1

2

3

4

5

6

5 2

14

Padng Alang

nuku

ayuku

sua

busi

jizing

tama

jizingayuku

1

2

3

4

5

6

5 2

15

Kiraman

nuku

ayoku

sua

usa

yesan

talama

yesaraku

1

2

3

4

5

6

5 2

16

Reta/Hur Naga2

anu

alo

atoga

buta

afehang

talaung

bititoga

1

2

3

4

5

6

4 3

17

Hamab

nu

alo

tof

ut

ifehing

talang

itito

1

2

2

3

4

5

4 3

18

Wersina

no

yoku

tu

arayoku

weting

wetinum

wetingyoku

1

2

3

3

4

5 1

5   2

19

Kamengmi

nok

ok

su

biat

iwising

iwisingnok

iwisingok

1

2

3

4

5

5    1

5 2

20

Langkuru

nok

ok

su

bu’at

iwising

tama

iwisingok

1

2

3

4

5

6

5 2

21

Nelik

nuk

aik

su

buat

wising

ta’ma

wisingaik

1

2

3

4

5

6

5 2

22

Lalamana

suno

yoku

tua

arasiku

yotine

yotinsuno

yotinyaku

1

2

3

4

5

5 1         5 2

23

Kula/Tanglapui

sona

yaku

rua

arasiku

yawatinnu

yawatinsona

yawatinyaku

1

2

3

4

5

5   1

5    2

24

Klon

nuk

orok

tong

ut

ewek

taelan

usong

1

2

3

4

5

6

7

25

Masin

nuku

aroku

siwa

usa

jesen

talama

jeseroku

1

2

3

4

5

6

5 2

26

Kalong

nuku

aku

suway

butai

iweheng

talama

bisau

1

2

3

4

5

6

7

27

Kabola

niu

alo

tolu

ut

iking

talang

itito

1

2

133

4

5

6

7

28

Blagar/Lamma

tou

rua

telo

paa

lema

nemu

pito

1

2

3

4

5

6

7

29

Lamaholot

to’u

rua

telo

paat

lema

nemu

pito

1

2

3

4

5

6

7

  • 4.3    Tabulasi Tahap 3 (Hasil Analisis)

KLASIFIKASI KELOMPOK SOSIAL MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR BERDASARKAN JUMLAH BILANGAN POKOK YANG DIMILIKI

Angka & nama

NAMA-NAMA BILANGAN POKOK ETNIS & LAMB

Indonesia

1

2

3

4

5

6

7

Nama Klmpk

satu

dua

tiga

empat

lima

enam

tujuh

& Nama Bilangan

1

Marae

uwen

nilo’o

goni’o

goni’il

gone’et

tomok

hitu

1

2

3

4

5

6

7

2

Sikka

ha

rua

tellu

hutu

lima

ena

pitu

1

2

3

4

5

6

7

3

Helong

mesa

dua

tilu

at

lima’

eneng

itu

1

2

3

4

5

6

7

4

Blagar/Lamma

tou

rua

telo

paa

lema

nemu

pito

Lamaholot

to’u

rua

telo

paat

lema

nemu

pito

1

2

3

4

5

6

7

5

Wangka

ca

sua

telu

pat

lima

nong

pitu

Keja

ca

sue

telu

pat

lema

nong

pitu

1

2

3

4

5

6

7

6

Manggarai

ca

zua

telu

paat

lima

enam

pitu

1

2

3

4

5

6

7

7

Komodo

sa

rua

telu

paat

lima

enam

pitu

Ri’a

sa

tua

telu

pat

lema

non

pitu

1

2

3

4

5

6

7

8

Buna

ida

rua

tolu

hat

lima

nen

hitu

Tetun

ida

rua

tolu

haat

lima

nem

hitu

1

2

3

4

5

6

7

9

Rote

esa

dua

telu

ha

linia

ne

hitu

1

2

3

4

5

6

7

10

Dawan

mese

nua

tenu

ha

nim

ne

hitu

1

2

3

4

5

6

7

11

Sabu

ahe

due

telu

epa

lemi

ena

pidu

1

2

3

4

5

6

7

12

Kabola

niu

alo

tolu

ut

iking

talang

itito

1

2

3

4

5

6

7

13

Kanbera

diha

dambu

telu

patu

lima

nomu

pihu

1

2

3

4

5

6

7

14

Anakalang

haing

duada

tailu

vattu

lima

damu

vittu

1

2

3

4

5

6

7

15

Waijewa

iya

ndumda

toumda

pata

limma

enne

pitu

1

2

3

4

5

6

7

16

Melayu Kupang

satu

dua

tiga

ampa

lima

anam

tuju

Malayu Larantuka

hatu

dua

tiga

empa

lima

ena

tujo

h1atu

2

3

4

5

6

7

17

Klon

nuk

orok

tong

ut

ewek

taelan

usong

1

2

3

4

5

6

7

18

Kalong

nuku

aku

suway

butai

iweheng

talama

bisau

1

2

3

4

5

6

7

19

Kedang

ude’

sue’

telu

apa

leme

ene

pitu

1

2

4

5

6

7

20

Pura

nu

aru

rue

buto

ihing

taling

titu

1

2

3

4

5

6

7

21

Lamboya

diha

duda

tauda

pata

limma

anni

pitu

1

2

3

4

5

6

7

22

Kodi

i’ha

duyo

tallu

poto

limma

nommo

pitu

1

2

3

4

5

6

7

23

Reta/Hur Naga2

anu

alo

^H atoga

buta

afehang

talaung

bititoga

1

2

3

4

5

6

4 3

24

Langkuru

nok

ok

su

bu’at

iwising

tama

iwisingok

1

2

3

4

5

6

5 2

  • 4.2 Pembahasan

Dalam tabulasi tahap 3 jelas terlihat bahwa masyarakat Nusa Tenggara Timur dapat dibagi atas 6 kelompok sosial berdasarkan jumlah bilangan pokok.

  • 1.    Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 10, terdiri atas 4 buah kelompok;

  • 2. Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 9, tediri atas 12 kelompok;

  • 3. Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 8, terdiri atas 3 kelompok;

  • 4. Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 7, trdiri atas 3 kelompok;

  • 5. Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 6, trdiri atas 9 kelompok;

  • 6. Kelompok yang memiliki bilangan pokok 1 sampai 5, trdiri atas 6 kelompok.

Berdasarkan hasil prediksi awal, di Nusa Tenggara Timur terdapat 45 kelompok sosial yang masing-masing saling berbeda bilangan dengan sistem penamaannya. Data lapangan diperoleh berdasarkan hasil prediksi tersebut. Ternyata hasil analisis data lapangan membuktikan bahwa di Nusa Tenggara Timur hanya terdapat 37 kelompok sosial yang memiliki perbedaan bilangan pokok berdasarkan sistem penamaan. Ditemukan 8 kelompok sosial memiliki jumlah dan konsep bilangan pokok sama dengan kelompok sosial lainnya. Delapan dari 45 kelompok sosial itu memiliki penamaan yang sama, berbeda variasinya, dengan jumlah bilangan pokok yang sama pula. Dalam tabulasi tahap 3 terlihat kesamaan pada nama kelompok yang diblok dengan warna hitam.

Fakta yang faktual maupun idealistik dalam kehidupan umat manusia menunjukkan bahwa bilangan sebagai bahasa dan bilangan sebagai angka (untuk aritmatik dan matematik) tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan manusia. Dengan demikian, berbicara tentang sistem bahasa, bilangan, dan sistem angka tidak akan terlepas dari berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, secara tegas dapat dikatakan bahwa persamaan dan perbedaan bilangan pokok pada aras bahasa baik matematika jelas mempunyai hubungan erat sekali dengan desain maupun disiplin dalam proses pembangunan untuk masyarakat multibudaya seperti di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini mudah dipahami karena suatu desain atau program pembaruan akan mudah diterima dimiliki oleh masyarakat apabila menyentuh nilai dasar budaya yang tercermin melalui lingkaran norma ideologi, teknologi, dan sosiologi yang dianut sebagai warisan leluhurnya.

Sebagai suatu penjelasan tambahan bahwa berbicara tentang bilangan dengan segala latar kondisinya, kita akan tergiring kepada berbagai bidang pengetahuan dasar termasuk ilmu pengetahuan teoritisnya. Secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Bidang bahasa,komunikasi, dan sosiologi: kata bilangan atau numeralia adalah salah satu katagori kelas kata dalam bahasa apapun. Kategori kelas kata ini mendapat sistem penandaan baru untuk mempersingkat sekaligus melengkapi materi maupun sistem komunikasi;

  • 2.    Bidang aritmatik dan matematik: kata bilangan atau kata bilangan pokok akan mengarahkan pikiran kita kepada bilangan cacah atau bilangan asli, bilangan kardinal, bilangan ordinal yang berhubungan dengan penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian, aljabar, analitik, dan geometrik bersama semua teknik penggunaannya. Pembicaraan ke arah ini akan berhubungan erat dengan berbagai alat teknologis bersama sistem dan teknik penggunaannya.

  • 3.    Bidang sejarah dan antropologi budaya: pemikiran kita akan mengarah kepada pertumbuhan kemampuan manusia untuk membilang, menghitung, menakar, mengukur, menanggal, dan sebagainya. Dapat ditelusuri sejarah pertumbuhan kemampuan dasar umat manusia sampai pada tingkat teknologi moderen. Ternyata kata bilangan bersama sistem pelambangannya berupa “angka” mempunyai pengaruh sangat besar. Sulit dibayangkan betapa kondisi budaya saat ini apabila manusia terdahulu tidak memiliki potensi pertumbuhan kemampuan di bidang matematika dan aritmatik. Sulit pula diprediksi, bagaimana tingkat pertumbuhan teknologi pada masa mendatang.

  • 4.    Bidang ideologi, kepercayaan, dan norma: pertumbuhan kesadaran umat manusia menuju kepada kebijaksanaan tidak akan terlepas dari kekaguman/keheranan, dan ketakutan umat manusia terhadap alam nyata dan alam maya. Manusia mulai tahu diri dalam dirinya dan di luar dirinya sendiri. Ternyata bilangan mempunyai peran penting dalam penghitungan sakrit/luhur. Bilangan dalam arti jumlah tertentu dipandang luhur karena layak diterima oleh alam maya (transendental). Dalam kaitan ini, bilangan luhur dipandang integral dengan keyakinan dan ideologi suatu etnis.

Semuanya akan berhubungan langsung dan tidak langsung dengan fakta maupun fenomena yang berpijak pada realita, fakta objektif, dan positif karena pengalaman.

  • 5.    Simpulan

Uraian singkat tentang sistem bilangan pokok tradisional dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

  • 1.    Di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 37 kelompok sosial memiliki sistem penamaan bilangan pokok yang berbeda-beda berdasarkan bahasa lokal mereka;

  • 2.    Berdasarkan sistem penamaan itu dapat diketahui bahwa masing-masing kelompok sosial memiliki jumlah bilangan pokok sendiri-sendiri.

  • 3.    Berdasarkan jumlah bilangan pokok yang dimiliki maka masyarakat Nusa Tenggara Timur yang teridentifikasi sebanyak 37 kelompok sosial (bukan kelompok etnis) itu dapat dibagi atas 6 kelompok.

  • 4.    Kesamaan jumlah bilangan pokok termasuk sistem penamaan itu tidak hanya terdapat pada satu daratan, kabupaten, atau kecamatan yang sama. Hal ini membutuhkan suatu kajian lanjutan yang lebih saksama dan mendasar.

  • 5.    Berbicara tentang bilangan, bilangan pokok, dan seluruh aplikasinya dalam kehidupan sosial mempunyai hubungan erat sekali dengan program maupun pelaksanaan pembangunan dalam berbagai aspek, terutama pada masyarakat multi budaya seperti di Nusa Tenggara Timur

  • 6.    Terimplisit, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur bersama kabupaten dan kota belum pernah memiliki peta budaya NTT dan jumlah kelompok etnis secara pasti.

DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Aprie. 1986. Rahasia Numerologi. Pekalongan: Sumber Ilmu.

Arndt, Paul. 1938. (terj. Paul Sabon Nama 2002). Demon dan Paji: Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor. Maumere: Puslit Candraditya.

-------------.1951. Religion auf Ostflores Adonare und Solor. Austria: St. Gabriel Wien Modling.

Atkinson, Paul, Amanda Coffey, Sara Delamont, John Lofland and Lyn Lofland.

2001. Handbook of Ethnography. London: Sage Publications

Benedict Ruth. 1934. (Terj. Sumantri M.,1962). Pola-pola Kebudayaan. Jakarta:

Pustaka Rakyat

Bennis, Warren G; Kenneth D. Benne; dan Robert Chin. 1990. Merencanakan Perubahan.

Jakarta: Intermedia

Berry JW., Poortinga YH., Segall MH., Dasen PR 1999. Psikologi Lintas-Budaya:Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Charon Joel M. 1979. Symbolic Interactionism: An Introduction, An Interpretation, An

Integration.

London: Prentice Hall International Inc.

Chauchard, Paul. (terj. A. Widyamartaya) 1993. Bahasa dan Pikiran. Yogyakarta: Kanisius

Cohen Yehuda A. (Editor). 1969. Man in Adaptation the Cultural Present.

Chicago: Aldine Publishing Company.

Collin, Finn. 1997. Social Reality. New York: Routledge

Danandjaja James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.

Jakarta: Grafiti Pers.

------------1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya.

Jakarta: Rajawali Press.

Du Bois, Cora. 1961. The People of Alor: A Social-Psychological Study of An East Indian Island. New York: The Academy Library Harfer & Brothers.

Eastman, Carol M. 1975. Aspect of Language and Culture. Washington: Chauldler &

Sharp Publishers.

Eilers, Franz-Josef. 1995. Berkomunikasi Antara Budaya. Ende: Nusa Indah

Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education: Studi in

Mathematics Education. London: The Falmer Press.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Geertz Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Hoed, Benny Hoedoro. 1994. Linguistik, Semiotik, dan Kebudayaan Kita. Jakarta:

Fakultas sastra UI. (Pidayo Pengukuhan Guru Besar).

Hog, Michael A. & Dominic Abrams. 1988. Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. New York: Routledge.

Ibrahim Abd. Syukur & Machrus Syamsuddin. 1985. Penemuan Teori Grounded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Kana, Nico L. 1978. Dunia Orang Sawu: Satu Lukisan Analisis tentang Azas- azas Penataan dalam Kebudayaan Orang Mahara di Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jakarta: UI

Kaplan David.&Manners AA.1999. Teori Kebudayaan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Keesing, Roger M (terj. Samuel Gunawan). 1999. Antropologi Budaya: Suatu

Perspektif Kontemporer, jilid 1 & 2. Jakarta: Erlangga

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

-----------. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press

-----------. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: UI Press

Kozminsky, Isidore. 1974. Numbers: their meaning and magic. London: Rider and Company.

Kuper, Adam. & Kuper J. (1996). Terj. Raja Grafindo Persada 2000. Ensiklopedi

Ilmu - ilmu Sosial Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Leahy , Louis. 1984. Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makluk Paradoksal. Jakarta: Gramedia.

Lebar,M. Frank. 1972. Ethnic Groups of Insular Southeast Islands, and Madagascar. Vol.1: Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar. New Haven: Human Relations Area Files, Incorporated

Leech Geoffrey. 1983. Semantics: The Study of Meaning. New Zealand: Penguin Books.

Levi-Strauss, Claude. 2000. Ras & Sejarah. Yogyakarta: LKiS

Linton, Ralph. 1984. Terj. Firmansyah. Antropologi: Suatu Penyelidikan tentang

Manusia. (The Study of Man). Bandung: Jemmars.

Muhadjir Neong. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat. 1993. Komunikasi Antar budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

NegoroST. & Harahap B. 1987. Ensiklopedia Matematika. Jakarta: Ghalia

Poespowardojo S. 1992. Pembangunan Nasional dalam Perspektif Budaya:

Sebuah Pendekatan Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.

Poespoprodjo,W & T. Gilarso.1989. Logika Ilmu Menalar. Bandung: Remaja Karya.

Prijohutomo. 1953. Sejarah Kebudayaan Indonesia II: Kebudayaan Hindu di Indonesia.

Jakarta: J.B. Wolters.

Pritchard, E.E.Evans. 1984. Teori-teori tentang Agama Primitif. Yogyakarta: PLP2M

Ridwan, Juniarso. Manusia Teknologi Mitos dan Realitas. Bandung: Angkasa.

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press

Sadli, Saparinah.1976.Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. Jakarta: UI

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Sastrapratedja, M. (editor). 1982. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan

Filsafat. Jakarta: Gramedia

Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (terj. Misbah Zulfa Elisabeth).

PT. Tiara Wacana Yogya

Steier, Frederick. 1991. Research and Reflexivity. London: Sage

Streefland, Leen (Editor). 1991. Realistic Mathematics Education in Primary

School. Netherlands: Utrecht University.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress

Sudiyat, Iman. 1982. Asas-asas Hukum Adat: Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Supratiknya A. (Editor). 1993. Teori-Teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Kanisius

Suryabrata, Sumadi. 1966. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: UGM

Susanto P.S.Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.

Van Ossenbruggen, F.D.E. 1975. Asal-usul Konsep Jawa tentang Mancapat, dalam Hubungan dengan Sistem-sistem Klasifikasi Primitif. Jakarta: Bhratara

van Zoest, Aart. 1930. (Terj. Ani Soekowati.) 1993. Semiotika: tentang Tanda,

Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Sumber Agung.

Vatter, Ernst. 1932. (Terjemahan S.D. Syah) Ata Kiwan. Ende: Nusa Indah.

20