Wacana Pangruat Dalam Teks Cempaka Gadang
on
LINGUISTIKA, SEPTEMBER 2017
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 24. No. 47
Wacana Pangruat Dalam Teks Cempaka Gadang
I Wayan Artayasa1
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Jl. Ratna No. 51, Tatasan, Denpasar, Telp. (0361) 226656
Ponsel 081805570891
1Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berisi kajian tentang wacana pangruat dalam teks Cempaka Gadang. Teks Cempaka Gadang merupakan salah satu karya sastra yang termasuk dalam jenis tutur. Karya sastra ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan upacara pangruat yang mempunyai tujuan menyucikan atau melaksanakan pembersihan. Pangruat dalam teks Cempaka Gadang berkaitan dengan upacara pembersihan yang ditujukan kepada leluhur yang dianggap berdosa supaya terbebas dari dosa dan dapat memberikan pencerahan atau penerangan dan mengharmoniskan kembali alam beserta isinya.
Wacana pangruat dalam teks Cempaka Gadang memberikan gambaran tentang (1) fungsi pangruat sebagai penyucian diri dan spiritual manusia, (2) fungsi pangruat sebagai pengharmonisasi alam, dan (3) fungsi pangruat sebagai penetralisasi (nyomia) sifat-sifat bhuta. Analisis makna pangruat dalam teks Cempaka Gadang adalah (1) sebagai penghilang kekotoran pada diri manusia, (2) sebagai penghilang kekotoran alam, (3) untuk mengembalikan keharmonisan alam, dan (4) untuk penebusan dosa.
Kata kunci: wacana, pangruat, teks, cempaka gadang
Abstrct
This paper is a study pangruat on Cempaka Gadang manuscript. Cempaka Gadang manuscript is categorized in to verbal manuscript (tutur). It describes the ritual of cleansing of purifying. Pangruat is closely to the ritual of purifying the bad spirit of the ancestor to get a brighter way and to bring harmony to the universe.
The pangruat discourse in Cempaka Gadang manuscript provides descriptions of (1) the use of pangruat to purify self and humans spiritual, (2) the use of pangruat to bring harmony to nature, (3) the use of pangruat for neutralizing bhuta characteristics. The meaning analysis of pangruat in Cempaka Gadang manuscript involves (1) as the remover of humans bad, (2) as a remover of the bad in nature, (3) to bring the natural harmony back, and (4) to redeem the sins.
Keywords: discourse, pangruat, text, cempaka gadang
PENDAHULUAN
Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Penelitian terhadap karya sastra tradisional menjadi objek penelitian tidak terlepas dari persoalan-persoalan yang ada dan terjadi di masyarakat. Persoalan yang dikaji dalam hal ini adalah persoalan berhubungan dengan kepercayaan atau ajaran agama Hindu, yaitu tentang upacara yadnya.
Sudharta (2001: 49) dalam bukunya yang berjudul “ Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu” menulis bahwa pelaksanaan yadnya dalam masyarakat Hindu dikenal adanya lima macam yadnya yang disebut panca yadnya yaitu: (1) Dewa Yadnya ialah korban suci dengan tulus ikhlas ke
hadapan Sanghyang Widhi dengan jalan cinta bhakti, sujud memuja serta mengikuti segala ajaran-ajaran suci-Nya. (2) Pitra Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas kepada leluhur dengan memujakan keselamatannya di akhirat serta memelihara keturunan dan menurut segala tuntunannya. (3) Manusa Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas untuk kesejahteraan keturunan serta kesejahteraan manusia lain. (4) Rsi Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas untuk kesejahteraan para rsi serta mengamalkan segala ajarannya. (5) Bhuta Yadnya ialah korban suci yang tulus ikhlas kepada sekalian mahluk bawahan yang kelihatan maupun tidak, untuk memelihara kesejahteraan alam semesta.
Pelaksanaan upacara yadnya yang mempunyai makna pengorbanan suci yang tulus ikhlas dengan cara mempersembahkan korban berupa binatang juga terdapat dalam teks Cempaka Gadang. Isi cerita dalam teks Cempaka Gadang jika dikaitkan dengan pitra yadnya yang merupakan bagian dari panca yadnya, mempunyai makna persembahan korban suci yang tulus ikhlas kepada leluhur dengan memujakan keselamatannya di akhirat. Dalam teks Cempaka Gadang upacara korban dengan mempersembahkan binatang bertujuan untuk pangruat, yaitu membersihkan roh leluhur yang dianggap berdosa. Selain itu, pangruat bertujuan untuk mengharmoniskan kembali keadaan alam beserta isinya.
Teks Cempaka Gadang memuat cerita tentang pangruat, yaitu menceritakan Dewi Ratna Cempaka Gadang yang mempunyai sifat jahat dan menggunakan ilmu hitam untuk menyebarkan wabah penyakit dan membuat kekacauan di dunia. Setelah meninggal arwah Dewi Ratna Cempaka Gadang berada di neraka. Keberadaan Dewi Ratna Cempaka Gadang di neraka juga menyebabkan kahyangan para dewa terusik oleh teriakan dan tangisan Dewi Ratna Cempaka Gadang. Oleh karena itu, para dewa memerintahkan supaya di dunia melaksanakan upacara yandya dengan berbagai sarana upakara-nya. Setelah dilaksanakan upacara tersebut, maka kahyangan dan dunia menjadi damai dan tenteram kembali.
Pangruat merupakan suatu bentuk upacara pembersihan terhadap leluhur yang perbuatannya dianggap berdosa. Proses upacara pangruat yang terdapat dalam teks Cempaka Gadang dilakukan dengan cara melaksanakan upacara yadnya dengan berbagai sarana korbannya, seperti asu bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), sata manca warna (ayam lima warna), kambing, angsa, dan bawi rare durung acula (anak babi yang belum dikebiri).
Penelitian ini lebih lanjut ingin mengungkapkan bagaimana proses upacara pangruat dalam teks Cempaka Gadang. Pelaksanaan pangruat yang dilakukan dalam bentuk upacara yadnya disertai dengan berbagai sarana upacaranya. Adapun tujuan pangruat tersebut adalah membebaskan arwah Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta anak buahnya supaya terbebas dari siksaan neraka. Selain itu, dengan dilaksanakannya upacara pangruat maka keadaaan kahyangan dan dunia beserta isinya menjadi damai dan tenteram kembali.
Pangruat dalam teks Cempaka Gadang dikaitkan dengan upacara yadnya pada masyarakat Hindu. Teks Cempaka Gadang berisikan ajaran-ajaran atau konsep tentang pembersihan terhadap leluhur yang dianggap berdosa. Proses pelaksanaan pangruat yang terdapat pada teks Cempaka Gadang relevan dengan realita kehidupan yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu, khusunya di Bali. Upacara pembersihan terhadap leluhur yang perbuatannya dianggap berdosa, dilaksanakan dalam bentuk upacara yadnya dengan berbagai sarana upakara-nya. Upacara yadnya berupa pangruat yang terdapat dalam teks Cempaka Gadang merupakan benang merah dari teks Cempaka Gadang sebagai karya sastra dengan kegiatan upacara yadnya yang dilakukan oleh masyarakat Hindu.
Penelitian tentang wacana pangruat (upacara pembersihan terhadap leluhur yang perbuatannya dianggap berdosa) yang dihubungkan dengan upacara yadnya yang terkandung dalam teks Cempaka Gadang dapat memberikan penjelasan bahwa naskah Cempaka Gadang merupakan salah satu sumber sastra yang penting bagi kehidupan masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan di bidang keagamaan, terutama dalam hal upacara yadnya.
METODE PENELITIAN
Metode merupakan suatu cara yang dilakukan dalam proses penelitian. Penelitian merupakan sebuah upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 2007: 24)
Penelitian ini menitikberatkan perhatian pada masalah bentuk, fungsi, dan makna wacana pangruat dalam teks Cempaka Gadang. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa teks Cempaka Gadang koleksi Gedong Kirtya Singaraja. Sumber data primer adalah lontar Cempaka Gadang yang ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Data skunder berupa data dari buku-buku, informan, artikel, jurnal, dan internet.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga yang menjadi instrument penelitian adalah penulis sendiri. Menurut Bogdan (dalam Suardiana, 2009:72) bahwa dalam penelitian kualitatif manusialah dalam hal ini peneliti sendiri adalah sebagai instrument penelitian yang berperan aktif serta dalam menentukan dan memilih serta memilah data yang diperlukan dalam penelitian.
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penyediaan data dengan studi kepustakaan menggunakan teknik membaca berulang-ulang sehingga dapat lebih memahami isi naskah tersebut. Teknik lain yang membantu penelitian ini adalah teknik catat. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal penting yang ditemukan dalam penelitian.
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan (Ratna, 2009: 47).
Metode dan teknik analisis data digunakan metode hermeneutika untuk dapat mengungkapkan keadaan objek yang sebelumnya terselubung sehingga menjadi terbuka dan lebih jelas dalam proses penelitian. Penerapan metode hermeneutika ditunjang dengan penggunaan metode deskriptif-analitik. Metode ini membantu mendeskripsikan hasil penelitian sesuai dengan analisis yang dilakukan. Data yang telah ditemukan kemudian dideskripsikan dan dianalisis dengan teori wacana dan semiotika.
Menurut Parera (2004: 219) sebuah teori tentang analisis wacana atau wacana adalah satu penjelasan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubung-hubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang pelbagai jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana. Analisis wacana adalah penentuan satuan-satuan dan unsur-unsur sebuah wacana. Sebuah wacana tidak hanya terdiri atas kalimat-kalimat yang gramatikal, namun sebuah wacana harus memberikan interpretasi yang bermakna bagi pembaca dan pendengarnya. Ini juga berarti seorang pembicara atau penulis tidak hanya menyusun kalimatkalimat yang gramatikal, akan tetapi juga kalimat-kalimat yang berhubungan secara logis dan kontekstual. Oleh sebab itu, analisis wacana tidak bertujuan menyusun satu kaidah-kaidah umum tentang analisis wacana.
Ratna (2009: 97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia, dengan demikian manusia adalah homo semioticus.
Pierce menggunakan kata semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Logika harus
mempelajari bagaimana orang “bernalar”. Penalaran menurut Pierce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda memungkinkan kita untuk berpikir dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan semesta. Saussure menganggap bahasa merupakan simbol tanda atau sistem tanda. Saussure cenderung memakai kata semiologi yang cenderung mengarah ke arah linguistik. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Pierce mengungkapkan bahwa makna tanda sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu atau representamen (Zoest, 1992: 1-5).
Menurut Pradopo (2008: 124), untuk mempermudah kajian semiotik, perlu diperhatikan konvensi penting di dalam karya sastra, yang meliputi konvensi ketidaklangsungan ekspresi dan konvensi hubungan antarteks.
Riffaterre (1978: 1-2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan suatu aktifitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain sebagai metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh suatu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik.
Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Riffaterre. Cara pandang dalam memahami karya sastra seperti di atas dapat dikembangkan lebih jauh, tidak hanya untuk memandang puisi, melainkan karya sastra secara keseluruhan. Konsep-konsep yang dikemukakan Riffaterre mungkin tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam penelitian ini karena obyek yang diteliti berbeda. Karena itu, teori semiotik dalam penelitian ini bertumpu pada satu hal, yaitu teks Cempaka Gadang dilihat sebagai sebuah sistem tanda. Penelitian tentang Wacana Pangruat dalam Teks Cempaka Gadang, memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan. Dengan interpretasi tanda-tanda, nantinya pemahaman mengenai karya sastra tersebut dapat lebih baik dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
PEMBAHASAN
Konsep Pangruat
Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian. Menurut Koentjaraningrat (1991: 10) menyatakan bahwa konsep adalah tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta menuju ke tingkat pengetahuan yang abstrak. Sehingga dengan demikian konsep merupakan unsur-unsur inti dari suatu pengertian atau definisi. Konsep merupakan batasan singkat dari sekelompok fakta atau gejala dari apa yang perlu diamati di dalam proses pelaksaan penelitian. Sebagai konsep dasar dalam penelitian ini adalah: 1) konsep pangruat, 2) konsep Cempaka Gadang.
Dalam Kamus Bali-Indonesia Beraksara Bali dan Latin dinyatakan bahwa pangruat berasal dari kata ruwat yang mempunyai arti bersih, ngruat, meruwat, melaksanakan pembersihan. Pangruat berarti upacara pembersihan terhadap leluhur yang perbuatannya dianggap berdosa ( Anom dkk., 2008: 598).
Di dalam mengungkapkan konsep Cempaka Gadang, penulis mengacu pada kirata bhasa. (Simpen dalam Widiana, 2011: 20-21) menyatakan bahwa bentuk-bentuk kirata bhasa umumnya
berupa sinonimi (dasanama) dan metonimi. Akan tetapi, ada pula kirata bhasa berupa akronim dan bentuk-bentuk lain.
Konsep pangruat dalam teks Cempaka Gadang berkaitan dengan pelaksanaan upacara yadnya yang dilaksanakan setelah Dewi Ratna Cempaka Gadang meninggal dan arwahnya disiksa di neraka. Akibat dari siksaan yang dialami oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang dan anak buahnya di neraka maka kahyangan para Dewa menjadi gaduh. Supaya kahyangan dan dunia menjadi damai dan tenteram kembali setelah kegaduhan yang terjadi, wabah penyakit, dan kekacauan yang disebabkan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta anak buahnya maka diadakanlah upacara pangruat di dunia ini. Fungsi Pangruat sebagai Penyucian Diri dan Spiritual Manusia
Penyucian diri dan spiritual manusia bertujuan untuk mengembalikan pemikiran yang sebelumnya kotor menjadi suci atau baik. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.
…., Inghulun mangke aminta panghening idhep, apan lětěh punang hati, ika marmaning inghulun. Sumahur Bhatara Śiwā lah ta sira alungguh ring ajěng ighulun mangke, wus alungguh sang kalih, kajaya-jaya ring bhatara Śiwā. Ma, nya: Ong suci pětak, mulih ring śarira, Ong suci mañca warna, mulih maring idhěp inghulun, apan inghulun anglukat daśamala, lara rogan inghulun kabeh, masuk ring kiwa těngěn, catur masuk ring jěroning wětěng, Ong rastu tat astu astu, Ong nama Siwaya namah…. (lemb.15b-16a)
…., hamba memohon pembersihan pikiran karena kekotoran dalam hati, itu sebabnya tidak enak hati hamba. Bhatara Siwa menjawab, wahai… kalian berdua duduklah di hadapanku sekarang, setelah mereka duduk, direstui pembersihan (penyucian) oleh Bhtara Siwa. Mantranya: Ong suci pětak, mulih ring śarira, Ong suci mañca warna, mulih maring idhěp inghulun, apan inghulun anglukat daśamala, lara rogan inghulun kabeh, masuk ring kiwa těngěn, catur masuk ring jěroning wětěng, Ong rastu tat astu astu, Ong nama Siwaya namah.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa setelah Sang Siwa Gendhu dan Sang Windhu Bajra berhasil membunuh Dewi Ratna Cempaka, mereka berdua memohon penyucian diri supaya terbebas dari rasa kotor dalam hati. Begitu juga mengembalikan kembali sifat-sifat baik dalam diri dan pikiran.
Dimensi upacara yadnya yang terpenting adalah memberikan makna sosial religius pada umat yang melangsungkan upacara yadnya tersebut. Artinya aspek religiusitas dari suatu upacara yadnya hendaknya dapat diserap oleh umat sehingga dapat berdayaguna untuk menimbulkan perubahan sosial menuju arah yang semakin baik. Upacara yadnya itu dapat meningkatkan kesucian hati dan ketulus ikhlasan umat untuk berkorban demi kepentingan yang lebih utama (Wiana, 2004: 55).
Berdasarkan pelaksanaan upacara penyucian diri yang ada dalam teks Cempaka Gadang dapat memberikan gambaran bahwa kekotoran yang berupa dasamala harus dihilangkan. Segala bentuk pikiran yang kotor dan tidak baik juga harus dihilangkan. Tujuannya adalah untuk mengembalikan pikiran yang baik. Adanya kesucian hati dapat menyebabkan orang memperoleh kebahagiaan dan menghancurkan pikiran atau perbuatan yang jahat.
Fungsi Pangruat sebagai Pengharmonisasi Alam
Keharmonisan merupakan salah satu tujuan agama Hindu. Untuk menjaga keharmonisan perlu dilakukan upacara yadnya. Setelah adanya keharmonisan maka kebahagiaan dan kedamaian pun dapat terjadi.
Harmonisasi alam berkaitan dengan menjaga keberadaan alam, menjaga lingkungan dan melestarikan alam. Dalam teks Cempaka Gadang pelestarian alam yang dilakukan adalah menjaga
bumi supaya selalu menjadi damai dan tentram setelah adanya wabah penyakit gering (grubug) yang disebarkan oleh Dewi Ratna Cempaka Gadang. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut.
….., hana mangkin kawuwusan, ri madya pada, landuh tikang rat, ring sampun pějah Sang Cempaka Gadang, lawan para sisyanya kabeh pějah, maseh tikang rat, marayascitta tikang rāt, ring marga catur, carunya, asu bang bungkem, sata mañca warna, kambing, angsa, bawi durung acula, lāwan Yamarāja, pěpěk sapratingkah carunya, ring catur desa. Sang dadukun nganteb punang carunya, landuh tikang rāt. Hana mangkin kawuwusan, watěk Hyang kabeh ring Siwābhuana, sira Sanghyang Parameśwara, mahenak-enak sira kabeh, ring landuh tikang rāt, madya pada lawan swargan, yan tan Sang Śiwā Gendhu, lawan Sang Windhu Bajra, ika wělas sang kalih amejah Sang Cempaka Gadang, lawan para sisyanya kabeh (lemb 18a-18b)
…., sekarang diceritakan di bumi, dunia kembali damai setelah meninggalnya Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta semua pengikutnya. Dunia menjadi berubah, melaksanakan upacara penyucian dunia di perempatan jalan. Sarana upacara persembahannya, seperti anjing bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), ayam lima warna, kambing, angsa, dan anak babi yang belum dikebiri. Ditujukan kepada dewa maut, lengkap dengan berbagai sajian persembahan kurbannya, sang dukun mempersembahkan sajian persembahan kurbannya. Menjadi damai dunia, Sanghyang Parameswara dan semua dewa merasa senang dan gembira akan kedamaian dan ketenteraman dunia dan surga. Karena mereka berdualah, Sang Siwa Gendhu dan Sang Windhu Bajra yang telah berhasil membunuh Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta para pengikutnya.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa keberadaan dunia setelah meninggalnya Dewi Ratna Cempaka Gadang akan kembali damai dan tenteram apabila melakukan upacara marayascitta yang dilaksanakan di perempatan jalan. Adapun sarana yang dipersembahkan adalah berbagai jenis hewan kurban lengkap dengan berbagai sajian persembahan.
Marayascitta merupakan bentuk upacara yadnya yang berfungsi untuk menyucikan (Warna dkk., 1993:546). Pelaksanaan upacara penyucian ini dilaksanakan dengan upacara pecaruan di perempatan jalan. Adapun sarana yang dipakai adalah binatang, seperti anjing bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), ayam lima warna, kambing, angsa, dan anak babi yang belum dikebiri. Semua persemabahan tersebut ditujukan kepada Yamaraja.
Caru mempunyai pengertian kurban dalam buta yadnya dapat berupa segehan atau binatang, misalnya ayam, babi jantan yang tidak dikebiri, angsa, itik, anjing belang bungkem, sapi; kerbau dengan disertai tetabuhan (Warna dkk., 1993: 119). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa upacara penyucian yang dilakukan dalam teks Cempaka Gadang merupakan upacara bhuta yadnya dengan mempersembahkan berbagai binatang korban. Tujuannya adalah untuk mengharmoniskan kembali keadaan dunia setelah adanya kekacauan dan wabah penyakit. Pengaruh yang bersifat negatif itulah yang perlu dinetralisasi supaya menjadi sifat yang positif sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Keharmonisan atau keseimbangan alam dapat memberikan suasana atau keadaan yang dapat memberikan rasa nyaman, tenteram, damai, dan sejahtera. Kehidupan yang harmonis tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk kehidupan makhluk lainnya beserta isi alam ini.
Keseimbangan/kesejahteraan bhuana agung dan bhuana alit sangat ditentukan oleh pengaruh yadnya, makin tidak beryadnya manusia di dunia makin hancurlah alam semesta ini. Disamping itu, juga akan lahir manusia-manusia amoral, yang memiliki sifat-sifat keraksasaan (Sudarsana, 2001: 15)
Proses menetralisasi kekuatan negatif menjadi kekuatan positif ini oleh umat Hindu dilakukan dengan jalan mengadakan upacara khusus, antara lain dengan melaksanakan bhuta yadnya berupa sesajen persembahan atau macaru yang bertujuan untuk mengubah bhuta kala menjadi bhuta hita atau menyejahterakan alam (Wiana, 2002: 123)
Konsep pangruat yang ada dalam teks Cempaka Gadang adalah untuk meruwat, melaksanakan pembersihan terhadap buana alit dan buana agung. Selain itu, juga melaksanakan pembersihan terhadap Dewi Ratna Cempaka Gadang akibat dari dosa-dosa dan perbuatan yang dilakukannya. Dengan pelaksanaan upacara pangruat maka keadaan dunia dan surga kembali menjadi damai dan tenteram.
Fungsi Pangruat sebagai Penetralisasi (Nyomia) Sifat-Sifat Bhuta
Nyomia bhuta kala mempunyai arti mengubah sifat ganas bhuta menjadi sifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik (Wiana, 2002: 179).
Pelaksanaan upakara bhuta yadnya pada tingkat makna yang tertinggi adalah muara sekaligus pancaran etika dan teologi lingkungan menurut Hindu karena upakara-nya merupakan simbolik dari yadnya penyucian kosmos. Penyucian dalam proses bhuta yadnya merupakan refleksi dari transformasi bhuta dalam arti alam raya menjadi dewa dalam arti sistem holistik kosmik yang telah tersucikan ( Sudibya, 1997: 18)
Pelaksanaan upacara bhuta yadnya yang ada dalam teks Cempaka Gadang adalah persembahan kurban kepada Yamaraja (dewa maut) dengan tujuan untuk menyucikan dunia dan surga setelah adanya wabah penyakit dan kekacauan yang terjadi akibat ulah Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta pengikut-pengikutnya. Pelaksanaan upacara bhuta yadnya berfungsi untuk penetralisasi (nyomia) sifat-sifat bhuta. Sifat-sifat bhuta yang ada dinetralisasi supaya menjadi sifat yang mulia. Seperti halnya sifat Dewi Ratna Cempaka Gadang yang merasa diri sakti dan hebat menyebabkan kekacauan dan wabah penyakit, pada akhirnya diharapkan menjadi baik dan bijaksana. Begitu juga kekotoran yang ada supaya menjadi bersih dan suci kembali.
Makna Pangruat sebagai Penghilang Kekotoran pada Diri Manusia
Makna adalah suatu pemberian arti, baik yang bersifat denotatif maupun konotatif. Karya sastra sebagai sebuah artefak adalah benda mati. Dia akan punya arti apabila diberikan arti oleh pembacanya. Sebuah karya sastra akan bermakna apabila dia dihubung-hubungkan dengan konteks sejarah dan sosial budaya penulisnya (Pradopo, 1994: 106-107).
Makna pangruat sebagai penghilang kekotoran pada diri manusia mempunyai dua makna, yaitu penyucian lahiriah dan rohaniah. Upacara yang melambangkan penyucian lahiriah dilengkapi dengan upacara penyucian rohaniah dengan menggunakan upakara atau banten prayascitta (Wiana, 2002: 167)
Pelaksanaan pangruat sebagai bentuk upacara penyucian merupakan bentuk penghilangan kekotoran pada diri manusia. Pelaksanaan pangruat sebagai penghilang kekotoran pada diri manusia dilaksanakan dengan majaya-jaya. Segala bentuk kekotoran dalam pikiran yang dimiliki oleh Sang Siwa Gendhu dan Sang Windhu Bajra pada akhirnya disucikan oleh Bhatara Guru. Keberadaan pikiran yang kotor akan menyebabkan kekotoran dalam hati sehingga segala pikiran yang tidak baik harus dihilangkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
…., Inghulun mangke aminta panghening idhep, apan lětěh punang hati, ika marmaning inghulun. Sumahur Bhatara Śiwā lah ta sira alungguh ring ajěng ighulun mangke, wus alungguh sang kalih, kajaya-jaya ring bhatara Śiwā. Ma, nya: Ong suci pětak, mulih ring śarira, Ong suci mañca warna, mulih maring idhěp inghulun, apan inghulun anglukat daśamala, lara rogan inghulun kabeh, masuk ring kiwa těngěn, catur masuk ring jěroning wětěng, Ong rastu tat astu astu, Ong nama Siwaya namah….(lemb.15b-16a)
…., hamba memohon pembersihan pikiran karena kekotoran dalam hati, itu sebabnya tidak
enak hati hamba. Bhatara Siwa menjawab, wahai… kalian berdua duduklah di hadapanku sekarang, setelah mereka duduk, direstui pembersihan (penyucian) oleh Bhatara Siwa. Mantranya: Ong suci pětak, mulih ring śarira, Ong suci mañca warna, mulih maring idhěp inghulun, apan inghulun anglukat daśamala, lara rogan inghulun kabeh, masuk ring kiwa těngěn, catur masuk ring jěroning wětěng, Ong rastu tat astu astu, Ong nama Siwaya namah.
Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa segala bentuk pikiran yang kotor akibat dari semua perbuatan yang dilakukan oleh Sang Siwa Gendhu dan Sang Windhu Bajra setelah berhasil mengalahkan dan membunuh Dewi Ratna Cempaka Gadang supaya disucikan atau dibersihkan kembali. Pelaksanaan pembersihan pikiran dari segala bentuk kekotoran (daśamala) disucikan (lukat) oleh Bhatara Siwa. Setelah semua bentuk kekotoran yang ada dalam pikiran disucikan kembali maka semua bentuk perbuatan dan pikiran tersebut kembali menjadi suci sehingga memberikan kedamaian di hati.
Makna Pangruat sebagai Penghilang Kekotoran Alam
Bentuk penyucian alam yang terdapat dalam teks Cempaka Gadang mempunyai makna menghilangkan kekotoran alam setelah adanya wabah penyakit dan kekacauan yang terjadi. Keberadaan alam kahyangan dan bumi perlu disucikan kembali setelah mengalami kekacauan.
Dalam teks Cempaka Gadang dijelaskan bahwa setelah Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta para pengikutnya meninggal maka dilaksanakan upacara penyucian dunia untuk mengembalikan keadaan bumi dan kahyangan supaya menjadi damai dan tentram. Segala bentuk upacara pangruat sebagai penghilang kekotoran alam dilengkapi dengan berbagai sarana kurban sebagai persembahannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
….,hana mangkin kawuwusan ri madya pada, landuh tikang rat, ring sampun pějah Sang Cempaka Gadang, lawan para sisyanya kabeh pějah, maseh tikang rāt, ring marga catur, carunya; asu bangbungkem, sata mañca warna, kambing, angsa, bawi durung acula, lāwan Yamaraja,pěpěk sapratingkah carunya, ring catur deśa. Sang dadukun ngantěb punang carunya, landuh tikang rāt…..(lemb 18a-18b)
...., sekarang diceritakan di bumi, dunia kembali damai setelah meninggalnya Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta semua pengikutnya. Dunia menjadi berubah melaksanakan upacara penyucian dunia di perempatan jalan. Sarana upacara persembahannya, seperti anjing bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), ayam lima warna, kambing, angsa, dan anak babi yang belum dikebiri. Ditujukan pada dewa maut, lengkap dengan berbagai hal sajian persembahan kurbannya, sang dukun mempersembahkan sajian persembahan kurbannya….
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa setelah Dewi Ratna Cempaka Gadang meninggal, maka di dunia supaya dilaksanakan upacara penyucian di perempatan jalan. Pelaksanaan upacara ini disertai dengan berbagai persembahan atau caru, seperti asu bang bungkem (anjing yang warna bulunya merah dengan mulut dan ekornya hitam), sata manca warna (ayam lima warna), kambing, angsa, dan bawi rare durung acula (anak babi yang belum dikebiri). Semua bentuk persembahan dan kurban dipersembahkan oleh Sang dukun dan ditujukan kepada Dewa Yamaraja.
Persembahan yang ditujukan kepada Dewa Yamaraja tidak hanya untuk memberikan keselamatan dan keharmonisan untuk dunia, tetapi juga untuk memberikan penebusan dosa kepada Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta pengikutnya di neraka. Setelah adanya upacara penyucian tersebut maka keadaan bumi dan kahyangan menjadi damai dan tenteram kembali.
Kekotoran alam dalam hal ini berkaitan dengan adanya wabah penyakit yang terjadi di bumi. Alam yang kotor akibat wabah penyakit apabila tidak dinetralisasi akan berdampak kepada semua
makhluk yang ada di dalamnya. Pelaksanaan upacara penyucian alam sangat penting dilakukan untuk mengharmoniskan kembali alam beserta segala isinya, termasuk kahyangan sebagai alam para dewa.
Makna Pangruat untuk Mengembalikan Keharmonisan Alam
Keberadaan alam yang kacau dan terkena wabah penyakit perlu diupacarai supaya kembali menjadi harmonis. Upacara yang dilakukan untuk mengharmoniskan kembali alam ini adalah dengan cara macaru. Caru untuk mengharmoniskan bumi atau alam sekitar dengan lingkungannya disebut dengan bhumi suddha. Caru bhumi suddha dimaksudkan membersihkan bumi dan lingkungannya dari pengaruh bhuta kala, dengan cara memberikan korban dan memindahkannya ke tempatnya masing-masing, yakni di hutan dan lain-lainnya (Singgih, 1998: 15).
Segala bentuk kekotoran atau gangguan dari sifat bhuta kala harus dihilangkan. Pembersihan terhadap bhuta kala dimaksudkan untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada pada dirinya. Dengan demikian kekuatan yang baik akan muncul dan berguna untuk kesejahteraan manusia dan alam.
Penggunaan hewan atau binatang kurban dalam setiap upacara yadnya akan dapat menjaga keseimbangan alam. Dengan adanya rutinitas yadnya yang dilakukan akan menumbuhkan keinginan manusia untuk memelihara binatang dan menjaga kelestariannya.
Sebagai bentuk realisasi dari pelaksanaan upacara penyucian, baik pada diri manusia (bhuana alit) maupun dunia (bhuana agung) dilaksanakan upacara kurban (pacaruan) dengan berbagai binatang sebagai sarana kurban. Persembahan hewan kurban dalam pelaksanaan upacara yadnya mempunyai makna panyupatan kepada hewan untuk peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Makna Pangruat untuk Penebus Dosa
Kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari dosa. Segala perbuatan yang tidak baik akan mendapatkan pahala atau hasil. Pelaksanaan pangruat dalam teks Cempaka Gadang bertujuan untuk menebus dosa yang telah dilakukan. Dengan adanya upacara yadnya diharapkan segala dosa dapat dihilangkan.
Pangruat sebagai penebusan dosa dalam konteks ini berkaitan dengan adanya kesadaran atas dosa yang dimiliki. Dosa biasanya menimbulkan berbagai bentuk penderitaan yang dapat menyiksa lahir dan batin. Dalam teks Cempaka Gadang pelaksanaan pangruat yang bertujuan untuk menghilangkan dosa adalah majaya-jaya dan marayascitta. Upacara majaya-jaya dilaksanakan oleh Sang Siwa Gendhu dan Sang Windhu Bajra setelah berhasil mengalahkan dan membunuh Dewi Ratna Cempaka Gadang. Segala dosa dan pikiran kotor yang ada pada mereka berdua supaya dihilangkan atau disucikan kembali. Prosesi majaya-jaya dalam teks Cempaka Gadang bertujuan untuk menghilangkan segala bentuk kekotoran (mala) yang ada dalam pikiran. Dalam ajaran agama Hindu pikiran yang tidak baik dipengaruhi oleh sad ripu.
Begitu juga dengan adanya upacara marayascitta di bumi maka keadaan arwah Dewi Ratna Cempaka Gadang beserta para pengkiutnya yang berada di neraka menjadi tenang dan tidak lagi menyebakan kahyangan menjadi gaduh. Semua itu disebabkan oleh adanya upacara pangruat sebagai penebus dosa di dunia dengan berbagai sajian persembahan kurbannya kepada dewa maut (Yamaraja). Persembahan upacara yadnya yang dilakukan harus sesuai dengan tata cara dan segala macam bentuk sajian persembahannya seperti dalam teks Cempaka Gadang. Setelah dilaksanakan upacara penyucian dengan berbagai macam sajian dan persembahan kurban maka para dewa merasa senang dan gembira sehingga bumi dan surga menjadi damai dan tenteram.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Teks Cempaka Gadang sebagai salah satu karya sastra jenis tutur memberikan informasi tentang pelaksanaan upacara yadnya berupa pangruat. Wacana pangruat dalam teks Cempaka Gadang memberikan gambaran tentang (1) fungsi pangruat sebagai penyucian diri dan spiritual manusia, (2) fungsi pangruat sebagai pengharmonisasi alam, dan (3) fungsi pangruat sebagai penetralisasi (nyomia) sifat-sifat bhuta. Analisis makna pangruat dalam teks Cempaka Gadang adalah (1) sebagai penghilang kekotoran pada diri manusia, (2) sebagai penghilang kekotoran alam, (3) untuk mengembalikan keharmonisan alam, dan (4) untuk penebusan dosa.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, I Gusti Ketut dkk. 2008 Kamus Bali-Indonesia Beraksara Bali dan Latin. Denpasar: Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Mardalis. 2007. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi Aksara.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. “ Dewa Telah Mati”. Kajian Strukturalisme Semiotik, Dalam Jabrohim (Penyunting). Teori Penelitian Sastra. Jogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.Yogyakarta: PustakaPelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. Singgih Wikarman, I Nyoman. 1998. Bayuh Oton Ruwatan Menurut Hindu. Surabaya: Paramita.
Suardiana, I Wayan. 2009. “ Geguritan I Gede Basur dan Ketut Bungkling karya Ki Dalang Tangsub
Analisis interteks dan Resepsi” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sudarsana, Ida Bagus Putu. 2001. Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sudharta, Tjok Rai, I.B Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa tentang Ajaran Ajaran Agama Hindu.
Surabaya: Paramita.
Sudibya, I Gde. 1997. Hindu Budaya Bali. Denpasar: PT. BP
Warna, I Wayan dkk. 1993. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali.
Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali? Cet. I. Surabaya: Paramita.
Widiana, I Made. 2011. “Kritik Sosial dalam Satua Pan Angklung Gadang” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Zoest, Aart Van dan Panuti Sudjiman. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
168
Discussion and feedback