Hegemoni Kasta dalam Tiga Prosa Karya Oka Rusmini
on
LINGUISTIKA, SEPTEMBER 2017
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 24. No. 47
Hegemoni Kasta dalam Tiga Prosa
Karya Oka Rusmini
I Komang Widana Putra
Program Studi Magister LinguistikProgram Pascasarjana
Universitas Udayana
Alamat: Jalan Letda Arti No. 12, Amlapura
Ponsel: 085737255289
Email: [email protected]
Abstrak
Tradisi lokal masyarakat Bali sering menjadi inspirasi para pengarang untuk menulis karya sastra.Tiga prosa karya Oka Rusmini dalam kajian ini berlatar kehidupan Bali mengetengahkan masalah hegemoni kasta yang banyak menderitakan para tokoh perempuannya.Ketiga karya itu adalah novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi.Artikel ini menganalisis hegemoni kasta dalam tiga prosa karya Oka Rusmini.Teori yang digunakan sosiologi sastra.Hasil analisis menunjukkan hegemoni kasta dalam ketiga karya ini terungkap lewatbahasa, adat, kehidupan sosial, dan aktivitas sosial.
Kata Kunci: hegemoni, kasta, perempuan Bali
Abstract
Balinese community’s local tradition frequently becomes inspirations to authors in creating their literary works. Three proseswritten by Oka Rusmini in this study were based on Bali daily life which focuses on caste hegemony problems that mostly expereinced by the female characters. These three proses are Kenanga novel, Sagra novellette, and Dance of Earthnovel. Through the analysis, the society is able to understand better about society system in Bali. The results of the analysis showed that caste hegemoni these three works is reaveled through language, culture, social life, as well as social activities.
Keywords: hegemony, caste, women Bali
PENDAHULUAN
Karya sastra yang mengangkat tema sesuai dengan akar tradisi pengarang tumbuh dan dibesarkan sebagai semacam keunikan yang memberikan tambahan cakrawala pengetahuan pembaca untuk mengenal Indonesia. Pengangkatan tema yang demikian, bisa dilihat pula sebagai bentuk perlawanan terhadap tradisi yang ada. Beragam karya sastra lahir karena sebuah tradisi yang membuat masyarakat itu sendiri menderita. Hal inilah yang ingin diungkap pengarang di dalam karya fiksinya.
Salah seorang pengarang yang menangkap tradisi demikian kuat mengakar dalam masyarakat adalah Oka Rusmini. Banyak karya sastranya lahir berdasarkan warna lokal tradisi Bali. Di antara karya fiksi Oka Rusmini, yang paling menarik untuk dibahasdalam tulisan ini adalah tiga karya prosanya, yaitu novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi. Pemilihan ketiga prosa tersebut, karena menggambarkan warna lokal yang menjadi ciri utama Oka Rusmini sebagai seorang novelis Indonesia.
Selain karena kekuatan warna lokal yang menceritakan tradisi masyarakat Bali, hal lain yang menjadi daya tarik utama ketiga karya fiksi ini adalah tentang permasalahan yang disodorkan pengarang. Salah satunya yakni tentang feminisme.Secara umum, gerakan feminis dapat dibagi menjadi tiga golongan: kaum feminis liberal, kaum feminis radikal dan kaum feminis sosialis
(Budiman: 1982:38). Melalui para tokoh perempuannya yang sebagai sentral cerita, Oka Rusmini mengungkapkan dengan benderang sebuah perlawanan. Tidak selamanya perempuan Bali itu tertidur dalam tradisi dan melelapkan mereka. Mengutip pendapat Darma Putra (2007: 3) wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial tentulah keliru. Pada saat orang mengatakan bahwa ketiga fiksi ini sangat kental dengan feminisme karena menceritakan perjuangan perempuan dan dikarang oleh perempuan, tetapi ada hal yang berbeda dan luput dari perhatian.Hal itu adalah tentang hegemoni.
Hegemoni bertitik tolak dari konsep Gramsci bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004: 19). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kelas yang hegemonik adalah kelas kelas yang mendapat persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis (Simon, 2004: 22). Santoso (2002: 164) mengungkapkan ada tiga jenis kekuasaan, yakni kekuasaan utilitirian, kekuasaan koersif, dan kekuasaan persuasif. Karena hegemoni harus terus menerus diciptakan dan dimenangkan, dia membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan kontra hegemoni tersebut harus berusaha memperoleh dukungan di dalam masyarakat sipil (Barker, 2004: 64).
Terlihat dalam tiga prosa karya Oka Rusmini yang menjadi kajian ini, hegemoni yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial brahmanaterhadap status sosialsudra. Status sosial, yang kerap disebut di Bali sebagai sistem kasta memunculkan hegemoni di dalam tiga prosa karya Oka Rusmini ini. Sistem kasta yang sampai sekarang masih membelenggu masyarakat Bali membagi masyarakat Bali menjadi empat kasta, yakni kasta brahmana, ksatrya, wesya, danjaba.Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki identitas berupa kewargaan (klan) seperti warga Pasek dan warga Pande. Bedanya kasta bersifat hierarkis, sedangkan klan bersifat sejajar. Pembagian tersebutmembuat orang dengan kasta tertentu merasa berbeda derajat, kewajiban, dan hak yang melekat pada dirinya. Akibat ketidaksamaan itu, secara tidak langsung ada kelompok yang mendominasi dan didominasi.
Sejarawan pada umumnya menyatakan bahwa sistem kasta di Bali baru muncul setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi, yang kemudian disusul dengan munculnya gelar-gelar kebangsawanan baru, yang mungkin asli Bali karena gelar yang digunakan di Bali tidak semuanya ada padanannya di Jawa. Dengan demikian, kasta adalah hasil politik rekayasa Majapahitisasi terhadap Bali (Karepun, 2007: 7).
Wiana (2005: 34--57) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta.Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran agama Hindu dikenal adanya empat warna/ catur warna, yaitu brahmana, orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual;ksatria, orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya;waisya, orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian; dan sudra, orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain.
Sistem kemasyarakatan yang tergambarkan dalam cerita mengaburkan antara catur warna dan kasta.Catur warna adalah pembagian masyarakat menurut swadharma (profesi) tiap-tiap orang. Profesi itu adalah brahmana (sebagai pemikir), ksatrya (pelaksana pemerintahan), wesia (pengusaha), dan sudra (pekerja). Dalam perkembangannya catur warna menjadi kasta di Bali.Kasta berasal dari bahasa Portugis yang artinya bangsa, ras, jenis (Diantha, 2010: 50). Sebagaimana yang disampaikan dalam lampiran Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Tahun 2002, penyimpangan ajaran catur warna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya.
Warna bersifat dinamis.Ia berubah sesuai dengan perubahan profesi yang digeluti seseorang.
Seumpama, apabila ia saat ini sebagai seorang pegawai pemerintahan, ia memiliki tugas mengatur pemerintahan, ia memiliki warna ksatria. Apabila sepuluh tahun lagi, ia pensiun dan memilih jalan sebagai seorang pendeta yang memberikan pembinaan rohani dan spiritual kepada orang lain dan masyarakat luas, maka ia memiliki warna brahmana. Dengan kata lain, warna akan berubah sesuai dengan profesi atau swadharma orang yang bersangkutan. Melalui analisis ini, masyarakat dapat memahami dengan lebih baik terhadap sistem kemasyarakatan yang ada di Bali.
METODE PENELITIAN
Metode dan teknik yang digunakan dalam tulisan ini yaitu pustaka dan pencatatan dokumen.Teknik pengumpulan data, yakni (1)membaca novel Kenanga, novelet Sagra, dan novel Tarian Bumi dengan saksama, (2)mengklasifikasikan tindakan, cara berpikir tokoh yang menghegemoni tokoh-tokoh yang ada di dalam ketiga fiksi ini, dan (3) menentukan bentuk hegemoni dalam tiga prosa karya Oka Rusmini.
Teori sosiologi sastra digunakan dalam analisis ini. Asumsi dasar sosiologi sastra adalah bahwa kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karyasastra (Endraswara, 2008: 77). Karya sastra akan mendokumentasikan kehidupan sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai sebuah dokumen sosial, karya sastra tidak hanya akan merekam begitu saja peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masyarakat, tetapi turut pula merefleksikan zaman.Hal serupa juga dinayatakan oleh Sapardi Djoko Damono (2013: 11) bahwa sastra merupakan cermin zamannya.Sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.
Sebuah karya sastra pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan. Mengutip pendapat Yunus (Permana, 2004: 13), menyatakan bahwa reaksi tersebut dapat berupa reaksi spontan ataupun reaksi yang dipikirkan terlebih dahulu. Reaksi spontan mungkin dilakukan bersamaan dengan terjadinya sutau peristiwa, atau apa dilakukan dengan cara menunjuk langsung kepada peristiwa itu dengan mengkonkretkannya ke dalam suatu karya.
Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda. Pertama, tergantung dari kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, yang jauh lebih penting sebagaimana dijelaskan melalui teori resepsi, adalah kemapuan pembaca dalam memahami karya sastra. Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Dengan kalimat lain, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra (Ratna, 2009:333-334).
Wellek dan Warren (1990: 111) membuat klasifikasi menjadi tiga mengenai sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.Sosiologi sastra yang digunakan dalam analisis ini adalah sosiologi sastra pada klasifikasi yang kedua.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan disajikan hegemoni kasta dan bentuk hegemoni kasta yang terdapat dalam tiga prosa karya Oka Rusmini.Analisis mengenai hegemoni kasta tersebut menggunakan teori sosiologi sastra.Teori sosiologi sastra dipergunakan berdasarkan asumsi kehidupan sosial sebagai pemicu lahirnya karya sastra.Kenanga, Sagra, dan Tarian Bumi merupakan potret dokumen sosial mengenai
kehidupan masyarakat Bali.
Hegemoni Kasta
Status sosial kerap kali menjadi alasan untuk menyepelekan keberadaan seseorang dalam masyarakat.Utamanya ketika seseorang memasuki sebuah komunitas baru yang memiliki kebiasaan berbeda dari komunitas asalnya.Kebiasaan tersebut misalnya cara berkomunikasi, etika berbusana, berperilaku, dan lain-lain. Tak terkecuali dalam ranah fiksi.Oka Rusmini sebagai pengarang berdarah Bali, mengungkapkan dalam salah satu novelnya Kenanga, turut berbicara mengenai masalah status sosial, yakni kasta.
Kasta, yang dianggap seseorang sebagai sebuah status sosial yang terkadang membuat orang lain untuk membatasi gerak-geriknya terlihat dalam novel ini. Kekuasan kasta yang sudah diteguhkan oleh para tokoh tua yang memang masih memegang teguh pakem yang telah digariskan secara turun-temurun.Pakem-pakem itu tidak boleh dilanggar apalagi diubah sekehendak hati. Apabila itu terjadi, akan mendatangkan malapetaka dalam sebuah keluarga.
Hegemoni kasta yang terdapat dalam novel Kenangamembatasi seseorang untuk mencari jalan hidupnya sendiri.Seperti kisah Kencana yang dijodohkan dengan seorang laki-laki brahmana, yang bernama Bhuana. Perjodohan itu merupakan sebuah aturan bagi keluarga mereka. Seorang Ida Ayu harus menikah dengan laki-laki yang juga bergelar Ida Bagus.Perjodohan yang memang karena keterpaksaan itu membuahkan kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis.Di sana-sini terlihat kebisuan, ketidaktenteraman, dan kecanggungan.
Hegemoni kasta juga terbaca ketika keluarga brahmanaIda Bagus Rahyuda meminta kepada keluarga sudra untuk menyerahkan anaknya kepada keluarga brahmana tersebut untuk dikawinkan dengan salah satu dari putra mereka. Hal itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar, bahkan tidak jarang menimbulkan kebanggaan bagi keluarga yang menyerahkan anaknya karena anak mereka akan masuk kelingkungan keluarga griya. Tokoh Jero Kemuning dalam novel Kenanga bernasib seperti itu. Kehidupannya diserahkan oleh keluarganya kepada seseorang laki-laki, yang lebih pantas sebagai bapaknya, brahmana yang kaku dan tak bisa bersosialisasi. Hidupnya habis untuk melayani laki-laki yang demikian.
Sebagaimana yang telah diutarakan bahwa status sosial brahmana merupakan status sosial yang terhormat.Bahkan, dalam salah satu tokohnya seorang wong jero, pelayan, Luh Intan dalam novel Kenanga, menganggap kaum brahmana sebagai surya, matahari. Tidak pantas seorang pelayan di griya seperti dirinya mendapat fasilitas yang berlebihan. Fasilitas tersebut, yaitu bersekolah di tempat bagus dan mahal, pakaian yang layak, dan memanggil Kenanga dengan sebutan Ibu. Luh Intan mengalami konflik batin terhadap kebaikan-kebaikan yang diberikan Kenanga.
Kaum brahmana adalah surya.Matahari.Tempat tiang adalah sebagai pelayan mereka. Bukan mereka yang harus menghargai tiang, sebagaimana yang kau maui. Itu terbalik, Ratu (Kenanga, 2004: 136).
Gadis-gadis yang tinggal di griya senantiasa disarankan oleh orang tua mereka agar menikah dengan laki-laki yang yang baik dan sederajat.Karena itu tidak hanya berurusan dengan laki-laki yang bersangkutan, tetapi juga dengan derajat dari perempuan itu sendiri. Apabila tidak hidup akan sial dan sengsara. Nasihat-nasihat yang lebih mengedepankan untuk mengamankan harga diri keluarga masing-masing, mengakibatkan para gadis brahmana berlomba-lomba mencari laki-laki yang sederajat dengan mereka dan hidup mapan.Pilihan gadis-gadis itupun jatuh pada Mahendra, seorang laki-laki brahmana yang memiliki karir bagus dan mapan.
Banyak orang tua memaksakan kehendak agar anak gadis mereka dinikahi oleh Mahendra.Mereka mengadakan acara-acara tertentu dengan megundang Mahendra.Para gadis berebut untuk mendekati Mahendra dalam acara tersebut.
Pernikahan dengan orang yang berasal dari status sosial yang sederajat juga dikait-kaitkan dengan dunia mistik, dunia leluhur.Seperti pesan yang terus diulang-ulang oleh Tuniang, nenek Mahendra, tiap kali bertemu Mahendra.
“Ingat, kalau kau tidak kawin dengan perempuan brahmana, roh Tuniang tidak akan diterima leluhur. Roh tuniang-mu ini akan melayang-layang terus. Kalau malam roh Tuniang akan menangis di pinggir Pura karena tidak akan sempurna tanpa pernah disembahyangi oleh cucu-cucu Tuniang yang lahir dari perempuan brahmana juga!” (Kenanga, 2004: 236)
Sugesti yang disebar oleh Tuniang membuat para gadis menjadi keluarga griya menjadi penurut.Mereka takut para leluhur menderita di alam setelah kematian. Pada akhirnya mereka berusaha untuk mencari laki-laki yang sederajat. Apabila tidak menikah dengan laki-laki brahmana, hidupnya akan tertimpa kesialan. Seperti kisah Biang Mayun, yang menikah dengan laki-laki sudra. Ia diusir dari keluarga griya. Suaminya kemudian, tertabrak truk.Ia pun menyambung hidupnya dengan berjualan bawang di pasar. Pada saat bertemu dengan perempuan brahmana yang dulu satu keluarga dengannya, ia harus menambahkan kata, “Ratu”, sebagai sebutan kehormatan.
Masih berkisah dalam tema yang sama, hegemoni kasta juga membelit cerita dalam novelet Sagra. Tetap dalam inti cerita, seperti cerita dalam novel Kenanga, perkawinan yang sederajat tetap dikehendaki oleh orang tua. Dimulai dari perkawinan Dayu Manik, yang menghendaki laki-laki brahmana kaya untuk menikahinya. Walaupun ia mencintai seorang laki-laki sudra yang bernama Maglek. Namun, tetap atas nama status sosial pilihannya jatuh pada laki-laki brahmanauntuk meneruskan keturunannya. Meskipun telah menikah dengan laki-laki yang menjadikannya sebagai perempuan terhormat dan kaya, bayang-bayang Maglek tetap menghantui hidupnya.
Keinginan agar keturunan brahmana tetap ajek, ia menginginkan agar anaknya, Dayu Pidada, menikah dengan laki-laki brahmana pula. Sama seperti kehidupan sang ibu, ia menikah dengan laki-laki brahmana dan hanya sekadar formalitas. Sebenarnya,ia mencintai Jegog, seorang laki-laki sudra yang miskin. Pernikahan yang terjadi sebagai semacam kesepakatan antara Pidada, Ida Bagus Baskara, suaminya, Jegog, dan Luh Sewir, istrinya. Ternyata Luh Sewir memiliki hubungan khusus dengan suami Pidada dan mereka saling mencintai. Cinta segiempat di antara mereka tersimpan rapi dan membuahkan anak. Pidada mengandung anak Jegog dan Luh Sewir mengandung anak suami Pidada. Pidada melahirkan Dayu Cemeti dan Luh Sewir melahirkan Sagra.
Sagra, yang pada mulanya menolak untuk masuk dan mengabdi di keluarga Pidada akhirnya mengalah pada keinginan ibunya. Karena tanah yang digarapnya selama ini adalah tanah miliki keluarga Pidada. Ia pun dengan berat hati masuk ke keluarga griya. Datang di keluarga griya, Sagra dihadapkan pada aturan yang telah dibuat Pidada. Mulai dari dilarang makan satu piring dengan Yoga, cucu Pidada. Padahal, anak itu sangat dekat dengannya dan Sagra sendiri dianggap sebagai ibunya sendiri.
Hegemoni kasta yang dilakukan oleh Pidada terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pidada terhadap Sagra.Dimulai dari perintah, ancaman dan sebagainya. Misalnya, ketika Sagra sedang memandikan Yoga, Pidada muncul dengan sikap tajam mengenai kasta.
“Jangan sembarangan merawat cucuku, Sagra. Kelak, dialah penerus dinasti Pidada. Dia yang akan mewarisi seluruh hotel yang kumiliki. Ajari dia menjadi bangsawan yang baik….Jangan pernah makan satu piring dengannya. Jaga dia sebagai bangsawan.Jangan kotori darah birunya. Kau paham?!” (Sagra, 2004: 159).
Perkataan yang diucapkan Pidada sebagi bentuk hegemoni atas dirinya. Sagra, sebagai seorang sudra, harus menurut pada apa yang sudah ditetapkan Pidada. Kematian-kematian yang beruntun dalam keluarga Pidada, membuat banyak orang berpikir bahwa Pidada harus bersembahyang di Pura Desa agar kesialan-kesialan yang menimpa keluarganya lenyap. Akan tetapi, bersembahyang di pura milik
masyarakat itu akan mencemarkan kebangsawanannya. Hegemoni kasta yang ada ternyata menjauhkan keluarga griya dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Novel Tarian Bumi yang dianggap sebagai karya besar Oka Rusmini juga tetap melilitkan kasta sebagai sentral cerita dengan dihiasi konflik-konflik percintaan.Novelyang mengetengahkan cinta tiga generasi perempuan yang dimulai dari kisah sang nenek, Pidada, berlanjut riwayat cinta sang ibu, Luh Sekar, kemudian bermuara pada kisah sang anak, Dayu Telaga, ini sarat dengan hegemoni kasta yang membelenggu kehidupan para tokohnya, utamanya tokoh perempuan.
Dimulai dari kehadiran tokoh sudra yang masuk ke lingkungan griya. Tokoh Luh Sekar, yang kemudian menjadi Jro Kenanga, harus tunduk pada pakem yang berlaku di keluarga suaminya. Aturan yang pada mulanya untuk memperkenalkan sebuah kehidupan baru bermuara pada hegemoni.Dimulai aturan-aturan bahwa dia dilarang makan bersama dengan keluarga asalnya. Luh Dalem, ibu dari Luh Sekar, harus memperlakukan anaknya dengan istimewa. Bahkan, ketika ibunya sendiri meninggal, karena hanyut di sungai, Luh Sekar tidak boleh menyentuh ibunya serta tidak boleh menyembahyanginya.
Walaupun telah masuk sebagai menantu keluarga brahmana, Luh Sekar tetap dianggap sebagai perempuan sudra. Ia harus berbahasa halus dengan orang-orang griya, tidak boleh makan satu piring dengan ankanya. Akibat kehidupan di keluarga barunya yang sangat ketat dengan aturan atau pakem yang ada, ia akhirnya menjadi bangsawan tulen. Ia mengekang anaknya, Dayu Telaga, juga dengan aturan yang khas dengan griya. Karena biar bagaimana pun perempuan griya akan menjadi panutan bagi perempuan kebanyakan.
Hegemoni kasta terbaca baik, melalui tindakan maupuncara berpikir mereka. Melalui cara berpikir, misalnya saja tentang perubahan nama ketika Luh Sekar masuk ke keluarga griya. Ia harus mengubah namanya menjadi Jro Kenanga. Karena sesuatu yang lumrah apabila sesorang perempuan sudra menikah dengan laki-laki brahmana ia akan mengubah namanya. Nama baru itu biasanya terkait dengan nama-nama bunga. Sementara apabila perempuan brahmana menikah dengan laki-laki sudra, nama perempuan brahmana tersebut tidak berubah. Ia tetap menggunakan nama dayu. Seperti Dayu Telaga yang menikah dengan Wayan Sasmitha, ia tetap mempergunakan nama dayu walaupun masuk ke keluarga sudra.
Bukan kaum brahmana yang menghegemoni kaum sudra, ketika perempuan sudra masuk ke keluarga brahmana. Kenyataan yang sebaliknya juga ada ketika perempuan brahmana masuk ke keluarga sudra. Seperti sebuah “pembalasan dendam”.Hal ini terlihat ketika Dayu Telaga masuk ke dalam keluarga Wayan Sasmitha.Terlebih Wayan Sasmitha ditemukan meninggal di studio lukisnya. Menurut Luh Gumbreg, yang masih berpegang kuat apada pakem yang ada, kematian Wayan Sasmitha yang mendadak itu karena ia menikah dengan seorang Ida Ayu, perempuan griya. Ada semacam kepercayaan dalam dirinya bahwa apabila menikah dengan perempuan brahmana, akan mendapat kesialan. Luh Gumbreg menuntut agar Dayu Telaga mau melakukan upacara patiwangi, upacara pelepasan kasta dari perempuan yang berkasta lebih tinggi daripada suaminya agar kesialan yang menimpa keluarganya bisa hilang. Dayu Telaga pun menyanggupinya. Pada saat meminta izin untuk melakukan upacara itu, kepada Ibunya, Jro Kenanga, ibunya tetap bersikukuh tidak mau menemui Telaga.Ia menganggap anaknya telah meninggal sebab telah menjadi perempuan sudra.
Bentuk Hegemoni
Terdapat beberapa bentuk hegemoni kasta yang dilakukan oleh para tokohnya.Pertama, hegemoni kasta dalam bahasa. Kedua, hegemoni kasta dalam adat. Ketiga, hegemoni kasta dalam kehidupan sosial. Keempat, hegemoni kasta dalam aktivitas sehari-hari.
Bentuk-bentuk hegemoni kasta banyak terdapat dalam bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
karya-karya Oka Rusmini lebih mengarah pada kosakata yang bahasa Bali. Kosakata yang digunakan dalam bahasa tersebut secara tidak langsung menggambarkan hegemoni kasta. Beberapa kosakata yang kerap muncul dalam karya Oka Rusmini, yakni dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 01 Daftar Kosakata yang Menggambarkan Hegemoni Kasta
No. |
Kosakata Arti |
1 2 brahmana 3. |
Ratu Panggilan kehormatan untuk bangsawan Bali Tugus Panggilan anak laki-laki untuk golongan TugegPanggilan anak perempuan untuk golonganbrahmana |
4 |
Dayu Gelar kebangsawanan perempuan Bali Golongan brahmana |
5. |
Ida Bagus Gelar kebangsawanan laki-laki Bali golongan brahmana |
Kosakata yang digunakan Oka Rusmini dalam tiga prosanya menunjukkan hegemoni terhadap orang yang berkasta di bawahnya sebab, panggilan-panggilan tersebut membuat orang lain mesti menghormati yang memiliki panggilan tersebut. Berbeda dengan orang yang memiliki golongan selain brahmana.
Bagi orang Bali nama atau gelar mempunyai arti yang khusus, baik bagi pengguananya maupun bagi orang lain. Penggunaan nama atau gelar tertentu tidak saja dapat menimbulkan ketersinggungan, sakit hati atau kemarahan pada orang lain yang merasa bahwa pemakaian gelar oleh orang lain tidak berhak dianggapnya melecehkan golongannya. Hal itu terjadi karena menurut pendapatnya gelar itu adalah sebuah gelar kebangsawanan khusus yang adiluhung, yang hanya boleh dipakai oleh golongan tertentu.
Dalam novelet Sagra, kata Ratu berkali-kali disebut sebagai ungkapan penuh hormat kepada golongan brahmana. Biasanya yang menyebut ungkapan ini adalah mereka yang berasal dari golongansudra. Hal itu nampak ketika Sagra menghindari Ida Ayu Cemeti, saat perempuan itu berusaha menyentuh kulitnya.Cemeti mengira Sagra marah kepadanya. Itu menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka.
“Kau marah padaku, Sagra?”
“Ratu, jangan berkata seperti itu. Saya…” Belum selesai Sagra menjelaskan, Ida Ayu Pidada, ibu Cemeti, muncul dari balik korden (Sagra, 2004: 159).
Selain ada ungkapan kosakata yang digunakan dalam seperti di atas, hegemoni kasta juga ada dalam bahasa-bahasa yang kerap kali dilontarkan oleh para tokoh untuk mengekang kebebasan tokoh lainnya.Salah satunya, yakni dalam novel Tarian Bumi.Dalam novel ini sang anak, Ida Ayu Telaga beranjak dewasa dan ia harus mengikuti pakem yang ada di griya.
“Tugeg tidak boleh memakai celana pendek.Kalau Tugeg ingin keluar, pakailah kain dan harus rapi.Jangan ngawur. Jaga wibawa Meme di depan orang-orang griya. Walaupun Meme bukan seorang Ida Ayu, Meme yakin anak Meme lebih Ida Ayu dari berpuluh bahkan beratus Ida Ayu” (Tarian Bumi, 2007: 69).
Dari percakapan itu terlihat bahwa menjadi seorang bangsawan (brahamana) harus berpakaian
rapi dan berkain karena akan menjadi panutan bagi orang di sekitarnya. Selain itu, juga tersirat makna bahwa walaupun Jero Kenanga tidak berasal dari kalangan brahmana, ia optimis Telaga akan menjadi lebih dari beratus Ida Ayu. Dengan kata lain, perempuan menjadi simbol dari keluarga griya. Pada saat Telaga akan bertanya mengapa banyak aturan, Luh Sekar pun menjawab, “Ini adalah pakem leluhur yang harus dipatuhi kalau Tugeg ingin bahagia” (Tarian Bumi, 2007: 69).
Kedua, bentuk hegemoni kasta dalam adat. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem (Sugono, 2012: 8). Adat sebagai aturan (perbuatan) yang lazim dilakukan sejak dahulu kala. Adat juga merupakan cara/kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.
Tiga prosa yang dijadikan bahan analisis dalam tulisan ini menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh para tokoh yang ditulis Oka Rusmini.Dalam novelet Sagradigambarkanseorang ibu yang bernama Luh Sewir yang memiliki seorang anak bernama Sagra. Luh Sewir ini berharap selepas ia meninggal, agar Sagra tinggal di keluarga griya yang dikepalakeluargai oleh Dayu Pidada. Mulanya Sagra menolak. Ia berpendapat bahwa mereka masih mempunyaitanah yang diwariskan ayahnya. Mereka seharusnya masih bisa tetap hidup dengan mengelola tanah ayahnya dan Sagra tidak malu untuk bekerja di ladang. Ia tidak mau bekerja sebagai pelayan.
Tinggal di griya, berarti Sagra tidak lagi berhak memiliki impian sebagai manusia. Apa yang bisa dilakukannya sebagai pelayan selain menunggu perintah? Bekerja untuk orang lain (Sagra, 2004: 162).
Sagra merasa puas dengan apa yang ia miliki. Salah satunya tanah yang diwariskan ayahnya. Penolakannya mengabdi di keluarga griya kerap kali memunculkan pertengkaran dengan ibunya, Luh Sewir. Namun, pada akhirnya Sagra pun mengalah setelah Luh Sewir mengatakan bahwa tanah yang mereka garap selama ini merupakan tanah milik keluarga griya. Sagra pun tinggal di griya.
Novel Tarian Bumi mengisahkan cinta tiga generasi. Salah satunya percintaan Dayu Telaga dan Wayan Sasmitha. Cinta mereka ditentang Luh Gumbreg, ibu Wayan Sasmitha. Ia percaya akan sial jadinya bila Wayan Sasmitha mengambil Telaga sebagai istri. Luh Gumbreg percaya pada mitos bahwa perempuan brahmana adalah sebagai surya, penerang kegelapan.Bahkan keluarga bsesarnya telah ratusan tahun mengabdi pada keluarga griya. Hal itu diungkapkannya ketika berdebat sengit dengan Wayan Sasmitha.
“Apa yang kau ketahui tentang hubunganku dengan keluarga griya? Apa? Beratus-ratus tahun keluargaku mengabdi pada mereka. Sekarang kau hancurkan hubungan yang telah terjalin dengan baik itu” (Tarian Bumi, 2007:137).
Melalui pemanfaatan gaya bahasa hiperbola, Luh Gumbreg menentang keras rencana pernikahan mereka mengingat keluarga sudra adalah sebagai pengabdi dalam keluarga brahmana. Selain itu, sukar dibayangkan olehnya bila pernikahan beda status sosial itu terjadi. Orang-orang sudra akan memandangnya penuh aib, karena berani menjadikan seorang dayu sebagai menantunya. Sebagai seorang pengabdi yang sudah berartus-ratus tahun, akan merusak hubungan baik yang sudah terjaga.
Tidak hanya dalam kedua prosa di atas yang mengungkap perihal bahwa sudra sebagai pengabdi di keluarga brahmana. Dalam novelnya yang berjudul Kenanga pun, Oka Rusmini juga menyisipkan seorang wong jero yang bernama Luh Intan yang mengabdi pada keluarga Kenanga di griya. Luh Intan dititipkan oleh neneknya di griya. Anak-anak yang berasal dari keluarga biasa diserahkan orang tuanya di griya sebagai pembantu. Hal tersebut merupakan tanda persembahan dan bukti kesetiaan pada kaum bangsawan. Ada suatu anggapan dalam masyarakat bahwa dengan menjadi pengabdi di keluarga brahmana, hidupnya akan dilimpahi kebahagiaan karena brahmana adalah sebagai surya, sinar yang menerangi kegelapan.
Ketiga, hegemoni kasta dalam bentuk kehidupan sosial. Kehidupan sosial masayarakat Bali banyak tergambar dalam ketiga prosa karya Oka Rusmini yang dijadikan bahan analisis ini. Salah satu
diantaranya, yakni interaksi sosial yang timbul dari hegeomoni kasta yang ada dalam ketiga prosa ini.Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara dua individu atau lebih,yaitu ide dan satu pandangan individu saling memengaruhi.
Interaksi sosial dipengaruhi oleh faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati (Pasaribu, 1984: 68--69). Imitasi adalah kecenderungan berbuat atau meniru perbuatan orang lain. Sementara sugesti adalah sikap, pandangan, pendapat orang lain yang diterima sepenuhnya tanpa dikritisi. Peranan sugesti dirasa penting di dalam pembentukan norma-norma kelompok, prasangka sosial, norma-norma susila, norma politik, dan lain-lain. Di pihak lain identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Simpati adalah perasaan suka atau tertarik yang timbul pada diri seseorang kepada orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan perasaan.
Ketiga prosa yang ditulis Oka Rusmini menggambarkan interaksi sosial yang dipengaruhi oleh hegemoni kasta. Interaksi sosial yang terbaca dalam tiga prosa ini, yakni adanya kekuatan yang saling memengaruhi antarindividu.Salah satu contohnya, yakni kegigihan Jro Kenanga dalam novel Tarian Bumi. Jro Kenanga yang pada mulanya sebagai perempuan sudra, mengekang kebebasan-kebebasan Dayu Telaga, anak semata wayangnya. Dari cara berpakaian yang harus berkain rapi dan tidak bercelana pendek hingga jodoh yang harus bergelar Ida Bagus. Ini dilakukan oleh Jero Kenanga karena faktor identifikasi, yakni kecenderungan untuk meniru apa yang dilakukan oleh mertuanya, Dayu Pidada yang sangat mengagungkan status sosial. Pengekangan-penengekangan yang dilakukan oleh Jro Kenanga menimbulkan pemberontakan pada diri Telaga. Hingga puncaknya ia menikah dengan Wayan Sasmitha, laki-laki sudra.
Pada kasus lain, yakni ketika Wayan Sasmitha mengutarakan pernikahannya dengan Telaga kepada ibunya, Luh Gumbreg. Ibunya menolak keras karena ia percaya pada pakem dan tersugesti bahwa menikahi perempuan brahmana akan membawa sial pada keluarganya dan itu adalah perbuatan dosa. Dikatakan dosa, sebab telah mencuri surya yang telah menerangi keluarganya ratusan tahun.Terjadi konflik antara dirinya dan ibunya dalam rencana pernikahan tersebut.Mereka berdebat keras. Wayan Sasmitha diminta memikirkan rencana tersebut tetapi Wayan kukuh pada pendiriannya.
“Tiang tidak mau mengakui perbuatan ini suatu dosa, Meme.Ini pilihan dari beratus-ratus, bahkan berjuta-juta pilihan tiang dalam hidup.Bagi tiang ini keputusan paling penting. Paling mahal. Tiang sudah sejak lama memikirkan akibat-akibatnya kelak (Tarian Bumi, 2007: 138).
Akibat pernikahan Telaga dan Wayan Sasmitha, hubungan kedua keluarga menjadi tidak harmonis. Telaga dibuang dari keluarga griya. Ia tidak diterima dengan baik dalam keluarga mertuanya.
Selain adanya interaksi sosial dalam kehidupan sosial yang ada dalam tiga prosa Oka Rusmini, terdapat pola komunikasi sosial yang berubah akibat adanya hegemoni kasta. Contohnya, dalam novel Tarian Bumi. Ketika Luh Sekar menikah, kemudian tinggal di keluarga griya ia harus mengubah namanya menjadi Jro Kenanga. Bahkan dalam keluarganya sendiri, Luh Dampar dan adik-adiknya harus bertutur sopan kepadanya.
Keempat, bentuk hegemoni dalam aktivitas. Aktivitas adalah kegiatan. Dalam novelet Sagra, hegemoni kasta juga tampak dalam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu contohnya, yakni ketika Pidada membiayai seluruh upacara mecaru di desa sebagai akibat meninggalnya ayah Sagra yang mengapung di Sungai Badung. Keluarga Pidada membiayai upacara tersebut. Hal ini dilakukan Pidada sebab ia sebagai keluarga terpandang dan kaya serta dari golongan brahmana. Upacara itu dilakukan sebab Jegog, ayah Sagra, meninggal secara tidak wajar.
Pada bagian lain, setelah Jegog menghamili Luh Sewir, keluargaPidada yang membereskan upacara perkawinnnya. Bahkan, hingga memberi makan tiga hari tiga malam masyarakat. Saat Luh Sewir, ibu Sagra, meninggalupacara kematiannya yang membutuhkan biaya besar pun dibereskan oleh
keluarga Pidada. Di sini hegemoni status sosial brahmanaterlihat sangat memengaruhi pikiran seseorang bahwa brahmana memiliki kekayaan yang tidak habis-habisnya. Di samping itu, bisa membereskan segala persoalan biaya upacara tertentu.
Hegemoni kasta dalam bentuk aktivitas juga terlihat pada acara kematian Luh Dalem. Anaknya, Luh Sekar yang telah menjadi Jro Kenanga, karena sudah menjadi bagian dari keluarga griya, tidak diperbolehkan menyentuh mayat ibunya, memandikan, dan menyembah tubuh ibunya. Lebih memedihkan lagi ia harus duduk di tempat yang tinggi sehingga bisa menyaksikan jalan upacara kematian ibunya dengan lengkap. Terbaca jelas hegemoni kasta memisahkan kasih sayang seorang anak kepada ibunya bahkan ketika sang ibu menjadi mayat sekalipun.
SIMPULAN
Hegemoni kasta ada dalam kekuasaan tokoh yang berkasta brahmana atas tokoh yang berkasta sudra. Bentuk hegemoni kasta dapat ditemukan dalam bahasa, adat, kehidupan sosial, dan aktivitas yang digambarkan dalam ketiga prosa yang ditulis Oka Rusmini.Salah satu bentuk kosakata yang digunakan menggambarkan hegemoni kasta, yakni ratu yang dipakai sebagai sebutan kehormatan bagi mereka yang berkasta brahmana. Hegemoni kasta dalam adat, misalnya keluarga sudra menyerahkan anaknya kepada keluarga griya sebagai bentuk kesetiaan mereka. Sementara dalam kehidupan sosial, yakni perubahan sikap dan perilaku seorang ibu (Luh Dampar) ketika anaknya, Luh Sekar, menjadi menantu keluarga brahmana.
Di satu sisi Oka Rusmini mendukung protes pelarangan terhadap praktik-praktik kasta, tetapi di sisi lain, ia meneguhkan sistem kasta itu sendiri dengan menghadirkan upacara patiwangi dalam ceritanya. Selain itu juga mengahdirkan kemalangan-kemalangan yang menimpa kehidupan para tokoh akibat pernikahan beda kasta. Dengan kata lain, Oka Rusmini bersikap ambigu, posisi yang memberikan ruang kepada pembaca untuk menentukan sikapnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 2013. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum
Diantha, Made Pasek dan I Gede Pasek Eka Winanjaya. 2010. Kasta dalam Persfektif Hukum dan HAM. Denpasar: Udayana University Press.
Endraswara, S. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Mediapressindo.
Karepun, Made Kembar. 2007. Mengurai Benang Kusut Kasta. Denpasar: Panakom
Permana, Ruswendi. 2004. “Aspek Sosiologis Sastra dalam Karya Ajip Rosidi”. Bandung: UPI.
Pasaribu, IL dan B. Simandjutak. 1984. Teori Kepribadian. Bandung: Tarsito.
Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempo Doeloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Cetakan V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusmini, Oka. 2004. Kenanga. Jakarta: Grasindo.
Rusmini, Oka. 2004. Sagra. Magelang: Indonesiatera.
Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: Gramedia.
Santoso, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Penerjemah Kamdani dan Imam Baehaqi. Yogyakarta: Insist.
Sugono, Dendy. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Wiana, I Ketut dan Raka Santeri. 2005. Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Sastra. Penerjemah Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
142
Discussion and feedback