Fungsi dan Makna Yoga Dalam Ganapati Tattwa
on
LINGUISTIKA, MARET 2018
p-ISSN: 0854-9613
Vol. 48. No. 25
Fungsi dan Makna Yoga Dalam Ganapati Tattwa
Ni Luh Gede Eni Laksmi1, Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung I Nyoman Darma Putra2, dan Ida Bagus Rai Putra3 Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana Jalan Nias No. 13, Denpasar, Bali, Telepon (0361) 250033 1Ponsel 081239383740 1Email: [email protected] 2Email: [email protected] 3Email: [email protected]
Abstrak—Ganapati Tattwa merupakan teks yang bersifat Siwaistik dengan tokoh utama Dewa Siwa dan Gana. Teks Ganapati Tattwa terdiri atas 60 bait sloka Sanskerta disertai dengan ulasan bahasa Kawi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fungsi dan makna yoga dalam Ganapati Tattwa. Teori yang digunakan adalah teori semiotik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa yoga berguna untuk latihan pernapasan, pengendalian diri dan meditasi. Sebagai suatu cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, maka yoga merupakan wujud konkret cinta kasih, jalan karma dan jalan untuk mencapai moksa.
Kata kunci: yoga, fungsi, makna, Ganapati Tattwa
Abstract—Ganapati Tattwa is a Siwaistic text with the main character of Lord Shiva and Gana. The Ganapati Tattwa text consists of 60 verses of Sanskrit sloka accompanied by Kawi language reviews. This study aims to analyze the function and meaning of yoga in Ganapati Tattwa. The theory used is semiotic theory. The results of this study indicate that yoga is useful for breathing exercises, self-control and meditation. As a way to get closer to God, yoga is a concrete form of love, the way of karma and the way to reach moksa.
Keywords: yoga, function, meaning, Ganapati Tattwa
PENDAHULUAN
Ganapati Tattwa adalah teks yang berisi ajaran Siwaistik dan kelepasan. Ajaran tentang yoga ini disajikan dengan teknik cerita yang menarik. Cara menguraikan isi naskah ini dengan menggunakan metode tanya jawab antara Ganapati dengan Dewa Siwa. Ganapati adalah putra Dewa Siwa dan Siwa sendiri disebut sebagai rajanya yoga atau Mahayogin. Dalam teks Ganapati Tattwa pelaksanaan yoga tercermin dari ajaran Catur Yoga dan Astangga Yoga, mengenal unsur-unsur Panca Daiwata dalam tubuh, serta tata cara bertingkah laku yang baik. Dalam naskah ini dapat dideskripsikan
secara tidak langsung Dewa Siwa memberikan pengetahuan tentang yoga kepada Ganapati.
Yoga berasal dari akar kata Sanskerta yuj yang artinya ‘menyatukan diri dengan Tuhan’. Di dalam Rgveda, yoga disimbolkan dengan “tapas” yang lebih fokus terhadap pengendalian indriya (Somvir, 2010:3). Seseorang yang menekuni yoga secara tidak langsung melakukan penyatuan diri dengan Tuhan melalui pengendalian indriya. Dengan melakukan yoga seseorang juga harus belajar untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi. Seorang penekun yoga disebut yogin.
Yoga dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia berarti pengerahan tenaga, usaha keras, metode atau praktik pemusatan pikiran atau tapa
(mengontrol indera, menahan naik turunnya/ketidaktetapan pikiran, memperoleh kekuatan supernatural, mencapai kesatuan dengan dewa atau kelepasan (Zoetmulder dan S.O Robson, 2006:1492). Sedangkan di dalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia, yoga berarti cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan (Tim Penyusun, 2014:831).
Dalam agama Hindu, yoga termasuk salah satu jalan untuk mencapai moksa. Moksa merupakan salah satu dari ajaran Catur Purusharta yang merupakan empat tujuan untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan akhirat. Ajaran ini terdiri atas Dharma, Artha, Kama, dan Moksa yang secara keseluruhan saling memiliki keterkaitan. Inti dari ajaran Yoga sesungguhnya adalah bakti dan cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yoga memberikan nilai positif bagi jasmani maupun rohani penekunnya. Orang yang tekun melaksanakan yoga maka niscaya dia akan segera mencapai tempat Tuhan yang tertinggi.
Selama ini, ada sedikit yang membahas Ganapati Tattwa yaitu Rayun (2005) yang menguraikan sinopsis, bentuk, struktur, makna, serta nilai-nilai pendidikan agama Hindu dalam teks Ganapati Tattwa. Oleh karena itu, perlu dianalisis dari segi fungsi dan makna yoga yang terdapat dalam Ganapati Tattwa. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan bagi orang yang ingin belajar yoga secara sederhana.
METODE PENELITIAN
Pada tahap pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode studi pustaka yang dilakukan dengan menyimak dan mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Selanjutnya, metode wawancara dilakukan dengan mencari tokoh agama yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini. Kedua metode ini dibantu dengan teknik catat dan teknik rekam. Teknik catat dilakukan dengan menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan terkaitan dengan penelitian Wacana Yoga dalam Ganapati
Tattwa. Teknik rekam dilakukan dengan merekam seluruh pembicaraan selama wawancara berlangsung.
Pada tahap analisis data digunakan metode hermeneutik. Dalam metode hermeneutik karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan. Sedangkan teknik yang digunakan pada tahap analisis adalah teknik deskriptif analitik.Teknik ini dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna. 2011: 45– 53). Pada tahap penyajian hasil analisis,
metode yang digunakan adalah metode informal yaitu perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa walaupun terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145).
Teori
Ada dua pelopor semiotik yaitu Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinan e Saussure (1857–1913). Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli semiotik dari Swiss dan dianggap sebagai bapak linguistik modern. Ada dua ciri tanda bahasa yang sangat mendasar menurut Saussure yakni bersifat arbitrer (sementara) dan bersifat linier. Bersifat arbitrer berarti tidak ada hubungan tertentu antara penanda dan petanda. Bersifat arbitrer karena penanda bersifat auditif dan berlangsung dalam waktu tertentu.
Konsep Saussure terdiri atas penanda (signifier, signifiant, semaion) dan petanda (signified, signifie, semainomenon), ucapan individual (parole) dan bahasa umum (langue), sintagmatis dan paradigmatis serta diakroni dan sinkroni (Ratna, 2011: 99). Saussure berpendapat setiap tanda bahasa terdiri atas dua sisi yaitu penanda yang berupa imaji bunyi dan petanda berupa konsepnya. Konsep semiotik Saussure berupa penanda dan petanda akan diterapkan dalam penelitian ini. Teori ini akan digunakan untuk membedah bagaimana fungsi dan makna wacana yoga dalam Ganapati Tattwa.
PEMBAHASAN
Ganapati Tattwa merupakan teks yang bersifat Siwaistik dengan tokoh utama Dewa Siwa dan Gana. Teks Ganapati Tattwa terdiri atas 60 bait sloka Sanskerta disertai dengan ulasan bahasa Kawi. Ada dua aspek yang akan dibahas yaitu fungsi dan makna yoga dalam teks Ganapati Tattwa.
-
a. Fungsi Yoga dalam Ganapati Tattwa
Karya sastra, baik tradisional maupun modern memiliki fungsi tersendiri yang disampaikan lewat bahasa. Bahasa merupakan aspek penting dalam suatu karya sastra yang berperan mengungkapkan dan menyampaikan pesan dalam karya tersebut. Bahasa dalam karya sastra bersifat konotatif, ekspresif, dan sugestif. Ketiga sifat tersebut mampu memberikan nilai lebih terhadap suatu karya sastra. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini akan membantu mengungkapkan fungsi wacana yoga dalam Ganapati Tattwa.
Dalam latihan yoga, mengatur pernapasan merupakan hal penting untuk menunjang kegiatan ini. Fungsi yoga sebagai latihan pernapasan termuat dalam kutipan berikut
Pranayamayoga ngaranya, tutupanang dwara kabeh, mata, irung, kapo, tutuk, ndan ikang wayu rumuhun isepen wetwakena haneng wunwunan, kunang yapwan wuwus daraka wineh metu mareng irung kalih, ndan pahalon ikang wayu, yeka pranayamayoga nga (Sloka 6).
Terjemahan:
Pranayamayoga artinya tutupilah segala lubang, mata, hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara, konsentrasi pada ubun-ubun, bila sudah penuh biarkanlah keluar melalui kedua lubang hidung secara perlahan-lahan, itulah yang disebut konsentrasi pengaturan napas.
Kutipan di atas menjelaskan tentang ajaran pranayama merupakan bagian dari Astanggayoga yang berarti ‘latihan pernapasan’. Dalam kehidupan sehari-hari pranayama secara sederhana dapat dijumpai dalam persembahyangan. Umumnya pelaksanaan sembahyang menggunakan dua aturan dasar yoga yaitu Asana dan Pranayama. Setelah mengambil posisi duduk yang sempurna, maka dilanjutkan dengan pranayama. Dalam Kamus Sanskerta – Indonesia, pranayama berarti ‘mengendalikan napas’ (Surada, 2007: 232). Napas merupakan talinya jiwa karena napas yang menyebabkan makhluk tetap hidup, baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Pranayama terdiri atas puraka yaitu pemasukan napas, kumbhaka yaitu menahan napas, dan recaka yaitu mengeluarkan napas. Ketika menarik napas mantra yang diucapkan adalah Om Ang Namah, menahan napas mengucapkan mantra Om Ung Namah dan menghembuskan napas mengucapkan mantra Om Mang Namah. Dalam yoga, pranayama dilakukan dengan menghirup udara kemudian menutup semua lubang, mata, hidung, telinga, dan mulut. Konsentrasi dipusatkan pada ubun-ubun, kemudian hembuskan secara perlahan-lahan.
Yoga adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan melalui jalan meditasi. Meditasi diperlukan untuk pemusatan pikiran sehingga dalam yoga, pikiran hanya tertuju kepada Tuhan. Yoga sebagai suatu cara meditasi tercermin dalam kutipan berikut ini:
Nihan tang Sad Anggayoga ngaran nira, kaweruhanantanaku Sang Ganapati, lwirnya pratyahara yoga, dhyana yoga, pranayama yoga, dharawna yoga, tarka yoga, samadhi yoga (Sloka 3).
Terjemahan :
Inilah yang dimaksud Sad Anggayoga, yang penting kau ketahui selalu putraku Sang Ganapati, yaitu pratyahara yoga,
dhyana yoga, pranayama yoga, dharana yoga, tarka yoga, dan samadhi yoga.
Kutipan di atas menjelaskan tentang Sad Anggayoga di dalam Ganapati Tattwa. Yoga ada delapan tingkatan yang biasa dikenal dengan istilah Astangga Yoga. Namun, dalam Ganapati Tattwa hanya dijelaskan enam tingkatan, yaitu pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, tarka, dan samadhi. Pratyahara yoga dalam Kamus Sanskerta – Indonesia berarti ‘menolak, tempat pengasingan, mengendalikan organ dari indria’ (Surada, 2007: 225). Pratyahara berkaitan dengan organ-organ indria yang cenderung mengejar visaya atau sensualitas (Suhardana, 2010: 43).
Dalam pratyahara, kelima nafsu tersebut harus bisa dikendalikan dan ditarik agar bisa terlepas dari sensualitasnya. Mata tidak lagi mengejar keindahan, telinga tidak lagi mengejar suara, namun kelima panca indra tersebut hanya mengejar Tuhan melalui pemusatan pikiran dan konsentrasi.
Dhyana berarti ‘meditasi, intuisi Tuhan’ dan dhyanayoga berarti ‘meditasi dalam’ (2007: 173). Setelah melewati tahap pratyahara maka tahap selanjutnya adalah dhyana atau meditasi. Meditasi yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta kasih mampu mengantarkan manusia untuk mengetuk pintu Tuhan.
Pranayama berarti ‘mengendalikan napas’. Kata pranayama terdiri atas kata prana berarti ‘napas’, ‘vitalitas’, ‘hidup’, ‘kehidupan’, ‘angin’, ‘kekuatan’, ‘energi’, ‘roh’, ‘jiwa’, ‘inspirasi’, ‘pencernaan’ (Surada, 2007: 232) dan ayama berarti ‘memanjang’, ‘meluas’ (2007: 56). Dengan pranayama seseorang akan dapat menguasai nafsu dan kebimbangan yang ada pada dirinya. Prana atau energi menyalurkan kehidupan ke dalam materi yang tidak hidup dan dengan prana seseorang akan tetap bertahan hidup.
Dharana berarti ‘keteguhan’, ‘mantap aturan’, ‘akal’, ‘kebenaran’ (Surada, 2007: 171). Dalam yoga, dharana dapat diartikan ‘keteguhan pikiran untuk menghubungkan diri dengan Tuhan’. Keteguhan pikiran artinya memusatkan
pikiran pada suatu objek menuju ke arah samadhi. Ketika pikiran mampu dipusatkan pada satu objek, maka pikiran sudah dapat dikuasai, tetapi bila tidak dikuasai pikiran tersebut dapat dikatakan sedang terguncang.
Dalam Kamus Sanskerta – Indonesia, tarka berarti ‘perkiraan’, ‘dugaan’, ‘diskusi’, ‘keraguan’, ‘ilmu pengetahuan logika’ (Surada, 2007: 143). Dalam Astanggayoga, tarka yoga
tidak termasuk di dalamnya, namun hal ini terdapat pada Ganapati Tattwa. Berdasarkan pengertian di atas, tarka dapat diartikan sebagai sebuah sikap yang menepis semua keraguan. Untuk mencapai pembebasan abadi maka sikap keraguan perlu dihilangkan dari pikiran. Samadhi berarti ‘penyatuan’, ‘perdamaian’, ‘jarak waktu’ (Surada, 2007: 293). Dalam yoga, samadhi berarti penyatuan terhadap Sang Pencipta. Samadhi merupakan tingkatan yoga yang tertinggi.
Makna dalam suatu karya sastra merupakan sebuah amanat yang tersaji baik secara tersirat maupun tersurat. Ada beberapa makna yang terdapat dalam Ganapati Tattwa yaitu wujud cinta kasih kepada Tuhan, jalan karma dan jalan mencapai moksa.
Yoga mampu memberikan kontribusi positif bagi penekunnya, salah satunya adalah timbulnya rasa cinta kasih terhadap sesama dan terutama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam yoga, cinta kasih merupakan perasaan cinta yang mendalam dan dilandasi dengan rasa bakti kepada Sang Pencipta. Bhakti yoga adalah ilmu tentang tingkatan kasih yang lebih tinggi (Vivekananda, 2008: 45). Wujud cinta kasih
terhadap Tuhan tercermin dalam kutipan berikut:
Mangkana ta sang pandita, guma laukika purwaka, ndya ta ngaranya, ikang diksa widhidhan akena ring loka, pascati wekasan magawe ya ta sira paramakaiwalyajnana, ya parama pandita nga yan mangkana (Sloka 50).
Terjemahan :
Demikianlah sang pendeta, pada permulaanya selalu melaksanakan laukika, laukika artinya melaksanakan upacara pada dewa-dewa dan sedekah di dunia, terakhir ia melaksanakan yadnya kepada dewa utama, pendeta yang melaksanakan upacara demikian disebut pendeta utama.
Kutipan di atas menjelaskan tentang seorang pendeta utama, setiap hari selama masa hidupnya melaksanakan laukika atau upacara kepada para dewa dan sedekah untuk dunia. Seorang pendeta setiap hari melaksanakan ritual nyurya sewana sebanyak tiga kali, yaitu pada pagi ketika matahari baru terbit, siang ketika matahari tepat berada di atas kepala, dan sore ketika matahari terbenam. Menurut Sukada, ritual nyurya sewana dilaksanakan untuk mendoakan alam semesta beserta isinya, dengan melantunkan mantra-mantra suci dan nyanyian pemujaan kepada Tuhan diyakini akan mampu mem energi positif bagi alam semesta (waw 15/02/2017). Hal tersebut merupakan kewajiban seorang pandita yang juga merupakan salah satu perwujudan bhakti dan cinta kasih terhadap Tuhan.
Kasih secara keseluruhan adalah Tuhan, jumlah keseluruhan jiwa dalam jagat raya ini, apakah mereka bebas, terikat, atau berjuang terhadap pembebasan adalah Tuhan, kemudian menjadi memungkinkan bagi siapa pun yang merasakan kasih universal (Vivekananda, 2008: 52). Cinta kasih yang mendalam terhadap Tuhan adalah suatu keinginan untuk dekat dengan Tuhan. Rasa ini yang selalu dikaitkan dengan bhakti. Dalam pelaksanaanya, cinta kasih harus dimulai dari diri sendiri, yaitu dengan menyayangi dan menghormati badan jasmani. Kemudian cinta kasih kepada lingkungan sekitar, ketika hal tersebut berhasil dicapai maka seseorang akan menjadi lebih mantap untuk mencintai Tuhan.
Menurut Vivekananda (2008: 57– 60),
kasih dilambangkan sebagai sebuah segitiga yang masing-masing sudutnya saling berhubungan
dengan karakteristik yang tidak terpisahkan. Sudut dari segitiga kasih adalah mengetahui bahwa kasih tidak mengenal tawar-menawar. Cinta kasih tidak mengenal balasan. Itu artinya cinta kasih tersebut tidak mengharapkan suatu balasan apa pun. Inilah sebenarnya yang dimaksud sifat cinta kasih yang sejati kepada Tuhan.
Sudut segitiga yang kedua adalah bahwa kasih tidak mengenal rasa takut. Rasa takut adalah hal alami yang dimiliki oleh semua manusia. Untuk menimbulkan rasa cinta kasih, maka ketakutan merupakan hal pertama yang harus dihilangkan. Melawan rasa takut akan mampu mendorong seseorang untuk semakin dekat dengan Tuhan. Sudut yang ketiga adalah bahwa kasih tidak mengenal saingan, karena ini melambangkan pikiran yang tertinggi. Pemikiran tertinggi manusia adalah Tuhan.
Ketika seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, maka cinta kasih yang dia miliki sudah melampaui cinta terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini cinta kasih merupakan penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Segala aktivitas manusia, segala bhakti manusia hanya tertuju kepada Tuhan. Esensi dari yoga adalah jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Karena itu, cinta kasih merupakan landasan untuk merealisasikannya.
Karma merupakan sesuatu yang dilandasi dengan hubungan sebab akibat. Setiap kehidupan selalu diawali dengan kelahiran, kerja atau aksi, dan kematian. Semua yang hidup di dunia pasti melakukan kerja, karena Tuhan juga tidak pernah berhenti bekerja untuk dunia ini. Sang kala pun juga bekerja, membuat terjadinya siang dan malam. Setiap kerja akan menimbulkan reaksi berantai tanpa henti, dan inilah yang disebut hukum karma. Menurut Suhardana, cara yang baik untuk mulai menciptakan karma baik adalah dengan melepaskan diri kita sendiri dari pikiran, emosi dan tindakan negatif, meskipun diperlukan adanya ketekunan dan komitmen pribadi yang terus-menerus (2010: 29).
Kunang ikang sisya wenang waraken ri sang hyang bheda jnana, sisya sraddha ring dhana, jitendriya, tuwi mahyun ta ya ri kagawayan ing dharmma kinahanan dening brata, mwang bhakti maguru
kunang...(Sloka 42).
Terjemahan :
Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sanghyang Bheda Jnana adalah murid yang punya iman terhadap sedekah, orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan dharma, melaksanakan brata, dan pada murid yang berbakti kepada guru.
Kutipan di atas menjelaskan tentang karma yang merupakan jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui jalan berbuat atau bekerja tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan, dengan tujuan tercapainya kebebasan abadi. Dalam karma yoga, yang utama adalah pengabdian, pelayanan dan dharma bhakti. Semua kewajiban yang kita lakukan hendaknya didasari hati yang ikhlas tanpa mengharapkan apa pun. Seorang murid diwajibkan untuk berlaku dharma dan senantiasa melayani sang guru tanpa pamrih.
Dalam kutipan sloka tersebut dijelaskan bahwa ketika seseorang tidak mampu untuk melaksanakan bhakti yoga, maka ada cara lain untuk mendekatkan diri dengan-Nya yaitu dengan jalan bekerja. Bekerja dengan dasar dharma dan tanpa pamrih, itu sama halnya dengan melaksanakan bhakti yoga. Selanjutnya dalam Bhagawad Gita sloka 5.2 dijelaskan:
Sri bhagavan uvaca
Sannyasah karma yogas ca ubhau
Tayos tu karma sannyasat karma yogo visisyate
Terjemahan :
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa menjawab : Melepaskan ikatan terhadap pekerjaan dan bekerja dalam bhakti maka kedua-duanya bermanfaat untuk mencapai pembebasan. Tetapi di antara keduanya, pekerjaan dalam bhakti lebih baik
daripada melepaskan ikatan terhadap pekerjaan.
Pada kutipan sloka di atas dijelaskan bahwa pelepasan terhadap ikatan pekerjaan atau duniawi, dan bekerja dengan penuh rasa bhakti adalah dua hal yang bermanfaat untuk mencapai pelepasan. Namun hal yang lebih baik untuk dilaksanakan adalah bekerja dalam bhaktilah yang lebih baik karena menjalankan karma yoga yang dilandasi dengan bhakti yoga merupakan penyatuan yang sempurna untuk menuju kebahagiaan abadi.
Dalam yoga, karma merupakan kewajiban yang dilakukan bukan untuk diri sendiri. Hal ini artinya bahwa karma yoga mampu mengendalikan ego seseorang dan mengarahkan semua hasil pekerjaannya hanya untuk Tuhan. Bekerja dianjurkan dengan rasa tulus ikhlas dengan pengabdian tulus kepada Tuhan. Tindakkan ini terjadi secara alami tanpa dipengaruhi oleh nafsu. Ketika seseorang melaksanakan kerja dengan nafsu maka dapat dipastikan ia masih terikat dengan pahala kerja.
Moksa dalam Kamus Sanskerta – Indonesia berarti ‘kemerdekaan’, ‘kebebasan’, ‘kelepasan’, ‘pengiriman’, ‘pengantaran’ (256). Moksa merupakan salah tujuan akhir dari empat tujuan hidup umat Hindu setelah dharma, artha, dan kama. Ada beberapa rumusan tentang moksa yang cukup lengkap dan kompleks berdasarkan berbagai Upanishad di antaranya ialah yang pertama moksa tidak sama artinya dengan keberadaan di alam surga, sebab surga merupakan bagian dari alam dunia yang berwujud. Kedua, moksa bukanlah suatu keberangkatan menuju ke suatu tempat baru. Ketiga, moksa adalah pencapaian inti kebahagiaan Brahman melalui pengetahuan tentang Sang Diri (Suhardana, 2010: 21-22).
...ikang jnana suddha wimala, samsi kamoksan, tanana lewih sakeng sunyakara, wekasan ri linenya, muktang kaiwalya sang hyang atma, ya ta sinangguh
purwandhakoti ngaranya, apan tang pangrembha phalabhukti mwang karma, doning nirwana sira mukta ling sang pandita (Sloka 44).
Terjemahan :
...pengetahuan suci yang tak ternodai adalah sarana untuk mencapi penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Mahaagung, tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak ternoda oleh kesenangan duniawi, orang demikian pada saat mati rohnya akan memperoleh kebahagiaan, inilah yang dikatakan awal dari sejuta kegelapan oleh karena tak terikat oleh karma dan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para pendeta.
Seseorang yang telah menguasai pengetahuan suci adalah ia yang akan menyatu dengan Tuhan. Orang yang telah mencapai moksa, rohnya tidak akan terikat oleh karma maupun hasil perbuatan. Moksa adalah hal yang sangat sulit untuk bisa dicapai pada zaman Kaliyuga. Memang sudah semestinya, manusia tidak mengikat dirinya dengan indria-indria karena pada akhirnya semua akan kembali kepada Sang Pencipta.
Bagi siapa saja yang ketika sang roh pergi meninggalkan badan kasar dan pikirannya selalu mengingat Tuhan maka dia akan segera mencapai sifat-sifat Tuhan. Karena untuk mencapai moksa mengingat Tuhan adalah hal mutlak yang wajib dilakukan. Dalam Sarasamuscaya sloka 487 dijelaskan :
Nayamatyantasamvasah kadacit kenacit saha, api svena marirena kimutanyena kenacit.
Terjemahan :
Tidak ada yang kekal perhubungannya, yang bertalian satu dengan yang lain, yang tidak bertalian satu dengan lain itu, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubungan Anda dengan badan Anda sendiri pun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan, tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan yang lain-lainnya.
Ada banyak cara yang dapat ditempuh seseorang untuk dapat mencapai moksa yaitu mulai dari hal terkecil, pengendalian diri, melaksanakan Catur Yoga, Astangga Yoga dan mempelajari pengetahuan suci. Ketika seseorang mampu melaksanakan hal tersebut, maka tujuan hidup manusia dalam agama Hindu yaitu “Moksartham jagadhita ya ca iti dharmah”. Jagadhita berarti ‘kesejahteraan jasmani’ dan moksa berarti ‘ketentraman batin atau kehidupan abadi dengan manunggalnya Atman dengan Brahman’.
SIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa fungsi yoga dalam Ganapati Tattwa adalah sebagai latihan pernapasan lewat pranayama dan sebagai suatu cara meditasi melalui Sad Anggayoga. Makna yoga dalam Ganapati Tattwa adalah sebagai wujud cinta kasih kepada Tuhan, sebagai jalan karma dan jalan untuk mencapai moksa (Moksartham Jagaddhita). Yoga merupakan suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Yoga memberikan nilai positif bagi jasmani maupun rohani penekunnya. Orang yang tekun melaksanakan yoga, maka niscaya dia akan segera mencapai tempat Tuhan yang tertinggi.
Daftar Pustaka
Kadjeng, I Nyoman dkk. 1999. Sarasamusccaya.
Surabaya: Paramita
Kantor Dokumentasi Budaya Bali. 1994. Ganapati Tattwa Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Hanuman Sakti
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Somvir. 2010. Mari Beryoga. Denpasa
India Foundation.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suhardana, K.M. 2010. CaturMarga Empat Jalan Menuju Brahman. Surabaya: Paramita.
Suhardana, K.M. 2010. Moksa.Surabaya: Paramita
Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta – Indonesia. Surabaya: Paramita
Tim Penyusun. 2014. Kamus Bali – Indonesia Beraksara Bali dan Latin. Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Kerjasama Dinas Kebudayaan Kota
Denpasar.
Vivekananda, Swami. 2008. Bhakti Yoga.
Surabaya: Paramita
Zoetmulder, P.J dan S.O Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
88
Discussion and feedback