WACANA “SANGKAN-PARAN” DALAM KAKAWIN AJI PALAYON: SEBUAH ANALISIS SEMIOTIK

I NYOMAN SUARKA Universitas Udayana

Abstrak

Kakawin Aji Palayon merupakan kakawin yang memadukan konsepsi religi dan keindahan. Berbagai tataran sistem tanda dalam Kakawin Aji Palayon, baik verbal maupun nonverbal, menuntut berbagai tataran pembacaan. Dengan mengikuti tataran baca utama sang Ätma menuju ke asalnya, yakni Paramâtma untuk menunggal dengan-Nya dapat dikatakan bahwa wacana “sangkan-paran” dalam Kakawin Aji Palayon bermakna segala keberadaan akan berakhir dengan kelenyapan. Kehidupan berakhir dengan kematian (palayon). Segala sesuatu akan menuju suatu (paran) dan kembali ke asalnya (sangkan). Raga (mikrokosmos) akan mati dan kembali ke alam semesta (makrokosmos). Meskipun jiwa (Ätma) tidak mati, tetapi jiwa (Ätma) juga kembali dan menyatu dengan asalnya,yakni Paramâtma.

Abstract

Kakawin Aji Palayon represents kakawin which combines the concept of religion and beauty. The various levels of sign system in Kakawin Aji Palayon either in the form of verbal or nonverbal, need to have various level of reading. By following the primary reading level of soul (Atma) on the way to its origin which is called Paramatma to amalgamate with God, so it can be said that “sangkan paran” discourse in Kakawin Aji Palayon means that every existence will be ended with its disappearance. The existence will be ended in death (palayon).Everything will achieve its goal (paran) and return to its origin (sangkan). Microcosm or body (mikrokosmos) will pass away and back to the macrocosm or nature (makrokosmos). Although the soul (Atma) will not die, but soul (Atma) also will return and get together with its origin which is known as Paramatma.

Kata-kata kunci: sangkan, paran, kakawin, aji, palayon

  • 1.    Pendahuluan

Berkembangnya agama Islam di pulau Jawa yang akhirnya diikuti oleh runtuhnya kerajaan Majapahit mengakibatkan banyak naskah Jawa Kuna diselamatkan ke Bali. Di Jawa, pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas kesusastraan Jawa Kuna tidak berkembang lagi. Suasana khas yang diperlukan untuk menumbuhsuburkan karya sastra Jawa Kuna pada masa itu dan agama Hindu yang dahulu mengilhami sejumlah besar kakawin, entah dari sudut ajaran maupun praktik, telah lenyap (Zoetmulder, 1985: 24). Anderson (1990: 203) mengatakan bahwa periode dari tahun 1500 sampai tahun 1750 dipandang sebagai semacam Abad Kegelapan Jawa. Akan tetapi, pendapat Anderson ini tidak sepenuhnya benar karena pada abad ke-16 masih ada sekelompok pecinta sastra Jawa Kuna yang menyelamatkan naskah-naskah Jawa Kuna ke wilayah-wilayah di sekitar gunung Merbabu dan Merapi. Koleksi naskah-naskah itu dinamakan koleksi Merbabu-Merapi (Wiryamartana, 1990, 1993, 1994). Penemuan koleksi naskah Merbabu-Merapi ini dapat memperlihatkan bahwa apabila dilihat dari perjalanan sejarah kesusastraan Jawa Kuna, tampaknya kesinambungan kehidupan sastra Jawa Kuna, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit itu, ada yang berlanjut di Jawa Tengah dan ada pula yang diteruskan ke Bali.

Sementara itu, kraton-kraton di Bali tetap merupakan penjaga-penjaga setia kesusastraan Jawa Kuna. Di kalangan brahmana dan istana, karya-karya sastra Jawa Kuna tetap dibaca, dipelajari, disalin kembali, atau bahkan karya-karya baru dicipta-kan. Masyarakat Bali terus mengembangkan sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin, dan kegiatan olah sastra tersebut mencapai puncaknya pada masa kerajaan Gelgel, pada abad XVI, selama pemerintahan Dalem Waturenggong. Pada masa itu, tampil pujangga-pujangga besar, seperti Danghyang Nirartha dan Ki Gusti Dauh Bale Agung (Creese, 1991; 1994). Tradisi sastra Jawa Kuna tersebut berlanjut terus pada masa kerajaan Klungkung, abad XVIII—XIX, terutama pada masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kanya (Vickers, 1982, Creese, 1991; 1994). Pemeliharaan dan penciptaan karya-karya kakawin Bali masih terus dilakukan oleh para pecintanya di Bali sampai sekarang, meskipun secara kuantitatif ataupun kualitatif, hasilnya tidak sebanding dengan karya sastra kakawin pada masa kesusastraan Jawa Kuna di Jawa Timur. Akan tetapi, cukup banyak karya sastra Jawa Kuna dihasilkan di Bali. Di sini, tidak ada versi-versi kakawin baru yang berasal dari karya-karya kakawin lama. Bentuk baru kakawin-kakawin Bali diciptakan (Creese, 1994: 10).

Secara kuantitatif, penelitian kakawin Bali belum begitu banyak dilakukan para peneliti apabila dibandingkan dengan jumlah kakawin yang ada di Bali. Hal ini disebabkan peminat studi sastra Jawa Kuna masih relatif kecil. Ada beberapa hasil penelitian kakawin Bali, antara lain Kakawin Subhadrâwiwâha (Creese, 1981), Kakawin Dimbiwicitra (Suastika, 1985), Kakawin Gajah Mada (Partini-Sarjono, 1986), Kakawin Singhalanggyala (Paramartha, 1991), Kakawin Satrughna (Jirnaya, 1992), Kakawin Hariwijaya (Rahayu, 1995). Di samping itu, Zoetmulder (1985) memuat fenomena kakawin minor dalam bab khusus (Bab XV) serta kutipan manggala dan epilog kakawin minor pada bagian Lampiran IV dalam bukunya yang

berjudul Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Sementara itu, Rubinstein (1988) menyimak makna ritual masyarakat Bali pada karya sastra kakawin dalam disertasi berjudul “Beyond The Realm of The Balinese Ritual of Kakawin Composition”. Pigeaud (1967), ketika mendata dan membuat sinopsis beberapa karya sastra Jawa yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan koleksi-koleksi umum lainnya di negeri Belanda, juga menyinggung beberapa kakawin Bali, dalam buku berjudul Literature of Java I. Robson (1972) membahas karya-karya Kawi klasik di Bali dalam artikel berjudul “The Kawi Classics in Bali”. Creese (1991) mencoba melihat konteks historis Kakawin Pârthayâna dalam artikelnya berjudul “Sri Surawîrya, Dewa Agung of Klungkung (c. 1722—1736): The Historical Context for Dating The Kakawin Pârthayâna”. Creese (1994) mengamati kontribusi masyarakat Bali terhadap karya sastra kakawin sebagai sesuatu yang substansial dan berbagai fenomena kakawin Bali dalam kertas kerja berjudul “The Balinese Kakawin Tradition: A Preliminary Description”.

Penelitian kakawin Bali memang telah dilakukan para peneliti seperti tersebut di atas. Akan tetapi, hal itu bukanlah berarti bahwa segala permasalahan yang ada dalam kakawin Bali telah tuntas dibicarakan. Masih banyak persoalan yang perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu persoalan penting dalam sebuah karya kakawin Bali adalah wacana “sangkan-paran” yang dimuat dalam Kakawin Aji Palayon karena wacana ini sangat berperanan penting dalam meningkatkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat Bali terhadap eksistensi dunia akhirat. Selama ini, fenomena keakhiratan lebih banyak didasarkan pada tradisi lisan tanpa dasar tekstual yang valid. Sehubungan dengan itu, wacana “sangkan-paran” dipandang sebagai tanda sehingga akan dikaji berdasarkan pendekatan semiotik.

Pada prinsipnya, teori semiotik yang digunakan dalam artikel ini adalah teori semiotik seperti dikemukakan Riffaterre (1978), yakni memandang karya sastra sebagai aktivitas bahasa secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik. Bagi Riffaterre (1978: 1), fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Menurut Riffaterre (1978: 2), ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh satu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik.

Lebih jauh, Riffaterre (1978: 2) menyebutkan bahwa ciri khas puisi adalah kesatuannya, yakni satu kesatuan, baik formal maupun semantik. Berdasarkan tataran formal dan semantik, Riffaterre mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yakni arti (meaning) dan makna (significance). Dari segi arti (meaning), teks puisi merupakan rangkaian satuan informasi yang

berturut-turut, yang dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Dari segi makna (significance), teks puisi merupakan satu kesatuan semantik. Sehubungan dengan itu, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) teks berdasarkan fungsi mimetik bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan kata lain, pembaca melakukan pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik. Setelah itu, pembaca melangkah ke tataran yang lebih tinggi (significance) sebagai satu manifestasi semiosis dengan mencari kode karya sastra secara struktural (decoding). Dalam tataran baca semacam itu, pembaca melakukan pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi sastra. Pembacaan hermeneutik dilakukan secara struktural, bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali lagi ke bagian dan seterusnya berdasarkan unsur-unsur ketidakgramatikalan (ungrammaticalities). Bagi Riffaterre, salah satu ketidak-gramatikalan (ungrammaticalities) itu dan yang sekaligus menjadi pusat makna satu puisi adalah matriks.

Menurut Riffaterre (1978: 19), wacana puisi merupakan ekuivalensi yang ditetapkan antara satu kata dengan satu teks atau satu teks dengan teks yang lain. Puisi merupakan hasil dari transformasi matriks, yakni kalimat minimal dan literal ke dalam parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks adalah bersifat hipotetik. Matriks mungkin dioptimasikan dalam satu kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh di dalam teks, tetapi diaktualisasikan dalam bentuk varian-varian, ketidakgramatikalan (ungrammaticalities). Bentuk varian sebagai aktualisasi pertama atau aktualisasi pokok dari matriks adalah model. Bagi Riffaterre, matriks, model, dan teks merupakan varian dari struktur yang sama.

Lebih jauh lagi, Riffaterre mengajukan gagasan produksi tanda (production sign), yakni produksi tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau frase dipuitiskan ketika kata atau frase itu mengacu pada sekelompok kata yang telah ada lebih dahulu, satu hipogram yang juga merupakan satu varian dari matriks teks (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram itu tidak ada di dalam teks. Hipogram itu hadir sebagai ruang kosong yang sangat menentukan terbentuknya puisi menjadi puisi (bdk. Faruk, 1996: 25). Hipogram itu mungkin bersifat potensial yang tampak dalam bahasa seperti presuposisi, klise-klise, serta sistem deskriptif (satu jaringan katakata yang dihubungkan dengan satu hal lain di sekitar kata inti), atau bersifat aktual dalam wujud mitos-mitos atau teks-teks lain yang telah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978: 23-39).

Menurut Riffaterre (1978: 47—80), dalam rangka produksi teks, aktualisasi produksi-tanda dari hipogram-hipogram di atas diintegrasikan oleh ekspansi, konversi maupun kombinasi antara ekspansi dan konversi. Ekspansi mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Konversi mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks melalui pemodifikasian kesemuanya dengan faktor yang sama. Dengan kata lain, pemaknaan (significance) akan menjadi volarisasi positif dari satuan semiotik tekstual apabila hipogram adalah negatif, dan volarisasi negatif terjadi apabila hipogram itu positif.

Demikianlah Riffaterre memahami puisi sebagai ekspresi bahasa secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik. Cara pandang Riffaterre dalam memahami puisi seperti di atas akan dicoba diterapkan dalam pemaknaan wacana “sangkan-paran” dalam Kakawin Aji Palayon.

  • 2.    Hasil dan Pembahasan

    • 2.1    Pembacaan Heuristik

Seperti telah disebutkan di depan, pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan atas kompetensi linguistik atau konvensi bahasa, yakni kata-kata dipahami berdasarkan fungsi mimetik (mimetic function). Perlu dikemukakan bahwa dalam pembacaan kakawin, bait dianggap sebagai satuan terkecil (Wiryamartana, 1990, Zoetmulder, 1985). Oleh karena itu, dalam pembacaan heuristik ini, ada kalanya bait dibaca secara utuh sebagai satu kesatuan larik (kalimat). Keempat larik (kalimat) dipahami dalam satu kesatuan arti. Kecuali itu, bait-bait yang akan diulas dalam pembacaan heuristik ini hanya bait-bait yang dipandang sebagai tanda-tanda yang memiliki kekuatan puitis lebih tinggi atau dominan. Hal itu dilakukan karena jumlah bait dalam Kakawin Aji Palayon cukup banyak.

Cerita Kakawin Aji Palayon dimulai pada bait ke-4 pupuh I. Kalimat käla duskretä pañcêndriya ‘manakala kelima indera lenyap’, kasarpa ning manah huwus linebur ‘racun pikiran telah dilebur’, dé nikang dasaksarôttama ‘oleh kekuatan sepuluh aksara suci’, mwang aji kalepasan ‘dan ilmu kalepasan’, secara mimetik berarti saat mulai perjalanan (saparan) jiwa (Ätma) menuju ke asalnya (sangkan). Hal itu disebut kematian (palayon). Kematian itu terjadi pada waktu raga (mahakurungan) berpisah dengan jiwa (sang warâtma). Manakala waktu itu tiba (kalä ning metu sangkêng kurunganya), maka jiwa manusia merasa senang (tusta citta ning sang warâtma) karena saat itu jiwa manusia baru dapat bebas, terlepas dari belenggu raga (hañar mangké kawasâmesat), yang sejak dahulu telah mengurungnya (saking dangü sira kinurungan).

Bait 6—50 secara mimetik mengandung arti bahwa perjalanan itu diawali dengan peristiwa perpisahan antara raga dan jiwa. Perpisahan itu menimbulkan kesedihan, baik bagi yang meninggalkan (sang warâtma) maupun yang ditinggal, yakni segenap keluarga (kulogotranya).

Bait ke-51 pupuh I secara mimetik berarti bahwa meskipun diliputi kesedihan akibat perpisahan itu, sang Ätma tetap melanjutkan perjalanan (lumampah mangké sang warâtma), menuju tempat suci (jumujug maring sanggar mangké) untuk mengadakan pemujaan kepada Hyang Tripurusa (mamursitêng sang hyang Tripurusa). Bait 52—55 secara mimetik mengandung arti tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sang Ätma ketika mengadakan pemujaan. Setelah selesai melakukan pemujaan, sang Ätma melanjutkan perjalanan menuju Pura Dalem untuk memuja Hyang Durga (pura dalem winegil tulwi, dé nikang sang mahâtma).

Bait 1—7 pada pupuh II, secara mimetik mengandung arti perbuatan yang dilakukan oleh sang Ätma ketika memuja Hyang Durga. Hyang Durga dipuja dalam

berbagai wujud, yakni sebagai Bhagawati apabila berkuasa di Bale Agung memberi umur panjang kepada manusia (sang hyang Bhagawati aranta ri bale gung weh kadirgäyusan), sebagai Bherawa apabila berkuasa di tempat pembakaran mayat (sang hyang Bhérawya aranta rï mahanten ing pämasmiyän atah), sebagai Dewi Putrika jika berkuasa di Gunung Agung (déwï Putrika yan kitêng gunung Agung hyang wwang Bali lwir kita), sebagai Dewi Dhanu apabila berkuasa di Gunung Batur (déwï Dhänu aranta yan ta kita ing tungtung Baturparwata), sebagai Gayatri apabila berkuasa di tempat permandian (pañcüran tlaga nirjhara prasama jöng déwï Gayatrï basa), sebagai Dewi Gangga apabila berkuasa di sungai-sungai besar atau yang semacamnya (sang hyang gangga namanta yan ri ganal lwah mwang sähanä ning ika), dan sebagai Dewi Sri jika berkuasa di sawah (tatkälanta hanêng talun pasawahän hyang srï arän jeng tuhan). Setelah selesai melakukan pemujaan dan telah mendapat rido Hyang Durga (he sang atmika moga sang kadi kita swasteng hnu ka swargika), sang Ätma merasa senang dan kemudian melanjutkan perjalanan (sang ätmârjawa lingnya müja humung änulwihaken säparan), meskipun banyak rintangan yang akan dijumpai dalam perjalanannya (sakwéh pängadang-ädangâ ri wana guhwâdri kawastwâkruna).

Bait ke-1 pupuh III secara mimetik berarti saat sang Ätma selesai melakukan pemujaan dan mohon diri dari hadapan Hyang Durga (amwit sang warâtma mangké). Sang Ätma keluar dari pura Dalem (metu sira sangkêng gopura). Pada saat itu, bintang timur bersinar terang (wintang syang kumeñar ri pürwa), menandakan fajar menyingsing (marahaken hyang rawi méh metu).

Sang Ätma pun melanjutkan perjalanan (mangêrsänya lampah ing sang ätma). Secara mimetik, bait-bait berikutnya berarti bahwa dalam menempuh suatu perjalanan untuk menuju dunia baru, seseorang tidak bisa lepas dari rintangan-rintangan, baik rintangan yang menimbulkan perasaan suka maupun duka. Kesukaan atau kesenangan berupa keindahan dunia baru yang mulai diinjak oleh sang Ätma (ramya hawan hinawanan, kirna puspita ri tepi ning marga, gandhanya sumar nghéli hredaya) merupakan godaan pertama. Akan tetapi, sang Ätma tidak terlena oleh kesenangan itu. Sang Ätma tidak lupa akan Tuhan. Sang Ätma tetap sadar akan kewajibannya, yakni memuja kebesaran Tuhan, memohon rahmat-Nya agar sukses dalam menempuh perjalanan (ngarcana sang hyang Gorïpati, marapwan sang ätma mamangguh suka).

Sang Ätma melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sungai Serayu (lwah Sarayu dinunung dé sang ätma). Rintangan yang mengancam keselamatan sang Ätma mulai berdatangan. Sang Ätma dihadang oleh seekor buaya (waräwuhaya metu saka ri bañu). Buaya itu hendak memangsa sang Ätma (harep anadah sang ätma). Akan tetapi, sang Ätma dapat menjinakkan buaya itu karena sang Ätma mengetahui rahasianya, yakni buaya itu sesungguhnya merupakan perwujudan tembuni (ari-ari ikä pâwakanta), sehingga sang Ätma terlepas dari ancaman. Setelah itu, sang Ätma dihadang oleh raksasi Sirsa (ri hnu n sang ätma pinepetân raksasi sirsa). Akan tetapi, sang Ätma dapat menjinakkan raksasi Sirsa karena sang Ätma mengetahui

rahasia bahwa raksasi Sirsa itu sesungguhnya merupakan perwujudan sinar rahim ibu (téja ning bhagawäsa kita tämoli). Ancaman berikutnya adalah harimau merah (katemu sira ri wyäghrâbang méta). Sang Ätma pun mengetahui rahasia harimau merah itu, yakni sebagai perwujudan darah ibu sewaktu ibu melahirkan (kita mungguh rï rah rénangku). Setelah itu, sang Ätma diancam oleh srigala hitam (hana sambra hireng katon mangsö). Sang Ätma dapat menaklukkan srigala itu karena ia mengetahui rahasianya, yakni sebagai perwujudan air ketuban (yéh ñom ika pâwakanta ngüni). Selanjutnya, sang Ätma dihadang oleh Bhutakala (kaléka dateng bhütakala). Akan tetapi, sang Ätma dapat menjinakkannya dengan memberikan upah berupa sajen (hanêkä saji cumadang hanêngkana). Setelah itu, sang Kala Catur datang mengancam sang Atma (wantön kala catur wéga mangsö). Sang Ätma dapat menaklukkanya karena ia mengetahui rahasianya, yakni sebagai perwujudan Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja. Rahasia tersebut dijelaskan pada bait 55—59 pupuh III. Secara mimetik, keseluruhan bait pada pupuh III berarti dalam menempuh perjalanan (paran) untuk mencapai suatu tujuan (paran), manusia akan menemui ancaman atau rintangan.

Rintangan demi rintangan dapat dilalui oleh sang Ätma, pada prinsipnya, karena sang Ätma mengetahui (wruh) berbagai ilmu (aji) yang dapat menying tabir rahasia itu. Pengetahuan mengenai berbagai ilmu kerohanian, khususnya ilmu kelepasan (aji kalepasan) telah mengantarkan sang Ätma memasuki pintu gerbang alam Isana, yakni sorga Dewa Isana (winaksân ri isanaloka). Sang Ätma disambut oleh para bidadari dan malini (rapwan sang warâtma sinongsong, dé nikang apsarä mwang mälinï). Tampaknya, kebahagiaan telah datang menyambut sang Ätma. Secara mimetik, bait-bait pada pupuh IV menjelaskan suasana kebahagiaan itu. Para bidadara dan bidadari menjemput sang Ätma dengan tandu emas. Kebahagiaan itu pun tidak membuat sang Ätma takabur atau lupa diri. Sang Ätma tetap sadar akan dirinya, merasa tidak tahu apa-apa (huluniki tatan awruh lwir ling ing sastra ucca, IV. 8c), merasa sangat kerdil di hadapan kekuasaan Tuhan Yang Mahabesar. Hal ini secara mimetik dijelaskan pada bait-bait pupuh V. Kesadaran diri itu pun telah mengantarkan sang Ätma untuk memasuki kebahagiaan tertinggi, kedamaian abadi sebagai tujuan hidup yang luhur (unggwan sudwiya sêstu uccêng sapäran), yang secara mimetik terbaca pada bait-bait pupuh VI.

  • 2.2    Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)

Sebagaimana telah diungkan di depan, pembacaan hermeneutik (retroaktif) adalah pembacaan berdasarkan kompetensi kesastraan. Menurut Riffaterre (1978: 5—6), dalam tataran pembacaan hermeneutik, pembaca mengadakan interpretasi kedua (a second interpretation), satu interpretasi lagi setelah pembacaan heuristik, yakni hasil pembacaan heuristik dapat direvisi, diulas kembali guna memperoleh satuan makna berdasarkan satu pemahaman bahwa puisi merupakan sebuah satuan bersifat struktural. Oleh karena itu, pembaca melakukan pembacaan secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian, dan seterusnya (retroaktif)

(lihat juga Faruk, 1996: 29). Berdasarkan pandangan di atas, berbagai tataran dalam , seperti tataran aksara, kata atau kelompok kata dipahami sebagai satu satuan semantik.

  • a)    Tataran Aksara

Teks Kakawin Aji Palayon dimulai dengan aksara Sa (saparan ing). Aksara Sa merupakan salah satu aksara suci Pañcabrahma. Aksara suci Pañcabrahma terdiri atas Sa-Ba-Ta-A-I, seperti tersebut di atas. Aksara suci itu berhubungan dengan filsafat Hindu, terutama aliran Siwa (Bagus, 1988: 68). Aksara Sa tidak hanya bersifat artifisial, melainkan mengandung makna yang sangat luas. Aksara Sa merupakan singkatan dari Sadhyojata, yakni nama Dewa Penguasa Alam Timur (Dewa Iswara), yang bersenjata Bajera, bersinar putih, dengan neptu 5, dan di dalam tubuh manusia bersemayam di jantung. Aksara Ba merupakan singkatan dari Bamadéwa, yakni Dewa Penguasa Alam Selatan (Dewa Brahma), bersenjata Gada, bersinar merah, neptu 9, dan di dalam tubuh manusia bersemayam di hati. Aksara Ta merupakan singkatan dari Tatpurusa, yakni Dewa Penguasa Alam Barat (Dewa Mahadewa), bersenjata Nagapasa, bersinar kuning, neptu 7, dan di dalam tubuh manusia bersemayam di ginjal. Aksara A merupakan singkatan dari Aghora, yakni Dewa Penguasa Alam Utara (Dewa Wisnu), bersenjata Cakra, bersinar hitam, neptu 4, di dalam tubuh manusia bersemayam di empedu. I merupakan singkatan dari Isana, yakni Dewa Penguasa Alam Tengah (Dewa Siwa), bersenjata Padma, bersinar lima warna, neptu 8, di dalam tubuh manusia bersemayam di tumpukan hati (lihat Medera, 1995: 13—14; Tonjaya, t.th.b : 9—12; Gautama, 1985: 18—19; Rubinstein, 1988: 72;).

Di dalam Jnanasiddhanta dijelaskan bahwa apabila aksara suci Panca-brahma disusun menurut urutan Sa-Ba-Ta-A-I itu menyimbolkan “kehadiran” (sthiti) (Haryati-Soebadio, 1985: 211). “Kehadiran” dalam hal ini dimaksudkan kehidupan. Sejalan dengan itu, boleh jadi, aksara Sa yang mengawali teks merupakan tanda yang mengandung makna “segala kehadiran akan berakhir dengan kelenyapan” (sakwéh ing hana wasäna sanghara), segala kehidupan akan berakhir dengan kematian (kabéh ing mahurip mawastu hantu). Kecuali itu, aksara Sa melekat pada kata para. Apabila kata para dipahami sebagai salah satu bagian dari sadamsa (enam bagian dalam ajaran Mahavindu, yaitu nivriti, pratisthä, vidyä, sänti, para, dan apara) (lihat Haryati-Soebadio, 1985: 21, 135—139), terutama dalam oposisinya dengan apara yang menunjukkan hubungan arti sakala-niskala (tampak-tidak tampak, bawah-atas), maka kehidupan (sthiti) atau keberadaan yang tampak (sakala) akan menuju ke keberadaan yang tidak tampak (niskala). Boleh jadi, di sinilah letak pokok persoalan yang ingin disampaikan penyair sehingga penyair memulai teksnya dengan aksara Sa melekat pada kata para sebagai simbol “kehadiran” (sthiti) dan selanjutnya menuju “kelenyapan” (pralïna). Dengan kata lain, kematian (palayon) atau “kelenyapan” (sanghara) merupakan akhir atau kelanjutan dari “kehadiran” (sthiti) atau kehidupan (hurip). Kematian (palayon) atau pelenyapan (sanghara, pralïna) merupakan hal yang dituju (saparan) dari suatu kehadiran (sthiti) atau

kehidupan (hurip). Proses kehadiran atau kehidupan menuju ke pelenyapan atau kematian, atau proses dari sthiti ke pralina, pada manusia ditandai oleh terlepasnya jiwa (Ätma) dari raga manusia (metu sangkêng kurunganya). Tempat yang dituju (saparan) jiwa (Ätma) setelah melepaskan diri dari raga adalah Kahyangan, sebab Atma memang berasal dari Kahyangan (ri parhyangan unggwan i sang waratma). Dengan kata lain, setelah Atma melepaskan diri dari raga akan menuju sorga (swargaloka) atau alam nirwana (moksapada), yakni alam Dewa Isana (Isanaloka). Proses dari sthiti ke pralïna itu disimbolkan dengan urutan aksara suci Pancabrahma: Sa-Ba-Ta-A-I; A-Ta-Sa-Ba-I. I (Isana, Siwa) merupakan tujuan akhir sang Ätma. Ätma lebur dalam Siwa (nunggälaken jiwita ätma ri päramâtma) (lihat Haryati-Soebadio, 1985: 211).

Jalan (paran) dari sthiti ke pralïna pada hakikatnya adalah perjalanan (anulwihaken saparan) dari Sa ke I untuk dapat menunggal (nunggala-ken) denganNya. Penunggalan Atma dan Paramatma merupakan tujuan luhur (ucceng saparan). Boleh jadi, konsep Sa ke I (sthiti/hurip ke pralina/palayon, kehadiran/kehidupan ke pelenyapan/kematian) inilah menyebabkan penyair memulai teksnya dengan aksara suci Sa.

Aksara Ah, lh, Uh, dan Aih yang diucapkan oleh sang Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja merupakan bentuk penyimpangan arti (distorting of meaning), berupa nonsense. Oleh karena itu, bentuk-bentuk itu bukan sekadar gabungan huruf, melainkan mengandung makna magis. Aksara Ah-Ih-Uh-Aih merupakan Aksara Modré yang menyimbol perwujudan pretiwi (tanah), apah (air), téja (panas), dan bayu (angin) (lihat Tonjaya, t.th.a: 66).

  • b)    Tataran Kata dan Kelompok Kata

Kalimat warong hulunyahireng ’barong berkepala hitam’ merupakan bentuk metafora untuk jasad (mayat). Demikian pula, kata kurungan, mahakurungan dan maharungki merupakan metafora untuk raga. Metafora ini baru bermakna apabila dioposisikan dengan sang Ätma (jiwa), maupun dikombinasikan dengan metonimi-metonimi, seperti hanar mangke kawasamesat ’kini baru dapat melesat’, dan kala ning metu sangkeng kurunganya ’manakala keluar dari raganya’. Kedua metonimi itu mengandung maksud “kematian”. Metonimi “kematian” itu masih dipertegas oleh metonimi lain, yakni kalä duskreta pañcêndriya ‘manakala kelima indera lenyap’, dan metonimi kasarpa ning manah huwus linebur ‘racun pikiran telah dilebur’. Kedua metonimi terakhir berfungsi mempertegas identitas “kematian”, yakni “kematian sempurna”. Oleh karena itu, kombinasi metafora dan metonimi itu memperjelas gambaran angan “kematian” (palayon). “Kematian, pada hakikatnya, ditandai oleh perpisahan jiwa (Ätma) dengan raga (kurungan). Presuposisi dari “kematian” (palayon) itu juga mengacu kepada “perjalanan sang Ätma” (saparan), “menuju tujuan” (änulwihaken säparan), yakni “tujuan luhur” (uccêng sapäran) untuk “menunggal dengan Paramâtma” (nunggälaken jiwita ätma ri päramâtma). Dalam menempuh perjalanan (paran) untuk mencapai tujuan itu (paran), ada

sejumlah rintangan (pangadang-adang). Rintangan-rintangan itu dapat diatasi apabila seseorang memiliki pengetahuan (wruh ing aji) yang dapat mengungkap tabir rahasianya.

Kata-kata “buaya” (waräwuhaya), “raksasi Sirsa”, “harimau merah” (wyaghrâbang), dan “srigala hitam” (asu hireng, sambra hireng, wreka kresna); Bawal, Mrajasela, Badmoti, Badpamyad; Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja merupakan metafora untuk “nyama catur” (empat saudara), yang pada hakikatnya merupakan simbol dari ari-ari, lendir rongga rahim, darah, air ketuban; atau api (päwaka), angin (bayu), air (jala), dan tanah (pretiwi). Metafora itu akan bermakna dalam oposisinya dengan sang Ätma atau sang Tutur. “Tutur” juga merupakan metafora untuk pribadi sebagai tempat ‘ingatan’, yakni bagian manusia yang terdalam, tempat sang dewa bersemayam dalam bentuknya yang immaterial (lihat Zoetmulder, 1985: 213). Kecuali itu, “candi perak di timur” (präsäda rajata ri purwa), “candi tembaga di selatan” (präsäda tambaga ri daksina), “candi emas di barat” (präsäda kañcana ri pascima), “candi besi di utara” (präsäda wesyana ri uttara), dan “candi manikam di tengah-tengah” (mérü manï arunakanta kunang ri madhya) merupakan metafora arah mata angin, karakter, warna, maupun dewa pelindung (lihat Needham, 1979: 13). Metafora-metafora itu menyimbolkan kesatuan mikrokosmos (unsur tubuh manusia) dan makrokosmos (unsur alam semesta), yakni unsur mikrokosmos merupakan bagian makrokosmos, dan unsur-unsur makrokosmos terkandung dalam mikrokosmos. Manusia tidak dapat dilawankan dengan alam semesta, justru sebaliknya, manusia merupakan ‘bagian‘ integral dalam dunia. Manusia secara paling intens ikut menentukan mutu dunia, dan dunia mendapat artinya yang paling mendalam dari adanya manusia (lihat Bakker, 1995: 64). Oleh karena itu, unsur mikrokosmos (tubuh manusia) patut dikembalikan ke asalnya (makrokosmos), dengan jalan membuat upacara ngaben atau pembakaran jenazah (binasmi kurunganya).

  • 2.3    Matriks dan Model: Sangkan dan Paran

Riffaterre (1978) menjelaskan bahwa atas dasar konsepsi kesatuan semiotik, pada tingkat signifikasi tertinggi, segala sesuatu dalam karya sastra merupakan varian kata atau kalimat orisinal. Karya sastra merupakan hasil transformasi kata atau kalimat itu ke dalam teks. Kata atau kalimat itu merupakan inti atau matriks. Matriks merupakan tuturan minimal dan harafiah (a minimal and literal sentence) yang ditransformasikan ke dalam parafrase lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks mungkin juga dilambangkan dalam satu kata. Akan tetapi, kata itu tidak muncul dalam teks, melainkan diaktualisasikan dalam varian. Bentuk pertama yang dikuasai oleh matriks itu adalah model. Model ini berkembang lebih jauh menjadi teks. Matriks, model, teks adalah varian dari struktur yang sama (lihat Culler, 1981: 105—106).

Matriks dalam Kakawin Aji Palayon adalah “sangkan” ‘asal’. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan pertimbangan segala sesuatu di dalam teks dikembalikan ke

asalnya. Varian-varian yang menandai matriks itu, antara lain : muliha ‘kembalilah’, sakwéh ing hana wasäna sanghara ‘segala yang ada kembali ke ketiadaan’, sahana ning panas atemahan atis ‘segala panas kembali ke kesejukan’, kabéh ing mahurip mawastu hantu ‘segala kehidupan kembali ke kematian’. Tokoh utama sang Ätma kembali ke asalnya, yakni Kahyangan. Tokoh-tokoh lain, seperti buaya, raksasi Sirsa, harimau merah, srigala hitam, sang Bawal, Mrajasela, Badmoti, Badpamyad, sang Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja, sang Surâtma, Jogormanik, Mahakala, Dorakala dikembalikan ke asalnya, yakni ke “nyama catur”. Jasad pun dikembalikan ke asalnya, yakni ke api (päwaka), angin (bayu), air (jala), dan tanah (pretiwi) melalui pembakaran (binasmi). Satuan-satuan naratif yang lebih kecil, seperti asir, näyaka, dharmasästra, düta, präyana, nagara, arkôdaya, salïlakrïda, nayakäbhyudaya, udyänakrïda, redhimat maupun upacara, susila, tattwa dari teks Kakawin Aji Palayon adalah dalam rangka “sangkan”. Oleh karena itu, teks itu pun harus dikembalikan ke sangkan-nya (hypogram-nya) untuk mendapatkan maknanya.

Matrikssangkan” ’asal’ diaktualisasikan dan dikembangkan dengan model “paran”. Kata paran sendiri memiliki banyak arti, yaitu: objek, tujuan, tempat yang dituju, tempat yang menjadi sasaran; jalan, perjalanan, daerah asing, luar negeri; perjalanan terakhir (Zoetmulder, 1995: 760). Sejumlah arti kata paran itu juga menunjuk kepada presuposisinya. Akan tetapi, dalam kasus ini kata paran itu lebih mengacu pada arti perjalanan dan tujuan.

Teks mulai dengan kejadian perpisahan (kalepasan) jiwa (Ätma) dengan raga (kurungan). Setelah itu, sang Ätma menempuh perjalanan (paran) menuju ke asalnya (sangkan) untuk menunggal dengan-Nya (nunggalaken), Ätma menunggal dengan Paramâtma. Di sini terlihat adanya oposisi-oposisi, seperti perpisahan (kalepasan) × persatuan (nunggalaken), jiwa (Ätma) × raga (kurungan), Ätma × Paramâtma; paran × sangkan”. Akan tetapi, kedudukan oposisi-oposisi itu dipandang fungsional, merupakan suatu bentuk signifikasi (lihat Makaryk, 1993: 511). Matriks “sangkan” diaktualisasikan melalui oposisinya dengan model “paran”. Di satu sisi, tampak matriks “sangkan” beroposisi dengan model “paran”. Namun, di pihak lain, matriks “sangkan” akan menunjukkan kesatuannya dengan model “paran”, yakni “sangkan” ’asal’ pada hakikatnya adalah juga “paran” ’tujuan’ itu sendiri. Akan tetapi, justru dalam oposisi matriks “sangkan” dan model “paran” itulah terletak makna . Teks adalah dalam rangka “sangkan-paran”. Perpisahan (kalepasan) jiwa (Ätma) dan raga (kurungan, rungki) adalah dalam rangka sangkan dan paran. Sementara itu, perjalanan (paran) Ätma menuju ke asalnya (sangkan) untuk menunggal dengan-Nya (nunggalaken) adalah juga “paran”. Oleh karena itu, “sangkan”, pada gilirannya dapat dipahami sebagai “paran”. Hal itu tidak dapat dipisahkan (ika kabéh tatar kena pinasahan).

  • 2.4    Hipogram

Seperti telah disebutkan di depan, menurut Riffaterre (1978), hipogram dapat dibedakan atas hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial itu

meliputi presuposisi dan sistem deskriptif. Hipogram aktual itu berupa teks-teks lain yang telah ada sebelumnya, seperti mitos-mitos atau karya sastra lainnya yang telah dikenal masyarakat.

  • 2.4.1    Hipogram Potensial

Berdasarkan tahapan pemaknaan di atas dapat dijelaskan makna Kakawin Aji Palayon adalah asal (sangkan). Kematian (palayon) pada prinsipnya adalah sebuah perpindahan atau perjalanan (saparan) jiwa untuk menuju ke asal (sangkan). Proses perjalanan (saparan) jiwa menuju ke asal (sangkan) itulah diamanatkan (aji) oleh penyair, dituangkan lewat karya berjudul Aji Palayon, dalam bentuk kakawin. Di sekitar makna pusat itu, ada sejumlah presuposisi dan sistem deskriptif yang tampak mempertegas dan memperjelas makna pusat tersebut, sebagai berikut.

  • a)    Kematian Raga dan Kelanggengan Jiwa (Ätma)

Dalam Kakawin Aji Palayon dijelaskan bahwa jiwa diselimuti oleh lima nafsu (pañcêndriya). Kelima nafsu itu menjadi racun pikiran (kasarpa ning manah) yang menyebabkan kegelapan (citta-n manira ardha mapeteng). Kelima nafsu (pañcêndriya) dan racun pikiran (kasarpa ning manah) yang menimbulkan kegelapan itu hanya dapat dilebur oleh kekuatan sepuluh aksara suci (dasâksarôttama), ilmu Kalepasan (mwang aji kalepasan), dan peruwatan (rinesikan), serta percikan air suci dari seorang pendeta agung (tinitisan tirthanirmala). Setelah kelima nafsu, racun pikiran, dan kegelapan itu dilenyapkan (kala duskreta), barulah jiwa (jiwâtma) dapat keluar dari jasmani (metu sangkêng kurunganya), melepaskan diri dengan badan (kawasâmesat). Apabila jiwa (jiwâtma) meninggalkan raga, maka raga itu akan mati dan hancur. Akan tetapi, jiwa (jiwâtma) tidak akan mati. Jiwa (jiwâtma) yang kekal itu akan menuju sorga atau neraka, sesuai dengan karma wäsanä-nya di dunia (bdk. Parisada Hindu Dharma, 1978: 26). Dalam Bhagawadgita dijelaskan bahwa perpisahan jiwa (jiwâtma) dengan raga diibaratkan seperti “orang berganti pakaian”.

Väsämsi jïrnani yathä vihäya, naväni grhnäti naro paräni, tathä sarirani vihäya jïrnäny, änyani samyäti naväni déhï (Bhagawadgita II. 22).

Terjemahannya:

Sebagaimana halnya seseorang menanggalkan bajunya yang telah dipakai dan menggantikannya dengan yang baru, demikian pula halnya jiwatman meninggalkan badan yang telah dipakai dan memasuki jasmani yang baru.

“Orang” adalah simbol hakikat Ätma/Purusa yang tetap hidup dan “pakaian” merupakan simbol hakikat badan yang ditinggalkan yang pasti akan lapuk (Pudja, 1984: 41—42). Demikianlah jiwa (jiwâtma) itu kekal sedangkan raga selalu berubah-ubah dan pada akhirnya akan mati, lenyap dari keberadaannya.

  • b)    Kemanunggalan Alam Semesta (Makrokosmos) dan Raga (Mikrokosmos)

Bakker (1995: 28—29) menyebutkan bahwa manusia menjadi bagian dunia (alam semesta) dan di dalam manusia didapati pokok keduniawian. Oleh karena itu, hubungan manusia dan dunia (alam semesta) terwujud dalam satu-kesatuan, baik kesatuan objektif maupun kesatuan formal. Manusia hanya menemukan diri hanya dalam korelasinya dengan manusia lain dan dengan dunia (alam semesta). Refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh merupakan refleksi atas dunia (alam semesta). Hanya manusia yang bertanya mengenai dunia (alam semesta) dan hanya manusia sungguh-sungguh mempunyai proyek tentang dunia (alam semesta). Dengan kata lain, hanya manusialah yang berhubungan dengan dunia (alam semesta) secara sadar. Manusia tidak dapat dilawankan dengan dunia (alam semesta). Manusia merupakan bagian integral dalam dunia (alam semesta). Dunia (alam semesta) mendapatkan artinya yang paling mendalam dari adanya manusia. Dunia (alam semesta) sungguh-sungguh menjadi dunia (alam semesta) justru karena adanya manusia, dan kehadiran manusia membuat dunia (alam semesta) menjadi manusiawi. Sebaliknya, manusia baru menjadi manusia pada tataran manusia menjadi bagian dunia (alam semesta). Manusia dan dunia (alam semesta) baru mencapai dimensi bulat-total justru dalam kesatuan mereka (Bakker, 1995: 64).

Konsep kesatuan alam semesta (makrokosmos) dan raga manusia (mikrokosmos) tampak teraktualisasikan dalam teks Kakawin Aji Palayon. Hal itu dapat dipahami berdasarkan pemahaman ungkapan-ungkapan, seperti muliha kita ri päwaka, rï bäyu jala mwang pretiwï ‘kembalilah kau ke api, angin, air, dan tanah’. Setelah muliha ‘kembalilah’ kepada unsur-unsur asalnya itu, unsur-unsur itu akan kembali lagi dari asalnya (meu saking pretiwï) dan menyusup ke segala tumbuh-tumbuhan (rï tarulata umawésa) — entah di tunas daun, daun, buah maupun akar (saking sinwäm rwan phala müla) — dan kemudian menyusup ke perut manusia (anusupa kitêng garbha). Setelah berada di dalam perut (berupa makanan yang dimakan manusia, minuman yang diminum, atau panas yang dicerap, dan udara yang dihirup manusia) akan menyusup ke seluruh tubuh manusia (saking udarâtama ring angga) menjadi sumber kehidupan (anadyâmreta añjiwani), bersatu dengan seluruh organ tubuh manusia (asmara bhäga ning angga), melahirkan kekuatan atau tenaga sempurna (angdéya sampürna ning bäyu). Kata muliha ‘kembalilah’ memberikan indikasi adanya hubungan asal-usul, hubungan kesatuan antara raga (sang mahäraga-raga) dan alam semesta.

  • c)    Kemanunggalan Ätma dengan Paramâtma

Ätma merupakan percikan kecil dari Tuhan (Paramâtma). Akan tetapi, persatuan Ätma dengan jasmani menimbulkan kegelapan (awidya). Ätma yang tunggal dan sempurna menjadi Jiwâtma-jiwâtma yang mulai terpengaruh oleh ikatan duniawi. Pada tataran inilah Jiwâtma-jiwâtma atau jiwa-jiwa individual masing-masing merupakan modi (cara penampakan) Brahma (Paramâtma), monada-monada yang tidak terhingga jumlahnya, sama satu dengan yang lain, seluruhnya rohani, tidak dapat berubah, citra-citra Tuhan yang juga memiliki Sat (Ada yang abadi), Cit (Pengetahuan abadi), Ananda (Kebahagiaan abadi) (lihat Zoetmulder, 1990: 76).

Jiwâtma dipengaruhi oleh karma dan hasil perbuatannya di dunia ini yang disebut karmawasana. Karmawasana itu melekat pada Jiwâtma dan mewarnai Jiwâtma. Oleh karena itu, Jiwâtma tidak selalu dapat kembali ke asalnya, yaitu Paramâtma. Dengan kata lain, Jiwâtma mungkin masuk sorga apabila karmawasana-nya baik, atau sebaliknya masuk neraka apabila karmawasana-nya buruk, atau harus lahir kembali ke dunia (punarbhawa) dalam berbagai bentuk kelahiran (bdk. Wrehaspatitattwa, 2). Dalam teks, konsep ini diaktualisasikan dalam perlambangan prasada sebagai tempat para Ätma yang baik dan kawah (malwa naraka), ladang penyiksaan (panangsaran), pohon keris (kadga tahen), pohon bambu (petung), maupun jurang terjal (jurang madalem) sebagai tempat penyiksaan Ätma yang jahat (lihat Kakawin Aji Palayon, Pupuh VI, Bait 7—11).

Jiwâtma dapat kembali menyatu dengan Paramâtma apabila telah melepaskan diri dari ikatan keduniawian (maya). Sebagaimana dijelaskan dalam teks Kakawin Aji Palayon, Ätma baru dapat dengan sempurna melepaskan diri dari raga manakala seluruh nafsu indria dan racun pikiran sebagai maya telah dilebur (kalä duskretä pañcêndriya, kasarpa ning manah wus linebur) oleh kekuatan gaib pengetahuan suci (dé nikang dasâksarôttama, mwang aji kalepasan). Persatuan kembali antara Jiwâtma dengan Paramâtma disebut moksa. Pada tataran moksa, Brahma (Paramâtma) dan Ätma adalah tunggal (Brahma ätma aikyam) (Mantra, 1983/1984: 7). Dalam moksa itu pula Ätma akan menemukan kembali identitasnya semula yang berupa Sat (Ada yang abadi), Cit (Pengetahuan abadi), dan Ananda (Kebahagiaan abadi). Menurut Brihad Upanisad, pada tataran moksa Ätma adalah Brahma, Aku adalah Brahma (Aham brahmâsmi) (lihat Zoetmulder, 1990: 59). Oleh karena itu, moksa merupakan tujuan akhir dari kehidupan umat Hindu. Teks Kakawin Aji Palayon tampak menegaskan tujuan terakhir (uccêng sapäran) dari kehidupan ini, yaitu berupaya menunggalkan Ätma dengan Paramâtma (nunggaläken jiwita ätma ri paramâtma) untuk mencapai kebahagiaan abadi (änanda).

  • d)    Jalan Kemanunggalan Ätma dan Paramâtma

Keinsyafan akan tunggalnya Jiwâtma yang ada di dalam diri setiap manusia dengan Jiwâtma semua manusia atau semua makhluk dapat memunculkan hasrat untuk beramal saleh terhadap sesama. Amal saleh dan kebajikan untuk kesejahteraan semua makhluk disebut dharma. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawritimarga (Mantra, 1983/1984: 9). Dalam prawritimarga tercakup sejumlah jalan berupa aktivitas, tingkah laku, atau praktik-praktik keagamaan berdasarkan dharma dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana disebutkan dalam Wrehaspatitattwa bahwa dharma itu meliputi sila (melakukan perbuatan baik), yajña (melakukan upacara kurban), tapa (membunuh nafsu indria), dana (memberi sedekah), prawrajya (pendeta bijaksana), bhiksu (melakukan upacara penyucian diri), yoga (melakukan semadi) (Mirsha, 1994: 39).

Prawritimarga dalam teks Kakawin Aji Palayon teraktualisasikan dalam bentuk yajña, berupa kurban suci untuk roh atau disebut pitrayajña. Pada bagian awal teks dijelaskan jenis-jenis sesajen yang dipersembahkan kepada Ätma serta beberapa aktivitas keagamaan, seperti pembacaan (pelaguan) teks-teks suci yang berhubungan dengan kematian (aji palayon) dan pembuatan api pemujaan (lihat Kakawin Aji Palayon, Pupuh I, Bait 15—20). Kecuali itu, prawritimarga juga teraktualisasikan dalam tindakan tokoh utama sang Ätma yang sudharma, susila, susatya, sukirti, karuna, asih sebagaimana disinggung di depan. Boleh jadi, tindakan-tindakan terpuji itulah yang disebut prawritimarga dalam teks Kakawin Aji Palayon sebagai sugatinta mawat ihatra ‘tindakanmu yang baik ketika di dunia ini’ (lihat Kakawin Aji Palayon, Pupuh VI, Bait 13). Tindakan-tindakan terpuji itu akan mengantarkan Ätma menuju sorga, menunggal dengan Paramâtma. Penunggalan Ätma dan Paramâtma itu disebut moksa. Jalan moksa itu dinamakan niwritimarga (Mantra, 1983/1984: 9). Dalam teks Kakawin Aji Palayon, jalan moksa (niwritimarga) diaktualisasikan dalam caturyoga atau caturmarga (lihat Kakawin Aji Palayon, Pupuh VI, Bait 13—15). Oleh karena itu, ada dua jalan penunggalan Ätma dengan Paramâtma, yaitu prawritimarga dan niwritimarga.

  • 2.4.2    Hipogram Aktual

Pada prinsipnya, baik Kakawin Aji Palayon maupun Putrupasaji sama-sama memuat kisah perjalanan Ätma ke sorga. Kedua teks tersebut tampak mengaktualisasikan satu matriks, yakni “sangkan” ‘asal’ dari dua sisi model. Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa model dalam Kakawin Aji Palayon adalah “paran” ‘tujuan’. Sementara itu, model dalam Putrupasaji adalah ‘hakikat sesajen’ (putru pasaji). Oleh karena itu, kedua teks tampak saling berhubungan, entah berupa persambungan entah perpisahan. Hubungan kedua teks itu dapat dijelaskan melalui pencermatan bagian-bagian teks yang dapat dipahami sebagai varian-varian dari aktualisasi matrikssangkan” ‘asal’ dan model “paran” ‘asal’ atau putru pasaji. Kedua teks tersebut menyebutkan bahwa segala sesuatu akan kembali ke asalnya (sangkan) melalui perjalanan (paran). “Sangkan” ‘asal’ itu pada hakikatnya merupakan “paran” ‘tujuan’ dari segala sesuatu.

  • 3.    Penutup

Kakawin Aji Palayon merupakan tanda. Kecuali itu, sehubungan dengan konsepsi estetik yang berpadu erat dengan konsepsi religius dalam sastra kakawin umumnya, maka bahan material pun mempunyai makna. Dalam tataran ini, semua unsur Kakawin Aji Palayon merupakan simbol-simbol, atau sekurang-kurangnya unsur-unsur simbolis karena merupakan rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan-pandangan, abstraksi-abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat diindra, perwujudan-perwujudan konkret dari gagasan-gagasan, si-si, putusan-putusan, kerinduan-kerinduan, atau keyakinan-keyakinan (bdk. Geertz, 1992: 6). Oleh karena itu, segala sesuatunya mengandung makna. Berdasarkan

pemahaman dan penafsiran tataran aksara, Kakawin Aji Palayon dapat dikatakan mengandung makna kehadiran atau kehidupan (sthiti) menuju pelenyapan atau kematian (pralïna). Dengan mengikuti tataran aksara, khususnya aksara SA pada awal teks Kakawin Aji Palayon, dalam hubungannya dengan tataran kata atau kelompok kata, seperti metafora-metafora maupun metonimi-metonimi dapat dijelaskan bahwa matriks dan model dalam Kakawin Aji Palayon adalah “sangkan” ‘asal’ dan “paran” ‘tujuan’.

Matrikssangkan” sekaligus merupakan makna Kakawin Aji Palayon. Segala sesuatu yang ada akan kembali dan menuju ke asal (sangkan). Segala keberadaan akan berakhir dengan ketiadaan (sakwéh ing hana wasäna sanghara), segala bentuk kehidupan akan berakhir dengan kematian (kabéh ing mahurip mawastu hantu). Akan tetapi, jiwa manusia (Ätma) tidak dapat mati, melainkan tetap langgeng menunggal dengan asalnya (Paramâtma). Segala evolusi dan involusi, segala kejadian dan kelenyapan, hanya terjadi dalam alam, bukan dalam lingkungan jiwa (bdk. Zoetmulder, 1990: 76). Sehubungan dengan itu, segala sesuatu yang dideskripsikan penyair di dalam karya Kakawin Aji Palayon seolah-olah dapat dikembalikan ke asalnya masing-masing. Raga atau jasad orang (mikrokosmos) yang pernah dijiwai oleh sang Ätma dikembalikan ke asalnya (makrokosmos), yakni ke pañcamahäbhüta (tanah, api, air, angin, angkasa). Tokoh-tokoh yang merintangi perjalanan sang Ätma ke sorga dapat dikembalikan ke asalnya sebagai “nyama catur” (empat saudara). Tokoh utama sang Ätma pun kembali ke asalnya, yakni Paramâtma (Brahman) dan menunggal dengan-Nya. Dengan mengikuti tataran baca utama sang Ätma menuju ke asal dan kemudian menunggal dengan asalnya itu, maka dapat dikatakan bahwa asal (sangkan), pada gilirannya juga merupakan tujuan (paran). Asal (sangkan) adalah sekaligus tujuan (paran). Sejalan dengan itu, teks juga dapat dikembalikan ke asalnya, yakni ke hipogram-nya. Dalam “kemanunggalannya” dengan hipogram itulah, wacana “sangkan-paran” dalam teks Kakawin Aji Palayon dapat direbut maknanya secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R. O’G. 1990. Language and Power Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press, London.

Bagus, I G.N. 1988. “Aksara dalam Kebudayaan Bali: Suatu Kajian Antropologi”, Widya Pustaka, Th. VI, hlm. 64—77

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi. Kanisius, Yogyakarta.

Creese, H.M. 1981. “Subhadrâwiwâha : an Old Javanese Kakawin”. Ph.D Thesis.

Australian National University, Canberra.

______. 1991. “Surawîrya, Dewa Agung of Klungkung (c. 1722—1736): The Historical Context for Dating The Kakawin Pârthayâna”, BKI 147, pp. 402— 419.

______. 1994. “The Balinese Kakawin Tradition: A Preliminary Description”. Paper Dibawakan pada Simposium Internasional Memperingati Seabad Wafatnya van der Tuuk. Denpasar.

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs. Routledge & Kegal Paul, London.

Faruk. 1996. “Aku” dalam Semiotik Riffaterre, Semiotik Riffaterre dalam “Aku”, Humaniora, Nomor III, hlm. 24—33.

Gautama, Wayan Budha. 1985. Kidung Panca Yadnya. CV Kayumas, Denpasar.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama. Kanisius, Yogyakarta.

Haryati-Soebadio. 1985. Jñänasiddhânta. Djambatan, Jakarta.

Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. The Johns Hopkins Press, London.

Jirnaya, Ketut. 1992. “Kakawin Satrughna Sebuah Kajian Filologi”. Tesis S2. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Makaryk, Irena R. 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory. University of Toronto Press, Toronto Buffalo London.

Medera, I Nengah. 1995. “Makna Aksara dalam Kehidupan Masyarakat Bali”. Makalah dibawakan pada Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Yogyakarta.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai dkk., 1994a. Wrehaspatitattwa Kajian Teks dan Terjemahannya. Upada Sastra, Denpasar.

______. 1994b. Ganapatitattwa Kajian Teks dan Terjemahannya. Upada Sastra, Denpasar.

Needham, Rodney. 1979. Symbolic Classification. Goodyear Publishing Company, Santa Monica, California.

Paramartha, Komang. 1991. “Kakawin Singhalanggyala Sebuah Kajian Filologi”. Tesis S2. Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Parisada Hindu Dharma. 1978. Upadeça.

Partini-Sarjono Pradotokusumo. 1986. Kakawin Gadjah Mada. Binacipta, Bandung.

Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java I. Martinus Nyhoff, The Hague.

Pudja, G. 1984. Bhagawadgita (Pancama Weda). Cetakan ke-4. Mayasari, Jakarta.

Rahayu, Yosephin Ariastuti. 1995. “Kakawin Hariwijaya Analisis Struktur, Makna, dan Fungsi”. Skripsi Sarjana. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Indiana University Press, Bloomington and London.

Robson, S.O. 1972. “The Kawi Classics in Bali”, BKI 128, pp. 308—329.

Rubinstein, Raechelle. 1988. “Beyond The Realm of The Senses The Balinese Ritual of Kekawin Composition”. Ph.D. Thesis.The University of Sydney.

Tonjaya, I Nym. Gd. Bandesa K. t.th.a. Kanda Pat Bhuta. Toko Buku Ria, Denpasar.

_______b. Kanda Pat Sari. Toko Buku Ria, Denpasar.

________. c. Kanda Pat Rare. Toko Buku Ria, Denpasar.

Vickers, Adrian. 1982. “The Writing of Kakawin and Kidung on Bali”, BKI 138, pp. 492—493.

West, M.L. 1973. Textual Criticism and Editorial Technique. B.G. Teubner, Stuttgart.

Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha. Duta Wacana University Press, Yogyakarta.

_______. 1993a. “The Scriptoria in the Merbabu-Merapi Area”, BKI 149, pp. 503— 509.

_______. 1993b. “Puisi Jawa Kuno: Penciptaan dan Kaidah Estetis-nya”. Manusia dan Seni. Cetakan ke-7. Editor Dick Hartoko. Kanisius, Yogyakarta.

______. 1994. “Merbabu-Merapi Sebagai Wilayah Kajian”. Makalah Dibawakan pada Temu Ilmiah VIII Pengelola Studi Bahasa-Sastra-Budaya Jawa Tingkat Nasional di Surabaya.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan ke-2. Djambatan, Jakarta.

______. 1990. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Gramedia, Jakarta.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid 1 dan 2. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.