LINGUISTIKA

ATRISI MORFOLOGIS BAHASA INGGRIS PARA GURU SMU/SMK DI NTT

Mans Mandaru

Universitas Nusa Cendana, Kupang

Abstrak

Sejak masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah menetapkan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa asing yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan formal. Namun, setelah 6 tahun mempelajari bahasa Inggris di SMP dan SMA/SMK pencapaian para siswa, khususnya dalam Ujian Akhir Nasional, tetap tidak memuaskan. Berbagai faktor dituding sebagai penyebabnya dan salah satunya adalah faktor Kemampuan Guru. Kemampuan guru ini pada hakekatnya dipengaruhi oleh berbagai hal seperti latar pendidikan akademis, tingkat kefasihan berbahasa, tingkat keterpajanan (level of exposure) terhadap bahasa Inggris, dan keseringan menggunakan bahsa Inggris, dll. Salah satu faktor lain yang hampir tidak pernah dikaji adalah faktor ‘atrisi’ (menurunnya kemampuan) bahasa Inggris para guru.

Penelitian ini mencoba mengkaji fenomena atrisi bahasa Inggris ini khususnya di kalangan para guru bahasa Inggris yang mengajar di daerah-daerah terpencil. Pertanyaan utama yang ingin dicari jawabannya adalah: Sejauh mana bahasa Inggris para guru menunjukkan adanya pola atrisi bahasa? Oleh karena luasnya cakupan fenomena ini, kajian penelitian ini dibatasi hanya pada tataran atrisi morfologis saja.

Jenis penelitian ini adalah Cross-site Case Study dan dilaksanakan dengan rancangan gabungan longitudinal dan cross sectional. Elisitasi data dilakukan dua kali dengan tenggang waktu antara selama 6 (enam) bulan. Intrumen penelitian terdiri atas Wawancara, Mengarang Terpimpin, dan Tes Baku ‘Oxford Placement Test’. Analisis data menggunakan T-unit dalam wujud: jumlah kata yang diucapkan, jumlah ‘maze’ (ujaran yang tak bermakna), dan jumlah kesilapan morfologis yang terjadi. Selisih corpus antara dua masa elisitasi tadilah yang merupakan manifestasi tingkat atrisi bahasa.

Penelitian ini menemukan bahwa memang telah terjadi atrisi morfologis dalam tuturan bahasa Inggris para guru dengan urutan tingkat keparahan pada Pemarkah Plural, Pemarkah Tense, Pemarkah Komparatif, dan Pemarkah Posesif

Abstra

c

t

S i n c e

t h

e

i n d e p e n d e n

c e

t i

m e

t h

e

I n d o n e

s i

a n

g o


v e r n m e n t

h a s

d e c i d e d

t o

m a k e

E n g l i s h a s

o n e

o f


t h

e

c o m p u

l s o r y

s u b j e c t

s

i n

s c h o o

l s

.

H o w e v e r


a f t

e r

l e a r n i n g

i t

f o r

s i

x

y e a r s

i n

s e n i

o r

a n d


h i g h

s c h o o l

s

s t u d e n t

s

E

n

g

l

i

s h

a

c h i

evement especially in National Final Examination is still poor. This is due to various factors and one of them is the teachers’ competence. The competence in fact comprises many aspects such as teachers’ academic background, their level of language skill, their degree of language exposures, and still many others. Among those aspects, the ‘attrition’ of their English is never been touched. The current research tries to look at this phenomenon especially among those teachers who worked at remote areas. The main question to be answered is to what extend the teacher’s English shows the pattern of language attrition? Since the scope of the this kind of research is so wide, the recent study will only discuss the attrition of English in morphological level.

This research is a cross-site case study and was carried out using a combination of longitudinal dan cross sectional design. Data elicitation is carried twice with a lapse of six months between each. The corpus is analyzed using T-unit in terms of number of words uttered, number of ‘maze’, and number of morphological committed. The difference between the two data elicitations represents the level of language attrition.

Kata-kata kunci: Atrisi bahasa, Kedwibahasaan, Pemerolehan bahasa

  • 1.    Pendahuluan

Pada umumnya orang jarang menyadari bahwa ketrampilan berbahasa dan kefasihan penggunaannya dapat berubah bahkan menurun. Penurunan kualitas ketrampilan berbahasa dan sekaligus kualitas bahasa yang digunakan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dominasi bahasa ibu, frekwensi penggunaan bahasa itu sebagai alat komunikasi, apakah pengguna bahasa itu cukup terdedah (exposed) terhadap bahasa tertentu, seberapa banyak fungsi komunikasi yang menggunakan bahasa itu dalam masarakat, dll. Berkurangnya kemampuan berbahasa seseorang karena    faktor- faktor ini

dikenal dengan istilah “Atrisi Bahasa” (language attrition).

  • 2.    Masalah

Masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

  • 1)    Seberapa jauh bahasa Inggris para guru menampakkan gejala atrisi bahasa?

  • 2)    Bagaimana karakteristik atrisi morfologis bahasa Inggris itu?

  • 3.    Tujuan dan Cakupan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mencari tahu karakteristik atrisi bahasa Inggris para guru khususnya dalam bentuk penyimpangan penggunaan unsur morfologis dari kaidah bahasa standar.

Penelitian atrisi morfologis bahasa Inggris ini hanya mencakup unsur-unsur (i) Pemarkah Plural, (ii) Pemarkah Tenses, (iii) Pemarkah Komparatif, dan (iv) Pemarkah Posesif.

  • 4.    Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif ‘kasus cross-site’ dengan rancangan gabungan longitudinal dan cross-sectional. Hal ini ditempuh karena sifat penelitian atrisi bahasa yang membutuhkan pengamatan jangka panjang dan sekaligus pula ingin melihat perbedaan kualitas atrisi bahasa antara para guru yang berbeda tahun tamatnya.

Subjek penelitian ini adalah 14 orang guru bidang studi Bahasa Inggris yang telah memiliki masa kerja 0-9 tahun dan mengajar di beberapa kabupaten. Keduabelas guru ini dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan tahun tamatnya dan lokasi sekolah tempat mengajar. Untuk keperluan perbandingan karakteristik atrisi, para guru ini dibagi dalam 5 kelompok masing-masing: Kelompok I: 2 orang (K1, K2), Kelompok II 5 orang (K5,R4,R5,R6,R7), Kelompok III 3 orang (R3, S1, S5), Kelompok IV 2 orang (R1,R2), dan Kelompok V: 2 orang (S2,S4). Semua anggota kelompok berlatar-pendidikan S1 kecuali Kelompok V dari D3.

Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan Wawancara Semi-Terstruktur untuk mendapatkan kemampuan berbahasa lisan dan Tugas Mengarang Terpimpin untuk memperoleh data kemampuan bahasa tertulis. Pengumpulan data dilaksanakan dua kali dengan tenggang waktu anatara selama 6 bulan.

Pemerian kualitas bahasa dilakukan dengan menghitung selisih antara unit komunikasi (ujaran yang bermakna) dan ‘Maze’ (ujaran yang tidak merupakan bagian dari unit komunikasi) terhadap jumlah seluruh kata yang diucapkan antara elisitasi pertama dan kedua. Kadar atrisi morfologis dianalisis dengan menggunakan selisih jumlah bentuk menyimpang antara pemancingan data pertama dan kedua.

  • 5.    Konsep Atrisi

Fenomena berkurangnya atau bahkan kehilangan kemampuan berbahasa ini sebenarnya sudah lama diketahui dan dikenal dengan berbagai istilah seperti Language Loss (Pan & Gleason, 1986), Language Death (Dorian, 1986), Language Forgetting (Grosjen, 1982), Language Obsolenscence (Liddicoat, 1990) dan Language Disintergration (Seliger & Vago, 1991).

Atrisi bahasa ini baru dikenal sebagai bidang kajian tersendiri pada tahun 1980-an ketika Universitas Pennsylvania/USA menyelenggarakan suatu konperensi internasional tentang hal ini. Hasil komperensi ini kemudian dibukukan dengan judul The Loss of Language Skills hasil suntingan Lambert & Fred (1982) dan kemudian suatu komperensi internasional lainnya di Belanda pada tahun 1986 yang hasilnya dibukukan di bawah judul Language Attrition in Progress yang disunting Bert Weltens, dkk.(1986).

  • 5.1    Jenis Atrisi

Ada dua jenis utama Atrisi Bahasa (AB) yakni (i) yang bersifat patologis yang merupakan kajian bidang neurologi, neuropsikologi, atau neurolinguistik, dan (ii) Atrisi Bahasa yang bersifat alamiah yang dipelajari dalam pskolinguistik, glottochronologi, sosiolinguistik dan linguistik terapan.

  • (1)    Atrisi Patologis

Atrisi jenis ini dikenal di dunia kedokteran dan bersifat pathologis akibat kecelakaan atau benturan pada kepala seperti dalam kasus alexia (AB membaca), agrahia (AB menulis), atau aphasia transcortical gabungan (AB Berbicara & Pemahaman); Ilmu tentang gangguan patologis kemampuan berbahasa ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam Afasiologi dengan para bapak pencetusnya P. Broca dan C. Wernicke dan kemudian disusul oleh Lichtheim dan N. Geschwind. Para ahli ini kemudian melahirkan terori Lateralisasi yang membagi otak manusia menjadi dua bagian yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Selanjutnya, penyebab gangguan berbahasa dikelompokkan menjadi dua yaitu gangguan pada Medan Broca dan gangguan pada Medan Wernicke.

  • (2)    Atrisi Normal

Atrisi Bahasa dapat juga terjadi dalam situasi normal. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pajanan ataupun jarangnya penggunaan bahasa itu secara aktif dalam kehidupan sehari-hari, dan juga dalam kondisi kontak bahasa. Kondisi inilah yang sekarang dikenal dengan Kedwibahasaan

Pada situasi kedwibahasaan, misalnya, atrisi bahasa daerah dapat terjadi di daerah perkotaan tempat terjadinya kontak bahasa antara L1 (bahasa daerah) dan L2 (bahasa Indonesia). Hal yang sama dapat terjadi di daerah transmigrasi, di mana bahasa daerah asal kaum transmigran dapat mengalami degradasi karena kontak dengan ‘lingua franca’ yang digunakan. Kasus sejenis inipun sangat mungkin terjadi pada penutur bahasa Inggeris sebagai bahasa asing dalam kontak dengan bahasa Indonesia. Hal inilah yang merupakan objek kajian penelitian ini.

  • 5.2    Proses Atrisi

Ada (3) hipoptesis tentang proses atrisi ini yaitu (i) Hipotesis Regresi, (ii) Hipotesis Kognitif, dan (iii) Hipotesis Konseptual. Hipotesis regresi yang juga disebut hipotesis linguistik menyatakan bahwa “hal terakhir yang terakhir

dipelajari adalah yang pertama dilupakan” dan “yang dipelajari dengan baik akan paling akhir dilupakan” (Jacobson, 1968). Jordens, de Bota dan Trapman (1989) kemudian membatasi hipotesis ini hanya pada unsur linguistik yang berkembang secara bertahap dan teratur saja yaitu hanya pada tataran fonologi dan morfosintaksis saja.

Hipotesis Kognitif bertumpuh pada Teori ‘Subsumption’ Asubel (1956) yang mengatakan bahwa dalam proses atrisi alamiah, pembedaan kognitif tidak ikut hilang. Atau dengan kata lain, terdapat suatu jangka waktu di mana kefasihan berbahasa mencapai suatu tingkat tertentu, proses atrisi bahasa tidak terjadi lagi dan baru setelah 5-6 tahun kemudian proses atrisi mulai berlangsung mengikuti ‘kurva lupa tradisional’. Pandangan ini kemudian melahirkan konsep ‘masa inkubasi’ (Gardner, 1982; Lalonde & MacPherson, 1985), ‘ambang kritis’ (Neisser, 1984), ‘tataran awal’ ( Edwards, 1977; Schumans, van Os dan Weltens 1985; Weltens & van Els, 1986)

Hipotesis ketiga adalah hipotesis Konseptual (Gunnewiek, 1989) yang menyatakan bahwa proses atrisi pada hakekatnya adalah pembauran konsep antara L1 dan L2 karena kontak bahasa. Karena setiap bahasa mengkonsepkan realitas secara unik maka dalam kondisi kontak bahasa konsep-konsep itu saling bertabrakan dan terjadilah perubahan konsep.

  • 5.3    Wujud Atrisi Bahasa

Menurut Andersen (1982) terdapat tiga bidang utama yang merupakan tempat terwujudnya atrisis bahasa yaitu (i) Unsur kebahasaan, (ii) Proses, dan (iii) Realisasi.

  • (1)    Unsur kebahasaan yang sangat besar kemungkinan beratrisi misalnya yang berada di luar pengalaman (tidak pernah digunakan lagi), bermarkah,

rendah frekwensi penggunaannya, tidak lumrah, unik, bermuatan informasi rendah, bersifat kategoris, sinonim, tidak teratur, dll.

  • (2)    Proses terdiri atas Overgeneralisasi, Transfer, Analisis, dan Terlupa.

Termasuk di dalamnya Peminjaman, Parafrasa, Sirkumlokusi, Pengelakan, dll.

  • (3)    Realisasi atau akibat atrisi bahasa dapat terlihat dalam bentuk berkurangnya (i) jumlah butir kebahasaan yang digunakan, (ii) varitas, (iii) pembedaan, (iv) variasi serta meningkatnya kasus ketidak-gramatikalan, analisis, dan ketak-syahan.

  • 6.    Temuan dan Pembahasan

    • 6.1    Kualitas Bahasa

Kualitas bahasa lisan para guru dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada Elisitasi Kedua ada peningkatan mencolok dalam jumlah kata yang diucapkan para guru (240,32%) atau rata-rata setiap guru menggunakan 635.42 kata lebih banyak dari saat Elisitasi Pertama. Peningkatan ini juga terlihat pada penambahan Unit Komunikasi sebesar 195.47% atau 22.83 unit per guru.

Namun dilihat dari proporsi unit komunikasi terhadap jumlah seluruh kata yang diucapkan, hanya terlihat kenaikan 3% atau rata-rata 0,28% per guru. Kecilnya kenaikan ini menunjukkan bahwa hampir tidak terjadi peningkatan mutu bahasa Inggris para guru. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan peningkatan Maze yang mencapai 152% atau rata-rata kenaikan 10% pada setiap guru. Ini berarti, setelah 6 (enam) bulan, bahasa Inggris para guru lebih verbalisitis (banyak kata) tanpa dibarengi dengan peningkatan muatan informasi dan mengandung lebih banyak jedah, perulangan, perbaikan, atau kesalahan ucap.

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Kata, Unit Komunikasi, dan Maze Dalam Tuturan Lisan Para Guru

Inf

Jml.Kata

Jml.Ukom

Jml.Maze

Selisih Kata

Selisih

UnitKom

Selisih Maze

E1

E2

E1

E2

E1

E2

K1

684

1275

31

48

120

514

591

17

394

K2

299

2102

16

62

55

714

1803

46

659

K5

377

422

31

31

54

61

45

0

7

R5

742

910

30

36

175

291

168

6

116

R4

367

504

16

28

158

113

137

12

45

R6

181

727

12

39

73

269

546

27

196

R7

241

731

27

33

204

283

310

6

79

S1

299

405

16

32

100

103

106

16

3

R3

160

701

7

26

98

235

541

19

137

S5

229

797

15

44

52

216

568

29

164

R2

274

931

14

31

98

464

657

17

366

R1

708

1025

32

36

224

298

317

4

74

S2

448

1294

28

62

146

250

846

34

104

S4

245

1235

12

53

132

395

990

41

263

Jml

5434

13059

287

561

1689

4206

7625

274

2517

Rt

544,64

1088,25

23,92

46,75

140,75

305,50

%Sl

240.320

195,47

249,02

Keterangan: Inf = Informan; Ukom = Unit Komunikasi; Jml = Jumlah; Rt = Rata-rata; %Sl = Prosentase Selisih; E1 = Elisitasi Pertama; E2 = Elisitasi Kedua.

  • 6.2    Penyimpangan Bentuk-Bentuk Morfologis

    • 6.2.1    Dalam Tuturan Lisan

Karakteristik atrisi bahasa Inggris para guru dapat pula dilihat dari berbagai penyimpangan bentuk morfologis dalam bahasa para guru. Tabel 2 berikut ini meringkas jumlah bentuk-bentuk morfologis yang menyimpang dalam tuturan lisan para guru.

Tabel 2. Rekapitulasi Jumlah Penyimpangan Bentuk Morfologis Dalam Tuturan Lisan Para Guru

Inf

P. Jamak

P.Tense

P.Komp.

P.Pos.

Jmlh

Selisih

E1

E2

E1

E2

E1

E2

E1

E2

E1

E2

K1

1

0

1

1

0

0

0

0

2

1

-1

K2

0

8

2

7

0

0

0

0

2

15

13

K5

0

2

0

7

0

0

0

0

0

9

9

R5

2

4

5

2

0

0

0

0

7

6

-1

R4

0

3

0

2

0

0

0

0

0

5

5

R6

2

4

1

2

0

0

1

0

4

6

2

R7

2

0

2

3

0

2

0

0

4

5

1

S1

3

1

2

1

0

1

0

0

5

3

-2

R3

0

0

1

1

0

0

0

0

1

1

0

S5

3

3

0

3

0

0

0

0

3

6

3

R2

1

10

1

3

0

0

0

0

2

13

9

R1

0

2

4

2

0

1

0

0

4

5

1

S2

0

10

2

9

1

1

0

0

3

20

17

S4

0

10

1

6

0

2

0

0

1

18

17

Jml

15

57

23

49

1

7

1

0

40

113

73

Sls

42

26

6

-1

73

%Sls

57

35

8

Keterangan: Inf = Informan, P.Jamak = Pemarkah Jamak; P.Tense = Pemarkah Tense; P. Komp = Pemarkah Komparatif; P.Pos = Pemarkah Posesif; Jmlh = Jumlah; Rt = Rata-Rata; Sls = Selisih; E1 = Elisitasi Pertama; E2 = Elisitasi Kedua

Tabel 2 menunjukkan peningkatan penyimpangan bentuk morfologis dalam bahasa lisan para guru terutama pada Pemarkah Jamak (57%), disusul dengan Pemarkah Tense (35%), dan akhirnya pada Pemarkah Komparatif (8%). Sedangkan pada Pemarkah Posesif terdapat penurunan sebesar 1%.

Dilihat dari performansi individual, hanya informan K1, R5 dan S1 yang kurang menggunakan bentuk menyimpang pada elisitasi kedua, sedangkan pada informan lainnya terdapat perningkatan penggunaan bentuk menyimpang antara 1 s/d 17 bentuk.

  • 6.2.2    Dalam Bahasa Tulis

Penggunaan bentuk-bentuk morfologis yang menyimpang ini juga ditemukan dalam bahasa tulis para guru dengan jenis yang mirip namun dengan frekwensi yang jauh lebih rendah dari yang ditemukan dalam tuturan lisan.. Tabel 3 berikut ini akan menggambarkan hal ini.

Tabel 3. Rekapitulasi Jumlah Penyimpangan Bentuk Morfologis

Dalam Bahasa Tulis Para Guru

Inf

P. Jamak

P.Tense

P.Komp.

P.Pos.

Jmlh

Selisih

E1

E2

E1

E2

E1

E2

E1

E2

E1

E2

K1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

K2

1

1

2

1

0

0

0

0

3

2

-1

K5

0

0

0

2

0

0

0

0

0

2

2

R5

1

0

0

0

0

0

0

0

1

0

-1

R4

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

R6

3

0

0

0

1

1

0

0

4

1

-3

R7

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

S1

10

22

0

1

3

3

0

3

13

29

16

R3

0

0

1

0

0

0

0

0

1

0

-1

S5

0

1

0

0

0

0

0

0

0

1

1

R2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

R1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

S2

3

0

6

3

0

0

0

0

9

3

-6

S4

1

0

4

1

0

0

0

0

5

1

-4

Jml

19

24

14

8

4

4

0

3

37

39

2

Sls

5

-6

0

3

2

%Sls

26

-75

300

5

Keterangan: Inf = Informan, P.Jamak = Pemarkah Jamak; P.Tense = Pemarkah Tense; P. Komp = Pemarkah Komparatif; P.Pos = Pemarkah Posesif; Jmlh = Jumlah; Rt = Rata-Rata; Sls = Selisih; E1 = Elisitasi Pertama; E2 = Elisitasi Kedua

Tabel 3 ini menunjukkan bahwa gejala atrisi morfologis pada bahasa tulis semua guru cenderung menurun kecuali pada S1 yang menunjukkan jumlah kesilapan morfologis yang agak banyak.

  • 6.3    Contoh- Contoh Penyimpangan Bentuk Morfologis

Berikut ini akan disampaikan contoh-contoh bentuk morfologis yang menyimpang.

  • 6.3.1    Dari Bahasa Lisan

  • 1)    Pemarkah Jamak

  • (1)    We run the first ‘sanggar’ with eighteen *participant (S4i2)

  • (2)    Six *month later I was appointed as an assistant of ‘guru inti’ (S5i2)

  • (3)    They have to report if there is any *problems (S4i2)

Pada contoh (1) dan (2) penyimpangan terjadi karena penghilangan pemarkah jamak, sedangkan pada contoh (3) penyimpangan terjadi karena penambahan pemarkah jamak.

  • 2)    Pemarkah Tense

Pemarkah tense merupakan bentuk yang banyak sekali dibuat para guru. Contoh:

  • (1)    Finally I can *understands (K2i2)

  • (2)    The teacher just *give the topic (R1i1)

  • (3)    ... other teachers who are *invite to take a course (S4i2)

  • (4)    They didn’t *taught me (S5i2)

  • 3)    Pemarkah Komparatif

Kebanyakan penyimpangan bentuk pada pemarkah komparatif ini disebabkan kesalahan penggunaan. Contoh berikut memperjelas hal ini.

  • (1)    Their knowledge in teaching is very *less (S4i2)

  • (2)    Not *most average students try to speak English (R7i2)

  • 4)    Pemarkah Posesif

Hanya satu contoh penyimpangan Pemarkah Posesif yang ditemukan yaitu:

  • (1)    They depend on *school’s book (R6i1)

  • 6.3.2    Dari Bahasa Tulis

  • 1)    Pemarkah Plural

  • (1)    ... it lays close to one of the *corner of the house (K2c2)

  • (2)    There are thrre *man (S1c2)

  • (3)    Two sons help their *fathers (S2c1)

Contoh (1) dan (2) menunjukkan penghilangan pemarkah plural namun pada contoh (3) justru terjadi penambahan pemarkah plural yang tidak perlu.

  • 2)    Pemarkah Tense

  • (1)    Finally the woman *forgive them (K5c2)

  • (2)    They *bigen to get a good way to go (S1c2)

  • (3)    One boy *lit fire (S5c2)

Contoh (1) dan (3) menunjukkan penghilangan pemarkah tense, sedangkan pada kalimat (2) menunjukkan penggunaan pemarkah yang salah akibat kesalahan ejaan.

  • 3)    Pemarkah Komparatif

  • (1)    The fire is *bigger to light (S1c2)

  • (2)    The smoke of the fire was *more and more bigger (S1c2)

  • (3)    The fire tried to *flame more and more (R6c1)

Tiga contoh ini menunjukkan adanya interferensi bahasa Indonesia yang lazimnya menyatakan tingkat perbandingan dalam dua atau lebih kata seperti ‘semakin besar’ atau ‘semakin bertambah besar’.

  • 4)    Pemarkah Posesif

  • (1)    *Furnature’s name near the man is fry(ing)-pan (S1c2)

  • (2)    He was putting his two hands at * the back of him (S1c2)

Dua contoh ini menunjukkan penggunaan pemarkah posesif yang tidak pada tempatnya. Bentuk pertama (‘s) harus digunakan pada kondisi kedua dan sebaliknya.

  • 7.    Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa gejala atrisi memang terjadi pada bahasa Inggris para guru. Pada tataran morfologis, gejala ini lebih tampak pada tuturan lisan dengan urutan kadar atrisi pada Pemarkah Plural, Pemarkah Tense,

Pemarkah Komparatif, dan Pemarkah Posesif. Urutan ini juga tampak pada bahasa tulis walaupun dengan frekwensi yang jauh lebih rendah.

Gambaran yang lebih lengkap tentang seberapa jauh tingkat keparahan atrisi bahasa Inggris ini akan dapat diperoleh apabila dapat dilaksanakan suatu penelitian yang lebih luas cakupan dengan menjaring sebanyak mungkin guru bahasa Inggris dari lokasi yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, R.W. 1982. ‘Determining the Linguistic Attributes of Language Attrition’ in Lambert, R.D and Freed, B.F. (Eds) The Loss of Language Skills. Massachusetts: Newbury House Publishers, Inc.

Cohen, A.D dan Bert Weltens. 1989. Language Attrition: Studies in Second Language Acquisition. Vol.11 No.2 June 1989. Cambridge: CUP.

De Bot, K., Bert Weltens dan T. Van Els. 1985.Language Loss: Research in Progress. Neijmegen: Institute of Applied Linguistics: University of Neijmegen.

Mandaru, A.M. 1995. ‘Atrisi Bahasa’ dalam Guru Bahasa No. 1 Tahun I, JPBS Undana Kupang.

Olshtain, E. 1989. ‘Is Second Languange Attrition the Reversal of Second Language Acquisition?’ Studies in Second Language Acquisition, 11, 2. 151-165.

Pan, B.A. and Gleason, J.B. 1986. ‘The Study of Language Loss: Models and Hypotheses for an Emerging Discipline’ in Applied Psycholinguistics, 7, 3. 193-206.

Simanjuntak, M. 1991. ‘Neurolinguistik dan Afasiologi: Satu Kewujudan Kerjasama yang Saling Menguntungkan’ dalam PELBA 4, Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Smith, S.M.A. 1989. ‘Crosslinguisitic Influence in Language Loss’ dalam K. Hyltenstam dan L.K.Obler (Eds) Bilingualism Across the Lifespan: Aspects of Acquisition, Maturity, and Loss. Cambridge: CUP

Weltens, B. De Bot,K. & van Els,T. (Eds). 1986. Language Attrition in Progress. Doordrecht: Foris Publications.

Williamson, S.G. 1982. ‘Summary Chart of Findings from Previous Research on Language Loss’ in Lambert, R.D and Freed, B.F. (Eds) The Loss of Language Skills. Massachusetts: Newbury House Publishers, Inc.

Vol. 14, No. 27, September 2007

SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004