ORIENTASI PERCAKAPAN SUKU MELAYU BAJAU KUALA TUNGGKAL JAMBI: SUATU KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK
on
LINGUISTIKA
ORIENTASI PERCAKAPAN
SUKU MELAYU BAJAU KUALA TUNGGKAL JAMBI: SUATU KAJIAN ANTROPOL1NGUISTIK
H. Yundi Fitrah
Universitas Jambi
Abstrak
Tulisan ini mendeskripsikan orientasi percakapan suku Melayu Bajau Jambi:suatu kajian antropolinguistik. Orientasi percakapan meliputi; (1) percakapan konservatif yang mengarah pada keburukan nasib, ke masa lampau, tergantung atasan, (2) percakapan transisi tentang yany baik, kedudukan dan kehormatan, ke masa kini, berusaha mendapatkan keselarasan dengan alam, kolokial / terikat kepada sesamanya,- dan (3) percakapan yang mengarah pada sukar, menantang, harus berjuang agar menjadi baik, ke masa depan bergantung kepada kekuatan diri sendiri.
Hasil orientasi percakapan mengenai hakikat hidup bersifat konservatif, mengarah pada keburukan nasib ke masa lampau, tergantung atasan. Orientasi percakapan mengenai hakikat kerja/karya dan waktu masih bersifat konservatif yang bergantung pada alam. Jika ada uang berlebih tidak untuk ditabung dan utuk pendidikan, namun lebih bersifat konsumtif. Orientasi percakapan mengenai hubungan manusia dengan alam, juga rnasih beisifat kunservatif. Hanya saja hubungan pada ekosistem alarn mereka cendederung, bersifat transisi; menyelaraskan dengan alam. Orientasi percakapan mengnai hakikai hubungan sesamanya bergerak ke arah transisi. Kehadiran pranata formal dapat menggerakkan perekonomian dan demokrasi.
Abstract
-
H. Yundi Fitrah Universitas Jambi
Abstract
This writing describes the orientation of Melayu Bajau Jambi ethnic conversation; it is a study on anthropology of the conversation, including (1) conservative conversation which refers to the unlucky fate in the past dependent on superior (2) transitional conversation about good things, status and honor at
present, harmonious relation with nature and fellow beings, and (3) the conversation leading to the difficulty, challenge for better future life based on self reliance.
The result of the conversation orientation about the essence of life was conservative leading to the unfortunate of the past, dependent on the superior. The orientation of conservation about the essence of work, and time is still conservative dependent on the nature. Although they have much money, they do not save it in a bank or for education . They tend to be consumptive instead. The orientation of conversation related to the relationship between human being and nature is also still conservative. However, the relationship on the ecosystem of nature tends to be in transistion and the orientation seems to be adaptive to nature. The orientation of conservation about the essence of relationship among fellow beings the same creature tends to be transitional. The existence of formal institutions can improve economy and democracy.
Hasil editor Putra Yadnya
Kata-kata kunci: Onentasi percakapan Bahasa Melayu bajau Jambi dan Hubungannya dengan hakikat hidup
Ada anggapan bahwa orang-orang di Indonesia lebih senang berbicara (bercakap-hercakap) daripada menulis. Anggapan ini memang ada benarnya, karena dalam kehidupan sehari-hari, berbicara atau bercakap-cakap lebih bersifat spontan bila dibandingkan dengan menulis. Dalam menulis orang memerlukan suatu perenungan untuk mengeluarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang akan disampaikan, sedang dalam perenungan itu dintetukan oleh konteka pembicaraan saat pembicaraan itu berlangsung.
Daiam konteks bercakup-cakap tentunya ada ide atau gagasan yany diungkapkan ide atau gagasan yang diungkapkan itu kadang-kadang ditentukan oleh kemampuan pragmatik si penutur dengan si petutur secara bergantian. Seiain itu ide gagasan yany diungkapkan ditentukan juga oleh sistem nilai budaya yang berlaku pada masyarakat bahasa itu berada. Sitem nilai yang dirnaksud adalah masalah dasar dalam kehidupan. Kluckhohn (dalam Kutjaraningrat, 1990) menyatakan, ada lima dasar kehidupan manusiu yaitu hakikat hidup, hakikat kerja/karya, hubungan manusia
dengan waktu, hubungan (manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya. Orientasi sistem nilai tersebut mengarah pada konservatif, transisi, dan progresif. Konservatif mengarah kepada keburukan pasif, ke masa lampau, dan tergantung atasan. Transisi mengarah kepada hal yang baik kedudukan dan kehormatan, ke masa kini, berusaha mencari keselarasan dengan alam, dan kulokial/terikat kepada sesamanya. Progresif mengarah kepada sukar, menantang, harus berjuang agar menjadi baik, ke masa depan, dan bergantung kepada kekuatan diri sendiri.
Pergerakan, orientasi, arah dan sistem nilai budaya ini adalah salah satu dapat dicennati dari percakapan sehari-hari. Kemampuan pragmatik dan sistem nilai budaya mengakibatkan adanya suatu orienlasi percakapan masyarakat itu. Suku Batak misalnya, selalu berorientasi percakapan keras, kata-kata yang disampaikan selalu berorientasi tinggi, diksi yang digunakan tidak berbelit-belit, dan dari aspek simantik pembicaraan bersifat terbuka terbuka. Suku Bali dan Suku Jawa berorientasi percakapan lebih santun santun untuk sebuah gagasan. Orang-orang yang hidup diperkotaan cederung percakapannya mengarah pada hal-hal yang bersifat bersifat inovatif, bisnis, dan sebagainya.
Salah satu suku Melayu di provinsi Jambi, yaitu suku Melayu Bajau yang berada di pinggir panlai Kuala Tungkal Kabupalcn Jabung Barat, saat ini cenderung agak menepi sehingga terbelakng dari masyarakat sekitarnya. Hidup di kampung nelayan yang berlokasi di pinggir pantai laut yang berawa-rawa. Suku Mdayu Bajau tumbuh pada umumnya bergantung pada kekayaan laut.
Dari pengamatan sementara, suku Melayu Bajau kurang survival, buik dari sudut ekonomi, budaya, dan pendidikan. Suku ini hidup dalam bentuk sederhana di di rumah-rumah diatas air dan jarang sekali mereka dijumpai dalam bentuk usaha lain, seperti petani, pedagang, dan pegawai. Meskipun suku ini tidak lama dibina oleh berbagai instansi terkait, namun tampaknya larnbat terjadi proses kedinamisan pada suku ini. Apakah dalam hal ini diasumsikan bahwa suku Melayu Bajau Kuala Tungkal, dalam sistem nilai budaya cenderung konservatif sehingga mereka tidak mampu ‘survival’ dengan suku pendatang. Oleh karena itu salah satu pendusurannya
ke arah itu dapat dibuktikan dari sudut antropolinguitik, khususnya pada bahasa lisan (percakapan) yang digunakan. Dasar pemikiran yang dikemukakan bahwa percakapan dapat meneropong seseorang maupun komunitas manusia. Sebagai contoh dapat dicermati petatah-petitih, ungkapan-ungkapan tradisional, seloko (seloka), dan gurindam (Badudu, 1985) berpendapat, ungkapan-ungkapan maupun petatah-petitih dapat menjadi berpikir komunitas manusia. Ungkapan dapat menggambarkan suatu pola hidup, cara hidup, termasuk pola hubungan sesamanya.
Berdasarkan uraian itu, perlu suatu pendeskripsian tentang orientasi percakapan suku Melayu Bajau. Hasil pendeskripsian ini berguna untuk melihat pola hidup suku ini sehingga diketahui langkah-langkah pengangkatan harkat hidupnya yang lebih dinamis. Untuk mendeskripsikan hal ini, konsep berpikir yang dipakai adalah sistem nilai budaya Kluchon (dalam Kuntjaraningrat, 1990:25) tentang hakikat hidup, hakikat kerja/kaiya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan alam hubungan manusia dengan sesamanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan urnum masalah yang ingin dideskripsikan ineliputi tiga hal orientasi percakapan; yakni orientasi percakapan bersifal konservatif, orientasi percakapan bersifat transisi, dan orientasi percakapan bersifat progresif.
Secara khusus rumusan masalah yang ingin dideskripsikan adalah sebagai benkut:
-
1. Bagaimanakah orientasi percakapan konservatif suku Melayu Bajau tentang keburukan nasib, ke masa lampau, dan tergantung atasan.
-
2. Bagaimana orientasi percakapan tradisi suku Melayu Bajau tenlang hal yang baik kududukan dan kehormatan, ke rnasa kini, berusaha untuk mendapatkan untuk keselarasan dengan alam, dan kolokial/terikat kepada sesamanya.
-
3. Bagaiaman orientasi percakapan progresif suku Melayu Bajau yang mengarah kepad sukar, menantang, harus berjuang agar menjadi baik, ke masa depan, dan bergantung kepada kekuatan diri sendiri.
Penelitian ini berjenis kualitatif deskritif yang digunakan berdasarkan tujuan pokok penelitian, cara pengumpulan data, dan cara menganalisi data . Tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan orientasi percakapan suku Melayu Bajau meliputi tiga hal, yakni orientasi percakapan konservatif, oreintasi percakapan, yang bersifat transisi, orientasi percakapan progresif.
Dari sudut pungumpulan data, data utama dikumpulkan dengan teknik observasi berpartisifasi. Peneliti menggunakan pancingan-pancingan percakapan yang mengarah kepada tujuan penelitian, namun tetap menggunakan latar alamiah, (natural setting) sebagai sumber data dan peneliti sendiri sebagai instrument kunci. Bogdan dan Biglen (dalam Wiryotinoyo, 1997)
Latar alamiah yang dimaksud penelitian memnacing percakapan pada sesame informal, msalnya, dikedai-kedai kopi, berkunjung secara silahturahmi melalui pemandu yang telah diberi pengarahan. Secara ringkas, dapat dinyatakan dalam mencapai tujuan penelitian ini, peneliti melakukan tiga cara, yakni (1) cara pemandu (orang lain yang teliti diberi instruksi sesuai dengan tujuan penelitian), (2) peneliti sendiri dan dengan ditemani pemandu, dan (3) angket berstruktur yang didialogkan antara peneliti dan narasumber masyarakat sekitarnya, yang memahami bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suku Melayu Bajau itu sendiri.
Data penelitian ini berupa catatan-catatan yang berhubungan dengan orientasi percakapan, (1) kunservatif, yakni percakapan tentang keburukan nasib, ke masa lampau, tergantung atasan. (2) transisi, yakni percakapan meliputi hal yang baik, kedudukan dan kehormatan, ke masa kini, burusaha mendapatkan keselarasan dengan
alam, kolokial/terikat kepada sesamanya, dan (3) progresif, yakni percakapan rneliputi; mengarah kepada sukar, menantang, harus berjuang agar menjadi baik, ke masa depan, bergantung kepada kekuatan diri sendiri.
Sumber data penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang direkam oleh penelitian dan informan, yakni para penutur suku Melayu Bajau yang telah disample oleh peneliti dari keterwakilan pada setiap pranata penutur, seperti pemuda,wanita, seseperti adat, orang yang dihormati, cerdik pandai dimasyarakat tersebut.
Data penelitian ini dikumpul;kan dengan 'dua cara, yaitu (1) observasi bernartisivasi (ncirticipucing observation}, dan angket berstruktur. Dengan leknik observasi berpartisivasi, data utama dipancirig dengan model pancingan percaka[)an, artinya, dalam mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan pancingan-pancinga percakapan vang mengarah pada tujuan penelitian, namun tetap menggunakan latar alamiah (natural setting) sebagai surnber data dan peneliti sendiri sebagai instrumen kunci. Bogdan dan Biglen (dalam Wiryotinoyo, 1997).
Latar alamiah yang dimaksud penelitian memancing percakapan pada suasana informal, misalnya, di kedai-kedai kopi, berkunjung secara silahturrahmi melalui pemandu yang telah diberi pengarahan. Secara ringkas, dapat dikatakan dalam mencapai tujuan penelitian ini, peneliti melakukan tiga cara, yakni (1) cara pemandu (orang lain yang telah diberi instruksi sesuai dengan tujuan penelitian), (2) peneliti sendiri dan di temani dengan pemandu, dan (3) angket berstruktur yang didialogkan antara peneliti dan nara sumber masyarakat sekitamya, yang memahami bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suku Melayu Bajau itu sendiri. Peneliti mencoba memancing percakapan yang mengarah pada tujuan penelitian sekaligus mengamati penuh tuturan mereka secar informal (tidak terjadwal, alamiah). Tuturan-tuturan tersebut direkam, tanpa sepengetahuan informan.
-
2.4 . Instrumen Penelitian.
Penelitian ini menggunakan dua instrumen, yaitu instrumen manusia (instrument human) yaitu peneliti sendiri dan angket kuesioner. Bogdan dan Biglen, dalam Wiryotinuyo, 1997). Dasar pertimbangtm instrumen penelili adalah: (1) peneliti memegang peranan utama dalam mengumpulkan data, (2) alat Bantu menjaring data verbal digunakan kaset perekam (cassette rekorder} dan lembar observasi tidak dapat berfungsi optimal tanpa keterlibatan peneliti.
Data yang dijaring dengan alat bantu tersebut tidak dapat diberi makna akurat tanpa bantuan konteks. Sedangkan konteks dapat direkam oleh manusia. Proses pemberian makna terhadap data verbal yang dijaring dengan alat Bantu tersebut, hasilnya dapat dilakukan peneliti. Peneliti dapat berperan melengkapi data yang dijaring sesuia dengan konteks yang menggiringnya.
Analisis data merupakan proses pencarian mengatur secara sistematis bahan-bahan atau data-data yang telah terkumpul guna memudahkan pemahaman dan penyusunan laporan. Berdasarkan hal itu, prosedur analisis data dalam penelitian ini melibatkan tiga komponen, yaitu sajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan. Hal itu, sejalan dengan pendapat Miles dan Huberman (dalam Wiryotinoyo, 1997) yang menyatakan bahwa analisis data terdiri dari tiga alur kegitan secara sitimulan, yaitu, penyajian data, reduksi data, dan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga kegiatan ini saling berinteraksi, berawal dari pengumpulan data sampai penulisan laporan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka prosedur analisis data dalam peneiitian ini dimulai dari pengumpulan data di lapangan, yaitu hasil perekaman atau pemancingan data. Data yang telah terkumpul yang bersumber dari ujaran-ujaran Informan yaitu Melayu Bajau yang bersampel dari dua orang pemuda.
Keabsahan data dalam peneiitian diupayakan beberapa cara, di antaranya keterlibatan peneliti menyatu dengan subjek penelitian, pengecekan kepada nara sumber, seperti sesepuh dan pengamat suku Melayu Bajau. Hal itu sesuai dengan
pendapat Meleong (1991) yang mengatakan bahwa tri-angunisi, kecukupan refrensial, sifat penelitian, jenis data, dan teknik pengumpulan data dapat rnempengaruhi teknik yang digunakan untuk mencek keabsahan data.
Selain dari hal-hal di atas, pencekan keabsahan data dilakukan juga melalui snaw ball (bola salju), yakni semakin banyak data yang masuk baik dari segi waktu, maka keobjektifan data semakin jelas, yakni melalui perbandingan setiap data yang dijaring (Samarin, 1991).
Di dalam percakapan tentunya ada yang dicakapkan. Dicakapkan itu berupa (1) Ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) Wujud aktivitas secara tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) Percakapan tentang benda-benda hasil karya manusia. Di dalam percakapan ini dapat mengarah pada wacana perbincangan konservatif, transisi, dan progresif seperti dalam lima dasar kehidupan manusia. Wacana perbincangan konservatif berarti percakapan mengarah pada tentang keburukan nasib, ke masa lampau, tergantung atasan. Wacana-wacana konservatif ditandai dengan kalimat atau kata-kata yang bermakna tentang keburukan nasib, masa lampau dan tergantung atasan. Secara spesifik di dalam dunia kebahasaan memang ada beberapa kata yang mengandung keburukan nasib, masa lampau dan tergantung atasan Namun secara kontekstual senmua katakata atau kalimat dapat di arahkan pada makna atau wacana konservatif.
Kalimat-kalimat konservatif yang sering diucapkan, misalnya :
-
- Apalah arti hidup ini !
-
- Hidup ini telah tentukan oleh yang kuasa, kita harus menerima
-
- Dulu hidupku senang, sekarang tidak.
Percakapan transisi mengarah pada wacana kebaikan, kedudukan dan kehormatan, ke masa kini, berusaha mendapatkan keselarasan, kolokial/terikat sesamanya. Wacana yang bermakna transisi dapat diciptakan, yang tentunya sesuai
dengan sistem nilai budaya tersebut. Pada wacana ini tidak terdapat kalimat-kalimat atau kata-kata yang khusus sebagai pemakna wacana transisi.
Percakapan progresif mengarah pada wacana percakapan tentang hal yang sukar, suka menantang, harus berjuang agar menjadi baik, ke masa depan, bergantung kepada kekuatan diri sendiri. wacana ini biasanya berintonasi tinggi, si penutur/petutur mengucapkan dengan penuh semangat.wacana progresif tidak ada kekhususa, semua pemakai bahasa dapat menciptakan wacana progresif. Namun, kebenaran wacana ini dapat dibuktikan dengan kebenaran sitem nilai budaya tersebut.
-
4. Pemberian Orientasi Percakapan Suku Melayu Bajau Jambi
4.1 Orientasi Percakapan Mengenai Mahia Hid»ip (MW)
Sebagian masyarakat suku Melayu Bajau mengatakan hidup ini sudah di takdirkan dan harus diterima apa adanya. Bahkan ada beberapa nelayan yang mengatakan hidup ini sebagai suatu yang rendah, karena nelayan menguras hasil laut saja tanpa pernah menanam sebelumnya sebelumnya.
Orientasi percakapan mengenai makna hidup ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
Pemandu: Wak ... gimano pundangan Wak tentang sejaro hidup Wak sujuk dari kecik?
Dullah; ach ... biaso rasonyo, ginilah Wak daru duluh. Kejo Wak menangkul ketam di Muaru sano to ...
Pemandu : maksundnyo Wuk ... ndak ado rasonyo wuktu meningkatkan diri, misalnyo punya prahu yang banak... Dullah : Rasonyo idak ...
Mencemati kutipan di atas dan hasil cuplikan data lainnya berdasarkan kekontektual percakapan wacana yang ditimbulkan pada umumnya mereka mengatakan hidup ini merupakan takdir. Artinya, walaupun dengan redkasi yang berbeda-beda semunya subyek penelitian mengatakan bahwa makna hidup telah bertakdir dengan sendirinya. Meraka hanya menjalaninya. Kalaupun ada yang menyatakan bahwa hidup ini harus berubah (progresif) itu hanya faktor kebetulan.
Berdasarkan cuplikan-cuplikan data yang diklasifikasikan, orientasi percakapan mereka pada umumnya mengarah kepada keburukan nasib. Menurut Kluchon pandangan seperti itu adalah pandangan konservatif.
Hakikat kerja dilihat dari indikator pandangan nelayan terhadap fungsi-fungsi melaut. Menurut masyarakat nelayan Melayu Bajau, fungsi melaut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kegiatan menangkap ikan di laut dilakukan karena tidak punya pilihan pekerjaan lain. Bagi mereka tidak ada kebanggaan menjadi serang nelayan. Berdasarkan pandangan Kluchon, hal termasuk ini tennasuk konservatif yaitu memadang karya itu untuk nafkah hidup.
Berikut ini cuplikan wacana percakapan tentang hakikat kerja/karya pada suku Melayu Bajau.
Menurut suku Melayu Bajau mengenai hakikat waktu bergantung pada musim ikan. Jika tidak melaut mereka hanya berdiam di rumah tanpa melakukan hal-hal lain. Jika pun melakukan hal-hal lain, misalnya memperbaiki perahu, memperbaiki jala yang rusak. Dengan kata lain waktu bagi mereka bergantung kepada musim ikan. Berikut mi ditampilkan cuplikan percakapan mereka tentang waktu:
Pemandu : kalo ndak melaut Wak, apo kerjo Wak?
Dullah: endak adolah, paling-paling baiki praho, jalo, cari ketam di Muaro toh.
Pemandu: Apo ndak kerjo lain Wak, misalnyo dagang ?
Dullah: ndak...
Menurut Kluckhohn (dalam Wiryotinoyo, 1997) bahwa di dalam hakikat waktu ini juga tentang material seperti harta (1987) artinya, jika ada yang berlebihan apa yang dilakukan mereka. Dari hasil percakapan yang dilakukan pada umumnya menyatakan ada uang berlebih mereka akan membelikan perhiasan perabot rumah tangga seperti
radio TV, jarang sekali yang menyatakan bila ada uang berlebih akan ditabung atau untuk menyekolahkan anak. Berdasarkan kategori Kluckhon, hal ini termasuk masa kini (transisi).
Hakikat hubungan manusia dengan alam dilihat dari indikator pandangan nelayan terhadap musim penangkapan ikan dan pandangan terhadap ekosistem mangrove.
Pandangan suku Melayu Bajau terhadap musim penangkapan ikan dikenal beberapa musim yaitu pasang besar dan pasang mati. Pasang besar menunjukkan adanya arus di laut dan dalam sebulan ada sekitar 22 hari. Pada saat itulah nelayan dengan teknologi tradisionalnya dapat menangkap ikan. Sisanya 8 hari adalah pasang mati. Pasang mati tidak ada arus sehingga nelayan dengan peralatan penangkapan ikan yang tradisional tidak dapat menangkap ikan. Sedangkan pasang naik dan turun menunjukkan proses air laut selama 24 jam sebanyak dua kali. Hal ini biasanya berpengaruh terhadap waktu nelayan hendak pergi/pulang ke laut, karena bila pasang surut mereka tidak bisa ke luar sebab sampannya akan kandas.
Selain itu dikenal juga musim barat, yaitu malam di mana ombak sangat besar, biasanya bulan Desember dan Januari setiap tahunnya. Pada musnn ini nelayan tradisional takut pergi ke laut karena ganasnya ombak. Menurut para nelayan adanya musim-musim tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Pandangan ini menunjukkan bahwa nelayan Melayu Bajau cehderung pasrah dan menyelaraskan hidupnya terhadap musim penangkapan ikan. Berdasarkan pendapat Kluckhon hal ini termasuk konservatif tunduk pada alam.
Berikut ini ditampilkan hasil percakapan / wacana tentang hubungan manusia dengan alam:
Pemandu: Kalo ombak besar, laut ndak TU?.. (K)
Atuk : ndak
Pemandu; Kenapo?...
Atuk : Payo nak, bidok Atuk kecik...
Selanjutnya pandangan masyarakat tentang ekosistem magrove yakni penjaga atau pertumbuhan hewan dan tumbuhan yang ada di laut, karena memberikan zat- zat hara ke laut, yang selanjutnya dipergunakan oleh hewan dan tumbuhan laut.
Misalnya pcrtuinbuhan plankton nabati, Pankton tersebut sangat memegang peranan penting dalam rantai makanan di laut.
Berdasarkan hal itu pandangan nelayan terhadap ekosistem magrove harus dijaga dan dilestarikan karena ekosistem mangrove berfungsi menahan air laut/ombak supaya tidak mencapai daratan dan dapat menahan angin dari laut. Serta dapat mencari udang/ikan di sekitar paluh-paluh yang ada di hutan mangrove. Berdasarkan pandangan nelayan itu, Kluckhon menyatakan suku Melayu Bajau berusaha mendapatkan keselarasan dengan alam (transisi).
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya ini akan melihat arah orientasi nilai budaya masyarakat nelayan, apakan lebih menekankan hubungan yang horizontal (kolateral) atau yang menekankan hubungan pertikal yang mengeinbangkan ke atau bergantung kepada kekuatan sendiri. Dalam hal ini hubungan manusia dengan sesamanya, para nelayan terhadap KUD (Koperasi Unit Desa) atau keterikatan dengan pemborong ikan (hasil penangkapan) sebagian besar para nelayan mendukung keberadaan KUD, karena tidak tergantung kepada para took/pemborong. Berdasarkan pandangan ini Kluckhon menyatakan para nelayan dalam taraf transisi yaitu rnulai dapat menerima pranata KUD, ang sidah bersifat demokratis. KUD sudah dapat mendorong perekonomian mereka.
Berikut ini wacana tentang hubungan sesamanya. Khususnya tentang keberadaan KUD sebagai pendorong demokratis dan pendorong perekonomian mereka.
Pemandu: Ca' mano Tok, kiniko ado Koperasi?...
Atuk : Senang loh, bisa nubung dan ngutang...
Suku Melayu Bajau yang hidup di pinggir pantai tentunya cara hidup dipengaruhi oleh alam pantai dan laut. Apakah mereka sengaja untuk hidup di pinggir
pantai, bukan merupakan suatu pendapat yang perlu dibuktikan, namun di Indonesia pada umumnya suku Melayu Bajau selalu hidup di pinggir pantai seperti Melayu Bajau di Kalimantan dan Melayu Riau. Kehidupan yang digeluti sejak kecil malah keturunan mereka membuat daya cipta, daya talar dan gaya hidup tergantung pada laut, ekosistem alam laut. Kehidupan cara seperti ini tentunya mempengaruhi wacanp-wacana percakapan di antara komunitas masyarakat itu. Orientasi percakapan itu apakah masih mengacu pada kelampauan (konservatif), kekinian (transisi) dan kedepan (progresif).
Berdasarkan pemberian yang telah dikemukakan yang meliputi orientasi percakapan tentang hakikat hidup, hakikat waktu, hakikat kerja/karya, hubungan dengan alam, hubungan sesamanya, suku Melayu Bajau ada yang masih bersifat orientasi percakapan/system nilai budaya yang konservatifdan transisi. Pandangan/orientasi percakapan mereka tentang waktu dan makna hidup begitu bersahaja. Mereka belum terbiasa dengan hidup ulet, mungkin hal ini disebabkan faktor alam yang dominan untuk mengatur mereka. Pekerjaan ke laut yang mereka kerjakan setiap hari dan mampu membiayai kehidupan sehari-hari tampaknya membuat mereka puas. Mereka memandang alam sudah tercipta dari dulu oleh yang kuasa, dan tidak perlu dilawan. Akibat dari faktor alam ini yang pada akhirnya kemampuan mereka di bidang lainnya tidak ada. Mereka kurang menyenangi hidup/mencari rezeki jauh dari laut.
Pandangan mereka terhadap waktu dan material juga masih konservatif, Waktu mereka tentukan oleh alam. Sedangkan masalah material seperti uang berlebih mereka gunakan membeli perabot rumah tangga, TV, radio misalnya. Mereka tidak terbiasa menabung apalagi untuk membiayai sekolah anak. Pandangan seperti ini menurut Kluckhohn masih bersifat konseivatif. Pada sisi lain mereka mulai berpandangan transisi, pandangan mereka terhadap ekosistem alam. Bagi mereka ekosistem perlu dilestarikan karena ekosistem dapat menambah penghasilan seperti meneari udany dan ketam. Begitu juga pandangan mereka terhadap hubungan sesamanya. Keberadaan KUD misalnya dapat mendukung perekonomian mereka dan belajar berdemokratis sesamanya.
Berdasarkan pemerian yang telah dikemukakan, yang meliputi orientasi percakapan tentang hakikat makan hidup, hakikat waktu, kerja/karya, hubungan dengan alam, hubungan sesamanya, suku Melayu Bajau ada yang masih bersifat orientasi percakapan/system nilai budaya nilai budaya yang konservatifdan transisi.
Pandangan/orienta percakapan mereka tentang makna hidup dan hakikat waklu begtu bersahaja. Suku Melayu Bajau belum terbiasa dengan hidup ulet, mungkin disebabkan factor alam yang dominant untuk mengatur hidup mereka. Pekerjaan ke laut yang dikerjakan setiap hari yang mampu membiayai kehidupan sehari-hari tampaknya sudah puas. Alam dipandang sebagai suatu ciptaan dari Yang Maha Kuasa, tidak perlu dilawan.
Akibat faktor alam ini jugalah yang pada akhirnya kemampuan dibidang alam lainnya tidak ada. Suku Melayu Bajau kurang menyayangi hidup/mencari rezeki jauh di laut. Pandangan terhadap waktu dan materil, juga masih konservatif. Waktu ditentukan oleh aiam. Sedangkan masalah materil seperti uang berlebih digunakan untuk membeli perabot rumah tangga, TV, dan radio. Suku Melayu Bajau tidak terbiasa menabung apalagi untuk membiayai sekolah. Pandangan seperti inilah menurut Kluckhohn masih bersifat konservatif.
Pada sisi lain, suku Melayu Bajau mulai berpandangan transisi, seperti pandangan terhadap ekosistem alam bkosistem perlu dilestarikan karena ekosistem dapat menambah penghasilan, seperti mencari udang dan ketam. Begi juga pandangan terhadap hubungan sesamanya. Keberadaan. KUD misalnya, dapat mendukung perekonomian dan dapat belajar berdemokrasi sesamanya.
Percakapan adalah suatu wacana dialog yang dapat menyampaikan ide-ide, kebiasaan-kebiasaan suatu komunitas masyarakat bahasa. Sesuai dengan itu, onentasi percakapan dapat melambangakan suatu pola berpikir dalam bentuk sistem nilai budava. Dan hasil kesimpulan, orientasi percakapan suku Melayu Bajau pada umunya berorientasi ke arah konservatif. Sesuai dengan itu, disarankan perlu ada suatu usaha
dari pihak terkait untuk membangun pola berpikir mereka dari kebiasaan secara konservatif ke arah transisi maupun progresif. Oleh karena itu, disarankan suatu penelitian yang lebih mendalam tentang model-model membangun pola berpikir melalui sistem nilai badaya pada suku Melayu Bajau itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, S. (Ed.) 1987. Linguistik: Teori dan Terapan, Jakarta; Lembaga Bahasa Universitas Katolik Atmajaya.
Fishman, Joshua A. (cd) 1973. Advances in The study of Societal Multilinguism. Paris: the haque, Mounton
Gonda, J. ,1988.Linguistik Bahasa Nusantara:: Kumpulan Karya. (Seri ILDEP terjemahan T.W. Kamil). Jakarta: Balai Pustaka.
Grice. 1980. Logic and Conversation dalam Cole and Morgan. America: Centuky Press. Koentjaraningrat. 19H7. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
.............. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti 1978. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa: Ende: Nusa Indah Lado, R. 1975. Nus;i Inddh
Lado, R. 1975.Language Teaching a Scientific Approach.. New Delhi: Tata Megraw Hill Publishing Co. Ltd.
Leech, G. 1989. Principles of Pragmatics.. London: Longman.
Moleong- 1980. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gramedia.
Muhadjir, Noeng 1996. Metodologi Peneiuian Kualitatif. (Edisi III). Yogyakarta: Rakesarasin.
Nababan, S.U.S. 1992; Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Ohoiwutan, Paul. 1997. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Visipro.
Pateda, M 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik, Flores: Nusa Indah.
Simanujuntak, Mangantar. 1978, Pengantar Psikolinguistik Modern. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia.
Suparno. 1996. "Bahasa Indonesia Keilmuan". Malang: Jumal IKIP.
Wiryotinoyo, M. 1997. Implikcitur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Malang.
PPS IKIP Malang.
……….,1998 “Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Era Cjlobalisasi" Makalah
Seminar Bulan Bahasa, Oktober 1998. Jambi: PBS FKIP UNJA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep. 2004
Discussion and feedback