LINGUISTIKA

PARALELISME DALAM DOU SANDIK GUYUB TUTUR BIAK NUMFOR – PAPUA

Hugo Warami

Universitas Negeri Papua – Manokwari

Abstrak

Guyub Tutur Biak Numfor merupakan satu komunitas masyarakat yang menggunakan varian bahasa yang sama sebagai media sosial-budaya serta fitur pembeda dalam menghadapi realitas kehidupannya setiap hari dan juga sebagai pengemban seperangkat norma dan kaidah yang sama dalam wujud bahasa.

Setiap bentuk paralelisme adalah pembagian yang adil antara unsur-unsur yang tak berubah dan unsur yang berubah. Makin ketatnya distribusi dari unsur yang tak berubah, makin besar perbedaan dan efektivitas variasi-variasi itu. Paralelisme dalam teks Dou Sandik GTBN akan diuraikan berdasarkan prosedur yang diajukan oleh Roman Jakobson, yakni unsur tetap dan tidak tetap yang bertujuan merinci pengulangan dan paralel-paralel yang ada.

Abstract

The speech community of Biak Numfor represents one community which are using the same language variant as a socio cultural media and also as distinguishing feature in facing their every day reality of life as well as as a carrier of the same set of norm and rules in the form of language.

Every form of parallelism is a fair sharing between unchanging elements and changing elements. The tighter the distribution of unchanging elements, the bigger differences and effectiveness of its variations. Parallelism in the text of Dou Sandik GTBN will be discussed basing on the procedure proposed by Jacobson , including unchanging elements and changing elements which aim at specifying repetition and existing parallels.

Kata-kata kunci : Paralelisme, Dou Sandik, dan Guyub Tutur

  • 1.    Pendahuluan

Guyub Tutur Biak Numfor merupakan salah satu dari ± 263 guyub tutur yang mendiami Tanah Papua. Guyub tutur ini memiliki nilai budaya anutan yang bersifat kolektivitas, yakni keret ‘klen/marga’. Kesatuan kolektivitas ini menjadi sebuah

tambatan sosial yang terpenting dalam keluarga-keluarga inti sebagai ikatan batin yang sangat kuat satu sama lain.

Guyub Tutur Biak Numfor selanjutnya disingkat GTBN. Setiap keret dalam GTBN memiliki hak ulayat dan tanah leluhur. Umumnya tanah leluhur itu ditandai oleh adanya pendirian mnu ‘kampung’ dan pembuatan yaf ‘kebun’ atau penanaman rokaker ‘tanaman’ di atas lahan yang menjadi milik dari keret yang bersangkutan. Di atas tanah milik keret itu pula kadang terdapat ser ‘dusun’ sagu. Mnu, yaf, rokaker, dan ser adalah unsur yang paling terpenting dalam GTBN dalam menjamin kelangsungan hidupnya.

GTBN telah menyebar dan mendiami gugusan pulau-pulau karang di kawasan utara pulau Papua, yaitu di kawasan teluk Cenderawasih, yang oleh Belanda menyebutnya Gelvink Baay. Secara geografis gugusan pulau-pulau itu terletak antara 135º dan 136º 20’ Bujur Timur dan 145’ Lintang Selatan. Pulau yang terbesar adalah pulau Biak (± 2400 km2), dan pulau Supiori (± 700 km2), sedangkan sisanya adalah gugusan pulau kecil, yaitu pulau Numfor, Insumbabi, Rani, Meosbefondi, dan gugusan kepulauan Padaido yang membentang di Teluk Cenderawasih serta sebagian samudera Pasifik. Di samping itu, ada beberapa daerah migran GTBN, yaitu: Yapen Utara dan ujung timur pulau Yapen, Krudu, Ansus Utara, daerah Wandamen, pantai utara dan semenanjung pesisir kepala burung Tanah Papua: Sausapor, Saukorem, Mega, Makbon dan Kepulauan Raja Ampat serta sebagian penduduk Teluk Doreri.

Guyub Tutur Biak Numfor merupakan satu komunitas masyarakat yang menggunakan varian bahasa yang sama sebagai piranti sosial-budaya serta fitur pembeda dalam menghadapi realitas kehidupannya setiap hari dan juga sebagai pengemban seperangkat norma dan kaidah yang sama dalam wujud bahasa. GTBN menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa Biak sebagai alat komunikasi sehari-hari, sebagai media pengeksplorasi kesenian dalam berbagai ragam atau varian dan sebagai penentu asal daearahnya.

Dou Sandik disamping sebagai salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus wadah pengungkapan eksistensi diri etnik kepada alam dan Tuhan. Sebagai wujud kelisanan karena Dou Sandik mengandung dimensi mitologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh etnik yang bersangkutan sebagai sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni maupun dalam wujud yang lain. Dou Sandik merupakan bentuk ekspresi komunikasi dan sebagai peristiwa komunikasi. Misalnya pada penggalan teks ini: Jou, Jou Manfun ‘Salam, Salam Tritunggal’, Jou, Suba be Au ‘Salam, bagi-Mu’. Dalam penggalan ungkapan di atas nampak paralelisme bergayut dengan ungkapan lainnya.

Dou Sandik merupakan pengintegrasian bahasa yang dikemas dengan apik sebagai wujud ekspresi jiwa manusia terhadap Tuhan dan karya ciptaan-Nya. Apa yang tersaji lewat Dou Sandik merupakan siklus dari kosmos kehidupan dan kematian. Dou Sandik dilirik sebagai bahan kajian dalam perspektif linguistik karena: (1) sebagai produk dan praktek dari GTBN yang menggambarkan pandangannya

tentang diri, alam (dunia), dan Tuhan; (2) sebagai wujud interaksi langue dan parole dengan Tuhan; (3) sebagai kantong nilai budaya yang mengendapkan makna dan fungsi bahasa; dan (4) sebagai kemasan bahasa yang mampu memagari entitas (kesatuan lahiriah) tentang ekspresi kehidupan sehubungan dengan kroposnya kandungan dan porsi ajaran agama (Warami, 2006:3-4). Titik incar utama pembahasan, yakni (a) tipologi (type) dan (b) makna paralelisme teks Dou Sandik GTBN Papua dalam prespektif religi.

  • 2.    Konsep

    • 2.1    Paralelisme

Paralelisme merupakan salah satu gaya bahasa berupa kata-kata atau kalimat yang bersahutan dalam larik yang berkaitan; mencakup penyesuaian puitis kalimat, terutama atas persamaan derajad, kemiripan antara unsur, atau kecocokan suatu bait (baris) dengan bait yang lain; sebagai suatu kumpulan pasangan kata baku yang secara konvensional sudah tetap, yang digunakan untuk menyusun bentuk sajak; dan merupakan keterkaitan antara proposisi-proposisi yang maknanya serupa atau berbeda serta mempunyai konstruksi gramatikal yang sama (Lowth dalam Fox, 1986:66-67;284-285).

  • 2.2    Dou Sandik

Dou Sandik adalah jenis nyanyian pujian dan penyembahan yang dituturkan atau dilantunkan oleh kelompok masyarakat (guyub tutur) Biak Numfor, Provinsi Papua dalam kegiatan ritual keagamaan (ibadah dan pesta keimanan lainnya). Dou

dalam bahasa Biak berarti ‘Nyanyian’ dan Sandik berarti ‘Pujian’. Jadi rangkaian frasa Dou Sandik berarti ‘Nyanyian Pujian’.

  • 2.3    Guyub Tutur (Speech Community)

Guyub tutur merupakan salah satu komunitas masyarakat tutur yang menggunakan bahasa sebagai media untuk memperlihatkan pola perilaku yang membedakan dari komunitas masyarakat tutur lain. Guyub tutur menampakkan diri dengan pola-pola bahasa dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan penyesuaian diri dan gaya bertutur yang memungkinkan individu-individu tinggal dalam satu komunitas di lingkungan geografis tertentu (bd.Porter dan Samovar, 1982 dalam Mulyana dan Rakmat, 2003:18-19).

  • 3.    Gerbang Teori

    • 3.1    Teori Paralelisme

Teori paralelisme diperkenalkan oleh Lowth dalam Fox (1986:204-205; 282283) dengan istilah Paralelismus Membrorum (Paralelisme Membrorum). Teori yang diungkapkan oleh Lowth ini masih terbatas pada pengungkapan bentuk fonologis, gramatikal (morfologi, sintaksis) dan leksikosemantis. Dalam hubungan dengan makna, Lowth mengemukakan tiga macam hubungan semantis antarperangkat diad paralelisme, yaitu hubungan paralelisme sinonim, hubungan paralel antitesis, dan hubungan paralel sintesis.

Paralelisme juga dipandang oleh Jakobson dalam Fox (1986:312) sebagai kutub-kutub metafora dan metonimia bahasa, kaitan antara seleksi dan kombinasi atau dengan kesamaan dan kedekatan. Sehubungan dengan pendapat tersebut, Jakobson mendeskripsikan bahwa dalam seni verbal, interaksi dari kedua unsur di atas nampak menonjol. Bahan yang kaya untuk mempelajari antarhubungan ini dapat diperoleh dalam bentuk syair yang menghendaki suatu paralelisme antara baris-baris berurutan. Sistem paralelistik seni verbal memberikan sebuah padangan langsung pada konsepsi pembicaraan mengenai ekuivalensi-ekuivalensi gramatikal.

Jakobson menyebutkan juga bahwa paralelisme berkaitan erat dengan dua aspek, yakni (1) paralelisme selalu berada dalam bahasa puitis; pada setiap tataran bahasa esensi puisi yang dibuat-buat terdiri atas pengulangan kembali atau bunyi ujaran yang mempunyai bentuk berulang-ulang, dan merupakan perluasan dari prinsip oposisi biner terhadap tataran-tataran ekspresi fonemis, sintaksis dan semantis; dan (2) paralelisme yang mengacu kepada perwujudan-perwujudan dari oposisi biner sebagai alat komposisi yang tegas, konsisten dan meresap dalam puisi lisan tradisional.

Jakobson kemudian menganjurkan suatu tipologi yang lebih terbuka mengenai penyepasangan unsur-unsur dalam urutan-urutan yang sepadan. Ciri utama dari penyepasangan ini, apakah didasarkan pada identifikasi dan diferensiasi. Setiap bentuk paralelisme adalah pembagian yang adil antara unsur-unsur yang tak berubah dan unsur yang berubah. Makin ketatnya distribusi dari unsur yang tak berubah, makin besar perbedaan dan efektifitas variasi-variasi itu.

  • 3.2    Teori Teologi Gramatikal

Cetusan pandangan Wittgenstein tentang Teologi Gramatikal dikemukakan oleh Kaelan (2004:282) bahwa Teologi Gramatikal merupakan teori yang mampu menunjukkan suatu kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dan menggunakan bahasa beserta perangkat aturan-aturan permainannya. Tampaknya makna teologi harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang religius, dan mewujudkannya dalam suatu aturan serta kepercayaannya.

Hakikat bahasa dalam hubungannya dengan kehidupan agama, memiliki fungsi khusus serta khas, yang harus dipahami berdasarkan aturan serta tata aturan permainan yang khas juga. Pada setiap ungkapan keagamaan akan dijumpai berbagai ungkapan bahasa yang berkaitan dengan subjek serta realitas ekstra linguistik. Dalam hubungan ini realitas serta subjek ekstra linguistik tidak terjangkau oleh simbol bahasa yang berkaitan dengan realitas duniawi. Ungkapan bahasa dengan hakikat Tuhan, Jiwa, Surga, Neraka, Malaikat, dan realitas ekstra linguistik lainnya, pada awal konsep Wittgenstein merupakan realitas di luar batas-batas bahasa, namun kemudian diletakkan menjadi suatu konteks penggunaan bahasa dalam suatu kehidupan agama.

Kaelan (2004:287) mengungkapkan Teologi Gramatikal, bahwa dalam Bhagawadgita, penggunaan ungkapan tentang ‘ada yang mutlak’ serta ada yang ‘supernatural’ adalah Brahman. Dalam Bhagawadgita dikenal juga ‘Purusotama’ atau sebagai ‘Purusa’ yang tertinggi, yang juga disebut sebagai ‘Pramaatman’, atau

‘Atman’ yang tertinggi, yang juga disebut sebagai ‘Iswara’ yaitu Tuhan yang kekal dan abadi. Ada pun ‘Purusa’ yaitu jiwa yang merupakan inti hakikat pribadi manusia. Selanjutnya ‘Purusotama’ adalah kesatuan antara ‘Brahman’ dengan ‘Saktinya’. Penggunaan ungkapan bahasa tersebut sangat khas dan memiliki aturan tersendiri yang berbeda dengan penggunaan ungkapan bahasa dalam konteks kehidupan lainnya.

Sejalan dengan Teologi Gramatikal tentang ungkapan bahasa yang khas, Jendra (1998:29) mengemukakan ungkapan bahasa tentang Tuhan itu Abstrak Kekal Abadi yang dinyatakan dalam hampir semua pustaka suci. Sifat keberadaan Tuhan seperti itulah, makanya di dalam tradisi Hindu di Bali dan India dinyatakan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) itu bersifat Nirguna tak punya atau tak terpengaruh oleh Triuna (Satwa, Rajah dan Tamas). Tuhan juga Nirkara tidak ‘berbentuk’. Oleh karena itu Tuhan bisa tak terwujud, dan bisa juga hadir berwujud, maka Tuhan itu dinyatakan dengan istilah “hana tan hana” (ada tidak ada).

  • 4.    Paralelisme Dou Sandik GTBN

    • 4.1    Tipe Paralelisme

Paralelisme yang dimaksudkan dalam teks Dou Sandik GTBN adalah pemakaian bentuk ujaran yang sama berulang-ulang dalam bunyi, tata bahasa, makna atau gabungan dari kesemuanya. Paralelisme dalam teks Dou Sandik GTBN akan diuraikan berdasarkan salah satu prosedur yang diajukan oleh Jakobson, yakni unsur

tetap dan tidak tetap yang bertujuan merinci pengulangan dan paralel-paralel yang ada. Tipe paralelisme dalam teks Dou Sandik GTBN dapat diuraikan sebagai berikut.

(1) Syombe Yahwe Sinan Kmaya ‘Hormat Bagi Allah Bapa’

Dou Sandik

Terjemahan Bebas         Tipologi Paralelisme

Syombe Yahwe Sinan Kmaya Syombe Yahwe Rumgunya Syombe Yahwe Rur Besren Besneprei mgo ro Saranden oser Sandik Yahwe

Sandik Yahwe

Mgo ro Saranden oser

Hormat bagi Allah Bapa       a1     b1     c1

Hormat bagi Anak-Nya       a1     b1     c2

Hormat bagi Roh Penghibur   a1     b1     c3

Ketiga-Nya Yang Esa          a2     b2     c4

Haleluya, haleluya             a3      b1

Haleluya, haleluya            a3      b1

Ketiga-Nya Yang Esa         b2     c4

(R MDS, S. Korwa, 1984, NMR, No.3, 2004)

Berdasarkan data di atas, maka tipologinya terdiri atas: (1) pengulangan unsur verba, yakni tiga verba syombe ‘hormat/sembah’ (a1) dan dua verba sandik ‘puji’ (a3); (2) lima pengulangan unsur nomina Yahwe ‘Allah Tritunggal’ (b1); (3) dua pengulangan unsur pronomina persona kedua tunggal mgo ‘kamu’ (b2); dan (4) dua pengulangan unsur adjektiva Saranden Oser ‘Ketiga-Nya Yang Esa’ (c4).

(2) Mgo Syom Mgo Sandik Manseren ‘Kamu Puji dan Sembah Tuhan’

Dou Sandik

Terjemahan Bebas

Tipologi Paralelisme

Mgo syom

Kamu sembah

a1       b1

Mgo sandik Manseren

Kamu puji Tuhan

a1       b2       c1

Mgo kwasa byesi mgo

Kamu umat-Nya

a1       b3       c2       a1

Syomi hamba byesi(a)

Sembah Dia hamba-Nya

b1       b4       c2

Mgo swari

Kamu mencintai

a1       b5

Mgo kin

Kamu pegang

a1       b6

Nasraun prenta byena(i)

Teguh perintah-Nya

a2       b3       c2

(RMDS, No.15, S. Korwa, 1984, NMZ Kijne, No.134, 2004)

Berdasarkan data di atas, maka tipologinya terdiri atas: (1) enam pengulangan unsur pronomina persona kedua tunggal mgo ‘kamu’ (a1); (2) dua pengulangan unsur verba syom ‘sembah’ (b1); dan (3) tiga pengulangan unsur pronomina byesi/a ‘milik-Nya’(c2).

  • (3)    Mgo Kanou Dou Babo ‘Nyanyian Baru Kamu Angkat’

Dou Sandik

Terjemahan Bebas

Tipologi Paralelisme

Mgo sup na kam

Kamu segala bangsa

a1

b1

c1

Mgo sandik Yahwe

Kamu sembah Tuhan

a1

b2

c2

Mgo kam

Kamu semua

a1

c1

Mgo disen dou sandik

Kamu bernyanyi pujian

a1

b3

b2

Songger kako

Kecapi sekalian

a2

b4

Mgo kam

Kamu semua

a1

c1

Mgo fnobek

Kamu dengan

a1

b5

Soren ma sup

Laut dan pulau

a3

b1

Mgo kam

Kamu semua

a1

c1

Mgo rok

Kamu berseru

a1

b6

Bon kaki kam

Di semua bukit yang tinggi

a4

b7

c1

Mgo pram mgo, rwamna

Kamu musuhi kamu, kemudian a1

b8

a1, x

Mgo sup na kam

Kamu segala bangsa

a1

b1

c1

Mgo sandik I

Kamu sembah Dia

a1

b2

a5

I rama

Dia datang

a5

b9

I behukum kwasa

Dia menghukum umat

a5

b10

c3

I dawos nanapes

Dia Roh kebenaran

a5

b11

c4

I raja bye

Dia raja kehidupan

a5

b12

c5

(MMD, No. 09/NMZ,Kijne, No.98, 2004 bait 2)

Berdasarkan data di atas, maka tipologinya terdiri atas: (1) dua belas pengulangan unsur pronomina persona kedua tunggal mgo ‘kamu’(a1); (2) tiga pengulangan unsur nomina sup ‘bangsa’ (b1); (3) enam pengulangan unsur numeralia tak tentu kam ‘semua’ (c1); (4) tiga pengulangan verba sandik ‘sembah’ (b2); dan (5) lima pengulangan unsur pronomina persona ketiga tunggal i ‘dia’ (a5).

Dari uraian-uraian di atas, maka kelas kata yang menonjol atau produktif dalam tipe paralelisme pada teks Dou Sandik GTBN, yakni pronomina. Pronomina merupakan kelas kata yang berfungsi menduduki subjek, objek dan keterangan, sebagai pengacu nomina, penunjuk kepada manusia, benda atau hal lainnya. Bentuk pronomina persona yang menonjol dalam teks Dou Sandik GTBN, yakni: 1 TG: aya ‘saya’, 1JM (ink.): ko ‘kita’, 1JM (eks.): ^go ‘kami’, 2TG: au ‘engkau’, 2JM: mgo ‘kamu’, 3TG: i ‘dia’, dan 3JM: si (nyw.), na (tknyw.) ‘mereka’. Pemakaian pronomina 1 TG: aya ‘saya’ sebagai subjek dalam data di atas mengacu pada penutur dalam hubungannya dengan Tuhan, sedangkan pemakaian 1JM (ink.): ko ‘kita’, 1JM (eks.): ygo ‘kami’, dan 2JM: mgo ‘kamu’ menggambarkan himpunan, kesatuan, dan kebersamaan antara umat dengan Tuhan. Pemakaian bentuk pronomina posesif mengacu pada wujud supranatural atau metafisik, yakni Manseren/Yahwe sebagai Sang Pencipta.

  • 4.2    Makna Paralelisme tentang Tuhan

Makna ungkapan berulang-ulang tentang Tuhan selalu hadir dalam setiap tuturan dalam sebuah guyub tutur. Realita menunjukkan bahwa setiap guyub tutur sebagai umat insani, memiliki hubungan dengan Tuhan, yakni hubungan bersifat vertikal. Demikian pula dalam GTBN memiliki presepsi bahwa dalam hubungan vertikal itu, mereka sebagai manusia yang biasa disebut makhluk selalu berada pada posisi ‘bawah’ atau yang diciptakan, sedangkan Tuhan yang sering disebut khalik,

tidak lain adalah Allah Maha Besar yang selalu berada pada posisi ‘atas’ atau Sang Pencipta.

GTBN mengungkap bentuk makna paralelisme tentang eksistensi Tuhan sebagai siratan pemahaman dan pemaknaan yang menggambarkan dirinya seperti manusia lainnya yang diciptakan menurut gambar atau citra Tuhan sebagai Sang Pencipta dengan bentuk-bentuk ungkapan yang mana suka. Makna paralelisme tentang esksistensi Tuhan dalam teks Dou Sandik GTBN mengacu kepada konsep Tri Tunggal dalam agama Kristen sebagai filosofi teologis, yakni (1) Allah Bapa, (2) Allah Anak (Yesus Kristus), dan (3) Allah Roh Kudus, sedangkan dalam filosofi GTBN, yakni (1) Manseren Allah, (2) Manseren Yesus, dan (3) Manseren Rur Bersren (Saranden). Selain konsep Tri Tunggal di atas, ada lagi ungkapan-ungkapan lain tentang Tuhan, yakni manfarkarkor ‘guru/pengajar’, mananwir ‘raja’, manpararei ‘dokter’, manberaswan ‘penjala’, manfarawai ‘nakodah’, dan manfamyan ‘nabi/pelayan’.

Berangkat dari pemahaman keuniversalan tentang makna ungkapan paralelisme Tuhan dalam wujud multi agama, yakni (1) dalam perspektif Islam, Allah adalah wujud tertinggi dan terunik. Dia adalah Zat Yang Mahasuci, Yang Maha Mulia, dariNya kehidupan berasa dan kepada-Nya kehidupan kembali. Allah dikatakan sebagai Pencipta, Akal Pertama, Penggerak Pertama, Penggerak Yang Tiada Bergerak, Puncak Cita dan Wajib al-wujud. Allah adalah tuntunan setiap jiwa manusia. Setiap manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya; (2) dalam perspektif Hindu,

ketunggalan Tuhan adalah sumbu dimana filosofi Veda berputar. Tiada yang lain kecuali Tuhan sendiri yang memerintah dan mengatur seluruh alam semesta. Kekuasaan tertinggi hanya menjadi milik Sang Pencipta dari alam semesta ini. Veda suci menyatakan bahwa Tuhan, Sang Hyang Widhi sendiri adalah Tuan tak tertandingi dari seluruh ciptaan. Seluruh nyanyian, kidung pujian dan sembahyang untuk Dia. Sang Hyang Widhi itu tunggal, tapi namanya plural. Semua nama dan gelar (epithets) yang disebut dalam Veda ditunjukkan kepada Sang Hyang Widhi yang satu, yang adalah pencipta alam semesta; (3) dalam perspektif Buddha, kehadiran Sang Buddha ditunjukkan secara simbolis dengan sebuah pohon (pencerahan), dengan sebuah stupa, dengan sebuah roda (Dharma). Kodrat Sang Buddha sebagai kesucian tertinggi atau ke-Buddha-an dapat dilukiskan dengan penuh arti, yang berbunyi: “Apa yang harus diketahui telah kuketahui, dan yang harus dikembangkan telah kukembangkan, Apa yang harus disingkirkan telah kusingkirkan, maka akulah Sang Buddha.”; dan (4) dalam perspektif Kristen, paham Tritunggal atau Trinitas Injil masih menjadi aras utama dalam sendi-sendi ritual keagamaan baik dalam protestan maupun khatolik, yakni Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus, atau disebut ke-Esa-an (bd. Dhavamony, 1995:50;87).

  • 5.    Simpulan

Penggunaan paralelisme merupakan suatu bentuk pengungkapan tertentu yang mengarah langsung pada studi tentang tuturan ritual, puisi lisan, nyanyian dan hal lain yang mentransmisikan gelaja linguistik dalam perspketif budaya dan agama.

Nyanyian atau kidung merupakan korpus yang kaya untuk dipelajari dengan mengedepankan salah satu bentuk atau tipe paralelisme antara baris-baris berurutan dan menghadirkan berbagai ekuivalesi-ekuivalensi gramatikal.

Berdasarkan tipologi paralelisme, Dou Sandik GTBN Papua merupakan sebuah kidung atau nyanyian pujian dalam konteks tradisi lisan yang hidup dan berkembang. Geertz (1992:21) mengatakan bahwa tingkah laku harus diperhatikan dengan kepastian tertentu, karena melalui rentetan tingkah laku, atau lebih tepatnya lagi lewat tindakan sosiallah bentuk-bentuk budaya (cultural) terungkap. Asumsi ini tidaklah berlebihan, tetapi menjadi rujukan untuk membedah dimensi kehidupan GTBN yang di dalamnya terdapat tradisi lisan. Dou Sandik merupakan bentuk tindakan atau ekspresi kebudayaan yang alami, dihidupkan, dibentuk, dituturkan dalam satuan-satuan lingual.

Tipe paralelisme ini sebagai bentuk ungkapan yang khas dan manasuka sebagai wujud hubungan manusia dengan Tuhan. Tipe ungkapan yang dituturkan dalam teks Dou Sandik GTBN juga memancarkan percikan ciri keuniversalan yang dapat ditemukan pada ranah agama sebagai lembaga dan ajaran lainnya, yakni tipe ungkapan Tuhan yang berulang-ulang sebagai wujud kekuasaan yang tertinggi, tak ternoda, sumber kebebasan, dan kasih sayang.

PUSTAKA RUJUKAN

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Jogjakarta: Kanisius.

Fox, James, J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah. Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Budaya. FB. Hardiman (Penerjemah). Jogjakarta: Kanisius.

Jendra, I Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksha di Zaman Kali. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Mulyana dan Rakhmat. 2003. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosada Karya.

Kaelan. 2004. Pemikiran tentang Dasar-dasar Verivikasi Ilmiah Logika Bahasa (Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein). Jogyakarta: Paradigma-Jogyakarta.

Poetter, R.E., dan L.A. Samovar. 1982. “Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya” (Mulyana dan Rakmat (Ed.) 2003, Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosda Karya.

Warami, Hugo. 2006. Dou Sandik Guyub Tutur Biak Numfor – Papua: Kajian Linguistik dalam Perspektif Budaya dan Agama. Tesis Magister. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Vol. 14, No. 27, September 2007

SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep. 2004