JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP

ISSN: 2442-5508

VOL. 7, NO. 1, APRIL 2021

Studi Potensi Lanskap Wisata Kampung Rawa Gede, Desa Tugu Utara, Kabupaten Bogor, Berbasis Partisipatif

Rezky Khrisrachmansyah1*, Risco Noverio Rafael2

  • 1.    IPB University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia

  • 2.    Landscape Project Officer, PT Alam Sutera Realty Tbk., Tangerang Selatan, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstract

Potential study of Rawa Gede Hamlet tourism landscape, Tugu Utara Village, Bogor Regency, based on participatory. Rawa Gede Hamlet is located in Tugu Utara Village, Bogor Regency, and nearby Mount Gede Pangrango. Beautiful sceneries of tea plantations and horticulture fields exist with various natural features such as waterfall and spring lake. However, a community business which manage coffee plantation awarded as the best national coffee called Cibulao Coffee also existed and give economical value to the local people. Therefore, Rawa Gede Hamlet has a potential to be developed as a tourism destination. The aim of this sudy is to assess how potentials Rawa Gede Hamlet as a tourism hamlet including both spatial and non-spatial aspects. In addition, the process of the study was a combination of qualitative and quantitative methods by using suitability scoring, community mapping, interview, and focus group discussion. This study also drove participatory approach as a core of research for design. The result showed that there are several tourism destination that had higher points than other according to tourism suitability. Those objects were Telaga Saat, Bukit Gerindra, Wisata Alam Gunung Luhur, Wisata Alam Gunung Kencana, dan Curug Sawer. Furthermore, this study was emerged also with non-spatial aspects and those acted as an identity of Rawa Gede Hamlet.

Keywords: Rawa Gede Hamlet, Tugu Utara Vilage, participatory, tourism landscape

  • 1.     Pendahuluan

Kampung Rawa Gede terletak di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Kampung Rawa Gede merupakan area yang berada di area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung atau yang dikenal dengan “Area Puncak” yang ditetapkan oleh UNESCO sejak 1977 sebagai tempat Cagar Biosphere dan berperan penting dalam menangkap air yang mengalir ke Sungai Ciliwung hingga menuju Teluk Jakarta (Veriasa, 2020; GGNP & ITTO, 2014). Di sisi lain, terdapat berbagai komunitas di area hulu Sungai Ciliwung yang secara tidak langsung berkontribusi dalam keberlanjutan hutan salah satunya. Salah satu program yang diperkenalkan oleh Perum Perhutani adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang selanjutnya mendorong masyarakat mengelola hasil hutan di Desa Tugu Utara salah satunya adalah dengan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH). Komunitas tersebut, yang saat ini berkembang menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Puncak Lestari, memiliki struktur organisasi yang menaungi beberapa KTH diantaranya KTH Cibulao Hijau, KTH Cikoneng Lestari, KTH LC, KTH Mitra Lestari Rawa Gede, dan KTH Cisuren (LPPM IPB, 2017).

LMDH Puncak Lestari melakukan berbagai aktivitas salah satunya memperkenalkan kopi robusta melalui agroforestri yang dikelola oleh KTH Cibulao Hijau (Veriasa, 2020). Kopi Cibulao tersebut kemudian menjadi terkenal karena telah mendapat pengakuan nasional sebagai juara satu tingkat nasional dalam perlombaan Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) ke-VIII kategori robusta, dengan kualifikasi uji, cita rasa, dan kenikmatan kopi, yang berlangsung di Takengon, Aceh, tahun 2016 (mediabogor, 2019; kilasberita, 2020; Hamzah, 2020). Dengan demikian, pendekatan perencanaan di Kawasan Hulu Sungai Ciliwung salah satunya Kampung Rawa Gede, Desa Tugu Utara memerlukan peran serta komunitas melalui pendekatan partisipatif agar perencanaan yang di lakukan dapat lebih terarah dan tepat sasaran.

Desa Tugu Utara merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Cisarua yang terbagi menjadi tiga kampung yaitu Kampung Cibulao, Kampung Cikoneng, dan Kampung Rawa Gede. Studi yang dilakukan berfokus pada pemetaan potensi lanskap wisata di Kampung Rawa Gede dikarenakan terdapat beberapa daya tarik wisata potensial yang belum dikembangkan oleh masyarakat seperti Curug Sawer, Danau Benteur, dan

kebun sayur masyarakat. Namun demikian, secara luaran, studi ini menghasilkan peta potensi yang mencakup satu Desa Tugu Utara sebagai satu bagian konteks perencanaan dan pengelolaan lanskap.

Kampung Rawa Gede sendiri merupakan kampung terujung perkebunan teh yang menjadi hulu Sungai Ciliwung. Kampung ini memiliki potensi lanskap pertanian seperti area budidaya kopi, budidaya rumput, dan budidaya kebun sayur (LPPM IPB, 2017). Selain memiliki pemandangan panorama lanskap pegunungan yang indah, Kampung Rawa Gede memiliki beberapa daya tarik wisata baik alam dan pertanian yang potensial untuk dikembangkan diantaranya Kebun Kopi Bukit 28, Air Terjun yang dinamakan masyarakat sekitar Curug Sawer, Danau Benteur, serta kebun-kebun sayur milik masyarakat.

Berdasarkan hasil pra-survey di lapangan terdapat beberapa isu yang menjadi pertimbangan masyarakat diantaranya aksesibilitas, fasilitas, promosi, dan sistem yang belum berjalan dengan optimal. Hal ini dikarenakan masyarakat berharap sumber daya lahan yang ada di Kampung Rawa Gede dapat dioptimalkan selain sebagai potensi pertanian juga memiliki nilai tambah sebagai daya tarik wisata yang dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dalam proses studi identifikasi ini yang dilakukan sebagai tahap awal, tentunya memerlukan pertimbangan pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat sekitar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan proses pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif merupakan pendekatan alternatif untuk mencari arah pemecahan pada kurangnya data dan informasi dasar resmi, serta pemecahan masalah tata kelola dan manajemen dalam perencanaan kota (Padawangi et al., 2016). Namun demikian, pada studi ini pendekatan partisipatif difokuskan pada tatanan komunitas. Literatur mengenai perencanaan partisipatif menyoroti bahwa community mapping menjadi alat untuk pemberdayaan komunitas. Perencana menjadi fasilitator yang memungkinkan anggota masyarakat untuk mengatur dan memvisualisasikan informasi lokal, dan pengetahuan lokal khusus yang lebih luas (Archer, Luansang, & Boomahathanakorn, 2012; Kienberger, 2014). Selain itu, hasil dari proses partisipatif dengan informasi berdasarkan komunitas masyarakat tersebut diolah dengan sistem informasi geografis dan divalidasi dengan kegiatan focus group discussion (FGD).

Studi yang dilakukan bertujuan untuk mendata seberapa besar dan banyak potensi lanskap wisata yang ada di Kampung Rawa Gede termasuk Desa Tugu Utara sebagai satu kawasan, dan seberapa layak daya tarik tersebut dapat menjadi Daya Tarik Wisata (DTW). Output yang dibuat pada studi ini adalah peta potensi Lanskap Wisata Desa Tugu Utara termasuk Kampung Rawa Gede dan informasi potensi dan permasalahan lainnya baik bersifat spasial maupun non-spasial.

  • 2.    Metodologi

    • 2.1.    Waktu dan Lokasi Penelitian

Studi ini dilakukan pada bulan Maret hingga April tahun 2017 dengan pembaharuan konfirmasi data tahun 2020 khususnya lokasi secara administratif kampung dari setiap daya tarik dan informasi terkait Kopi Cibulao. Lokasi studi berada di Kampung Rawa Gede yang berada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Adapun lokasi studi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Lokasi studi Kampung Rawa Gede, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor

  • 2.2.    Metode Penelitian

Cakupan studi tidak hanya Kampung Rawa Gede tetapi juga Desa Tugu Utara dengan tujuan melihat satu konteks potensi lanskap secara kawasan. Metode yang dilakukan pada studi ini secara umum menggunakan mixed method dengan pendekatan data dan analisis baik kualitatif dan kuantitatif. Mixed method mengintegrasikan data kuantitatif dan kualitatif. Setiap data yang dikumpulkan, baik kuantitatif dan kualitatif

memiliki kelemahan dan kekuatan, dengan menggabungkannya diharapkan dapat memperkuat pemahaman dari permasalahan ataupun pertanyaan yang ada pada penelitian (Creswell, 2018). Adapun ruang lingkup studi ini adalah proses perencanaan secara partisipatif yang melibatkan komunitas masyarakat khususnya Kelompok Tani Hutan (KTH) di Kampung Rawa Gede. Output yang dihasilkan adalah peta potensi serta data deskriptif terkait hasil FGD. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai kategori penelitian untuk desain (research for design) dalam arsitektur lanskap karena merupakan studi yang mendukung produk desain atau proses desain. Dengan kata lain, hasil kegiatan penelitian ini akan memberikan informasi terhadap proses desain selanjutnya (Brink et al., 2017).

  • 2.3.    Tahapan Penelitian

Pendekatan survei dan analisis yang digunakan meliputi proses wawancara, community mapping, penilaian kelayakan secara kuantitatif, dan divalidasi dengan FGD. Adapun tahapan studi dapat dilihat pada gambar 2. Garis tidak putus-putus menunjukkan proses berhubungan langsung, sedangkan garis putus-putus menyatakan hubungan tidak langsung. Tahapan dimulai dari persiapan studi meliputi pencarian data sekunder berupa peta wilayah dan studi literatur. Tahap persiapan dilakukan dengan menyiapkan alat terkait proses wawancara dan FGD seperti kertas gambar berukuran A1, sticky notes, spidol, dan ballpoint. Selain itu juga sebelumnya dilakukan studi literatur terkait bagaimana proses pencarian data spasial melalui pendekatan partisipatif. Dengan pendekatan partisipatif, proses identifikasi data secara spasial untuk mengetahui kondisi lingkungan area studi dilakukan bersama masyarakat sekitar.

Gambar 2. Tahapan studi

Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan wawancara serta proses pemetaan partisipatif (participatory mapping) bersama tokoh masyarakat, sebanyak empat orang. Terminologi partisipatif yang dilakukan dalam studi ini mengacu pada community mapping yang dikembangkan oleh Asian Coalition for Housing Rights (ACHR). Community mapping adalah salah satu proses dalam bermukim masyarakat yang bertujuan untuk mempelajari dan memahami antar komunitas mereka serta dibantu oleh lembaga atau pemerintah setempat dengan mengacu aspek fisik dan persoalan intangible seperti organisasi sosial, budaya, dan kepercayaan masyarkat (ACHR, 2011). Pada proses pemetaan ini, peneliti difasilitasi oleh lembaga institusi yaitu Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB dibantu oleh Komunitas Tani Hutan (KTH) dan mendapat support dari PT AQUA.

Setelah melakukan wawancara dan proses pemetaan partisipatif, studi dilanjutkan dengan kegiatan pengamatan atau observasi langsung di lapangan. Proses pendataan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) dan kamera. Tahap ini dilakukan secara eksploratif ke lokasi-lokasi berdasarkan hasil wawancara dan berdasarkan pemetaan partisipatif. Pendekatan eksploratif merupakan pendekatan baik secara subjektif atau pragmatis yang menghasilkan terkaan dari peneliti yang bertujuan untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan potensial dengan melihat langsung atau merefleksikan dari sebuah fenomena (Deming & Swaffield, 2011). Oleh karena itu, pada penelitian ini, penulis telah melakukan observasi langsung dengan mencatat dan merekam data yang kemudian dikumpulkan sebagai bahan pertimbangan lanjutan pada proses pembuatan peta dan FGD.

Adapun di waktu yang berbeda, dilakukan penilaian kelayakan dengan pemberian questionnaire berupa list form aspek dan kriteria daya tarik wisata kepada beberapa tokoh masyarakat. Proses ini dianalisis

secara kuantitatif dengan penilaian pendekatan berdasarkan Smith (1989) dalam Maharani (2009) khususnya aspek wisata alam, budaya, dan sejarah, dengan modifikasi bobot kriteria daya tarik dan atraksi wisata terutama tambahan pengelolaaan wisata, karena berdasarkan wawancara dan observasi, masyarakat memerlukan bantuan dalam sarana serta pengetahuan dalam aspek pengelolaan. Smith (1989) mengungkapkan bahwa terdapat dua tipe utama wisata yaitu wisata alam dan budaya. Lebih lanjut, pertanian menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat yang berhubungan dengan alam dan budaya. Pada studi ini, wisata pertanian menjadi fokus utama karena menjadi transisi budaya masyarakat yang mencari generator ekonomi dari sumberdaya alamnya. Terlebih di area studi, objek-objek pertanian banyak ditemui, dan masyarakat berharap pengembangan usaha-usaha pertanian dapat menggerakan roda perekonomian mereka.

Secara teknis daya tarik wisata yang telah ditetapkan berdasarkan hasil wawancara dan community mapping dinilai oleh responden sebanyak empat orang yang mewakili tokoh masyarakat kemudian dinilai sepuluh aspek dengan masing-masing memilliki bobot berbeda disesuaikan dengan karakteristik lokasi sebagai lanskap dengan daya tarik wisata pertanian dan kebutuhan akan pengelolaan. Sepuluh aspek tersebut dipertimbangkan berdasarkan konsep agrowisata. Meskipun agrowisata belum berkembang di lokasi studi namun potensi alam dan pertanian menjadi kekuatan utama berdasarkan hasil wawancara. Adapun aspek yang dinilai diantaranya daya tarik dan atraksi berbasis pertanian dengan bobot 15%, daya tarik dan atraksi alami dengan bobot 15%, daya tarik dan atraksi budaya/ sosial dengan bobot 5%, daya tarik dan atraksi sejarah dengan bobot 5%, aksesibilitas dengan bobot 10%, sumber daya rekreasi dan tempat perbelanjaaan dengan bobot 10%, letak dari jalan utama sebesar 10%, sarana wisata sebesar 10%, pengelolaan wisata sebesar 10%, dan kegiatan wisata itu sendiri sebesar 10%. Bobot-bobot tersebut merupakan modifikasi dengan menyesuaikan karakteristik kawasan studi yang dominan memiliki elemen lanskap pertanian dan kelayakan pengelolaannya.

Bobot atraksi budaya/ sosial dan sejarah masing-masing sebesar 5% disebabkan karena potensi tersebut tidak terlihat di lokasi studi, sebagai contoh atraksi budaya/ sosial yang dimaksud pada panduan questionaire adalah di luar budaya pertanian seperti arsitektur vernakular, festival, pasar lokal, dan upacara-upacara sedangkan di lokasi tidak ditemukan kegiatan atau atraksi seperti itu. Begitupun atraksi sejarah, tidak terdapat peninggalan kuno dan situs-situs bersejarah atau yang bersifat arkeologis meskipun terdapat satu objek dan atraksi alam yang memiliki nilai historical yang memberi peran kepada masyarakat berdasarkan hasil penilaian. Secara ideal atraksi sosial/ budaya dan sejarah akan menambah daya tarik terhadap kawasan sebagai daya tarik wisata namun atraksi-atraksi tersebut tidak ditemukan dan belum berkembang di lokasi studi. Penilaian memiliki rentang nilai 1 yang artinya terendah hingga nilai 4 yang artinya tertinggi, mengacu pada kriteria-kriteria setiap aspek yang telah ditetapkan.

Kriteria yang ditanyakan kepada responden dari setiap aspek meliputi ketersediaan ragam serta keindahan areal pertanian seperti sawah, perkebunan, dan kolam untuk aspek daya tarik dan atraksi berbasis pertanian; keindahan pemandangan alami dan iklim untuk aspek daya tarik dan atraksi alami; memiliki nilai lokal tinggi seperti bentukan arsitektur vernakular untuk daya tarik atraksi budaya/ sosial; memiliki nilai kesejarahan untuk aspek daya tarik dan atraksi sejarah; kemudahan pencapaian akses untuk aspek aksesibilitas; ketersediaan tempat olah raga, piknik, belanja, taman, museum, gelar seni/budaya untuk aspek sumberdaya rekreasi dan tempat perbelanjaan; ketersediaan utilitas, kesehatan, air bersih, fasilitas dan penginapan untuk sarana wisata; keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan kelembagaan wisata untuk aspek pengelolaan wisata; dan ketersediaan paket kunjungan untuk aspek program dan aktivitas wisata. Nilai 1 artinya semakin jauh atau tidak sesuai dengan kriteria dan nilai 4 artinya semakin dekat atau sesuai dengan kriteria.

Seluruh nilai dari kriteria kelayalan setiap daya tarik dari daya tarik ke-i hingga ke-j (Kij) dirata-rata antar responden kemudian dikalikan dengan bobot masing-masing aspek dari daya tarik ke-i hingga ke-j (Bij) kemudian dijumlahkan. Daya tarik yang ada, kemudian diurutkan nilainya dari yang terbesar hingga yang terkecil kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok daya tarik yang sama banyak. Total daya tarik yang ada berjumlah 9, di mana 3 daya tarik teratas dikelompokkan menjadi layak, tiga daya tarik setelahnya adalah cukup layak, dan daya tarik dengan nilai terkecil dikelompokkan menjadi kurang layak. Adapun perhitungan penilaian kelayakan dapat dilihat pada gambar 3.

Σ KOW = Σ Kij. Bij.........................(1)

Keterangan: KOW = Kelayakan Daya Tarik Wisata; Kij= Kriteria kelayakan setiap daya tarik; Bij= Bobot setiap aspek

Gambar 3. Perhitungan Kelayakan Daya Tarik Wisata

Tahap selanjutnya adalah analisis dan proses studio. Pada tahap ini dilakukan pembuatan draft peta potensi. Peta titik-titik lokasi daya tarik wisata perlu dibuat sebagai informasi spasial yang dapat merekam informasi untuk membantu masyarakat dan pengunjung mengetahui posisi geografis dan daya tarik-daya tarik wisata yang ada. Peta tersebut merupakan elaborasi dari hasil wawancara, commuity mapping, observasi, dan penilaian kelayakan daya tarik wisata. Kemudian beberapa minggu setelahnya dilakukan FGD sebagai bagian dari validasi olahan data yang diperoleh. FGD merupakan bagian dari penelitian kualitatif yang melibatkan sekelompok orang dan fokus terhadap isu-isu spesifik (Hennink, 2014). Metode FGD yang dilakukan adalah dengan memperlihatkan draft hasil peta potensi wisata di Desa Tugu Utara serta data deskriptif yang mendukung, kemudian masyarakat memberikan input permasalahan dan potensi yang ada. Proses tersebut tidak diarahkan oleh moderator namun masyarakat dan komunitas sendiri yang menyampaikan seluruh hal yang dirasakan penting untuk disampaikan, peneliti hanya mencatat dan merekam. Hasil FGD kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk finalisasi pembuatan peta final potensi Lanskap Wisata Kampung Rawa Gede.

  • 3.     Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.   Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Tugu Utara merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dengan luas 1.700 ha. Desa ini berada di ketinggian 800-1.300 mdpl, dengan suhu antara 20o -30o C dan curah hujan rata-rata 2.145 mm/tahun (LPPM IPB, 2017). Studi yang dilakukan berfokus pada Kampung Rawa Gede dikarenakan terdapat beberapa daya tarik wisata yang diharapkan oleh masyarakat dapat meningkatkan nilai ekonomi masyarakat sendiri. Namun demikian, pembahasan dan diskusi serta batasan tapak dari output meliputi satu desa yaitu Desa Tugu Utara sebagai satu kesatuan konteks lanskapnya.

Kunjungan ke lokasi studi dimulai dengan bertemu tokoh masyarakat yaitu ketua kelompok Tani Hutan, Kampung Rawa Gede. Peneliti dan tim melakukan wawancara kepada tokoh masyarakat kemudian membuat gambaran umum peta kampung sekaligus peta desa dengan pendekatan partisipatif. Tahap penggambaran dilakukan oleh pemuda masyarakat. Gambar potensi lokasi wisata di Kampung Rawa Gede dan Desa Tugu Utara dipetakan secara berurutan mulai dari lokasi terdekat dari tempat berdiskusi hingga lokasi daya tarik wisata yang berada di luar Kampung Rawa Gede, namun tetap berada di dalam administrasi Desa Tugu Utara. Pembuatan peta dan proses partisipatif dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Proses partisipatif di Kampung Rawa Gede

Tahap selanjutnya, peneliti melakukan survei langsung dengan membawa GPS untuk mendapatkan titik lokasi daya tarik wisata. Daya tarik wisata yang dikunjungi secara langsung diantaranya Curug Sawer, Danau Benteur, kebun sayur, dan Telaga Saat. Sedangkan daya wisata yang terletak cukup jauh di atas bukit

seperti kebun kopi, dan wisata alam gunung, peneliti hanya memetakan akses masuk ke arah daya tarik wisata tersebut saja dan dengan pertimbangan community mapping serta citra satelit.

Secara umum kondisi daya tarik wisata khususnya di Kampung Rawa Gede masih alami. Curug dan danau kondisinya masih bersih tidak terdapat sampah, banyak tumbuhan alami, dan masih terdapat ikan yang dipancing oleh masyarakat. Namun, kondisi akses menuju lokasi masih sulit. Kondisi daya tarik di Kampung Rawa Gede dapat dilihat pada gambar 5. Pada waktu yang lain, proses penilaian kelayakan daya tarik dilakukan kepada pihak atau tokoh masyarakat baik yang hadir dan tidak dapat hadir pada proses wawancara, pembuatan peta partisipatif, dan observasi lapang. Pada tahap ini, responden diminta menilai dari questionnaire yang diberikan dalam bentuk form aspek serta kriteria daya tarik wisata. Proses penilaian ini didampingi oleh fasilitator.

Gambar 5. Kondisi daya tarik wisata di Kampung Rawa Gede. Kiri Curug Sawer, tengah Danau Benteur, kanan Kebun sayur.

Proses selanjutnya, peneliti melakukan analisis yang dilakukan di studio dengan luaran draft peta potensi wisata. Peta yang dibuat menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG). Peta yang dibuat merupakan elaborasi hasil dari wawancara, community mapping, observasi, dan penilaian kelayakan daya tarik wisata yang menggunakan aspek dan kriteria berdasarkan Smith (1989) dalam Maharani (2009) dengan modifikasi.

  • 3.2.    Analisis Kelayakan Wisata

    • 3.2.1.    Penilaian Kelayakan Daya Tarik Wisata

Hasil penilaian kelayakan wisata dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan penilaian kelayakan daya tarik wisata yang menggunakan kriteria Smith (1989), dalam Maharani (2009), dengan modifikasi, secara keseluruhan dari 9 daya tarik wisata yang terdapat di Desa Tugu Utara, tiga daya tarik wisata yang memiliki nilai tertinggi adalah Telaga Saat, Bukit Gerindra, dan Wisata Alam Gn. Kencana. Tiga daya tarik wisata tersebut dapat dikatakan layak sebagai daya tarik wisata karena berada pada tiga urutan teratas (Tabel 1). Lebih lanjut, daya tarik dan atraksi berbasis pertanian yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan daya tarik lain adalah Kebun sayur yang terdapat di Kampung Rawa Gede. Daya tarik atraksi alami yang memiliki nilai tertinggi adalah Curug Sawer dan Telaga Saat. Sedangkan pada aspek daya tarik dan atraksi budaya tidak ditemukan daya tarik yang signifikan karena belum terdapat tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat. Secara atraksi sejarah, Danau Benteur memiliki nilai tertinggi, hal ini dikarenakan Danau Benteur merupakan sumber daya air terbesar khususnya bagi masyarakat Kampung Rawa Gede dari dahulu dan dapat dikatakan memiliki nilai historis. Oleh karenanya, berdasarkan hasil wawancara masyarakat ketua kelompok Tani Hutan menyebutkan bahwa Danau Benteur harus dijaga keberadaannya karena manfaatnya yang besar bagi masyarakat Kampung Rawa Gede.

Berdasarkan aspek aksesibilitas dan kedekatan dari jalur utama, Telaga Saat dan Bukit Gerindra merupakan daya tarik wisata yang mudah untuk pencapaian lokasi dan ketersediaan jalan. Berdasarkan pengelolaan dan kelembagaan wisata, Curug Sawer, Kebun Kopi, Wisata Alam Gn. Kecana, dan Wisata Alam Gn. Luhur merupakan daya tarik-daya tarik yang memiliki nilai tinggi karena telah ada pengelola yang mengelola kunjungan wisatawan. Lebih detail hasil nilai kelayakan potensi wisata dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Penilaian kelayakan potensi wisata

No

Kriteria

1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

Daya tarik dan Atraksi Berbasis Pertanian (15%)

Ketersediaan ragam serta keindahan areal pertanian seperti sawah, perkebunan, dan kolam

2,00

2,00

1,67

3,33

2,67

2,67

2,00

3,00

2,67

2

Daya tarik dan Atraksi Alami (15%)

Keindahan pemandangan alami dan iklim (tropical, udara yang bersih, suhu yang nyaman, dll)

3,33

3,00

3,00

2,00

1,67

2,33

3,00

3,33

2,67

3

Daya tarik dan Atraksi budaya/ sosial (5%)

Perdesaan, perkotaan, bentukan arsitektur vernakular, festival budaya, dan atraksi budaya lokal

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

1,00

4

Daya tarik dan Atraksi Sejarah (5%)

Peninggalan kuno, upacara keagamaan, lokasi historical yang penting.

1,67

1,00

2,00

1,00

1,00

1,67

1,67

1,00

1,00

5

Akses (10%)

Kemudahan untuk pencapaian lokasi, ketersediaan jalan

2,00

2,00

2,00

2,00

2,00

2,33

2,33

3,33

3,33

6

Sumber daya rekresasi dan tempat perbelanjaaan (10%)

Tempat olahraga, piknik, belanja, taman, museum, gelar seni/budaya

2,00

1,67

1,67

1,00

1,00

3,00

3,00

3,33

2,67

7

Letak Dari Jalan Utama (10%)

Kedekatan dengan jalur jalan utama wilayah

1,00

1,00

1,00

1,67

2,33

1,33

1,33

3,33

3,67

8

Sarana Wisata (10%)

Utilitas, kesehatan, air bersih, fasilitas dan penginapan

2,33

1,67

2,33

1,67

1,67

2,33

2,00

3,00

2,33

9

Pengelolaan wisata (10%)

Pengelolaan dan kelembagaan wisata

4,00

4,00

3,00

3,00

2,33

4,00

4,00

3,00

3,00

10

Program dan Aktivitas Kegiatan Wisata (10%)

2,00

2,00

1,67

1,00

1,00

2,67

2,67

3,00

2,67

Total

Urutan

21,33

5

19,33

6

19,33

7

17,67

8

16,67

9

23,33

3

23,00 4

27,33

1

25,00 2

Keterangan: 1 (Curug Sawer), 2 (Kebun Kopi Rawa Gede), 3 (Danau Benteur), 4 (Kebun Sayur Rawa Gede), 5 (Kebun Sayur Arah Ciburial), 6 (Wisata Alam Gn. Kencana), 7 (Wisata Alam Gn. Luhur), 8 (Telaga Saat), 9 (Bukit Gerindra). Sumber: data 2017.

Adapun aspek sumberdaya rekreasi, letak dari jalan utama, sarana wisata, dan program wisata seluruhnya yang mendapatkan point tertinggi adalah Telaga Saat. Telaga Saat merupakan daya tarik wisata yang sangat strategis keberadaannya di Desa Tugu Utara namun perkembangan daya tarik ini cukup pesat dan perlu mendapakan perhatian karena secara ekologis telaga ini merupakan salah satu sumber mata air bagi DAS Ciliwung. Perlu pendekatan strategi pengelolaan dan kebijakan lebih lanjut dalam menjaga daya tarik wisata Telaga Saat.

Pada tabel penilaian kelayakan di atas, dapat diketahui pula berdasarkan wawancara dengan Bapak Jumpono selaku Ketua KTH Cibulao Hijau bahwa daya tarik wisata Curug Sawer, Kebun Kopi Rawa Gede,

Danau Benteur, Kebun Sayur, Wisata Alam Gn. Kencana merupakan objek yang berada di Kampung Rawa Gede. Sedangkan tiga daya tarik wisata lainnya seperti Wisata Alam Gn. Luhur berada di Kampung Cikoneng, Telaga Saat dan Bukit Gerindra berada di Kampung Cibulao, namun objek-objek tersebut masih berada di Desa Tugu Utara. Tiga daya tarik wisata terakhir yang disebutkan memiliki nilai-nilai tertinggi diantara daya tarik wisata lain karena secara akses telah baik dan dekat dengan jalan Raya Puncak. Sedangkan tiga daya tarik wisata tertinggi di Kampung Rawa Gede adalah Wisata Alam Gunung Kencana, Kebun Kopi, dan Curug Sawer.

  • 3.2.2.    Focus group discussion (FGD)

Setelah beberapa pekan proses studio di mana peneliti membuat draft peta serta laporan hasil analisis, peneliti melakukan proses FGD. Pada tahap ini, peneliti beserta tim mengadakan presentasi dan sosialisasi draft hasil peta dan informasi di depan Kelompok Tani Hutan Kampung Rawa Gede, juga tokoh masyarakat lainnya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan respon serta validasi dari masyarakat dari draft peta potensi wisata yang telah dibuat oleh peneliti. Berdasarkan diskusi didapatkan beberapa hal penting diantaranya sebagai berikut.

Pada skala kampung, potensi andalan Kampung Rawa Gede saat ini yang dirasakan masyarakat dapat memberi kesejahteraan dan dapat dikelola secara mandiri adalah Kebun Kopi dan Wisata Curug Sawer. Produk kopi tersebut menghasilkan kopi dengan kualitas terbaik dan sempat menjuarai kejuaraan kopi tingkat nasional. Terdapat juga kebun sayur kolektif yang dikelola masyarakat. Telah terdapat sistem tumpang sari kopi dan sayuran yang telah dilakukan masyarakat, hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Potensi lainnya adalah rumput gajah yang ditanam masyarakat, dibudidayakan dan dijual ke Kebun Binatang (Taman) Safari Indonesia untuk pakan hewan. Berdasarkan hasil wawancara pula, pada skala desa, di beberapa area di Desa Tugu Utara, terdapat rute downhill untuk pesepeda. Kegiatan ini menjadi atraksi tersendiri bagi penggemar downhill dan dapat menjadi daya tarik wisata.

Secara individu dan rumah tangga, di Kampung Rawa Gede, masyarakat menggunakan pekarangan untuk menanam tanaman sayur dan tanaman estetika. Selain itu, dalam aspek non spasial, terdapat potensi kerajinan yang digerakan oleh salah satu warga dengan material kayu jeunjing untuk membuat hiasan berupa rangkaian bunga. Adapun potensi kegiatan yang umum dilakukan masyarakat adalah hari agama Rajab dan Maulud.

Berbagai tanaman hortikultura dapat tumbuh subur, beberapa jenis yang tumbuh baik menurut masyarakat adalah kol, bawang daun, cabai, wortel, dan sawi putih. Kegiatan panen, umumnya dilakukan setiap 3 bulan. Secara umum, sumber air masyarakat Kampung Rawa Gede adalah Danau Benteur. Air untuk keperluan masyarakat didistribusikan melalui selang/ pipa, dan juga penggunaan embung untuk menampung air sebagai pengairan. Hal ini terlihat bahwa masyarakat sangat memerlukan keberadaan Danau Benteur sehingga masyarakat perlu menjaga Danau Benteur agar tetap lestari. Apabila melihat dari hasil penilaian kelayakan, Danau Benteur memiliki nilai kelayakan wisata tidak tinggi karena ini menjadi area konservasi sehingga masyarakat tidak menggunakan danau ini sebagai area rekreasi atau kegiatan wisata massal.

Gambar 6. Proses FGD di Kampung Rawa Gede

Karakteristik pemukiman awal yang ditemukan di Kampung Rawa Gede diantaranya bentuk rumah panggung bermaterial kayu, dengan sungai berada di belakang bangunan, dan jalan sebagai ruang halaman

linear berada di tengah dari rumah yang berjejer berhadapan. Terdapat potensi ternak diantaranya sapi, domba, dan ayam. Umumnya, ternak dipergunakan untuk keperluan rumah tangga pribadi ataupun dijual.

Beberapa hal yang masih perlu dikembangkan diantaranya adalah perizian masyarakat untuk pengelolaan wisata secara resmi kepada pihak Perhutani. Selain itu, masyarakat berharap adanya pelatihan, penyuluhan, pemberian panduan dalam pengelolaan lahan pertanian dan wisata serta pemberdayaan pekarangan dan produk ekonomi rumah tangga.

Proses diskusi (FGD) memberikan informasi lebih mendalam tidak hanya terkait potensi daya tarik wisata di Kampung Rawa Gede, namun potensi lainnya yang belum terpetakan secara spasial. Harapan dari masyarakat adalah dengan pengembangan wisata berbasis masyarakat akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Desa Rawa Gede. Adapun proses FGD dapat dilihat pada gambar 6.

Berdasarkan hasil di lapangan, baik dari hasil eksplorasi, wawancara, dan FGD didapatkan informasi bahwa meskipun masyarakat telah mengelola secara mandiri namun belum ada penyediaan sarana, prasarana, serta fasilitas di beberapa daya tarik Kampung Rawa Gede seperti di Curug Sawer, Kebun Kopi Rawa Gede, Danau Benteur, Kebun Sayur. Lebih lanjut, masyarakat menyampaikan perlu pelatihan kelembagaan bagi mereka sendiri, agar daya tarik tersebut menjadi destinasi wisata yang lebih terorganisir dan menarik pengunjung atau wisatawan sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat dan secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penilaian kelayakan wisata yang telah dilakukan sebelumnya merupakan pendekatan analisis yang bersifat kuantitatif. Penilaian kelayakan tersebut mencoba menilai daya tarik-daya tarik yang ada di lokasi studi, yang berpotensi menjadi daya tarik wisata (DTW). Namun demikian, ada data lain yang tidak terungkap, hal ini muncul dari hasil FGD. Oleh karena itu, dua pendekatan baik kuantitatif dan kualitatif akan saling melengkapi satu dengan yang lain sehingga didapatkan data yang lebih komprehensif.

  • 3.3.    Peta Potensi Wisata Kawasan

Proses terakhir dari studi ini adalah pembuatan peta potensi lanskap wisata final. Peta ini merupakan peta yang telah dibuat sebelumnya dari proses elaborasi wawancara, community mapping, observasi, dan kelayakan DTW yang divalidasi dari proses FGD. Peta final yang dibuat tidak terdapat perubahan dari draft yang dibuat sebelumnya. Peta yang dibuat sebelumnya (draft) merupakan hasil penggambaran community mapping yang dioverlay dengan citra satelit dari google earth pro kemudian dengan menggunakan ArcGIS data GPS hasil survei lapang diinput, seperti mark-point lokasi daya tarik-daya tarik wisata potensial dan tracking akses di lokasi studi.

Berdasarkan gambar 7 dapat dilihat terdapat titik-titik lokasi daya tarik wisata seperti Curug Sawer, Kebun Kopi Rawa Gede, Danau Benteur, Kebun Sayur, Wisata Alam Gn. Kencana, Wisata Alam Gn. Luhur, Telaga Saat, dan Bukit Gerindra. Seluruh lokasi tersebut adalah lokasi-lokasi daya tarik dan daya tarik wisata yang telah dilakukan analisis kelayakan serta divalidasi oleh proses FGD. Selain itu karena terdapat daya tarik lain yang tidak muncul dari hasil wawancara dan FGD, peneliti menginput potensi daya tarik lain dari hasil observasi diantaranya Gunung 28 dan rumah adat lama. Meskipun secara aktivitas kedua tempat tersebut tidak digunakan sebagai destinasi wisata serta tidak memiliki kekhasan spesifik secara arsitektur tradisional, di mana hanya memiliki struktur kayu dengan tipologi rumah panggung, tanpa memiliki ornamen atau ragam hias dan tidak memiliki bentuk atap khas sunda (daerah), kedua lokasi tersebut berdasarkan informasi terakhir menurut Ketua Tani Hutan Cibulao Hijau Pak Jumpono berpeluang menjadi destinasi wisata.

Informasi lain yang didapatkan adalah terdapat jalur sepeda downhill yang sering digunakan oleh wisatawan khususnya pesepeda. Hal ini tidak dinilai dan dibahas pada penilaian kelayakan karena objek ini merupakan daya tarik wisata minat khusus. Namun demikian, pada peta potensi wisata, peneliti menempatkan jalur-jalur yang sering digunakan kegiatan downhill pesepeda. Jalur downhill dapat terlihat dari garis jalur yang berwarna pink di dalam peta. FGD yang dilakukan tidak merubah peta yang telah dibuat sebelumnya melalui proses partisipatif karena masyarakat secara umum telah mengetahui potensi yang ada dari daya tarik-daya tarik lanskap yang ada. Hasil FGD memperlihatkan terdapat banyak aspek non-desain yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi keberlangsungan Lanskap Wisata di masa yang akan datang.

Gambar 7. Peta Titik Lokasi Daya Tarik Wisata Desa Tugu Utara

  • 4.    Simpulan

Studi potensi Lanskap Wisata yang dilakukan di Kampung Rawa Gede, Desa Tugu Utara memiliki proses studi potensi kawasan yang diawali dari pendekatan partisipatif. Hasil wawancara dan pembuatan peta dengan melibatkan masyarakat setempat memudahkan identifikasi dan persiapan sebelum melakukan observasi langsung ke lapangan. Selanjutnya, proses FGD yang dilakukan dalam studi ini juga memiliki tujuan sebagai validasi dan penggalian informasi lebih detail baik yang sifatnya spasial maupun non spasial. Berdasarkan skoring yang dilakukan terhadap sembilan daya tarik wisata, didapatkan bahwa terdapat lima daya tarik yang memiliki nilai kelayakan sebagai daya tarik wisata di Desa Tugu Utara diantaranya Telaga Saat, Bukit Gerindra, Wisata Alam Gunung Kencana, Wisata Alam Gunung Luhur, dan Curug Sawer. Secara spesifik potensi yang dapat dikembangkan di Kampung Rawa Gede adalah Curug Sawer, Wisata Alam Gunung Kencana, dan Kebun Kopi Rawa Gede.

  • 5.    Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu diantaranya Komunitas Tani Hutan (KTH) di Desa Tugu Utara, Pak Jumpono, Mas Dahsim, fasilitator Shelly Nurcahya Rosandy, S.Si., dan Pak Danang Ario Nugroho, S.E. dari LPPM IPB. Studi ini merupakan kerjasama antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB dengan PT AQUA serta komunitas-komunitas yang ada di Desa Tugu Utara.

  • 6.    Daftar Pustaka

ACHR. 2011. The Community Mapping for Housing by People’s Process Handbook. ACHR Secretariat.

Archer, D., Luansang, C., & Boomahathanakorn, S. 2012. Facilitating communitymapping and planning for citywide upgrading: The role of communityarchitects. Environment & Urbanization 24(1):115–129. https://doi.org/10.1177/0956247812437132.

Creswell, J.W., & Creswell, J. D. 2018. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. SAGE.

Deming, M. E., & Swaffield, S. 2011. Landscape Architecture Research, Inquiry, Strategy, Design. John Wiley & Sons, Inc.

GGNP & ITTO. 2014. Developing and Adopting an Integrated Strategic Management Plan For Cibodas Biosphere Reserve. ITTO Project TFL-PD 019/10 Rev. 2 (M), Bogor: ITTO.

Hamzah. 2020. Kopi Cibulao, Produk Kopi Robusta dan Arabica Hasil Karya Anak Bangsa. Available online at: https://gomuslim.co.id/ (diakses pada 28 Desember 2020).

Hennink, M. M. 2014. Focus Group Discussions, Understanding Qualitative Research. Oxford University Press.

Kienberger, S. 2014. Mapping environmental risks – Quantitative and Spatialmodeling Approaches. Journal of Maps 10(2):269–275. https://doi.org/10.1080/17445647.2014.891265.

LPPM IPB. 2017. Laporan Kegiatan Stasiun Lapang Agribisnis, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. LPPM IPB

Maharani, R. 2009. Studi Potensi Lahan Pedesaan Untuk Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Padawangi, R., Turpin, E., Herlily, Prescott, M. F., Lee, I., & Shepherd, A. 2016. Mapping an Alternative Community River: The Case of the Ciliwung. Sustainable Cities and Society 20:147–157. http://dx.doi.org/10.1016/j.scs.2015.09.001.

Redaksi Kilasberita. 2020. Dibalik Cerita KTH Kampung Cibulao Puncak, Raih Penghargaan Predikat Kopi Robusta No 1. Available online at: https://kilasberita.id/ (diakses pada 28 Desember 2020).

Redaksi mediabogor. 2019. Mengenal Kampung Cibulao, Penghasil Kopi Robusta dan Arabica Dari Bogor. Available online at: https://mediabogor.id/ (diakses pada 28 Desember 2020).

Smith, V. L. 1989. Hosts and guests: The Anthropology of Tourism. University of Pennsylvania Press.

van den Brink, A., Bruns, D., Tobi, H., & Bell, S. 2017. Research in Landscape Architecture: Methods and Methodology. Routledge.

Veriasa, T.O., Rustiadi, E., & Kinseng, R.A. 2020. The Impact of Joint Community Forest Management (PHBM) on Local Community Income in Upstream of Ciliwung Watershed, Bogor Regency-Indonesia. The 6th International Conference of Jabodetabek Study Forum, IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 665:1-12.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/lanskap

JAL | 133