E-JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP

ISSN: 2442-5508

VOL. 2, NO. 2, OKTOBER 2016

Konsep Interpretasi Guna Melestarikan Tapak Sejarah di Pecinan Jalan Gajah Mada, Denpasar

LURY SEVITA YUSIANA

Program Studi Arsitektur Pertamanan Fakultas Pertanian Unversitas Udayana, Jl.PB Sudirman Denpasar Bali, 80000, Indonesia

E-mail: lury.yusiana@unud.ac.id

ABSTRACT

CONCEPT OF INTERPRETATION FOR PRESERVATION HISTORIC SITE IN PECINAN GAJAH MADA STREET, DENPASAR

Pecinan Jalan Gajah Mada merupakan kawasan kota tua yang berfungsi sebagai pusat perdagangan. Penataan Jalan Gajah Mada sebagai Kawasan Heritage Kota Denpasar belum mampu menarik banyak pengujung untuk menikmati kawasan historikal ini. Pecinan Gajah Mada yang merupakan peninggalan sejarah didalamnya terkandung pusaka sejarah berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible). Studi ini bertujuan mengembangkan konsep interpretasi tapak sejarah di Pecinan Jalan Gajah Mada, Denpasar untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat lokal dan pengunjung akan makna pusaka sejarah dan pentingnya pelestarian peninggalan sejarah. Pengembangan interpretasi mengacu pada Alderson & Low (1996) yaitu menentukan konsep interpretasi sebagai dasar pembuatan program dan aktivitas. Selanjutnya dilengkapi menjadi presentasi dan media interpretasi yang digunakan. Konsep interpretasi yang dihasilkan merupakan salah satu bentuk pelestarian terhadap tapak sejarah di Pecinan Jalan Gajah Mada.

Keywords : historic site, chinatown, preservation program, interpretation, concept

  • 1.    Pendahuluan

Denpasar merupakan salah satu kota di Bali yang bernilai dan bernuansa sejarah yang perlu dilestarikan. Berbagai aspek mempengaruhi keberadaan kota ini, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi, dan aspek biofisik yang membentuk keunikan kota. Bentuk tradisional dan arsitektur tempo dulu masih menghiasi wajah kota. Sudut kota dengan gaya Kolonial, Tionghoa, bahkan tradisional Bali memberi warna tersendiri bagi keindahan kota. Salah satu bagian kota Denpasar yang merupakan tapak sejarah adalah kawasan kampung cina (Pecinan) Jalan Gajah Mada.

Pecinan Jalan Gajah Mada merupakan kawasan kota tua, yang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia merupakan pusat perdagangan. Di kawasan ini terdapat juga Pasar Badung dan Kumbasari yang merupakan pasar terbesar di Kota Denpasar. Perkembangan Pasar Badung dan Kumbasari di kawasan Gajah Mada demikian pesat, bahkan kian pesat meski pasar tradisional lainnya dan toko swalayan sudah bertumbuhan di Denpasar. Pasar Badung dan Kumbasari tampaknya tetap menjadi pasar sentral. Di

samping Pasar Badung dan Kumbasari, di kawasan ini terdapat juga kompleks pertokoan, bank, dan bisnis lainnya (Denpasar Kota, 2015). Akan tetapi, pada 29 Februari 2016 Pasar Badung mengalami kebakaran. Hingga kini, aktivitas pasar direlokasi di beberapa lokasi. Pasar Badung masih dalam perencanaan untuk dibangun kembali.

Pada tahun 2011 Pemerintah Kota Denpasar menetapkan Kawasan Pusat Kota sebagai Zona Kawasan Pusaka, yaitu Zona Z dan Zona O. Dan di tahun 2013 dikeluarkannya Izin Lingkungan Penataan Kawasan Heritage Kota Denpasar. Dampak nyata regulasi ini ialah dilakukan penataan pada kawasan pedestrian Jalan Gajah Mada. Meskipun demikian, Pecinan Jalan Gajah Mada belum mampu menarik banyak pengunjung. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran perkembangan Kota Denpasar (Kompasiana, 2015).

Perencanaan untuk pelestarian seluruh kekayaan dari beragam budaya yang tercermin dari lansekap kota merupakan hal penting untuk tujuan kesejarahan dan kepariwisataan. Perencanaan ini meliputi aspek sosial, visual, dan ekonomi yang diakomodasi agar berkesinambungan. Demikian halnya dengan Pecinan Gajah Mada yang merupakan peninggalan sejarah yang didalamnya terkandung pusaka sejarah berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible). Pusaka tersebut perlu dilestarikan karena mengandung nilai-nilai berharga bagi perkembangan masa depan peradaban. Peninggalan sejarah merupakan warisan yang sangat berharga. Warisan tersebut harus diperjuangkan keberadaannya agar tidak tersia-siakan oleh perilaku vandalisme. Untuk mewujudkannya, perlu memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang makna dibalik peninggalan sejarah tersebut (Imadudin, 2010).

Studi ini bertujuan untuk mengembangkan konsep interpretasi tapak sejarah di pedestrian jalan Gajah Mada, Denpasar. Interpretasi pusaka sejarah yang direncanakan bertujuan untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat lokal dan pengunjung akan makna pusaka sejarah dan pentingnya pelestarian peninggalan sejarah. Pengalaman estetik ketika memandang keindahan peninggalan sejarah dan makna dibalik cerita sejarah direncanakan untuk dinikmati pengunjung. Pengalaman itu pula yang diharapkan menumbuhkan kesadaran sejarah, sehingga mencintai dan melestarikan peninggalan sejarah. Kerangka pemikiran tulisan ini tertuang pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

  • 2.    Metode

Studi dilakukan pada Juni 2016 dengan lokasi Pecinan Jalan Gajah Mada. Lokasi ini dipilih karena merupakan kota tua Denpasar dan menjadi salah satu situs warisan sejarah Kota Denpasar Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian.

Penelitian ini merupakan kajian dengan metode deskriptif kualitatif melalui pendekatan mengurai permasalahan yang terjadi pada tapak serta mengembangkan interpretasi sebagai salah satu solusi bagi pengembangan tapak sejarah guna mendukung pelestariannya (Gambar 2). Interpretasi merupakan langkah yang diambil untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang makna dan nilai sejarah. Interpretasi merupakan program dan aktivitas. Program ditata dengan tujuan memberikan pemahaman yang diinginkan kepada pengunjung. Aktivitas adalah keterampilan dan teknik yang digunakan untuk mencapai pemahaman yang dimaksud (Alderson & Low, 1996). Hasil akhir dari studi ini berupa konsepsi interpretasi yang bertujuan untuk pelestarian Pecinan di Jalan Gajah Mada, Denpasar.

Gambar 2. Skema Tahapan Penelitian

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Sejarah Jalan Gajah Mada

Dahulu Kota Denpasar merupakan pusat kerajaan (Puri Denpasar) yang ditunjang dengan keberadaan pasar, alun-alun. Dan komplek perumahan keluarga raja. Seperti halnya Puri di Bali, tata ruang di sekitar Puri menggunakan konsep Catus Patha. Catus Patha adalah simpang empat sakral yang ruas-ruasnya mengarah ke empat penjuru mata angin (utara, timur, selatan, dan barat) dan diperankan sebagai pusat (puser) wilayah,

kawasan, dan/atau desa (Pemerintah Kota Denpasar, 2011). Dimasa kerajaan, Denpasar dihuni oleh beberapa kelompok masyarakat etnis pendatang, seperti Bugis, Jawa, dan Tionghoa. Berbagai etnis ini menduduki wilayah-wilayah tertentu, termasuk etnis cina yang berada di kawasan Jalan Gajah Mada. Fenomena heterogenitas mendasari pola hubungan yang harmonis dan simbolis sehingga terjadi pluralitas budaya yang tetap berada dalam koridor budaya dengan inti dijiwai oleh agama Hindu (Ardana, 2005).

Pada tahun 1881 Denpasar merupakan afdeeling zuid bali, yaitu Pusat Pemerintahan Bali Bagian Selatan. Tata kota baru bagi Denpasar ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tata kota ini menyangkut pembenahan, pelebaran, dan pembangunan sarana maupun prasarana baru. Pada masa kerajaan, Puri Raja Badung dijadikan sebagai Pusat Pemerintahan afdeeling zuid bali. Pasar Badung yang merupakan pusat perbelanjaan bagi masyarakat di masa itu, berada berhadapan dengan Puri Raja Badung. Kira-kira pada masa sekarang ini adalah Markas Kodam IX Udayana. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, pasar ini kemudian digeser ke barat sampai dengan tempat sekarang. Demikian pula Pecinan, yang semula ada dimuka pasar, yakni di BRI Jalan Gajah Mada sekarang, juga digeser ke barat membentang di kanan dan kiri jalan seperti sekarang. Hal ini dilakukan Belanda untuk menempatkan tentaranya di lokasi bekas Pasar Badung (Agung et al, 1986).

Perjalanan panjang jalan Gajah Mada sebagai pecinan tertua di pusat kota Denpasar menetapkannya sebagai pusat perniagaan. Pada masa kerajaan hingga masa Penjajahan Kolonial Belanda, pecinan mensuplai berbagai kebutuhan masyarakat di Denpasar dan sekitarnya. Dengan semua kebudayaan dan sejarah yang dimilikinya awal Desember 2008, di ujung Barat Jalan Gajah Mada dipasang tanda yang bertuliskan ‘Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Denpasar’. Prasasti ini bisa terlihat jelas oleh masyarakat yang memasuki kota dari arah Barat (Jl Wahidin) dan Utara (Jl Sutomo) dan yang datang dari arah Selatan (Jl Thamrin). Denpasar mengalami perkembangan yang begitu pesat dari masa ke masa. Dengan tingginya nilai sejarah dan budaya, tak heran Denpasar kini tercakup dalam Jejaring Kota Pusaka Indonesia (JKPI) sekaligus menjadi anggota tetap The Organizational of World Haritage City (OWHC) (Sejarahbali, 2015).

  • 3.2    Aktivitas Pecinan

Pemerintah Kota Denpasar melalui Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031 menetapkan arahan pengelolaan dikembangkan dalam rangka meningkatkan jati diri dan identitas kota yang berwawasan budaya, revitalisasi nilai historis dan heritage kota dan mengembangkan landmark kota (Pemerintah Kota Denpasa, 2011). Lebih lanjut diungkapkan bahwa pengelolaan kawasan ditekankan pada penataan lingkungan dan bangunan untuk menguatkan nuansa kota budaya serta pembenahan utilitas dan fasilitas pendukung. Dengan demikian, Kawasan Pusat Kota Denpasar yang awalnya sarat dengan aktivitas perdagangan, saat ini dikembangkan juga bagi pelestarian nilai sejarah. Sejalan dengan hal tersebut, maka Pecinan Jalan Gajah Mada sebagai pusat perdagangan dikembangkan menjadi kawasan heritage kota yang mengakomodir kegiatan pelestarian peninggalan sejarah.

  • 3.3    Struktur Bangunan Pecinan

Pecinan Kota Denpasar dipenuhi beragam toko berlantai dua dan tiga. Lantai atas menjorok sampai 2 meter di atas badan jalan, menciptakan sebuah gang berkanopi. Fasad rumah memiliki tampilan yang sama dengan rumah toko khas Pecinan di kota-kota lain di Indonesia (Pratiwo, 2009). Bangunan Pecinan Jalan Gajah Mada merupakan perpaduan antara arsitektur Tionghoa, Belanda, dan Bali. Seiring perkembangan zaman, pencampuran etnis terjadi. Hal ini berdampak pada arsitektur bangunan di Pecinan. Arsitektur bangunan di Pecinan bagi masyarakat Tionghoa dengan status sosial yang tinggi, berubah sejalan dengan modernitas untuk memperoleh pengakuan. Pada masa kolonial Belanda, maka arsitektur masyarakat Tionghoa kelas atas ini mengadaptasi arsitektur Eropa. Demikian juga yang terjadi saat ini, arsitektur Pecinan juga mengikuti gaya arsitektur minimalis yang dekat dengan modernitas. Masyarakat Tionghoa kelas menengah dan bawah berbeda. Mayoritas Pecinan tersusun atas struktur-struktur yang sederhana dan bersahaja berupa ruko-ruko yang sederhana, bahkan terkesan kuno dan biasa. Bangunan-bangunan ini tidak mendapatkan perhatian besar karena bentuknya dan kualitas visualnya dipandang tidak indah (Sopandi, 2008). Beberapa di antaranya bahkan rusak dan tidak terurus (Gambar 3).

Gambar 3. Arsitektur Bangunan di Pecinan

Sejalan dengan ditetapkannya Pecinan Gajah Mada sebagai kawasan heritage, maka berdampak juga bagi arsitektur bangunan di tempat ini. Bangunan diatur untuk dipertahankan keasliannya (Gambar 3). Demikian halnya dengan fasilitas di pedestrian, seperti lampu taman (Gambar 4a) dan bangku taman (Gambar 4b). Papan nama sebagai identitas toko didesain dengan model perpaduan arsitektur cina dan Bali (Gambar 4c). Bahkan kabel listrik yang biasanya menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya

kualitas estetik juga tidak tampak. Pedestrian diperlebar dan dilengkapi dengan jalur bagi pengunjung berkebutuhan khusus Gambar 4d). Lebar efektif pedestrian berkisar antara 2,1 m hingga 6 m. Pedagang tidak lagi diperbolehkan meletakkan barang dagangannya di pedestrian. Pejalan kaki menjadi teduh dan nyaman dengan dibuatnya pergola untuk meletakkan tanaman merambat. Akan tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama. Saat ini, pedestrian menjadi sepi dan beberapa pemilik toko, karyawan, dan pengujung memarkir kendaraannya di atas pedestrian. Hal ini yang memerlukan perhatian lebih serius jika citra Jalan Gajah Mada sebagai Kawasan heritage ingin tetap dipertahankan.

(4a)                                                         (4b)

(4c)                                                             (4d)

Gambar 4. Fasilitas Pedestrian di Jalan Gajah Mada . (4a) Desain lampu, (4b) Desain Bangku Taman, (4c) Desain Papan Toko, (4d) Pedestrian

  • 3.4    Konsep Pengembangan

Pecinan sebagai pusat perniagaan merupakan sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Layaknya Perda Nomor 27 Tahun 2011, maka Pecinan sebagai kawasan heritage memerlukan perencanaan yang lebih baik guna mengenalkan masyarakat akan nilai-nilai sejarah yang terdapat di Pecinan Jalan Gajah Mada. Aktivitas ekonomi yang menyertai lokasi ini dari masa Kerajaan, Kolonial Belanda, hingga Kemerdekaan Indonesia menjadi saksi sejarah perjalanan ekonomi Kota Denpasar. Bertemunya penjual dan pembeli untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar menciptakan interaksi dari berbagai etnis, golongan ekonomi, dan budaya yang terus berkembang dan semakin heterogen di Kota Denpasar. Oleh karena itu, secara konseptual Pecinan Jalan Gajah Mada diajukan sebagai pusat ekonomi rakyat dan akulturasi budaya. Sebagai pusat ekonomi rakyat bermakna bahwa Pecinan ini mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan menjadi penghidupan serta memberi kesejahteraan bagi masyarakat dari masa ke masa. Sedangkan sebagai akulturasi budaya bermakna Pecinan menggambarkan kerukunan antar etnis, agama, dan berbagai tradisi yang menyertainya dalam membangun perekonomian Kota Denpasar. Dalam mengembangkan konsep, diperlukan rencana program dan aktivitas yang akan menjadi dasar pengembangan interpretasi. Program merupakan seperangkat tujuan untuk berbagai hal yang akan dipahami oleh pengunjung. Aktivitas merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengkreasikan keterampilan dan teknik untuk dapat memberikan pemahaman kepada pengunjung. Keduanya perlu direncanakan dengan baik agar memahami makna dan hubungan pada tapak sejarah. (Alderson and Low, 1996) 3.5 Program Pengembangan

Program pengembangan dirancang untuk dapat memberikan makna Pecinan dan bentuk pelestarian terhadap Pecinan Gajah Mada. Agar dapat terpenuhi tujuan tersebut, maka program yang harus dilakukan adalah

  • 1.    Fungsi Pecinan Gajah Mada ditetapkan sebagai pusat ekonomi rakyat dan akulturasi budaya.

  • 2.    Sebagai pusat ekonomi rakyat, maka perlu dilakukan program peningkatkan kegiatan ekonomi melalui berbagai kegiatan berbasis perdagangan.

  • 3.    Sebagai akulturasi budaya, maka dilakukan peningkatkan kegiatan budaya melalui berbagai kegiatan pertunjukan budaya, terkait budaya Cina, Bali maupun akulturasi keduanya.

  • 4.    Melestarikan struktur bangunan kawasan pecinan dan peningkatan fasilitas penunjang interpretasi bagi kegiatan pelestarian.

  • 3.6    Pengembangan Aktivitas

Dalam upaya melestarikan Pecinan Gajah Mada Denpasar, perlu direncanakan aktivitas yang dapat mengangkat nilai sejarah. Pecinan sebagai pusat ekonomi rakyat telah menjadi saksi sejarah bagi perjalanan perdagangan di Denpasar. Nilai ini yang memiliki makna besar. Aktivitas ekonomi yang berbasis pada masyarakat kelas menengah bawah ini memberikan kontribusi dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya. Aspek ekonomi yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Denpasar, meningkatkan taraf hdup masyarakat Pecinan dan sekitarnya, termasuk masyarakat lokal dalam kedudukan

Pecinan yang berdampingan dengan pasar tradisional. Aspek sosial yaitu adanya interaksi sosial antara masyarakat kelas menengah dan bawah dari berbagai etnis, agama, bahkan Negara. Karena selain Pecinan dan pasar tradisional, kawasan ini juga terdapat Pasar Seni Kumbasari. Sedangkan aspek budaya masih belum terlihat. Hal ini yang perlu dikembangkan sehingga pelestarian Pecinan menjadi lengkap.

Dari ketiga aspek di atas, maka rencana aktivitas secara nyata perlu dikreasikan. Aspek ekonomi dalam mengembalikan fungsi Pecinan sebagai pusat perdagangan memerlukan beberapa pengembangan. Saat ini Pecinan hanya ramai dikunjungi pada waktu-waktu tertentu saja, yaitu pagi dan siang hari. Sedangkan sore dan malam hari sangat sepi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Winaya (2010) dimana kepadatan pejalan kaki mulai mengalami peningkatan pada pukul 10.00 WITA dan mencapai puncaknya pada pukul 12.30 WITA. Kepadatan kembali terjadi pada pukul 17.00 WITA. Fenomena ini terus menurun hingga pukul 19.00 WITA. Aktivitas sore hingga malam hari perlu direncanakan untuk terus menghidupkan kegiatan perekonomian di Pecinan. Seperti halnya di kota-kota besar lain di Indonesia dan Asia Tenggara, aktivitas sore dan malam hari di Pecinan dimanfaatkan untuk menghadirkan kuliner, baik kuliner tradisional cina, khas Bali, maupun etnis lainnya. Hal ini dapat memberikan suasana yang kembali marak di malam hari.

Selain perdagangan, aktivitas dapat menghadirkan suasana budaya yang kental. Masyarakat akan berbaur untuk menikmati sajian kuliner tradisional dan modern. Selain pasar kuliner, event lain juga penting untuk dihadirkan. Hal ini sejalan dengan program yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Denpasar melalui kegiatan Denpasar Festival yang dibuat setahun sekali di Jalan Gajah Mada ini. Selain itu, Pemerintah juga pernah berencana mengadakan event Gajah Mada Town Festival. Event seperti ini yang harusnya dikembangkan di Pecinan Gajah Mada, seperti halnya pada Chinatown di Vancouver – Kanada dan Den Haag – Belanda. Pecinan sarat akan akulturasi budaya sehingga event ini menarik untuk menunjukkan adanya kerukunan berbagai etnis di Denpasar.

  • 3.7    Interpretasi Pecinan Jalan Gajah Mada

Interpretasi merupakan cara untuk memberikan gambaran, persepsi bagi pengunjung dalam tujuan menyampaikan pesan-pesan positif dari sebuah tapak atau peninggalan lainnya. Melalui interpretasi diharapkan pengujung akan lebih mudah memahami makna dan keterkaitan sebuah tapak. Pesan positif yang disampaikan umumnya memberikan edukasi bagi pengunjung untuk ikut melestarikan tapak. Pecinan Gajah Mada Denpasar memiliki nilai-nilai sejarah bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu, perlu disampaikan gambaran dan persepsi yang baik agar tapak ini dapat dilestarikan. Pesan yang ingin disampaikan kepada pengunjung adalah “melestarikan Pecinan dengan menghidupkan kegiatan ekonomi rakyat dan kegiatan budaya”. Pecinan sebagai simbol kehidupan perekonomian masyarakat menengah ke bawah serta sebagai simbol kerukunan antar etnis dan antar umat beragama.

  • 3.8    Presentasi Pecinan Jalan Gajah Mada

Dalam kaitannya dengan pesan yang ingin disampaikan pada interpretasi, presentasi dari kegiatan ekonomi tercermin dalam aktivitas ekonomi sepanjang hari di Pecinan. Kegiatan ekonomi tersebut meliputi pasar tradisional, pasar seni, pertokoan, dan pasar malam kuliner (culinary night market). Pasar tradisional, seperti halnya Pasar Badung tetap difungsikan sebagai pasar tradisional dan bukan merupakan pasar induk. Pasar Badung hendaknya dibangun kembali (pasca kebakaran) dengan lebih memperhatikan kenyamanan pedagang dan pembeli, kebersihan dan keindahannya. Penting untuk menghapuskan konotasi wet market (pasar basah) yang terkesan kumuh. Pasar Kumbasari sebagai pasar seni hendaknya terjaga seperti saat ini dengan kondisi kebersihan dan kenyamanan yang jauh lebih baik. Sedangkan pertokoan telah memiliki aktivitas ekonomi yang tinggi. Pertokoan mempresentasikan Pecinan, sehingga keberadaan struktur dan bangunannya mampu dipertahankan untuk pelestarian arsitektur Tionghoa dan kolaborasi antara arsitektur Tionghoa dengan arsitektur Bali. Dalam kaitannya menarik pengujung untuk terus meramaikan Pecinan, maka dibuka Pasar Malam Kuliner. Pasar ini ditempatkan pada sepanjang pedestrian Jalan Gajah Mada dengan tetap memperhatikan kebrsihan, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki dan pengendara. Secara rinci presentasi kegiatan ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Presentasi Kegiatan Perekonomian di Pecinan Jalan Gajah Mada Denpasar

No Presentasi                Aktivitas             Periode Waktu (WITA)

1

Pasar Tradisional

Perdagangan      bahan

pokok

24 jam

2

Pasar Seni

Perdagangan barang kesenian

08.00 – 17.00

3

Pertokoan

Perdagangan tekstil, elektronik,

08.00 – 17.00

4

Pasar Malam Kuliner

Perdagangan kuliner

18.00 – 24.00

Selain kegiatan ekonomi, kegiatan budaya juga harus mampu mempresentasikan pelestarian keragaman budaya dengan baik. Saat ini, event belum direncanakan dengan serius. Kegiatan yang terencana dengan baik dan ditampilkan dengan kreatif dapat meningkatkan popularitas sebuah tapak. Hal ini memicu peningkatan jumlah kunjungan pada suatu tapak. oleh karena itu, presentasi keragaman budaya pada Pecinan Jalan Gajah Mada dapat dilakukan melalui berbagai event khusus, seperti Gajah Mada Chinatown Festival dan Denpasar Heritage Week. Penyelenggaraannya dapat dilakukan pada perode tertentu. Demikian juga halnya dengan tema yang akan diusung pada masing-masing event. Tabel 2 menunjukkan Presentasi Kegiatan Budaya di Pecinan Jalan Gajah Mada Denpasar.

Tabel 2. Presentasi Kegiatan Budaya di Pecinan Jalan Gajah Mada Denpasar

No        Presentasi                      Aktivitas

Periode Waktu

1 Gajah         Mada Menampilkan atraksi kesenian,

Chinatown Festival kuliner khas, dan kemeriahan festival masyarakat Tionghoa

Diadakan sehari pada saat Perayaan Imlek setiap tahunnya

2 Denpasar Heritage Menampilkan atraksi kesenian, Week                 kuliner dan kemeriahan festival dari

berbagai etnis dan budaya maupun hasil kolaborasi antar kebudayaan

Diadakan selama satu minggu bertepatan dengan ditetapkannya

Kawasan Gajah

Mada sebagai kawasan heritage, yaitu setiap tahun di bulan Desember

  • 3.9    Media Interpretasi Pecinan Jalan Gajah Mada

Rencana interpretasi tidak hanya memerlukan materi presentasi tetapi juga media yang digunakan dalam menginterpretasikan pesan yang ingin disampaikan. Sebuah pesan dapat tersampaikan dengan baik, jika media yang digunakan juga baik. Peran media interpretasi sangat vital bagi pelestarian tapak. Media harus mampu menggugah pengunjung untuk masuk ke dalam persepsi perencana. Media yang dihadirkan juga harus kreatif dan menarik, sehingga mampu menarik minat pengunjung untuk terus mengikuti setiap aktivitas yang dihadirkan.

Dalam kaitannya dengan interpretasi Pecinan Jalan Gajah Mada, media interpretasi diperlukan untuk dapat menggugah keinginan pengunjung untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi dan budaya. Media interpretasi yang diperlukan untuk menyampaikan pesan dalam aktivitas ekonomi dapat berupa papan interpretasi tentang cerita sejarah dan tampilan foto perjalanan panjang Pecinan Jalan Gajah Mada dari perode Kerajaan, Kolonial Belanda, awal kemerdekaan Indonesia, hingga era modernitas saat ini. Pasar dan pertokoan merupakan media interpretasi yang langsung membawa pengunjung untuk ikut terlibat dalam kegiatan perekonomian. Peran media interpretasi dalam aktivitas ekonomi tertuang dalam Tabel 3.

Tabel 3. Media interpretasi bagi aktivitas ekonomi

No

Media Interpretasi

Peran

1

Papan interpretasi

Cerita sejarah dan tampilan foto perjalanan panjang Pecinan Jalan Gajah Mada dari perode Kerajaan, Kolonial Belanda, awal kemerdekaan Indonesia, hingga era modernitas saat ini

2

Pasar dan pertokoan

Mengajak pengunjung terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi.

3

Landmark Catur Muka

Menunjukkan bahwa Pecinan menjadi kawasan strategis yang memegang sejarah penting perdagangan di Denpasar

Media interpretasi bagi aktivitas budaya menunjukkan adanya keberagaman dalam budaya dan religi di Pecinan Jalan Gajah Mada. Sejarah terbentuknya Pecinan hingga adanya interaksi sosial dengan masyarakat lokal menunjukkan alasan ditetapkannya sebagai kawasan heritage. Arsitektur pasar dan pertokoan disepanjang jalan Gajah Mada menggambarkan adanya akulturasi budaya Tionghoa dengan Kolonial Belanda dan juga arsitektur tradisional Bali. Festival budaya yang ditampilkan menggambarkan keragaman budaya di Pecinan, baik yang masih asli (Barongsai) maupun yang telah mengalami akulturasi (Tari Baris Cina). Media interpretasi bagi aktivitas budaya tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4. Media interpretasi bagi aktivitas budaya

No

Media Interpretasi

Peran

1

Prasasti Kawasan Heritage Gajah Mada

Menceritakan tentang alasan ditetapkannya Jalan Gajah Mada sebagai Kawasan Heritage

2

Papan interpretasi

Memuat informasi kegiatan budaya yang diselenggarakan setiap tahunnya

Menggambarkan persepsi tentang adanya akulturasi budaya yang tercermin dalam arsitektur ruko dan pasar

3

Festival budaya

Mengajak pengujung menikmati langsung berbagai sajian kesenian, kuliner dan budaya yang memberi makna kerukunan dalam keberagaman

  • 4.    Simpulan

Konsep interpretasi Pecinan Jalan Gajah Mada Denpasar adalah sebagai pusat ekonomi rakyat dan akulturasi budaya. Program interpretasi direncanakan untuk mempertahankan fungsi Pecinan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan akulturasi budaya. Aktivitas ekonomi perlu dikembangkan untuk lebih menghidupkan kembali Pecinan, melalui penambahan aktivitas di sore hingga malam hari. Aktivitas budaya perlu secara nyata ditunjukkan melalui festival kebudayaan yang menampilkan kerukunan dalam keberagaman budaya.

  • 5.    Daftar Pustaka

Alderson W T, Low S P. 1996. Interpretation of Historic Sites : Second Edition, Revised.

Altamira Press. California, USA.

Kominfo. 19 Februari 2015. Kawasan Gajah Mada. http://denpasarkota.go.id/index.php/ detail-kawasan-bisnis/11/Kawasan-Gajah-Mada. Diunduh 23 Juni 2016.

Pemerintah Kota Denpasar. 2011. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031. http://denpasarkota.go.id/assets_subdomain/32/download/

Pratiwo, 2009. Masa Lalu dan Masa Kini ; Arsitektur di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sopandi, Setiadi. 24 November 2008. Arsitektur Pecinan : sebuah fenomena perkotaan di Indonesia. https://handelstraat.wordpress.com/2008/11/24/arsitektur-pecinan-sebuah -fenomena-perkotaan-di-indonesia/ Diunduh tanggal 26 Juni 2016.

Winaya P P. 2010. Analisis Fasilitas Pejalan Kaki pada Ruas Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14 No. 1, Januari 2010. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana. Denpasar.

176 | JAL

http://ojs.unud.ac.id/index.php/lanskap