PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN SEBAGAI PEMBELI BARANG YANG DIJADIKAN JAMINAN DALAM PERJANJIAN LAIN
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN SEBAGAI PEMBELI BARANG YANG DIJADIKAN JAMINAN DALAM PERJANJIAN LAIN
Anak Agung Sri Nari Ratih Pradnyawathi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ratihprad22@gmail.com
I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: made_sarjana@unud.ac.id
DOI: KW.2022.v11.i10.p5
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui keabsahan dari perjanjian jual beli sebuah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain oleh pelaku usaha, serta berkaitan dengan perlindungan konsumen. Fokus dari penelitian ini adalah pada perlindungan hukum yang diberikan kepada individu yang membeli barang dengan tujuan untuk menggunakannya sebagai jaminan dalam kontrak lain. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Diteliti menggunakan beberapa cara dan melibatkan literatur serta sumber sekunder secara eksklusif. Norma-norma penelitian hukum dipatuhi selama penyelidikan ini, termasuk mengambil pendekatan konseptual, undang-undang dan sejarah. Berdasarkan temuan penelitian ini, perjanjian konsumen dan pelaku perdagangan untuk jual beli barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam “Pasal 1320 KUH Perdata. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999”, penelitian ini menunjukkan bahwa konsumen telah mendapatkan perlindungan hukum baik preventif maupun represif dalam menghadapi situasi tersebut.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Jaminan Perjanjian, Perjanjian Lain
ABSTRACT
The aim of this study is to determine the validity of the sale and purchase agreement of an item that is used as collateral in another agreement by business actors, as well as relating to consumer protection. The focus of this research is on the legal protection afforded to individuals who purchase goods with the intention of using them as collateral in another contract. This research uses normative juridical research methods. Reseached in several ways and exclusively involving literature and secondary sources. Legal research norms were adhered to throughout this investigation, including taking a conceptual, statutory and historical approach. Based on the findings of this study, agreements between consumers and trade actors for the sale and purchase of goods used as collateral in other agreements are invalid because they do not meet the requirements for the validity of the agreement in Article 1320 of the Civil Code. Related to Law No. 8 of 1999, this research shows that consumers have received both preventive and repressive legal protection in dealing with this situation.
Keywords: Consumer Protection, Agreement Guarantee, Other Agreements
Masa ke masa, terdapat banyak sekali perkembangan yang merubah kehidupan. Salah satunya adalah perkembangan ekonomi yang terlihat sangat pesat dalam berkembang, hal ini mengakibatkan munculnya keberagaman jenis serta variasi dari barang ataupun jasa. Masyarakat dalam mengikuti perkembangan seringkali harus
bersinggungan dengan membeli ataupun menggunakan barang dan jasa sehingga masyarakat dapat dikatakan sebagai konsumen. Konsumen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai pihak yang berlawanan dengan produsen sebagai pihak pelaku usaha yang merupakan pemakai barang yang dihasilkan melalui industri, bahan yang digunakan sebagai makanan, ataupun hal lainnya Sedangkan, sesuai dengan yang tercantum di dalam buku Text book on Consumer Law, konsumen merupkan one who purchase goods or service. Apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, definisi dari kata-kata tersebut mengandung arti bahwa konsumen merupakan setiap orang ataupun individu yang membeli barang ataupun jasa.1
Masyarakat sebagai konsumen tentunya akan terlibat di dalam perjanjian-perjanjian entah yang dilaksanakan secara lisan, ataupun yang dilaksanakan di dalam perjanjian tertulis dalam membeli serta menggunakan. Definisi dari suatu perjanjian telah diatur dengan jelas melalui ketentuan “Pasal 1313 KUH Perdata yaitu Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Kontrak jual beli adalah dua contoh dari banyak jenis perjanjian yang dapat dibuat antara konsumen dan bisnis. “Para pihak dalam perjanjian jual beli ini harus mencapai kesepakatan dan mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian jual beli disebut juga perjanjian konsensual, perjanjian jual beli dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak dan juga menjadi objek jika timbul kesepakatan antara kedua belah pihak (pembeli atau penjual).” yang bersinggungan dengan unsur pokok (essentialia) yang berkaitan dengan harga dan barang, barang yang dimaksud adalah barang tidak bergerak.2 kewajiban-kewajiban serta hak-hak baik dari konsumen maupun pelaku usaha secara umum secara umum memang hanya sebatas konsumen sebagai pembeli dan harus membayarkan barang ataupun jasa tersebut kepada pelaku usaha yang memiliki kewajiban dalam memberikan objek dari perjanjian yaitu barang ataupun jasa yang dimaksud.
Di dalam perkembangan perekonomian juga terkadang menyebabkan beberapa masyarakat yang kurang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa harus melakukan berbagai cara dalam pemenuhannya, salah satunya adalah melaksanakan perjanjian utang-piutang. Yang dimaksud dengan perjanjian utang-piutang adalah termasuk dari salah satu jenis dari perjanjian pinjam meminjam serta perjanjian ini juga berjalan di bawah kekuatan hukum yang terdapat dan dicantumkan di dalam KUH Perdata tepatnya pada Bab XIII (Tiga Belas) yang termasuk ke dalam Buku Ke-III (Tiga) mengenai Perikatan.3 Beberapa masyarakat yang terlibat di dalam perjanjian ini tak jarang menggunakan harta bendanya sebagai jaminan dalam upaya mendapatkan kepercayaan pihak peminjam untuk meminjamkan uangnya. Jaminan ini dilaksanakan bertujuan untuk menjamin pemenuhan kewajiban dari pihak yang meminjam (debitur) kepada pihak peminjam (kreditur), sehingga kreditur tidak mengalami kerugian dalam perjanjian tersebut.
Namun, tak jarang di kalangan masyarakat ada beberapa oknum yang malah menyalahgunakan kewajibannya sebagai debitur yang menjaminkan harta bendanya. Terdapat beberapa kondisi di masyarakat yang menyebabkan masyarakat berpikir pendek dan melaksanakan hal yang jauh dari kata benar. Kondisi-kondisi tersebut bisa bermunculan kapan saja dan dimana saja, sehingga apabila masyarakat berada di dalam posisi terjepit. Diilustrasikan sebuah keadaan, di satu sisi, debitur telah menjaminkan harta bendanya sebagai jaminan di dalam perjanjian utang-piutang, tetapi di sisi lain harta bendanya yang dijadikan jaminan ternyata dijual kembali ke pihak lain sehingga disini debitur berlakon sebagai pelaku usaha. Hal ini tentunya menjadi sangat bermasalah, karena pihak konsumen tidak tahu menahu bahwa telah membeli barang yang ternyata menjadi jaminan di perjanjian utang-piutang pelaku usaha dengan pihak lain.
Lantas, peran hukum akan dipertanyakan apabila dihadapkan dengan kasus seperti ini. Diperlukannya sebuah payung hukum sebagai upaya perlindungan yang wajib didapatkan oleh konsumen yang menjadi korban di beberapa kondisi semacam ini, yang disesuaikan dengan dicantumkannya hak-hak konsumen di dalam ketentuan hukum yang mengatur. Mengenai State Of The Art, penulis menemukan penelitian yang ditulis oleh Rai Agustina Dewi dan I Nyoman Suyatna yang berjudul “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online.”4 Penelitian tersebut berfokus kepada transaksi secara online yang mana pelaku usaha memberikan informasi yang salah berkaitan dengan barang dagangannya. Selanjutnya, penulis menemukan penelitian yang ditulis oleh Ida Ayu Eka Pradnyaswari dan I Ketut Westra yang berjudul “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Menggunakan Jasa E-Commerce.”5 Penelitian ini membahas terkait perlindungan hukum terhadap konsumen yang melakukan transaksi dengan pelaku usaha secara e-commerce. Kedua penelitian tersebut memiliki penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Memang kedua penelitian tersebut membahas terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi secara online, tetapi penelitian ini membahas terkait dengan transaksi yang dilakukan secara langsung terhadap barang yang sudah dijadikan jaminan. Yang mana artinya pelaku usaha memberikan informasi yang salah terkait dengan barang dagangannya secara terang-terangan dan konsumen sebagai korban dalam permasalahan ini membeli barang tersebut melalui kepercayaannya dengan pelaku usaha. Maka dari itu, penelitian ini membahas terkait “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Sebagai Barang Yang Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Lain.”
Berdasarkan yang telah dibahas pada latar belakang, oleh sebab itu diperoleh 2 (dua) rumusan masalah yang menjadi topik utama dalam pembahasan kali ini sebagai berikut.
-
1. Bagaimanakah keabsahan dari perjanjian jual beli sebuah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain oleh pelaku usaha?
-
2. Bagaimanakah peran hukum di dalam melindungi konsumen yang membeli barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain oleh pelaku usaha?
Melalui kedua rumusan masalah yang telah diuraikan, adapun tujuan penelitian yang diharapkan dapat dicapai pada penelitian ini sebagai berikut.
-
1. Mengetahui keabsahan dari perjanjian jual beli sebuah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain oleh pelaku usaha.
-
2. Mengetahui peran hukum di dalam melindungi konsumen yang membeli barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian lain oleh pelaku usaha.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Kajian yudisial normatif ini akan dilakukan dalam beberapa cara, yang semuanya akan melibatkan penggunaan literatur dan sumber-sumber sekunder secara eksklusif. 6 “Hasil
penelitian yang dikaji dengan metode yuridis normatif ini digunakan untuk mengetahui sah tidaknya perjanjian jual beli barang yang dijadikan jaminan dalam persekutuan lain oleh pelaku usaha serta perlindungan hukum bagi konsumen yang membeli barang yang dijadikan jaminan dalam persekutuan lain oleh pelaku usaha. Penelitian ini menggunakan beberapa metode, antara lain analisis konseptual, analisis hukum, dan analisis sejarah”. Dalam makalah ini, kami menggunakan teknik berdasarkan studi literatur teknis untuk melacak materi hukum yang relevan; metode ini kemudian mengalami analisis kualitatif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Barang Yang Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Lain Oleh Pelaku Usaha
Ketika suatu perjanjian memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang, kami katakan itu sah.7 “Perjanjian yang sah juga merupakan sebuah perjanjian yang mana diakui dan diberikan konsekuensi yuridis (legally concluded contract)8. Keabsahan dari sebuah perjanjian telah diatur dengan jelas di dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” Persyaratan yang diatur di dalam pasal tersebut sangat kental mengenai subjek maupun objek dari
sebuah perjanjian.9 Persyaratan yang pertama dan kedua, yaitu “... 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; ...” disebut sebagai syarat subjektif. Sedangkan, syarat ketiga dan keempat, yaitu “... 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” Disebut sebagai syarat objektif. Pembatalan perjanjian akan terjadi apabila syarat-syarat yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini tidak terpenuhi”. Namun, pembatalan dalam hal ini dibagi menjadi 2 (dua) berdasarkan kategori dari syarat sahnya suatu perjanjian.
Konsekuensi pembatalan perjanjian dalam bentuk ini dapat terjadi dikarenakan kedua belah pihak disebut atau dianggap tidak dapat memenuhi salah satu syarat, yaitu tepatnya syarat subjektif. Dalam hal ini, salah satu pihak yang menjadi pihak dirugikan memiliki hak dalam mengajukan sebuah permohonan pembatalan perjanjian kepada pihak yang berwajib, yaitu hakim. Terlepas dari hal tersebut, di dalam kasus ini sebelum adanya keputusan dari hakim mengenai pembatalan perjanjian yang dimohonkan kepada hakim, maka perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak tetap mengikat para pihak.
Dalam hal salah satu pihak gagal memenuhi salah satu syarat objektif, perjanjian itu akan batal demi hukum. Jika pengadilan menyatakan kontrak batal demi hukum, itu diperlakukan seolah-olah tidak pernah ada, dan para pihak dibebaskan dari semua kewajiban berdasarkan ketentuan kontrak.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian, dan ketentuan ini akan berlaku terhadap Perjanjian Jual Beli Barang Yang Dijadikan Jaminan dalam Perjanjian Lain oleh Pelaku Usaha.
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian ini berkewajiban untuk menyepakati ataupun setuju terkait dengan hal apapun yang diatur di dalam perjanjian salah satunya adalah perjanjian yang dilaksanakan tanpa adanya unsur paksaan, penipuan, ataupun kekhilafan dari kedua belah pihak. Kesepakatan ini didasarkan tanpa adanya cacat kehendak. Kesepakatan ini harus memiliki unsur berupa:
-
a. Offerte atau yang diartikan sebagai penawaran yang merupakan pernyataan dari pihak yang berlaku sebagai yang menawarkan; dan
-
b. Acceptasi atau yang diartikan sebagai penerimaan yang merupakan pernyataan dari pihak yang berlaku sebagai penerima tawaran.
Manusia memiliki hak dan kewajiban dalam hukum semenjak manusia tersebut lahir hingga manusia tersebut meninggal. Namun, melalui ketentuan ini mengartikan tidak semua orang dapat dianggap sebagai pendukung hukum adalah orang yang disebut cakap dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Di KUH Perdata sendiri tidak disebutkan definisi kecakapan secara eksplisit. Hukum perdata di Indonesia menentukan kedewasaan berdasarkan ukuran yang sifatnya kuantitatif (batas usia) serta kualitatif (sudah atau belumnya
seseorang menikah).10 Di dalam ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, batas usia dewasa adalah orang yang berumur 21 tahun sehingga dikatakan cakap dalam hukum.
Melalui aturan yang berlaku, khususnya yang diatur pada ketentuan Pasal 1332 sampai dengan 1334 KUH Perdata telah mengatur terkait obyek perjanjian, yang secara garis besar mengatur sebagai berikut.
-
a. Obyek yang digunakan merupakan obyek yang akan ada, tetapi obyek tersebut terlepas dari warisan yang merupakan pengecualian serta dapat ditentukan jenis ataupun dapat diperhitungkan oleh pihak yang bersangkutan;
-
b. Obyek yang dapat digunakan selanjutnya adalah obyek yang diperdagangkan untuk kepentingan maupun kebutuhan.
Maksud dari pernyataan sebab yang halal adalah untuk mengaitkannya dengan isi perjanjian, yaitu uraian tentang tujuan yang dimaksudkan dan ingin dicapai oleh kedua belah pihak melalui perjanjian itu. Berdasarkan ketentuan ini, isi perjanjian harus sesuai dengan undang-undang dan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, kebijakan publik, atau standar kesusilaan masyarakat.
Melalui keempat syarat tersebut yang apabila dipenuhi akan berpengaruh pada keabsahan suatu perjanjian. Berkaitan dengan penjualan barang yang dijadikan jaminan oleh pelaku usaha merupakan perbuatan yang melawan hukum. Di dalam perjanjian kedua belah pihak ini, pihak yang menjadi korban melakukan perjanjian yang dapat dikatakan hanya bermodal pada suatu kepercayaan. Barang tersebut sudah terikat dan kepemilikannya sudah diambil oleh kreditur dalam perjanjian utang piutang dari pelaku usaha. Sehingga, barang yang dijadikan objek dalam perjanjian jual beli antara pihak pelaku usaha dan juga pihak konsumen merupakan barang yang bertentangan dan dilarang oleh undang-undang ataupun hukum yang berlaku. Kesepakatan oleh kedua belah pihak yang diperoleh dalam perjanjian jual beli ini juga didasari dengan adanya penipuan dari pelaku usaha.
-
3.2. Peran Hukum Dalam Melindungi Konsumen Yang Membeli Barang Yang Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Lain Oleh Pelaku Usaha
Manusia tentunya memiliki sifat yang beragam, dalam keadaan tertentu apabila manusia tertekan dan memerlukan sesuatu, terkadang manusia tidak akan berpikir panjang dalam melakukan suatu hal. Kebutuhan yang diperlukan manusia juga menjadi dasar akan adanya sebuah perjanjian. Nyatanya, di dalam perjanjian yang eksis di kalangan masyarakat, beberapa oknum tidak mengindahkan “syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata”. Dicontohkan ke dalam perjanjian utang piutang yang akan melibatkan sebuah benda yang akan dijaminkan sebagai kepastian hukum kepada kreditur apabila debitur wanprestasi. Jaminan di dalam suatu perjanjian digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu yang pertama terdapat jaminan materiil atau yang biasa disebut jaminan kebendaan dan yang kedua ada jaminan imateriil atau yang biasa disebut jaminan perorangan.
Kemudian, kedua bentuk tersebut akan digolongkan kembali ke dalam beberapa bentuk jaminan. Salah satunya yaitu merupakan Jaminan Fidusia yang termasuk dalam jenis jaminan kebendaan. Fidusia di dalam “Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia” didefinisikan sebagai “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut dalam penguasaan pemilik benda itu.” Yang mana apabila ditelaah artinya maka diperoleh kesimpulan bahwa benda yang dijaminkan masih berada pada tangan sang pemilik, tetapi hak kepemilikan benda tersebut sudah dialihkan ke pihak yang bersangkutan. Hal ini memberikan keuntungan bagi pemilik benda asli benda tersebut karena masih bisa menggunakan barang yang dijadikan jaminan. Dengan adanya hal ini tentunya akan memunculkan resiko atas hal-hal yang dilarang, ditambah lagi salah satu unsur dari fidusia ini adalah penyerahan yang dilaksanakan berdasarkan kepercayaan. Resiko yang mungkin muncul atas jaminan fidusia ini adalah dijualnya benda yang dijaminkan ke pihak lain oleh debitur. Debitur disini berperan sebagai pelaku usaha dalam menjual benda yang dijaminkan ke pihak lain. Permasalahannya akan berpindah ke pihak yang membeli jaminan ini yang berlaku sebagai konsumen apabila tidak berhati-hati dalam membeli barang. Didorong dengan rasa kepercayaan terhadap pihak pelaku usaha sebagai penjual barang yang melakukan perbuatan tidak sebagaimanamestinya dan melanggar hukum, konsumen akan berakhir menyetujui untuk membeli benda yang dijaminkan oleh pelaku usaha. 11
Tiap-tiap subjek yang diakui oleh hukum tentunya berwenang dalam melaksanakan suatu tindakan hukum dengan mengemban hak dan kewajibannya.12 Begitu juga dengan pihak pelaku usaha yang memiliki kewajiban yang diatur di dalam “Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” yang menyebutkan:
Kewajiban pelaku usaha adalah:
-
a. “Ketulusan dalam melaksanakan tugas prestasi;
-
b. menjelaskan syarat dan ketentuan dari setiap jaminan yang ditawarkan, serta cara menggunakan, memperbaiki, dan memelihara produk atau layanan yang dimaksud dengan benar;
-
c. Memperlakukan atau melayani pelanggan dengan benar, jujur, dan tanpa bias;
-
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan/atau jasa berdasarkan persyaratan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
-
e. memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mencoba dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau jaminan atas barang yang dibuat dan/atau dijual;
-
f. Fmemberikan ganti rugi, kompensasi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang menyediakan;
-
g. memberikan ganti rugi dan/atau ganti rugi apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau digunakan tidak sesuai dengan perjanjian.”
Apabila dihadapkan dengan kasus pelaku usaha yang menjual barang yang sebenarnya dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang, maka disini pelaku usaha berlaku tidak jujur terhadap konsumen, informasi yang diberikan ataupun dijelaskan oleh pelaku usaha tidak jelas dan tidak benar. Sejatinya, menjadi konsumen juga terdapat beberapa kewajiban yang perlu diketahui yaitu sebagaimana disebutkan dalam isi “Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Kewajiban konsumen adalah:
-
a. Upaya penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen tepat jika para pihak yang terlibat
-
b. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur;
-
c. Bertindak dengan itikad baik pada saat membeli barang dan/atau jasa;
-
d. Membayar menggunakan kurs yang disepakati;
Terkadang, kewajiban konsumen ini dilupakan apabila terdapat rasa kepercayaan terhadap pelaku usaha. Namun, terlepas dari kewajiban konsumen yang kadang dilupakan, konsumen tetap mempunyai hak yang sebagaimana wajib dilindungi oleh siapapun. Peran hukum dalam melindungi konsumen kerap disebut sebagai perlindungan hukum yang diberikan kepada pihak konsumen dalam menjaga hak-hak yang sudah diatur.13 Sesuai dengan UUPK yang mengatur bahwa posisi dari konsumen yang mendapatkan barang atau jasa berada dalam posisi yang lemah dan perlu dilindungi oleh hukum.14
Pemerintah sendiri telah memberikan berbagai macam perlindungan berupa perlindungan preventif dan juga perlindungan represif kepada konsumen.15 Definisi dari perlindungan preventif yang diberikan kepada konsumen ini adalah berkaitan dengan hal-hal yang sudah tercantum melalui ketentuan “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Di dalam ketentuan UUPK tersebut tercantum hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Yang mana hak tersebut secara tersirat bermaksud sebagai sebuah pembinaan serta pengawasan terhadap keberadaan konsumen.16 Hak ini diperoleh konsumen agar senantiasa terselenggara perlindungan terhadap konsumen secara memadai. Selanjutnya perlindungan represif merupakan suatu upaya yang diberikan pemerintah sebagai sebuah penanganan apabila dilanggarnya hak-hak yang dimiliki oleh konsumen berupa perlindungan dalam penyelesaian sengketa. 17Penanganan dalam penyelesaian sengketa tersebut akan dilaksanakan oleh pihak yang berwenang yaitu badan peradilan yang juga memiliki kewenangan secara absolut maupun relatif dalam menyelesaikan permasalahan ini yang diselesaikan di pengadilan atau solusi dari permasalahan ini bisa diselesaikan
melalui jalur non litigasi dengan adanya badan-badan yang dibentuk pemerintah berupa “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.”18
Di dalam ketentuan “Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” telah diatur terkait hak-hak dari konsumen, yaitu:
Hak konsumen adalah:
-
a. “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
-
b. Bhak untuk memilih barang dan/atau jasa serta memperoleh barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan syarat serta jaminan yang menjanjikan;
-
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai keadaan dan jaminan barang dan/atau jasa;
-
d. hak untuk mendengar pendapat dan pengaduan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
-
e. hak untuk memperoleh advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang layak;
-
f. hak mendapat bimbingan dan pendidikan konsumen;
-
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani dengan baik dan jujur serta tidak diskriminatif;
-
h. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain;
-
i. hak untuk menerima ganti rugi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sesuai dengan tugasnya.”
Sehingga, dari hal ini konsumen yang membeli benda yang dijaminkan di perjanjian lain oleh pihak pelaku usaha berhak mendapatkan perlindungan hukum. Konsumen yang dirugikan dengan keadaan ini dapat melaporkan permasalahan ini sesuai dengan upaya hukum yang telah disediakan oleh pemerintah.
Melalui pemahaman dalam keempat syarat sahnya perjanjian, yang secara jelas mengatur terkait dengan persetujuan para pengikat; kuasa untuk mengadakan perjanjian; suatu fakta yang ditetapkan serta pembenaran menurut undang-undang Jika ketentuan keempat dipenuhi, kontrak akan kehilangan kedudukan hukumnya. Adalah ilegal bagi pelaku komersial untuk melakukan perbuatan ini sehubungan dengan penjualan barang yang dijaminkan. Kreditur dalam perjanjian pinjaman telah mengambil kepemilikan yang mengikat atas barang tersebut dan pelaku usaha tidak memiliki hak lebih lanjut atas barang tersebut. Produk yang menjadi objek transaksi komersial yang melibatkan pelaku komersial dan konsumen, menurut definisi, ilegal atau bertentangan dengan hukum. Penipuan yang dilakukan oleh pelaku komersial membantu dalam validitas kesepakatan yang dicapai dalam akad jual beli. Kebutuhan komersial yang tanggung jawabnya tertuang dalam sebagaimana diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen. Sebagai konsumen, Anda memiliki tanggung
jawab tertentu yang harus Anda ketahui; hal tersebut dituangkan dalam dalam ketentuan perlindungan konsumen menitikberatkan pada perlindungan konsumen. Namun, jika konsumen memiliki keyakinan terhadap integritas perusahaan, mereka cenderung tidak akan mengingat tugasnya sebagai konsumen. Meskipun konsumen bertanggung jawab untuk memenuhi standar minimum tertentu, mereka juga memiliki hak yang harus dilindungi. Istilah “perlindungan hukum konsumen” lazim digunakan untuk menggambarkan fungsi hukum dalam mengamankan pembeli. Kedua bentuk perlindungan konsumen preventif dan koersif secara historis telah ditawarkan oleh pemerintah. Hal-hal yang sudah tercantum dalam ketentuan perlindungan konsumen berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan perlindungan preventif bagi konsumen. Selanjutnya, jika hak konsumen berupa perlindungan penyelesaian sengketa dilanggar, pemerintah dapat turun tangan dengan perlindungan represif sebagai penanganannya.
Daftar Pustaka
Buku
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993).
Oughton, David dan Lowry, John. Textbook on Consumer Law. (London,
Blackstone Press Limited, 1997).
Salim, H. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Depok, PT. Raja Grafindo Persada, 2019).
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta, Rajawali Pers, 2015)
Jurnal
Anggreni, Ida Ayu Made Aristya dan Laksana, I Gusti Ngurah Dharma. “Perlindungan Hukum Pada Konsumen Atas Kerugian Dalam Transaksi Perdagangan Barang Elektronik (E-Commerce) Di Instagram.” Jurnal Kertha Semaya 6, No. 4 (2018).
Antari, Ni Luh Yunik Sri. “Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik Atas Tanah.” Acta Comitas Jurnal Hukum Kenotariatan Udayana 3, No. 2 (2018).
Dewi, Rai Agustina dan Suyatna, I Nyoman. “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online.” Jurnal Kertha Semaya 4, No. 2 (2018).
Gumanti, Retna. “Syarat Sahnya Perjanjian Ditinjau Dari KUH Perdata.” Jurnal Pelangi Ilmu 5, No. 1 (2012).
Kumalasari, Devi. “Syarat Sahnya Perjanjian Tentang Cakap Bertindak Dalam Hukum Menurut Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata.” Jurnal Pro Hukum: Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik 7, No. 2 (2018).
Mansyur, Ali dan Rahman, Irsan. “Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Produksi Nasional.” Jurnal Pembaharuan Hukum 2, No. 1 (2015).
Pande, Ni Putu Januaryanti. “Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Yang Tidak Terdaftar Di BBPOM Denpasar.” Jurnal Magister Hukum Udayana 6, No. 1 (2017).
Pradnyaswari, Ida Ayu Eka dan Westra, I Ketut. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Menggunakan Jasa E-Commerce.” Jurnal Kertha Semaya 9, No. 5 (2020).
Pratama, I Putu Yoga Putra dan Landra, Putu Tuni Cakabawa. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Atas Penyusutan Nilai Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Utang Piutang.” Jurnal Kertha Semaya 7, No 6 (2019).
Rinaldi, Lasyita Herdiana dan Putrawan, Suatra. “Keabsahan Perjanjian Jual Beli Antara Penjual dan Pembali di Bawah Umur Melalui E-Commerce.” Jurnal Kertha Semaya 9, No. 7 (2021).
Samosir, Agustinus. “Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Dilakukan Badan Penyelesaian Perlindungan Konsumen.” Jurnal Ilmu Hukum 2, No. 2 (2018).
Suadnyani, Ni Nyoman Endi, Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, I Ketut Westra. “Kecakapan Berdasarkan Batasan Usia Dalam Membuat Perjanjian di Hadapan Notaris.” Jurnal Kertha Semaya 5, No. 1 (2017).
Windari, Ratna Artha. “Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.” Jurnal Komunikasi Hukum 1, No. 1 (2015).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)
Jurnal Kertha Wicara Vol 11 No 10 Tahun 2022, hlm. 1698-1708
Discussion and feedback